Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

KARSINOMA NASOFARING

Disusun oleh:

Tio Dora Parhusip 2065050108


Riswan Gumilang Bagaskara 2165050005
Christ Hasido Panjaitan 2165050068

Pembimbing :
dr. Farida Nurhayati, Sp.THT-KL, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
PERIODE 21 NOVEMBER – 31 DESEMBER 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................... 5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring............................................................................................ 5
2.2. Definisi Karsinoma Nasofaring................................................................................................. 7
2.3. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring....................................................................................... 8
2.4. Etiologi Karsinoma Nasofaring................................................................................................. 9
2.5. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring...................................................................................... 10
2.6. Diagnosis Kanker Nasofaring................................................................................................. 15
2.7. Tatalaksana Karsinoma Nasofaring...................................................................................... 20
2.8. Komplikasi.................................................................................................................................. 22
2.9. Prognosis..................................................................................................................................... 23
2.10. Pencegahan............................................................................................................................. 24
BAB III PENUTUP....................................................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
Kanker menurut WHO adalah pertumbuhan dan penyebaran sel yang tidak terkendali
serta dapat bermetastasis ke jaringan disekitarnya. Salah satu contohnya adalah kanker
nasofaring atau karsinoma nasofaring.2 Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu penyakit
keganasan yang timbul akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak normal yang muncul pada
daerah nasofaring, yaitu area di belakang kavum nasi di atas palatum mole dan pada dinding
posteriornya terdapat tonsilla faringeal.1,2
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan.3 Berdasarkan Globocan 2020, terdapat 133.354 kasus baru (laki laki
96.371 dan perempuan 36.983) kanker nasofaring dengan jumlah kematian mencapai 80.008
akibat karsinoma nasofaring.4 Pertumbuhan keganasan ini memiliki distribusi geografis yang
tidak merata dengan angka kejadian 80% di Asia, 10% di Afrika, dan 10% sisanya mewakili
tempat lain.3 Kanker nasofaring jarang ditemukan di Benua Eropa dan Amerika, yaitu kurang
dari 1/100.000 setiap tahun, sedangkan di Afrika sekitar 5-10/100.000 setiap tahunnya.
Karsinoma nasofaring sering ditemukan di Asia Tenggara dan China, dengan Asia Tenggara
yang mewakili 67% dari beban karsinoma nasofaring di seluruh dunia.1,3
Populasi yang berlebih di Asia bertanggung jawab atas peningkatan angka kematian
oleh karsinoma nasofaring, dari 45.000 (tahun 1990) menjadi 65.000 (tahun 2010). 3 Lima
negara dengan kasus karsinoma nasofaring terbanyak secara berurutan adalah Cina,
Indonesia, VIetnam, India, dan Malaysia. 5 Karsinoma nasofaring di Cina menunjukkan
tingkat kejadian yang bervariasi mulai dari insiden tinggi di bagian Cina Selatan yang
mewakili 18% kejadian karsinoma nasofaring hingga insiden rendah pada Cina Utara dengan
insiden 15-50/100.000.3,6
Di Indonesia kejadian karsinoma nasofaring mencapai 5,66/100.000 penduduk,
sehingga diperkirakan di Indonesia akan ditemukan 15.500 kasus baru setiap tahunnya. 7
Karsinoma nasofaring selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh
manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening, dan tumor
kulit. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak
ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma
nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring
(16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah.8
Sampai saat ini etiologi dan faktor risiko dari karsinoma nasofaring belum diketahui
secara pasti, namun terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
karsinoma nasofaring yaitu virus Epstein-Barr, genetik, dan faktor lingkungan.1
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan karena
letak nasofaring yang tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali tumor
ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis. Sangat mencolok perbedaan prognosis
(angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut. Untuk dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi dini, dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh aspeknya,
antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi, histopatologi, terapi dan
pencegahan, serta perawatan paliatif pasien yang pengobatannya tidak berhasil baik.8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Nasofaring

Nasofaring merupakan bagian paling superior dari faring, dibatasi di bagian


atas oleh dasar tengkorak dan di bagian bawah oleh langit-langit lunak. Nasofaring
menghubungkan rongga hidung ke orofaring dan berisi tuba Eustachius dan adenoid 12
Nasofaring berada di belakang apertura posterior kavum nasi (koana) dan
diatas palatum molle. Batas atas nasofaring dibentuk oleh dasar tengkorak yang terdiri
dari bagian posterior os sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Dinding atas dan
lateral nasofaring membentuk kubah di bagian atas rongga faring yang selalu terbuka.
Rongga nasofaring berlanjut menuju ke struktur dibawahnya yaitu rongga orofaring
pada isthmus faring. Posisi isthmus faring ditandai pada dinding faring ditandai
dengan lipatan mukosa oleh sfingter palatofaring dibawahnya, yang merupakan
bagian dari otot konstriktor superior. Elevasi dari palatum mole dan kontrisksi sfingter
palatofaringeal saat menelan akan menutup isthmus dan memisahkan nasofaring
dengan orofaring.9
Terdapat jaringan limfoid besar (tonsil faringeal) di mukosa pada atap
nasofaring. Pembesaran tonsil tersebut yang dikenal dengan adenoid dapat
menyebabkan tertutupnya nasofaring, sehingga bernafas hanya dapat dilakukan lewat
mulut.9
Struktur yang menonjol pada dinding lateral nasofaring adalah bukaan tuba
faringotimpani dan elevasi mukosa juga lipatan yang menutupi ujung tabung
faringotimpani dan otot-otot yang berdekatan. Bukaan tuba faringotimpani ada di
posterior dan sedikit lebih atas dari palatum durum dan lateral dari puncak palatum
molle. Karena tuba faringotimpani menonjol ke dalam nasofaring dari arah
posterolateral, tepi posteriornya akan membentuk elevasi pada dinding faring. Di
belakang elevasi tersebut (torus tubarius) terdapat lekukan yang dalam yaitu resesus
faring. Lipatan mukosa yang berhubungan dengan tuba faringotimpani meliputi
lipatan salpingofaringeal dan torus levatorius.9
Nasofaring relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fosa Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa
faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachus, koana, foramen jugulare, yang
dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus, dan n.assesorius spinal saraf kranial dan
v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara
tuba Eustachius.8
Nasofaring berasal dari rongga hidung dan faring secara embriologis. Baik
tuba eustachius dan pembukaannya berkembang dari lengkungan faring pertama.
Bagian posterior pembukaan tuba eustachius tampaknya merupakan perpanjangan
embriologis dari faring. Bagian Anterior pembukaan tuba eustachius dianggap
perpanjangan dari rongga hidung melalui kantung hidung primitif. Teori ini mendapat
dukungan dari bukti histologis bahwa mukosa nasofaring anterior pembukaan tuba
eustachius menyerupai rongga hidung (sangat vaskular dan padat dengan jaringan
limfoid) dan mukosa posterior menyerupai orofaring (skuamosa bertingkat).12
Vaskularisasi nasofaring disuplai oleh arteri mandibular (carotid artery), arteri
pterigopalatina (maxillary artery), arteri palatina asendens (facial artery), dan arteri
faringeal superior(ascending pharyngeal artery). Drainase vena nasofaring melalui
plexus venous parafaringeal yang akan menuju ke retrofaringan dan vena fasial lalu
lanjut ke vena jugularis interna. Pembuluh limfe nasofaring secara klinis berhubungan
dengan karsinoma nasofaring. Sistem pengumpulan awal kelenjar getah bening
dimulai dari jaringan kapiler dalam mukosa, lalu selanjutnya menuju ke retrofaringeal
yang disebut nodus Rouvière, dari sana akan dilanjutkan lagi menuju nodus jugularis
interna.10,12
Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke
tenggorokan yang akhirnya akan ke paru-paru. Otot intrinsik di nasofaring juga
mengontrol bukaan tuba eustacius, yang membantu mengontrol ventilasi dan tekanan
udara antara kavum timpani dan nasofaring. Nasofaring juga berkontribusi dalam
resonansi dan produksi suara. Bila terjadi obstruksi di nasofaring dapat menyebabkan
perubahan suara (hiponasal). Udara yang masuk akan terfiltrasi dan dilembabkan
dalam kavum nasi. Partikel debu yang terperangkap dalam mukus di hidung akan
ditransportasikan melalui mukosiliar ke nasofaring, dari sana debris nasal akan
diteruskan ke orofaring. Ismus nasofaring juga beperan dalam menutup nasofaring
saat proses menelan.10
Gambar 2.1. Anatomi Nasofaring

