Disusun Oleh:
Made Adhitya Affanda, S.Kep
11194692010106
NIM : 11194692010106
Menyetujui,
NIM : 11194692010106
Menyetujui,
B. Definisi
Penyakit trofoblas gestasional (PTG) adalah spektrum tumor yang
berasal dari proliferasi abnormal jaringan trofoblas plasenta, mencakup
mola hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif, koriokarsinoma,
placental site trophoblastic tumor, danepithelioid trophoblastic tumour
(Wargasetia, Nataprawira, & Shahib, 2011). Penyakit Trofoblas Ganas
(PTG) meliputi mola invasif, koriokarsinoma dan placental site
trophoblastic tumor. Penyakit trofoblas ganas (PTG) adalah suatu tumor
ganas yang berasal dari sito dan sinsiotrofobals yang menginvasi
miometrium, merusak jaringan disekitarnya dan pembuluh darah sehingga
menyebabkan perdarahan (Khalkinst, Fasihah, & Kusmala, 2017).
PTG dapat didahului oleh proses fertilisasi (molahidatidosa,
kehamilan biasa abortus, dan kehamilan ektopik) bahkan dapat
merupakan produk langsung dari hasil konsepsi atau yang bukan
didahului oleh suatu kehamilan. PTG yang didahului proses pembuahan
sel telur digolongkan sebagai khoriokarsinoma dengan kehamilan
(gestational choriocarcinoma) sedangkan yang tidak didahului
pembuahan sel telur dikenal sebagai koriokarsinoma tanpa kehamilan
(non gestational choriocarcinoma) yakni yang berasal dari tumor sel
germinal pada ovarium.
C. Etiologi
Etiologi terjadinya penyakit trofoblas ganas (PTG) belum jelas
diketahui, namun bentuk keganasan tumor ini merupakan karsinoma
epitel korion meskipun pertumbuhan dan metastasisnya menyerupai
sarkoma. Selain itu, pada umumnya penyakit ini disebabkan oleh adanya
kehamilan anggur atau molahidatidosa (Islami, Suardi, Syam, & Ritonga,
2020).
D. Klasifikasi
Penyakit ini boleh dikelompokan menjadi dua bentuk berdasarkan
histologi utama yaitu mola hidatidosa (complete and partial) dan non
molar trophoblastic neoplasm. Kelompok bukan mola ini boleh dibagikan
menjadi empat bentuk berdasarkan jenis trofoblas yang terdapat dalam
tumor yaitu ; invasif mola, koriokarsinoma, Placenta Trophoblast Tumor
(PSTT) dan Epitheloid Trophoblast Tumor (ETT) (Friadi, 2019).
1. Mola Hidatidosa
a. Mola hidatidosa komplet
Mola hidatidosa komplet lebih sering daripada mola
hidatidosa parsial. Resiko untuk berkembang menjadi tumor
trofoblas dari mola sekitara 20 %. Mola hidatidosa merupakan
hasil konsepsi tanpa adanya embrio. Ditandai dengan gambaran
seperti sekelompok buah anggur. Villi khorialis yang berkembang
menjadi massa vesikel yang jernih vesikel tersebut tumbuh besar
dan mengisi seluruh cavum uteri. Vesikel tersebut terdiri dari
berbagai ukuran yang hampir tidak terlihat sampai beberapa
centimeter diameternya struktur histologis nya bersifat
1) degenerasi hidropik dan edema/pembengkakan stroma villi
2) tidak adanya pembuluh darah pada villi yang edema
3) proliferasi dari epitel tropoblas mencapai beberapa
tingkatan/derajat beragam
4) tidak adanya fetus atau amnion
b. Mola hidatidosa parsial
Kalau perubahan hidatidosa bersifat fokal dan belum begitu
jauh dan masih terdapat janin dan sedikitnya kantong amnion
keadaan ini disebut sebagai mola parsialis. Pada sebagian villi
yang biasanya avaskuler terjadi pembengkakan hidatidosa yang
berjalan lambat sementara villi yang lainnya yang vaskuler
dengan sirkulasi darah fetus plasenta yang berfungsi tidak
mengalami perubahan .
