REFERAT
MANAJEMEN TRAUMA LARING DAN TRAKEA
Dibimbing oleh:
dr. Gunterus Evans, M.Kes, Sp. THT-KL
Disusun oleh:
Quinta Febryani Handoyono (2017-060-10172)
Bryan Nathaniel (2019-060-10016)
Jeremiah Nugraha Mai (2019-060-10023)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga referat mengenai “Manajemen Trauma Laring dan Trakea” dapat
terselesaikan sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Gunterus Evans, M.Kes, Sp.
THT-KL atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan selama proses pembuatan
referat ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, oleh
karena itu, penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan referat ini
dan mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan di kemudian
hari. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta menambah pengetahuan
mengenai manajemen trauma laring dan trakea.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR................................................................................................ v
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penulisan ...................................................................... 2
1.2.1. Tujuan Umum ................................................................. 2
1.2.2. Tujuan Khusus................................................................. 2
1.3. Metode Penelitian ..................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 4
2.1. Trauma Laring ............................................................................. 4
2.1.1. Mekanisme Trauma Laring ............................................... 5
2.1.1.1. Trauma Tumpul....................................................... 5
2.1.1.2. Trauma Tajam ......................................................... 7
2.1.2. Diagnosis Trauma Laring.................................................. 7
2.1.3. Manajemen Trauma Laring ............................................... 9
2.1.3.1. Manajemen Medis ................................................... 11
2.1.3.2. Manajemen Surgikal ............................................... 13
2.1.3.3. Manajemen berdasarkan Klasifikasi Schaefer ........ 15
2.1.3.4. Manajemen berdasarkan Jenis Trauma ................... 18
2.1.4. Komplikasi Trauma Laring ............................................... 22
2.2. Trauma Trakea ............................................................................ 24
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 26
3.1. Kesimpulan ................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Zone Division Trauma Laringotrakeal oleh Roon dan Christiansen......... 4
Tabel 2.2. Klasifikasi Schaefer untuk Trauma Laring ............................................... 16
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Mekanisme Trauma Servikal Anterior terhadap Laring ....................... 5
Gambar 2.2. Algoritma Manajemen Trauma Laring ................................................. 11
Gambar 2.3. CT scan Trauma Laring ........................................................................ 21
Gambar 2.4. Pemisahan Laring dan Trakea ............................................................... 22
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1. Zone Division Trauma Laringotrakeal oleh Roon dan Christiansen2
4
5
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh pada leher perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi cedera pada struktur neurovaskular sekitarnya. Cedera
servikal harus disingkirkan terlebih dahulu pada semua pasien dengan
trauma leher. Apabila terdapat perdarahan aktif, hematom yang meluas,
bruit dan tidak terabanya pulsasi nadi, maka dapat menandakan adanya
cedera terhadap struktur vaskular. Tanda dari trauma laring biasanya
antara lain adanya dyspnea, stridor, hemoptisis, ekimosis pada kulit
bagian servikal, emfisema subkutan dan nyeri tekan, krepitus atau
deformitas pada struktur tulang laring.1,3,5–8 Adanya nyeri pada palpasi
membantu dalam membedakan fraktur laring akut atau deformitas yang
sudah kronik.3 Tipe dari stridor juga dapat membantu menentukan lokasi
