Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

ODINOFAGIA

Oleh :

Vidia Andita Sari 22360172

Bertha Luthfiyah Hanna B. S. 23360036

Fransisca Jaquline Sitinjak 23360102

Jovani Ruth Nadia Saragih 23360104

Preceptor :

dr. Hadjiman Yotosudarmo Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDRAL AHMAD YANI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat

karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan referat dengan judul

“ADINOFAGIA” yang disusun untuk melengkapi syarat Kepaniteraan Klinik di

Departemen Ilmu Penyakit THT pada RSUD Jendral Ahmad Yani Kota Metro.

Proses penulisan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan dari berbagai

pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami menyampaikan rasa terima

kasih kepada dr. Hadjiman Sp.THT-KL, selaku pembimbing yang telah

memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk

menyelesaikan referat ini. Terima kasih juga kepada segenap staff poli THT

RSUD Ahmad Yani yang senantiasa memberikan bekal ilmu pengetahuan dan

pengalaman berharga selama proses kepaniteraan klinik di RSUD Ahmad Yani

Metro.

Penulis menyadari bahwa penulissan referat ini masih jauh dari akan

kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat

diharapkan oleh penulis.

Metro, Januari 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................2
2.1 Anatomi Larynx...................................................................................................................3
2.2 Stuktur Penyangga Larynx.................................................................................................3
2.3 Struktur Otot Larynx..........................................................................................................9
2.4 Fisiologi Larynx..................................................................................................................10
2.5 Definisi Carcinoma Larynx...............................................................................................13
2.6 Etiologi Carcinoma Larynx...............................................................................................13
2.7 Faktor Resiko Carcinoma Larynx....................................................................................14
2.8 Patofisiologi Carcinoma Larynx.......................................................................................15
2.9 Manifestasi Carcinoma Larynx........................................................................................16
2.10 Penentuan Stadium (Staging) Carcinoma Larynx........................................................18
2.11 Pencegahan Carcinoma Larynx.....................................................................................22
2.12 Macam Pemeriksaan Carcinoma Larynx......................................................................22
2.13 Tatalaksana Carcinoma Larynx.....................................................................................25
BAB III PENUTUP......................................................................................................................22
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA

iii
4

BAB I

PENDAHULUAN

Odinofagia atau nyeri tenggorok merupa- kan gejala yang sering

dikeluhkan akibat ada- nya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring,

orofaring dan hipofaring. Odinofagia terkadang berhubungan dengan kondisi

ringan, seperti flu biasa. Dalam kasus seperti itu, nyeri saat menelan akan hilang

dengan sendirinya seiring berjalannya waktu. Nyeri saat menelan yang kronis

mungkin disebabkan oleh penyebab lain yang mendasarinya. Ada beberapa

kondisi medis yang dapat menyebabkan odinofagia. Odinofagia juga disebabkan

oleh peralatan medis seperti terapi radiasi untuk kanker.

Penyebab bakteri utama odynophagia adalah streptokokus beta-hemolitik

kelompok A (GABHS) yang, dengan variasi tertentu dalam perkiraan, dapat

menyebabkan 10 hingga 25% dari semua kasus odinofagia pada orang dewasa

dan sesuatu yang lain pada anak-anak. GABHS menimbulkan kekhawatiran

karena gejala sisa pasca-streptokokus yang parah (misalnya, demam rematik,

glomerulonefritis, abses).

Odynophagia biasanya terjadi selama transit bolus dan menghilang setelah

bahan yang tertelan meninggalkan esofagus. Intensitasnya bisa sedemikian rupa

sehingga pasien menolak menelan makanan padat atau cair apa pun dan

mengeluarkan air liur. Di sisi lain, odinofagia mungkin intensitasnya ringan,

sehingga pasien hanya menyadari lokasi bolus yang ditelan. Odynophagia dapat

disebabkan oleh keterlibatan mukosa oleh refluks, radiasi, infeksi virus atau

jamur, atau dapat merupakan manifestasi dari karsinoma, cincin dan jaring

Schatzki, atau ulkus lokal yang disebabkan oleh tablet yang tersangkut.

2
5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang

besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak

terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring

berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan

rongga mulut melalui ismus orofaring, seddngkan dengan laring di bawah berhubungan

melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding

posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupa- kan bagian

dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar)

selaput'lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur

faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

a. Mukosa

Memiliki berbagai bentuk yang ergantung pada letaknya. Pada nasofaring yang

berfungsi sebagai saluran respirasi, mukosanya memiliki silia dan epitel thorax yang

mengandung sel goblet. Pada orofaring dan laringofaring yang berfungsi sebagai saluran

cerna memiliki epitel berlapis gepeng dan tidak memiliki sillia.

