Anda di halaman 1dari 31

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

PERIODE 21 OKTOBER – 23 NOVEMBER 2019

REFERAT
MANAJEMEN TRAUMA LARING DAN TRAKEA

Dibimbing oleh:
dr. Gunterus Evans, M.Kes, Sp. THT-KL

Disusun oleh:
Quinta Febryani Handoyono (2017-060-10172)
Bryan Nathaniel (2019-060-10016)
Jeremiah Nugraha Mai (2019-060-10023)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga referat mengenai “Manajemen Trauma Laring dan Trakea” dapat
terselesaikan sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Gunterus Evans, M.Kes, Sp.
THT-KL atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini
dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di kemudian
hari. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah pengetahuan
mengenai manajemen trauma laring dan trakea.

Jakarta, 8 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
1.2.1. Tujuan Umum ................................................................. 2
1.2.2. Tujuan Khusus................................................................. 2
1.3. Metode Penelitian ..................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1. Trauma Laring ............................................................................. 4
2.1.1. Mekanisme Trauma Laring ............................................... 5
2.1.1.1. Trauma Tumpul....................................................... 5
2.1.1.2. Trauma Tajam ......................................................... 7
2.1.2. Diagnosis Trauma Laring.................................................. 7
2.1.3. Manajemen Trauma Laring ............................................... 9
2.1.3.1. Manajemen Medis ................................................... 11
2.1.3.2. Manajemen Surgikal ............................................... 13
2.1.3.3. Manajemen berdasarkan Klasifikasi Schaefer ........ 15
2.1.3.4. Manajemen berdasarkan Jenis Trauma ................... 18
2.1.4. Komplikasi Trauma Laring ............................................... 22
2.2. Trauma Trakea ............................................................................ 24
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 26
3.1. Kesimpulan ................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27

iii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 2.1. Zone Division Trauma Laringotrakeal oleh Roon dan Christiansen......... 4
Tabel 2.2. Klasifikasi Schaefer untuk Trauma Laring ............................................... 16

iv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Mekanisme Trauma Servikal Anterior terhadap Laring ....................... 5
Gambar 2.2. Algoritma Manajemen Trauma Laring ................................................. 11
Gambar 2.3. CT scan Trauma Laring ........................................................................ 21
Gambar 2.4. Pemisahan Laring dan Trakea ............................................................... 22

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Trauma pada laring dan trakea sangat jarang terjadi, hanya sekitar 1%
kasus trauma laringotrakeal pada temuan di IGD. Hal ini diyakini disebabkan
oleh kondisi anatomi dari laring itu sendiri yang bersifat elastis dan mobile.
Walaupun jumlah kasusnya sedikit, pasien dengan trauma laringotrakeal
sangat penting untuk segera ditangani karena dapat menimbulkan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat sekuele dari trauma ini.1,2
Trauma laringotrakeal dapat terjadi secara internal maupun eksternal,
bergantung dari bagaimana mekanisme dari trauma tersebut. Kedua tipe
trauma ini dapat bersifat membahayakan nyawa pasien dan memberikan efek
buruk sekuele trauma jangka panjang seperti disfonia, aspirasi laring,
stenosis jalan napas, dan ketergantungan pada trakeostomi.3 Trauma
eksternal memiliki insidensi kejadian 1 dari 137.000 populasi orang dewasa
yang dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma tajam.1 Trauma tumpul
terjadi sekitar 60% dari total kejadian trauma eksternal.4 Trauma
laringotrakeal sering kali dikaitkan dengan trauma servikal dan kranial
dikarenakan oleh pasien dengan trauma laringotrakeal cenderung memiliki
trauma yang bersifat multisistem dan politrauma.2
Klinisi perlu untuk menangani pasien dengan trauma laringotrakeal
secara multidisiplin.2 Hal ini dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
menyeluruh pada pasien dimulai dari prinsip ABC (airway-breathing-
circulation) dan dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap faring, esofagus,
kelenjar saliva, kelenjar tiroid, bagian dada, saraf, dan pembuluh darah besar
khususnya bagian kepala hingga dada.1,3 Operasi merupakan tatalaksana
definitif yang dapat dilakukan untuk menangani pasien dengan trauma laring
dan trakea. Kurang lebih terdapat 25% pasien trauma laring dan trakea yang
membutuhkan operasi segera. Saat ini dilaporkan bahwa trauma trakea akut
memiliki angka morbiditas 15-40%.4 Oleh karena itu, penting sebagai klinisi

1
2

untuk mengerti bagaimana mendiagnosis dan memberi tatalaksana secara


tepat pada pasien dengan trauma jalan napas atas.

1.2. Tujuan Penulisan


1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui manajemen pada trauma laring dan trakea.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui mekanisme trauma, manajemen serta komplikasi
dari trauma laring.
b. Mengetahui mekanisme trauma, manajemen serta komplikasi
dari trauma trakea.

1.3. Metode Penelitian


Penulisan referat ini menggunakan metode penulisan tinjauan
kepustakaan yang diambil dari berbagai literatur.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trauma Laring


Trauma laring merupakan salah satu kejadian trauma yang cukup jarang namun
bersifat membahayakan nyawa, sehingga apabila terjadi diperlukan manajemen yang
tepat untuk menyelamatkan nyawa dan mempertahankan fungsi jalan napas serta fungsi
menghasilkan suara. Trauma yang berat dan adanya penundaan manajemen berkorelasi
dengan prognosis yang buruk.1,3,5
Terdapat beberapa klasifikasi trauma laring dan trakea berdasarkan lokasi anatomi,
zone division oleh Roon dan Christiansen, dan mekanisme terjadinya trauma. Pada
trauma laringotrakeal berdasarkan anatominya dibagi menjadi supraglottis, glottis, dan
subglottis. Berdasarkan zone division Roon and Christiansen, trauma laring dan trakea
masuk ke dalam zona 1 dan 2 (tabel 2.1.) dan klinisi tidak boleh melupakan bahwa
trauma bisa terjadi diluar dari zona khususnya pada trauma tajam. Sementara itu,
berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi trauma internal dan trauma eksternal.
Trauma internal merupakan trauma yang dapat disebabkan oleh iatrogenik (intubasi
dengan endotracheal tube), trauma termal, trauma inhalasi maupun trauma akibat benda
asing, sedangkan trauma eksternal dapat dibagi menjadi trauma tumpul dan trauma
tajam. Prinsip manajemen dari trauma internal laring sama dengan trauma eksternal
laring.1–3

