Anda di halaman 1dari 36

ADENOMIOSIS

DEFINISI

Adenomyosis adalah suatu kondisi jinak dari rahim yang ditentukan oleh adanya kelenjar endometrium
dan stroma> 2,5 mm di dalam miometrium dan derajat variable hiperplasiamiometrium yang berdekatan,
menyebabkan pembesaran globular dan kistik miometrium, dengan beberapa kista diisi dengan
ekstravasasi, sel darah merah hemolisis, dan siderofag. 1, 2

Adenomiosis dikenal pula dengan nama endometriosis interna, merupakan kelainan jinak uterus yang
ditandai oleh adanya komponen epitel dan stroma jaringan endometrium fungsional di miometrium. 3
Adenomiosis juga diduga berperan sebagai salah satu penyebab subfertilitas bahkan infertilitas pada
populasi wanita.4

EDPIDEMIOLOGI

Frekuensi adenomiosis bervariasi dari 5% hingga 70%, pada literatur lain dilaporkan 8% hingga 61%,
bergantung pada seleksi sampel dan criteria diagnostic yang dipakai. 2 Diagnosis preoperative sendiri
masih kurang dari 10%.Studi diNepal oleh Shrestha et al. (2012) melaporkan insidens 23,4% pada 256
spesimen histerektomi.5 Jauh sebelumnya, sebuah studi di Itali oleh Parazzini et al. (1997) melaporkan
insidens serupa sekitar 21,2% pada 707 wanita yang menjalani histerektomi atas berbagai indikasi. 6
Meskipun insidennya lumayan tinggi, tetapi studi epidemiologi seputar adenomiosis masih sangat
jarang.5,6

Telah disinggung pada bagian pendahuluan bahwa perkembangan teknologi memungkinkan diagnosis
adenomiosis preoperatif sehingga eksplorasi hubungannya dengan infertilitas dapat dilakukan. De Souza
et al. melaporkan insidens 54% hiperplasia JZ pada wanita subfertil dengan keluhan menoragi dan
dismenore. Bukti lain melaporkan kehamilan pada wanita infertil setelah diterapi adenomiosis dengan
agen GnRH agonis. Penelitian terbaru oleh Maubon et al. (2010) melibatkan 152 pasien in vitro
fertilisation (IVF) untuk menilai pengaruh ketebalan JZ uterus yang diukur dengan MRI terhadap
keberhasilan implantasi, dilaporkan bahwa peningkatan ketebalan JZ uterus berkorelasi signifikan
dengan kegagalan implantasi pada IVF. Kegagalan implantasi terjadi pada 95,8% pasien dengan JZ 7-10
mm versus 37,5% pada subjek lain.5

FAKTOR RISIKO

Berbagai keadaan telah diteliti sebagai faktor resiko adenomiosis antara lain usia antara 40-50
tahun, multipara, riwayat hiperplasia endometrium, riwayat abortus spontan, dan polimenore.10
Sedangkan usia menarke, usia saat partus pertama kali, riwayat abortus provokatus, riwayat seksio
sesarea, endometriosis, obesitas, menopause, panjang siklus dan lama haid, penggunaan kontrasepsi
oral dan IUD dilaporkan tidak berkaitan dengan adenomiosis. 6,7

Paritas dan usia merupakan faktor risiko yang signifikan untuk adenomiosis. Secara khusus,
hampir 90 persen kasus pada perempuan parous dan hampir 80 persen berkembang pada wanita di usia
empat puluhan dan lima puluhan (Lee, 1984). 3
HISTOLOGI

Junctional zone (JZ) pada lapisan terdalam miometrium atau disebut juga archimetra memiliki
karakter khas yang membedakannya dengan tautan lain, berperan sebagai membran protektif lemah
dan memungkinkan kelenjar endometrium berkontak langsung dengan miometrium. MRI T2-weighted
menunjukkan tiga lapisan berbeda pada uterus wanita usia produktif : (1) lapisan dalam, mukosa
endometrium, intensitas tinggi (2) lapisan intermediet, JZ (3) dan lapisan serosa. Penelitian terkini
berhasil mengungkap sifat dan fungsi JZ. Zona tersebut bersifat hormone-dependent sehingga
mengalami perubahan ketebalan secara siklis menyerupai endometrium. Karakter itu pula yang memicu
timbulnya peristaltik uterus di luar kehamilan. Lapisan miometrium pasca menopause tampak kabur
pada MRI akibat supresi aktivitas ovarium atau pemberian analog GnRH. 5

PATOFISIOLOGI

Anatomi

Pada pemeriksaan kotor, biasanya terdapat pembesaran uterus secara menyeluruh, tetapi
pembesarannya jarang melebihi kehamilan 12 minggu. Kontur permukaan halus dan teratur, tekstur
rahim melunak, dan kemerahan warna miometrium seperti pada umumnya. Pada potongan ,
permukaan rahim biasanya memperlihatkan gambaran spons dengan perdarahan fokal. 3

Gambar 2.1 Adenomyosis. A. Gross bivalved uterine specimen. Note the spongy texture of this uterus
with adenomyosis. Gambar 2.2 B. Microscopically benign endometrial glands (arrows) and stroma
infiltrate deeply into the myometrium. (Courtesy of Dr. Raheela Ashfaq.)

Patologi Anatomi

Teori yang paling banyak dipakai mengenai perkembangan adenomiosis menggambarkan


invaginasi ke bawah lapisan basalis endometrium dalam ke miometrium. Mekanisme yang memicu
invasi jaringan endometrium ke dalam miometrium masih belum jelas. Lapisan fungsional endometrium
secara fisiologis berproliferasi secara lebih aktif dibandingkan lapisan basalis. Hal ini memungkinkan
lapisan fungsional menjadi tempat implantasi blastokista sedangkan lapisan basalis berperan dalam
proses regenerasi setelah degenerasi lapisan fungsional selama menstruasi. Selama periode regenerasi
kelenjar pada lapisan basalis mengadakan hubungan langsung dengan sel-sel berbentuk gelondong pada
stroma endometrium.5

Adenomiosis berkembang dari pertumbuhan ke bawah dan invaginasi dari stratum basalis
endometrium ke dalam miometrium sehingga bisa dilihat adanya hubungan langsung antara stratum
basalis endometrium dengan adenomiosis di dalam miometrium. Di daerah ekstra-uteri misalnya pada
plika rektovagina, adenomiosis dapat berkembang secara embriologis dari sisa duktus Muller. 5

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada masih harus dipelajari
lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan
dari sintesis DNA & siliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan
fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi
untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat
proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma
endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium
adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis
endometrium ke dalam miometrium.5,8

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-
kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.
Pada endometrium yang normal, kelenjarkelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal
ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada karsinoma endometrii
dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif
dibandingkan yang non-invasif pada koriokarsinoma. 5

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis,
sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi
baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis. 5

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan


mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan
dalam proses invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan
adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis
sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan
gejala menoragia & dismenorea.5
Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti karsinoma endometri, endometriosis,
adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen, namun juga aromatase, enzim yang
mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama androgen, Andronostenedione,
dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain yaitu Estrogen-3-Sulfat yang
dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya terdapat dalam jaringan
adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang meningkatkan tingkat
aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi pertumbuhan jaringan
yang menggunakan mediator estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase (P450arom) merupakan
komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein P450arom terlokalisir
secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis. 5

Mekanisme terjadinya invasi endometrium ke dalam miometrium pada manusia masih dipelajari
lebih lanjut. Perubahan proliferasi seperti aktivitas mitosis menyebabkan peningkatan secara signifikan
dari sintesis DNA & ciliogenesis di lapisan fungsional endometrium daripada di lapisan basalis. Lapisan
fungsional sebagai tempat implantasi blastocyst, sedangkan lapisan basalis sebagai sumber produksi
untuk regenerasi endometrium akibat degenerasi dari lapisan fungsional saat menstruasi. Pada saat
proses regenerasi, sel-sel epitel dari kelenjar basalis berhubungan langsung dengan sel-sel stroma
endometrium yang membentuk sistem mikrofilamentosa/trabekula intraselular dan gambaran
sitoplasma pseudopodia. Beberapa perubahan morfologi pada epitel kelenjar endometrium
adenomiosis tidak dapat digambarkan. Namun dalam studi invitro menunjukkan sel-sel endometrium
memiliki potensial invasif dimana potensial invasif ini bisa memfasilitasi perluasan lapisan basalis
endometrium ke dalam miometrium.

Dalam studi yang menggunakan hibridisasi & imunohistokimia insitu menunjukkan kelenjar-
kelenjar endometrium pada adenomiosis lebih mengekspresikan reseptor mRNA hCG/LH secara selektif.
Pada endometrium yang normal, kelenjarkelenjar ini tidak dapat mengekspresikan reseptor hCG/LH. Hal
ini mungkin meskipun belum terbukti bahwa peningkatan ekspresi reseptor epitel endometrium
berkaitan dengan kemampuan untuk menembus miometrium dan membentuk fokal adenomiosis.
Menjadi menarik dimana peningkatan ekspresi reseptor hCG/LH ditemukan pada Carsinoma endometrii
dibandingkan kelenjar endometrium yang normal seperti halnya yang ditemukan pada trofoblas invasif
dibandingkan yang non-invasif pada Choriocarsinoma.

Studi tentang reseptor steroid menggunakan Cytosol, menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Beberapa menunjukkan tidak ada ekspresi reseptor progesteron pada 40% kasus adenomiosis,
sedangkan yang lain menunjukkan ekspresi reseptor progesterone yang lebih tinggi dibandingkan
estrogen. Dengan menggunakan tehnik pelacak imunohistokimia, ditemukan konsentrasi yang tinggi
baik reseptor estrogen dan progesteron pada lapisan basalis endometrium maupun adenomiosis.

Reseptor estrogen merupakan syarat untuk pertumbuhan endometrium yang menggunakan


mediator estrogen. Meskipun masih belum jelas evidensnya, hiperestrogenemia memiliki peranan
dalam proses invaginasi semenjak ditemukan banyaknya hiperplasia endometrium pada wanita dengan
adenomiosis. Konsentrasi estrogen yang tinggi diperlukan dalam perkembangan adenomiosis
sebagaimana halnya endometriosis. Hal ini didukung bahwa penekanan terhadap lingkungan estrogen
dengan pemberian Danazol menyebabkan involusi dari endometrium ektopik yang dikaitkan dengan
gejala menoragia & dismenorea. Pada penyakit uterus yang estrogen-dependent seperti Carsinoma
endometrii, endometriosis, adenomiosis & leiomioma, tidak hanya terdapat reseptor Estrogen, namun
juga aromatase, enzim yang mengkatalisasi konversi androgen menjadi estrogen. Prekursor utama
androgen, Andronostenedione, dikonversi oleh aromatase menjadi Estrone. Sumber estrogen yang lain
yaitu Estrogen-3-Sulfat yang dikonversi oleh enzim Estrogen sulfatase menjadi Estrone, yang hanya
terdapat dalam jaringan adenomiosis. Nantinya Estrone akan dikonversi lagi menjadi 17β-estradiol yang
meningkatkan tingkat aktivitas estrogen. Bersama dengan Estrogen dalam sirkulasi, akan menstimulasi
pertumbuhan jaringan yang menggunakan mediator estrogen.

