Anda di halaman 1dari 36

i

Referat
ABSES PERITONSIL

Disusun Oleh:

Ni Putu Sintya Radhayanti 20710111

Ni Putu Ayu Rahmayanti 20710041


Ni Luh Putu Dea Ariska M 20710142

Pembimbing :

dr. Puji Kurniawan, Sp. THT-KL

LAB/KSM ILMU KESEHATAN TELINGA


HIDUNG DAN TENGGOROK, BEDAH
KEPALA LEHER UWKS/RSUD SIDOARJO

SURABAYA

2022
ii

DAFTAR ISI

Judul...........................................................................................................................i
Kata Pengantar...........................................................................................................ii
Daftar Isi.....................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tonsil ........................................................................................4
2.2 Definisi Abses Peritonsil .........................................................................8
2.3 Patofisiologi...........................................................................................12

2.4 Epidemiologi..........................................................................................14
2.5 Etiologi.....................................................................................................14
2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................15
2.7 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................16
2.8 Diagnosis................................................................................................17

2.9 Diagnosa Banding..................................................................................18


2.10 Penatalaksanaan......................................................................................19
2.11 Komplikasi.............................................................................................20
2.11 Prognosis................................................................................................21
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan...............................................................................................23

3.2 Saran.........................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................25

ii
1

KATA PENGANTAR

      Puji dan syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas Kehendak-

Nya kami dapat menyelesaikan referat dengan judul “Abses Peritonsil”. Referat

ini dibuat sebagai salah satu tugas sebagai Dokter Muda di Kepaniteraan Klinik

Ilmu Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo.

Tugas ini berhasil diselesaikan karena dukungan dari berbagai pihak. Oleh

sebab itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih yang tak terhingga

kepada: 

1. dr. Moh. Ibnu Malik, Sp.THT-KL kepala KSM Ilmu Kesehatan THT-KL

selaku pembimbing klinik   serta pembimbing referat ini

2. dr. Rini Ardiana Rahayu, Sp.THT-KL selaku pembimbing klinik.

3. dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL selaku pembimbing klinik.

4. Ibu Din, Bapak Aris dan Bapak Bambang selaku perawat di KSM Ilmu

Kesehatan THT-KL. 

Kami menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena

itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan

referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita

semua. Akhir kata, ijinkan penulis mengucapkan terimakasih.

         Sidoarjo, 12 Januari 2022

Penulis.
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abses peritonsil adalah salah satu dari abses leher dalam yang paling

sering ditemukan. Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di

antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber

seperti gigi, mulut, tenggorok dan sekitarnya. Abses leher dalam merupakan

salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa , dibentuk oleh lapisan fasia

serfikalis yang profunda, morbiditas dan mortalitasnya berkisar antara 1,6 - 40

%.17

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun

paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi

kecuali pada mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa

menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi

ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti

menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan

antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang

untuk berkembangnya abses peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-

kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan

hampir 45.000 kasus setiap tahun.1

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di

daerah peritonsil. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses


3

peritonsiler adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik

streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan

organism anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk

kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara

organisme aerobik dan anaerobik.1

Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah

pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.

Ruangan peritonsil dibatasi di medial oleh kapsul tonsil, di lateral muskulus

konstriktor faringeal superior, di inferior pilar anterior tonsil, dan di pilar

posterior tonsil. Pada abses peritonsil ditemukan kumpulan pus yang berlokasi

antara kapsul fibrosa tonsil palatina (biasanya di pul atas) dan otot konstriktor

faringeal superior. Daerah ini terdiri atas jaringan ikat longgar, infeksi dapat

menjalar dengan cepat membentuk cairan yang purulen. Inflamasi yang

progresif dapat meluas secara langsung ke arah palatum mole, dinding lateral

faring, dan jarang ke arah basis lidah.1


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Tonsil5

a. Tonsil palatina

Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam

fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring dan dibatasi oleh pilar

anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).

Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil

mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil

palatina merupakan bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang

mengelilingi faring, pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich

von Waldeyer, seorang ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya


5

yaitu adenoid (tonsil pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan

kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler,

dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium tuba

eustachius (tonsil Gerlach’s).9

Tonsil terletak di lateral orofaring. Tonsil palatina terdiri dari :

a. Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat


pembentukan limfosit, plasma sel.

b. Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka


penyokong tonsil & berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina :


a. Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-
basilaris yang menutupi M. konstriktor pharing superior. Masuk ke
dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa
pembuluh darah dan saraf.

b. Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta,


dan mikrokripta.

c. Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh M. palatopharingeus


yang berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis
palatum mole.

d. Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh M. palatoglossus yang


berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum
molle.

e. Superior : Palatum mole.

f. Inferior : Tonsil lingual.


6

Gambar 2. Anatomi tonsil palatina dan sekitarnya.

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan


ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid):5

1. Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring,

yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding

luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior

mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari

palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar posterior adalah

otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius dan

dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral

esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar

posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di

bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke
7

jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

2. Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran

jaringan ikat, yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi

menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa

kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.

3. Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil

terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang

telah ada sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab

kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat. Komplikasi yang

sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal

lidah.

4. Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis

eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan

cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris

interna dengan cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan

cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A. faringeal asenden. Kutub bawah

tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian

posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut

diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A.

faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil

membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran


8

balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan

pleksus faringeal.

5. Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian

getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di

bawah M. Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan

akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh

getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak

ada.

6. Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V

melalui ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf

glosofaringeus.

7. Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel

limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa.

Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di

darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks

yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs

(antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi

antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik.

Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa

IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan


9

untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama

produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen

spesifik.5

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari

jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau

segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah

ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun

mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai

bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di

dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama

ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa

Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi

pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran

maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.5


10

Gambar 2. Adenoid.5

Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M

(sel membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam

transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin

spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel

pembawa IgG.5

Tonsil merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil

mempunyai 2 fungsi utama yaitu:5

a) Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif

b) Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit

T dengan antigen spesifik.

c. Faring

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.

Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum

molle, orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan

tulang hyoid, sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari

tulang hyoid sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka

ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati)

terdiri dari serat otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi

oleh mukosa. Penonjolan di median membaginya menjadi dua bagian.

Bentuk seperti kerucut yang terletak disentral disebut uvula.3


11

2.2 Definisi

Abses peritonsil adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang

terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada

kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai kelenjar

Weber. Akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina dan otot-otot

konstriktor faring. Pilar anterior dan posterior, torus tubarius superior, dan

sinus piriformis inferior membentuk ruang potensial peritonsil. Karena terdiri

dari jaringan ikat longgar, infeksi parah pada daerah ini dapat mengakibatkan

pembentukan materi purulen. Peradangan progresif dan pus dapat secara

langsung mengenai palatum, dinding faring lateral, dan, dasar lidah.1

Gambar. Abses Peritonsil.7

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan / timbunan

(accumulation) nanah (pus) yang terlokalisir / terbatas (localized) pada

jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.1

Gambar. Abses Peritonsil.6


12

2.3 Patofisiologi

Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun,

teori yang paling banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode

tonsillitis eksudatif pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi

pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess formation). Pada tahap

awal, infeksi terus-menerus pada tonsillitis menyebabkan penyebaran infeksi

ke daerah peritonsil yang merupakan kapsul jaringan ikat dan dapat juga

menginfeksi kelenjar weber di daerah peritonsil tesebut. Selanjutnya sistem

imun tubuh akan bereaksi terhadap infeksi ini dan mengeluarkan mediator-

mediator pro inflamasi yang akan menyebabkan inflamasi lokal. Mediator-

mediator proinflamasi ini akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan

menurunnya permeabilitas pembuluh darah peritonsil yang akan menyebabkan

hiperemis dan edema akibat ekstravasasi cairan dari pembuluh darah. Fase ini

adalah stadium infiltrat dimana pus belum terbentuk dan pasien mulai

merasakan nyeri menelan yang hebat pada sisi yang terkena disertai dengan

demam.2

Pada fase selanjutnya infeksi terus berlanjut dan berinteraksi dengan

sel-sel makrofag yang akan membentuk pus akibat proses fagositosis. Pus

yang terbentuk akan terus menumpuk pada jaringan ikat longgar peritonsil

yang berhubungan dengan jaringan sekitarnya seperti palatum mole, dinding

faring, bagian basal lidah, dan jaringan sekitar lainnya sehingga pus dapat

menempati ruang-ruang tersebut. Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris

merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang

potensial peritonsil tersering menempati daerah ini, sehingga tampak palatum


13

mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior,

namun jarang. Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain

pembengkakan tampak juga permukaan yang hiperemis.2

Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna

kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula

bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,

peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid

interna, sehingga timbul trismus. Trismus menyebabkan pasien sulit berbicara

dan menimbulkan fenomena hot potato voice. Fosa tonsilaris yang kaya akan

jaringan pembuluh limfa yang terhubung dengan parafaring dan servikal akan

menyebabkan limfadenopati ipsilateral di daerah tersebut yang menyebabkan

nyeri pada daerah leher dan menghambat pergerakan leher.2

Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Abses juga dapat terus menyebar sampai ke bagian cervical dan bahkan

sampai ke mediastinum dan menyebabkan mediastinitis. Abses peritonsil

terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau berulang

(recurrent) sebelumnya. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan hipotesis

infeksi dan nekrosis dari kelenjar weber yang menjadi fokal infeksi pada

Abses peritonsil. Abses peritonsil dapat juga merupakan suatu gambaran

(presentation) dari infeksi Virus Epstein-Barr.2


14

Gambar. Patofisiologi Abses Peritonsil.2

2.4 Epidemiologi

Abses peritonsil diperkirakan 30% dari abses leher dalam, sekalipun

sudah di era antibiotika, abses peritonsil masih sering ditemukan dengan

jumlah yang menurun menjadi 18% di United Kingdom dalam sepuluh tahun

terahir ini. Tonsilitis banyak ditemukan pada anak-anak. Abses peritonsil

biasanya ditemukan pada orang dewasa dan dewasa muda, sekalipun dapat

terjadi pada anak-anak.7

Abses peritonsil umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut ,

dikatakan bahwa abses peritonsil merupakan salah satu komplikasi umum dari

tonsilitis akut, pada penelitian di seluruh dunia dilaporkan insidens abses

peritonsil ditemukan 10-37 per 100.000 orang. Di Amerika dilaporkan 30

kasus per 100 orang per tahun, 45.000 kasus baru per tahun. Data yang akurat

secara internasional belum dilaporkan. Biasanya unilateral, bilateral jarang

ditemukan. Yang Lin melaporkan sebuah kasus bilateral abses peritonsil. Usia

bervariasi paling tinggi pada usia 15-40 tahun, tidak ada perberdaan antara

laki-laki dan perempuan. Marom, et al melakukan studi pada 427 pasien

dengan abses pritonsil, dikatakan bahwa karakteristik abses peritonsil berubah,

dikatakan penyakit ini lebih lama dan lebih buruk, dan faktor merokok

mungkin merupakan predisposisi.13


15

2.5 Etiologi

Abses peritonsil terjadi setelah tonsilitis akut dimana infeksi yang

bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil menembus kapsul

tonsil dan menyebabkan peradangan dari peritonsil. Bakteri yang

menyebabkan sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob

dan anaerob.8

Bakteri aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah

Streptococcus pyogenes (Streptococcus beta hemolyticus grup A) sedangkan

contoh bakteri anaerob yang berperan dalam abses peritonsil adalah

Fusobacterium. Sebagian besar infeksi abses peritonsil disebabkan oleh

kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. Yang termasuk bakteri aerob

yaitu Streptoccocus beta hemolyticus Grup A dan B, Hemophilus influenza,

Staphylococcus aureus, Haemophilus parainfluenzae, Neisseria sp., dan

Mycobacteria sp. Yang termasuk dalam bakteri anaerob yaitu, Fusobacterium,

Peptostreptococcuse, Streptococcus sp. dan Bacteroides. Selain itu terdapat

beberapa virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil yaitu, Epstein-Barr

Adenovirus Influenza A dan B, Herpes simplex, dan Parainfluenza virus.12

2.6 Manifestasi Klinis

Pada abses peritonsil sebagian besar penderita mengeluhkan :

1. Nyeri tenggorokan yang hebat (odinofagi) yang letaknya unilateral

2. Kesulitan dalam makan serta menelan (disfagia) dikarenakan muskulus

masseter menekan tonsil yang meradang.