Dapat ditemukan sel jaringan limfoid di sepanjang faring yang membentu

rangkaian jaringan ikat dan termasuk dalam sistem retikuloendotelial. Hal ini

menybabakan faring disebut sebagai daerah pertahanan tubuh.

b. Palut Lendir ( Mucous Blanket)

Terletak diatas sillia dan bergerak sesuai dengan arah gerak sillia. Dan berfungsi

untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang terhirup. Palut lendir

ini mengandung enzim lyzozyme untuk proteksi.

c. Otot
6

Tersusun atas otot sirkular ( terdiri dari musculus konstriktor faring superior,

media dan inferior) terletak dibagian luar yang membentuk kipas bagian bawahnya

menutup sebagian otot atas dan akan bertemu dibagian depan. Otot ini berfungsi sebagai

konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot bagian ini dipersarafi oleh nervus

vagus (N.X)

Otolotot yang longitudinal adalah m.stilo- faring dan m.palatofaring. Letak otot-

otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik

laring, sedang- kan m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan

bagian bawah faring dan laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja

kedua otot itu penting p'ada waktu menelan. M.stilofaring dipersarafi oleh n:lX

sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.

Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung

fasia dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglosus,

m.pala- tofaring dan m.azigos uvula.

M. levator veli palatini membentuk seba- gian besar palatum mole dan

kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius.

Otot ini dipersarafi oleh n X. M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan

kerjanya untuk mengen- cangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba

Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.palatoglosus membentuk arkus anterior

faring dan kerjanya menyempitkan ismus fa- ring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M

palatofaring membentuk arkus poste- rior faring Otot ini dipersarafi oleh n.X M.azigos

uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan uvula ke

belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.


7

d. Pendarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang utama
berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang
a.maksila interna yakni cabang palatina superior.
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang eks- tensif. Pleksus
ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang
faring dari n.vagus berisi serabut motoJik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang
untuk otot- otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.lX).
f. Kelenjar Getah Bening
Aliran limfa dad dinding faring dapat me- lalui 3 saluran, yakni superior, media dan infe- rior.
Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan kelenjar getah bening servikal
dalam atas. Saluran limfa rnedia mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar
8

servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam
bawah.
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :
1. NASOFARING
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke
depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif
kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
lim- foid pada dinding lateral fanng dengan resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong
Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus lubarius, suatu refleksi
mukosa faring di alas penonjolan kartlago fuba Euslachius, koana, forarnen jugulare, yang dilalui oleh
n.glosofaring, n.vagus dan n.asesorius spinal saraf kranial dan v.jugularis interna, bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius
2. OROFARING
Orofanng disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, balas bawah adalah
tepi atas epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil
serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

- DINDING POSTERIOR FARING

Secara klinik dinding poslerior faring pen- ting karena ikut terlibat pada radang akut atau radang kronik

fanng, abses retrofaring, serta gangguan\otot-otot di bagian lersebut. Gang- guan otot \posterior faring bersama-

sama de- ngan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n.vagus.

- FOSA TONSIL

Fosa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Eatas lateralnya adalah m.konstnktor faring

superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang dinamakan fosa

supra tonsil Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila

terjadi abses Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasra bukofaring, dan disebut kapsul yang

sebenar- nya bukan merupakan kapsul yang sebenar- nya.

- TONSIL

Tonsil adalah massa yang terdiri dari ringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikal dengan kriptus di

dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil fa- dngal (adenoid), tonsil palatina dan tonsil lingual yang ketrga-

tiganfa membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja

terlelak di dalam fosa tonsil. Pada kutub atas lonsil seringkali ditemukan celah intralonsil yang merupakan sisa
9

kantong faring yang kedua Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah Permukaan medial tonsil

bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel

skuamosa yang;uga meliputi kriptus. Di dalSm kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas,

bakteri dan sisa makanan Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul

tonsil Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilek- tomi Tonsil

mendapat darah dan a. palatina minor, a palatina asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a. faring asendens

dan a lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glodoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut

yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus

dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus

tiroglosus.

3. LARINGGOFARTNG (HIPOFARING)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior

ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra servikal. Bila laringo- faring diperiksa dengan kaca tenggorok

pada pemeriksaan ladng tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka

struktur pertama yang tampak di bawah dasar lidah ialah valekula. Bagian ini merupa- kan dua buah cekungan

yang dibentuk oleh ligarnentum glosoepiglotika medial dan liga- mentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.

Valekula disebut luga 'kantong gil' (pill pock- et9,'sebab pada beberapa orang, kadang- kadang bila menelan pil

akan tersangkut di situ.

Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya

akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk infantil (ben- tuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam

perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan

laringoskopi tidak langsung tam- pak menutupi pita suara. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi)

glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke

esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap sisi laringo faring. Hal ini

penting untuk diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung.

RUANG FARINGAL

Ada dua ruang yang berhubungan de- ngan faring yang secara klinik mempunyai arti penting, yaitu ruang
1

retrofaring dan ruang para- faring.

