KARSINOMA NASOFARING
Disusun oleh:
Pembimbing :
dr. Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M.Kes
DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................... 5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring............................................................................................ 5
2.2. Definisi Karsinoma Nasofaring................................................................................................. 7
2.3. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring....................................................................................... 8
2.4. Etiologi Karsinoma Nasofaring................................................................................................. 9
2.5. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring...................................................................................... 10
2.6. Diagnosis Kanker Nasofaring................................................................................................. 15
2.7. Tatalaksana Karsinoma Nasofaring...................................................................................... 20
2.8. Komplikasi.................................................................................................................................. 22
2.9. Prognosis..................................................................................................................................... 23
2.10. Pencegahan............................................................................................................................. 24
BAB III PENUTUP....................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker menurut WHO adalah pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkendali
serta dapat bermetastasis ke jaringan disekitarnya. Salah satu contohnya adalah kanker
nasofaring atau karsinoma nasofaring.2 Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu penyakit
keganasan yang timbul akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak normal yang muncul pada
daerah nasofaring, yaitu area di belakang kavum nasi di atas palatum mole dan pada dinding
posteriornya terdapat tonsilla faringeal.1,2
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan.3 Berdasarkan Globocan 2020, terdapat 133.354 kasus baru (laki laki
96.371 dan perempuan 36.983) kanker nasofaring dengan jumlah kematian mencapai 80.008
akibat karsinoma nasofaring.4 Pertumbuhan keganasan ini memiliki distribusi geografis yang
tidak merata dengan angka kejadian 80% di Asia, 10% di Afrika, dan 10% sisanya mewakili
tempat lain.3 Kanker nasofaring jarang ditemukan di Benua Eropa dan Amerika, yaitu kurang
dari 1/100.000 setiap tahun, sedangkan di Afrika sekitar 5-10/100.000 setiap tahunnya.
Karsinoma nasofaring sering ditemukan di Asia Tenggara dan China, dengan Asia Tenggara
yang mewakili 67% dari beban karsinoma nasofaring di seluruh dunia.1,3
Populasi yang berlebih di Asia bertanggung jawab atas peningkatan angka kematian
oleh karsinoma nasofaring, dari 45.000 (tahun 1990) menjadi 65.000 (tahun 2010). 3 Lima
negara dengan kasus karsinoma nasofaring terbanyak secara berurutan adalah Cina,
Indonesia, VIetnam, India, dan Malaysia. 5 Karsinoma nasofaring di Cina menunjukkan
tingkat kejadian yang bervariasi mulai dari insiden tinggi di bagian Cina Selatan yang
mewakili 18% kejadian karsinoma nasofaring hingga insiden rendah pada Cina Utara dengan
insiden 15-50/100.000.3,6
Di Indonesia kejadian karsinoma nasofaring mencapai 5,66/100.000 penduduk,
sehingga diperkirakan di Indonesia akan ditemukan 15.500 kasus baru setiap tahunnya. 7
Karsinoma nasofaring selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh
manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor
kulit. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah.8
Sampai saat ini etiologi dan faktor risiko dari karsinoma nasofaring belum diketahui
secara pasti, namun terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
karsinoma nasofaring yaitu virus Epstein-Barr, genetik, dan faktor lingkungan.1
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan karena
letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali tumor
ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis. Sangat mencolok perbedaan prognosis
(angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut. Untuk dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi dini, dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya,
antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan
pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil baik.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.3 Gambaran endoskopi nasofaring normal (kanan) dan KNF (kiri)18
2.6.3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan pencitraan dengan CT scan dan MRI berguna untuk menilai
perluasan tumor dan keterlibatan kelenjar regional. MRI lebih sensitif dalam menilai
keterlibatan jaringan lunak dan penyebaran perineural sehingga menjadi pilihan dalam
mengevaluasi penyebaran lokoregional. Pemeriksaan CT scan meskipun dapat
membedakan erosi tulang kortikal, MRI dapat melihat perubahan pada struktur
sumsung tulang yang mengindikasikan adanya keterlibatan tulang. Pemeriksaan
pencitraan tidak dapat membedakan antara KNF dan keganasan lainnya, sehingga
fungsinya adalah untuk pemetaan tumor dalam menilai perluasan lokal dan metastasis
servikal. Keterlibatan kelenjar regional juga dinilai menggunakan CT atau MRI
mengingat sebagian besar pasien KNF datang sudah dengan pembesaran kelenjar
leher. Oleh karena itu, evaluasi kelenjar merupakan hal yang esensial dan
mempengaruhi rencana pengobatan. MRI memberikan resolusi yang lebih baik
daripada CT dalam hal penilaian ruang parapharyngeal, infiltrasi sumsum dari dasar
tengkorak, penyakit intrakranial, dan kelenjar getah bening dalam.17,18
Penggunaan fluorodeoxyglucose (FDG)-positron emission tomography
(PET)/CT menjadi populer saat ini dalam menilai abnormalitas yang tidak jelas pada
CT atau MRI. PET/CT memadukan teknologi PET (Positron Emission Tomography)
dengan CT untuk menghasilkan gambar dalam 2 dan 3 dimensi. Suatu jenis analog
glukosa yaitu fluorodeoxyglucose (FDG) disuntikkan ke dalam tubuh pasien melalui
intravena karena sel kanker mempunyai metabolisme glukosa yang tinggi sehingga
menangkap FDG sangat banyak dibanding sel normal. FDG menggunakan F-18
(fluoro-18) yang termasuk jenis positron (dual photon) yang memancarkan sinar
gamma kedua arah yang berlawanan, dan kedua arah sinar gamma tersebut ditangkap
oleh detektor gamma dalam kamera PET.19
PET/CT telah menjadi salah satu pilihan dalam menentukan stadium KNF,
terutama pada kondisi N2-N3 dan pada keadaan KNF stadium IIIIV untuk mencari
kemungkinan metastasis. 23 Penggunaan PET/CT mempunyai tingkat akurasi 95.3%,
spesifisitas 100% dan sensitifitas 85.7% dibandingkan dengan CT scan dan MRI
dengan tingkat akurasi 65.5%, spesifisitas 79.4% dan sensitifitas 64.7%, dan PET/CT
lebih unggul daripada pemeriksaan pencitraan konvensional dalam hal penentuan
stadium N dan M, serta dalam monitoring efektifitas hasil dari penatalaksanaan.
Setiap pasien hendaknya melakukan pemeriksaan rontgen thorax, darah lengkap,
urinalisa, profil biokimia termasuk fungsi hepar dan ginjal. Pasien yang akan
ditatalaksana dengan radioterapi membutuhkan evaluasi kondisi gigi karena efek
samping radiasi mengakibatkan xerostomia serta disfungsi kelenjar liur. Karies akibat
radiasi serta perubahan jaringan padat pada gigi dapat muncul dalam waktu 3 bulan
setelah radiasi. Apabila pasien membutuhkan ekstraksi gigi, maka harus sudah
dilakukan 2 minggu sebelum dimulainya radiasi. Bone scan dan CT scan paru atau
hepar dilakukan hanya bila dicurigai metastasis dari keluhan dan hasil pemeriksaan
standar.18,20
Gambar 2.4 Gambaran histologi KNF berkeratin (A), tidak berkeratin (B),
tidak berdiferensiasi (C)
2.6.5. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA(early antigen) dan IgA anti VCA untuk
infeksi virus Epstein Barr menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring, walaupun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Antibodi IgA terhadap
antigen kapsid virus (VCA) EBV merupakan tes yang sangat sensitif untuk KNF
meskipun memiliki spesifisitas yang lebih rendah dan sekitar 75-100% pasien KNF
akan mengalami peningkatan kadar IgA VCA. Antibodi IgA terhadap EA memiliki
spesifisitas tinggi (100%) dan peningkatannya hampir selalu mengindikasikan adanya
KNF meskipun memiliki sensitivitas hanya 47%. Pemeriksaan yang banyak dilakukan
adalah titer antibodi IgA terhadap antigen IgA kapsid EBV karena memiliki
sensitivitas 81-93% dan spesifisitas 80-96%. Pasien dengan kondisi klinis terlihat
normal namun dengan peningkatan antibodi IgA terhadap VCA membutuhkan
evaluasi lebih lanjut kondisi nasofaringnya untuk mencegah misdiagnosis.18
2.6.5. Stadium
Klasifikasi berdasarkan TNM (AJCC, 8 th ed, 2017), dapat ditentukan dengan
menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening yang terlibat, dan metastasis
ke organ lain.22
Tabel 1. Klasifikasi TNM 5
2.7.1. Radioterapi
Kanker nasofaring sebagian besar merupakan jenis yang radiosensitif sehingga
radioterapi mempunyai peran yang sangat besar dalam terapi KNF semua stadium
tanpa metastasis jauh. Pasien dengan metastasis jauh dapat diterapi dengan radioterapi
dengan tujuan untuk kontrol lokal dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penelitian Xiao di Cina terhadap pasien kanker nasofaring stadium I-II, yang
mendapat terapi radiasi saja tahun 1999-2001 dengan median dosis 70 Gy, didapatkan
hasil overall survival 5 tahun mencapai 85%. Sementara untuk kontrol metastasis jauh
untuk masing-masing stadium T1N0, T2N0, T1N1, T2N1 adalah 94.9%, 97.5%,
95.6%, dan 81.2%. 21
Penatalaksanaan radioterapi yang diberikan berupa radiasi eksterna dengan
teknik konvensional 2 dimensi (2D), teknik konformal 3 Dimensi (3DCRT) maupun
teknik Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). IMRT adalah bentuk tertinggi dari
teknik konformal radioterapi yang memberikan dosis tinggi pada target tumor
sementara memberikan konformitas dosis yang rendah pada jaringan sehat
disekitarnya dengan menggunakan arah sinar multiple yang dapat memberikan
konformitas radiasi sesuai bentuk dari target.18
Pemilihan teknik radioterapi tersebut berdasarkan indikasi klinis dan modalitas
yang dimiliki oleh masing-masing institusi kesehatan. Semakin tinggi teknik yang
digunakan maka efek samping radiasi yang ditimbulkan akan lebih rendah. Efek
samping xerostomia lebih rendah pada teknik IMRT dibandingkan teknik
konvensional 2D yaitu 39.3% vs 82.1%. Radiasi dapat diberikan berupa radiasi
eksterna, radiasi intrakaviter, dan booster sebagai tambahan. Radiasi eksterna yang
mencakup gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis
66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula
dengan dosis 50 Gy. Selain itu, radiasi intrakaviter dapat diberikan sebagai radiasi
booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan
dosis (4x3 Gy), sehari 2 x. Selanjutnya, bila diperlukan booster pada kelenjar getah
bening diberikan penyinaran dengan elektron. Radioterapi paliatif diberikan pada
kanker nasofaring yang sudah bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan
menimbulkan rasa nyeri. Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tata laksana metastases tulang
merupakan salah satu modalitas terapi selain imobilisasi dengan korset atau tindakan
bedah, bisfosfonat, terapi hormonal, terapi target donosumumab, terapi radionuklir
dan kemoterapi.18,22
2.7.2. Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF lokoregional lanjut adalah menggunakan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah
radiasi atau dikenal dengan istilah neoadjuvan, konkurren, dan adjuvan
kemoterapi.Pemilihan kemoterapi bersifat individual sesuai dengan karakteristik
pasien. Kemoterapi standar untuk kemoradiasi pada kondisi lokal lanjut adalah
konkuren cisplatin dengan radioterapi. Sementara itu untuk kemoradiasi yang diikuti
adjuvan kemoterapi dapat digunakan Cisplatin+radioterapi diikuti cisplatin/ 5-FU atau
carboplatin/ 5 FU.18
Berdasarkan NCCN tahun 2015, KNF stadium dini (T1N0M0) memiliki terapi
definitif radioterapi dengan dosis 66 – 70 Gy selama 6 – 7 sebagai pilihan utama
dalam pengobatan. Stadium lokal lanjut (T1, N1-3; T2-T4,N0-3) dapat dilakukan
kemoradiasi konkuren dengan dosis radiasi 70 Gy selama 7 minggu diikuti adjuvan
kemoterapi, kemoradiasi konkuren tanpa diikuti adjuvan kemoradiasi, atau
kemoterapi induksi diikuti kemoradiasi. KNF stadium lanjut dengan metastasis
diterapi dengan kemoterapi kombinasi berbasis platinum atau pilihan kemoradiasi
konkuren.18
2.7.3. Operasi
Tindakan pembedahan dibandingkan dengan re-iradiasi telah
direkomendasikan sebagai terapi pilihan untuk residu kelenjar servikal atau KNF
rekuren pasca radioterapi atau kemoradiasi. Teknik diseksi leher yang menjadi pilihan
untuk tatalaksana telah diteliti pada berbagai studi. Studi prospektif dari 69 pasien
yang membutuhkan diseksi leher pasca kemoradiasi, Chen et al tidak mendapatkan
perbedaan yang signifikan antara kelompok yang dilakukan diseksi leher radikal
(RND) maupun diseksi leher selektif (SND) dalam hal overall survival, disease-free
survival, dan regional-free survival. Namun, angka komplikasi didapatkan lebih
rendah pada kelompok SND dengan lama perawatan yang lebih panjang pada
kelompok RND.
