Anda di halaman 1dari 27

Tinjauan Pustaka

OZAENA
(Rhinitis Chronika Atrofikan)

Disusun Oleh :

Dita Titis Parameswari 20710030


Dewa Aditya Pratama Nugraha 20710155
Tika Riski Putri Setyowati 20710198

Pembimbing :

dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL

LAB/KSM ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK,


BEDAH KEPALA LEHER
FK UWKS/RSUD SIDOARJO
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas Kehendak-
Nya kami dapat menyelesaikan referat dengan judul “Ozaena”. Referat ini dibuat
sebagai salah satu tugas sebagai Dokter Muda di Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo.
Tugas ini berhasil diselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh
sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. dr. Moh. Ibnu Malik, Sp.THT-KL selaku kepala KSM Ilmu Kesehatan THT-
KL dan pembimbing klinik.
2. dr. Rini Ardiana Rahayu, Sp.THT-KL selaku pembimbing klinik.
3. dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL selaku pembimbing klinik serta pembimbing
referat ini.
4. Ibu Din, Bapak Aris dan Bapak Bambang selaku perawat di KSM Ilmu
Kesehatan THT-KL.
Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita
semua. Akhir kata, ijinkan penulis mengucapkan terimakasih.

Sidoarjo, 3 Januari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Judul........................................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar Isi...............................................................................................................iii

PENDAHULUAN.................................................................................................4
I. Hidung
I.1 Anatomi Hidung.............................................................................6
I.2 Fisiologi Hidung...........................................................................11
II. Ozaena
II.1 Definisi........................................................................................12
II.2 Epidemiologi...............................................................................13
II.3 Etiologi........................................................................................13
II.4 Klasifikasi...................................................................................15
II.5 Patofisiologi................................................................................15
II.6 Gejala Klinis................................................................................16
II.7 Tanda Klinis................................................................................18
II.8 Pemeriksaan Penunjang..............................................................18
II.9 Diagnosis.....................................................................................19
II.10 Diagnosis Banding....................................................................19
II.11 Penatalaksanaan........................................................................20
II.12 Komplikasi................................................................................23
II.13 Prognosis...................................................................................24

RINGKASAN......................................................................................................25
Daftar Pustaka......................................................................................................26

iii
OZAENA

(Rhinitis Chronika Atrofikan)

Oleh :
Dita Titis Parameswari, Dewa Aditya Pratama Nugraha, Tika Riski Putri
Setyowati

DEPARTEMEN KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH


KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SIDOARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
TAHUN 2022

PENDAHULUAN

Rinitis atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta. Disebut juga
rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis, mukosa hidung
menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta
yang berbau busuk.1
Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti, maka
pengobatannya belum ada yang baku. Beberapa ahli mengatakan akibat infeksi
bakteri Klebsiella ozaenae dan Bacillus foetidus. Faktor lain yang diduga sebagai
penyebab yaitu adanya defisiensi nutrisi (vitamin A dan zat besi), endokrin
(estrogen) dan herediter.1
Insiden ozaena di negara negara Barat menurun dengan meningkatnya
pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara tropis dan subtropis
masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%, predominan pada wanita usia
muda dan prepubertas, dengan perbandingan antara wanita dan laki-laki.1
Diagnosis ozaena dibuat secara klinik dengan adanya perubahan
karakteristik di hidung berupa perluasan rongga hidung, atrofi mukosa dan

1
perlekatan krusta tebal kehijauan atau secara mikrobiologi dengan isolasi bakteri
yang diduga sebagai penyebab seperti Klebsiella ozaenae dari kultur hidung.
Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit. Biasanya discharge berbau,
bilateral, terdapat crustae kuning kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering
ditemukan pada pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia).1
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui
mengenai definisi,anatomi,epidemiologi,patofisiologi,diagnosis,penatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis dari Ozaena (Rhinitis Atropi) agar dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam menambah wawasan mengenai proteksi dini dan
pengobatan terhadap terjadinya Ozaena.

