Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFARAT

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER JANUARI 2024


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ABSES PRETONSILAR

Oleh:
Ambarwulan S. Daniel
111 2021 2036

Pembimbing:
dr. Renato Vivaldi Kuhuwael, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2024

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Ambarwulan S. Daniel
NIM : 111 2021 2036
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Laporan Kasus : Abses Pretonsilar

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik berjudul Abses


Pretonsilar dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor
pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Ksesehatan
THT-KL Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Januari 2024

Menyetujui,

Dokter Pendidik Klinik Mahasiswa

dr. Renato Vivaldi Kuhuwael, Sp.THT-KL Ambarwulan S. Daniel

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala


rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini
sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik pada BagianIlmu Kesehatan
THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Dalam referat ini penulis melakukan pembahasan mengenai “Abses


Pretonsilar”. Kami sangat menyadari bahwa penulisan referat ini belum
mencapai sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap
beberapa saran dan kritik saudara saudari yang dapat memperbaiki
penulisan selanjutnya. Baik yang kami tulis sendiri atau orang lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi


keilmuan baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Makassar, Januari 2024

Penulis

3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................... .2
KATA PENGANTAR...............................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................6
2.1 Anatomi.............................................................................................7
2.2 Definisi............................................................................................12
2.3 Epidemiologi....................................................................................12
2.4 Etiologi............................................................................................13
2.5 Patofisiologi.....................................................................................14
2.7 Klasifikasi........................................................................................10
2.8 Tanda dan Gejala............................................................................15
2.9 Tatalaksana.....................................................................................20
2.10 Diagnosis Banding........................................................................24
2.11 Komplikasi.................................................................................... 25
2.12Prognosis.......................................................................................25
BAB III KESIMPULAN..........................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................28

4
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Abses peritonsil atau dikenal dengan Quinsy adalah kumpulan nanah

yang terdapat pada jaringan ikat longgar, diantara fossa tonsilaris dan

muskulus konstriktor faring superior. Abses peritonsil memiliki angka kejadian

yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan komplikasi, seperti dapat meluas

ke daerah parafaring, daerah intrakranial dan bila abses tersebut pecah

spontan bisa terjadi perdarahan serta terjadinya mediastinitis yang dapat

menimbulkan kematian. Hal ini bisa terjadi pada penanganan yang tidak tepat

dan terlambat.

Angka kejadian pada penyakit abses peritonsil berdasarkan usia banyak

menyerang pada usia 15 tahun sampai dengan 35 tahun, berdasarkan jenis

kelamin belum ada literatur yang menggambarkan adanya perbedaan jumlah

kejadian abses peritonsil pada laki-laki dan perempuan. Di Amerika Serikat

ditemukan 30 kasus abses peritonsil dari 100.000 penduduk pertahun

mewakili sekitar 45.000 kasus baru tiap tahunnya. Di Indonesia belum ada

data tentang jumlah abses peritonsil secara pasti.

Abses peritonsil biasanya merupakan komplikasi dari tonsilitis akut.

Edema akibat inflamasi dapat mengakibatkan kesulitan menelan. Dehidrasi

5
sekunder sering terjadi akibat pasien menghindari menelan makanan dan

minuman. Perluasan abses dapat menyebabkan peradangan kedalam

kompartemen fasia yang berdekatan dengan kepala dan leher, sehingga

berpotensi menyebabkan obstruksi jalan napas.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak di dalam

fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan

bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring,

pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang

ahli anatomi jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil

pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid.

Kelenjar ini tersebar dalam fossa rossenmuler, dibawah mukosa dinding

faring posterior dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.

Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle,

orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid,

sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid

sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut

pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot

yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan

dimedian membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang

terletak disentral disebut uvula.

7
Gambar 1. Anatomi Rongga Mulut

Tonsil palatina terdiri dari

 Korteks: Di dalamnya terdapat germinating folikel, tempat

pembentukan limfosit, plasma sel.

 Medula: Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka

penyokong tonsil dan berhubungan dengan kripta.