3. Kombinasi odinofagia dan disfagia sering menyebabkan pengumpulan air


16

liur di faring (ptialismus).

4. Keluhan lain yang dapat muncul adalah mulut berbau (foetor ex ore),

penderita mengalami kesulitan berbicara, suara menjadi seperti suara

hidung, membesar seperti mengulum kentang panas “hot potato voice”.

5. Keluhan rinolalia aperta karena oedem palatum molle (oedem dapat

terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis

menyebabkan oedem perivokalis).

6. Nyeri alih ke telinga (otalgia).

7. Trismus terjadi karena keterbatasnya kemampuan untuk membuka

rongga mulut yang muncul bila infeksi mengenai otot-otot pterygoid

sehingga menimbulkan spasme.

8. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan

nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher.6

2.7 Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis.12
17

Gambar. Abses Peritonsil.6

Gambar. Deviasi kontralateral uvula dengan edema tonsil.17

Pemeriksaan fisik seringkali sukar dilakukan karena adanya trismus

dikarenakan spasmus otot pterigoideus internus. Pada tonsil tampak oedem,

hiperemis, mungkin banyak detritus yang terdorong ke medio-inferior-

anterior. Palatum mole tampak menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.

Selain itu didapatkan pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional sisi
18

yang sakit. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum

mole, uvula tampak oedem bergerak kearah kontralateral (sehat), dan

kumpulan air ludah pada mulut. Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel

direkomendasikan pada pasien yang mengalami kesulitan bernapas, bertujuan

untuk melihat ada tidaknya epiglotitis dan supraglotis.8

2.8 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang akan sangat membantu selain untuk diagnosis

dan perencanaan penatalaksanaan. Untuk mengetahui jenis bakteri pada abses

peritonsil tidak dapat dilakukan dengan cara usap tenggorok. Terdapat

beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada abses peritonsil

yaitu:15

1. Pungsi Aspirasi

Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau pungsi

merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan abses

peritonsil. Yang merupakan “gold standar” untuk mendiagnosis abses

peritonsil adalah dengan mengumpulkan pus dari abses dengan

menggunakan jarum aspirasi.14


19

Gambar 2.2 Pungsi aspirasi pada abses peritonsil

Tempat yang akan dilakukaan aspirasi dibius atau dianestesi

menggunakan lidokain dan epinephrine dengan menggunakan jarum

besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran

10cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material

dapat dikirim untuk dibiakkan untuk mengetahui organisme penyebab

infeksi demi kepentingan terapi antibiotika.15

2. Pemeriksaan darah lengkap (complete blood count)

Pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur

darah (blood cultures). Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali

dalam keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi

akibat tidak tercukupinya asupan makanan.15

3. Tes Monospot (antibodi heterophile)

Tes ini perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral

cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan


20

evaluasi/penilaian hepatosplenomegali. Liver function tests perlu

dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.15

4. Foto polos radiografi

Pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views) dari

nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam

menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal. Namun pemeriksaan

dengan menggunakan foto polos radiografi dalam mengevaluasi abses

peritonsil terbatas.15

5. Computerized tomography (CT scan)

Pemeriksaan ini digunakan jika terdapat kecurigaan bahwa infeksi telah

menyebar di luar ruang peritonsil atau jika ada komplikasi yang

melibatkan ruang leher lateral. Pada pemeriksaan CT scan akan tampak

kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected

tonsil), dengan “peripheral rim enhancement”. Gambaran lainnya

termasuk pembesaran asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.15

Gambar. CT scan pada abses peritonsil.6


21

6. Ultrasonografi (USG)

Gambar. Ultrasonografi Intraoral.6

Pemeriksaan intraoral ultrasonography merupakan teknik pencitraan

sederhana non-invasif dimana dapat digunakan untuk membedakan

selulitis dan abses. Selain itu pemeriksaan ini dapat digunakan di ruang

pemeriksaan gawat darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang abses

sebelum dilakukan aspirasi dengan jarum.15

2.9 Diagnosa Banding

Diagnosa banding antara lain infeksi mononukleosis, tonsilitis difteri,

angina plaut Vincent.

a. Infeksi Mononukleosis

Mononukleosis merupakan sebuah penyakit infeksi yang terjadi

karena tersebarnya virus Epstein-Barr (EBV) dalam tubuh melalui air liur.