2
I. Hidung
I.1 Anatomi Hidung
Hidung merupakan organ berbentuk piramid yang bagian luarnya terdiri
atas pangkal hidung (bridge) batang hidung (dorsum), puncak hidung (tip),
ala nasi, kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).2(Gambar 1)

Gambar 1. Anatomi Hidung Bagian Luar

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang
dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk
melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.2,3(Gambar 2)
Kerangka tulang terdiri dari:
a. Os. Nasal
b. Processus frontalis os. Maxilla
c. Processus nasalis os. Frontal

3
Gambar 2. Kerangka Tulang Hidung

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu : (Gambar 3)
a. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalis superior
c. Tepi anterior kartilago septum nasi

Gambar 3. Tulang Penyusun Hidung

4
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang di pisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum
nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan
disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)
yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Kedua kavum nasi merupakan bagian paling atas dari traktur respirasi
dan mempunyai reseptor olfaktoris dan tertahan terbuka karena struktur
tulang dan tulang rawan.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut Panjang
disebut vebrise.2(Gambar 4)

Gambar 4. Anatomi hidung dalam

Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding media,
lateral, inferior, dan superior. Dinding media hidung ialah septum nasi.
Septum dibentuk oleh tulang rawan. Bagian tulang adalah sebagai berikut :2,3

5
a. Lamina perpendikularis os etmoid
b. Vomer
c. Krista nasalis os maksila
d. Krista nasalis os palatine

Bagian tulang rawan adalah :


a. Kartilago septum nasi (lamina kuadrangularis)
b. Kolumela

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan


periosteum pada bagian tulang, sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa
hidung.
Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah
konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil
disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.
Diantara konka - konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus
yaitu :1,3
a. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Meatus inferior adalah yang terbesar di
antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus naso-lakrimalis yang
terdapat kira - kira atas sampai belakang batas posterior nostril.
b. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila,
dan sinus etmoid anterior.
c. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan
konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.

Ada delapan sinus paranasal, empat buah pada tiap - tiap sisi hidung,
sebagai berikut : sinus maksilaris kanan dan kiri; sinus frontal kanan dan kiri;
sinus etmoid kanan dan kiri (antrum Highmore) dan sinus sphenoid kanan
dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan

6
lanjutan mukosa hidung; berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung
melalui ostium masing - masing.3(Gambar 5)

Gambar 5. Anatomi Sinus Paranasal


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os.
maksila dan os. palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari
os etmoid, tulang ini berlubang – lubang (kribrosa = saringan) tempat
masuknya serabut - serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os. sphenoid.1

Perdarahan hidung
Perdarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari tiga sumber utama :
1. a. Etmoidalis anterior
2. a. Etmoidalis posterior cabang dari a. Oftalmika menyuplai sinus
frontalis dan etmoidalis serta atap hidung
3. a. Sfenopalatina cabang terminal a. Maksilaris interna yang berasal dari
a. Karotis eksterna menyuplai konka, meatus dan septum.

Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis


superior dan cabang infraorbitalis serta alveolaris dari arteri maskilaris interna

7
dan cabang faringealis dari arteri maksilaris interna disebarkan ke dalam
sinus sfenoidalis.
Vena-vena membentuk suatu pleksus kavernosus yang rapat di bawah
membran mukosa. Pleksus ini nyata diatas konka media dan inferior, serta
bagian bawah septum dimana ia membentuk jaringan erektil. Drainase vena
terutama melalui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina. 2(Gambar
6)

Gambar 6. Anatomi Perdarahan Hidung

Suplai saraf
Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan,
divisi oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferem
sensorik lainnya, saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada
hidung luar dan sistem saraf otonom. Yang terakhir ini terutama melalui
ganglion sfenoidalis, guna mengontrol diameter vena dan arteri hidung dan
juga produksi mukus, dengan demikian dapat mengubah pengaturan hantaran,
suhu dan kelembaban aliran udara.2

I.2 Fisiologi Hidung


Di dalam hidung terdapat organum olfactorium perifer. Fungsi hidung dan
cavitas nasi berhubungan dengan:3
a. Fungsi penghidu