Batas-batas tonsil palatina:

 Lateral: Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-

basilaris yang menutupi M. konstriktor pharing superior. Masuk ke

dalam parenkim tonsil akan membentuk septa dan membawa

pembuluh darah dan saraf.

 Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta dan

mikrokripta.

8
 Posterior : pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang

berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum

molle

 Anterior : pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang

berjalan dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum

molle.

Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum

molle dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot

yang tersusun vertikal dan di atas melekat pada palatum molle. Palatoglosus

mempunyai origo seperti kipas dipermukaan oral palatum molle dan berkahir

pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal

dan diatas melekat pada palatum molle, tuba eustachius dan dasar

tengkorak. Otot ini lebih penting dari pada palatoglosus dan haris

diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar

bertemu di atas untuk bergabung dengan palatum molle. Di inferior akan

berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.

Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis,

yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil.

plikasemilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang

mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang

9
ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan

posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh

fossa tonsil. tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain,

berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, permukaan sebelah dalam tertutup

oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan

lateralnya ditutupi oleh kapsul tipis dan dipermukaan medial terdapat kripta.

Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian

dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya

terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar mukus.

Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan

medial tonsil. umunya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil,

kebanyak terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar,

biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber

infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel

yang terlepas, dan kuman.

10
Gambar 2. Anatomi Rongga Mulut

Bagian luar tonsil terikat pada M. konstriktor faringeus superior,

sehingga tertekan setiap kali menelan, M.palatoglosus dan M. palatofaring

juga menekan tonsil. Selama masa mbrio, tonsil terbentuk dari kantong

pharyngeal kedua sebagai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah

lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan

bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan lymphoid.

Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang

merupakan cabang dari arteri facialis, cabang-cabang a.lingualis, a. palatina

ascendens, a.pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari

N.glossopharyngeus dan N. Palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam

nl.cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus

jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus

mandibulae.5,6

Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul

tonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior,

sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar

posterior.

Akumulasi nodus belokasi diantara kapsul tonsil palatinus dan otot-otot

konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius (superior), dan

sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential peritonsillar space.

11
2.2 Definisi

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di

daerah peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah

adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan

palatum superior. Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan pus

yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk

sebagai hasil dari suppurative tonsillitis.

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di

spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.

kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infekrsi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.

2.3 Epidemiologi

Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling

sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali

pada mereka yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa

menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi

ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti

menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan

12
antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk

berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-

kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun, dipertimbangkan

hampir 45.000 kasus setiap tahun..

2.4 Etiologi

Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman

penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob

dan anaerob.

Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler

adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),

Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme

anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas,

Fusobacterium, dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses

peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik

dan anaerobic.

13
Gambar 3. Etiologi bakteri aerobic dan anaerobic

2.5 Patofisiologi

Abses peritonsil atau Quinsy adalah suatu infeksi akut dan berat di

daerah orofaring. Abses peritonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisir

pada jaringan peritonsil yang umumnya merupakan komplikasi dari tonsilitis

akut berulang atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil.

Infeksi yang terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas

tonsil) dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding

posterior fosa tonsil. Perluasan infeksi dan abses ke daerah parafaring,

sehingga terjadi abses parafaring. Lokasi infeksi abses peritonsil terjadi di

jaringan peritonsil dan dapat menembus kapsul tonsil. Hal ini kemudian akan

menyebabkan penumpukan pus atau pus meluas ke arah otot konstriktor

faring superior menuju ruang parafaring dan retrofaring terdekat.

Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompok kelenjar di ruang supra

tonsil yang disebut kelenjar Weber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah

mengeluarkan cairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantu untuk

menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yang terperangkap di

dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna. Jika terjadi infeksi berulang, dapat

terjadi gangguan pada proses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap sekresi

kelenjar Weber yang mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar. Jika

14
tidak diobati secara maksimal, akan terjadi infeksi berulang selulitis peritonsil

atau infeksi kronis pada kelenjar Weber dan sistem saluran kelenjar tersebut

akan membentuk pus sehingga menyebabkan terjadinya abses. Daerah

superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati

daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun sangat

jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada stadium

permulaan (Stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya

hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut

lebih lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke

arah kontralateral. Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di

sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. Pterigoid interna, sehingga

timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke

paru

2.6 Tanda dan Gejala

Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia

dan odinofagia yang menyolok dan spontan, “hot potato voice”, mengunyah

terasa sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga

(otalgia) ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan

banyak ludah yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem

15
palatum molle (udem dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan

epiglotis = udem perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk

membuka rongga mulut) yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan

progresivitas penyakit, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral

faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus

tersebut. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan

nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis)

Gambar 4. Tanda klinis

Pada pemeriksaan kadang sukar memeriksa seluruh faring karena

trismus. Palatum mole tampak membengkak, dan menonjol kedepan, dapat

teraba fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontra lateral. Tonsil

bengkak, hiperemis, mungkin banyak detritus, dan terdorong kearah tengah,

depan dan bawah.

16
2.7 Diagnosis

Penegakkan diagnosis abses peritonsil adalah dengan berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik. Adanya riwayat pasien mengalami tonsilitis

disertai dengan tanda dan gejala yang mengarah pada abses peritonsil

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Jika diagnosis abses peritonsil

masih diragukan, maka dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk

membantu mendapatkan informasi lain.

Pemeriksaan penunjang

Gold standart untuk diagnosis abses peritonsilar adalah aspirasi jarum.

Untuk mendapatkan sampel ini, tempat yang akan dilakukan aspirasi

harus dibius dengan 0,5 % benzalkonium (Cetacaine semprotan) diikuti

dengan obat kumur 2 % lidokain (Xylocaine) dengan epinefrin.

Menggunakan jarum yang berukuran 18 menempel pada spoit 10 mL

dapat digunakan untuk mengambil bahan dari abses yang dicurigai.

Cairan yang diperoleh harus dikirim ke laboratorium untuk pewarnaan

gram dan kultur untuk menentukan rejimen pengobatan yang tepat.

Aspirasi jarum dari abses peritonsillar harus hanya dilakukan oleh dokter

yang terlatih dengan baik. Komplikasi dalam melakukan aspirasi dapat

17
berupa aspirasi nanah dan darah, serta perdarahan. Jika absesnya

terletak di bagian distal tonsil, tusukan arteri karotis dapat terjadi

Gambar 6. Aspirasi

Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan adalah:

1. Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar

elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood

cultures). Karena pasien dengan abses peritonsil seringkali dalam

keadaan sepsis dan menunjukkan tingkat dehidrasi yang bervariasi

akibat tidak tercukupinya asupan makanan

2. Pada pasien yang curiga terinfeksi EBV dapat dilakukan monospot

test dan serologi EBV (IgG dan IgM)

3. CT scan kontras: Pemeriksaan ini digunakan jika terdapat

kecurigaan bahwa infeksi telah menyebar di luar ruang peritonsil

atau jika ada komplikasi yang melibatkan ruang leher lateral. Pada

18
pemeriksaan CT scan akan tampak kumpulan cairan hypodense di

apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan “peripheral

rim enhancement”. Gambaran lainnya termasuk pembesaran

asimetrik tonsil dan fossa sekitarnya.

Gambar 7. Gambar CT-Scan

4. Ultrasonografi (USG): Pemeriksaan intraoral ultrasonography

merupakan teknik pencitraan sederhana non-invasif dimana dapat

digunakan untuk membedakan selulitis dan abses. Selain itu

pemeriksaan ini dapat digunakan di ruang pemeriksaan gawat

darurat untuk membantu mengidentifikasi ruang abses sebelum

dilakukan aspirasi dengan jarum.

19
Gambar 8. Gambar USG

2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan abses peritonsil harus segera dilakukan dan

adekuat, untuk mencegah obstruksi pernafasan dan mencegah meluasnya

abses ke ruang parafaring dan mediastinum dan basis kranii.

Prosedur utama untuk drainase abses peritonsillar adalah aspirasi

jarum, insisi dan drainase, dan tonsilektomi segera. Drainase menggunakan

salah satu metode ini dikombinasikan dengan terapi antibiotik akan

menghasilkan resolusi abses peritonsillar pada lebih dari 90 persen kasus.