Tindakan nasofaringektomi adalah tindakan yang memiliki tantangan
tersendiri karena membutuhkan keahlian khusus operator dan hanya pada kasus
tertentu dengan tumor residu atau rekuren yang terbatas di nasofaring. Pendekatan
yang dapat dilakukan di antaranya infratemporal, transcervico-mandibulo-palatal,
transpalatal, transmaksila dan/ atau transcervical, maxillary swing, translokasi fasial.
Pilihan pendekatan ini dilakukan sesuai dengan lokasi tumor, ukuran, dan
perluasannya.
2.7.4. Terapi Simptomatik
Pasien kanker nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa
mukositis oral, diare, konstipasi, atau mual muntah akibat tindakan pembedahan serta
kemo dan /atau radio-terapi. Tata laksana khusus pada kondisi tersebut, diberikan
sesuai dengan kondisi pasien.22
Sindrom kaheksia membutuhkan tata laksana multidimensi yang melibatkan
pemberian nutrisi optimal, farmakologi, dan aktivitas fisik. Pemberian nutrisi optimal
pada pasien kaheksia perlu dilakukan secara individual sesuai dengan kondisi
pasien.22
Gambar 2.5. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Nasofaring
2.8. Komplikasi
Obstruksi tuba Eustachius yang menyebabkan otitis media dengan efusi adalah
komplikasi yang paling umum, tetapi obstruksi hidung persisten dan obstruksi jalan
napas teorofaringeal juga mungkin terjadi. Perluasan intrakranial dan keterlibatan
saraf kranial melemahkan dan dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup bahkan
setelah penatalaksanaan, karena kembalinya fungsi saraf kranial tidak selalu mungkin
bahkan setelah keganasan telah diobati. Lebih dari satu defisit saraf kranial adalah
tanda prognostik yang buruk.23
Toksisitas lanjut dari radioterapi termasuk xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis
leher dengan hilangnya rentang gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur
otot dan tulang yang diradiasi. Karena radioterapi dosis tinggi yang digunakan pada
penyakit ini, toksisitas akhir ini dapat menjadi signifikan, terutama pada anak yang
lebih muda. Endokrinopati dan retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi pada kelenjar hipofisis. Panhipopituitarisme dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi dengan penggunaan
cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima
cisplatin.24
2.9. Prognosis
Prognosis kanker tergantung dari agresivitas tumor secara biologis,
karakteristik pejamu, serta intervensi terapi yang dilakukan. Penyebaran invasi lokal,
kelenjar limfatik regional yang terlibat, serta metastasis yang direfleksikan dalam
stadium TNM menjadi faktor prognosis paling penting dari KNF. Secara umum,
klasifikasi T yang lanjut berhubungan dengan kontrol lokal dan angka kesintasan
yang lebih buruk; klasifikasi N yang lanjut meningkatkan risiko metastasis jauh dan
kesintasan suboptimal; dan pasien dengan metastasis jauh biasanya tidak dapat
disembuhkan dan memiliki angka harapan hidup yang rendah.25
Penentuan stadium KNF sendiri dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pencitraan. Secara umum klasifikasi T terutama memiliki pengaruh pada kontrol
lokal, sementara klasifikasi N secara signifikan memprediksi kontrol regional dan
metastasis jauh. Oleh karena itu klasifikasi T dan N dapat mempengaruhi tingkat
kontrol lokal, regional, dan metastasis jauh. Semakin besar kategori T dan N maka