Gambar 2.3 skematis mekanisme pertumbuhan adenomiosis yang estrogen-dependent.

Di dalam jaringan terdapat reseptor estrogen, aromatase & sulfatase. Produksi estrogen lokal
meningkatkan konsentrasi estrogen yang bersama-sama dengan estrogen dalam sirkulasi, merangsang
pertumbuhan jaringan yang termediasi oleh reseptor estrogen. mRNA sitokrom P450 aromatase
(P450arom) merupakan komponen utama aromatase yang terdapat pada jaringan adenomiosis. Protein
P450arom terlokalisir secara imunologis dalam sel-sel kelenjar jaringan adenomiosis.

DIAGNOSIS

Diagnosis biasanya didasarkan pada temuan histologis spesimen bedah, meskipun salah satu bentuk
dapat diduga secara klinis. Dengan demikian, dilaporkan insiden di spesimen histerektomi bervariasi
tergantung pada kriteria histologis serta tingkat sectioning, tetapi berkisar antara 20 sampai 60 persen
(Bird, 1972; Parazzini, 1997).3

Adanya riwayat menorragia & dismenorea pada wanita multipara dengan pembesaran uterus yang difus
seperti hamil dengan usia kehamilan 12 minggu dapat dicurigai sebagai adenomiosis. Dalam
kenyataannya, diagnosis klinis adenomiosis seringkali tidak ditegakkan (75%) atau overdiagnosis.
Sehingga adanya kecurigaan klinis akan adenomiosis dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan pencitraan
berupa USG transvaginal dan MRI.5

Diagnosis adenomiosis secara klinis sulit dan seringkali tidak akurat. Hal ini disebabkan gejala
adenomiosis yang tidak khas, dimana gejala tersebut juga ditemukan pada fibroid uterus, perdarahan
uterus disfungsional (PUD) maupun endometriosis. Dulu, diagnosis adenomiosis hanya dapat ditegakkan
secara histologis setelah dilakukan histerektomi. Dengan kemajuan dalam tehnik pencitraan, diagnosis
prehisterektomi bisa ditegakkan dengan tingkat akurasi yang tinggi. 5

Pencitraan mempunyai 3 peran utama dalam mengelola pasien yang dicurigai adenomiosis secara klinis.
Pertama, untuk menegakkan diagnosis dan diagnosis diferensial adenomiosis dari keadaan lain yang
mirip seperti leiomioma. Kedua, beratnya penyakit dapat disesuaikan dengan gejala klinisnya. Ketiga,
pencitraan dapat digunakan untuk monitoring penyakit pada pasien dengan pengobatan konservatif.
Beberapa pencitraan yang digunakan pada pasien yang dicurigai adenomiosis yaitu Histerosalpingografi
(HSG), USG transabdominal, USG transvaginal dan MRI. 5

Gambaran karakteristik utama pada HSG berupa daerah yang sakit dengan kontras intravasasi, meluas
dari cavum uteri ke dalam miometrium. HSG memiliki sensitivitas yang rendah. 5

Kriteria diagnostik dengan USG transabdominal yaitu uterus yang membesar berbentuk globuler, uterus
normal tanpa adanya fibroid, daerah kistik di miometrium dan echogenik yang menurun di miometrium.
Bazot dkk pada 2001 melaporkan bahwa USG transabdominal memiliki spesifisitas 95%, sensitivitas
32,5% dan akurasi 74,1% untuk mendiagnosis adenomiosis. USG transabdominal memiliki kapasitas
diagnostik yang terbatas untuk adenomiosis terutama pada wanita yang terdapat fibroid. 5

Biasanya USG transabdominal dikombinasikan dengan USG transvaginal yang menghasilkan kemampuan
diagnostik yang lebih baik. Kriteria diagnostik dengan USG transvaginal untuk adenomiosis yaitu tekstur
miometrium yang heterogen/distorsi, echotekstur miometrium yang abnormal dengan batas yang tidak
tegas, stria linier miometrium dan kista miometrium. Bazot dkk melaporkan sensitivitas 65%, spesifisitas
97,5% dan tingkat akurasi 86,6% dengan USG transvaginal dalam mendiagnosis adenomiosis dimana
kriteria yang paling sensitif & spesifik untuk adenomiosis adalah adanya kista miometrium. MRI
merupakan modalitas pencitraan yang paling akurat untuk evaluasi berbagai keadaan uterus. Hal ini
karena kemampuannya dalam diferensiasi jaringan lunak. MRI dapat melihat anatomi internal uterus
yang normal dan monitoring berbagai perubahan fisiologis. Menurut Bazot dkk, kriteria MRI yang paling
spesifik untuk adenomiosis yaitu adanya daerah miometrium dengan intensitas yang tinggi dan
penebalan junctional zone >12 mm.5

Beberapa studi telah membandingkan akurasi pemeriksaan MRI dengan USG transvaginal dalam
mendiagnosis adenomiosis. Dalam studi-studi terdahulu menunjukkan tingkat akurasi yang lebih tinggi
pada MRI dibandingkan USG transvaginal. Namun dalam studi-studi terakhir dikatakan tidak ada
perbedaan tingkat akurasinya.5

Kanker Antigen 125

Selama bertahun-tahun, diagnosis adenomiosis dalam banyak kasus telah dibuat secara retrospektif
dengan histerektomi. serum dari CA125 tumor marker telah dievaluasi sebagai alat diagnostik tetapi
belum terbukti bermanfaat. Meskipun tingkat CA125 biasanya meningkat pada wanita dengan
adenomiosis, mereka juga dapat meningkat pada orang-orang dengan leiomioma, endometriosis, infeksi
panggul, dan keganasan panggul.
Sonografi

Karena sonografi transabdominal tidak konsisten mengidentifikasi perubahan miometrium pada


adenomiosis, pencitraan dengan TVS lebih disukai, dan pencitraan MR mungkin lebih banyak mendapat
pujian. (Bazot, 2001; Reinhold, 1998).

Di tangan sonographers berpengalaman, temuan adenomiosis difus dapat meliputi: (1) anterior atau
posterior dinding miometrium tampak lebih tebal daripada yang lain, (2) heterogenitas miometrium, (3)
kista hypoechoic miometrium kecil, mewakili kelenjar cystic dalam pusat endometrium ektopik , dan (4)
proyeksi lurik linear membentang dari endometrium ke dalam miometrium (Reinhold, 1999).

Adenomiosis fokal muncul sebagai nodul diskrit hypoechoic yang dapat dibedakan dengan leiomioma
oleh pinggiran/ batas yang susah dijelaskan,lebih berbentuk elips daripada bentuk globular, efek massa
minimal pada jaringan sekitarnya, kurangnya kalsifikasi, dan adanya kista anechoic dengan diameter
bervariasi (Fedele, 1992; Reinhold 1998)

Karena temuan ini mungkin susah, pengalaman operator mempengaruhi akurasi diagnostik berpengaruh
lebih dari kebanyakan patologi panggul lainnya. Selain itu, adanya penyakit bersamaan rahim lainnya
seperti leiomioma atau kanker endometrium juga membatasi akurasi. Dalam pengaturan ini, MR
pencitraan telah terbukti sangat akurat untuk diagnosis (lihat Gambar. 2-26).

GAMBARAN KLINIS

Sekitar sepertiga dari wanita dengan adenomiosis memiliki gejala. keparahan mereka berkorelasi
dengan meningkatnya jumlah fokus ektopik dan luasnya invasi (Levgur, 2000; Nishida, 1991; Sammour,
2002). Biasanya terdapat gejala Menorrhagia dan dismenore. Menorrhagia mungkin akibat dari
peningkatan dan vaskularisasi abnormal dari lapisan endometrium. Dismenore diduga disebabkan oleh
peningkatan produksi prostaglandin ditemukan dalam jaringan adenomyotic dibandingkan dengan
miometrium normal (Koike, 1992). Mungkin 10 persen mengeluhkan dispareunia. Karena adenomiosis
biasanya berkembang pada wanita parous tua di 40-an dan 50-an, infertilitas bukanlah keluhan umum
(Nikkanen, 1980)1 .

Tidak ada gejala yang patognomonis untuk adenomiosis sehingga menyebabkan rendahnya tingkat
akurasi diagnosisi preoperatif. Dalam sebuah studi dimana telah ditegakkan diagnosis patologis
adenomiosis yang dibuat dari spesimen histerektomi, 35% penderitanya tidak memiliki gejala yang khas.
Gejala adenomiosis yang umum yaitu menorragia, dismenorea dan pembesaran uterus. Gejala seperti
ini juga umum terjadi pada kelainan ginekologis yang lain. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu
dispareunia & nyeri pelvis yang kronis atau terus-menerus.

1. Asimtomatis

Ditemukan tidak sengaja (pemeriksaan abdomen atau pelvis; USG transvaginal atau MRI; bersama
dengan patologi yg lain)
2. Perdarahan uterus abnormal Dikeluhkan perdarahan banyak, berhubungan dengan beratnya proses
adenomiosis (pada 23-82% wanita dengan penyakit ringan – berat) Perdarahan ireguler relatif jarang,
hanya terjadi pada 10% wanita dengan adenomiosis

3. Dismenorea pada >50% wanita dengan adenomiosis

4. Gejala penekanan pada vesica urinaria & usus dari uterus bulky (jarang)

5. Komplikasi infertilitas, keguguran, hamil (jarang)

Perdarahan banyak berhubungan dengan kedalaman penetrasi dari kelenjar adenomiosis ke


dalam miometrium dan densitas pada gambaran histologis dari kelenjar adenomiosis di dalam
miometirum. Kedalaman adenomiosis dan hubungannya dengan perdarahan banyak menentukan
pilihan strategi penatalaksanaannya. McCausland menunjukkan bahwa dari biopsi reseksi endometrium,
kedalaman penetrasi adenomiosis ke dalam miometrium berhubungan dengan jumlah perdarahan
banyak yang dilaporkan. Sehingga pada adenomiosis superfisial dilakukan reseksi atau ablasi
endometrium. Sedangkan pada kasus adenomiosis yang lebih dalam atau dengan perdarahan banyak
yang berlanjut, perlu dilakukan penatalaksanaan bedah konvensional yaitu histerektomi. 7,9,10

DIAGNOSIS BANDING

Gejala mungkin seperti pada penderita leiomioma, kanker endometrium, endometriosis, dan penyakit
radang panggul kronis. Kanker endometrium, hipertrofi miometrium, atau kontraksi uterus mungkin
tampak seperti ademiosis difus pada pencitraan sonografi. Adenomiosis fokal dapat memberikan
karakteristik sonografi leiomyomas.