Gold standard adalah insisi dan drainase abses. Pus yang diambil dilakukan

pemeriksaan kultur dan resistensi test. Penanganan meliputi, menghilangkan

nyeri, dan antibiotik.

20
Pasien dengan abses peritonsillar dapat dirawat sebagai pasien rawat

jalan, tetapi sebagian kecil mungkin memerlukan rawat inap. Alasan paling

umum untuk masuk adalah dehidrasi, ketidakmampuan untuk mengelola

asupan cairan oral, masalah jalan napas dan kegagalan manajemen rawat

jalan. Kondisi komorbiditas lain yang memerlukan manajemen rawat inap

termasuk diabetes mellitus, penyakit imunosupresif, penggunaan obat

imunosupresif kronis (termasuk penggunaan kortikosteroid berkepanjangan),

atau tanda-tanda sepsis

1. Antibiotik

Antibiotik yang efektif mengatasi Staphylococcus aureus dan

bakteri anaerob. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis

tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan

hangat. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur

mikroorganisme pada aspirasi jarum.

Penisilin merupakan “drug of chioce” pada abses peritonsil dan

efektif pada 98% kasus jika yang dikombinasikan dengan

metronidazole. metronidazole merupakan antimikroba yang sangat

baik untuk infeksi anaerob. Angka resisten penisilin berkisar 0-56%

tetapi uji sensitivitas laboratorium tidak selalu mencerminkan respon

klinis. Alternatif termasuk ampisilin/amoksisilin dengan sulbaktam/

asam klavulanat

21
2. Insisi dan Drainase

Insisi dan drainase (I&D) adalah teknik yang umumnya

dilakukan untuk tatalaksana akut dari abses peritonsil yang besar.

Tindakan ini dapat mengurangi rasa sakit yang efektif dan cepat.

Teknik insisi dan drainase membutuhkan anestesi lokal dengan

menyemprotkan anestesi topikal. Insisi drainase intraoral dilakukan

degan melakukan insisi mukosa diatas abses, biasanya di lipatan

22
supratonsilar (kutub atas). Forsep sinus dimasukkan melalui insisi

untuk merentangkan insisi. Pengisapan tonsil sebaiknya segera

disediakan untuk mengumpulkan pus yang dikeluarkan

Gambar 9. Insisi dan drainase

3. Tonsilektomi

Terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil

(tonsilektomi). Indikasi pembedahan termasuk infeksi tenggorokan

berulang dan gangguan pernapasan tidur obstruktif, yang keduanya

secara substansial dapat mempengaruhi status kesehatan anak dan

kualitas hidup. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang

yang menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang

meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai

kecenderungan besar untuk kambuh

Bila tonsilektomi dilakukan bersama-sama dengan tindakan

drainase abses maka disebut tonsilektomi “a chaud”, bila

tonsilektomi dilakukan 3-4 hari sesudah darinase abses disebut

23
tonsilektomi “a tiede” dan bila tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu

sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a froid”. Pada

umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3

minggu sesudah drainase abses

4. Kortikosteroid

Steroid telah digunakan untuk mengobati edema dan

peradangan pada penyakit otolaringologi lainnya, peran mereka

dalam pengobatan abses peritonsil belum dipelajari secara

ekstensif. Pada sebuah penelitian melaporkan bahwa 32 pasien

yang menerima steroid dosis tinggi tunggal (metilprednisolon [Depo-

Medrol] 2 hingga 3 mg per kg hingga 250 mg) secara intravena plus

antibiotik merespons pengobatan jauh lebih cepat daripada 28

pasien yang menerima antibiotik plus plasebo. Penggunaan steroid

dalam pengobatan abses peritonsilar tampaknya membantu

mempercepat pemulihan, tetapi studi tambahan diperlukan sebelum

membuat rekomendasi untuk penggunaan rutinnya.