c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dengan computed tomography (CT scan)
merupakan pemeriksaan radiologis yang paling berguna dalam
mengevaluasi trauma laring. CT scan berguna apabila hasil dari
pemeriksaan tersebut dapat mempengaruhi tatalaksana yang akan
diberikan pada pasien, seperti ditemukannya avulsi epiglottis, dislokasi
atau subluksasi cricoarytenoid, fraktur komunituf, disrupsi komisura
anterior dan paralisis nervus laryngeal rekuren bilateral. Pasien yang
tidak mendapat keuntungan melalui pemeriksaan CT scan antara lain
yaitu pasien dengan trauma leher anterior mininal dengan hasil
pemeriksaan fisik normal dan pasien dengan fraktur yang jelas, laserasi
endolaring yang luas atau cedera trauma tajam dengan derajat berat.1,3,5–
7
Beberapa indikasi diperlukannya pemeriksaan radiologis pada kasus
trauma laring antara lain adanya trauma leher anterior yang signifikan
dengan atau tanpa hasil pemeriksaan fisik yang abnormal (contoh:
disfonia atau hemoptysis), hasil evaluasi kondisi endolaring
menggunakan endoskopi yang terbatas karena terdapat perdarahan atau
edema, klinisi tidak yakin dengan derajat trauma laring dan pemeriksaan
radiologis hanya dilakukan apabila terdapat supervisi dari klinisi yang
memiliki kemampuan untuk melakukan intubasi pada situasi gawat
darurat.9,10
CT scan dapat membantu mengkonfirmasi hasil laringoskopi direk
maupun indirek, untuk mendeteksi adanya fraktur kartilago yang tidak
dapat dievaluasi secara klinis, menilai area-area yang sulit divisualisasi
(subglotis, regio komisura anterior) serta mengidentifikasi adanya
cedera servikal. Selain menggunakan CT scan, perlu dilakukan
radiografi thorax (X-RAY) terhadap os servikal untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya cedera vertebrae. Melalui pemeriksaan X-RAY
thorax juga dapat ditemukan adanya pneumothorax,
pneumomediastinum, emfisema subkutan atau deviasi trakea.
Disarankan untuk memeriksa seluruh vertebrae servikal agar tidak
melewatkan adanya kemungkinan cedera pada vertebrae servikal bagian
bawah.1,3,5,7,10
10
11
12
13
14
15
16
a) Schaefer 1
Pada Schaefer 1, luka masih terbatas pada jaringan
laring yang berupa laserasi atau hematoma ringan,
penekanan tatalaksana untuk level ini adalah istirahat dan
pemberian obat untuk mengatasi gejala. Trauma pada level
ini cenderung akan sembuh dengan sendirinya tanpa ada
komplikasi yang berarti. Evaluasi diawali dengan melakukan
evaluasi trauma lengkap, kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan laringoskopi fiber optic fleksibel dilakukan
untuk mengevaluasi jalan nafas lebih baik.7,10,11
Cedera ringan secara umum ditatalaksana secara medis
dan tidak membutuhkan tindakan bedah. Beberapa terapi
adjuvan yang dapat membantu pada kasus ini antara lain
pemberian kortikosteroid, antibiotik, obat anti-refluks,
humidifikasi udara dan voice rest.7,10,11
b) Schaefer 2
Pada Schaefer 2 trauma yang terjadi sudah
menyebabkan adanya gangguan pada mukosa laring yang
berupa hematom, edema lebih berat dan laserasi. Kartilago
laring masih tertutup dan belum terjadi fraktur daripada
kartilago laring. Evaluasi dengan menggunakan laringoskopi
direk dan esofagoskopi perlu dilakukan karena cedera dapat
lebih serius dari yang terlihat setelah laringoskopi dengan
fiber optic fleksibel. Pemeriksaan berulang perlu dilakukan
17
18
19
c) Edema Endolaring
Pasien dengan edema endolaring yang tampak berkembang
ke arah lebih buruk perlu dilakukan trakeotomi untuk
menghindari tertutupnya jalan nafas. Setelah trakeotomi
berhasil dilakukan, pasien dengan edema yang signifikan
harus dievaluasi menggunakan laringoskopi dan esofagoskopi
direk untuk menemukan luka-luka halus yang tertutup oleh
edema endolaring. Tatalaksana adjuvan direkomendasi kuat.7
d) Hematoma Endolaring
Pasien dengan hematoma endolaring perlu dirawat inap dan
diobservasi jalur nafasnya secara ketat karena hematoma
dengan ukuran sekecil apapun dapat berkembang. Hematoma
dengan ukuran yang kecil dan mukosa yang intak biasanya
akan sembuh dengan sendirinya tanpa ada sekuel yang berarti.