2.2. Definisi Karsinoma Nasofaring


Karsinoma nasofaring atau yang dahulu dikenal dengan limfoepitelioma
merupakan keganasan yang muncul pada daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan
di belakang hidung), yang menunjukkan bukti adanya diferensiasi skuamosa
mikroskopik ringan dan ultrastruktur.5,9 Tipe karsinoma nasofaring yang terbanyak
adalah tipe sel skuamosa.9 Tempat asal yang paling umum adalah fossa Rosenmuller,
yang merupakan reses faring. Kanker orofaring berhubungan dengan infeksi human
papillomavirus (HPV), dan kanker nasofaring (NPC) berhubungan dengan virus
Ebstein-Barr (EBV)12Stadium dini karsinoma nasofaring sulit dikenali. Pada stadium
lanjut karsinoma nasofaring memunculkan manifestasi benjolan pada leher, gangguan
saraf, atau metastasis lanjut. Gejala yang muncul dapat berupa hidung tersumbat,
epitaksis ringan, tinnitus, telinga terasa penuh, otalgia, diplopia, dan neural trigeminal
(sarah III, IV, V, VI), dan muncul benjolan di leher. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.11
Gambar 2.2. Karsinoma Nasofaring

2.3. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring


Insiden standar karsinoma nasofaring adalah 1,2/100.000 (1.7/100.000 pada
pria dan 0,7/100.000 pada wanita). Insiden pasien dengan metastasis tetap berada pada
presentase 25-34% dengan daya bertahan hidup yang rendah. Negara dengan insidensi
karsinoma nasofaring terendah adalah Amerika Serikat, Amerika, dan Eropa.5
Karsinoma nasofaring dapat menyerang segala usia. Karsinoma nasofaring
terutama ditemukan pada pria usia produktif dan 60% pasien yang menderita karsinoma
nasofaring yang berusia 25-30 tahun.1 Jenis kelamin pria 2-3 kali lebih berisiko terkena
karsinoma nasofaring. Berdasarkan Globocan 2020, terdapat 133.354 kasus baru (laki
laki 96.371 dan perempuan 36.983) kanker nasofaring dengan jumlah kematian
mencapai 80.008 akibat karsinoma nasofaring.4 Pertumbuhan keganasan ini memiliki
distribusi geografis yang tidak merata dengan angka kejadian 80% di Asia, 10% di
Afrika, dan 10% sisanya mewakili tempat lain.3
Karsinoma nasofaring (NPC) endemik di Cina selatan, bagian lain Asia
Tenggara, dan sebagian Afrika. Tingkat bervariasi dari nilai sangat kecil kurang dari 1
per 100.000 orang di daerah non-endemik hingga yang tertinggi 25 sampai 50 kasus per
100.000 laki-laki dan 15 sampai 20 kasus per 100.000 orang pada wanita di daerah
endemik.12 Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo tahun
1996 dan 2005 terdapat 1.121 pasien didiagnosis kanker nasofaring. Pada tahun 2010
kanker nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 kanker tersering Berdasarkan data
Riskesdas tahun 2013, prevalensi kanker di Indonesia diperkirakan 1,4% atau sekitar
347.792 orang dengan prevalensi tertinggi terdapat pada Provinsi D.I.Yogyakarta
(4,1%), sedangkan Provinsi Riau (0,7%) atau sekitar 4.301 orang. Berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2006-
2008, kanker nasofaring menempati urutan ke-2 pada laki-laki.2

2.4. Etiologi Karsinoma Nasofaring


2.4.1. Genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol.Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi, putusnya
kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting dalam kejadian KNF. Teori tersebut
didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker
nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan
Tionghoa.13
2.4.2. Virus Ebstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya kanker
nasofaring dengan keberadaan virus Ebstein Barr. Virus ini merupakan virus DNA
yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes yang saat ini telah diyakini
sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu, mononucleosis infeksiosa, penyakit
Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker nasofaring. Virus ini seringkali dijumpai pada
beberapa penyakit keganasan lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang
normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit. Virus tersebut masuk ke dalam tubuh
dan tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu yang
lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi, adanya virus ini
tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan proses keganasan.13
2.4.3. Lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang tinggi pada
nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan
dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin, sayur, dan buah segar.
Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya kanker nasofaring adalah debu, asap
rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan
tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring
belum dapat dijelaskan.5 Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga
mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring.13

2.5. Patofisiologi Karsinoma Nasofaring


2.5.1. Gen EBV diekspresikan dalam KNF
EBV secara laten menginfeksi sel NPC dan secara sporadis masukke dalam
infeksi litik produktif virus. Latensi tipe II dipertahankan, dandengan demikian,
ekspresi gen EBV terbatas pada EBNA1, LMP1, LMP2, EBER, dan miRNA yang
dikodekan BART. Dari gen-gen ini,LMP1 adalah onkoprotein primer yang dikodekan
oleh EBV dan, oleh karena itu, telah dipelajari dengan antusias oleh banyak peneliti.14