Tabel 2.1. Zone Division Trauma Laringotrakeal oleh Roon dan Christiansen2

4

5

2.1.1. Mekanisme Trauma Laring


2.1.1.1. Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada laring biasanya disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, tindakan kekerasan maupun trauma olah raga.
Biasanya struktur mandibula dan sternum melindungi laring, namun
pada kejadian trauma, leher dapat mengalami hiperekstensi sehingga
tulang-tulang laring dapat terkena cedera. Laring juga rentan terhadap
trauma servikal anterior yang dapat menekan laring terhadpa kolumna
vertebralis. Melalui trauma tumpul, dapat terjadi robekan mukosa
endolaring, edema maupun hematoma, dan dengan trauma yang lebih
berat dapat menyebabkan fraktur pada kartilago laring serta
terganggunya struktur ligamen laring.1–3,6

Gambar 2.1. Mekanisme Trauma Servikal Anterior


terhadap Laring1

Subluksasi atau dislokasi dari kartilago arytenoid dapat


menyebabkan pita suara tidak dapat bergerak. Trauma pada nervus
laryngeal rekuren secara unilateral biasanya berhubungan dengan

adanya cedera pada sendi cricoarytenoid, sedangkan trauma bilateral


pada nervus laryngeal rekuren berhubungan dengan separasi struktur
cricotracheal. Fraktur pada kartilago cricoid dapat terjadi secara
soliter maupun disertai trauma pada struktur lainnya, terutama apabila
terjadi trauma servikal bawah. Integritas struktural dari kartilago
cricoid penting untuk mempertahankan jalan napas karena
merupakan satu-satunya struktur yang berbentuk cincin komplit.1–3
Pada kasus trauma tumpul terhadap daerah servikal, dapat
melibatkan berbagai organ yang berada di sekitarnya. Fraktur dari os
hyoid dan cedera pada epiglotis yang menyertain dapat menyebabkan
obstruksi jalan napas. Jenis kelamin dan usia memiliki peran dalam
menentukan kemungkinan terjadinya berbagai macam cedera akibat
trauma tumpul. Wanita dikatakan lebih rentan terhadap terjadinya
cedera pada struktur supraglotis karena memiliki leher yang lebih
panjang dan kecil. Populasi lanjut usia memiliki risiko yang lebih
tinggi terhadap terjadinya fraktur kominutif laring karena telah terjadi
lebih banyak osifikasi kartilago laring dibandingkan populasi yang
lebih muda.1–3
Trauma tumpul pada anak-anak memiliki efek yang berbeda
pada laring dibandingkan orang dewasa. Laring pada anak-anak
letaknya lebih tinggi dibandingkan laring pada orang dewasa,
sehingga mendapat perlindungan dari mandibula. Trauma pada anak-
anak memiliki derajat yang lebih ringan karena terdapat elastisitas
dari struktur kartilago dan tulang, namun risiko terjadinya kerusakan
jaringan lunak lebih tinggi karena kurangnya struktur jaringan fibrosa
dan membran mukosa yang tidak rapat. Diameter laring yang lebih
kecil pada anak juga menyebabkan peningkatan risiko distres napas
sekunder akibat trauma yang ringan sekalipun.1,3
Pada trauma tumpul akibat strangulasi manual atau akibat
gantung diri memberikan pola cedera laring yang berbeda-beda
karena gaya yang ditimbulkan bersifat statis dan dengan kecepatan
yang lambat. Hal ini dapat menyebabkan fraktur kartilago multipel
tanpa menimbulkan laserasi mukosa secara langsung, hematoma
submukosa maupun perubahan posisi fraktur yang bermakna.3

2.1.1.2. Trauma Tajam


Trauma tajam pada umumnya disebabkan oleh trauma akibat
pisau atau trauma tembak. Trauma yang ditimbulkan bervariasi,
mulai dari laserasi minor hingga gangguan pada kartilago, mukosa,
jaringan lunak, saraf dan struktur sekitarnya yang berat. Trauma
tembak lebih banyak dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang
lebih berat. Kematian akibat trauma tajam dapat disebabkan oleh
gangguan komplit pada laring, edema jaringan lunak yang masif atau
trauma pada struktur neurovaskular sekitarnya.1,3

2.1.2. Diagnosis Trauma Laring


a) Anamnesis
Semua pasien yang mengalami trauma leher anterior dianggap
memiliki cedera saluran napas atas. Gejala klasik dari trauma laring
antara lain suara serak atau perubahan suara, nyeri pada laring, sesak
napas (dyspnea), nyeri menelan (odinofagia) dan kesulitan menelan
(disfagia). Tidak satupun gejala berkorelasi dengan derajat berat-
ringannya cedera. Apabila lumen laring mengalami cedera berat, dapat
terjadi afonia dan apnea, sehingga dibutuhkan alternatif jalan napas
secepatnya.1,3,5–8

b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh pada leher perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi cedera pada struktur neurovaskular sekitarnya. Cedera
servikal harus disingkirkan terlebih dahulu pada semua pasien dengan
trauma leher. Apabila terdapat perdarahan aktif, hematom yang meluas,
bruit dan tidak terabanya pulsasi nadi, maka dapat menandakan adanya
cedera terhadap struktur vaskular. Tanda dari trauma laring biasanya
antara lain adanya dyspnea, stridor, hemoptisis, ekimosis pada kulit
bagian servikal, emfisema subkutan dan nyeri tekan, krepitus atau
deformitas pada struktur tulang laring.1,3,5–8 Adanya nyeri pada palpasi
membantu dalam membedakan fraktur laring akut atau deformitas yang
sudah kronik.3 Tipe dari stridor juga dapat membantu menentukan lokasi