2.9 Diagnosis Banding

Abses peritonsil dapat di diagnosis banding dengan penyakit-penyakit

abses leher bagian dalam lainnya seperti, abses retrofaring, abses

parafaring, abses submandibula, dan angina ludovici (Ludwig’s angina). Hal

ini disebabkan kemiripan gejala utama pada abses leher bagian dalam

seperti, nyeri tenggorok, demam, serta terbatasnya gerakan membuka mulut.

24
Untuk membedakan abses peritonsil dengan penyakit leher dalam lainnya,

diperlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang jeli. Selain itu diagnosis

banding infeksi mononukleosis juga dapat memiliki gambaran abses

peritonsil.

2.10 Komplikasi

1). Abses pecah spontan, dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi

paru atau empiema.

2). Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi

abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke

mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis.

3). Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan

trombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak

2.11 Prognosis

Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan

penanganan yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi

penyembuhan. Dalam jumlah kecil, diperlukan tonsilektomi beberapa lama

kemudian. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses,

maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil pada usia

lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi, demikian juga bila sebelumnya

menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode.

25
Reevaluasi dari semua pasien yang diobati dengan aspirasi jarum

harus dilakukan dalam 24 jam untuk menilai perlunya dilakukan aspirasi

berulang atau insisi dan drainase. Pasien harus segera kembali apabila

terdapat kembali muncul gejala, atau pendarahan terus-menerus dari luka

insisi

26
BAB III

KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan kumpulan atau timbunan nanah (pus)

yang terlokalisir/ terbatas pada jaringan peritonsilar yang terbentuk sebagai

hasil dari supuratif tonsilitis. Gejala klinis meliputi odinofagia (nyeri menelan)

yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia),

muntah (regurgitasi), mulut berbau, banyak ludah (hipersalivasi), suara

sengau, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), Abses

peritonsil hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan tonsilektomi.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri

faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri tekan

pada kelenjar regional.

Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema, asimetri palatum

mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Beberapa macam

terapi yang selama ini dikenal adalah pemberian antibiotika dosis tinggi dan

obat simptomatik, pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral, insisi, dan

tonsilektomi

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Steyer, T. E. (2002). Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment.


American family physician, 65(1), 93.
2. Arliando MA, Adelien, Utama DS. 2017. Prevalensi abses leher
dalam di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 1
Januari 2012-31 Desember 2015. Majalah Kedokteran
Sriwijaya.;3:124-133.
3. Sari NLS, Putra IDGAE, Budayanti NS. 2018. Karakteristik
penderita abses peritonsil di RSUP Sanglah Denpasar periode
tahun 2010-2014. Medicina ;49(2):161-165.
4. Klug, T. E. (2009). Peritonsillar abscess: clinical aspects of
microbiology, risk factors, and the association with parapharyngeal
abscess. Clin Infect Dis, 49, 1467-72.
5. Rusmarjono dan bambang H. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. FK-UI.
Jakarta. p;190-203
6. Lalwani, A. K., & Pfister, M. H. (2012). Recent Advances in
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. JP Medical Ltd.
7. Ludman, H. S., & Bradley, P. J. (Eds.). (2012). ABC of ear, nose
and throat (Vol. 254). John Wiley & Sons.
8. Koltsidopoulos, P., Skoulakis, C., & Kountakis, S. (2017). ENT:
Core Knowledge. Springer.
9. Adams, G. L., Boies, L. R., & Higler, P. A. (1994). Penyakit-
penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams GL, Boies buku
ajar penyakit THT, Jakarta, Penerbit buku kedokteran EGC edisi, 6,
337-40.

28
10. Nave, H., Gebert, A., & Pabst, R. (2001). Morphology and
immunology of the human palatine tonsil. Anatomy and
embryology, 204(5), 367-373.
11. Galioto, N. J. (2017). Peritonsillar abscess. American family
physician, 95(8), 501-506.
12. Johnson, R. F., & Stewart, M. G. (2005). The contemporary
approach to diagnosis and management of peritonsillar abscess.
Current opinion in otolaryngology & head and neck surgery, 13(3),
157-160.
13. Corbridge, R. (2011). Essential Ent. CRC Press

29

Anda mungkin juga menyukai