8
b. Fungsi Pernafasan
c. Fungsi Penyaringan debu
d. Fungsi Pelembapan udara pernapasan
e. Fungsi Penampungan sekret dari sinus paranasales dan ductus
nasolacrimalis
Terdapat 3 fungsi utama Rongga Hidung, antara lain :3
a. Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan
menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan
pelembaban. Penyaringan dilakukan oleh membran mukosa pada rongga
hidung yang sangat kaya akan pembuluh darah dan glandula serosa yang
mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara sebelum masuk ke
Oropharynx. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang
sangat kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari
rongga hidung. Dan pelembaban dilakukan oleh concha, yaitu suatu area
penonjolan tulang yang dilapisi oleh mukosa.
b. Epithellium olfactory pada bagian medial rongga hidung memiliki fungsi
dalam penerimaan sensasi bau.
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara
fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonansi.
II. Ozaena
II.1 Definisi
Ozaena atau biasa dikenal dengan Rinitis atrofi adalah infeksi hidung
kronik, yang ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka
dan pembentukan krusta. Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan
jaringan pengikat submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae
yang berbau khas dan menyebabkan obstruksi hidung, anosmia, dan
mengeluarkan bau busuk.1(Gambar 7)

9
Gambar 7. Gambaran Endoskopi pada Rinitis Atropi4

II.2 Epidemiologi
Ozaena merupakan penyakit yang umum di negara-negara
berkembang. Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan
daerah yang bersuhu panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan
Mediterania. Pasien biasanya berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan
status higiene buruk. Insiden ozaena di negara Barat menurun dengan
meningkatnya pemakaian antibiotika tetapi dilaporkan di negara-negara tropis
dan subtropis masih sering dijumpai. Prevalensi ozaena 0,3 – 1%,
predominan pada wanita usia muda dan prepubertas, dengan perbandingan
antara wanita dan laki-laki 5,6:1.1
Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di
London pada tahun 1875.1 Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia
1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan
dengan status estrogen (faktor hormonal). Di Indonesia, Data yang didapatkan
dari RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai Desember 2000 ditemukan
6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria, umur berkisar dari 10-37
tahun.1,5

II.3 Etiologi
Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang.
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit

10
degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor herediter.5,6 Namun
ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan dengan terjadinya rinitis
atrofi (Ozaena), yaitu : 1,5,6
 Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada
mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik
penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas
aeuruginosa, Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli,
Cocobacillus foetidus ozaena.
 Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A.
 Infeksi sekunder. Sinusitis kronis.
 Kelainan hormon. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
 Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
 Teori mekanik dari Zaufal.
 Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti
deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
 Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
 Herediter.
 Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
 Golongan darah.
Selain faktor-faktor di atas, rinitis atrofi juga bisa digolongkan atas :
rinitis atrofi primer yang penyebabnya tidak diketahui dan rinitis atrofi
sekunder, akibat trauma hidung (operasi besar pada hidung atau radioterapi)
dan infeksi hidung kronik yang disebabkan oleh sifilis, lepra, midline
granuloma, rinoskleroma dan tbc. Radiasi pada hidung umumnya segera
merusak pembuluh darah dan kelenjar penghasil mukus dan hampir selalu
menyebabkan rinitis atrofik. Berbagai infeksi seperti eksantema akut,
scarlet fever, difteri dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai
penyebab cedera pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan
juga telah diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat
sosio ekonomi rendah.1,5,6

11
II.4 Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya rhinitis atrofi dibedakan menjadi :
Rhinitis atrofi primer dan sekunder. Rhinitis atrofi primer merupakan bentuk
klasik rhinitis atrofi. Terjadi pada hidung tanpa kelainan sebelumnya.
Penyebabnya adalah mikroorganisme Klebsiella Ozaena. Sedangkan rhinitis
atrofi sekunder merupakan komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit.
Penyebabnya bisa karena bedah sinus, radiasi, trauma, serta penyebaran infeksi
lokal setempat.