semakin rendah tingkat kontrol lokal dan regional.18
Volume atau ukuran tumor telah dikenal sebagai salah satu faktor prognosis
utama dalam penatalaksanaan kasus keganasan. Tujuan utama penentuan stadium
pada keganasan adalah untuk memisahkan pasien menjadi kelompok-kelompok
dengan prognosis yang berbeda serta untuk menjadi acuan dalam penatalaksanaan
yang sesuai. Tumor dengan ukuran yang besar dijadikan salah satu penilaian dalam
stadium keganasan dengan melakukan pengukuran tumor secara kasar serta
perluasannya. Untuk kasus dengan jenis tumor yang dapat direseksi, ukuran tumor
menjadi kurang penting dalam kontrol lokal. Hal sebaliknya terjadi pada kasus yang
dilakukan radiasi atau kemoterapi dimana ukuran tumor yang besar memiliki dampak
yang bermakna terhadap kontrol lokal karena peningkatan risiko jumlah klonogen
serta tumor berukuran besar cenderung mengandung area hipoksik sehingga menjadi
resisten terhadap terapi radiasi.18
Data mengenai perbedaan yang signifikan dari prognosis KNF berdasarkan
tipe histopatologi sulit untuk diperoleh. Secara umum penelitian pada daerah tidak
endemis menunjukkan bahwa pasien dengan jenis histopatologi karsinoma berkeratin
(WHO tipe I) memiliki prognosis yang lebih buruk daripada karsinoma tidak
berkeratin atau tidak berdiferensiasi (WHO tipe II dan III). Daerah endemis paling
banyak ditemui WHO tipe II dan III, Penelitian yang banyak dilakukan adalah pada
daerah endemis dimana tipe histopatologi yang dominan adalah karsinoma tidak
berkeratin atau tidak berdiferensiasi, sehingga sulit untuk melakukan validasi pada
daerah tidak endemis mengenai keterkaitan tipe histopatologi dan prognosis.18
Laktat dehidrogenase (LDH) merupakan kunci utama dari proses glikolisis,
memiliki lima komponen isoenzim (M dan H), semakin tinggi jumlah H yang
dikandung isoenzim LDH, semakin rendah kemampuan mengkatalisis reaksi
glikolisis anaerob. Berbagai penyakit dapat menyebabkan peningkatan kadar
isoenzim, namun isoenzim yang berhubungan dengan kanker adalah LDH-5. Berbagai
penelitian menunjukkan peningkatan kadar LDH serum memprediksi prognosis yang
buruk dan risiko metastasis yang lebih besar pada kasus keganasan. Kadar Laktat
dehidrogenase (LDH) serum dilaporkan sebagai indikator prognosis pada limfoma
maligna dan jenis karsinoma lain yang berasal dari epitel. Peningkatan kadar LDH
biasanya mengindikasikan ukuran tumor yang besar atau berkaitandengan kejadian
metastasis jauh sehingga memberikan prognosis yang buruk.26
Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan dengan fokus pada
dampak usia terhadap prognosis KNF, namun beberapa penelitian melaporkan bahwa
faktor usia secara signifikan mempengaruhi prognosis KNF dengan hasil yang lebih
baik pada pasien berusia muda. Pasien dengan usia lebih muda selalu memiliki status
kinerja yang lebih baik serta komorbiditas yang lebih sedikit, sehingga memberikan
dampak toleransi yang lebih baik terhadap radioterapi dan kemoterapi serta memiliki
angka kesintasan yang lebih tinggi.27
2.10. Pencegahan
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mencegah karsinoma
nasofaring:
1. Pratiwi A, Imanto M. Karsinoma Nasofaring dengan Multiple Cranial Nerve Palsy pada
Pasien Wanita Usia 52 Tahun. Medula. 2020; 9(4): 609-15.