1. RUANG RETROFARING (RETRO. PHARYNGEAL SPACE)

Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia

faringobasilaris dan otototot faring. Ruang iri bedsijaringan ikat jararp dan hsia prevertebralis. Ruang ini mulai

dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat-serat jaringan ikat di

garis tengah mengikatnya pada vertebra..Di sebelah lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.

Abses retrofaring sering di- temukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofanng terdapat

kelenjar-kelenjar limfa. Pada peradangan kelen- jar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah,

nanahnya akan terlumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak

menghilang pada perlumbuhan anak.

2. RUAI{G PARAFARTNG (FOSA FARTNGO iIAKS|LA = PHARYNGO-MMI-LLARY FOSSA)

Ruang ini berbentuk kerucut dengan da- samya yang tedetak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis

dan puncaknya pada komu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstnktor faring superior,

batas .luamya adalah ramus asenden man- dibula yang melekat dengan m.pterigoid intema dan bagian posterior

kelenjar parotis.

Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besamya oleh os stiloid dengan otot yang melekat

padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai

akibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis.

Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v.jugularis intema,

n.vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini

dipisahkan dari ruang relro- faring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

FUNGSI FARING

Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi.

FUNGSI MENELAN

Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus

makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengala (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu

transpor bolus makanan melalui faring. Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofagal. Di sini

gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju

lambung Proses menelan selanjutnya dibicarakan dalam bab esofagus.

FUNGSI FARING DALAM PROSES BICARA


1

Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan faring Gerakan ini antara

lain berupa pendekatan palatum mole ke arah dinding belakang faring Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat

dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama

m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik palatum mole

ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold o f)

Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring

sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m sal-pingofaring) dan oleh kontraksi aktif m konstrik- tor faring

superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.

Ada yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada periode fonasi, tetapi ada pula pendapat

yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat bersamaan dengan gerakan palatum.

2.2 Odinofagia

2.2.1 Definisi

Odinofagia adalah nyeri tajam pada daerah substernal pada saat menelan dan reflek dari penyakit

erosiva yang berat.

2.2.2 Etiologi

Esofagitis karena kandida, virus herpes, cytomegalovirus, luka korosif karena benda tajam, obat

yang menginduksi esofagitis.

2.2.3 Penyakit yang memiliki gejala odinofagia :

1. Faringitis

Faring memiliki tiga divisi antara lain, nasofaring, orofaring, dan hipofaring. Divisi ini berkaitan

satu dengan yang lainnya tetapi berisikan perbedaan jaringan limfoid dan struktur. faringitis adalah

peradangan pada mukosa faring. Jaringan limfoid, muskular dan lemak sekitar dan jaringan fascial.

Faringitis dapat bersifat infeksisus atau noninfeksius dan dapat berkaitan dengan penyakit sistemik

seperti, human imunodefisiensi virus (HIV). Infeksi virus lebih sering menyebabkan faringitis pada

anak-anak dan dewasa, tetapi pasien anak lebih tinggi karena infeksi bakteri dibanding dewasa.

Anamnesis Faringitis :

 Nyeri tenggorokan
1

 Odinofagia

 Demam

 Malaise

 Nyeri kepala

 Gejala gangguan traktur gastrointestinal seperti mual, muntah,

 Gejala infeksi virus seperti batuk, pilek, dan nasal kongesti

Pemeriksaan Fisik Faringitis :

 Pembesaran limfanodus cervikal antara lain : posterior cervical, submandibular, jugular, dan

linfadenopati axila.

 Examinasi faring terlihat eritem pada mukosa orofaring termasuk kemerahan pada uvula dan peteki

pada soft palate

 Tonsil dapat juga terlihat eritem dan inflamasi, dapat juga terdapat whitish spot dan eksudat

creamy.

 Pada beberapa pasien dapat juga terlihat “scarlet fever” rash, yang terdiri dari papul eritematous

yang bermula pada leher dan menyebar ke ekstremitas kecuali telapak tangan dan kaki.

 Faringitis akut

Faringitis virus atau bakterialis akut adalah penyakit yang sangat sering:

 Etilogi :

virus : rhinovirus, influenza, parainfluenza, herpes simpleks, dll

Bacterial : streptococcus (grup A, beta-hemoliticus), difteri, dll

fungal : candidia albicans, chlamydia trachomatis

 Gejala : faringitis ringan, rasa tidak nyaman di tenggorokan, malaise dan demam ringan, tidak ada

limfadenopati. Infeksi sedang dan berat rsa sakit di tenggorokan, disfagia, sakit kepala, malaise dan

demam tinggi. Faring dalam kasus ini menunjukan eritema, eksudat dan pembesaran tonsil dan

folikel limfoid di dinding posterior faring. Pada kasus yang sangat parah dapat menunjukan edema

uvula.
1

 Penatalaksanaan

faringitis Streptococcus (Grup A, beta-haemolyticus) diobati dengan penisilin G, 200.000 menjadi

250.000 unit peroral empat kali sehari selama 10 hari atau penisilin benzatin G 600.000 unti i.m untuk

pasien Dengan berat badan lebih dari 60 kg. Eritromisin 20-40 mg/kgBBsetiap hari.