dari lesi yang bersangkutan. Apabila terdengar stridor inspirasi, maka


biasanya mengindikasikan adanya obstruksi jalan napas supraglotis
parsial, yang dapat terjadi karena edema, hematoma, benda asing, cedera
jaringan lunak atau fraktur kartilago. Stridor ekspirasi dapat
menandakan adanya abnormalitas jalan napas bagian bawah yang dapat
disebabkan oleh cedera trakea. Apabila ditemukan kombinasi antara
stridor inspirasi dan ekspirasi (stridor bifasik) dapat menandakan adanya
obstruksi parsial pada level glotis.1,3,7
Emfisema subkutan servikal dihubungkan dengan adanya gangguan
integritas dari saluran napas dan pencernaan bagian atas (upper
aerodigestive tract). Gangguan jalan napas yang lebih lanjut dapat
disebabkan oleh perubahan posisi trakea atau tension pneumothorax.
Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan ventilasi berlebih pada
pasien dengan trauma laring karena hal ini dapat memperburuk
emfisema subkutan dan berpotensi menyebabkan pneumothorax.1,3,5–7
Pemeriksaan menggunakan laringoskopi fiberoptik direk dapat
sangat membantu untuk memeriksa mobilitas dari pita suara, posisi dari
kartilago arytenoid, hematoma, laserasi dan patensi jalan napas. Rigid
esophagoscopy merupakan cara terbaik untuk memeriksa hipofaring dan
esofagus apabila terdapat indikasi, namun harus menyingkirkan
kemungkinan cedera servikal terlebih dahulu.1,3,5,7

c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dengan computed tomography (CT scan)
merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna dalam
mengevaluasi trauma laring. CT scan berguna apabila hasil dari
pemeriksaan tersebut dapat mempengaruhi tatalaksana yang akan
diberikan pada pasien, seperti ditemukannya avulsi epiglottis, dislokasi
atau subluksasi cricoarytenoid, fraktur komunituf, disrupsi komisura
anterior dan paralisis nervus laryngeal rekuren bilateral. Pasien yang
tidak mendapat keuntungan melalui pemeriksaan CT scan antara lain
yaitu pasien dengan trauma leher anterior mininal dengan hasil
pemeriksaan fisik normal dan pasien dengan fraktur yang jelas, laserasi
endolaring yang luas atau cedera trauma tajam dengan derajat berat.1,3,5–

7
Beberapa indikasi diperlukannya pemeriksaan radiologis pada kasus
trauma laring antara lain adanya trauma leher anterior yang signifikan
dengan atau tanpa hasil pemeriksaan fisik yang abnormal (contoh:
disfonia atau hemoptysis), hasil evaluasi kondisi endolaring
menggunakan endoskopi yang terbatas karena terdapat perdarahan atau
edema, klinisi tidak yakin dengan derajat trauma laring dan pemeriksaan
radiologis hanya dilakukan apabila terdapat supervisi dari klinisi yang
memiliki kemampuan untuk melakukan intubasi pada situasi gawat
darurat.9,10
CT scan dapat membantu mengkonfirmasi hasil laringoskopi direk
maupun indirek, untuk mendeteksi adanya fraktur kartilago yang tidak
dapat dievaluasi secara klinis, menilai area-area yang sulit divisualisasi
(subglotis, regio komisura anterior) serta mengidentifikasi adanya
cedera servikal. Selain menggunakan CT scan, perlu dilakukan
radiografi thorax (X-RAY) terhadap os servikal untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya cedera vertebrae. Melalui pemeriksaan X-RAY
thorax juga dapat ditemukan adanya pneumothorax,
pneumomediastinum, emfisema subkutan atau deviasi trakea.
Disarankan untuk memeriksa seluruh vertebrae servikal agar tidak
melewatkan adanya kemungkinan cedera pada vertebrae servikal bagian
bawah.1,3,5,7,10

2.1.3. Manajemen Trauma Laring


Tujuan utama dari manajemen trauma laring akut adalah untuk
menyelamatkan nyawa dengan menjaga patensi jalan napas dan mengembalikan
fungsi laring. Evaluasi awal dari tatalaksana pada pasien dengan trauma terdiri
dari preservasi jalan napas, resusitasi jantung, kontrol perdarhan, stabilisasi
cedera saraf dan tulang belakang serta investigasi secara sistemik untuk mencari
cedera pada sistem organ yang lainnya.1,3,7,10
Pada kasus trauma laring, apabila hendak melakukan intubasi orotrakeal,
sebaiknya dilakukan dengan visualisasi direk oleh petugas kesehatan yang
berpengalaman menggunakan endotracheal tube (ETT) berukuran kecil dengan
cuff volume besar dan tekanan rendah didampingi oleh spesialis telinga-hidung-
tenggorokan (THT). Hal ini penting karena intubasi endotrakeal yang dilakukan


10

pada kasus trauma laring dapat menyebabkan cedera iatrogenik atau


terganggunya patensi jalan napas lebih jauh. Karena hal-hal tersebut maka lebih
disarankan untuk melakukan trakeotomi dengan anestesi lokal pada kasus
trauma laring yang membutuhkan jalan napas alternatif, namun apabila cedera
laring bersifat minimal dan telah dikonfirmasi menggunakan laringoskopi dan
CT scan, maka pemasangan ETT dapat dilakukan. Pada pasien anak-anak, untuk
melakukan trakeotomi dilakukan dengan menggunakan anestesi inhalasi.2,3
Manajemen trauma laring dibagi menjadi manajemen medis dan
manajemen surgikal berdasarkan derajat cedera yang ditentukan berdasarkan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Keputusan untuk memberikan
terapi medis maupun surgikal ditentukan oleh seberapa besar kemungkinan
suatu cedera untuk mengalami perbaikan tanpa intervensi surgikal. Trauma
tajam umumnya lebih membutuhkan eksplorasi secara surgikal dibandingkan
trauma tumpul. Beberapa kondisi yang dapat membaik secara spontan tanpa
sekuele yang serius antara lain edema, hematoma kecil dengan mukosa intak,
laserasi kecil pada glotis atau supraglotis tanpa kartilago yang terekspos dan
fraktur kartilago tunggal yang tidak disertai dislokasi pada laring yang stabil.
Sedangkan kondisi-kondisi yang perlu dilakukan eksplorasi laring secara
surgikal antara lain laserasi yang melibatkan free margin dari pita suara, laserasi
mukosa yang luas, fraktur multipel kartilago disertai dislokasi, kartilago
arytenoid yang mengalami avulsi atau dislokasi dan adanya imobilitas pita
suara.2,3


11

Manajemen surgikal lain yang dapat dilakukan adalah endolaryngeal


stenting. Beberapa kasus yang perlu dilakukan endolaryngeal stenting adalah
struktur komisura anterior yang terganggu, adanya fraktur multipel kartilago
disertai dislokasi serta laserasi endolaringeal multipel yang luas. Pada
umumnya, tindakan endolaryngeal stenting dihindari sebisa mungkin, namun
dapat diindikasikan pada manajemen dari cedera-cedera di atas untuk
menghindari hilangnya struktur scaphoid dari komisura anterior, untuk
stabilisasi fraktur kominutif dan laserasi serta mencegah terjadinya stenosis
endolaring.3

