Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN CA.

NASOFARING
DI RUANG THT RS ULIN

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Medikal Bedah


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:
Made Adhitya Affanda, S.Kep
11194692010106

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN
JUDUL KASUS : CA. NASOFARING
NAMA MAHASISWA : Made Adhitya Affanda, S. Kep
NIM : 11194692010106

Banjarmasin, Desember 2021

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik Preseptor Akademik

Riannoor, S. Kep., Ns Rifa'atul Mahmudah, S. Kep., Ns.,


MSN
NIK. 197612212008011008
NIK. 1166062013061
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : CA. NASOFARING


NAMA MAHASISWA : Made Adhitya Affanda, S. Kep
NIM : 11194692010106

Banjarmasin, Desember 2021

Menyetujui,

RSUD Ulin Banjarmasin Program Studi Profesi Ners


Preseptor Klinik Preseptor Akademik

Riannoor, S. Kep., Ns Rifa'atul Mahmudah, S. Kep., Ns., MSN


NIK. 1166062013061
NIK. 197612212008011008

LAPORAN PENDAHULUAN
A. ANATOMI FISIOLOGI

Nasofaring adalah bagian atas tenggorokan (faring) yang terletak di


belakangan hidung. Nasofaring berbentuk seperti sebuah kotak berongga.
Terletak di bagian lunak atap mulut (soft palate) dan terletak di belakang
hidung.

1 Keterangan:
2
1. Nasal Cavity
3 2. Nasofaring
3. Orofaring
4. Laringofaring
4

Gambar 2.1 Anatomi rongga


hidung (Mayo, 2018)

Nasofaring berfungsi untuk melewatkan udara dari hidung menuju ke


tenggorokan yang akhirnya ke paru-paru. Bagian atas nasofaring dibentuk
oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os oksipital. Sebelah anterior oleh
koana dan pallatum mole, dan sebelah posterior dibentuk oleh vertebra
vertikalis, sebelah inferiornasofaring dilanjutkan oleh orofaring. Orificium tuba
eustachius terletak pada dinding lateral dari nasofaring, dibelakang ujung
konka inferior. Pada bagian atas dan belakang dari orifisium tuba eustachius
terdapat penonjolan yang dibentuk oleh kartilago eustachius. Dibawah dari
ujung posterior penonjolan tersebut terdapat suatu lipatan yang kuat yaitu
membran salpingofaringeal. Lipatan membran mukosa yang tidak terlalu
menonjol yaitu membran salpingopalatina, meluas ke bagian bawah di depan
orifisium eustachius. Kantung disudut faring diantara tepi posterior kartilago
eustachius dan dinding posterior dikenal sebagai fosa rosenmuller. Jaringan
adenoid juga sering kali ditemukan disekitar orifisium tuba. Atap serta dinding
posterior nasofaring merupakan tempat kedudukan jaringan limfoid.
Nasofaring sendiri diliputi oleh epitel torak bersilia berlapis semu (ACS, 2013).

B. PENGERTIAN

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh


didaerah nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring.
LetaknyA kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital
sehingga diagnosa dini sulit untuk ditegakkan (Roezin, C. H.& Iskan, A. 2019).
Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang
hidung dan belakang langit-langit rongga mulut. Penyebab kanker nasofaring
belum diketahui dengan pasti. Kanker nasofaring juga dikaitkan dengan
adanya virus epstein barr (EBV) (Kemenkes, 2016).

C. STADIUM

Menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, stadium


Karsinoma Nasofaring adalah :

Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terdapat tumor primer Tis
TX
(Karsinoma in situ)
Tumor terbatas pada nasofaring, atau tumor meluas ke orofaring dan
T1
atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaringeal
T2 Tumor dengan perluasan ke parafaringeal
Tumor melibatkan struktur tulang dari basis kranii dan atau sinus
T3
paranasal
Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf
T4 kranial, hipofaring, orbita, atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal / masticator space

D. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya karsinoma nasoaring (KNF) antara lain :
1. Virus Epstein Barr (VEB)
Pada sebagian kasus kanker nasofaring mengaitkan terjadinya
kanker nasofaring dengan keberadaan virus Ebstein Barr. Virus ini
merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus
Herpes. Virus Ebstein barr masuk kedalam tubuh tanpa menimbulkan
kelainan dalam jangka waktu yang lama. Vius ini bisa menjadi aktif
apabila mendapatkan suatu mediator. Jadi virus ini tanpa faktor pemicu
yang lain tidak akan menyebabkan penyakit yang ganas (Primadina dan
Imanto, 2017 ).
2. Makanan yang diawetkan
Bahan kimia yang dikeluarkan dari dalam uap saat melakukan
pengawetan makanan, seperti ikan, sayuran dapat masuk kedalam
rongga mulut dan meningkatkan risiko kanker nasofaring, serta paparan
paparan pada usia dini dapat meningkatkan risiko (Primadina dan Imanto,
2017).
3. Genetik
Perubahan genetik yang terjadi menyebabkan proliferasi selsel
kanker menjadi tidak terkendali. Beberapa perubahan genetik ini
sebagian besar akibat mutasi, putusnya kromosom, dan kehilangan sel-
sel somatik. Selain genetik HLA (Human Leucocyte Antigen) juga
berperan penting dalam kejadian kanker nasofaring. Teori tersebut
didukung dengan adanya studi epidemiologik mengenai angka kejadian
dari kanker nasofaring. Kanker nasofaring banyak ditemukan pada
masyarakat keturunan Tionghoa (Primadina dan Imanto,2017 ).
4. Perokok
Orang yang pernah merokok berada pada peningkatan risiko kanker
nasofaring. Risikonya lebih tinggi pada perokok jangka panjang. Rokok
mempunyai kandungan karsinogenik lebih dari 4000, termasuk nitrosamin
yang meningkatkan risiko terkena kanker nasofaring. Sekitar 60% kanker
nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko
karsinoma nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok
(Primadina dan Imanto,2017).

5. Ikan asin
Ikan yang diasinkan atau makanan lain yang diawetkan sebenarnya
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-
nitrospyrrolidene (NPYR), dan N-nitrospiperidine (NPIP) yang menjadi
faktor karsinogen KNF. Mengkonsumsi ikan asin pada usia dini berisiko
tinggi terserang kanker nasofaring, teori ini diperkuat dengan insiden
kanker nasofaring pada nelayan tradisional di Hongkong karena terlalu
banyak mengkonsumsi ikan kanton yang diasinkan (Wijaya dan
Soeseno,2017).

E. PATOFISIOLOGI
Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor
yang berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring.
Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang
kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang
paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada
fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya
kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya.
Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa (Averdi Roezin, 2001):
1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa
medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen
laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii
anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N. VI). Kumpulan
gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat
metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering
terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II - N.VI).
2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial
menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk
di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dan sebagainya), di mana
di dalamnya terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran retroparotidian.
Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII dan N. XII
beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan
pada N. IX dan N. XII disebut Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular
Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor
karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab
utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada
karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah
terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan
submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening
diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus
Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher
bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi
lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang
lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.
4. Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening
atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring.
Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir
dan prognosis sangat buruk.

F. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda kanker nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok yaitu :

1. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung


dan pilek (Soepardi et al, 2012). Gejala sumbatan hidung yang didahului
oleh epitaksis yang berulang. Pada keadaan lanjut tumor masuk ke dalam
rongga hidung dan sinus paranasal (Soepardi et al, 1993).

2. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat
asal tumor. Gangguan dapat berupa tinitus, rasa penuh di telinga,
berdengung sampai rasa nyeri di telinga (Soepardi et al, 2012).

3. Gangguan penglihatan sehingga penglihatan menjadi diplopia (penglihatan


ganda) (Soepardi et al, 2012). Gejala dimata terjadi karena tumor
berinfiltrasi ke rongga tengkorak, dan yang pertama terkena ialah saraf
otak ke 3, 4 dan 6, yaitu yang mempersarafi otot-otot mata, sehingga
menimbulkan gejala diplopia. Gejala yang lebih lanjut ialah gejala
neurologik, karena infiltrasi tumor ke intrakranial melalui foramen laserum,
dapat mengenai saraf otak ke 3, sehingga mengenai saraf otak ke 9, 10, 11
dan 12, dan bila keadaan ini terjadi prognosisnya buruk (Soepardi et al,
1993).

4. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher. (Soepardi et


al, 2012).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan,
dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran
besar maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan
tumor yang sudah diangkat.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah
yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya
jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau
kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi
kembali atau diberikan kemoterapi atau radioterapi.
2. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa
pipa fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya
sehingga dapat membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat
terjangkau dan terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi.
Pemeriksaan endoskopi dapat merupakan pemeriksaan penunjang
sekaligus dapat berfungsi sebagai media biopsi dan juga terapi bedah pada
tumor sinonasal yang jinak.
3. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan
gambaran seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray
sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.
4. CT - Scan
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur
tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar
karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus,
kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah
pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan
dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan
dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai
tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.
5. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk
membedakan daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan
sekret di dalam nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi.
Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum,
vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna untuk
menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal dari
Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa
pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.
6. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan
dalam tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat
ini diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih
banyak energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara
aktif, sehingga menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian
mendeteksi zat ini untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering
digunakan untuk keganasan kepala dan leher untuk staging dan
surveillance.