 Faringitis kronis

Adalah kondisi peradangan kronis dari faring. Secara patologis, hal ini ditandai dengan hipertrofi

mukosa, kelenjar seromucinous, folikel limfoid subepitel dan bahkan otot faring.

 Etiologi :

Sejumlah besar faktor yang mempengaruhi :

1. infeksi persisten di lingkungan

Dalam rhinitis dan sinusitis kronis, purulen discharge terus menetes ke baawah faring sumber infeksi.

Hal ini menyebabkan hipertrofi lateral faring.

2. iritasi kronis

Merokok berlebihan, mengunyah tembakau, minum atau makanan yang sangat dibumbui semua bisa

menyebabkan faringitis kronis

3. Pencemaran lingkungan

4. produksi suara rusak

 Gejala

Gejala pada faringitis kronis tergantung tungkat keparahan yang bervariasi:

1. Ketidaknyamanan atau nyeri di tenggorokan. Hal ini terutama pada pagi hari.

2. Sensasi benda asing di teggorokan. Pasien memiliki konstanta keinginan untuk menelan atau

berdeham untuk menyingkirkan sensasi benda asing

3. Kelelahan suara. Pasien tidak dapat berbicara lama dan harus melakukan upaya yang tidak

semestinya untuk berbicara sebagai tenggorokan mulai sakit. Suara juga mungkin kehilangan kualitas.

4. Batuk
1
1
1

2.2 Definisi Carcinoma Larynx

Carcinoma larynx merupakan salah satu keganasan dalam saluran

aerodigestive atas yang berupa massa abnormal dalam jaringan dan struktur

larynx dengan pertumbuhan berlebihan (Biljannah, Zahro, & Manyakori, 2017).

Carcinoma larynx dapat mengenai daerah supraglottis, glottis, dan subglottis

(Prihadianto, Dwi,& Permana 2019).

Carcinoma telinga, hidung, tenggorokan, kepala dan leher (THT-KL)

termasuk dalam lima besar dari semua keganasan di dunia. Carcinoma larynx

merupakan jenis keganasan pada bidang THT-HNS yang merupakan massa

abnormal pada jaringan dan struktur larynx dengan pertumbuhan berlebih dan

tidak terkoordinasi seperti pertumbuhan jaringan normal (Nuaba & Ratnasari,

2021).

2.3 Etiologi Carcinoma Larynx

Penyebab utama carcinoma larynx tidak sepenuhnya diketahui, tetapi

diduga terkait dengan peradangan kronis, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol

berlebihan, infeksi virus Human Papilloma, paparan radiasi dan paparan

karsinogen (Nuaba & Ratnasari, 2021).

Merokok merupakan faktor risiko paling signifikan untuk carcinoma

larynx, sekitar 70% hingga 95% dari semua kasus. Hubungan dengan konsumsi

alkohol berat juga merupakan faktor resiko dari carcinoma larynx, meskipun efek

dari alkohol masih belum jelas. Berbeda dengan carcinoma kepala dan leher
1

lainnya, peran human papillomavirus (HPV) sebagai agen penyebab juga masih

belum diketahui (National Cancer Institute, 2023) .

2.4 Faktor Resiko Carcinoma Larynx

Faktor risiko utama yang umumnya dikaitkan dengan carcinoma kepala dan leher

meliputi tembakau dan konsumsi alkohol.

A. Tembakau

Penggunaan tembakau tetap menjadi faktor risiko utama carcinoma

kepala dan leher Tembakau mengandung banyak bahan kimia

karsinogenik seperti hidrokarbon aromatik polisiklik, nitrosamin, amina

aromatik, dan aldehida yang dilepaskan selama pembakaran suhu tinggi

yang diketahui merusak DNA dalam sel oropharynx dan menyebabkan

perkembangan carcinoma. Perokok berat memiliki peningkatan risiko

carcinoma kepala dan leher 5 sampai 25 kali lipat dibandingkan dengan

bukan perokok, sementara perokok pipa dan cerutu memiliki risiko yang

lebih rendah, namun tetap meningkat. Individu dengan predisposisi

genetik dan metabolik tertentu, termasuk peminum berat secara

bersamaan, berada pada risiko tertinggi terjadi carcinoma kepala dan leher

dengan merokok.

B. Alkohol

Konsumsi alkohol di antara bukan perokok diperkirakan mencapai

4% dari kasus squamous cell carcinoma kepala dan leher secara global.

Resiko carcinoma kepala dan leher meningkat tergantung dosis dengan


1

jumlah dan frekuensi konsumsi alkohol, dengan risiko tertinggi diamati

pada individu yang mengonsumsi lebih dari tiga minuman beralkohol per

hari. Sifat alkohol sebagai pelarut meningkatkan kerentanan jaringan

mukosa terhadap karsinogen seperti asap atau nitrit dalam makanan.