Gambar 2.2. Algoritma Manajemen Trauma Laring3

2.1.3.1. Manajemen Medis


Tujuan dari terapi adjuvan adalah untuk mengeliminasi cedera
lanjut dan mempercepat pemulihan. Perjalanan klinis setelah terjadi
trauma tumpul pada leher bersifat tidak pasti, sehingga rawat inap
dengan observasi ketat selama minimal 24 jam direkomendasikan
untuk mengobservasi tanda-tanda progresivitas gangguan jalan napas


12

dan perburukan dari edema laring. Terapi adjuvan yang disarankan


untuk pasien dengan trauma laring antara lain1,3,7,10:
o Tirah baring dengan elevasi kepala 30o selama beberapa hari
untuk membantu meredakan edema pada laring.
o Voice rest (mengistirahatkan suara) selama suatu periode dapat
membantu mengurangi edema laring serta mengurangi progresi
dari hematom dan emfisema subkutan.
o Diet cair dengan suplementasi melalui intravena. Nutrisi
melalui nasogastric tube (NGT) biasanya tidak diperlukan,
selain itu penggunaan NGT dapat memperburuk cedera.
Penggunaan NGT yang terlalu lama dapat menimbulkan trauma
pada laring posterior dan menyebabkan refluks asam lambung.
Agen H2-blocker dan proton pump inhibitors (PPI) dapat
diberikan untuk mencegah laringitis refluks sehingga mencegah
pembentukan scar dan stenosis apabila terdapat cedera mukosa
laring.
o Puasa (nothing by mouth) pada awal terapi dapat dianjurkan
pada pasien dengan robekan hipofaring. Alternatif lain yang
dapat dilakukan adalah pemasangan gastrostomy tube
dibandingkan dengan menggunakan NGT.
o Menggunakan udara sejuk yang dihumidifikasi dapat
membantu mencegah pembentukan krusta karena adanya
kerusakan mukosa dan paralisis silia sementara.
o Suplementasi oksigen biasanya tidak diperlukan, kecuali pada
situasi di mana terjadi desaturasi oksigen.
o Nebulisasi dengan epinefrin dan kortikosteroid sistemik dapat
digunakan untuk mengurangi edema laring dan mencegah
fibrosis, namun belum ada bukti penelitian yang mendukung
penggunaan terapi ini. Penggunaan antibiotik sebagai
profilaksis terhadap infeksi juga dapat digunakan pada kasus
laserasi atau robekan mukosa, namun hal ini juga belum
dibuktikan secara klinis.
o Terapi wicara dapat berguna untuk semua pasien yang
mengalami trauma laring.


13

2.1.3.2. Manajemen Surgikal


Penentuan waktu yang optimal untuk dilakukan evaluasi
dengan endoskopi dan manajemen secara surgikal pada trauma
laring masih kontroversial. Beberapa laporan mengindikasikan
untuk menunggu selama beberapa hari agar edema dapat membaik
sehingga adanya laserasi endolaring dapat diidentifikasi dengan
lebih baik. Saat ini disetujui bahwa melakukan eksplorasi lebih
awal memberikan kesempatan untuk mengevaluasi cederanya dan
dapat memberikan hasil post-operasi yang lebih baik dengan
menurunkan risiko infeksi, penyembuhan yang lebih cepat, jaringan
granulasi lebih sedikit dan jaringan parut yang lebih sedikit.1,3
Endoskopi dapat digunakan untuk memastikan luasnya
cedera pada laring dan juga struktur di sekitarnya. Bronkoskopi
juga dapat digunakan untuk mengevaluasi area subglotis dan trakea.
Esofagoskopi dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
adanya perforasi esofagus.3
Fiksasi dan reduksi secara terbuka pada kasus fraktur
kartilago lebih dipilih dibandingkan reduksi secara tertutup dengan
menggunakan bronkoskop disertai pemasangan stent karena akan
lebih sulit untuk mendapatkan reduksi adekuat pada kondisi
tertutup. Pada kasus cedera berat seperti laserasi luas terhadap
mukosa yang melibatkan komisura anterior, fraktur kominutif
kartilago dan avulsi dari kartilago, merupakan indikasi untuk
dilakukan eksplorasi secara terbuka melalui laringofisura atau
tirotomi dengan menggunakan stenting. Eksplorasi dilakukan
melalui insisi horizontal pada lipatan kulit di level membran
cricothyroid. Insisi ini dapat diekstensi untuk melakukan eksplorasi
lebih jauh dan melakukan koreksi terhadap cedera neurovaskular
atau cedera viseral lainnya.1,3,5,6
Semua membran mukosa, otot dan kartilago dengan aliran
darah yang viabel di pertahankan dan dikembalikan ke posisi
semula. Kartilago yang terekspos harus ditutup kembali karena
penting dalam pembentukan jaringan granulasi dan fibrosis.


14

Adanya laserasi dijahit menggunakan materi absorbable. Fraktur


kartilago dapat dilakukan repair dengan wire, non-absorbable
suture, resorbable miniplate atau permanent miniplate. Insisi
tirotomi ditutup menggunakan wire, nonabsorbable suture atau
miniplates. Apabila bagian anterior dari cincin crioid tidak ada,
maka dapat dilakukan penjahitan otot infrahyoid ke arah defek
tersebut sehingga tetap mempertahankan jalan napas dan fungsi
suara.1,3,7,10
a) Grafting
Untuk melakukan konservasi dari struktur anatomi normal
dan manajemen surgikal yang dibutuhkan segera, maka
diperlukan tindakan grafting. Grafting dengan membran
mukosa atau kulit digunakan untuk menutup kartilago yang
terekspos. Namun tindakan grafting bukan merupakan
substitusi terhadap penutupan laserasi laring yang dilakukan
secara hati-hati.3
b) Stenting
Stent dipakai pada trauma laringotrakeal dari dahulu untuk
memperkuat perbaikan menggunakan jahitan. Stent
dipasangkan dari sisi dalam lokasi fraktur untuk
mempertahankan fiksasi dari hasil jahitan. Kehadiran
miniplate untuk menangani kebanyakan trauma laringotrakea
membuat stenting hanya dipakai ketika trauma menyebabkan
kehilangan jaringan endolaring dalam jumlah yang hebat
sehingga mukosa tidak dapat didekatkan dengan dijahit.
Indikasi penggunaan stent adalah fraktur kartilago multipel
yang tidak dapat distabilisasi secara adekuat dengan reduksi
terbuka dan fiksasi internal serta laserasi ekstensif yang
melibatkan komisura anterior. Apabila struktur tulang laring
dalam kondisi stabil disertai komisura anterior yang intak,
maka stenting tidak diperlukan. Stent bukan merupakan
substitusi untuk penutupan primer dari laserasi mukosa dan
reduksi serta fiksasi internal dari kasus fraktur.1,3