2. Non Molar Neoplasm
a. Invasif Mola
Mola invasif merupakan bentuk mola hidatidosa yang
menginvasi miometrium. Sel - sel trofoblas dengan vili korialis
akan menyusup ke dalam miometrium kemudian tidak jarang
mengadakan perforasi pada dinding uterus dan menyebabkan
perdarahan intraabdominal. Dapat pula masuk ke dalam vena
seperti vena uterina dan terus ke vena iliaka interna. Mola ini
berkembang pada ± 20% wanita yang menderita mola hidatidosa
komplet setelah dikuret. Resiko pada wanita ini meningkat bila:
1) waktu yang lama (> 4 bulan) dari periode berhenti dan
perawatan
2) uterus menjadi sangat besar
3) usia > 40 tahun
4) mempunyai riwayat GTD sebelumnya
Mola ini berkembang dalam myometrium uterus dan tidak
boleh dikeluarkan dengan komplet apabila di kuret. Mola ini
dapat komplet atau parsial, terkadang dapat menghilang sendiri
atau membutuhkan kemoterapi. Apabila disertai perdarahan
abdomen sering dilakukan histerektomi. Pada 4% kasus tumor
menyebar/metastasis melalui pembuluh darah ke organ lain,
biasanya ke paru-paru.
b. Koriokarsinoma
Penyakit ini merupakan jenis yang terganas dari penyakit
trofoblas. Sebagian besar didahului oleh mola hidatidosa (83,3%)
tetapi dapat juga didahului oleh abortus atau persalinan biasa
(7,6%). Dapat tumbuh di luar Rahim dan boleh terjadi pada laki –
laki dan perempuan. Koriokarsinoma boleh bertumbuh di
ovarium, testis, di rongga dada dan abdomen. Dalam kasus ini,
jenis kanker lain juga bercampur dengan koriokarsinoma
menghasilkan mixed germ cell tumor. Bila setelah akhir suatu
kehamilan terjadi perdarahan-perdarahan yang tidak teratur,
disertai tanda subinvolusi uterus kita harus curiga adanya
koriokarsinoma. Acosta Sison mengajukan istilah HBEs
1) H : Having expelled a product of conception (pengeluaran
hasil konsepsi)
2) B : Bleeding (perdarahan)
3) E : Enlargement and softness of the uterus (uterus besar dan
lembek)
c. Tumor Trofoblast Plasenta
Merupakan bentuk yang jarang terjadi, berkembang ketika
plasenta implantasi uterus. Tumor ini biasanya berkembang
setelah kehamilan normal atau abortus dan boleh berkembang
setelah kehamilan mola komplet atau partial dikeluarkan.
Kebanyakan tidak menyebar ke organ lain dan tidak sensitif
terhadap kemoterapi dan sering ditatalaksana dengan operasi
untuk mengangkat tumor atau histerektomi.
d. Tumor Epitheloid Trofoblast
Tumor jenis ini adalah yang paling jarang terjadi dan
sangat sulit untuk didiagnosa. Tumor jenis ini pernah digelar
atypical choricarcinoma karena sel tumor jenis ini kelihatan
seperti koriokarsinoma di bawah mikroskop, tapi ternyata
penyakit yang berbeda karena tumor ini boleh bertumbuh dalam
cervix. Tumor ini sering terjadi setelah beberapa tahun kehamilan
normal dan tidak ada reaksi yang baik terhadap obat - obat
kemoterapi. Tatalaksana yang sering dilakukan adalah operasi
histerektomi.
E. Manifestasi klinis
Perdarahan yang tidak teratur setelah berakhirnya suatu
kehamilan dan dimana terdapat subinvolosio uteri juga perdarahan dapat
terus menerus atau intermiten dengan perdarahan mendadak dan
terkadang masif. Pada pemeriksaan ginekologi ditemukan uterus
membesar dan lunak. Kista tekalutein bilateral. Lesi metastasis di vagina
dan organ lain. Perdarahan karena perforasi uterus atau lesi metastasis
ditandai dengan: nyeri perut, batuk darah, melena, dan peningkatan
tekanan intrakranial berupa sakit kepala, kejang, dan hemiplegia.
Kadar β hCG paska mola setelah menurun, tidak menurun
malahan dapat meningkat lagi atau titer β hCG yang meninggi setelah
terminasi kehamilan, mola atau abortus. Pemeriksaan foto thorax dapat
ditemukan adanya lesi yang metastasis. Pada sediaan histopatologis
dapat ditemukan villus namun demikian dengan tidak memperlihatkan
gambaran patologik tidak dapat menyingkarkan suatu keganasan
(Khalkinst, Fasihah, & Kusmala, 2017).