Asetaldehida, diproduksi dari etanol oleh alkohol juga terbukti bersifat

mutagenik (Barsouk et.all, 2023).

C. laryngopharyngeal reflux

Gastropharynxeal refluks atau disebut juga dengan

larynxopharynxeal refluks adalah pergerakan naik ke arah larynx atau

pharynx dari isi lambung, asam lambung, and enzim pankreas. Substansi

ini berpotensi untuk mengiritasi atau melukai jaringan dan dapat

bermanifestasi menjadi berbagai macam penyakit seperti globus

pharyngeus, suara serak, laryngitis posterior, edema pita suara, polip pita

suara, dan carcinoma larynx. Walaupun sampai saat ini refluks belum

dapat dibuktikan sebagai suatu zat karsinogenik, tetapi dapat

menyebabkan terjadinya inflamasi larynx akut dan kronis. Gastroesofageal

refluks dapat menyebabkan Barrett’s esophagus dan terjadinya carcinoma

di daerah esophagus (Oktaviani et. all).

2.5 Patofisiologi Carcinoma Larynx

Tumor atau sering dikenal dengan neoplasma adalah massa abnormal

jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkordinasikan dengan

pertumbuhan jaringan normal dan terus demikian walaupun rangsangan yang


1

memicu perubahan tersebut telah berhenti. Hal mendasar tentang asal neoplasma

adalah hilangnya responsivitas terhadap faktor pengendali pertumbuhan yang

normal (Septiana, 2020).

Tumor ganas atau neoplasma ganas yang ditandai dengan diferensiensi

yang beragam dari sel parenkim, dari yang berdiferensiensi baik (well

differentiated) sampai yang sama sekalitidak berdifrensiensi. Neoplasma ganas

yang terjadi atas sel tidak berdiferensiensi disebut anapilastik (Septiana, 2020).

Tidak adanya diferensiensi, atau anaplasia dianggap sebagai tanda utama

keganasan. Neoplasma ganas (carcinoma) tumbuh dengan cara infiltrasi, invasi,

destruksi dan penetrasi progresif ke jaringan sekitar. Carcinoma tidak membentuk

kapsul yang jelas. Cara pertumbuhannya yang infiltratif menyebabkan perlu

dilakukan pengangkatan jaringan normal disekitar secara luas apabila suatu tumor

ganas akan diangkat secara bedah (Septiana, 2020)

2.6 Manifestasi Carcinoma Larynx

Serak adalah gejala utama carcinoma larynx,merupakan gejala paling dini

tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi larynx.

Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara,

ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suara. Pada

tumor ganas larynx, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh

ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya

otot-otot vokalis, sendi dan ligamen krikoaritonoid, dan kadang-kadang

menyerang saraf, adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun
2

getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi

kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-

kadang bisa afoni kerana nyeri, sumbatan jalan napas.

Hubungan anatara serak dengan tumor larynx tergantung pada letak tumor.

Apabila tumor tumbuh pada pita suara, serak merupakan gejala dini dan menetap.

Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel larynx, di bagian bawah plica

ventrikularis atau di batas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Pada

tumor supraglottis dan subglottis, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak

timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif,

seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorokan. Tumor

hipopharynx jarang menimbulkan serak.

Dispnea dan stridor adalah gejala yang disebabkan oleh sumbatan jalan

napas dan dapat timbul pada tiap tumor larynx. Gejala ini disebabkan oleh

gangguan jalan napas oleh tumor, penumpukan kotoran atau sekret, maupun oleh

fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik atau transglotik terdapat kedua gejala

tersebut. Sumbatan yang terjadi secara perlahan-lahan dapat dikompensasi oleh

pasien. Pada umumnya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang

baik.

Nyeri tenggorokan merupakan keluhan yang dapat bervariasi dari rasa

goresan sampai rasa nyeri yang tajam pada tenggorokan. Disfagia adalah ciri khas

tumor pangkal lidah, supraglotik, hipopharynx dan sinus piriformis. Keluhan ini

merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas postcricoid. Rasa nyeri

ketika menelan (odinophagia) menandakan adanya tumor ganas lanjut yang


2

mengenai struktur ekstra larynx. Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik,

biasanya timbul dengan tertekannya hipopharynx disertai sekret yang mengalir ke

dalam larynx. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.

Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,

hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan perluasan tumor ke luar

larynx atau metastasis jauh. Pembesaran kelenjar getah bening leher

dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menunjukan tumor pada

stadium lanjut. Nyeri tekan larynx adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh

komplicasi supurasi tumor yang menyerang kartilagi tiroid dan perikondrium.

(Soepardi et.all, 2012)

2.7 Penentuan Stadium (Staging) Carcinoma Larynx

Tumor Primer (T)

Supraglottis

Tx: Tumor primer tidak bisa ditentukan

Tis: Carcinoma insitu

T1: Tumor terbatas pada satu subsite dari supraglottis dengan pergerakan pita

suara normal.