Terdapat pada 50% anak -anak dan 90% pada dewasa. Mononukleosis

juga dapat disebabkan oleh jenis virus lainnya, seperti cytomegalovirus

(CMV), toksoplasmosis, HIV, rubella, hepatitis A. Terjadi tonsilo


22

faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran semu yang menutupi

ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat pembesaran

kelenjar limfa leher, ketiak dan regioinguinal. Pemeriksaan darah khas

terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain

yaitu kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah

merah domba (reaksi Paul Bunnel).4

b. Abses submandibular

Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang

submandibula. Ruang submandibula terdiri dari sumlingual yang berada

di atas otot milohioid dan submaksila. Nanah mengumpul di bawah lidah,

yang akan mendorongnya ke atas dan ke arah belakang tenggorok, yang

dapat menyebabkan masalah pernapasan dan gangguan menelan menelan.

Penyakit ini jarang pada anak umumnya pada remaja dan dewasa

yang dihubungkan dengan infeksi gigi. Selain bersumber dari infeksi gigi

abses sumbandibula dapat berasal dari infeksi di dasar mulut, infeksi

kelenjar liur atau kelenjar getah bening submandibular, atau merupakan

perluasan dari infeksi leher dalam lain. Pembengkanan daerah dagu/

submandibula dan nyeri leher merupakan keluahan yang sering membuat

pasien mencari pertolongan. Keluhan ini sering disertai trismus. Pada

pemeriksaan ditemukan pembengkakan daerah submandibular yang

fluktuatif, kadang-kadang dengan lidah yang terangkat.16

c. Abses retrofaring

Abses retrofiring merupakan kumpulan pus pada ruang

retrofiring. Abses retrofiring terdiri dari 2 jenis yaitu abses retrofaring


23

primer yang terjadi pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun dan abses

retrofaring kronis terjadi pada dewasa muda. Diagnosis abses retrofaring

ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pasien sering datang dengan keluhan nyeri dan sukar menelan.

Pada dewasa perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma atau tertelan

tulang, riwayat diabetes mellitus, riwayat tuberkulosis. Pada anak,

biasanya anak rewel dan menolak makan atau minum. Bisa ditemukan

suara mendengkur, hidung tersumbat dan sesak, demam, sulit menelan,

bengkak di leher, leher kaku dan suara bergumam. Temuan klinis pada

pemeriksaan tenggorok dapat ditemukan penonjolan pada dinding

posterior faring, fluktuatif pada palpasi tanpa adanya trismus. Tidak

jarang ditemukan stridor dan retraksi sebagai tanda obstruksi jalan nafas

atas. Suhu tubuh yang meningkat, limfadenopati servikal juga bisa

ditemukan. Pada pemeriksaan foto polos cervical tampak pelebaran di

ruang retrofaring.

d. Neoplasma of Tonsil

Abses retrofaring merupakan kumpulan pus pada ruang

retrofaring. Abses retrofaring terdiri dari 2 jenis yaitu abses retrofaring

primer yang terjadi pada anak-anak usia kurang dari 5 tahun dan abses

retrofaring kronis terjadi pada dewasa muda. Diagnosis abses retrofaring

ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang. Pasien sering datang dengan keluhan nyeri dan sukar menelan.

Pada dewasa perlu ditanyakan apakah ada riwayat trauma atau

tertelan tulang, riwayat diabetes mellitus, riwayat tuberkulosis. Pada anak,


24

biasanya anak rewel dan menolak makan atau minum. Bisa ditemukan

suara mendengkur, hidung tersumbat dan sesak, demam, sulit menelan,

bengkak di leher, leher kaku dan suara bergumam. Temuan klinis pada

pemeriksaan tenggorok dapat ditemukan penonjolan pada dinding

posterior faring, fluktuatif pada palpasi tanpa adanya trismus. Tidak

jarang ditemukan stridor dan retraksi sebagai tanda obstruksi jalan nafas

atas. Suhu tubuh yang meningkat, limfadenopati servikal juga bisa

ditemukan. Pada pemeriksaan foto polos cervical tampak pelebaran di

ruang retrofaring.14

2.10. Penatalaksanaan Abses Peritonsil

Penatalaksanaan abses peritonsil harus segera dilakukan dan

adekuat, untuk mencegah obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya

abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan basis kranii.12

Prosedur utama untuk drainase abses peritonsillar adalah aspirasi

jarum, insisi dan drainase, dan tonsilektomi segera. Drainase

menggunakan salah satu metode ini dikombinasikan dengan terapi

antibiotik akan menghasilkan resolusi abses peritonsillar pada lebih dari

90 persen kasus. Gold standard adalah insisi dan drainase abses. Pus yang

diambil dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi test. Penanganan

meliputi, menghilangkan nyeri, dan antibiotik.6

Pasien dengan abses peritonsillar dapat dirawat sebagai pasien

rawat jalan, tetapi sebagian kecil mungkin memerlukan rawat inap. Alasan

paling umum untuk masuk adalah dehidrasi, ketidakmampuan untuk


25

mengelola asupan cairan oral, masalah jalan napas dan kegagalan

manajemen rawat jalan. Kondisi komorbiditas lain yang memerlukan

manajemen rawat inap termasuk diabetes mellitus, penyakit

imunosupresif, penggunaan obat imunosupresif kronis (termasuk

penggunaan kortikosteroid berkepanjangan), atau tanda-tanda sepsis.6

1. Antibiotik

Antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan

bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis

tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan

hangat. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur

mikroorganisme pada aspirasi jarum.12

Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsil dan

efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan

metronidazole.metronidazole merupakan antimikroba yang sangat baik

untuk infeksi anaerob. Angka resisten penisilin berkisar 0-56% tetapi

uji sensitivitas laboratorium tidak selalu mencerminkan respon klinis.

Alternatif termasuk ampisilin/amoksisilin dengan sulbaktam/ asam

klavulanat.12

Antibiotik Dosis
Intravena
Penisilin G 10 juta unit setiap 6 jam, ditambah
metronidazol 500 mg setiap 6 jam.
Ampisilin/sulbaktam 3 g setiap 6 jam

Seftriakson 1 g setiap 12 jam, ditambah

metronidazol 500 mg setiap 6 jam.


26

Oral

Amoksisilin/klavulanat 875 mg setiap 12 jam

Klindamisin 300 hingga 450 mg setiap 8 jam

*terapi diberikan 10-14 hari.6

2. Teknik Insisi

a. Tindakan dapat dilakukan dengan posisi duduk dengan

menggunakan anestesi lokal.

b. Pertama faring disemprot dengan anestesi topikal. Kemudian 2 cc

Xilocain dengan adrenalin 1/100,000 disuntikkan.

c. Dilakukan aspirasi terlebih dahulu untuk memastikan ada pus atau

tidak. Dilakukan aspirasi percobaan dengan spuit 10 cc pada

daerah yang paling lunak dan menonjol. Apabila hasil aspirasi

percobaan didapatkan pus, selanjutnya dilakukan pemeriksaan

biakan dan tes sensitivitas.

Gambar : Aspirasi jarum pada abses peritonsil.17

d. Kemudian pisau tonsil no 12 atau no 11 dengan plester untuk

mencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat


27

insisi melalui mukosa dan submukosa dakat kutub atas fosa

tonsilaris.

e. Lokasi insisi biasanya dapat diidentifikasi pada :

- Palpasi pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonol

- Pada titik yang terletak 2/3 dari garis imaginer yang dibuat
antara dasar uvula dengan molar terakhir pada sisi yang sakit.

- Pada pertengahan garis horizontal antara pertengahan basis


uvula dan M3 atas.

f. Hemostat tumpul dimasukkan melalui insisi dan dengan lembut

direntangkan. Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakan

untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan.

g. Jika terdapat trismus, maka untuk mengatasi rasa nyeri, diberikan

analgesia (lokal), dengan menyuntikkan xylocain atau novocain

1% di ganglion sfenopalatinum. Ganglion ini terletak di bagian

belakang atas lateral dari konka media.

h. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi.12

3. Tonsilektomi

Terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil

(tonsilektomi). Indikasi pembedahan termasuk infeksi tenggorokan

berulang dan gangguan pernapasan tidur obstruktif, yang keduanya

secara substansial dapat mempengaruhi status kesehatan anak dan

kualitas hidup. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang

yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas

pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai


28

kecenderungan besar untuk kambuh.10

Bila tonsilektomi dilakukan bersama-sama dengan tindakan

drainase abses maka disebut tonsilektomi “a chaud”, bila tonsilektomi

dilakukan 3-4 hari sesudah darinase abses disebut tonsilektomi “a

tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudah drainase

abses disebut tonsilektomi “ a froid”. Pada umumnya tonsilektomi

dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase

abses.11

Komplikasi pembedahan seperti sakit tenggorokan, mual dan

muntah pasca operasi, dehidrasi, gangguan bicara, perdarahan, dan

bahkan kematian. Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.