F. Patofisiologi
Kehamilan molahidatidosa dan penyakit trofoblas ganas berasal
dari trofoblas plasenta. Molahidatidosa merupakan lesi prekursor pada
beberapa keganasan trofoblas. Kajii et al dan Lawler dkk, menunjukkan
bahwa pada kasus molahidatidosa lebih banyak ditemukan kelainan
keseimbangan translokasi dibandingkan dengan populasi normal (4,6%
dan 0,6%). Ada kemungkinan pada wanita dengan kelainan sitogenetik
seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan proses meiosis berupa non
dysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang kosong atau yang
intinya tidak aktif.
Banyak teori yang disebutkan tentang patogenesis mola hidatidosa
komplit, yaitu:
1. Hertig et al menganggap bahwa pada mola hidatidosa terjadi
insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke
3-5 (missed abortion), sehinggga terjadi penimbunan cairan dalam
jaringan mesenkim vili dan terbentukah kista-kista yang makin lama
makin besar, sampai akhirnya terbentuklah gelembung mola,
sedangkan proliferasi trofoblas merupakan akibat dari tekanan vili
yang oedemateus tadi.
2. Park, mengatakan bahwa yang etiologi primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasi, displasi, maupun
neoplasi. Bentuk yang abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang
abnormal. Keadaan ini menekan pembuluh darah, yang akhirnya
menyebabkan kematian embrio.
3. Teori yang sekarang dipakai adalah teori sitogenetik. Secara
sitogenetik umumnya kehamilan molahidatidosa komplit terjadi karena
sebuah ovum yang tidak berinti (kosong) atau yang intinya tidak
berfungsi, dibuahi oleh sperma yang mengandung haploid 23 X,
terjadilah hasil konsepsi dengan kromosom 23 X, yang kemudian
mengadakan duplikasi menjadi 46 XX. Jadi umumnya mola hidatidosa
komplet bersifat homozigot, wanita dan berasal dari bapak
(androgenetik). Jadi tidak ada unsur ibu sehingga disebut diploid
androgenetik.
G. Pathway
Trauma
Misabortion Neoplasma Degenerasi
Kehamilan Non gestasional
embrio
koriokarsinoma
Penimbunan Penumpukan
Penyakit
cairan di Reabsorbsi air cairan
masenkim vili Tromboplas
berlebihan
dalam vili Ganas
Terbentuk
Timbul
gelembung
gelembung
Embrio mati
Molahidatinosa
Molahidatinosa
Degenerasi
keganasan
Penyakit
Tromboplas
Ganas
Nyeri Akut Kerusakan jaringan Invasi ke otot dan Metastase ke organ Peningkatan kadar
oleh karsinoma pembuluh darah lain hCG
uterus
Paru Organ
Hipovolemia Resiko Syok pencernaan
Gangguan Invasi Ke
pertukaran gas alveoli Ggn absorbsi
I. Penatalaksanaan
Prinsip dasar penanganan penyakit trofoblas ganas adalah kemoterapi dan operasi.
Indikasi kemoterapi yaitu:
1. Meningkatnya β hCG setelah evakuasi
2. Titer β hCG sangat tinggi setelah evakuasi
3. β hCG tidak turun selama 4 bulan setelah evakuasi
4. Meningginya β hCG setelah 6 bulan setelah evakuasi atau turun tetapi lambat
5. Metastasis ke paru-paru, vulva, vagina kecuali kalau β hCGnya turun
6. Metastasis ke bagian organ lainnya (hepar, otak)
7. Perdarahan vaginal yang berat atau adanya perdarahan gastrointestinal
8. Gambaran histologi koriokarsinoma
Operatif merupakan tindakan utama dalam penanganan dini PTG, walaupun tumor
sudah lama bila masih terlokalisir di uterus tindakan histerektomi baik dilakukan. Pasien-
pasien dengan perdarahan pervaginam yang terus menerus, setelah abortus, mola, dan
persalinan yang normal dengan uterus sebesar kehamilan ≤ 12 minggu dan tidak ruptur
operasinya diutamakan histerektomi. Bila penyakit telah meluas maka histerektomi
dilakukan hanya atas dasar perdarahan dari uterus yang hebat atau resisten terhadap
kemoterapi.3
Bila tergolong risiko rendah, maka diberikan kemoterapi tunggal, sedang bila
tergolong risisko sedang dan tinggi diberikan kemoterapi kombinasi.
Stadium I:
Jika penderita tidak menginginkan anak lagi, maka histerektomi dengan adjuvant
kemoterapi tunggal merupakan pengobatan yang utama. Bila penderita masih
menginginkan anak, maka diberikan kemoterapi tunggal.