2.5.2. Inisiasi tumor, perkembangan, dan LMP1


LMP1 telah terbukti menginduksi banyak efek in vitro, termasuk promosi
pertumbuhan sel dan perlindungan sel dari apoptosis. Sementara kegiatan ini
berkontribusi pada potensi transformasi LMP1, mereka adalah dose-dependent. LMP1
tingkat rendah dapat menginduksi pertumbuhan sel dan meningkatkan kelangsungan
hidup sel; namun, tingkat ekspresi LMP1 yang tinggi terkait dengan penghambatan
pertumbuhan dan sensitisasi terhadap apoptosis sebagai respons terhadap penarikan
serum atau pengobatan dengan TNF, Fas, atau obat kemoterapi. Efek paradoks ini
mungkin terkait dengan kemampuan LMP1 untuk mengatur gen pro dan anti-apoptosis
dan mengganggu program perbaikan DNA seluler. 14

2.5.3. LMP1 mempromosikan motilitas sel, invasi, dan metastasis.


Gejala klinis yang paling umum dari NPC adalah adanya metastasis kelenjar
getah bening leher yang direpresentasikan sebagai massa leher. LMP1 telah terbukti
berkontribusi pada fitur unik NPC ini. Bukti pertama untuk relevansi LMP1 mengenai
sifat metastatic KNF adalah bahwa LMP1 menginduksi matrix metalloproteinase
(MMP)-9. Sementara beberapa penelitian telah mengidentifikasi korelasi positif antara
ekspresi LMP1 dan status metastatik NPC, penelitian lain gagal mengidentifikasi
hubungan semacam itu. Hasil yang bertentangan ini mungkin disebabkan oleh ukuran
sampel dan metode yang digunakan untuk mengevaluasi LMP1. Selanjutnya, LMP1
ditunjukkan untuk menurunkan regulasi adhesi sel-sel dan meningkatkan motilitas sel
melalui aktivasi ets-1 dan c-Met dan ekspresi ezrin. LMP1 juga terbukti menginduksi
ekspresi Mucin 1 (MUC1), yang memainkan peran penting dalam invasi tumor dan
metastasis dengan melawan adhesi sel. LMP1 tidak hanya mempengaruhi sel tumor itu
sendiri tetapi juga degradasi stroma yang mengelilingi tumor melalui upregulasi
berbagai MMP dan downregulasi RECK1, penghambat MT1-MMP. Induksi MMP oleh
LMP1 ditunjukkan dimediasi oleh sistem transduksi sinyal seluler, seperti NF-ÿB, AP-
1, ets-1, dan ERK-MAPK. Baru-baru ini, kerjasama IL-6 dan laminin dalam induksi
MMP-9 yang dimediasi LMP1 juga dilaporkan. 14

2.5.4. LMP1 mempromosikan limfangiogenesis.


Hipoksia tumor adalah salah satu fenomena paling umum pada kanker padat
manusia. Pembentukan pembuluh darah baru itu memasok oksigen dan nutrisi ke tumor
merupakan aspek penting dari karsinogenesis. Selain itu, hipoksia tumor berkontribusi
terhadap resistensi kemoradioterapi (CRT) serta fenotipe tumor ganas yang ditandai
dengan peningkatan invasif dan akhirnya prognosis yang buruk . Ekspresi HIF1ÿ yang
berlebihan telah dikaitkan dengan prognosis yang buruk di antara pasien dengan NPC.
Keluarga protein seven-in-absentia (Siah) terdiri dari homolog manusia Siah, ligase
ubiquitin jari RING E3 yang dilestarikan dan komponen hilir penting dari jalur
pensinyalan Drosophila RAS. Siah1 berkontribusi pada stabilisasi HIF1ÿ dalam kondisi
hipoksia LMP1 ditunjukkan untuk menginduksi HIF1ÿ melalui Siah1-mediated
downregulation dari prolyl hidroksilase 1 dan 3 dalam sel epitel nasofaring. Ekspresi
LMP1 secara signifikan berkorelasi dengan Siah1, dan kasus positif Siah1 dan HIF1ÿ
terbukti memiliki prognosis yang jauh lebih buruk Faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), yang juga terkait erat dengan HIF1ÿ, adalah pemain kunci lain dalam
angiogenesis. LMP1 telah terbukti menginduksi produksi VEGF pada sel epitel melalui
induksi siklooksigenase 2 (COX-2), FGF-2, MMP-9, dan HIF1ÿ. Namun, tidak ada
bukti yang menunjukkan bahwa metastasis limfatik yang agresif merupakan gambaran
umum dari NPC. Selain itu, mekanisme di mana ukuran metastase KNF ke kelenjar
getah bening belum diperiksa, sedangkan peningkatan regulasi faktor angiogenik terkait
LMP1 telah diselidiki secara rinci. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa
LMP1 mendorong limfangiogenesis melalui aktivasi sumbu reseptor VEGF-C/VEGF 3,
menghasilkan promosi metastasis kelenjar getah bening di NPC. 14