II.5 Patofisiologi

Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik pada
rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang normal terdiri atas
epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan glandula mukosa dan serosa. Pada
rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia.
Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan
kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami atrofi yang
parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi
juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang dapat
menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri).
Beberapa penulis menyatakan adanya metaplasi epitel kolumnar bersilia menjadi
epitel skuamous atau atrofik, dan fibrosis dari tunika propria. Terdapat
pengurangan kelenjar alveolar baik dalam jumlah dan ukuran dan adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal. Oleh karena itu secara
patologis, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua :

a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole terminal


akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator dari terapi
estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek dengan

12
terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi
sel bulat di submukosa. Taylor dan Young mendapatkan sel endotel bereaksi
positif dengan fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang
aktif. Atrofi epitel bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan
krusta tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang.
Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie mendeteksi adanya
antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein A.
Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya resistensi
hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal menyebabkan
pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai pengaruh kurang baik
terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan menyebabkan bertumpuknya lendir dan
juga diperberat dengan keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan
mengering bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman. 7 Perubahan
histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena), yaitu :
 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.

 Silia hidung. Silia akan menghilang.

 Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak bersilia


menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
 Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya
mengecil), atau jumlahnya berkurang.

II.6 Gejala Klinis


Keluhan penderita rinitis atrofi (ozaena) biasanya berupa hidung
tersumbat, gangguan penciuman (anosmia), ingus kental berwarna hijau, adanya
krusta (kerak) berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas berbau
(sementara pasien sendiri menderita anosmia) jadi penderita sendiri (-), orang lain

13
(+) penciumannya. Pasien mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa
tidur nyenyak ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas
menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin progresif saat
bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara yang mengatur perubahan
tekanan hidung dan menghantarkan impuls sensorik dari mukosa hidung ke sistem
saraf pusat telah bergerak semakin jauh dari gambaran.
Pemeriksaan THT pada kasus rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan
rongga hidung dipenuhi krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika
krusta diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka nasi
media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau atrofi), sekret purulen
dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan kering. 7,9 Bisa juga ditemui ulat/
telur larva (karena bau busuk yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi
ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 9
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan
berlendir, krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin
kering, warna makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum
jelas.
c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak
sebagai garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan
krusta di nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.

Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini


mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia
yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan
terbentuk krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang
lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.

14
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel
perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,
termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan,
pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius,
berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.

II.7 Tanda Klinis


Tanda :
– Foeter ex nasi
– Krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
– Pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung

II.8 Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang dapat dilakukan
antara lain :
 Foto rontgen hidung dan sinus paranasalis, hal ini dilakukan untuk
meniyingkirkan sepsis pada sinus.
 CT scan sinus paranasalis, dimana pada pemeriksaan ini ditemukan :
Penebalan mukoperiostium sinus paranasal, Kehilangan ketajaman dan
kompleks sekuder osteomeatal untuk meresorbsi bula etmoid dan proses
“uncinate”, Hipoplasia sinus maxillaries, Pelebaran kavum hidung
dengan erosi dan membusurnya dinding lateral hidung, Resorpsi tulang
dan atrofi mukosa pada konkha media dan inferior.
 Pemeriksaan mikroorganisme untuk menentukan kuman penyebab.

 Pemeriksaan histopatologi yang berasal dari biopsi konka media. Dari


pemeriksaan histopatologi terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia
hilang, metaplasia torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng
berlapis, kelenjar berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan

15
bentuknya mengecil.
 Uji resistensi kuman.

 Pemeriksaan darah tepi.

 Pemeriksaan serologi darah :

o Protein Serum.

o Pemeriksaan Fe serum

o Pemeriksaan darah rutin

o ANA dan anti-DNA antibodi.


(VDRL test dan Wasserman test) untuk menyingkirkan sifilis.

II.9 Diagnosis

Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang.

