Anda di halaman 1dari 9

PENATALAKSANAAN MOLA HIDATIDOSA SECARA

KURETASE
Oleh : dr Putu Ayu Novianitri

Pembimbing / Moderator : dr. H. Risanto Siswosudarmo SpOG


Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP Sardjito/FK UGM Yogyakarta

ABSTRACT
Background: The incidence of hydatidiform mole in Indonesia is still high enough. The frequency of
the curretage in hydatidiform mole is still controversial.
Objective: To know the management of hydatidiform mole evacuation by curretage.
Methods: Books review
Result: There are two kind of the method in management of hydatidiform mole evacuation, curretage
and hysterectomi. The hysterectomi is done in a high risk of the hydatidiform mole with enough
children. In the uterine with common size the curretage is done ones, first with suction methode of the
curretage continued by sharply curretage. If the uterine size is big enough the curretage is twice, the
last curretage in one week after the first curretage with sharply methode.
Conclusion: The frequency of the curretage in evacuation of hydatidiform mole depends on the
gestational age when the diagnose is established.
Keyword: evacuation, hydatidiform molle, curretage.

.
PENDAHULUAN

Penyakit trofoblas gestasional (PTG) adalah sekelompok penyakit yang

berasal dari korion janin. Berdasarkan gambaran proliferasi abnormal trofoblas pada

pemeriksaan patologi anatomi, PTG terdiri dari mola hidatidosa, korio adenoma

destruen (invasive molle), koriokarsinoma dan plasental site trophoblastic tumor.

Mola hidatidosa sebagai penyakit trofoblas gestasional jinak dibagi atas mola komplit

dan mola parsialis yang dapat dibedakan secara histopatologis dan sitogenetik.1

Kejadian mola hidatidosa bervariasi dari populasi di berbagai negara.

Dilaporkan, di Amerika Serikat 1 dalam 1000 kehamilan, Eropa 1 dalam 2000

1
kehamilan. Asia berkisar 1 dalam 500 kehamilan di mana kejadiannya di Asia

Tenggara 8 kali lebih besar seperti di Taiwan adalah 1 dalam 125 kelahiran hidup.

Faktor risiko mola hidatidosa adalah usia lebih dari 40 tahun, nutrisi, ras dan lain-

lain.2,3,4

. Mola hidatidosa merupakan bentuk jinak dari penyakit trofoblas gestasional.

Hasil konsepsi tidak ditemukan adanya fetus yang intak, vili korialis yang udem,

hiperplasia trofoblas dan hilangnya pembuluh darah atau avaskuler dari vili.1

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

Prevalensi dari mola hidatidosa bervariasi pada populasi yang berbeda. Di

Amerika Serikat kejadian mola hidatidosa berkisar 1 dalam 1000 kehamilan dan di

Eropa berkisar antara 1 dalam 2000 kehamilan. Di Asia kejadiannya 1 dalam 400

hingga 500 kehamilan, di Amerika Latin berkisar 1 dalam 200 kehamilan. Variasi

kejadian mola hidatidosa tergantung juga dari keadaan geografis seperti di Paraguay,

kejadiannya cukup rendah yaitu 1 dalam 5000 kehamilan dibandingkan dengan

Meksiko 25 dalam 5000 kehamilan. Di Filipina 1 dalam 250 kehamilan. Di Amerika

Serikat kehamilan mola tercatat sekitar 3000 orang setiap tahun dan terjadi perubahan

menjadi keganasan dalam 6% hingga 19%. Kehamilan mola komplit terjadi 1 dalam

40 dari kehamilan mola, 1 dalam 15.000 abortus dan 1 dari 150.000 kehamilan

normal. Kejadian mola hidatidosa banyak pada usia di bawah 20 tahun dan di atas 40

tahun. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara umur dan ras dari ayah, status

sosial ekonomi, atau riwayat reproduksi. Bagshawe (1986), wanita usia lebih dari 50

2
tahun memiliki risiko kehamilan mola 411 kali dan untuk usia di bawah 15 tahun

adalah 6 kali dibandingkan dengan kelompok usia 25-29 tahun.5

Perkiraan kejadian yang tepat dari kehamilan mola sukar untuk diketahui oleh

karena berbagai pertimbangan dalam penanganan kehamilan baik normal maupun

abnormal. Evaluasi awal memperkirakan sekitar 5 hingga 10 kali kejadian kehamilan

mola lebih tinggi di Asia dan Asia Tenggara dibanding Amerika Serikat. Angka

kejadian di Indonesia sekitar 1 dalam 100 kehamilan.6

Etnis dan ras yang berbeda juga memberikan kontribusi dan variasi terhadap

timbulnya penyakit trofoblas gestasional. Angka kejadian di Alaska lebih tinggi pada