T2: Tumor menginvasi mukosa lebih dari satu subsite di supraglottis atau glottis

atau diluar supraglottis (seperti mukosa pangkal lidah, valekula, atau dinding

medial sinus piriformis) tanpa fiksasi larynx.


2

T3: Tumor terbatas pada larynx dengan fiksasi pita suara dan/ atau menginvasi

postcricoid, ruang pre-epiglottis, ruang paraglottis dan/ atau korteks dalam dari

cartilago tiroid.

T4: Moderately advanced atau sangat Advanced

T4a: Moderately advanced tumor primer, tumor menginvasi korteks luar

tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan ekstra larynx (trachea,

cartilago cricoid, jaringan lunak leher termasuk otot ekstrinsik dalam dari

lidah,otot-otot strap, tiroid atau esofagus).

T4b: Sangat Advanced tumor lokal, tumor menginvasi ruang prevertebra,

arteri karotis, atau menginvasi struktur mediastinum.

Glottis

Tx: Tumor primer tidak bisa ditentukan

Tis: Carcinoma insitu

T1: Tumor terbatas pada pita suara/ plica vokalis (bisa melibatkan komisura

anterior ataupun posterior), pergerakan normal.

T1a :Tumor terbatas pada satu pita suara

T1b :Tumor melibatkan kedua pita suara

T2: Tumor meluas sampai ke supraglottis dan/ atau subglottis dan atau dengan

gangguan pergerakan pita suara.

T3: Tumor terbatas pada larynx dengan fiksasi pita suara dan/ atau menginvasi

ruang paraglottis dan/ atau inner cortex dari cartilago tiroid.

T4: Moderately advanced atau sangat Advanced


2

T4a: Moderately advanced tumor primer, tumor menginvasi korteks luar

tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan ekstra larynx (trachea,

cartilago cricoid, jaringan lunak leher termasuk otot ekstrinsik dalam dari

lidah,otot-otot strap, tiroid atau esofagus).

T4b: Sangat Advanced tumor lokal, tumor menginvasi ruang prevertebra,

arteri karotis, atau menginvasi struktur mediastinum.

Subglottis

Tx: Tumor primer tidak bisa ditentukan

Tis: Carcinoma insitu

T1: Tumor terbatas pada subglottis

T2: Tumor meluas ke pita suara dengan atau tanpa gangguan pergerakan.

T3: Tumor terbatas pada larynx dengan fiksasi pita suara dan/ atau menginvasi

ruang paraglottis dan/ atau korteks dalam dari cartilago tiroid.

T4: Moderately advanced atau sangat Advanced

T4a: Moderately advanced tumor primer, tumor menginvasi korteks luar

tulang rawan tiroid dan/ atau meluas ke jaringan ekstra larynx (trachea,

cartilago cricoid, jaringan lunak leher termasuk otot ekstrinsik dalam dari

lidah,otot-otot strap, tiroid atau esofagus).

T4b: Sangat Advanced tumor lokal, tumor menginvasi ruang prevertebra,

arteri karotis, atau menginvasi struktur mediastinum.

Kelenjar Getah bening Regional (N)

Nx: Kelenjar limfe regional tidak tidak bisa ditentukan.

N0: Tidak terdapat metastasis ke kelenjar getah bening regional.


2

N1: Metastasis pada satu kelenjar limfe ipsilateral dengan ukuran diameter

terpanjang ≤ 3 cm dan ENE (-).

N2a: Metastasis pada satu kelenjar limfe ipsilateral dengan ukuran diameter

terpanjang lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm dan ENE (-) .

N2b: Metastasis pada multipel kelenjar limfe ipsilateral dengan diameter

terpanjang tidak lebih dari 6 cm dan ENE (-). N2c: Metastasis bilateral atau

kontralateral kelenjar limfe dengan diameter terpanjang tidak lebih dari 6 cm

dan ENE (-).

N3a: Metastasis kelenjar limfe dengan diameter terpanjang lebih dari 6 cm dan

ENE(-)

N3b: Metastasis pada setiap kelenjar limfe dengan ENE (+)

Metastasis Jauh (M)

M0 : Tidak ada metastasis jauh.

M1 : Terdapat metastasis jauh.

Stadium

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium I : T1 N0 M0

Stadium II : T2 N0 M0

Stadium III : T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0

Stadium IVA : T4a N0, N1 M0 T1,T2,T3 ,T4a N2 M0

Stadium IVB : Semua T N3 M0 T4b semua N M0

Stadium IVC : semua T semua N M1

*ENE: Extra Nodular Extension (jurnal Diagnosis Dini Tumor Ganas Larynx).
2

2.8 Pencegahan Carcinoma Larynx

Menurut NCI (National Cancer Institute), 2023 pencegahan carcinoma larynx

adalah sebagai berikut :

1. Berhenti merokok

penghentian paparan terhadap tembakau (misalnya, rokok, pipa, cerutu,

dan tembakau tanpa asap) menyebabkan penurunan risiko carcinoma

rongga mulut, oropharynxeal, hipopharynxeal, dan larynx

2. Berrhenti konsumsi alkohol

3. Vaksinasi terhadap HPV-16 dan subtipe berisiko tinggi lainnya

Vaksinasi terhadap HPV-16 dan HPV-18 telah terbukti mencegah sekitar

90% infeksi HPV-16/HPV-18 oral dalam waktu 4 tahun setelah vaksinasi.