PENATALAKSANAAN

Tatalaksana adenomiosis bergantung pada usia pasien dan fungsi reproduksi selanjutnya. Dismenorea
sekunder yang diakibatkan oleh adenomiosis dapat diatasi dengan tindakan histerektomi, akan tetapi
perlu dilakukan intervensi noninvasif terlebih dahulu. Obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID), obat
kontrasepsi oral dan progestin telah menunjukkan manfaat yang signifikan. Penanganan adenomiosis
pada prinsipnya sesuai dengan protokol penanganan endometriosis. 10,11

a. Terapi Hormonal

Pemberian terapi hormonal pada adeomiosis tidak memberikan hasil yang memuaskan. Tidak ada bukti
klinis yang menunjukkan adanya manfaat terapi hormonal dapat mengatasi infertilitas akibat
adenomiosis. Pemberian obat hormonal hanya mengurangi gejala dan efeknya akan hilang setelah
pemberian obat dihentikan. Obat hormonal yang paling klasik adalah gonadotrophin releasing hormone
agonist(GnRHa), yang dapat dikombinasikan dengan terapi operatif. Mekanisme kerja GnRHa adalah
dengan menekan ekspresi sitokrom P450, suatu enzim yang mengkatalisis konversi androgen menjadi
estrogen. Pada pasien dengan adenomiosis dan endometriosis enzim ini diekpresikan secara belebihan. 5

b. Terapi Operatif
Sampai saat ini histerektomi merupakan terapi definitif untuk adenomiosis. Indikasi operasi antara lain
ukuran adenomioma lebih dari 8 cm, gejala yang progresif seperti perdarahan yang semakin banyak dan
infertilitas lebih dari 1 tahun walaupun telah mendapat terapi hormonal konvensional. Suatu teknik
operasi baru telah dipublikasikan oleh Osada pada tahun 2011. Dengan teknik adenomiomektomi yang
baru ini, jaringan adenomiotik dieksisi secara radikal dan dinding uterus direkonstruksi dengan teknik
triple flap. Teknik ini diklaim dapat mencegah ruptur uterus apabila pasien hamil. Dalam penelitian
tersebut, dari 26 pasien yang mengharapkan kehamilan, 16 di antaranya berhasil dan 14 dapat
mempertahankan kehamilannya hingga aterm dengan bayi sehat tanpa penyulit selama kehamilan.
Akan tetapi teknik ini belum diterima secara luas karena masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. 5
ENDOMETRIOSIS

Definisi

Endometriosis uteri adalah suatu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di
luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar kelenjar dan stroma terdapat di dalam
myometrium ataupun di luar uterus, bilajaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut
adenomiosis. 12

Endometriosis adalah gangguan ginekologi jinak umum yang didefinisikan sebagai adanya jaringan
kelenjar endometrium dan stroma di luarlokasi normal. Endometriosis paling sering ditemukan pada
peritoneum panggul, tetapi dapat juga ditemukan di ovarium, septum rektovaginal, ureter, namun jarang
ditemukan di vesikaurinaria, perikardium, dan pleura. 13, 14

Endometriosis adalah kelainan ginekologis yang ditandai dengan adanya pertumbuhan lapisan
endometrium secara ektopik yang ditemukan di luar uterus. Secara lebih spesifik lagi dijelaskan sebagai
suatu keadaan dengan jaringan yang mengandung unsur – unsur stroma dan unsur granular endometrium
khas terdapat secara abnormal pada berbagaitempat di dalam rongga panggul atau daerah lain pada tubuh.
12

Endometriosis adalah suatukelainan di mana dijumpai adanya kelenjar dan stroma endometrium di luar
rongga uterus.15 Lokalisasi sebaran endometrium dapat terjadi di ovarium (dalam bentuk kista cokelat),
peritoneum (sekitar uterus yang menyebabkan infertilitas), septum rektovaginalis, umbilicus, appendiks,
bekas luka (episiotomy, laparotomi / seksiosesaria). 16

EPIDEMIOLOGI

Endometriosis paling sering ditemukan pada perempuan melahirkan di atas usia 30 tahun disertai dengan
gejala menoragia dan dismenore yang progresif. Kejadian adenomiosis bervariasi antara 8-40% dijumpai
pada pemeriksaan dari semua specimen histerektomi. Dari 30% pasien ini diketemukan adanya
endometriosis dalam rongga peritoneum secara bersamaan. 12

Angka kejadiannya berkisar 13,6- 69,5% pada kelompok infertilitas. Pada pasangan infertile dijumpai
25% diakibatkan oleh endometriosis, sedangkan pada kasus infertilitas idiopatik penyakit ini dijumpai
80%. 17

The Endometriosis Association Research Registry melakukan penelitian retrospektif terhadap 3020 kasus
endometriosis dan menemukan 2-4 % pada usiareproduksi, 40.6 % di usia< 20 tahun, 42.9 % di usia 20-
29 tahun dan 16.5 % pada usia 30-39 tahun. Usia rata-rata penderita endometriosis adalah 25-35 tahun
dan jarang pada pasca menopause.18

Endometriosis secara signifikan memberikan pengaruh terhadap kehidupan wanita, baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam produktivitas kerja. Dari penelitian yang dilakukan pada 16 rumah sakit di 10
negara, tahun 2008 sampai 2010, pada 3 grup pasien, endometriosis, dan 2 grup control yaitu pasien yang
mempunyai gejala namun tidak terdapat endometriosis, dan pasien yang telah menjalani sterilisasi,
didapatkan bahwa kesehatan fisik pasien dengan endometriosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien
yang memiliki gejala yang sama namun tidak terdiagnosis endometriosis. 19
Sebagai gambaran epidemiologi endometriosis dikemukakan bahwa kejadian endometriosis akan
meningkat bila wanita mengalami polimenorea dan durasi menstruasi panjang, terjadi retrograde
menstruasi makin besar. Keluhan dismenorea dan infertilitas menonjol pada endometriosis. 16

Insiden endometriosis berkisar 5-15% pada perempuan pramenopause. Endometriosis merupakan


penyebab pada seperempat laparotomy ginekologi dan dijumpai pada 50% perempuan yang menjalani
pembedahan untuk infertilitas. Usia rata-rata adalah 28 tahun (dengan rentang 10-83 tahun), walaupun
75% kasus terjadi pada perempuan yang berusia 25 dan 50 tahun. 20

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor yang dapat menimbulkan endometriosis adalah : 16

1) Menarche lebih dini meningkatkan endometriosis

2) Gangguan outflow darah menstruasi

- Regurgitasi darah menuju peritoneum

- Reinplantasi sel endometrium menimbulkan manifestasi kliniknya

3) Kemungkinan faktor heriditer

- Dalam keluarga dijumpai sejumlah kejadian endometriosis

- Endometriosis dihubungkan dengan human leukocyte antigen (HLA)

ETIOLOGI

Etiologi endometriosis belum diketahui. Sampson mengajukan teori regurgitasi transtuba darah
haid dan implantasi bahwa darah menstruasi mengalir ke dalam kavum abdomen. 20 Sel endometrium
dapat tertanam tumbuh dan hidup. Rangsangan hormonal berpengaruh sehingga terjadi proses mengikuti
siklus menstrausi.21

Penyebaran secara limfogen dari Halban menyatakan bahwa sel endometrium masuk ke sirkulasi
aliran limfa dan menyebar pada beberapa tempat. Sel hidup dan mendapat rangsangan estrogen dan
progeston dalam proses siklus menstruasi. Dengan mengikuti pengaruh rangsangan estrogen dan
progesteron, di tempat implantasi endometrium terjadi timbunan darah dan sel endometrium yang
menyebabkan desakan dan menimbulkan rasa nyeri sesuai dengan fase menstruasi. Rasa nyeri terjadi
karena vaskularisasi yang meningkat dan deskuamasi struma dan sel jaringan endometrium. 21

Beberapa peneliti memperkirakan bahwa endometriosis dapat disebabkan oleh penurunan respons
imun selular terhadap antigen-antigen endometrium. 20 Menurunnya sistem sel immunitas disebabkan oleh
terjadinya peningkatan makrofag.16 Peningkatan jumlah makrofag dan monosit terdapat di dalam cairan
peritoneum, yang teraktivasi menghasilkan faktor pertumbuhan dan sitokin yang merangsang tumbuhnya
endometrium ektopik.15

KLASIFIKASI
Sistem klasifikasi untuk endometriosis pertama kali dibuat oleh American Fertility Society (AFS)
pada tahun 1979, yang kemudian berubah nama menjadi ASRM pada tahun 1996, klasifikasi ini
kemudian direvisi oleh AFS tahun 1985. Revisi ini memungkinakan pandangan tiga dimensi dari
endometriosis dan membedakan antara penyakit superfisial dan invasif. Sayangnya, penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa kedua klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik. Pada tahun 1996,
dalam usaha untuk menemukan hubungan lebih lanjut penemuan secara operasi dengan keluaran klinis,
ASRM lalu merevisi sistem klasifikasinya, yang dikenal dengan sistem skoring revised-AFS (r-AFS).
Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni:

Stadium I (minimal) : 1-5

Stadium II (ringan) : 6-15

Stadium III (sedang) : 16-40

Stadium IV (berat) : >40

Gambar. Klasifikasi endometriosis menurut ASRM, revisi 1996

Menurut ASRM, Endometriosis dapat diklasifikasikan kedalam 4 derajat keparahan tergantung pada
lokasi, luas, kedalaman implantasi dari sel endometriosis, adanya perlengketan, dan ukuran dari
endometrioma ovarium. 22
Gambar. Pembagian stadium endometriosis

Klasifikasi Enzian score dapat juga digunakan sebagai instrumen untuk mengklasifikasikan endometriosis
dengan infiltrasi dalam, terutama difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang berat. Pada
penelitian ini, didapatkan 58 pasien yang menurut Enzian Score diklasifikasikan sebagai endometriosis
dengan infiltrasi dalam, namun pada AFS revisi tidak didiagnosis demikian. 23
Gambar. Klasifikasi Endometiosis Enzian Score (Fertil-Steril 2011)

GEJALA KLINIS

Gejala endometriosis menurut American Fertility Society berupa nyeri haid: Banyak wanita
mengalami nyeri pada saat haid normal. Bila nyeri dirasakan berat maka disebut dysmenorrhea dan
mungkin menjadi penyebab endometriosis atau tipe lain dalam patologi pelvik seperti uteri fibroid atau
adenomiosis. Nyeri berat juga dapat menyebabkan mual-mual, muntah, dan diare. Dysmenorrhea primer
terjadi saat awal terjadinya menstruasi, kemudian cenderung meningkat selama masa reproduktif atau
setelah masa reproduktif. Dysmenorrhea sekunder terjadi setalah kehidupan selanjutnya dan mungkin
akan terus meningkat dengan umur. Ini mungkin menjadi sebuah tanda peringatan dari endometriosis,
walaupun beberapa wanita dengan endometriosis tidak merasa nyeri. 24