wanita kulit putih. Wanita yang lahir di daerah Persia memiliki angka kejadian yang

lebih tinggi daripada wanita Arab dan Asia asli. Penelitian yang lain mendapatkan

bahwa ras yang berbeda memegang peranan yang kecil pada kejadian penyakit

trofoblas gestasional.3

Meskipun etiologi dari penyakit trofoblas gestasional tidak diketahui dengan

baik, kejadian ini dihubungkan dengan beberapa faktor seperti usia kurang dari 20

tahun dan lebih dari 40 tahun, riwayat kehamilan mola, sosial ekonomi rendah,

golongan darah ABO. Wanita yang lebih dari 40 tahun memiliki risiko 5 kali lebih

tinggi untuk kehamilan mola. Secara umum wanita dengan usia kurang dari 20 tahun

didapatkan risiko 1,5 hingga 2 kali lebih tinggi.3,6

3
PENATALAKSANAAN MOLA HIDATIDOSA SECARA KURETASE

Penanganan mola hidatidosa pada prinsipnya adalah segera mungkin

dilakukan evakuasi begitu diagnosis ditegakkan. Sebelum evakuasi dilakukan, dicari

dahulu ada tidaknya penyulit berupa tirotoksikosis, preeklampsia dan hal-hal lain

yang dapat memperburuk prognosis penderita. Evakuasi baru dilakukan bila penyulit

sudah diterapi dan teratasi. Metode yang dilakukan tergantung dari ukuran besarnya

uterus, ada tidaknya ekspulsi parsial, umur penderita dan fertilitasnya. Sebelum

dilakukan evakuasi harus disiapkan darah, pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi hati

dan ginjal, faal hemostasis dan foto toraks.

Penatalaksanaan evakuasi mola hidatidosa ada dua yaitu kuretase dan

histerektomi. Histerektomi dikerjakan sebagai cara evakuasi jaringan mola pada

kasus mola risiko tinggi pada umur lebih dari 40 tahun dengan anak cukup.

Manajemen evakuasi mola hidatidosa secara kuretase masih kontroversial.

Di negara yang sudah maju kuretase dilakukun sekali, karena diagnosis ditegakkan

pada umur kehamilan muda. Di negara berkembang dilakukan dua kali, tetapi belum

ada keterangan ataupun penelitian secara khusus tentang hubungan antara timbulnya

mola berulang dengan frekuensi kuretase.1,9

New England Trophoblastic Disease Center, menyebutkan risiko kehamilan

mola berulang sekitar 1,7%. Penderita mola hidatidosa parsial, 2% menjadi persisten,

sedangkan mola hidatidosa komplit 15%. Laporan lain menunjukkan terjadi

kehamilan mola berulang 2,2%.6

4
Sebire melaporkan dari 2578 kasus mola komplit, terjadi .mola berulang 27

kasus (1,9%). Mola komplit 22 kasus dan mola parsialis 5 kasus. Pada 2627 kasus

mola parsialis, terjadi mola berulang 25 kasus (1,7%). Mola parsialis 17 kasus dan 8

kasus mola komplit. Laporan dari tahun ke tahun tidak terdapat peningkatan kejadian

mola berulang .

Angka kejadian mola berulang di Asia Tenggara sekitar 1,8 % hingga 2,1%.

Di Indonesia angka kejadian mola berulang 1,6% hingga 2,0%, dalam 10 tahun

terakhir tidak didapatkan peningkatan angka kejadian mola berulang.1

Frekuensi kuretase ditentukan berdasarkan umur kehamilan saat diagnosis

ditegakkan. Pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu kuretase dilakukan sekali.

Pada umur kehamilan 20 minggu atau lebih kuretase dilakukan dua kali.1,9

Pada era sebelum adanya USG, kuretase dilakukan dua kali. Kuretase I

dengan vakum kuret, dan kuretase II satu minggu kemudian setelah terjadi involusi

uterus dengan sendok kuret tajam. Kebijakan ini diambil oleh karena saat itu

sebagian besar kasus mola datang dengan ukuran uterus yang sangat besar sehingga

bila langsung dilakukan kuret tajam, dikhawatirkan terjadi perforasi uterus.1.9

Saat ini,di negara-negara maju kuretase dilakukan satu kali yaitu setelah

jaringan mola dikeluarkan dengan vakum kuret langsung diteruskan dengan sendok

kuret tajam. Hal ini dilakukan karena dengan adanya USG, umumnya diagnosis mola

dapat ditegakkan sejak dini dan ukuran uterus tidak terlalu besar.1.9

Di Indonesia, sejak sepuluh tahun yang lalu beberapa rumah sakit senter

pendidikan telah melakukan kuretase satu kali. Sejak tahun 1993 di rumah sakit

5
Hasan Sadikin Bandung kuretase dilakukan satu kali. Angka kejadian mola

hidatidosa berulang tidak mengalami peningkatan yaitu 1,6% hingga 2 %.1

Pemeriksaan histopatologi pada mola hidatidosa untuk mencari ada tidaknya

gambaran proliferasi berlebihan dan penetrasi jaringan trofoblas dalam endometrium.