Kemoterapi tunggal tersebut adalah:
1. Methotrexate (MTX): dosis 10-20 mg/m IV/IM tiap hari selama 5 hari diulang tiap 2-3
minggu, jika dalam 2 minggu tidak ada tanda-tanda depresi sum-sum tulang/
kelainan darah (Hb, leukosit, trombosit) maka segera diberikan seri berikutnya.
2. Actinomycin D (ACT.D): dosis 12 µg/kgBB/IV tiap hari selama 5 hari diulang tiap 2-3
minggu, jika tidak ada depresi sum-sum tulang. Kemoterapi diberikan sampai kadar
β hCG dalam darah menjadi normal, kemudian dilanjutkan 1-2 seri.
Jika kadar β hCG meningkat atau menetap setelah pemberian sitostatika sebanyak
1 seri, maka dianggap resisten/ tidak dilanjutkan lagi untuk seri berikutnya kemudian
diganti dengan kemoterapi kombinasi.
Penderita stadium I harus:
1. Kontrol β hCG tiap minggu sampai normal tiaga minggu berturut-turut kemudian
dilanjutkan setiap bulan sampai normal 12 kali berturut-turut.
2. Menggunakan kontrasepsi selama evaluasi
Stadium II dan III
Ditentukan apakah tergolong risiko rendah, sedang atau tinggi. Jika tergolong
rendah maka diberikan kemoterapi tunggal seperti pada penderita stadium I. Bila
tergolong risiko sedang atau tinggi, maka diberikan terapi kombinasi.
Kemoterapi kombinasi tersebut adalah:
1. Untuk risiko sedang:
Kombinasi: Vincristine 1 mg/m/IV dan Cyclophosphamide 600 mg/m/IV.
Diberikan pada hari 1 dan hari ke 3 dengan interval 1 minggu, bila penekanan sum-
sum tulang sudah pulih
2. Untuk risiko tinggi
Kombinasi: Vincristine 1 mg/m/IV dan Cyclophosphamide 600 mg/m/IV.
Diberikan pada hari 1 dan hari ke-3 dengan interval 1 minggu bila penekanan sum-
sum tulang sudah pulih
Pemantauan penderita stadium II dan III sama dengan penderita stadium I
Stadium IV
Semua penderita stadium IV diberi kemoterapi kombinasi sama dengan yang tergolong
risiko tinggi.
Pemantauan penderita stadium IV berupa:
1. Pemeriksaan kadar β hCG setiap sampai mencapai kadar normal 3 minggu
berturut-turut.
2. Pemeriksaan kadar β hCG dilanjutkan setiap bulan sampai kadar normal 24 bulan
berturut-turut.
J. Penatalaksanaan keperawatan
Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan PTG
1. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan
menganalisanya sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi
klien. Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
a. Biodata: mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi; nama, umur,
agama, suku bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- ,
lamanya perkawinan dan alamat.
b. Keluhan utama: kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan
pervaginam berulang.
c. Riwayat kesehatan, yang terdiri atas:
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada saat pengkajian
seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih
besar dari usia kehamilan.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Kaji adanya kehamilan molahidatidosa sebelumnya, apa tindakan yang
dilakukan, kondisi klien pada saat itu.
3) Riwayat pembedahan
Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis pembedahan ,
kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
d. Riwayat penyakit yang pernah dialami
Kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien misalnya DM, jantung,
hipertensi, masalah ginekologi/urinary, penyakit endokrin, dan penyakit-penyakit
lainnya.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut dapat diidentifikasi
mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam keluarga.
f. Riwayat kesehatan reproduksi
Kaji tentang menorhoe, siklus menstruasi, lamanya, banyaknya, sifat darah, bau,
warna dan adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause terjadi, gejala serta
keluhan yang menyertainya.
g. Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas
Kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari dalam kandungan hingga saat ini,
bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
h. Riwayat seksual
Kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan serta
keluhan yang menyertainya.
i. Riwayat pemakaian obat
Kaji riwayat pemakaian obat-obatan kontrasepsi oral, obat digitalis dan jenis obat
lainnya.
j. Pola aktivitas sehari-hari
Kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan BAK), istirahat tidur,
hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada
penglihatan tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
1) Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap
drainase
2) Pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan
3) Bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya
keterbatasan fifik, dan seterusnya.
b. Palpasi
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
1) Sentuhan: merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
2) Tekanan: menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan
posisi janin atau mencubit kulit untuk mengamati turgor.
3) Pemeriksaan dalam: menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang
abnormal.
c. Perkusi
Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan
tubuh tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada
dibawahnya.
1) Menggunakan jari: ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang
menunjukkan ada tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
2) Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya refleks/gerakan
pada kaki bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding
perut atau tidak.
d. Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop
dengan menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar.