Nyeri saat berhubungan pada endometriosis dapat menyebabkan rasa nyeri selama dan setelah
berhubungan, kondisi ini diketahui sebagai dysparenuria. Penetrasi dalam dapat menghasilkan rasa nyeri
di batasan ovarium dengan jaringan otot di bagian atas vagina. Rasa nyeri disebabkan adanya nodul lunak
endometriosis di belakang uterus atau pada ligamen, yang berhubungan dengan serviks. Nyeri pelvis
sering ditemukan pada pasien endometriosis, beberapa kasus nyeri pada pasien tidak hanya dikaitkan
dengan periode menstruasi atau aktifitasi seksual, tetapi seringkali nyeri yang dirasakan merupakan nyeri
yang kronik dan rasa tidak nyaman pada bagian bawah pelvis disertai nyeri yang terusmenerus. Nyeri
pada pelvis dihubungkan dengan adanya adhesi dan ditemukannya jaringan parut pada pelvis. Penyebab
yang pasti pada nyeri masih belum jelas, namun adanya substansi sitokin dan prostaglandin yang
dihasilkan oleh implan endometriotik ke cairan peritoneal merupakan salah satu penyebab. Nyeri
punggung bawah pda endometriosis yang terjadi pada ligament uterosacral dapat menghasilkan nyeri
yang menjalar hingga ke punggung bagian belakang. Nyeri dari uterus juga dapat menjalar ke area
tersebut.25

Gejala klasik dari endometriosis meliputi dysmenorea, dyspareunia, dyschezia dan atau
infertilitas. Menurut penelitian kasus control di Amerika Serikat, gejala seperti nyeri abdomen,
dysmenorrhea, menorrhagia, dan dyspareunia mempunyai hubungan dengan endometriosis. Sebanyak
83% wanita dengan endometriosis mengeluhkan salah satu atau lebih gejala tersebut, sedangkan hanya
29% wanita tanpa endometriosis yang mengeluhkan gejala tersebut. 22

Tabel 3.1. Gejala klinik pasien endometriosis 26

Gejala endometriosis eksternal

Kejadian katamenial adalah kejadian yang biasanya terjadi pada wanita dengan endometriosis.
Meskipun kejadian ini jarang terjadi, namun juga sering menimbulkan permasalahan lainnya. Beberapa
katamenial yang dapat terjadi pada kelainan endometriosis yaitu pneumothoraks, hemoptysis, dan
endometriosis pada organ peritoneum lainnya. Kasus yang telah dilaporkan, terdapat endometriosis pada
rektal yang menyebabkan obstruksi, endometriosis pada kolon sigmoid yang menyebabkan gejala hampi
sama dengan kanker kolon. Pada endometriosis yang menyerang organ usus, gejala yang biasanya timbul
meliputi perdarahan, obstruksi usus, namun jarang dengan perforasi maupun mengarah kepada
keganasan. Gejala dapat timbul pada 40% pasien, dan rasa nyeri bervariasi tergantung pada tempat
terjadinya endometriosis. Gejala yang disampaikan oleh pasien seperti nyeri perut, distensi, diare,
konstipasi, dan tenesmus.27

Jenis nyeri pada endometriosis

Jenis nyeri pada endometriosis dapat berupa nyeri saat haid, nyeri saat berhubungan seksual
(dyspareuni), nyeri saat berkemih (dysuria), nyeri saat buang air besar (dyschezia), nyeri panggul, dan
nyeri perut bagian bawah, Wanita dengan endometriosis dilaporkan lebih sering mengeluhkan nyeri yang
berdenyut, menjalar sampai ke kaki dan nyeri menggerogoti. Selain itu pasien dengan endometriosis juga
mengeluhkan rasa nyeri pada rektum dan sensasi perut tertarik ke bawah. Intensitas nyeri pada
endometriosis tidak berbeda dengan nyeri yang disebabkan oleh kelainan lainnya. Namun didapatkan
perbedaan intensitas nyeri pada wanita dengan endometriosis yang berat dan ringan. Pada wanita dengan
endometriosis berat, sering didapatkan dyschezia (nyeri saat buang air besar) dibandingkan pada wanita
dengan endometriosis ringan. Area nyeri pada endometriosis tidak dapat dibedakan dengan area nyeri
yang disebabkan oleh kelainan lain. Namun pada pasien dengan endometriosis, rata-rata mengeluhkan
nyeri pada area abdomen yaitu suprapubik, umbilicus, iliaka kanan dan kiri, serta sacrum. 10, 28
Jenis nyeri dan lokasi lesi endometriosis

Endometriosis dapat timbul dalam berbagai bentuk di dalam pelvis, termasuk di dalamnya vesikel
jernih, lesi merah menyala, lesi berpigmen gelap dengan hemosiderin dan skar putih, yang dapat
berkontribusi terhadap nyeri melalui mekanisme yang berbeda-beda. Secara umum, belum ada hubungan
yang pasti antara gejala dan perkembangan penyakit, lokasi dan tipe dari endometriosis yang dapat
mempengaruhi nyeri pelvis. 29

Chapron dkk, menunjukkan bahwa jenis lesi menentukan nyeri. Dismenorea lebih konsisten pada
jenis lesi susukan dalam, sementara endometrioma jarang menimbulkan nyeri. Adamson menyatakan
sulitnya menentukan derajat endometriosis dari beratnya nyeri. Ukuran lesi menentukan tingkat nyeri
pada lesi susukan dalam. Tidak ditemukan korelasi antara derajat endometriosis menurut beberapa
klasifikasi dengan tingkat nyeri.

Perlu diketahui berbagai bentuk endometriosis, yakni endometriosis peritoneum (superfisial),


kista endometriosis (endometrioma), dan deep endometriosis (lesi susukan dalam). Lokasi lesi
endometriosis akan mempengaruhi gejala klinis yang muncul pada pasien. Endometriosis susukan dalam
pada panggul posterior berhubungan dengan keparahan diskezia dibandingkan dengan wanita tanpa
endometriosis susukan dalam. Lesi di septum rektovagina berhubungan dengan gejala diskezia dan
dyspareunia.22

Vercellini dkk mendapatkan adanya kaitan yang kuat antara lesi pada kavum douglas dengan
dyspareunia (OR 2.64, IK 95% 1,68 – 4,24). Korelasi antara stadium dan beratnya gejala hanya
didapatkan pada gejala dismenore (rasio odds 1.33, IK 95% 1.04-1.71). Namun keterkaitan antara
stadium dengan beratnya gejala hanya marjinal dan inkonsisten. 29

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi pada vagina menggunakan
spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan
bimanual dapat menilai ukuran, posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan
untuk mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada atau tidaknya
nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan peluang mendeteksi nodul endometriosis
dan juga menilai nyeri.30

Menurut penelitian histologi pada 98 pasien dengan endometriosis di retrosigmoid dan retro-
serviks, pemeriksaan dalam memiiki sensitivitas 72% dan 68% secara berurutan, spesifitas 54% dan 46%,
nilai prediktif positif 63% dan 45%, nilai prediktif negatif 64% dan 69%, dan akurasi 63% dan 55%. 31

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis endometriosis ialah: ultrasonografi (USG),
magnetic resonance imaging (MRI), pemeriksaan serum CA 125, bedah laparaskopi, dan pemeriksaan
patologi anatomi. 32,33

Ultrasonografi
Ultrasonografi vaginal merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama yang mempunyai akurasi cukup
baik terutama dalam mendeteksi kista endometriosis. USG tidak memberikan hasil baik untuk
pemeriksaan endometriosis peritoneal. Pada endometriosis dalam, angka sensitifitas dan spesifisitasnya
bervariasi tergantung lokasi lesi endometriosis.

Moore dkk melakukan review sistematis mengenai akurasi ultrasonografi dalam mendiagnosis
endometriosis. Sensitifitas dan spesifisitas ultrasonografi tanpa Doppler dapat dilihat pada table. 34

Tabel. Sensitifitas dan Spesifisitas Ultrasonografi dalam diagnosis endometrioma 34

Ultrasonografi transvaginal juga dapat digunakan untuk mendiagnosis endometriosis pada traktus
gastrointestinal. Dari review sistematis 1105 wanita didapatkan sensitivitas USG adalah 91 % dengan
spesifisitas 98%, nilai duga positif 98% dan nilai duga negatif 95%.

Magnetic Resonance Imaging

Pada serial kasus yang dilaporkan oleh Stratton dkk mengenai penggunaan MRI untuk
mendiagnosis endometriosis peritoneum, didapatkan sensitifitas 69% dan spesifisitas 75%. Sebagai
kesimpulan MRI tidak berguna untuk mendiagnosis atau mengeksklusi endometriosis peritoneum.

Pemeriksaan Marka Biokimiawi

Endometriosis merupakan kelainan yang disebabkan oleh inflamasi. Sitokin, interleukin, dan
TNF-α mempunyai peran dalam pathogenesis endometriosis. Hal ini dilihat dari meningkatnya sitokin
dalam cairan peritoneal pada pasien dengan endometriosis. Pemeriksaan IL-6 telah digunakan untuk
membedakan wanita dengan atau tanpa endometriosis, dan untuk mengidentifikasi derajat dari
endometriosis.

Pada penelitian yang dilakukan pada 95 wanita, yang dibagi dalam kelompok kontrol (30 orang), dan
kelompok pasien dengan endometriosis (65) yang terbagi dalam 2 derajat nyeri yaitu, ringan-sedang
(MM) dan berat (MS), didapatkan bahwa serum IL6 dan TNF-α secara signifikan meningkat pada pasien
dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol (P < 0,001). Serum IL-6 dan TNF-α secara signifikan
meningkat pada pasien dengan endometriosis MM, dibandingkan dengan pasien kontrol (P < 0,001) dan
dengan pasien endometriosis derajat MS (P < 0,006). Sedangkan serum CA-125, Hs-CRP dan VEGF
secara signifikan meningkat pada pasien dengan endometriosis dengan endometriosis derajat MS
dibandingkan dengan pasien derajat MM (P <0,01). Sehingga dapat disimpulkan bahwa IL-6 dan TNF-α
merupakan penanda yang baik untuk diagnosis endometriosis gejala ringan-sedang, karena penanda
tersebut meningkat pada derajat awal endometriosis. Sedangkan CA125, Hs-CRP dan VEGF secara
signifikan meningkat pada kasus yang sudah lama terjadi, sehingga tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis kasus baru endometriosis. Pada peneliatian ini, pemeriksaan dilakukan pada sampel darah
yang diambil dari pasien pada saat puasa dan fase folekuler (hari ke 5-10), dan sampel cairan peritoneum
yang diambil dari kavum douglas. 35

Pemeriksaan serum CA 125

Serum CA 125 adalah petanda tumor yang sering digunakan pada kanker ovarium. Pada
endometriosis juga terjadi peningkatan kadar CA 125. Namun, pemeriksaan ini mempunyai nilai
sensitifitas yang rendah. Kadar CA 125 juga meningkat pada keadaan infeksi radang panggul, mioma, dan
trimester awal kehamilan. CA 125 dapat digunakan sebagai monitor prognostik pascaoperatif
endometriosis bila nilainya tinggi berarti prognostik kekambuhannya tinggi. Bila didapati CA 125 > 65
mIU/ml praoperatif menunjukkan derajat beratnya endometriosis. 15

Bedah Laparoskopi

Laparoskopi merupakan alat diagnostik baku emas untuk mendiagnosis endometriosis. Lesi aktif
yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi yang sudah lama berwarna merah kehitaman. Lesi
nonaktif terlihat berwarna putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium dapat
terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isinya berwarna cokelat kehitaman sehinggga juga
diberi nama kista cokelat. Sering endometriosis ditemukan pada laparoskopik diagnostik, tetapi pasien
tidak mengeluh.15

Pemeriksaan Patologi Anatomi

Pemeriksaan pasti dari lesi endometriosis adalah didapatkan adanya kelenjar dan stroma endometrium. 15

TATALAKSANA

1. Penanganan Medis

Pengobatan endometriosis sulit mengalami penyembuhan karena adanya risiko kekambuhan. Tujuan
pengobatan endometriosis lebih disebabkan oleh akibat endometriosis itu seperti nyeri panggul dan
infertilitas.15 Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen, sehingga salah
satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon menggunakan obatobatan untuk mengobatinya.
Saat ini, pil kontrasepsi, progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis obat-obatan yang
sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
masing-masing obat tersebut setara dalam pengobatan endometriosis, sehingga jenis obat yang digunakan
harus mempertimbangkan preferensi pasien, efek samping ,biaya dan ketersediaan obat tersebut.