1) Anamnesa :

Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari
dalam hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien
mencari pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi
tidak dirasakan oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya
sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih
lagi penyakit ini lebih sering menyerang perempuan sehingga menimbulkan
keluhan tersendiri bagi pasien. Adanya krusta (pembentukan sekret
kehijauan yang kental dan tebal yang cepat mengering). Hidung tersumbat,
Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
2) Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan rinoskopi anterior hidung didapatkan rongga
hidung sangat lapang, konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret
purulen dan krusta berwarna hijau.

16
II.10 Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut12 :

1. Rinitis atrofi
sekret bilateral dan berbau dengan krusta berwarna kuning kehijauan,
penderita tidak membau, sedangkan orang lain membau. Lebih banyak
menyerang wanita dari pada pria, terutama sekitar usia pubertas.
2. Sinusitis
sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan orang lain
disekitarnya membau. Dapat terjadi baik pada anak-anak maupun orang
dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena adanya obstruksi.
3. Nasofaringitis kronis
sekret post nasal bilateral, penderita membau, sedangkan orang lain tidak
membau. Tidak ada perbedaan frekuensi antara pria dan wanita.

II.11 Penatalaksanaan
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan
yaitu secara topikal, sistemik dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini
bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya
krusta.
 Terapi Topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah
dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai suatu
terapi pencegahan atau sebagai suatu terapi yang bersifat rumatan.
Fungsi dari irigasi nasal sendiri ialah mencegah terbentuknya
pengumpulan krusta dalam rongga hidung.Terdapat beberapa variasi
tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak ada literatur yang
menunjukan akan kelebihan bahan yang satu dengan lainnya. Adapun
bahan-bahan itu antara lain14 :
1. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau larutan

17
-NaCl
-NH4Cl
-NaHCO3 aaa9
-Aqua ad 300 cc
-1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
2. Larutan garam dapur
3. Campuran
-Na bikarbonat 28,4 g
-Na diborat 28,4 g
-NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
4. Larutan antibiotik berupa Gentamisin 80 mg dalam satu liter NaCl
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi
dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring
dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa
literatur juga menyarankan untuk menambahkan minyak mawar
(rose oil) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada
rinitis atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinitis atropi
dengan irigasi nasal tidak berfungsi untuk menghilangkan
penyakit, melainkan sekedar mencegah penyakit hingga harus
dilakukan secara berkelanjutan. Ketidak patuhan dalam
melanjutkan terapi biasnya berdampak dengan kambuhnya
penyakit dalam sebagian besar kasus.
 Terapi Sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi
topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian
antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai dengan
uji resistensi kuman, dengan dosis yang adekuat sampai tanda-tanda
infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan akan terjadinya
infeksi akut dengan menggunakan antibiotik aminoglikosida oral atau
streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali cukup
efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun waktu 2

18
tahun pemakaian. Beberapa terapi sistemik lain juga dianjurkan
diantaranya ialah adjuvant berupa vitamin A yang terbukti berhasil
mengalami peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan
berupa besi yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%.
Penggunaan kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu
adjuvant namun beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid
merupakan kontra indikasi bagi pasien dengan rinitis atropi.
Vasokontriksi untuk kongesti nasal juga merupakan kontra indikasi
karena berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.
 Terapi Bedah
Pada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi medika mentosa
yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta yang terbentuk
dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun sudah seringkali
melakukan terapi lanjutan. Dalam rangka mencegah pasien untuk
bergantung pada terapi medika mentosa sepanjang hidupnya perlu
dilakukan terapi bedah. Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3
bagian kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung,
dan penutupan nasal.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain14 :


1. Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Telah dilaporkan hasil
yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya
dengan menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama
periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari
etmoid,kemudian dipindahkan ke lubang hidung.

19
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan
sintetis seperti teflon, campuran triosite, dan lem fibrin.
5. Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (operasi Wittmack)
dengan tujuan membasahi mukosa hidung.
Contoh gambaran dengan rhinoskopi yang merupakan hasil dari post
operasi Rhinitis atrofi (ozaena). (Gambar 8)

Gambar 8. Rhinitis atrofi (ozaena) post operasi13


Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara lain :
1. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion Stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina

Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan koana menggunakan


flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil dengan memuaskan.
Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares anterior yang bertujuan untuk
mengistirahatkan mukosa hidung.