H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Gejala hidung : Epistaksis : rapuhnya mukosa hidung sehingga mudah
terjadi pendarahan dan obstruksi hidung atau koana nasal dextra :
Sumbatan menetap karena pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring
dan menutupi koana, gejala : secret kelenjar pada nasal, gangguan
penciuman.

2. Gejala telinga kataralis/ oklusi tuba Eustachii : tumor mula – mula difosa
Rosenmuler, pertumbuhan tumor dapat menyebabkan penyumbatan muara
tuba (berdengung, rasa penuh, kadang gangguan perdarahan) dan otitis
Media Serosa sampai perforasi dan gangguan pendengaran

3. Gejala lanjut dapat menyebabkan kematian Limfadenopati servikal : melalui


pembuluh limfe, sel – sel kanker dapat mencapai kelenjar limfe dan
bertahan disanan. Dalam kelenjar ini sel tumbuh dan berkembang biak
hingga kelenjar membesar dan tampak benjolan dileher bagian samping,
lama kelamaan karena tidak dirasakan kelenjar akan berkembang dan
membesar dan melekat pada otot sehingga sulit digerakkan

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Medis:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif
dengan reseksi bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya
berdasarkan staging dari masing-masing tumor. Secara umum, terapi
bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini (T1-T2). Terkadang,
pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat dilakukan
karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif
sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada
beberapa kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk
mengurangi nyeri yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi
saraf optik dan rongga orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis
yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi dan pendekatan bedah yang
akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.
2. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium
lanjut. Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel
kanker beredar dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi
sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk
suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut kemoterapi dan
diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan
kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi
tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi
dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif.
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal.
Pemberian kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien
dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA
margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran perineural,
ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.
Penatalaksanaan keperawatan:
1. Mengkaji skala nyeri secara komprehensif
2. Meminimalkan aktivitas klien
3. Mengobservasi tanda-tanda vital klien
4. Mengajarkan klien teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri
5. Berkolaborasi dalam pemberian analgetic
6. Melakukan penghisapan lendir, jika diperlukan

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Identitas Klien
Berisi tentang identitas lengkap klien
b. Keluhan Utama
Berisi tentang keluhan utama yang klien rasakan sekarang
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Berisi tentang riwayat kesehatan sebelum klien masuk RS
d. Riwayat Kesehatan Sekarang
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan nasofaring. Kurang
lebih 9-12 % keganasan di hidung dan nasofarin, stadium awal bersifat
asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang
dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk
mencari kemungkinan faktor resiko.
Gejala-gejala khas tergantung ukuran tumor, keganasan dan stadium
penyakit, antara lain:
Gejala hidung:
1) Buntu hidung unilateral dan progresif.
2) Buntu bilateral bila terjadi pendesakan ke sisi lainnya.
3) Skret hidung bervariasi, purulen dan berbau bila ada infeksi.
4) Sekret yang tercampur darah atau adanya epistaksis menunjukkan
kemungkinan keganasan.
5) Rasa nyeri di sekitar hidung dapat diakibatkan oleh gangguan
ventilasi sinus, sedangkan rasa nyeri terus-menerus dan progresif
umumnya akibat infiltrasi tumor ganas.
Gejala lainnya dapat timbul bila sinus paranasal juga terserang
tumor seperti:
1) Pembengkakan pipi
2) Pembengkakan palatum durum
3) Geraham atas goyah, maloklusi gigi
4) Gangguan mata bila tumor mendesak rongga
orbita.
Pada tumor ganas didapati gejala sistemik:
1) Penurunan berat badan lebih dari 10 %
2) Kelelahan/malaise umum
3) Napsu makan berkurang (anoreksia)
e. Pemeriksaan fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien
apakah terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan
seksama kavum nasi dan nasofaring melalui rinoskopi anterior dan
posterior. Permukaan yang licin merupakan pertanda tumor jinak
sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol, rapuh dan mudah
berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral kavum
nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu
menemukan tumor pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar
leher juga perlu dicari meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke
kelenjar leher.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Biopsi
2) Pemeriksaan Endoskopi
3) Pemeriksaan X-ray
4) CT - Scan
5) Pemeriksaan MRI
6) Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri Kronis
b. Resiko infeksi
c. Gangguan integritas kulit