15

Pemasangan dari stent pada laring harus dilakukan secara


tepat, karena harus difiksasi pada laring agar dapat bergerak
bersama laring saat proses menelan dan dapat diambil dengan
bantuan endoskopi. Durasi stabilisasi laring menggunakan
stent masih kontroversial. Perlu dipertimbangkan mengenai
risiko terjadinya infeksi dan nekrosis pada luka yang dapat
terjadi pada penggunaan stenting dalam waktu lama.1,3

Manajemen post-operasi adalah dengan melakukan voice rest


selalama 48-72 jam, menggunakan NGT sampai fungsi menelan
kembali maksimal, penggunaan obat anti-refluks asam lambung
pada pasien dengan robekan mukosa dan pemberian antibiotik
sebagai profilaksis. Pasien juga diposisikan dalam posisi head-up
30o untuk mengurangi edema dan apabila perlu dapat dilakukan
trakeotomi. Mobilisasi dini dianjurkan dan penggunaan stent
disarankan 10-14 hari. Pada pasien dengan pemisahan cricotracheal
maka leher dijaga dalam posisi fleksi selama tujuh hari untuk
mencegah traksi dari anastomosis.1,3,10

2.1.3.3. Manajemen berdasarkan Klasifikasi Schaefer


Terdapat banyak klasifikasi dari trauma laring yang
mengkategorikan trauma berdasarkan lokasi, jenis jaringan yang
mengalami cedera dan derajat trauma tersebut. American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery menyatakan Schaefer
Classification System sebagai klasifikasi yang paling berguna
karena dapat membantu klinis dalam menentukan tatalaksana.
Manajemen trauma pada laring didasarkan pada klasifikasi oleh
Schaefer yang mengelompokan trauma laringotrakeal dalam lima
kelompok. Schaefer 1 merupakan trauma paling ringan dan terus
meningkat sampai Schaefer 5 yang terjadi separasi antara laring
dengan trakea.5,7


16

Tabel 2.2. Klasifikasi Schaefer untuk Trauma Laring7

a) Schaefer 1
Pada Schaefer 1, luka masih terbatas pada jaringan
laring yang berupa laserasi atau hematoma ringan,
penekanan tatalaksana untuk level ini adalah istirahat dan
pemberian obat untuk mengatasi gejala. Trauma pada level
ini cenderung akan sembuh dengan sendirinya tanpa ada
komplikasi yang berarti. Evaluasi diawali dengan melakukan
evaluasi trauma lengkap, kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan laringoskopi fiber optic fleksibel dilakukan
untuk mengevaluasi jalan nafas lebih baik.7,10,11
Cedera ringan secara umum ditatalaksana secara medis
dan tidak membutuhkan tindakan bedah. Beberapa terapi
adjuvan yang dapat membantu pada kasus ini antara lain
pemberian kortikosteroid, antibiotik, obat anti-refluks,
humidifikasi udara dan voice rest.7,10,11
b) Schaefer 2
Pada Schaefer 2 trauma yang terjadi sudah
menyebabkan adanya gangguan pada mukosa laring yang
berupa hematom, edema lebih berat dan laserasi. Kartilago
laring masih tertutup dan belum terjadi fraktur daripada
kartilago laring. Evaluasi dengan menggunakan laringoskopi
direk dan esofagoskopi perlu dilakukan karena cedera dapat
lebih serius dari yang terlihat setelah laringoskopi dengan
fiber optic fleksibel. Pemeriksaan berulang perlu dilakukan


17

karena cedera dapat memburuk seiring waktu, terkadang


diperlukan trakeotomi. Terapi adjuvan dapat membantu,
seperti pemberian kortikosteroid, obat anti-refluks,
humidifikasi udara, voice rest dan antibiotik.7,10,11
c) Schaefer 3
Pada Schaefer 3 sudah terdapat edema sangat berat
dengan laserasi pada lapisan mukosa yang luas. Kartilago
laring sudah terlihat dari luar dengan adanya fraktur kartilago
atau imobilitas pita suara. Evaluasi menggunakan
laringoskopi direk dan esofagoskopi dilakukan di ruang
operasi. Pada kasus ini biasanya perlu dilakukan trakeotomi.
Tindakan eksplorasi dan tatalaksana surgikal biasanya juga
diperlukan. Beberapa kondisi yang memerlukan tatalaksana
surgikal antara lain yaitu gangguan komisura anterior,
laserasi mayor pada endolaring, robekan pita suara,
imobilitas pada pita suara, kartilago yang terekspos, fraktur
kartilago yang mengalami perubahan posisi, dislokasi dan
subluksasi arytenoid.7,10,11
d) Schaefer 4
Pada Schaefer 4, manifestasi yang terjadi sama seperti
pada Schaefer 3 namun dengan adanya gangguan pada laring
anterior, fraktur yang tidak stabil, dua atau lebih garis fraktur
atau cedera pada lapisan mukosa yang sangat berat. Evaluasi
dengan menggunakan laringoskopi direk dan esofagoskopi
harus dilakukan. Trakeostomi selalu diperlukan pada kasus
ini. Tindakan pembedahan pada cedera kelompok ini selalu
diperlukan pemasangan stent untuk mempertahankan
integritas laring.7,10,11
e) Schaefer 5
Pada kelompok Schaefer 5, sudah terjadi pemisahan
total antara kartilago laring dengan trakea. Pasien dengan
trauma Schaefer 5 jarang yang bisa sampai ke IGD dengan
selamat. Pada level ini pasien biasanya sudah dalam kondisi
distres pernafasan hebat dan segera memerlukan evaluasi dan