Tatalaksana adjuvan cukup untuk hematoma kecil. Hematoma
dengan ukuran yang lebih besar atau berkembang dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas dan memerlukan
trakeotomi.7,10
e) Cedera Nervus Laryngeal Rekuren
Cedera persarafan pada laring biasanya disebabkan trauma
tumpul atau tajam yang menyebabkan adanya peregangan
atau kompresi saraf pada cricoarytenoid joint. Tatalaksana
cedera saraf laring rekuren memiliki beberapa pertimbangan,
yaitu7:
• Pada kasus di mana hanya ditemukan imobilitas pita
suara setelah trauma tumpul, observasi dapat dilakukan
selama satu tahun untuk memastikan regenerasi spontan
dari fungsi persarafan laring.
• Jika terdapat saraf laring yang terputus maka perbaikan
primer perlu dilakukan meskipun pita suara belum dapat
bergerak bahkan setelah diperbaiki dengan sempurna
karena adanya campuran persarafan otot abduksi dan
adduksi. Regenerasi saraf akan mencegah atrofi otot dan
20
21
22
23
panjang lainnya dapat berupa disfonia dan peningkatan risiko aspirasi sebagai
konsekuensi cedera structural dan neurovaskular.1,3,5
Beberapa teknik yang digunakan untuk menghentikan pembentukan dari
jaringan granulasi, seperti penggunaan kortikosteroid intralesi, splinting jangka
panjang dan iradiasi dosis rendah, namun hasilnya kurang memuaskan. Teknik
yang paling efektif adalah dengan meminimalisir pembentukan jaringan
granulasi dengan menutup semua kartilago yang terekspos pada kasus laserasi
laring. Kontrol refluks asam lambung dengan menggunakan H2-blocker atau
PPI dapat membantu mengurangi pembentukan jaringan granulasi. Apabila
digunakan stent, maka penggunaan stent dengan durasi minimal dapat
mengurangi pembentukan jaringan granulasi.1,3
Apabila jaringan granulasi telah terbentuk dan menimbulkan fibrosis dan
stenosis laring, dapat dilakukan koreksi namun tergantung dari derajat
stenosisnya. Stenosis supraglotis biasanya dapat dikoreksi dengan melakukan
eksisi pada jaringan parut dan menutup lukanya. Apabila stenosis luas, maka
perlu mengangkat sebagian besar lipatan epiglottis atau aryepiglotis. Pada
beberapa kasus dengan derajat berat dapat dilakukan laringektomi supraglotis.
Pada kasus dengan stenosis subglotis, tatalaksananya sulit apapun derajat
stenosisnya. Apabila lesi tidak ekstensif maka dapat dilakukan dilatasi berulang
atau eksisi laser non-sirkumferen konservatif pada jaringan parut tersebut.3,5
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah imobilisasi dari pita suara karena
adanya cedera nervus laryngeal rekuren atau karena dislokasi atau fiksasi sendi
cricoarytenoid akibat trauma tumpul. Untuk membedakan keduanya dapat
dilakukan dengan melakukan observasi terhadap pergerakan pita suara
menggunakan laringoskopi fiber optic dan videostrobolaryngoscopy diikuti
dengan palpasi direk pada arytenoid untuk menilai mobilitasnya. Selain itu,
dapat digunakan elektromiografi (EMG) laring untuk membedakan paralisis
pita suara dari dislokasi arytenoid. Apabila kartilago arytenoid dapat bergerak,
maka pita suara diobservasi selama satu tahun untuk menunggu kembalinya
fungsi nervus laryngeal rekuren secaran spontan, namun dengan pemeriksaan
EMG periode observasi dapat dipersingkat karena dapat memperkirakan
prognosis kesembuhan spontan tersebut. Apabila pasien mengeluhkan aspirasi
atau disfonia yang berat, sebagai manajemen sementara dapat dengan
memberikan injeksi gelfoam, lemak, hydroxyapatite paste atau asam hialuronat
24
pada pita suara. Paralisis yang persisten dapat dilakukan rehabilitas dengan
manajemen laring secara surgikal. Pada kasus fiksasi unilateral dari kartilago
arytenoid dengan suara dan jalan napas yang adekuat, tidak diperlukan terapi.