2.5.5. Perubahan genetik dan epigenetik dan LMP1


Biasanya, transkripsi p16 ditunjukkan diatur oleh protein retinoblastoma (pRb);
inaktivasi pRb menyebabkan rendahnya tingkat p16. Namun, ini tidak terjadi di NPC,
karena mayoritas NPC menunjukkan level p16 rendah dan level pRb tinggi. Garis sel
NPC memiliki tingkat rendah p16 sekunder akibat hipermetilasi p16. Namun,
perubahan epigenetic ini mungkin dimediasi oleh pembentukan heterodimer c-Jun/ Jun
yang diinduksi LMP1, yang menyebabkan aktivasi DNA metiltransferase. Selain itu,
LMP1 ditunjukkan untuk menonaktifkan p16 dengan menginduksi akumulasi
sitoplasma E2F4/5 dan ets-2, protein inti yang diperlukan untuk aktivitas p16 normal.
Penghapusan homozigot, diikuti oleh hipermetilasi gen, adalah yang terbanyak
mekanisme umum inaktivasi p16 pada kanker kepala dan leher. Studi luas genom yang
komprehensif mengungkapkan tidak hanya hilangnya p16 tetapi juga hilangnya banyak
heterozigositas kromosom 3p, 9p, 11q, 13q, 14q, dan 16q di NPC. Penghapusan 3p, 9p,
dan 14q, khususnya, terdeteksi di hampir semua sampel NPC mikrodiseksi. Temuan ini
menunjukkan bahwa gen penekan tumor pada kromosom ini tidak aktif. LMP1
mungkin juga memiliki banyak efek pada epigenetik, dan akhirnya, perubahan genetik
pada sel penekan LMP1-ex yang terinfeksi EBV. Genom inang tampaknya termetilasi
selama inaktivasi genom virus, termasuk LMP1. Dengan demikian, induksi perubahan
epigenetik, yang diinduksi oleh keberadaan EBV, adalah salah satu mekanisme untuk
mempromosikan transformasi sel epitel nasofaring yang terinfeksi EBV. 14
2.5.6. Manifestasi Klinis
Simtomatologi ditentukan oleh hubungan anatomi nasofaring terhadap hidung, tuba
Eustachii dan dasar tengkorak.
a. Gejala Hidung :
1. Epistaksis: rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah terjadi perdarahan.
2. Sumbatan hidung. Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga
nasofaring dan menutupi koana, gejalanya : pilek kronis, ingus kental, gangguan
penciuman.
b. Gejala telinga
1. Kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula-mula di fosa Rosen Muler, pertumbuhan
tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba (berdengung, rasa penuh, kadang
gangguan pendengaran)
2. Otitis Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran.
c. Gejala lanjut
Limfadenopati servikal : melalui pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat mencapai kelenjar
limfe dan bertahan disana. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak hingga
kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping, lama kelamaan karena tidak
dirasakan kelenjar akan berkembang dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan.
d. Gejala mata dan saraf
1. Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini
dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan dekat dengan rongga
tengkorak melalui beberapa lubang/foramen. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke II, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang
gejala diplopia lah yang membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia
trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti.
2. Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala subyektif dari
penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia daerah pipi dan hidung, kadang
sulit menelan atau disfagia. Perluasan kanker primer ke dalam kavum kranii akan
menyebabkan kelumpuhan N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi
atau perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen dengan
manifestasinya adalah diplopia.
Gejala saraf kranialis :
• Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah mendesak N.I melalui
foramen olfaktorius pada lamina kribrosa. Penderita akan mengeluh anosmia
• Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang terlibat secara berturut-
turut adalah N.IV, III, VI dan yang paling akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila
perluasan kanker mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi sehingga penderita
memberikan keluhan penurunan tajam penglihatan. Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan
mata m.levator palpebra dan m.tarsalis superior sehingga menyebabkan oftalmoplegia serta
ptosis bulbi (kelopak mata atas menurun), fissura palpebra menyempit dan kesulitan
membuka mata. Paresis N.III, IV dan VI akan menimbulkan keluhan diplopia
• Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan menimbulkan keluhan
parestesi sampai hipestesi pada separuh wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah.
Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut karsinoma, akan mengenai
saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu
suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom
Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula
disertai dengan destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese N.IX
menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi
sehat, hilangnya sensasi pada laring, tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah, salivasi
meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi telinga tengah, takikardi pada
sebagian lesi N.IX mungkin akibat gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan
memberikan gejala : gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan posisi pita suara, disfagia,
spasme otot esofagus), gejala sensorik (nyeri daerah faring dan laring, dispnea, hipersalivasi).
Parese N.XI akan menimbulkan kesukaran mengangkat dan memutar kepala dan dagu. Parese
N.XII akibat infiltrasi tumor melalui kanalis n. hipoglossus atau dapat pula karena parese
otot-otot yang dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis superior dan inferior,
m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala yang timbul berupa lidah yang deviasi ke sisi yang
lumpuh saat dijulurkan, suara pelo dan disfagia. 15,16
2.6. Diagnosis Kanker Nasofaring
2.6.1. Anamnesis
Gambaran klinis karsinoma nasofaring berkorelasi dengan tingkat penyakit
primer dan nodal. Rute yang mungkin dari invasi tumor primer adalah penyebaran ke
anterior ke dalam rongga hidung, fossa pterigoid, dan sinus maksilaris; keterlibatan
lateral di luar fasia pharyngobasilar ke dalam ruang parapharyngeal dan
infratemporal; dan dasar tengkorak, clivus, dan struktur intrakranial ketika penyakit
meluas ke posterior dan superior. Gejala klinis yang muncul dapat berupa massa
leher, epistaksis, sumbatan hidung, perubahan suara, nyeri, otalgia, penurunan
pendengaran, atau neuropati kranialis. Massa atau benjolan pada leher menjadi alasan
paling sering pasien KNF melakukan pemeriksaan dan sekitar 60-90% penderita KNF
memiliki metastasis kelenjar leher pada evaluasi menggunakan modalitas pencitraan.
Benjolan yang muncul paling sering adalah unilateral namun tidak jarang terjadi pada
bilateral leher. Benjolan tersebut biasanya tidak disertai nyeri kecuali terdapat proses
inflamasi atau infeksi yang menyertai.17,18
Pasien KNF juga sering memberikan keluhan pada hidung di antaranya ingus
bercampur darah yang keluar dari anterior maupun posterior hidung serta sumbatan
hidung unilateral atau bilateral. Pasien kadang bersuara sengau akibat sumbatan pada
hidung sehingga kadang disalahartikan sebagai sinusitis atau rinitis. Apabila keluhan
pada hidung ini terjadi maka sangat penting dilakukan evaluasi yang menyeluruh dari
kondisi nasofaring. Selain itu pasien juga dapat merasakan kurangnya pendengaran
yang disebabkan oleh sumbatan pada saluran tuba eustachius yang mengakibatkan
otitis media efusi. Keluhan tersebut pada keadaan normal jarang terjadi pada populasi
dewasa, sehingga kondisi ini dapat menjadi tanda kemungkinan ke arah KNF. Oleh
karena itu, pemeriksaan nasofaring dapat dilakukan apabila didapatkan otitis media
yang tidak membaik dalam jangka waktu 2-3 minggu pada pasien dewasa. Keluhan
telinga lainnya dapat berupa tinitus unilateral dan otalgia akibat infiltrasi tumor ke
saraf glossofaringeus.18
Nyeri kepala dan keluhan yang berhubungan dengan keterlibatan intrakranial
merupakan tanda bahwa penyakitnya telah mencapai stadium lanjut. Saraf kranialis
yang paling sering terlibat adalah saraf V dan VI yang memberikan keluhan parestesia
atau baal pada wajah dan diplopia. Saraf kranialis lain yang dapat terlibat adalah saraf
III, namun kelumpuhan saraf ini tidak dapat terjadi tanpa gangguan saraf V dan VI.
Keterlibatan saraf kranialis IX, X, XI dan XII dapat muncul pada KNF lokal
lanjut.Gejala pada kasus yang lanjut di antaranya trismus, disfagia, dan proptosis.
Trismus terjadi akibat infiltrasi pada otot pterygoid.18

2.6.2. Pemeriksaan Fisik


Seluruh pasien KNF harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh kepala dan
leher termasuk nasofaringoskopi. Pemeriksaan palpasi pada leher bertujuan untuk
mendeteksi adanya keterlibatan kelenjar servikal. Lokasi kelenjar, mobilitas, ukuran
didokumentasikan dengan baik. Rongga mulut dan faring dievaluasi untuk melihat
invasi tumor ke orofaring dan ada tidaknya trismus. Rongga hidung diinspeksi
menggunakan spekulum untuk melihat perluasan tumor ke rongga hidung. Selain itu
pemeriksaan saraf kranialis dan saraf simpatis dilakukan secara sistematis untuk
mengetahui adanya defisit neurologis.18
Pemeriksaan nasofaring sebaiknya dilakukan dengan endoskopi fleksibel fiber
optik atau menggunakan kaca nasofaring apabila fasilitas tersebut tidak tersedia. Lesi
awal biasanya muncul pada dinding lateral atau atap nasofaring, namun pemeriksaan
endoskopi kadang dapat sulit dilakukan seperti pada kasus KNF dengan gambaran lesi
nasofaring yang tidak terlalu jelas, yaitu benjolan pada fossa Rossen muller yang
minimal atau hanya asimetri pada atap nasofaring. Pemeriksa harus sangat mengenali
variasi bentuk mukosa nasofaring dan mengetahui bagian yang harus dilakukan
evaluasi atau diharapkan terdapat adanya lesi. Apabila dari keluhan dicurigai ke arah
KNF maka pemeriksaan pencitraan yang sesuai dan biopsi dari mukosa nasofaring
dianjurkan meskipun permukaan mukosa nasofaring terlihat normal.18