18

manajemen segera. Gangguan jalan nafas terjadi pada level


kartilago cricoid, membran cricothyroid atau cricotracheal
junction. Manajemen akan selalu memerlukan trakeotomi
dengan tatalaksana surgikal berupa laryngotracheal repair
yang kompleks harus dilakukan melalui insisi servikal bawah
setelah patensi jalan napas dipertahankan.7,10,11

2.1.3.4. Manajemen Surgikal berdasarkan Jenis Trauma


a) Trauma Inhalasi
Trauma inhalasi merupakan salah satu contoh trauma
internal laring. Pada trauma inhalasi, saluran nafas atas akan
terkena dampak paling berat saat inspirasi udara dengan suhu
tinggi. cedera inhalasi sering dialami oleh pasien luka bakar
meskipun lapisan luar kulit pasien tidak terbakar oleh karena
itu penting untuk melakukan anamnesis yang baik supaya
kemungkinan cedera inhalasi dapat ditemukan.7
Efek dari cedera inhalasi biasanya baru terlihat setelah 24
sampai 48 jam oleh karena itu penting untuk melakukan
observasi ketat dan rawat inap khususnya pada pasien dengan
gejala. Saluran nafas atas perlu dipantau secara ketat
menggunakan laringoskopi fleksibel.7
b) Robekan pada Endolaring
Jika terjadi robekan pada endolaring biasanya trakeotomi
diperlukan untuk dapat mengakses dan memperbaiki jaringan
yang robek secara adekuat. Semua robekan yang melibatkan
true vocal cord margin dan komisura anterior perlu dijahit
menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0, jika pita suara
terlepas dari dinding anterior maka perlu dijahit dengan
menempelkan sisi anterior pita suara ke perikondrium
eksternal. Kartilago yang terbuka ditutup menggunakan
mucosa advancement flaps dan kartilago arytenoid yang
terdislokasi atau subluksasi harus dikembalikan pada posisi
yang seharusnya.7,10


19

c) Edema Endolaring
Pasien dengan edema endolaring yang tampak berkembang
ke arah lebih buruk perlu dilakukan trakeotomi untuk
menghindari tertutupnya jalan nafas. Setelah trakeotomi
berhasil dilakukan, pasien dengan edema yang signifikan
harus dievaluasi menggunakan laringoskopi dan esofagoskopi
direk untuk menemukan luka-luka halus yang tertutup oleh
edema endolaring. Tatalaksana adjuvan direkomendasi kuat.7
d) Hematoma Endolaring
Pasien dengan hematoma endolaring perlu dirawat inap dan
diobservasi jalur nafasnya secara ketat karena hematoma
dengan ukuran sekecil apapun dapat berkembang. Hematoma
dengan ukuran yang kecil dan mukosa yang intak biasanya
akan sembuh dengan sendirinya tanpa ada sekuel yang berarti.
Tatalaksana adjuvan cukup untuk hematoma kecil. Hematoma
dengan ukuran yang lebih besar atau berkembang dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas dan memerlukan
trakeotomi.7,10
e) Cedera Nervus Laryngeal Rekuren
Cedera persarafan pada laring biasanya disebabkan trauma
tumpul atau tajam yang menyebabkan adanya peregangan
atau kompresi saraf pada cricoarytenoid joint. Tatalaksana
cedera saraf laring rekuren memiliki beberapa pertimbangan,
yaitu7:
• Pada kasus di mana hanya ditemukan imobilitas pita
suara setelah trauma tumpul, observasi dapat dilakukan
selama satu tahun untuk memastikan regenerasi spontan
dari fungsi persarafan laring.
• Jika terdapat saraf laring yang terputus maka perbaikan
primer perlu dilakukan meskipun pita suara belum dapat
bergerak bahkan setelah diperbaiki dengan sempurna
karena adanya campuran persarafan otot abduksi dan
adduksi. Regenerasi saraf akan mencegah atrofi otot dan


20

meningkatkan vocal cord tone dan vocal strength dalam


jangka panjang.
• Jika re-anastomosis saraf yang terputus tidak
memungkinkan maka ansa hipoglossi dapat dialihkan
dan dijahit ke distal stump pada nervus laryngeal
rekuren untuk meningkatkan tonus otot pita suara.
f) Fraktur Laring
Fraktur laring terbagi dua, yakni fraktur dengan atau tanpa
disposisi. Fraktur laring tanpa disposisi tidak banyak
menimbulkan gejala namun efeknya secara jangka panjang
jika dibiarkan akan mengubah suara. Fraktur dengan disposisi
dari tiroid atau kartilago krikoid harus segera dilakukan
reduksi dan fiksasi untuk mengembalikan struktur ke bentuk
semula. Penanganan kartilago yang terdisposisi harus
mendahului perbaikan luka pada jaringan lunak endolaring
untuk memastikan jaringan lunak endolaring memiliki tempat
yang baik untuk dijahit.5,7
Fiksasi kartilago krikoid dapat menggunakan miniplate atau
dijahit dengan benang jahit. Dilihat dari hasil penyembuhan,
penggunaan miniplate jauh lebih superior dibandingkan
dengan dijahit. Menjahit menggunakan benang jahit biasanya
akan menyebabkan fraktur yang dalam proses penyembuhan
digantikan jaringan fibrosa (sebaiknya jaringan kartilago)
selain itu benang jahit biasanya kurang mampu untuk
mempertahankan posisi anatomis dari laring sehingga
penyembuhan tidak optimal.5,7,10
Perhatian khusus harus diberikan pada penggunaan
miniplate pada pasien pediatric karena lapisan kartilago yang
berbeda dari orang dewasa. Saat pemasangan sebaiknya
lubang screw dibuat lebih kecil dari biasanya.7


21

Gambar 2.3. CT scan Trauma Laring; (kiri) CT scan laring sebelum


pemasangan miniplate, (kanan) CT scan laring setelah pemasangan miniplate7

g) Pemisahan Laring dari Trakea


Trauma jenis ini termasuk dalam kategori Schaefer 5,
pemisahan laring dari trakea adalah kondisi terburuk yang
dapat terjadi pada pasien akibat trauma laringotrakea yang
sangat mengancam nyawa. Gejala yang timbul sudah
dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Hal penting yang harus
diperhatikan jika laring terpisah dari trakea adalah perubahan
anatomi yang terjadi. Ketika laring terpisah dari trakea, laring
biasanya akan tertarik ke atas dan trakea akan retraksi ke
belakang sternum. Perubahan anatomi ini menyebabkan insisi
trakeotomi rendah perlu dilakukan. Tindakan selanjutnya
setelah trakeotomi berhasil adalah pemeriksaan penunjang
(rontgen, CT scan) dan penanganan pneumothorax yang
sering terjadi.7,10
Evaluasi dan tatalaksana awal akan dilanjutkan di ruang
operasi untuk laringoskopi direk, esofagoskopi, dan perbaikan
trakea. Bagian yang terputus dijahit menggunakan benang
non-absorbable dengan simpul yang diletakan di luar lumen.
Manuver untuk melepaskan suprahyoid dan infrahyoid
mungkin diperlukan untuk menjahit bebas tegangan.10


