“MOLAHIDATIDOSA”
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Molahidatidosa” ini tepat pada waktunya. Responsi kasus ini disusun dalam rangka
mengikuti program profesi bidan 2022/2023.
maupun bantuan, baik berupa informasi maupun bimbingan moril. Untuk itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada ibuk Lastri bastuti, S.Tr.Keb selaku CI lahan dan ibuk Afiah,S,ST.M.Kes selaku
pembimbing akademik.
Penulis menyadari bahwa responsi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
responsi kasus ini dapat bermanfaat di bidang ilmu pengetahuan dan kebidanan.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal yang sebagian atau seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi berupa gelembung yang menyerupai anggur.
Frekueni mola hidatidosa umumnya diwanita Asia lebih tinggi (1 per 120
kehamilan) dari pada wanita dinegara Barat (1 per 2.000 kehamilan)
(Hadijanto,2009; Syafii, Aprianti,& Hardjoeno,2006;Mnsjoer, Triyanti, Savitri,
Wardhani,& Setiowulan,2000).
Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap sebagai penyakit yang penting
dengan insiden yang tinggi (data RS di indonesia,1 per 40 persalinan), faktor
risiko banyak, penyebaran merata serta sebagian besar data masih berupa hospital
based. Soejoenoes dkk (1967) melaporkan 1 : 85 kehamilan; RS Dr. Cipto
Mangunkusumo jakarta 1 : 31 persalinan dan 1 : 9 kehamilan; Luat A. Siregar
(Medan) tahun 1982 : 11-16 per 1000 kehamilan; Soetomo (surabaya) 1 : 80
persalinan; Djamhoe Mrtaadisoebrata (Bandung); 9-12 per 1000 kehamilan.
Biasanya djumpai lebih sering pada umur reproduksi (14-45 tahun) dan multipara.
Jadi dengan menigkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar.
Faktor resiko mola hidatidosa terdapat pada usia kurang dari 20 tahun dan diatas
35 tahun, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis dan genetik. (syafi’i, Aprianti &
Hardjoeno 2006; Fitriani,2009).
Oleh karena itu, perlu untuk memiliki pengetahuan dan kemampuan
mengarahkan pemeriksaan yang di perlukan demi penegakan mola hidatidosa
lebih dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di
mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik (Mansjoer, Triyanti, Savitri, Wardhani,&
Setiowulan,2000; Hadijanto,2009). Mola hidatidosa merupakan salah satu bagian
di dalam kategori tumor trofoblastik atau yang disebut dengan istilah penyakit
trofoblastik gestasional (Crum, Lester & Contran, & 2007).
B. Epidemiologi
Mola hidatidosa terjadi pada sekitar 1 dalam 1000 kehamilan di Amerika
Serikat dan Eropa. Frekuensi mola hidatidosa pada kehamilan yang terjadi pada
awal atau akhir usia subur relatif lebih tinggi. Efek paling berat dijumpai pada
wanita berusia lebih dari 45 tahun, dengan frekuensi lesi relative lebih dari 10 kali
lipat dibandingkan pada usia 20 sampai 40 tahun. Kekambuhan mola hidatidosa
dijumpai pada sekitar 1 sampai 2 persen kasus (Cuningham & dkk, 2005).
Insidensi mola hidatidosa komplet adalah sekitar 1-1,5 per 2000 kehamilan
di Amerika Serikat dan negara barat lainnya. Karena alasan yang tidak diketahui,
insidensi penyakit ini jauh lebih tinggi di negara Asia. Mola paling sering terjadi
pada usia sebelum 20 dan setelah 45 tahun, dan adanya riwayat mola
meningkatkan risiko untuk kehamilan berikutnya. Meski pun biasanya ditemukan
pada minggu dalam kehamilan 12 hingga 14 karena gestasi yang terlalu besar
untuk usianya, pemantauan dini kehamilan dengan ultrasonografi telah berhasil
menurunkan usia gestasi saat penyakit terdeteksi sehingga dignosis dapat
ditegakkan lebih dini. Pada dua keadaan, peningkatan kadar HCG dalam darah ibu
bersamaan dengan tidak adanya bagian janin atau bunyi jantung janin (Crum,
Lester & Contran,2007).