Perdarahan pasca tonsilektomi dapat berlangsung hingga seluruh luka

sembuh total biasanya dalam waktu tiga minggu. Perdarahan yang

mengancam jiwa dapat muncul setelah perdarahan ringan dan dapat

berhenti secara spontan. Kasus yang mengancam jiwa setelah

tonsilektomi dapat terjadi karena manajemen perdarahan yang tidak

baik. Pada anak-anak yang lebih muda, perdarahan bisa mengancam

jiwa karena volume darah yang lebih rendah dan bahaya aspirasi

dengan asfiksia. Prosedur dengan laser, frekuensi radio, koblasi, forsep

mono atau bipolar memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya

perdarahan Inform consent yang baik sebelum operasi tentang

pembedahan harus dilakukan pada anak dan orang tua secara objektif

dengan persetujuan tertulis. Tonsilektomi intrakapsular/subkapsular

atau subtotal melibatkan pengangkatan jaringan aktif tonsil limfatik,


29

termasuk semua kriptus dan folikel.10

4. Kortikosteroid

Steroid telah digunakan untuk mengobati edema dan peradangan

pada penyakit otolaringologi lainnya, peran mereka dalam pengobatan

abses peritonsil belum dipelajari secara ekstensif. Pada sebuah

penelitian melaporkan bahwa 32 pasien yang menerima steroid dosis

tinggi tunggal (metilprednisolon [Depo-Medrol] 2 hingga 3 mg per kg

hingga 250 mg) secara intravena plus antibiotik merespons pengobatan

jauh lebih cepat daripada 28 pasien yang menerima antibiotik plus

plasebo. Penggunaan steroid dalam pengobatan abses peritonsilar

tampaknya membantu mempercepat pemulihan, tetapi studi tambahan

diperlukan sebelum membuat rekomendasi untuk penggunaan rutinnya.6

2.11. Komplikasi

Tingkat komplikasi lebih tinggi pada pasien 40 tahun atau lebih

dibandingkan dengan pasien yang lebih muda. Komplikasi segera yang

dapat terjadi berupa dehidrasi karena masukan makanan yang kurang.

Abses pecah spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau

pyemia ,penjalaran infeksi abses ke daerah parafaring sehingga terjadi

abses parafaring, penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan

trombus sinus kavemosus, meningitis dan abses otak.12

Pada keadaan ini, bila tidak ditangani dengan baik akan

menghasilkan gejala sisa neurologis yang fatal. Komplikasi lain yang

mungkin timbul akibat penyebaran abses adalah endokarditis, nefritis, dan


30

peritonitis juga pernah ditemukan. Pembengkakan yang timbul di daerah

supraglotis dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas yang memerlukan

tindakan trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruang faringomaksilaris dalam

komplikasi abses peritonsil mungkin memerlukan drainase dari luar

melalui segitiga submandibular.12

2.12. Prognosis

Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan

penanganan yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi

penyembuhan. Dalam jumlah kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa

lama kemudian. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi

abses, maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil

pada usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi, demikian juga bila

sebelumnya menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode.12

Reevaluasi dari semua pasien yang diobati dengan aspirasi jarum

harus dilakukan dalam 24 jam untuk menilai perlunya dilakukan aspirasi

berulang atau insisi dan drainase. Pasien harus segera kembali apabila

terdapat kembali muncul gejala, atau pendarahan terus-menerus dari luka

insisi.6

BAB III
31

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

1. Tonsilitis adalah akumulasi pus lokal di jaringan peritonsil yang

terbentuk sebagai akibat dari tonsilitis supuratif. Abses terbentuk pada

kelompok kelenjar ludah di fosa supratonsilar, yang dikenal sebagai

kelenjar Weber. Akumulasi pus terletak antara kapsul tonsil palatina

dan otot-otot konstriktor faring.