Gambar 2.3 Gambaran endoskopi nasofaring normal (kanan) dan KNF (kiri)18
2.6.3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan pencitraan dengan CT scan dan MRI berguna untuk menilai
perluasan tumor dan keterlibatan kelenjar regional. MRI lebih sensitif dalam menilai
keterlibatan jaringan lunak dan penyebaran perineural sehingga menjadi pilihan dalam
mengevaluasi penyebaran lokoregional. Pemeriksaan CT scan meskipun dapat
membedakan erosi tulang kortikal, MRI dapat melihat perubahan pada struktur
sumsung tulang yang mengindikasikan adanya keterlibatan tulang. Pemeriksaan
pencitraan tidak dapat membedakan antara KNF dan keganasan lainnya, sehingga
fungsinya adalah untuk pemetaan tumor dalam menilai perluasan lokal dan metastasis
servikal. Keterlibatan kelenjar regional juga dinilai menggunakan CT atau MRI
mengingat sebagian besar pasien KNF datang sudah dengan pembesaran kelenjar
leher. Oleh karena itu, evaluasi kelenjar merupakan hal yang esensial dan
mempengaruhi rencana pengobatan. MRI memberikan resolusi yang lebih baik
daripada CT dalam hal penilaian ruang parapharyngeal, infiltrasi sumsum dari dasar
tengkorak, penyakit intrakranial, dan kelenjar getah bening dalam.17,18
Penggunaan fluorodeoxyglucose (FDG)-positron emission tomography
(PET)/CT menjadi populer saat ini dalam menilai abnormalitas yang tidak jelas pada
CT atau MRI. PET/CT memadukan teknologi PET (Positron Emission Tomography)
dengan CT untuk menghasilkan gambar dalam 2 dan 3 dimensi. Suatu jenis analog
glukosa yaitu fluorodeoxyglucose (FDG) disuntikkan ke dalam tubuh pasien melalui
intravena karena sel kanker mempunyai metabolisme glukosa yang tinggi sehingga
menangkap FDG sangat banyak dibanding sel normal. FDG menggunakan F-18
(fluoro-18) yang termasuk jenis positron (dual photon) yang memancarkan sinar
gamma kedua arah yang berlawanan, dan kedua arah sinar gamma tersebut ditangkap
oleh detektor gamma dalam kamera PET.19
PET/CT telah menjadi salah satu pilihan dalam menentukan stadium KNF,
terutama pada kondisi N2-N3 dan pada keadaan KNF stadium IIIIV untuk mencari
kemungkinan metastasis. 23 Penggunaan PET/CT mempunyai tingkat akurasi 95.3%,
spesifisitas 100% dan sensitifitas 85.7% dibandingkan dengan CT scan dan MRI
dengan tingkat akurasi 65.5%, spesifisitas 79.4% dan sensitifitas 64.7%, dan PET/CT
lebih unggul daripada pemeriksaan pencitraan konvensional dalam hal penentuan
stadium N dan M, serta dalam monitoring efektifitas hasil dari penatalaksanaan.
Setiap pasien hendaknya melakukan pemeriksaan rontgen thorax, darah lengkap,
urinalisa, profil biokimia termasuk fungsi hepar dan ginjal. Pasien yang akan
ditatalaksana dengan radioterapi membutuhkan evaluasi kondisi gigi karena efek
samping radiasi mengakibatkan xerostomia serta disfungsi kelenjar liur. Karies akibat
radiasi serta perubahan jaringan padat pada gigi dapat muncul dalam waktu 3 bulan
setelah radiasi. Apabila pasien membutuhkan ekstraksi gigi, maka harus sudah
dilakukan 2 minggu sebelum dimulainya radiasi. Bone scan dan CT scan paru atau
hepar dilakukan hanya bila dicurigai metastasis dari keluhan dan hasil pemeriksaan
standar.18,20

2.6.4. Biopsi dan Histopatologi


Diagnosis KNF ditegakkan dengan cara biopsi pada tumor primer.
Spesimen dalam kondisi segar sangat penting untuk langsung dikirim untuk
pemeriksaan histopatologi. Apabila spesimen yang diambil adalah mukosa normal,
pasienbiasanya akan merasa nyeri saat prosedur dilakukan. Perdarahan saat biopsi
dapat terjadi namun jarang terjadi secara masif. Biopsi ulang dapat dilakukan pada
kondisi yang dijelaskan pada gambar dibawah. Hasil biopsi negatif yang diperoleh
pada pasien curiga KNF atau tanpa bentuk tumor yang jelas merupakan indikasi untuk
dilakukan biopsi ulang dalam anestesi umum dengan mengambil beberapa spesimen
dari fossa Rossenmuller bilateral dan dari dinding superior/ posterior nasofaring.`18
Jenis karsinoma tidak berdiferensiasi (WHO 3) jarang didapatkan pada daerah
non-endemis, namun sebaliknya pada daerah endemis tipe ini adalah yang paling
sering. Tipe karsinoma tidak berkeratin (WHO 2) secara klinis tidak terlalu berbeda
dengan WHO 3, sementara itu tipe karsinoma berkeratin (WHO 1) adalah tipe yang
paling jarang ditemui pada daerah endemis dan dominan pada daerah non-endemis.
Jenis ini dapat dibedakan menjadi berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Sifat yang
relatif radioresisten menjadikan prognosis tipe ini paling buruk. Jenis karsinoma tidak
berdiferensiasi (WHO 3) jarang didapatkan pada daerah non-endemis, namun
sebaliknya pada daerah endemis tipe ini adalah yang paling sering. Tipe karsinoma
tidak berkeratin (WHO 2) secara klinis tidak terlalu berbeda dengan WHO 3,
sementara itu tipe karsinoma berkeratin (WHO 1) adalah tipe yang paling jarang
ditemui pada daerah endemis dan dominan pada daerah non-endemis. Jenis ini dapat
dibedakan menjadi berdiferensiasi baik, sedang, dan buruk. Sifat yang relatif
radioresisten menjadikan prognosis tipe ini paling buruk.18
Perbedaan secara histologi tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah.
Karsinoma berkeratin ditandai dengan sel keratin yang nyata dan adanya formasi
mutiara skuamosa dan jembatan interselular. Karsinoma tidak berdiferensiasi ditandai
dengan gambaran mikroskopik sel-sel tumor dengan inti vesikulerspindle-oval atau
hiperkromatik yang menonjol. Histologi karsinoma tidak berkeratin hampir serupa
dengan karsinoma tidak berdiferensiasi namun dengan susunan bertingkat sel
tumordengan batasan sel yang jelas.18