2.9 Macam Pemeriksaan Carcinoma Larynx

Menurut American Cancer Society (2021), ada beberapa pemeriksaan yaitu:

Pemeriksaan fisik

1. Indirect laryngoscopy

Pemeriksaan yang paling sederhana dengan menggunakan cermin kecil

bergagang panjang dan ditaruh pada langit langit mulut lalu sorotkan

cahaya ke cermin dan lihat pantulannya

2. Direct flexible laryngoscopy


2

Menggunakan fiber optic laryngoscope yang dimasukkan dari hidung lalu

masuk ke tenggorokan untuk melihat larynx dan area sekitarnya, terkadang

pada pemeriksaan ini juga dilakukan biopsi

3. Direct rigid laryngoscopy

Biasanya dilakukan di kamar operasi dimana pasien diberikan anestesi IV

terlebih dahulu. Rigid laryngoscope digunakan untuk melihat seberapa

besar dan seberapa jauh tumor larynx menyebar ke daerah sekitarnya,

terkadang pada pemeriksaan ini juga dilakukan biopsi

4. Panendoscopy

Gabungan laryngoscopy, esophagoscopy, dan bronchoscopy. Untuk

melihat dan menilai area sekitar larynx, hypopharynx termasuk esophagus

dan trachea. Biasanya dilakukan di kamar operasi dimana pasien diberikan

anestesi IV. terkadang pada pemeriksaaan ini diikuti dengan biopsi

Macam-macam biopsi

1. Endoscopy biopsy

Larynx terdapat pada area leher dalam sehingga sulit untuk

mengambil sampel biopsi, oleh karena itu dibutuhkan endoscopy untuk

mendapatkan sampel biopsi

2. FNAB

Pemeriksaan FNAB (Fine needle aspiration biopsy) ini digunakan

untuk

mengetahui penyebab bengkaknya kelenjar limpa di leher. Jarum tipis

ditusukkan ke massa atau kelenjar limpa untuk mendapatkan sel yang


2

digunakan untuk biopsi lalu diperiksa di lab. Apabila pada hasil FNAB

terdapat carcinoma, dapat diketahui jenis carcinoma, namun apabila

FNAB tidak menunjukkan carcinoma, maka carcinoma tidak ditemukan di

kelenjar limpa. FNAB juga digunakan pasien yang sudah diketahui terkena

carcinoma larynx apakah sudah tertangani oleh operasi atau terapi radiasi

(ditemukan scar tissue atau carcinoma recurrence)

3. Lab test of biopsy sample

Untuk mengetahui klasifikasi dari carcinoma

Macam test pencitraan

1. Ct scan

Untuk mengetahui ukuran dan apakah tumor tumbuh menyebar di jaringan

sekitar atau tidak

2. MRI scan

3. Chest X-ray

Digunakan apabila ada dugaan carcinoma metastasis ke paru-paru

4. PET scan

Positron Emission Tomography (PET) menggunakan

fluorodeoxyglucose yang diinjeksi kedalam pembuluh darah dan akhirnya

berkumpul pada sel carcinoma. PET biasanya digunakan untuk

mengetahui area metastasis carcinoma terutama pada carcinoma yang

bersifat ganas.

5. Bone scan

Digunakan apabila terdapat dugaan carcinoma sudah menyebar ke tulang


2

6. Barium swallow

Digunakan apabila pasien mengalami gangguan menelan. Cairan

barium diminum untuk melapisi dinding tenggorokan dan kerongkongan

pada saat pemeriksaan

2.10 Tatalaksana Carcinoma Larynx

Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan, maka ditentukan

tindakan yang akan diambil sebagai penanggulangannya. Ada 3 cara

penanggulangan yang lazim dilakukan yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatika

atau pun kombinasi daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan

umum pasien. Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk

mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk dilakukan operasi, stadium 4

dilakukan operasi dengan rekontruksi, bila masih memungkinkan atau dikirim

untuk mendapatkan radiasi.

Jenis pembedahan adalah larynxektomi totalis ataupun parsial, tergantung

lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi leher radikal bila

terdapat penjalaran ke kelenjar limfe di leher. Pemakaian sitostatika belum

memuaskan, biasanya jadwal pemberian sitostatika tidak sampai selesai karena

keadaan umum memburuk, disamping harga obat ini yang relatif mahal , sehingga

tidak terjangkau oleh pasien.