1. Pil Kontrasepsi Kombinasi

Cara Kerja

Pil kontrasepsi kombinasi bekerja pada kelainan endometriosis dengan cara menekan LH dan FSH serta
mencegah terjadinya ovulasi dengan cara menginduksi munculnya keadaan pseudo-pregnancy. Selain itu
penggunaan pil kontrasepsi kombinasi juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi implant
endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium eutopik pada wanita dengan
endometriosis.10, 36

Pemilihan Jenis Pil Kontrasepsi

Penggunaan pil kontrasepsi kombinasi merupakan pilihan yang efektif untuk mengurangi gejala yang
ditimbulkan oleh endometriosis. Terapi ini juga aman dan dapat digunakan jangka panjang pada wanita
yang tidak ingin memiliki anak dan membutuhkan kontrasepsi. 10

Efektifitas

Cochrane review 2009 menilai pemberian pil kontrasepsi kombinasi dalam pengobatan nyeri terkait
endometriosis. Didapatkan hasil dalam follow up 6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok
PKK dengan kelompok GnRH analog mengenai efektifitas dalam mengobati dismenorea (OR 0.48; IK
0.08 – 2.90) . Hasil yang sama juga didapatkan untuk nyeri yang tidak terkait menstruasi (OR 0.93; IK
0.25-3.53) dan dyspareunia (OR 4.87; IK 0.96-24.65) .34

Evidence Based

Klinisi dapat memberikan kontrasepsi oral kombinasi karena mengurangi dyspareunia, dismenore dan
nyeri tidak terkait menstruasI.

2. Progestin

Cara kerja

Tidak seperti estrogen, progesteron memilik efek antimitotik terhadap sel endometrium, sehingga
memiliki potensi dalam pengobatan endometriosis. Progestin turunan 19-nortestosteron seperti dienogest
memiliki kemampuan utnuk menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan produksi PGE2 pada
kultur sel endometriosis. Biopsi percontoh jaringan endometrium dari wanita yang diobati dengan LNG
IUS selama 6 bulan menunjukkan ekspresi reseptor estrogen yang berkurang, menurunnya indeks
proliferasi sel dan peningkatan ekspresi Fas. 37

Pemilihan jenis progestin

Preparat progestin terdapat dalam bentuk preparat oral, injeksi dan LNG-IUS. Selain bentuk, preparat
progestin juga dapat dibagi menjadi turunan progesteron alami (didrogesteron, medroksiprogesteron
asetat) dan turunan C-19-nortestosteron (noretisteron, linestrenol, desogestrel). 38

Noretindron asetat, 5 sampai 20 mg per hari, efektif pada sebagian besar pasien dalam meredakan
dismenorea dan nyeri panggul menahun. Efek samping yang ditimbulkan termasuk nyeri payudara dan
perdarahan luruh.39 Progestin intramuskular dan subkutan yang diberikan setiap 3 bulan diketahui efektif
dalam menekan gejala endometriosis.38

Levonorgestrel 20 mg per hari yang terkandung dalam LNG-IUS akan berefek pada atrofi endometrium
dan amenorea pada 60% pasien tanpa menghambat ovulasi. 39 Didrogesteron 5-10 mg per hari sampai
dengan 4 bulan telah diteliti efektif untuk meredakan gejala endometriosis. Penelitian desogestrel 75 mg
per hari diketahui efektif menurunkan skala nyeri panggul (VAS) dibandingkan dengan kontrasepsi oral. 40
Dienogest merupakan progestin selektif yang mengkombinasikan 19-norprogestin dan turunan
progesteron sehingga hanya memberikan efek lokal pada jaringan endometrium. Tidak seperti agen 19-
norprogestin lainnya, dienogest memiliki efek androgenik yang rendah, bahkan memiliki efek
antiandrogenik yang menguntungkan sehingga hanya memberikan efek yang minimal terhadap perubahan
kadar lemak dan karbohidrat.41

Tabel. Sifat dienogest berdasarkan strukturnya

Tabel. Aktifitas biologis progesterone dan progestogen


* TE, Tidak ada Efek, + tidak memberikan efek atau efek ringan, + memberikan efek sedang, ++
memberikan efek yang kuat **17 os-OH, 17-hydroxyprogesterone derivates Pemilihan jenis progestin
yang digunakan harus mempertimbangkan efek androgenik, efek antimineralokortikoid dan efek
glukokortikoid (lihat tabel di atas).

Efektifitas

Review sistematis Cochrane melakukan kajian mengenai efektifitas progestin atau anti progestin dalam
pengobatan nyeri akibat endometriosis. Kajian ini meliputi 2 RCT yang membandingkan progestin
dengan placebo dan 8 penelitian yang membandingkan dengan pengobatan lainnya. Dari penelitian yang
membandingkan dengan placebo, satu penelitan memberikan hasil yang bermakna namun penelitian
kedua tidak memberikan hasil yang bermakna.42

Dienogest dengan dosis harian 2mg telah dibuktikan bermakna dalam mengurangi nyeri pelvik dan nyeri
haid yang terkait endometriosis. Dienogest juga setara dengan GnRH agonis dalam pengobatan nyeri
endometriosis.39

Terdapat tiga penelitian yang menilai efek penggunaan LNG IUS terhadap gejala terkait endometriosis.
Penelitian pertama oleh Petta dkk membandingkan LNG IUS dengan leuprolide asetat. Didapatkan
penurunan bermakna skor VAS setelah 6 bulan pada kedua kelompok dan tidak ada perbedaan antar
kelompok tersebut. Penelitian kedua oleh Gomes dkk menilai efek LNG IUS pada stadium ASRM yang
menemukan penurunan yang bermakna skor nyeri pelvik setelah 6 bulan dan tidak ada perbedaan antara
LNG IUS dengan leuprolide asetat. Fereira dkk pada 2010 juga mendapatkan penurunan skor nyeri dan
tidak ada perbedaan antar LNG IUS dengan GnRH analog. 22

Evidence

Based Klinisi direkomendasikan menggunakan progestin (DMPA, MPA, dienogest, cyproterone asetat)
sebagai salah satu pilihan untuk mengurangi nyeri akibat endometriosis (Rekomendasi A).

LNG IUS juga dapat menjadi pilihan dalam mengurangi nyeri terkait endometriosis (Rekomendasi A)
Dalam pemilihan preparat progestin, klinisi harus mempertimbangkan profil efek samping masing-masing
preparat tersebut.
3. Agonis GnRH

Cara kerja Pajanan GnRH yang terus menerus ke hipofisis akan mengakibatkan down-regulation reseptor
GnRH yang akan mengakibatkan berkurangnya sensitifitas kelenjar hipofisis. Kondisi ini akan
mengakibatkan keadaan hipogonadotropin hipogonadisme yang akan mempengaruhi lesi endometriosis
yang sudah ada. Amenore yang timbul akibat kondisi tersebut akan mencegah pembentukan lesi baru.
GnRH juga akan meningkatkan apoptosis susukan endometriosis. Selain itu GnRH bekerja langsung pada
jaringan endometriosis. Hal ini dibuktikan dengan adanya reseptor GnRH pada endometrium ektopik.
Kadar mRNA reseptor estrogen (ERα) menurun pada endometriosis setelah terapi jangka panjang. GnRH
juga menurunkan VEGF yang merupakan faktor angiogenik yang berperan untuk mempertahankan
pertumbuhan endometriosis. Interleukin 1A (IL-1A) merupakan faktor imunologi yang berperan
melindungi sel dari apoptosis.43

Efektifitas

Review Cochrane tahun 2010 membandingkan pemberian GnRH analog dalam mengobati nyeri yang
terkait endometriosis. Hasil menunjukkan bahwa GnRH analog lebih efektif dibandingkan placebo,
namun tidak lebih baik bila dibandingkan dengan LNG-IUS atau danazol oral. Tidak ada perbedaan
efektifitas bila GnRH analog diberikan intramuskuler, sub kutan atau intranasal. 44

Karena efek pemberian GnRH analog adalah efek hipoestrogenik, maka diperlukan pemberian estrogen
sebagai terapi add back. Hal ini didasari bahwa kadar estrogen yang diperlukan untuk melindungi tulang,
fungsi kognitif dan mengatasi gejala defisiensi estrogen lainnya lebih rendah dibandingkan kadar yang
akan mengaktifasi jaringan endometriosis. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa terapi add back
ini tidak mengurangi efektifitas GnRH analog. Pada pemberian GnRH analog dengan terapi add back
estrogen dan progestogen selama 6 bulan, densitas mineral tulang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemberian GnRH saja.30

Evidence Based

Klinisi dapat menggunakan GnRH analog (nafarelin, leuprolid, buserelin, goserelin atau triptorelin)
sebagai salah satu pilihan dalam mengurangi nyeri akibat endometriosis. (Rekomendasi A)

Klinisi dapat memberikan terapi hormone add-back saat memulai terapi GnRH analog untuk mencegah
hilangnya massa tulang dan timbulnya gejala hipoestrogenik. Pemberian terapi add back tidak
mengurangi efek pengobatan nyeri. (Rekomendasi A)