C. Etiologi
Mola terjadi akibat adanya kelainan pembuahan, pada mola komplet, sebuah
telur kosong dibuahi oleh dua spermatozoa (atau satu sperma diploid),
menghasilkan kariotip diploid, sedangkan pada mola parsial sebuah telur normal
dibuahi oleh dua spermatozoa (atau satu spermatozoa diploid) sehingga terbentuk
kariotipe triploid (Crum, Lester & Cotran, 2007). Kondisi yang menyebabkan
terjadinya mola hidatidosa ini dapat dilakukan dengan analisis DNA (Ngan &
dkk,2012).
E. Penatalaksanaan
Terapi mola hidatidosa terdiri dari dua fase, yaitu evakuasi mola segera dan
tindak lanjut untuk mendeteksi proliferasi trofoblas persisten atau perubahan
keganasan. Evaluasi awal harus dilakukan sebelum evakuasi atau histerektomi
yang mencakup pemeriksaan radiografi toraks untuk mencari lesi paru. Beberapa
pilihan dalam terapi mola hidatidosa, antara lain (Cuningham & dkk, 2005):
1. Terminasi kehamilan mola
2. Kemoterapi profilaktik
3. Aspirasi vakum
4. Oksitosin, prostaglandin, dan histerotomi
5. Histerektomi
Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri dari 4 tahap berikut ini (Hadijanto,
2009):
a. Perbaikan Keadaan Umum
Pemberian transfuse darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan
menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeclampsia atau
tirotoksikosis (Ngan & dkk, 2012).
b. Pengeluaran jaringan mola
Ada dua cara yaitu (Ngana & dkk, 2012) (Hadijanto, 2009):
Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa
pembiusan. Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula
uterotonika. Vakum kuretase dilanjutkan dengan kuretase dengan
menggunakan sendok kuret biasa yang tumpul. Tindakan kuret
cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuret kedua hanya
dilakukan bila ada indikasi. Sebelum tindakan kuret sebaiknya
disediakan darah untuk menjaga bila terjadi perdarahan yang
banyak
Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur
dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi
ialah karena umur tua dan paritas tinggi merupakan factor
predisposisi untuk terjadinya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dengan anak hidup 3. Tidak jarang bahwa
pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan
histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa
mola invasive / koriokarsinoma.
c. Prosedur Tindak Lanjut
Tujuan utama tindak lanjut adalah deteksi dini setiap perubahan yang
mengisyaratkan keganasan. Metode umum tindak lanjut adalah sebagai
berikut :
Cegah kehamilan selama masa tindak lanjut, yaitu sekurang-
kurangnya 1 tahun
Ukur kadar hCG setiap 2 minggu. Walau pun sebagian
menganjurkan pemeriksaan setiap minggu, belum terbukti adanya
manfaat yang nyata
Tunda terapi selama kadar serum tersebut terus berkurang. Kadar
yang meningkat atau mendatar mengisyaratkan perlunya evaluasi
dan biasanya terapi.
Setelah kadar normal, yaitu setelah mencapai batas bawah
pengukuran, pemeriksaan dilakukan setiap bulan selama 6 bulan,
lalu setiap 2 bulan untuk total 1 tahun.
Tindak lanjut dapat dihentikan dan kehamilan diizinkan setelah 1
tahun.
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah
mola hidatidosa. Kadar gonadotropin korionik harus turun secara progresif
sampai kadar yang tidak terdeteksi, karena di luar itu berarti trofoblas
menetap. Peningkatan mengisyaratkan proliferasi yang kemungkinan besar
ganas kecuali apabila wanita yang bersangkutan kembali hamil. Tes hCG
harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah evakuasi. Lama
pengawawan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan
selama periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan
menggunakan kondom, difragma, atau pantang berkala (Hadijanto, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Harjito VN, Hidayat YM, Amelia I. Hubungan antara Karakteristik Klinis Pasien
Mola Hidatidosa dengan Performa Reproduksi Pascaevakuasi di Rumah
Sakit Hasan Sadikin Bandung. J Sist Kesehat. 2017
Wagey FW, Lengkong RA. Profil penderita mola hidatidosa di RSUP Prof. Dr .
R . D . Kandou. 2016;4.
Kusuma A, Pramono B. Karakteristik Mola Hidatidosa Di Rsup Dr. Kariadi
Semarang. J Kedokt Diponegoro. 2017
Olivia FC, Kedokteran F, Lampung U. Seorang Wanita 30 Tahun Dengan Mola
Hidatidosa Komplet A 30 Years Old Woman with Complete Hydatidiform
Mole. 2016
Septiyaningsih D. Faktor-faktor ibu yang mempengaruhi kejadian mola
hidatidosa. J Kesehat Al-Irsyad. 2016