Arytenoidektomi dan lateralisasi pita suara dilakukan pada kasus fiksasi
arytenoid bilateral atau paralisis nervus laryngeal rekuren dengan jalan napas
yang terganggu.1,3,5
25
chest tube.14 Pada trauma trakea kanan dan proksimal bronkus kiri dapat dilakukan right
posterolateral thoracotomy, Sementara untuk trauma trakea kiri maka paling baik
dilakukan left thoracotomy. Pada jaringan yang lemah dari trauma, dapat ditutup
dengan jahitan absorbable dan bila lukanya besar, dapat dilakukan reseksi segmental
dengan anastomosis. Eksplorasi secara surgikal perlu dilakukan dalam jangka waktu 24
jam sejak kejadian trauma untuk menghindari pembentukan jaringan parut dan stenosis
jalan napas. Jika terdapat pemasangan endolayingeal stenting, maka harus dilepas
setelah 10-14 hari.4
Komplikasi dari trauma trakea ini dapat berupa aspirasi, stenosis jalan napas,
pneumothrorax, cedera nervus laryngeal, dan infeksi. Pasca operasi, leher pasien perlu
diposisikan secara fleksi dan di fiksasi, lalu posisi kepala lebih tinggi dari jantung untuk
mencegah edema, antibiotik profilaksis, dan pastikan ETT yang terpasang pada pasien
tidak menyebabkan cedera baru pada laring dan trakea.4
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Trauma pada laring dan trakea sangat jarang terjadi karena beberapa
sebab seperti sifatnya yang lentur, mobile dan banyak organ jaringan yang
melindungi laring serta trakea. Namun, angka morbiditas dan mortalitas pada
pasien dengan trauma laringotrakeal cenderung tinggi. Hal ini menandakan
bahwa klinisi dan praktisi kesehatan perlu menangani kejadian ini dengan
serius. Evaluasi dan manajemen trauma pada laring dan trakea harus
dipertimbangkan dengan cermat dan tepat. Sebelum memberikan tatalaksana
secara langsung pada laring dan trakea, klinisi perlu memerhatikan terlebih
dahulu Initial management of trauma dari pasien, yaitu Airway, Breathing,
dan Circulation. Setelah itu baru fokuskan tatalaksana pada trauma di laring
dan trakea.
Tatalaksana pada laring dan trakea dibagi menjadi beberapa tahap dan
metode berdasarkan jenis klasifikasi, jenis penyebab trauma, dan terapi
adjuvant untuk memaksimalkan pemulihan dan memperbaiki kualitas hidup
dari pasien. Bila tatalaksana dari trauma ini dapat dikerjakan dengan tepat,
maka pasien dapat terhindar dari komplikasi-komplikasi yang
memungkinkan seperti pembentukan jaringan granulasi dan disfonia akibat
nervus laringeal yang cedera secara berulang.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ, Niparko JK, Robbins KT, Thomas JR, et al.
Cummings otolaryngology: Head and neck surgery. 6th edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2015.
2. Hussain S. Logan Turner’s Disease of the Nose, throat and ear head and neck
surgery. 11th edition. Boca Raton: CRC Press; 2016.
3. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s head & neck surgery - otolaryngology. 5th
edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2013.
8. Kragha KO. Acute Traumatic Injury of the Larynx. Case Rep Otolaryngol.
2015;2015.
9. Miracle AC, Uzelac A. Imaging blunt and penetrating trauma to the neck: Clinical
relevance and management. J Pract Med Imaging Manag. 2016.
10. Kahue CN, Gelbard A. Laryngeal trauma with and without tracheal separation.
Oper Tech Otolaryngol-Head Neck Surg. 2017 Dec 1;28(4):244–51.
11. Schaefer SD. Management of acute blunt and penetrating external laryngeal
trauma. The Laryngoscope. 2014 Jan;124(1):233–44.
13. Zhao Z, Zhang T, Yin X, Zhao J, Li X, Zhou Y. Update on the diagnosis and
treatment of tracheal and bronchial injury. J Thorac Dis. 2017 Jan;9(1):E50–6.
14. Cheaito A, Tillou A, Lewis C, Cryer H. Traumatic bronchial injury. Int J Surg
Case Rep. 2016 Sep 4;27:172–5.
27