Tabel. Beberapa contoh obat Agonis GnRH


4. Danazol

Cara kerja

Danazol adalah androgen sintetik dan merupakan derivate 17α-ethynyl testosterone. Danazol
mempunyai beberapa mekanisme kerja diantaranya menginduksi amenorea melalui supresi terhadap aksis
Hipotalamus-PituitariOvarium (HPO), inhibisi steroidogenesis ovarium dan mencegah proliferasi
endometrium dengan mengikat reseptor androgen dan progesteron pada endometrium dan implan
endometriosis. Cara kerja lainnya termasuk menurunkan produksi High Density Lipoprotein (HDL),
penurunan produksi Steroid Hormone Binding Globulin (SHBG) di hati, dan menggeser posisi testosteron
dari SHBG menyebabkan peningkatan konsentrasi testosteron bebas. Atrofi dari endometrium dan implan
endometriosis terjadi sebagai konsekuensi dari kadar estrogen yang rendah dan androgen yang tinggi. 37, 45,
46

Efektifitas

Pemberian danazol mempunyai efek yang sebanding dengan GnRH analog dalam mengurangi
nyeri setelah pembedahan endometriosis stadium III dan IV. 38 Cochrane Review tahun 2009 melakukan
kajian terhadap 5 penelitian yang membandingkan danazol 3x200 mg dengan MPA oral 100 mg/hari dan
plasebo. Didapatkan perbaikan nyeri pasca pengobatan 6 bulan (weighted mean difference - 5,7) dan efek
tersebut menetap hingga 6 bulan pasca penghentian pengobatan (weighted mean difference -7,5). 45

Peningkatan berat badan, jerawat, nyeri kepala, perubahan distribusi kolesterol, gangguan fungsi
hati, atrofi vagina, perubahan endometrium dan siklus haid merupakan efek samping yang dapat timbul
pada penggunaan oral.37

Bhattacharya melakukan penelitian prospektif yang menilai pemberian danazol vaginal untuk
mengobati nyeri terkait endometriosis. Follow up 6 bulan pasca pengobatan didapatkan penurunan
bermakna dismenorea, dyspareunia dan nyeri pelvik (p<0,001). Tidak didapatkan perubahan pada profil
lipid dan fungsi hati pasca pengobatan 6 bulan.47

Evidence Based (Rekomendasi) Danazol dan gestrinon sebaiknya tidak digunakan, kecuali pada
wanita yang sudah dalam pengobatan dan tidak timbul efek samping terhadapnya atau apabila terapi lain
sudah terbukti tidak efektif (Rekomendasi kuat). 48

5. Aromatase inhibitor

Cara Kerja

Beberapa penelitian menunjukkan potensi mitogenik estradiol yang mendorong pertumbuhan dan proses
inflamasi di lesi endometriosis. Estrogen lokal dari lesi endometriosis berkaitan erat dengan ekspresi
enzim aromatase sitokrom P450. Kadar mRNA aromatase yang meningkat ditemukan pada lesi
endometriosis dan endometrioma ovarium. Karena peran penting enzim aromatase dan estrogen lokal
pada endometriosis, maka aromatase inhibitor dipikirkan menjadi pilihan terapi yang potensial pada
pasien dengan endometriosis.49

Efek Samping
Efek samping relatif ringan seperti nyeri kepala ringan, nyeri sendi, mual dan diare. Dibandingkan dengan
penggunaan GnRH analog, keluhan hot flushes lebih ringan dan lebih jarang. Penggunaan jangka panjang
dapat meningkatkan risiko osteopenia, osteoporosis dan fraktur. Data jangka panjang didapat dari wanita
yang diobati karena kanker payudara, dimana ditemukan kejadian fraktur berkisar dari 2,5 hingga 11
persen.49

Efektifitas

Dua kajian sistematis menilai potensi menggunakan aromatase inhibitor pada nyeri akibat endometriosis.
Kajian pertama oleh Patwardhan dkk pada tahun 2008 menilai 5 penelitian dimana 4 penelitian
menunjukkan efek yang signifikan pemberian aromatase inhibitor terhadap nyeri terkait endometriosis.
Namun kajian ini hanya mendapatkan penelitian dengan jumlah kasus yang sedikit dan hanya satu uji
klinis acak.22

Ferero dkk pada 2010 melakukan kajian sistematis yang menilai 7 penelitian pengobatan danazol pada
endometriosis. Didapatkan hasil letrozol oral yang dikombinasi dengan noretisteron asetat atau
desogestrel, anastrozol vaginal suposituria 250 ug/hari atau oral 1mg/hari dengan kombinasi pil
kontrasepsi kombinasi memberikan hasil penurunan bermakna nyeri terkait endometriosis pada wanita
pra-menopause.22

Evidence Based (Rekomendasi)

Pada wanita dengan endometriosis rektovagina yang tidak berhasil dengan terapi medis lain atau
pembedahan, klinisi dapat mempertimbangkan pemberian aromatase inhibitor yamg dikombinasikan
dengan progestin, pil kontrasepsi kombinasi atau GnRH analog. (Rekomendasi B)

Anti prostaglandin

Cara kerja

Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di cairan peritoneum dan lesi
endometriosis pada wanita dengan endometriosis. Sehingga di obat anti inflamasi non steroid banyak
digunakan dalam penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.

Efektifitas

Cobelis dkk melakukan uji klinis penggunaan penghambat COX-2 (rofecoxib) dibandingkan dengan
kontrol selama 6 bulan pada 28 pasien. Didapatkan penurunan yang bermakna pada dismenore,
dyspareunia dan nyeri pelvik kronik setelah pengobatan 6 bulan dibandingkan dengan placebo (p < 0.001)
.50

Allen dkk melakukan review sistematis mengenai peran antiinflamasi non steroid dalam mengurangi
nyeri terkait endometriosis. Disimpulkan bahwa masih belum cukup bukti yang menunjukkan OAINS
efektif dalam pengobatan nyeri terkait endometriosis. 22

Evidence Based (Rekomendasi)


Klinisi dapat mempertimbangkan penggunaan obat antiinflamasi non steroid atau analgetik lain untuk
mengurangi nyeri terkait endometriosis.

TATALAKSANA BEDAH NYERI ENDOMETRIOSIS

5.2.1 LUNA pada nyeri karena endometriosis

Prosedur LUNA (Laser Uterosacral Nerve Ablation) pada laparoskopi Prosedur ini adalah prosedur
melakukan ablasi atau eksisi sekitar 1,5-2 cm bagian ligamentum sakrouterina di insersi serviks. Prosedur
ini dimulai dengan memposisikan uterus anteversi menggunakan manipulator uterus, mengidentifikasi
ligamentum uterosakral yang kemudian salah satu atau keduanya dipotong dekat dengan insersinya di
serviks. Sebagian kecil ligamen diambil untuk pemeriksaan histologi dan konfirmasi adanya serabut saraf
didalamnya.52

Mekanisme LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis Dengan pembedahan ini diharapkan
terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri akan berkurang. 53

Efektivitas LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis Cochrane review tahun 2010 menilai
efektifitas pembedahan jalur saraf pelvik dalam penatalaksanaan dismenore primer dan sekunder.
Terdapat 4 uji klinis acak pada pasien endometriosis yang membandingkan LUNA dengan pembedahan
laparoskopi konservatif. Setelah follow up 6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antar kedua kelompok
dalam keluhan nyeri(OR 1.03, IK 95% 0.52-2.02). Dalam penilaian jangka panjang juga tidak
menunjukkan perbedaan (OR 0.77, IK 95% 0.43-1.39).53

Mekanisme LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis

Dengan pembedahan ini diharapkan terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri akan berkurang. 52

Efektivitas

LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis Cochrane review tahun 2010 menilai efektifitas
pembedahan jalur saraf pelvik dalam penatalaksanaan dismenore primer dan sekunder. Terdapat 4 uji
klinis acak pada pasien endometriosis yang membandingkan LUNA dengan pembedahan laparoskopi
konservatif. Setelah follow up 6 bulan tidak ada perbedaan bermakna antar kedua kelompok dalam
keluhan nyeri(OR 1.03, IK 95% 0.52-2.02). Dalam penilaian jangka panjang juga tidak menunjukkan
perbedaan (OR 0.77, IK 95% 0.43-1.39).52

Evidence based

penggunaan LUNA dalam menekan nyeri karena endometriosis Klinisi sebaiknya tidak melakukan
LUNA sebagai prosedur tambahan pembedahan konservatif dalam menangani nyeri terkait endometriosis
(Rekomendasi A)

Laparoskopi pre-sacral neurectomy pada nyeri karena endometriosis

Prosedur pre-sacral neurectomy pada laparoskopi


Saraf presakral merupakan bagian retroperitoneal superior dari pleksus hipogastrika, berada di bawah
bifurkasio aorta kurang lebih 3-4 cm mengarah ke sacrum. Prosedur bedah PSN adalah melakukan eksisi
jaringan saraf antara peritoneum dan periosteum sebanyak paling tidak 2 cm. 31

Mekanisme pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena endometriosis

PSN akan memutus saraf sensorik, dan melibatkan pemutusan jalur persarafan yang lebih banyak
dibandingkan LUNA. 52

Efektivitas pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena endometriosis

Cochrane review 2010 oleh Proctor menilai presacral neurectomy (PSN) dalam terapi pembedahan
endometriosis dibandingkan dengan pembedahan konservatif. Dalam follow up 6 bulan didapatkan
perubahan nyeri yang signifikan pada kelompok PSN (OR 4.52, IK 95% 1.84-11.09). Pada follow up 12
bulan juga didapatkan perbedaan bermakna (OR 3.14, IK 95% 1.59-6.21). 52

Pembedahan dengan PSN memiliki risiko efek samping yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pembedahan konservatif. Pada kelompok pembedahan konservatif tidak dilaporkan adanya efek samping ,
namun pada kelompok PSN dilaporkan 13 wanita dengan keluhan konstipasi, 3 wanita dengan urgency
dan dua wanita tidak merasakan nyeri pada persalinan (OR 14.6, IK 95% 5.0-42.2) . 52

Evidence based penggunaan pre-sacral neurectomy dalam menekan nyeri karena endometriosis

Pre-sacral neurectomy merupakan prosedur tambahan yang efektif untuk mengurangi nyeri terkait
endometriosis, namun membutuhkan keterampilan yang khusus dan mempunyai risiko yang besar (center
of excellence) (Rekomendasi A)

Laparoskopi eksisi lesi endometriosis susukan dalam

Prosedur eksisi lesi endometriosis susukan dalam

Endometriosis susukan dalam didefinisikan sebagai massa padat yang terletak lebih dari 5 mm di dalam
peritoneum.53

Endometriosis susukan dalam dapat mengenai ligamentum sakrouterina, dinding pelvis, septum
rektovagina, vagina, usus, kandung kemih atau ureter. 22

Letak dari lesi endometriosis susukan dalam akan mempengaruhi langkah pembedahan yang dilakukan.
Ligamentum sakroterina merupakan lokasi paling sering, didapatkan pada 83 persen kasus. Bila
ditemukan lesi tindakan eksisi sudah mencukupi. Namun apabila lesi didapatkan pada kedua sisi
ligamentum sakrouterina, eksisi nodul bilateral mempunyai risiko cidera saraf hipogastrika dengan
komplikasi kesulitan berkemih. Pada kasus endometriosis pada septum rektovagina, pembedahan dimulai
melalu fossa pararektal yang avaskuler. Dilakukan diseksi dari daerah ini mengarah ke kaudal dengan
tujuan mencari jaringan yang masih sehat, setelah itu baru dilakukan diseksi mengarah ke dinding anterior
rektum. Setelah rektum dilepaskan, nodul endometriosis dapat dieksisi dari dinding posterior vagina.
Apabila endometriosis melibatkan traktus gastrointestinal, terapi pembedahan harus dilaksanakan oleh
tim multidisiplin. Pendekatan pembedahan dapat bersifat radikal (reseksi komplit lesi untuk mencegah
kekambuhan) atau pendekatan konservatif. Teknik shaving bertujuan untuk melakukan reseksi lesi pada
serosa atau hingga tunika muskularis. 54

Mekanisme eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan nyeri karena endometriosis

Lesi endometriosis susukan dalam dan serat saraf yang menginervasi pembuluh darah disekitar lesi
berpengaruh pada rasa nyeri. Serat saraf menjadi lebih sensitif dan tersensitisasi dan selanjutnya
memodulasi otak.