2. Diniati A, FW Wiwit, Harianto. Distribusi Keganasan Nasofaring berdasarkan
Pemeriksaan Histopatologi pada Rumah Sakit di Kota Pekanbaru Tahun 2009-2013. JOM
FK. 2016; 3(1): 1-18.
3. Hamid GA. Epidemiology and Outcomes of Nasopharyngeal Carcinoma. Pharynx-
Diagnosis and Treatment. Edisi 1. Intechopen; 2020.
4. World Health Organization: International Agency for Research on Cancer. Nasopharynx.
2020.
5. Salehiniya H, Mohammadian M, Mohammadian-Hafshejani A, Mahdavifar N.
Nasopharyngeal Cancer in the World: Epidemiology, Incidence, Mortality and Risk
Factors. World Cancer Research Journal. 2018; 5(1): 1-8.
6. Shah AB, Zulfiqar H, Nagalli S. Nasopharyngeal Carcinoma. NCBI. 2021.
7. Kadriyan H. Analisis Ekspresi Eksosom RNA dan Hubungannya dengan Ekspresi P53
pada Penderita Kanker Nasofaring [disertasi]. Makassar:Universitas Hasanuddin;2021.
8. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RS, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ; 2017.p156-61.
9. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Head and Neck. Gray’s Basic Anatomy.
Philadelphia : Elsevier ; 2012.p544-545
10. Mankowski NL, Bordoni B. Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx. NCBI. 2021.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Kanker Nasofaring. 2017.
12. Nicholas L. Mankowski; Bruno Bordoni, Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx,
StatPearls, August 8, 2022.
13. Kadkhoda ZT. 2007. Nasopharyngeal Carcinoma : past, present, and Future directions.
Sweden: Department of Oncology, Institute of Clinical Sciences, Göteborg University
14. Nakanishi Y, et all. Progression of understanding for the role of Epstein-Barr virus and
management of nasopharyngeal carcinoma. Division of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, Graduate School of Medicine, Kanazawa University. Cancer Metastasis Rev
(2017) 36:435–447)
15. Djaafar ZA. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher.Edisi 6. Jakarta : FKUI.)
16. Lalwani AK. 2007. Anatomi and Physiology of the Ear In Current Diagnosis &
Treatment Otolarinology Head and Neck Surgery. 2nd Ed. New York: Thieme: 310-489.
17. Melvin CLK, Joseph WTS, Edwin HP, Anthony CTC. Nasopharyngeal carcinoma. The
Lancet. 2015)
18. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring dan faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Prognosis. Universitas Indonesia. 2016.)
19. Moon SH, Choi JY, Lee HJ, et al. Prognostic Value of Volume-Based Positron Emission
Tomography / Computed Tomography in Patients With Nasopharyngeal Carcinoma
Treated With Concurrent Chemoradiotherapy. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2015;8(2):142-
148
20. National Comprehensive Cancer Nerwork. NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology. Head and Neck Cancer. 2015.
21. Yoshizaki T, Ito M, Murono S, Wakisaka N, Endo K. Current understanding and
management of nasopharyngeal carcinoma. Auris Nasus Larynx. 2012;39(2):137-144.
22. (Ho AC, Chan JY, Ng RW, Ho WK, Wei WI. The role of myringotomy and ventilation
tube insertion in maxillary swing approach nasopharyngectomy: review of our 10-year
experience. Laryngoscope. 2013 ;123(2):376-80.)
23. Paulino AC. Nasophryngeal Cancer. Medscape. 2021.)
24. Jin-Ching Lin. Prognostic Factors in Nasopharyngeal Cancer. In: Lu JJ, Cooper JS, Lee
AWM, eds. Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Management. Vol 1st ed.
Germany: Springer; 2010:95- 136.
25. Li G, Gao J, Tao Y-L, et al. Increased pretreatment levels of serum LDH and ALP as
poor prognostic factors for nasopharyngeal carcinoma. Chin J Cancer. 2012;31(4):197-
206.
26. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia
Kedokteran. 2017 Jul 1;44(7):478-81.