Gambar 2.4 Gambaran histologi KNF berkeratin (A), tidak berkeratin (B),
tidak berdiferensiasi (C)
2.6.5. Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi IgA anti EA(early antigen) dan IgA anti VCA untuk
infeksi virus Epstein Barr menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring, walaupun pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan. Antibodi IgA terhadap
antigen kapsid virus (VCA) EBV merupakan tes yang sangat sensitif untuk KNF
meskipun memiliki spesifisitas yang lebih rendah dan sekitar 75-100% pasien KNF
akan mengalami peningkatan kadar IgA VCA. Antibodi IgA terhadap EA memiliki
spesifisitas tinggi (100%) dan peningkatannya hampir selalu mengindikasikan adanya
KNF meskipun memiliki sensitivitas hanya 47%. Pemeriksaan yang banyak dilakukan
adalah titer antibodi IgA terhadap antigen IgA kapsid EBV karena memiliki
sensitivitas 81-93% dan spesifisitas 80-96%. Pasien dengan kondisi klinis terlihat
normal namun dengan peningkatan antibodi IgA terhadap VCA membutuhkan
evaluasi lebih lanjut kondisi nasofaringnya untuk mencegah misdiagnosis.18
2.6.5. Stadium
Klasifikasi berdasarkan TNM (AJCC, 8 th ed, 2017), dapat ditentukan dengan
menilai karakteristik massa tumor, kelenjar getah bening yang terlibat, dan metastasis
ke organ lain.22
Tabel 1. Klasifikasi TNM 5

2.7. Tatalaksana Karsinoma Nasofaring


Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Intervensi bedah terbatas
pada lesi primer yang sangat kecil atau kekambuhan kecil, karena morbiditas reseksi
bedah skala besar seringkali lebih signifikan daripada morbiditas yang terkait dengan
radioterapi di wilayah tersebut.

2.7.1. Radioterapi
Kanker nasofaring sebagian besar merupakan jenis yang radiosensitif sehingga
radioterapi mempunyai peran yang sangat besar dalam terapi KNF semua stadium
tanpa metastasis jauh. Pasien dengan metastasis jauh dapat diterapi dengan radioterapi
dengan tujuan untuk kontrol lokal dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penelitian Xiao di Cina terhadap pasien kanker nasofaring stadium I-II, yang
mendapat terapi radiasi saja tahun 1999-2001 dengan median dosis 70 Gy, didapatkan
hasil overall survival 5 tahun mencapai 85%. Sementara untuk kontrol metastasis jauh
untuk masing-masing stadium T1N0, T2N0, T1N1, T2N1 adalah 94.9%, 97.5%,
95.6%, dan 81.2%. 21
Penatalaksanaan radioterapi yang diberikan berupa radiasi eksterna dengan
teknik konvensional 2 dimensi (2D), teknik konformal 3 Dimensi (3DCRT) maupun
teknik Intensity Modulated Radiotherapy (IMRT). IMRT adalah bentuk tertinggi dari
teknik konformal radioterapi yang memberikan dosis tinggi pada target tumor
sementara memberikan konformitas dosis yang rendah pada jaringan sehat
disekitarnya dengan menggunakan arah sinar multiple yang dapat memberikan
konformitas radiasi sesuai bentuk dari target.18
Pemilihan teknik radioterapi tersebut berdasarkan indikasi klinis dan modalitas
yang dimiliki oleh masing-masing institusi kesehatan. Semakin tinggi teknik yang
digunakan maka efek samping radiasi yang ditimbulkan akan lebih rendah. Efek
samping xerostomia lebih rendah pada teknik IMRT dibandingkan teknik
konvensional 2D yaitu 39.3% vs 82.1%. Radiasi dapat diberikan berupa radiasi
eksterna, radiasi intrakaviter, dan booster sebagai tambahan. Radiasi eksterna yang
mencakup gross tumor (nasofaring) beserta kelenjar getah bening leher, dengan dosis
66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai penyinaran kelenjar supraklavikula
dengan dosis 50 Gy. Selain itu, radiasi intrakaviter dapat diberikan sebagai radiasi
booster pada tumor primer tanpa keterlibatan kelenjar getah bening, diberikan dengan
dosis (4x3 Gy), sehari 2 x. Selanjutnya, bila diperlukan booster pada kelenjar getah
bening diberikan penyinaran dengan elektron. Radioterapi paliatif diberikan pada
kanker nasofaring yang sudah bermetastases jauh, misalnya ke tulang, dan
menimbulkan rasa nyeri. Tujuan paliatif diberikan untuk meredakan gejala sehingga
meningkatkan kualitas hidup pasien. Radioterapi pada tata laksana metastases tulang
merupakan salah satu modalitas terapi selain imobilisasi dengan korset atau tindakan
bedah, bisfosfonat, terapi hormonal, terapi target donosumumab, terapi radionuklir
dan kemoterapi.18,22