II.12 Komplikasi
Komplikasi rhinitis ozaena dapat berupa :
1. Perforasi septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasing hidung
5. Hidung pelana

20
II.13 Prognosis
Operasi dapat membantu perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.
Pada  pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus menunjukkan
keberhasilan dalam pengobatan.

21
RINGKASAN

Rinitis atrofi adalah infeksi hidung kronik, yang ditandai adanya


atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan pembentukan krusta.
Disebut juga rinitis chronica atrophicanscum foetida. Secara klinis,
mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk.
Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di
London pada tahun 1875. Penyakit ini paling sering menyerang wanita
usia 1 sampai 35 tahun, terutama pada usia pubertas dan hal ini
dihubungkan dengan status estrogen (faktor hormonal). Di Indonesia, Data
yang didapatkan dari RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai
Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2 pria,
umur berkisar dari 10-37 tahun.
Diagnosis rhinitis atrofi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Diagnosis banding rinitis atrofi sebagai berikut rinitis atrofi,
sinusitis, dan nasofaringitis kronis.
Pada rinitis atrofi terdapat tiga macam teknik penatalaksanaan
yaitu secara topikal, sistemik, dan pembedahan. Keseluruhan teknik ini
bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan meminimalisir terbentuknya
krusta.
Operasi dapat membantu perbaikan mukosa dan keadaan
penyakitnya. Pada  pasien yang berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus
menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Hayati R. Tiga Kasus Rinitis Atrofi Primer (Ozaena) Dalam Satu Keluarga
(Laporan kasus). SMF Ilmu THT-KL. RSUD DR. Soetomo Surabaya
2. Hollinshead, W.H. 1966. The Nose and Sinus Paranasal. In : anatomy for
surgeons, The Head and Neck. Reprinted Edition. A Hober-Harper
International Edition. New York, Page : 270-345.
3. Freeman SC. Physiology Nasal[Internet]. Statspearls[Cited on 02 Januari
2022]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526086/
4. Satvinder SB. Atrophic Rhinitis. J Allergy Clin Immunol
Pract.2019;7:2850
5. Sampan SB. Primary Atrophic Rhinitis: A Clinical Profile,
Microbiological and Radiological Study. ISRN Otolaryngology. 2012
6. Braun JJ. Atrophic Rhinitis - Empty Nose Syndrome: A Clinical,
Endoscopic and Radiological Entity. J Otol Rhinol. 2014; 3:4

7. Ballenger JJ and Snow JB. Atrophic Rinitis Dalam: Ballenger JJ and


Snow JB. Ballenger's Otorhinolaryngology Head & Neck Surgery 16th
Ed. Hamilton:BC Decker inc; 2003 h: 750-751.
8. Lalwani AK. Nonallergic & Allergic Rinitis Dalam: Lalwani AK.Current
Diagnosis and Treatment in Otolaryngology - Head and Neck Surgery.
New York: McGrawhill; 2007 Ch:13
9. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Ed. ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
10. Vanessa IDA. Rinitis Atrofi. Mataram:Fakultas Kedokteran Universitas
Mataram. 2008 h:1-11
11. Adams, L. G. et al. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.1997

23
12. Soedarjatni, dr. Foetor Ex Nasi, Cermin Dunia Kedokteran . 1997; 9 : 21 –
24 http://id.scribd.com/doc/7492449/cdk008THT diakses tanggal 19
Desember 2012
13. Anonim.Atrophic Rhinitis. [online] tersedia di URL: http://www.yasser-
nour.com/atrophic-rhinitis.pdf . diakses tanggal 19 Desember 2012
14. Asnir, Rizalina Arwinati. Rinitis Atrofi, Cermin Dunia Kedokteran
2004;144: 5 – 7 D. http://id.scribd.com/doc/7493478/cdk009THT diakses
tanggal 19 Desember 2012

24

Anda mungkin juga menyukai