Irama sirkadian
Sekresi kortisol tinggi pada pagi hari, tetapi rendah pada akhir sore hari (gambar 11). Efek ini
dihasilkan dari perubahan siklus sinyal dari hipotalamus selama 24 jam, yang menimbulkan
sekresi kortisol. Bila seseorang mengubah kebiasaan tidur sehari-harinya, maka akan timbul
peurbahan siklus ini juga.(Guyton AC, Hall EJ, 2004)
Gambar 11: Sekresi kortisol selama 24 jam (sumber Encyclopedia Britannica, Inc, 1994)
Irama sirkadian ini menetap atau konsisten akan tetapi ada beberapa variable yang dapat
merubah pola irama sirkadian tersebut, antara lain: (1) Perubahan pola tidur, (2) stress psikologi
seperti ansietas, depresi, psikosa, manic depresif, (3) Gagal ginjal kronik, (6) Penyakit hati dan
penyakit kronik lainnya yang mengganggu metabolism kortisol (7) Alkohol. (Tyrell JB, Finding
JW, Aron DC, 1977)
2. Inhibisi umpan balik dengan pengaturan sekresi ACTH dan kortisol. (Tyrell JB, Finding JW,
Aron DC, 1997)
Kortisol dapat dideteksi dalam urin dengan mengumpulkan urin 24 jam dan tidak
dipengaruhi oleh irama sirkadian dari sekresi kortisol. Demikian juga halnya dengan kadar
kortisol di saliva, kedua hal ini dinyatakan sebagai kadar kortisol sebenarnya (free cortisol).
Namun keterbatasan dalam pemeriksaan dengan Elecsys Cortisol dengan metode pemeriksaan
memakai prinsip kompetisi test dengan memakai poliklonal antibody yang spesifik terhadap
kortisol.kortisol endogen dari plasma yang telah dilepaskan ikatan dengan globulin memakai
danazol, diikat oleh derivate kortisol eksogen pada alat yang telah diberi kompleks ruthenium
untuk mengikat biorynilated. (Elecsys Kit, 2003)
Kadar kortisol serum normal dapat diukur dengan radioimmunoassay dan competitive
protein-binding assay. Konsentrasi kortisol serum antara jam 07.00 – 10.00 WIB berkisa 6,2
-19,4 µg/dL (171-536 nmol/L). Sore hari jam 16.00-20.00 WIB kadar kortisol lebih rendah dari
pagi hari 2,3 – 11,9 µg/dL (64-327 nmol/L). (Hucklebridge et all,2003; Elecsys Kit, 2003) dan
berkurang pada malam hari antara jam 22.00-02.00 WIB, kadar kortisol serum biasanya kurang
dari 3µg/dL (83 nmol/L). Sekresi kortisol meningkat selama stress, dapat mencapai 40-60 µg/dL
(1104-1656 nmol/L). (Tyrell JB, Finding JW, Aron DC, 1997; Elecsys Kit, 2003)
Aksis reproduksi dihambat oelh berbagai komponen aksis HPA pada berbagai tingkatan.
CRH menekan sekresi GnRH secara langsung maupun tidak langsung. Gluokokortikoid
menekan neuron GnRH, gonadotropin hipofise, gonad, dan mengubah ketahanan dari jaringan
target steroid gonad terhadap hormon-hormon ini. Selama stress inflamasi, peningkatan
konsentrasi siokin juga terjadi akibat penekanan fungsi reproduktif melalaui penghambatan
sekresi GnRH dari hipotalamus dan steroidogenesis dari ovarium/testis. (Genazzani et all,2006)
Reifenstein, 1949, berpendapat bahwa trauma psikis dapat mengganggu pelepasan impuls
syaraf dari hipotalamus, sehingga mengakibatkan kegagalan hipofisis untuk melepaskan
sejumlah LH yang adekuat. Ding JH. Dkk, 1988, dalam penelitiannya juga menemukan
peningkatan kortisol yang merupakan faktor etiologi terjadinya amenorea dengan mengukur
tinggi kadar kortisol serum pada wanita amenorea yang berhubungan dengan latihan fisik yang
berat (atlet). Dari 71 orang yang di teliti, 19 atlet mengalami amenorea, 35 atlet haidnyanormal,
7 atlet mengalami transisi menjadi amenorea, 10 orang yang tidak melakukan latihan fisik
dengan haid normal, kemudian diambil darah sampel jam 08.00-10.00 pagi, diukur kadar
kortisol, didapatkan rata-rata kadar kortisol lebih tinggi pada sampel yang mengalami amenorea
(585 ±33nmol/L) dibandingkan yang haid normal (411 ± 30 nmol/L).
Kegagalan ovarium yang terjadi pada wanita yang mengalami gangguan haid
menunjukan adanya adaptais terhadap stress, sehingga aktifitas aksis reproduksi menjadi
terhambat. Penghambatan fungi reproduksi ini bersifat reversible.(Kaplan JR, Menuck SB,2004)
Adanya polimenorea atau oligomenorea merupakan cara untuk mengantisipasi terjadinya
amenorea, yang merupakan kondisi terburuk dari respon adaptif secara klinis terhadap stress.
(Genazzani et all,2006)