Tindakan pembedahan eksisi lesi endometriosis susukan dalam akan menghilangkan lesi endometriosis
dan pada gilirannya akan menurunkan intensitas nyeri.

Efektivitas eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan nyeri karena endometriosis

Kajian sistematis Meuleman dkk menilai 49 artikel mengenai pembedahan endometriosis susukan dalam.
Didapatkan perbaikan nyeri dan kualitas hidup, angka komplikasi sekitar 5- 25 persen dan angka
rekurensi 5-25 persen. Namun sebagian besar data didapatkan secara retrospektif dengan disain penelitian
yang tidak seragam.22

De Cicco dkk melakukan kajian sistematis pada 34 artikel mengenai reseksi usus segmental pada kasus
endometriosis susukan dalam. Hasil follow up setelah satu tahun didapatkan nyeri berkurang antara 71,4
– 93,6% wanita. Rekurensi gejala dalam periode follow up 2-5 tahun bervariasi antara 4-54%. 53

Pembedahan untuk endometriosis susukan dalam cukup efektif namun berkaitan dengan angka
komplikasi yang signifikan. Angka komplikasi intraoperatif adalah 2,1 % dan angka total komplikasi
pasca operasi 13,9%. 22

Evidence based eksisi lesi endometriosis susukan dalam dalam menekan nyeri karena
endometriosis

Klinisi dapat mempertimbangkan pembedahan untuk mengangkat endometriosis susukan dalam, karena
mengurangi nyeri dan memperbaiki kualitas hidup (Rekomendasi B) Direkomendasikan untuk merujuk
wanita dengan kemungkinan endometriosis susukan dalam ke pusat yang dapat memberikan seluruh
pengobatan dalam konteks multidisiplin, baik melalui operasi laparoskopi atau laparotomi.
Tabel. Pengobatan terkini untuk nyeri terkait endometriosis. 55
MIOMA UTERI

Mioma uteri merupakan tumor jinak monoklonal dari sel-sel otot polos yang ditemukan pada rahim
manusia. Tumor ini berbatas tegas dan terdiri dari selsel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid,
dan kolagen. Mioma uteri juga dikenal dengan sebutan fibromioma uteri, uterine fibroid, atau leiomioma
uteri.56

Uteri berbentuk padat karena jaringan ikat dan otot rahimnya lebih dominan. Tumor ini tidak memiliki
kapsul yang sesungguhnya, namun jaringan dengan sangat mudah dibebaskan dari miometrium sekitarnya
sehingga mudah dikupas (enukleasi). Mioma berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal, berdinding licin,
dan apabila dibelah bagian dalamnya akan menonjol keluar sehingga mengesankan bahwa permukaan
luarnya adalah kapsul.15

EPIDEMIOLOGI

Masalah kesehatan reproduksi wanita salah satunya yaitu leimioma uteri dikenal juga dengan fibromioma,
fibroid maupun mioma. Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi
wanita. Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos rahim. Mioma
uteri terjadi pada 20%-25% perempuan diusia reproduktif, tetapi oleh faktor yang tidak diketahui secara
pasti. Insidennya 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. 15

Jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun, paling banyak pada umur 35-45 tahun
(kurang lebih 25%). Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai
ukuran sebesar tinju, akan tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Umumnya mioma uteri terjadi
pada beberapa tempat, ukuran rerata tumor ini adalah 15 cm, tetapi cukup banyak yang melaporkan kasus
mioma uteri dengan berat mencapai 45 kg.15

Studi prevalensi yang dilakukan di delapan Negara pada tahun 2009 melaporkan kejadian mioma uteri
sebanyak 4,5% pada wanita Inggris, 4,6% Prancis, 5,5% Kanada, 6,9% Amerika Serikat, 7% Brazil, 8%
Jerman, 9% Korea, dan 9,8% di Italia. Prevalensi mioma uteri mengalami peningkatan pada usia 40 tahun
ke atas. Rata-rata mioma uteri didiagnosis pada rentang usia 33,5 hingga 36,1 tahun. 57

Angka kejadian mioma uteri paling sering terjadi pada perempuan usia reproduktif, yaitu sekitar 20%-
25% dengan faktor yang tidak diketahui secara pasti. Kejadian lebih tinggi pada usia 35 tahun. Tingginya
kejadian mioma uteri antara usia 35-50 tahun, menunjukkan adanya hubungan mioma uteri dengan
estrogen. Insiden mioma uteri 3-9 kali lebih banyak pada ras kulit berwarna dibandingkan dengan ras
kulit putih. Selama 5 dekade terakhir, ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit
berwarna.11 Sebuah penelitian di AS dari perempuan yang dipilih secara acak usia 35-49 tahun, kejadian
mioma uteri pada ras Arfika-Amerika sebanyak 60% pada usia 35 tahun dan >80% pada usia 50 tahun.
Pada ras kaukasia angka kejadian menunjukkan 40% pada usia 35 tahun dan hampir 70% pada usia 50
tahun. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri ditemukan 2,39%-11,87% dari semua pasien ginekologi
yang dirawat.58

Klasifikasi
Klasifikasi Mioma uteri terbanyak tumbuh di fundus dan korpus uteri, hanya 3% yang terdapat di serviks.
Mioma tumbuh soliter, multipel atau berdifusi. Jenis mioma uteri yang paling sering adalah jenis
intramural, sebanyak 95% yang berlokasi di lapisan tengah miometrium. 59

Menurut tempatnya di uterus dan menurut arah pertumbuhannya, maka mioma uteri dibagi 4 jenis antara
lain: 60

1) Mioma Submukosa Menempati lapisan di bawah endometrium dan menonjol ke dalam (kavum uteri).
Pengaruhnya pada vaskularissi dan luas permukaan endometrium menyebabkan terjadinya perdarahan
ireguler. Mioma jenis ini dapat bertangkai panjang sehingga dapat keluar melalui ostium serviks. Hal
yang harus diperhatikan dalam menangani mioma bertangkai adalah kemungkinan terjadi torsi dan
nekrosis sehingga resiko infeksi sangat tinggi. 15

2) Mioma Intramural Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Bila di dalam dinding
rahim dijumpai banyak mioma, maka uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan
konsistensi yang padat. Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan
menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan keluhan miksi.

3) Mioma Subserosa Pada mioma subserosa, mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol
pada permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara kedua lapisan
ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.

4) Mioma Intraligamenter Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut wondering
parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada
servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan
sabit .60

Tipe mioma uteri dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor lingkungan. Penelitian oleh the National
Institute of Environmental Health Sciences (NIEHS) menunjukkan wanita dengan usia kehamilan
pertama diatas 24 tahun cenderung menderita mioma uteri jenis submukosa dan wanita perokok
cenderung menderita jenis intramural. Sedangkan pada faktor paritas, tidak ditemukan adanya pola
kecenderungan terhadap tipe tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa penentu tipe mioma uteri adalah
faktor endogen dan lingkungan, namun penjelasan molecular belum diketahui secara pasti. 59

Faktor risiko

1) Umur

Umumnya, wanita didiagnosis menderita mioma uteri pada usia sekitar 40 tahun. 61 Frekuensi kejadian
mioma uteri paling tinggi antara usia 35-55 tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan
pada usia dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. 15 Pada usia
sebelum menarche kadar estrogen rendah. Kemudian meningkat pada usia reproduksi dan kembali turun
saat usia menopause.62

2) Hormon
Endogen Pertumbuhan mioma uteri dipengaruhi oleh hormon steroid, yaitu estrogen dan progesteron.
Pada histerektomi wnita postmenopause, jarang ditemukan mioma uteri. Bila ditemukan, biasanya ukuran
relative kecil. Hal tersebut dikarenakan kadar estrogen dan progesteron relatif rendah setelah memasuki
masa menopause.61

3) Riwayat menarche Hasil penelitian yang dilakukan Edwards et al (2013) menunjukkan bahwa usia
menarche 11 tahun memiliki resiko mioma uteri paling tinggi dengan Relative Risk (RR) sebesar 1,40.
Sedangkan menarche di usia 13 tahun atau lebih memiliki resiko mioma uteri lebih rendah dibanding usia
menarche 12-13 tahun.63

4) Riwayat keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama menderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan
untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.
Wanita yang lahir dari ibu dengan mioma uteri memiliki peningkatan resiko mioma uteri dibanding
wanita tanpa riwayat tersebut. Selain itu, pasien mioma uteri yang memiliki riwayat keluarga dengan
penyakit tersebut memiliki ekspresi VEGF-ɑ (salah satu hormon pertumbuhan mioma) yang lebih kuat
dibanding wanita dengan mioma uteri tanpa riwayat keluarga dengan penyakit sama. 64

5) Paritas

Pada wanita nullipara, kejadian mioma lebih sering ditemui salah satunya diduga karena sekresi estrogen
wanita hamil sifatnya sangat berbeda dari sekresi oleh ovarium pada wanita yang tidak hamil. Pada
wanita hamil, estrogen yang dihasilkan hampir semuanya adalah estriol, suatu estrogen yang relatif lemah
daripada estradiol yang disekresikan ovarium. Hal ini berbeda dengan wanita yang tidak pernah hamil dan
melahirkan, estrogen yang ada di tubuhnya adalah murni estrogen yang dihasilkan oleh ovarium yang
semuanya digunakan untuk proliferasi jaringan uterus. 65

6) Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan ditemukan sebesar
0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar
estrogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. 66

Gejala

Mioma uteri menimbulkan gejala hanya pada 35-50% kasus. Sebagian besar penderita mioma uteri tidak
menunjukkan adanya gejala. Gejala mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran, jenis dan adanya
kehamilan. 60

1) Perdarahan abnormal Gangguan perdarahan yang umumnya terjadi adalah hipermenore, menoragia,
dan dapat juga terjadi metroragia.

2) Massa di perut bawah Penderita biasanya mengeluhkan merasakan adanya massa atau benjolan di perut
bagian bawah.