2.7.2. Kemoterapi
Penatalaksanaan KNF lokoregional lanjut adalah menggunakan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan sebelum, selama, atau setelah
radiasi atau dikenal dengan istilah neoadjuvan, konkurren, dan adjuvan
kemoterapi.Pemilihan kemoterapi bersifat individual sesuai dengan karakteristik
pasien. Kemoterapi standar untuk kemoradiasi pada kondisi lokal lanjut adalah
konkuren cisplatin dengan radioterapi. Sementara itu untuk kemoradiasi yang diikuti
adjuvan kemoterapi dapat digunakan Cisplatin+radioterapi diikuti cisplatin/ 5-FU atau
carboplatin/ 5 FU.18
Berdasarkan NCCN tahun 2015, KNF stadium dini (T1N0M0) memiliki terapi
definitif radioterapi dengan dosis 66 – 70 Gy selama 6 – 7 sebagai pilihan utama
dalam pengobatan. Stadium lokal lanjut (T1, N1-3; T2-T4,N0-3) dapat dilakukan
kemoradiasi konkuren dengan dosis radiasi 70 Gy selama 7 minggu diikuti adjuvan
kemoterapi, kemoradiasi konkuren tanpa diikuti adjuvan kemoradiasi, atau
kemoterapi induksi diikuti kemoradiasi. KNF stadium lanjut dengan metastasis
diterapi dengan kemoterapi kombinasi berbasis platinum atau pilihan kemoradiasi
konkuren.18
2.7.3. Operasi
Tindakan pembedahan dibandingkan dengan re-iradiasi telah
direkomendasikan sebagai terapi pilihan untuk residu kelenjar servikal atau KNF
rekuren pasca radioterapi atau kemoradiasi. Teknik diseksi leher yang menjadi pilihan
untuk tatalaksana telah diteliti pada berbagai studi. Studi prospektif dari 69 pasien
yang membutuhkan diseksi leher pasca kemoradiasi, Chen et al tidak mendapatkan
perbedaan yang signifikan antara kelompok yang dilakukan diseksi leher radikal
(RND) maupun diseksi leher selektif (SND) dalam hal overall survival, disease-free
survival, dan regional-free survival. Namun, angka komplikasi didapatkan lebih
rendah pada kelompok SND dengan lama perawatan yang lebih panjang pada
kelompok RND.
Tindakan nasofaringektomi adalah tindakan yang memiliki tantangan
tersendiri karena membutuhkan keahlian khusus operator dan hanya pada kasus
tertentu dengan tumor residu atau rekuren yang terbatas di nasofaring. Pendekatan
yang dapat dilakukan di antaranya infratemporal, transcervico-mandibulo-palatal,
transpalatal, transmaksila dan/ atau transcervical, maxillary swing, translokasi fasial.
Pilihan pendekatan ini dilakukan sesuai dengan lokasi tumor, ukuran, dan
perluasannya.
2.7.4. Terapi Simptomatik
Pasien kanker nasofaring dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa
mukositis oral, diare, konstipasi, atau mual muntah akibat tindakan pembedahan serta
kemo dan /atau radio-terapi. Tata laksana khusus pada kondisi tersebut, diberikan
sesuai dengan kondisi pasien.22
Sindrom kaheksia membutuhkan tata laksana multidimensi yang melibatkan
pemberian nutrisi optimal, farmakologi, dan aktivitas fisik. Pemberian nutrisi optimal
pada pasien kaheksia perlu dilakukan secara individual sesuai dengan kondisi
pasien.22
Gambar 2.5. Algoritma Tatalaksana Karsinoma Nasofaring
2.8. Komplikasi
Obstruksi tuba Eustachius yang menyebabkan otitis media dengan efusi adalah
komplikasi yang paling umum, tetapi obstruksi hidung persisten dan obstruksi jalan
napas teorofaringeal juga mungkin terjadi. Perluasan intrakranial dan keterlibatan
saraf kranial melemahkan dan dapat menyebabkan kecacatan seumur hidup bahkan
setelah penatalaksanaan, karena kembalinya fungsi saraf kranial tidak selalu mungkin
bahkan setelah keganasan telah diobati. Lebih dari satu defisit saraf kranial adalah
tanda prognostik yang buruk.23
Toksisitas lanjut dari radioterapi termasuk xerostomia, hipotiroidisme, fibrosis
leher dengan hilangnya rentang gerak, trismus, kelainan gigi, dan hipoplasia struktur
otot dan tulang yang diradiasi. Karena radioterapi dosis tinggi yang digunakan pada
penyakit ini, toksisitas akhir ini dapat menjadi signifikan, terutama pada anak yang
lebih muda. Endokrinopati dan retardasi pertumbuhan dapat terjadi sekunder akibat
radioterapi pada kelenjar hipofisis. Panhipopituitarisme dapat terjadi dalam beberapa
kasus. Gangguan pendengaran sensorineural dapat terjadi dengan penggunaan
cisplatin dan radioterapi. Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima
cisplatin.24
2.9. Prognosis
Prognosis kanker tergantung dari agresivitas tumor secara biologis,
karakteristik pejamu, serta intervensi terapi yang dilakukan. Penyebaran invasi lokal,
kelenjar limfatik regional yang terlibat, serta metastasis yang direfleksikan dalam
stadium TNM menjadi faktor prognosis paling penting dari KNF. Secara umum,
klasifikasi T yang lanjut berhubungan dengan kontrol lokal dan angka kesintasan
yang lebih buruk; klasifikasi N yang lanjut meningkatkan risiko metastasis jauh dan
kesintasan suboptimal; dan pasien dengan metastasis jauh biasanya tidak dapat
disembuhkan dan memiliki angka harapan hidup yang rendah.25
Penentuan stadium KNF sendiri dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pencitraan. Secara umum klasifikasi T terutama memiliki pengaruh pada kontrol
lokal, sementara klasifikasi N secara signifikan memprediksi kontrol regional dan
metastasis jauh. Oleh karena itu klasifikasi T dan N dapat mempengaruhi tingkat
kontrol lokal, regional, dan metastasis jauh. Semakin besar kategori T dan N maka
semakin rendah tingkat kontrol lokal dan regional.18
Volume atau ukuran tumor telah dikenal sebagai salah satu faktor prognosis
utama dalam penatalaksanaan kasus keganasan. Tujuan utama penentuan stadium
pada keganasan adalah untuk memisahkan pasien menjadi kelompok-kelompok
dengan prognosis yang berbeda serta untuk menjadi acuan dalam penatalaksanaan
yang sesuai. Tumor dengan ukuran yang besar dijadikan salah satu penilaian dalam
stadium keganasan dengan melakukan pengukuran tumor secara kasar serta
perluasannya. Untuk kasus dengan jenis tumor yang dapat direseksi, ukuran tumor
menjadi kurang penting dalam kontrol lokal. Hal sebaliknya terjadi pada kasus yang
dilakukan radiasi atau kemoterapi dimana ukuran tumor yang besar memiliki dampak
yang bermakna terhadap kontrol lokal karena peningkatan risiko jumlah klonogen
serta tumor berukuran besar cenderung mengandung area hipoksik sehingga menjadi
resisten terhadap terapi radiasi.18
Data mengenai perbedaan yang signifikan dari prognosis KNF berdasarkan
tipe histopatologi sulit untuk diperoleh. Secara umum penelitian pada daerah tidak
endemis menunjukkan bahwa pasien dengan jenis histopatologi karsinoma berkeratin
(WHO tipe I) memiliki prognosis yang lebih buruk daripada karsinoma tidak
berkeratin atau tidak berdiferensiasi (WHO tipe II dan III). Daerah endemis paling
banyak ditemui WHO tipe II dan III, Penelitian yang banyak dilakukan adalah pada
daerah endemis dimana tipe histopatologi yang dominan adalah karsinoma tidak
berkeratin atau tidak berdiferensiasi, sehingga sulit untuk melakukan validasi pada
daerah tidak endemis mengenai keterkaitan tipe histopatologi dan prognosis.18
Laktat dehidrogenase (LDH) merupakan kunci utama dari proses glikolisis,
memiliki lima komponen isoenzim (M dan H), semakin tinggi jumlah H yang
dikandung isoenzim LDH, semakin rendah kemampuan mengkatalisis reaksi
glikolisis anaerob. Berbagai penyakit dapat menyebabkan peningkatan kadar
isoenzim, namun isoenzim yang berhubungan dengan kanker adalah LDH-5. Berbagai
penelitian menunjukkan peningkatan kadar LDH serum memprediksi prognosis yang
buruk dan risiko metastasis yang lebih besar pada kasus keganasan. Kadar Laktat
dehidrogenase (LDH) serum dilaporkan sebagai indikator prognosis pada limfoma
maligna dan jenis karsinoma lain yang berasal dari epitel. Peningkatan kadar LDH
biasanya mengindikasikan ukuran tumor yang besar atau berkaitandengan kejadian
metastasis jauh sehingga memberikan prognosis yang buruk.26
Hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan dengan fokus pada
dampak usia terhadap prognosis KNF, namun beberapa penelitian melaporkan bahwa
faktor usia secara signifikan mempengaruhi prognosis KNF dengan hasil yang lebih
baik pada pasien berusia muda. Pasien dengan usia lebih muda selalu memiliki status
kinerja yang lebih baik serta komorbiditas yang lebih sedikit, sehingga memberikan
dampak toleransi yang lebih baik terhadap radioterapi dan kemoterapi serta memiliki
angka kesintasan yang lebih tinggi.27
2.10. Pencegahan
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mencegah karsinoma
nasofaring: 

 Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein-barr


yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan resiko
tinggi. 
 Edukasi akan kebiasaan hidup yang salah, mengenai kebiasaan hidup yang salah,
mengubah cara memasak makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-
bahan berbahaya. 
 Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat
 Melakukan tes serologis IgA anti VCA dan anti IgA anti VCA dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara dini.26
BAB III
PENUTUP

Karsinoma Nasofaring merupakan jenis kanker dengan karakteristik yang


unik dengan kekerapan yang cukup tinggi di wilayah Asia Tenggara. Sifat
radiosensitif menjadikan radioterapi sebagai pilihan utama dalam pengobatan. KNF
berbeda dengan jenis kanker kepala dan leher lainnya dimana tatalaksana bedah
memiliki keterbatasan mengingat lokasi dari tumor ini sendiri berada pada ruang
lingkup anatomi yang sulit dijangkau.
Gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi empat yaitu gejala
mata serta saraf, gejala telinga, metastasis atau gejala di leher dan yang terakhir
adalah gejala nasofaring itu sendiri. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari
biopsi nasofaring. Stadium klinis pada karsinoma nasofaring sangat penting untuk
terapi dan evaluasi hasil terapi. Sistem klasifikasi stadium menggunakan ssistem
American Joint Committee on Cancer Staging (AJCC), yang menggunakan penilaian
TNM (ukuran tumor, KGB yang terlibat, metastasis): tumor primer (T), kelenjar
regional (N), metastasis (M)
Terapi kanker nasofaring dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi
keduanya, dan didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala. Koordinasi
antara bagian THT, Radioterapi, dan Onkologi Medik merupakan hal penting yang
harus dikerjakan sejak awal. Sementara, gejala dari komplikasi kanker nasofaring
dapat terlihat berdasarkan arah metastasisnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pratiwi A, Imanto M. Karsinoma Nasofaring dengan Multiple Cranial Nerve Palsy pada
Pasien Wanita Usia 52 Tahun. Medula. 2020; 9(4): 609-15.
2. Diniati A, FW Wiwit, Harianto. Distribusi Keganasan Nasofaring berdasarkan
Pemeriksaan Histopatologi pada Rumah Sakit di Kota Pekanbaru Tahun 2009-2013. JOM
FK. 2016; 3(1): 1-18.
3. Hamid GA. Epidemiology and Outcomes of Nasopharyngeal Carcinoma. Pharynx-
Diagnosis and Treatment. Edisi 1. Intechopen; 2020.
4. World Health Organization: International Agency for Research on Cancer. Nasopharynx.
2020.
5. Salehiniya H, Mohammadian M, Mohammadian-Hafshejani A, Mahdavifar N.
Nasopharyngeal Cancer in the World: Epidemiology, Incidence, Mortality and Risk
Factors. World Cancer Research Journal. 2018; 5(1): 1-8.
6. Shah AB, Zulfiqar H, Nagalli S. Nasopharyngeal Carcinoma. NCBI. 2021.
7. Kadriyan H. Analisis Ekspresi Eksosom RNA dan Hubungannya dengan Ekspresi P53
pada Penderita Kanker Nasofaring [disertasi]. Makassar:Universitas Hasanuddin;2021.
8. Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring In Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RS, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala &
Leher. Jakarta : Badan Penerbit FKUI ; 2017.p156-61.
9. Drake RL, Vogl W, Mitchell AWM. Head and Neck. Gray’s Basic Anatomy.
Philadelphia : Elsevier ; 2012.p544-545
10. Mankowski NL, Bordoni B. Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx. NCBI. 2021.
11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Kanker Nasofaring. 2017.
12. Nicholas L. Mankowski; Bruno Bordoni, Anatomy, Head and Neck, Nasopharynx,
StatPearls, August 8, 2022.
13. Kadkhoda ZT. 2007. Nasopharyngeal Carcinoma : past, present, and Future directions.
Sweden: Department of Oncology, Institute of Clinical Sciences, Göteborg University
14. Nakanishi Y, et all. Progression of understanding for the role of Epstein-Barr virus and
management of nasopharyngeal carcinoma. Division of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery, Graduate School of Medicine, Kanazawa University. Cancer Metastasis Rev
(2017) 36:435–447)
15. Djaafar ZA. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
leher.Edisi 6. Jakarta : FKUI.)
16. Lalwani AK. 2007. Anatomi and Physiology of the Ear In Current Diagnosis &
Treatment Otolarinology Head and Neck Surgery. 2nd Ed. New York: Thieme: 310-489.
17. Melvin CLK, Joseph WTS, Edwin HP, Anthony CTC. Nasopharyngeal carcinoma. The
Lancet. 2015)
18. Faisal HH. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring dan faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Prognosis. Universitas Indonesia. 2016.)
19. Moon SH, Choi JY, Lee HJ, et al. Prognostic Value of Volume-Based Positron Emission
Tomography / Computed Tomography in Patients With Nasopharyngeal Carcinoma
Treated With Concurrent Chemoradiotherapy. Clin Exp Otorhinolaryngol. 2015;8(2):142-
148
20. National Comprehensive Cancer Nerwork. NCCN Clinical Practice Guidelines in
Oncology. Head and Neck Cancer. 2015.
21. Yoshizaki T, Ito M, Murono S, Wakisaka N, Endo K. Current understanding and
management of nasopharyngeal carcinoma. Auris Nasus Larynx. 2012;39(2):137-144.
22. (Ho AC, Chan JY, Ng RW, Ho WK, Wei WI. The role of myringotomy and ventilation
tube insertion in maxillary swing approach nasopharyngectomy: review of our 10-year
experience. Laryngoscope. 2013 ;123(2):376-80.)
23. Paulino AC. Nasophryngeal Cancer. Medscape. 2021.)
24. Jin-Ching Lin. Prognostic Factors in Nasopharyngeal Cancer. In: Lu JJ, Cooper JS, Lee
AWM, eds. Nasopharyngeal Cancer Multidisciplinary Management. Vol 1st ed.
Germany: Springer; 2010:95- 136.
25. Li G, Gao J, Tao Y-L, et al. Increased pretreatment levels of serum LDH and ALP as
poor prognostic factors for nasopharyngeal carcinoma. Chin J Cancer. 2012;31(4):197-
206.
26. Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi Dini dan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Cermin Dunia
Kedokteran. 2017 Jul 1;44(7):478-81.

Anda mungkin juga menyukai