Mendengar: mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk
bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin.
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis 077
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi 003
c. Nausea berhubungan dengan gangguan biokimiawi 076
d. Hipovolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi 022
e. Resiko defisit nutrisi 032
f. Resiko pendarahan 012
g. Resiko syok 039
4. Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan SLKI SIKI
1. Nyeri akut berhubungan dengan Tingkat Nyeri (L.08066) Manajemen Nyeri (I.08238)
agen pencedera fisiologis Setelah dilakukan tindakan Observasi:
keperawatan selama 1x12 jam 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
(D.0077)
diharapkan Tingkat nyeri frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
Menurun dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
(dari 1 (meningkat) ke 5
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan
(Menurun)).
memperingan nyeri
2. Meringis menurun (dari 1
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
(meningkat) ke 5
tentang nyeri
(Menurun)).
3. Gelisah menurun (dari 1
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
(meningkat) ke 5
(Menurun)). 7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
4. Ketegangan otot hidup
menurun (dari 1 8. Monitor keberhasilan terapi komplementer
(meningkat) ke 5 yang sudah diberikan
(Menurun)). 9. Monitor efek samping penggunaan
5. Frekuensi nadi membaik analgetik
(dari 2 (cukup
memburuk) ke 5 Terapeutik
(Membaik)).
6. Pola nafas membaik (dari 1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
2 (cukup memburuk) ke 5 mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
(Membaik)). hypnosis, akupresur, terapi musik,
7. TD meningkat (dari 2 biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
(cukup memburuk) ke 5 teknik imajinasi terbimbing, kompres
(Membaik)). hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
Kolaborasi
Terapeutik
Edukasi
Edukasi
Kolaborasi
Terapeutik
Kolaborasi
5. Resiko defisit nutrisi (D.0032) Status Nutrisi (L.03030) Manajemen Nutrisi (I.03119)
Setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan selama 1x12 jam
diharapkan Status Nutrisi 1. Identifikasi status nutrisi
Membaik dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
1. Porsi makan yang
3. Identifikasi makanan yang disukai
dihabiskan meningkat
(dari 2 (cukup menurun)
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
nutrient
ke 5 (meningkat)).
2. Berat badan 5. Identifikasi perlunya penggunaan selang
membaik(dari 2(cukup nasogastrik
buruk) ke 5 (membaik)). 6. Monitor asupan makanan
3. IMT membaik(dari 7. Monitor berat badan
2(cukup buruk) ke 5 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
(membaik)).
4. Frekuensi makan Terapeutik
membaik(dari 2(cukup
buruk) ke 5 (membaik)).
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika
5. Nafsu makan
perlu
membaik(dari 2(cukup
buruk) ke 5 (membaik)).
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.
Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi
protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui selang
nasigastrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
Edukasi
Kolaborasi
Edukasi
Kolaborasi
Edukasi
1. Jelaskan penyebab/faktor risiko syok
2. Jelaskan tanda dan gejala awal syok
3. Anjurkan melapor jika menemukan/merasakan
tanda dan gejala syok
4. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
5. Anjurkan menghindari alergen
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah, jika perlu
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi, jika perlu
Daftar Pustaka
Amelia, V., & Sari, R. D. (2020). Penyakit Trofoblastik Gestasional: Varian
Histopatologi Mola Hidatidosa. Medula, 514-519.
Friadi, A. (2019). Update on the Diagnosis of Gestational Trophoblastic Disease.
Umi Medical Journal, 20-30.
Islami, I. P., Suardi, D., Syam, H. H., & Ritonga, M. A. (2020). Faktor Risiko Kejadian
Tumor Trofoblas Gestasional Pasca Evakuasi Molahidatidosa Di RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung Periode Agustus 2013 – Agustus 2018. Indonesian
Journal of Obstetrics & Gynecology Science , 106-112.
Khalkinst, J., Fasihah, I. S., & Kusmala, Y. Y. (2017). Karakteristik Penderita
Penyakit Trofoblas Gestasional Di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Tahun 2013-2015. Indonesian Journal of Obstetrics & Gynecology Science,
1-18.
PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator
Diagnostik, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC
Wargasetia, T. L., Nataprawira, H. M., & Shahib, M. N. (2011). Aspek Patobiologis
pada Penyakit Trofoblas Gestasional. JKM, 190-205.
Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia. 2011. Pedoman pelayanan medik kanker
ginekologi. Edisi 2. Balai Penerbit FK UI; Jakarta