3) Nyeri perut
Rasa nyeri bukan gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang
mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. 17

4) Pressure effect (efek tekanan)

Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organ-organ di sekitar uterus. Gejala
ini merupakan gejala yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan langsung dengan mioma. Penekanan
pada kandung kencing dapat menyebabkan kerentanan kandung kencing, pollakisuria dan disuria. Bila
uretra tertekan bisa menimbulkan retensi urin. Bila berlarut-larut dapat menyebabkan
hydroureteronephrosis. Tekanan pada rektum tidak begitu besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi
atau nyeri saat defekasi.60

5) Infertilitas dan abortus

Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan
mioma submukosa dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Apabila
penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka
merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi.17

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan abdomen uterus yang membesar dapat dipalpasi pada abdomen. Tumor teraba
sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan memberi kesan adanya perubahan-perubahan
degeneratif. Mioma lebih terpalpasi pada abdomen selama kehamilan. Perlunakan pada abdomen yang
disertai nyeri lepas dapat disebabkan oleh perdarahan intraperitoneal dari ruptur vena pada permukaan
tumor.

Pada pemeriksaan pelvis, serviks biasanya normal. Namun pada keadaan tertentu, mioma
submukosa yang bertangkai dapat mengawali dilatasi serviks dan terlihat pada osteum servikalis. Kalau
serviks digerakkan, seluruh massa yang padat bergerak. Mioma uteri mudah ditemukan melalui
pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur
uterus oleh satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus. Pada kasus yang lain pembesaran yang licin mungkin disebabkan oleh
kehamilan atau massa ovarium.

Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus. Mioma
intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan
menggunakan sonde uterus. Mioma submukosum kadang- kala dapat teraba dengan jari yang masuk
kedalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada pada permukaan kavum uteri. 67

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak
dan habisnya cadangan zat besi. Kadangkadang menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga akibat
penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan balik ureter dan kemudian
menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.68

b. Imaging

1) USG ( Ultrasonografi )

Untuk menghindari kesalahan sebaiknya dilakukan pemeriksaan USG pada wanita dengan gangguan
perdarahan atau dengan nyeri perut bawah yang hebat. Pemeriksaan transvaginal sonography dapat
dilakukan untuk lebih memastikan gambaran uterus fibroid. Untuk lebih memperjelas pemeriksaan
terhadap dinding dalam uterus dapat dilakukan dengan sonohisterography yaitu dengan mengisi cavum
uteri dengan larutan salin selama pemeriksaan. Uterus fibroid ini biasa didiagnosa banding dengan
adenomiosis. Pada adenomiosis akan menginfiltrasi lapisan dinding uterus yang akan menyebabkan
dinding uterus menebal dan terjadi pembesaran uterus. Dari pemeriksaan USG akan tampak sebagai
penebalan dinding uterus yang homogen, sementara fibroid dilihat sebagai area bula dengan batas tegas.
Adenomiosis merupakan proses yang difus sehingga biasanya pengelolaan dilakukan histerektomi. 67

2) Histeroskopi

Histeroskopi digunakan untuk melihat adanya mioma uteri submukosa, jika mioma kecil serta bertangkai.
dapat diangkat.67

3) MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI sangat akurat dalam menggambarkan jumlah dan ukuran mioma tetapi jarang diperlukan. Pada MRI,
mioma tampak sebagai massa gelap berbatas tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI
dapat mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas, termasuk mioma. 67

TATALAKSANA

Sebanyak 55% dari semua kasus mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa
pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulakan gangguan. Walaupun demikian
mioma uteri memerlukan pemantauan setiap 3-6 bulan. Tatalaksana mioma uteri harus memperhatikan
usia, paritas, kehamilan, konservasi fungsi reproduksi, keadaan umum, gejala yang ditimbulkan, lokasi,
dan ukuran tumor. Bila kondisi pasien sangat buruk perlu dilakukan perbaikan nutrisi, suplementasi zat
esensial, maupun transfusi. Pada keadaan gawat darurat akibat infeksi atau gejala abdomen akut, perlu
disiapkan tindakan bedah cito untuk menyelamatkan pasien. 15

1. Terapi Hormonal

Saat ini pemakaian Gonadotropin-releasing hormone (GnRH) agonis memberikan hasil yang baik dalam
memperbaiki gejala klinis mioma uteri. Tujuan pemberian GnRH agonis adalah mengurangi ukuran
mioma dengan jalan mengurangi produksi estrogen dari ovarium. Pemberian GnRH agonis sebelum
dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan
tindakan pembedahan. Terapi hormonal yang lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron
akan mengurangi gejala pendarahan tetapi tidak mengurangi ukuran mioma uteri. 67

Terapi Pembedahan
Indikasi terapi bedah untuk mioma uteri menurut American College of obstetricians and Gyneclogist
(ACOG) dan American Society of Reproductive Medicine (ASRM) adalah:

a. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif.


b. Sangkaan adanya keganasan.
c. Pertumbuhan mioma pada masa menopause.
d. Infertilitas kerana ganggaun pada cavum uteri maupun kerana oklusi tuba.
e. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.
f. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius.
g. Anemia akibat perdarahan.67

Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Miomektomi

Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Miomektomi ini
dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan
histerektomi. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosum dengan cara ekstirpasi
lewat vagina. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka
kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. 15

Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi.
Pada laparotomi, dilakukan insisi pada dinding abdomen untuk mengangkat mioma dari uterus.
Keunggulan melakukan laparotomi adalah lapangan pandang operasi yang lebih luas sehingga
penanganan terhadap perdarahan yang mungkin timbul pada pembedahan miomektomi dapat ditangani
dengan segera. Namun pada miomektomi dengan laparotomi resiko terjadi perlengketan lebih besar,
sehingga akan mempengaruhi faktor fertilitas pada pasien, disamping masa penyembuhan paska operasi
lebih lama, sekitar 4-6 minggu.

Pada miomektomi secara histeroskopi dilakukan terhadap mioma submukosum yang terletak pada kavum
uteri. Keunggulan tehnik ini adalah masa penyembuhan paska operasi sekitar 2 hari. Komplikasi yang
serius jarang terjadi namun dapat timbul perlukaan pada dinding uterus, ketidakseimbangan elektrolit, dan
perdarahan. Miomamektomi juga dapat dilakukan dengan menggunakan laparoskopi. Mioma yang
bertangkai diluar kavum uteri dapat diangkat dengan mudah secara laparoskopi. Mioma subserosum yang
terletak didaerah permukaan uterus juga dapat diangkat dengan tehnik ini. Keunggulan laparoskopi adalah
masa penyembuhan paska operasi sekitar 2-7 hari. Resiko yang terjadi pada pembedahan ini termasuk
perlengketan, trauma terhadap organ sekitar seperti usus, ovarium, rectum, serta perdarahan. Sampai saat
ini miomektomi dengan laparoskopi merupakan prosedur standar bagi wanita dengan mioma uteri yang
masih ingin mempertahankan fungsi reproduksinya.67, 68

2. Histerektomi

Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya adalah tindakan terpilih. 15

Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Histerektomi dilakukan apabila
didapati keluhan menorhagia, metrorhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan ukuran uterus
sebesar usia kehamilan 12-14 minggu. Tindakan histerektomi dapat dilakukan secara abdominal
(laparotomi), vaginal dan pada beberapa kasus dilakukan laparoskopi. Histerektomi perabdominal dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu total abdominal hysterectomy (TAH) dan subtotal abdominal
histerectomym STAH). Masing-masing prosedur ini memiliki kelebihan dan kekurangan. STAH
dilakukan untuk menghindari resiko operasi yang lebih besar seperti perdarahan yang banyak, trauma
operasi pada ureter, kandung kemih dan rektum. Namun dengan melakukan STAH kita meninggalkan
serviks, di mana kemungkinan timbulnya karsinoma serviks dapat terjadi.

Pada TAH, jaringan granulasi yang timbul pada pangkal vagina dapat menjadi sumber timbulnya sekret
vagina dan perdarahan paska operasi di mana keadaan ini tidak terjadi pada pasien yang menjalani STAH.
Histerektomi juga dapat dilakukan pervaginam, dimana tindakan operasi tidak melalui insisi pada
abdomen. Secara umum histerektomi vaginal hampir seluruhnya merupakan prosedur operasi
ekstraperitoneal, dimana peritoneum yang dibuka sangat minimal sehingga trauma yang mungkin timbul
pada usus dapat diminimalisasi. Tindakan histerektomi pervaginam tidak terlihat parut bekas operasi pada
dinding abdomen, sehingga memuaskan pasien dari segi kosmetik. Selain itu kemungkinan terjadinya
perlengketan paska operasi lebih minimal, dan masa penyembuhan lebih cepat dibanding histerektomi
abdominal. Histerektomi laparoskopi ada bermacam-macam tehnik. Tetapi yang dijelaskan hanya 2 yaitu;
histerektomi vaginal dengan bantuan laparoskopi (Laparoscopically assisted vaginal histerectomy/
LAVH) dan classic intrafascial serrated edged macromorcellated hysterectomy (CISH) tanpa colpotomy.

Pada LAVH dilakukan dengan cara memisahkan adneksa dari dinding pelvik dengan memotong
mesosalfing kearah ligamentum kardinale dibagian bawah, pemisahan pembuluh darah uterina dilakukan
dari vagina. CISH juga merupakan modifikasi dari STAH, di mana lapisan dalam dari serviks dan uterus
direseksi menggunakan morselator. Dengan prosedur ini diharapkan dapat mempertahankan integritas
lantai pelvik dan mempertahankan aliran darah pada pelvik untuk mencegah terjadinya prolapsus.
Keunggulan CISH adalah mengurangi resiko trauma pada ureter dan kandung kemih, perdarahan yang
lebih minimal, waktu operasi yang lebih cepat, resiko infeksi yang lebih minimal dan masa penyembuhan
yang cepat.67, 68

KOMPLIKASI

a. Degenerasi Ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta
merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan
histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat
membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause. 15

b. Torsi (Putaran Tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga
mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan,
gangguan akut tidak terjadi, hal ini harus dibedakan dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak
mioma dalam rongga peritoneum. Massa mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan
kerana gangguan sirkulasi darah sekitarnya, misalnya terjadi pada mioma yang keluar dari kavum uteri
menuju rongga vagina dapat menimbulkan metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan
yang disebabkan oleh infeksi dari uterus sendiri. 15
c. Komplikasi lain

Anemia akibat perdarahan, perlekatan pasca miomektomi, dan dapat terjadinya ruptur uteri (apabila
pasien hamil post miomektomi).15

PROGNOSIS

Histerektomi merupakan upaya kuratif karena dapat mengangkat seluruh masa mioma. Tindakan
miomektomi yang extensif dan secara signifikan melibatkan miometrium atau menembus endometrium,
perlu dilakukan SC (sectio caesaria) pada persalinan berikutnya. Mioma yang kambuh kembali (rekurens)
setelah miomektomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut. 67

Anda mungkin juga menyukai