2. Gajala awalnya nyeri tenggorokan yang hebat (odinofagi) yang

unilateral dan disfagia. Keluhan lain yang dapat muncul mulut berbau

(foetor ex ore), kesulitan berbicara, “hot potato voice”, rinolalia

aperta, nyeri alih ke telinga (otalgia), trismus, dan nyeri leher dan

terbatasnya gerakan leher akibat limfadenopati dan inflamasi otot.

3. Diagnosis dibuat berdasarkan riwayat penyakit, gejala klinis, dan

pemeriksaan fisik. Gold standar untuk mendiagnosis abses peritonsil

adalah Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif.

4. Tatalaksana abses peritonsil dapat meliputi pendekatan farmakologis

maupun pembedahan. Menggunakan antibiotic yang efektik terhadap

mikroorganisme yang menghasilkan beta laktamase yaitu penisilin.

Pembedahan yaitu insisi dan drainase serta pertimbangkan

tonsilektomi.

5. Prognosis abses peritonsil secara umum dubia ad bonam.

3.2. Saran
32

Saran-saran yang dapat penulis sampaikan pada peneliti adalah:

1. Bagi tenaga medis, memberikan informasi kesehatan tentang

abses peritonsil.

2. Bagi masyarakat, diberikan edukasi tentang tonsiitis akut agar

mereka mendapatkan pengobatan yang adekuat sebelum

menjadi abses peritonsil.

3. Bagi sekolah dan ibu, mendapatkan lebih pengetahuan tentang

abses peritonsil agar dapat melakukan pencegahan karena sering

terjadi pada kalangan anak-anak.

DAFTAR PUSTAKA
33

1. Abidin, Taufik. 2016. Abses Peritonsiler. Fakultas Kedokteran Universitas

Mataram.

2. Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring .

Dalam:Boies, Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.

3. Adrianto, Petrus. 2016. Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan, 296,

308-09. EGC, Jakarta.

4. Basuki, SW, dkk. 2020. Tonsilitis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Surakarta.

5. Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Chapter 101 diphteria. In: Feigin.

Textbook of pediatric infectious diseases. 6th ed. Philadelphia: Saunders

Elsevier; 2019. P 1393-402.

6. Galioto NJ. 2017. Peritonsillar Abscess. Broadlawns Medical Center, Des

Moines, Iowa. Am Fam Physician. 15;95(8):501-506.

7. Gadre AK, Gadre KC. 20116. Infection ot the deep spaces of the neck. In :

bayle BJ, JT. Editors. Head and Neck Surgery otolaryngology. 4 th.

Philadelphina.

8. Gupta, G. dan McDowell, RH. 2021. Peritonsillar Abscess. StarPearls

Publishing LLC.

9. Hatmansjah. Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran Vol. 89, 1993.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal : 19-21.

10. Jihan. Dkk. 2020. Kajian sistematis terhadap faktor resiko terjadinya

perdarahan pasca tonsilektomi. Skripsi. FK UNHAS. Sulawesi selatan.


34

11. Lin YY MD, LeeJC MD. Bilateral peritonsillar abssses complicating acute

tonsillitis. CMAJ,August 9,2015,183 (11)

12. Marbun, EM. 2016. Diagnosis, Tata Laksana dan Komplikasi Abses

Peritonsil. Jurnal Kedokteran Medik Universitas Kristen Krida Wacana.

Vol. 22. p42-47.

13. Marom T et all. 2010. Peritonsil abses. American J of Otolaryngology-

head and neck medicine and surgery.

14. Morina dkk. 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Retrofaring

pada Dewasa. Padang: Jurnal Kesehatan Andalas Vol 7.

15. Novialdi, JP.. 2011. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses

Peritonsil.Padang: Pustaka THT FK Unand. (Online)

16. Rahman S. 2013. Diagnosis dan Penatalaksanaan Abses Leher Dalam. In:

Simposium dan Workshop Emergensi di Bidang Telinga Hidung dan

Tenggorok. Padang.

17. Steyer, T. 2002. Peritonsillar Abscess: Diagnosis And Treatment.

University Of Michigan Medical School, American Family Physician.

Volume 65, Number 1. P93-96.

Anda mungkin juga menyukai