3. Intervensi keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Nyeri Kronis Setalah dilakukan tindakan Manajemen nyeri (I.08238)
(D. 0078) keperawatan dalam 1x24 Observasi
jam diharapkan Nyeri dapat - Identifikasi lokasi,
terkontrol dengan kriteria karakteristik, durasi,
hasil: frekuensi, kualitas dan
Tingkat Nyeri (L.08066) intensitas nyeri
 Keluhan nyeri, dari - Identifikasi respon non
sedang (3) ke menurun verbal
(5) - Identifikasi faktor yang
 Meringis, dari sedang memperberat dan
(3) ke menurun (5) memperingan nyeri
 Gelisah, dari sedang (3) - Monitor keberhasilan
ke menurun (5) terapi yang sudah
 Pola tidur, dari cukup dilakukan
buruk (2) ke cukup Terapeutik
membaik (4) - Berikan tehnik non
farmakologis dalam
melakukan penanganan
nyeri
- Kontrol lingkungan
yang memperberat
nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab,
priode dan pemicu nyeri
- Ajarkan strategi
meredakan nyeri
- Mengajarkan dan
menganjurkan untuk
memonitor nyeri secara
mandiri
- Mengajarkan tehnik non
farmakologis yang tepat
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam
pemberian analgetik
jika perlu
Risiko Infeksi Setelah dilakukan Tindakan Pencegahan Infeksi
(D.0142) keperawatan selama 3x24 (I.14539)
jam, diharapkan risiko Observasi
infeksi teratasi dengan - Monitor tanda dan gejala
kriteria hasil: infeksi local dan sistemik
Tingkat Infeksi (L.14137) Terapeutik
 Demam, dari sedang (3) - Batasi jumlah
ke menurun (5) pengunjung
 Kemerahan, dari - Berikan perawatan kulit
sedang (3) ke menurun pada area edema
(5) - Cuci tangan sebelum dan
 Nyeri, dari cukup sesudah kontak dengan
meningkat (2) ke pasien dan lingkungan
menurun (5) pasien
 Bengkak, dari sedang - Pertahankan teknik
(3) ke menurun (5) aseptic pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan
gejala infeksi
- Ajarkan cara mencuci
tangan yang benar
- Ajarkan etika batuk
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu
Gangguan Setelah dilakukan Tindakan Perawatan Integritas Kulit
integritas kulit keperawatan selama 1x24 (I.11353)
jam, diharapkan gangguan Observasi
(D.0129)
integritas kulit dengan - Identifikasi penyebab
kriteria hasil: gangguan integritas kulit
Integritas Kulit (L.14125) (mis. perubahan
 Elastisitas meningkat sirkulasi, perubahan
 Hidrasi meningkat status nutrisi, penurunan
 Perfusi jaringan kelembaban, suhu
meningkat lingkungan ekstrem,
 Kerusakan jaringan penurunan mobilitas)
menurun - Kerusakan Terapeutik
lapisan kulit menurun - Ubah posisis tiap 2 jam
 Nyeri menurun jika tirah baring
 Perdarahan menurun - Lakukan pemijatan pada
 Kemerahan menurun area penonjolan tulang,
 Hematoma menurun jika perlu
- Bersihkan perineal
 Pigmentasi abnormal
menurun dengan air hangat,
terutama selama periode
 Jaringan parut menurun
diare
 Nekrosis menurun
- Gunakan produk
 Abrasi kornea menurun
berbahan petrolium atau
 Suhu kulit membaik
minyak pada kulit kering
 Sensasi membaik
- Gunakan produk
 Tekstur membaik berbahan ringan/alami
 Pertumbuhan rambut dan hipoalergik pada
membaik kulit sensitif
- Hindari produk berbahan
dasar alkohol pada kulit
kering
Edukasi
- Anjurkan menggunakan
pelembab (mis. lotion,
serum) - Anjurkan minum
air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan
asupan buah dan sayur
- Anjurkan menghindari
terpapar suhu ekstrem
- Anjurkan menggunakan
tabir surya SPF minimal
30 saat berada di luar
rumah.

Daftar Pustaka
ACS. (2013). Nasofaring Cancer. American. Livingston.

Kementerian Kesehatan RI, 2015, Panduan Nasional Penanganan Kanker


Nasofaring, Komite Nasional Penanggulangan Kanker (KNPK), Jakarta.

PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Primadina, Meka Anggidian & Mukhlis Imanto. 2017. Tumor Nasofaring dengan
Diplopia pada Pasien Usia 44 Tahun. Universitas Lampung.

Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, R.D (ed). 2012. Buku Ajar
Ilmu Kesehatan, Telinga Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Edisi Ke2.
Badan Penerbit FKUI. Jakarta.

Wijaya FO, Soeseno B. Deteksi dini dan diagnosis karsinoma nasofaring.


Kalbemed. 2017; 44(7): 478-81

Anda mungkin juga menyukai