22

Pasien dengan pemisahan antara laring dan trakea biasanya


akan mengalami paralisis pita suara akibat peregangan atau
robeka nervus laryngeal rekuren. Identifikasi tempat
kerusakan dan perbaikan harus dilakukan.7

Gambar 2.4. Pemisahan Laring dan Trakea5

h) Manajemen Jalan Napas Darurat


Pada semua kasus trauma perlu memperhatikan tiga hal
utama, yaitu Airway, Breathing, dan Circulation (A-B-C).
Pada kasus trauma laringotrakea perlu diperhatikan bahwa
gejala awal biasanya tampak ringan meskipun trauma yang
terjadi sangat berat. Trauma laringotrakea juga memiliki
kecenderungan untuk mengalami perburukan dalam waktu
yang sangat singakt jika tidak diidentifikasi dengan baik.
Laringoskopi fiberoptik fleksibel menjadi alat yang sangat
penting dalam semua kasus trauma laringotrakea.7

2.1.4. Komplikasi Trauma Laring


Diagnosis dari cedera laring dan pemberian manajemen yang adekuat dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas dari trauma laring. Semua pasien
dengan trauma laring dilakukan follow-up selama minimal 12 bulan.
Komplikasi post-operasi yang paling sering terjadi pada kasus trauma laring
adalah pembetukan jaringan granulasi, di mana biasanya terjadi pada kasus
kartilago yang terekspos. Pembentukan jaringan granulasi ini dapat menjadi
prekursor terhadap terbentuknya fibrosis dan stenosis laring. Morbiditas jangka


23

panjang lainnya dapat berupa disfonia dan peningkatan risiko aspirasi sebagai
konsekuensi cedera structural dan neurovaskular.1,3,5
Beberapa teknik yang digunakan untuk menghentikan pembentukan dari
jaringan granulasi, seperti penggunaan kortikosteroid intralesi, splinting jangka
panjang dan iradiasi dosis rendah, namun hasilnya kurang memuaskan. Teknik
yang paling efektif adalah dengan meminimalisir pembentukan jaringan
granulasi dengan menutup semua kartilago yang terekspos pada kasus laserasi
laring. Kontrol refluks asam lambung dengan menggunakan H2-blocker atau
PPI dapat membantu mengurangi pembentukan jaringan granulasi. Apabila
digunakan stent, maka penggunaan stent dengan durasi minimal dapat
mengurangi pembentukan jaringan granulasi.1,3
Apabila jaringan granulasi telah terbentuk dan menimbulkan fibrosis dan
stenosis laring, dapat dilakukan koreksi namun tergantung dari derajat
stenosisnya. Stenosis supraglotis biasanya dapat dikoreksi dengan melakukan
eksisi pada jaringan parut dan menutup lukanya. Apabila stenosis luas, maka
perlu mengangkat sebagian besar lipatan epiglottis atau aryepiglotis. Pada
beberapa kasus dengan derajat berat dapat dilakukan laringektomi supraglotis.
Pada kasus dengan stenosis subglotis, tatalaksananya sulit apapun derajat
stenosisnya. Apabila lesi tidak ekstensif maka dapat dilakukan dilatasi berulang
atau eksisi laser non-sirkumferen konservatif pada jaringan parut tersebut.3,5
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah imobilisasi dari pita suara karena
adanya cedera nervus laryngeal rekuren atau karena dislokasi atau fiksasi sendi
cricoarytenoid akibat trauma tumpul. Untuk membedakan keduanya dapat
dilakukan dengan melakukan observasi terhadap pergerakan pita suara
menggunakan laringoskopi fiber optic dan videostrobolaryngoscopy diikuti
dengan palpasi direk pada arytenoid untuk menilai mobilitasnya. Selain itu,
dapat digunakan elektromiografi (EMG) laring untuk membedakan paralisis
pita suara dari dislokasi arytenoid. Apabila kartilago arytenoid dapat bergerak,
maka pita suara diobservasi selama satu tahun untuk menunggu kembalinya
fungsi nervus laryngeal rekuren secaran spontan, namun dengan pemeriksaan
EMG periode observasi dapat dipersingkat karena dapat memperkirakan
prognosis kesembuhan spontan tersebut. Apabila pasien mengeluhkan aspirasi
atau disfonia yang berat, sebagai manajemen sementara dapat dengan
memberikan injeksi gelfoam, lemak, hydroxyapatite paste atau asam hialuronat


24

pada pita suara. Paralisis yang persisten dapat dilakukan rehabilitas dengan
manajemen laring secara surgikal. Pada kasus fiksasi unilateral dari kartilago
arytenoid dengan suara dan jalan napas yang adekuat, tidak diperlukan terapi.
Arytenoidektomi dan lateralisasi pita suara dilakukan pada kasus fiksasi
arytenoid bilateral atau paralisis nervus laryngeal rekuren dengan jalan napas
yang terganggu.1,3,5