Larynxektomi yangdikerjakan untuk mengobati carcinoma larynx

menyebabkan cacat pada pasien dengan dilakukannya pengangkatan larynx

beserta pita suara yang ada didalamnya, maka pasien akan menjadi afonia dan
2

bernapas melalui stoma permanen di leher. Untuk itu diperlukan rehabilitasi

terhadap pasien baik yang bersifat umum yakni agar pasien dapat mandiri

kembali, maupun rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara agar pasien dapat

berbicara (bersuara), sehingga berkomunikasi verbal.

Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara

yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula, ataupun

dengan suarayang dihasilkan dari esofagus melalui proses belajar. Banyak faktor

yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini, tetapi dapat

disimpulkan menjadi 2 faktor utama, ialah faktor fisik dan faktor psikososial.

Suatu hal yang sangat membantu adalah pembentukan wadah perkmpulan guna

menghimpun pasien - pasien tuna larynx guna menyokong aspek psikis dalam

lingkup yang luas dari pasien, baik sebelum maupun sesudah operasi. (Soepardi

et.all, 2012)
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tumor ganas larynx merupakan salah tumor ganas di kepala dan leher

yang sering terjadi, untuk diagnosis tumor ini lebih dini memerlukan peningkatan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat disamping kemapuan dokter dalam

mendeteksi adanya keganasan di larynx.

Penentuan diagnosis adanya tumor di larynx adalah berdasarkan gejala,

pemeriksaan fisik termasuk laryngoskopi dan Pemeriksaan patologi dari biopsi

massa serta pemeriksaan radiologi dibutuhkan untuk menentukan jenis dan

perluasan tumor serta penentuan stadium tumor yang bermanfaat untuk rencana

penatalaksanaan dan prognosis.


22
DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, N. (2019) ‘Karakteristik Penderita Carcinoma Larynx Di Departemen


Tht-Kl Rsup Dr. Mohammad Hoesin Palembang Periode 2015-2019’,
Skripsi, Palembang: Universitas Sriwijaya.
Biljannah, J., Zahro, I.I., Manyokari, S.P. (2022) ‘Tumor Larynx Suspek Ganas
Pada Perokok Aktif : Laporan Kasus’, Continuing Medical Education, pp.
694-700. Available at:
https://proceedings.ums.ac.id/index.php/kedokteran/article/download/2160/
2115.
Bimasena. (2017) ‘Anatomi, Fisiologi dan Pemeriksaan Fisik Larynx’, Fakultas
Dokter, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta.
Cahyadi, I., Permana, A.D., Dewi, Y.A., Aroeman, N.A. (2016) ‘Karakteristik
Penderita Carcinoma Larynx di Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Rumah Sakit dr Hasan Sadikin
Bandung Periode Januari 2013 – Juli 2015’, Tunas Medika Jurnal
Kedokteran & Kesehatan,3(1). Available at:
https://jurnal.ugj.ac.id/index.php/tumed/article/download/268/160.
Irfandi, D and Sukri, R. (2015) ‘Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas
Larynx’, Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), pp. 1-8.
Jones, T.M., De, M., Foran, B., Harrington, K., Mortimore, S. (2016) ‘Laryngeal
Cancer: United Kingdom National Multidisciplinary Guidelines’, NCBI
Literature Resources, pp.1-15.
Koroulakis, A., Agarwal, M. (2022) ‘Laryngeal Cancer’, StarPearls Publishing
LLC.
Laryngeal and Hypopharyngeal Cancer Early Detection, Diagnosis, and Staging.
(2021). American Cancer Society, pp. 1-33.
Laryngeal Cancer Treatment (PDQ). (2023). National Cancer Institute, pp.1-33.
Nuaba, I. and Ratnasari, M. (2022) ‘Characteristics of Laryngeal Carcinoma
Patients Who Underwent Surgery in Bali, Indonesia’, Atlantis Press, 46, pp.
128-133. Available at: https://www.atlantis-press.com/proceedings/orlhn-
21/125970609.
Nocini, R., Molteni, G., Mattiuzzi, C., Lippi, G. (2020) ‘ Updates on Larynx
Cancer Epidemology’, Chinese Journal of Cancer Research, 32(1), pp. 18-
25.
Oktaviani, I., Dewi, Y.A., Permana, A.D., Aroeman, N., Samiadi, D. (2016)
‘Carcinoma Larynx Yang Disebabkan Oleh Larynxopharynxeal Refluks’,
pp.1-8.
Prihadianto, A., Dewi, Y.A., Permana, A.D. (2019) ‘Quality Of Life of Laryngeal
Carcinoma Patients after Total Laryngectomy’, Althea Medical Journal,
6(2), pp. 100-106. Available at:
https://journal.fk.unpad.ac.id/index.php/amj/article/view/1689.
Rahman, S. (2018) ‘Diagnosis Dini Tumor Ganas Larynx’, THT-KL Fakultas
Kedokteran, Universitas Andalas.
Soepardi, E. et al. (Ed.). (2012) ‘Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga Hindung
Tenggorokan Kepala & Leher’. Jakarta: BP FKUI.

Anda mungkin juga menyukai