2.2. Trauma Trakea


Trauma trakeobronkial sangat jarang terjadi, namun memiliki tingkat morbiditas
dan mortilitas yang cenderung tinggi.12,13 Trauma tajam lebih sering terjadi pada trakea
dibandingkan dengan yang tumpul, walaupun hal ini hanya 0,4% dari seluruh angka
kejadian trauma tajam pada dada. Trauma tajam mayoritas terjadi akibat luka tembak
langsung pada trakea. Trauma pada trakeobronkial diyakini berasal dari adanya tenaga
dari luar yang sangat kuat hingga dapat melepaskan bronkus dari carina dan menggeser
paru-paru ke lateral. Ada pula teori yang mengatakan bahwa trauma pada trakea juga
bisa terjadi akibat tekanan yang terjebak pada trakea dan paru-paru dengan glotis yang
tertutup sehingga membuat perforasi dari trakea.12
Berdasarkan lokasi dari trauma trakea, trauma pada trakea proksimal cenderung
memiliki banyak gambaran pneumomediastinum pada CT scan. Sementara pada trauma
trakea distal, akan lebih sering terjadi pneumothorax. Pneumothorax yang persisten
menandakan adanya cedera pada bronkus distal dan bronkiolus. Diagnosis untuk
trauma trakeobronkial dapat ditegakkan berdasarkan flexible atau rigid bronchoscopy
dari lokasi cedera, dan kemampuan untuk memanipulasi leher. Bronchoscopy penting
untuk melihat derajat keparahan dan lokasi persisnya dari cedera trakea.12,13
Tatalaksana dari trauma trakea dapat dimulai dengan pemeriksaan fisik yang teliti
dan kontrol jalan napas pasien. Penting untuk memastikan jalan napas pasien terbuka
dan tidak ada penyumbat yang akan menutupnya, hal ini bisa dibantu dengan visualisasi
secara langsung dari bronchoscopy. Untuk mencegah timbulnya infeksi, diperlukan
humidified oxygen, suctioning secara hati-hati, antibiotik profilaksis dan observasi ketat
keadaan pasien. Pemasangan ETT dapat membantu untuk mengembalikan jalan napas
pada trakea yang kolaps.12
Saat cedera bronkial terdapat pada kurang dari 1/3 diameter lumen maka dapat
dilakukan manajemen nonsurgikal apabila didapatkan pengembangan paru yang baik
dan resolusi dari pneumothorax serta kebocoran udara terkait dengan menggunakan


25

chest tube.14 Pada trauma trakea kanan dan proksimal bronkus kiri dapat dilakukan right
posterolateral thoracotomy, Sementara untuk trauma trakea kiri maka paling baik
dilakukan left thoracotomy. Pada jaringan yang lemah dari trauma, dapat ditutup
dengan jahitan absorbable dan bila lukanya besar, dapat dilakukan reseksi segmental
dengan anastomosis. Eksplorasi secara surgikal perlu dilakukan dalam jangka waktu 24
jam sejak kejadian trauma untuk menghindari pembentukan jaringan parut dan stenosis
jalan napas. Jika terdapat pemasangan endolayingeal stenting, maka harus dilepas
setelah 10-14 hari.4
Komplikasi dari trauma trakea ini dapat berupa aspirasi, stenosis jalan napas,
pneumothrorax, cedera nervus laryngeal, dan infeksi. Pasca operasi, leher pasien perlu
diposisikan secara fleksi dan di fiksasi, lalu posisi kepala lebih tinggi dari jantung untuk
mencegah edema, antibiotik profilaksis, dan pastikan ETT yang terpasang pada pasien
tidak menyebabkan cedera baru pada laring dan trakea.4


BAB III
KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan
Trauma pada laring dan trakea sangat jarang terjadi karena beberapa
sebab seperti sifatnya yang lentur, mobile dan banyak organ jaringan yang
melindungi laring serta trakea. Namun, angka morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan trauma laringotrakeal cenderung tinggi. Hal ini menandakan
bahwa klinisi dan praktisi kesehatan perlu menangani kejadian ini dengan
serius. Evaluasi dan manajemen trauma pada laring dan trakea harus
dipertimbangkan dengan cermat dan tepat. Sebelum memberikan tatalaksana
secara langsung pada laring dan trakea, klinisi perlu memerhatikan terlebih
dahulu Initial management of trauma dari pasien, yaitu Airway, Breathing,
dan Circulation. Setelah itu baru fokuskan tatalaksana pada trauma di laring
dan trakea.
Tatalaksana pada laring dan trakea dibagi menjadi beberapa tahap dan
metode berdasarkan jenis klasifikasi, jenis penyebab trauma, dan terapi
adjuvant untuk memaksimalkan pemulihan dan memperbaiki kualitas hidup
dari pasien. Bila tatalaksana dari trauma ini dapat dikerjakan dengan tepat,
maka pasien dapat terhindar dari komplikasi-komplikasi yang
memungkinkan seperti pembentukan jaringan granulasi dan disfonia akibat
nervus laringeal yang cedera secara berulang.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et al.
Cummings otolaryngology: Head and neck surgery. 6th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2015.

2. Hussain S. Logan Turner’s Disease of the Nose, throat and ear head and neck
surgery. 11th edition. Boca Raton: CRC Press; 2016.

3. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s head & neck surgery - otolaryngology. 5th
edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.

4. Santiago-Rosado LM, Lewison CS. Tracheal Trauma. In: StatPearls. Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing; 2019.

5. Moonsamy P, Sachdeva UM, Morse CR. Management of laryngotracheal trauma.


Ann Cardiothorac Surg. 2018 Mar;7(2):210–6.

6. Mendis D, Anderson JA. Blunt laryngeal trauma secondary to sporting injuries. J


Laryngol Otol. 2017 Aug;131(8):728–35.

7. Brennan J, Holt G, Connor M, Donald P, Eusterman V, Hayes D. Resident Manual


of Trauma to the Face, Head, and Neck. Am Acad Otolaryngol-Head Neck Surg.
2012.

8. Kragha KO. Acute Traumatic Injury of the Larynx. Case Rep Otolaryngol.
2015;2015.

9. Miracle AC, Uzelac A. Imaging blunt and penetrating trauma to the neck: Clinical
relevance and management. J Pract Med Imaging Manag. 2016.

10. Kahue CN, Gelbard A. Laryngeal trauma with and without tracheal separation.
Oper Tech Otolaryngol-Head Neck Surg. 2017 Dec 1;28(4):244–51.

11. Schaefer SD. Management of acute blunt and penetrating external laryngeal
trauma. The Laryngoscope. 2014 Jan;124(1):233–44.

12. Townsend C, Beauchamp R, Evers B, Mattox K. Sabiston textbook of surgery.


20th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017.

13. Zhao Z, Zhang T, Yin X, Zhao J, Li X, Zhou Y. Update on the diagnosis and
treatment of tracheal and bronchial injury. J Thorac Dis. 2017 Jan;9(1):E50–6.

14. Cheaito A, Tillou A, Lewis C, Cryer H. Traumatic bronchial injury. Int J Surg
Case Rep. 2016 Sep 4;27:172–5.

27

Anda mungkin juga menyukai