Pada kuretase yang dilakukan satu kali, pemeriksaan histopatologi diambil dari

jaringan endometrium pada saat kuretase tajam. Pada kuterase yang dilakukan dua

kali, pemeriksaan histopatologi dilakukan pada kuretase kedua.1,9

Keuntungan kuretase satu kali adalah hasil histopatologi lebih cepat

diketahui, keganasan lebih cepat ditangani dan menghemat waktu, biaya dan tenaga.

Kerugiannya sering terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi.1

Pengawasan lanjut pasca evakuasi mola merupakan bagian dari

penatalaksanaan mola hidatidosa. Pengawasan ketat mola pasca evakuasi perlu

dilakukan oleh karena sekitar 15% hingga 20% mola akan mengalami transformasi

menjadi Tumor Trofoblas Gestasional (TTG). Pada penderita mola risiko rendah

follow up mulai dilakukan seminggu setelah evakuasi mola. Dilakukan pemerikaan

fisik penderita, keluhan, tanda-tanda metastase, pemeriksaan tes kehamilan mulai

kepekaan yang paling rendah atau pemeriksaan hCG. Pemeriksaan klinis meliputi

besar dan involusi uterus, perdarahan vaginal dan tanda-tanda metastasis. Follow up

dilakukan sampai minggu kedua belas.

Diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas dengan pemeriksaan

hCG ditetapkan dengan kriteria yang dianjurkan oleh Mozisuki. Kadar -hCG pad

6
minggu ke empat kurang dari 1000 mIU/ml, minggu ke enam kurang dari 100

mIU/ml dan minggu ke delapan kurang dari 30mIU/ml.Bila hCG melebihi batas-

batas tertentu dan atau secara klinis ada tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan

trofoblas maka selanjutnya penderita dikelola sebagai tumor trofoblas gestasional.1.8.9

Selama pengawasan lanjut pasca evakuasi mola perlu dilakukan pencegahan

kehamilan baru, penderita dianjurkan menggunakan kontrasepsi kondom. Tidak

dianjurkan memakai IUD karena efek samping perdarahan akan menyulitkan

diagnosis adanya pertumbuhan baru jaringan trofoblas, sedangkan kontrasepsi

hormonal dilaporkan akan menimbulkan resistensi terhadap sitostatika bila

diperlukan. Penderita dianggap sembuh dari pengawasan lanjut pasca evakuasi mola

bila dengan follow up 12 bulan tidak ada tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan

trofoblas atau penderita sudah hamil normal lagi kurang dari 12 bulan setelah

evakuasi mola. Adanya kehamilan normal dibuktikan dengan berbagai cara termasuk

USG. Pengertian sembuh tidak berarti bahwa tidak mungkin terjadi TTG di masa

yang akan datang karena sifat sel trofoblas yang dormant. Penderita tidak boleh hamil

lagi paling sedikitnya selama 1 tahun untuk yang belum memiliki anak atau 2 tahun

untuk penderita yang sudah mempunyai anak1,9.

7
RINGKASAN

Manajemen evakuasi mola hidatidosa ada 2 yaitu secara kuretase dan

histerektomi. Kuretase dapat dilakukan satu kali atau dua kali. Kuretase satu kali

dilakukan pada ,mola dengan ukuran rahim yang tidak terlalu besar. Kuretase dua kali

dilakukan pada uterus yang besar atau umur kehamilan 20 minggu atau lebih.

Keuntungan dilakukan kuretase satu kali adalah hasil pemeriksaan

histopatologi diketahui lebih awal. Menghemat biaya, waktu dan tenaga. Kerugiannya

sering terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi.

Belum ada keterangan ataupun penelitian secara khusus tentang hubungan

antara timbulnya mola berulang dengan frekuensi kuretase.

Pengawasan lanjut pasca evakuasi mola dilakukan selama 12 bulan sampai

tidak ada tanda-tanda pertumbuhan baru jaringan trofoblas. Selama pengawasan

lanjutan, sebaiknya penderita tidak boleh hamil dulu sehingga perlu dianjurkan untuk

menggunakan kontrasepsi.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Bratakoesoema DS. Kontroversi pada klasifikasi dan pengelolaan penyakit


trofoblas gestasional, seminar onkologi KOGI XI, Denpasar, 1-7 Juli 2000.

2 Atrash HR, Hogue, Grimes DA. Epideiology of Hydatiform Mole,during early


gestasion. Am J Obstet Gynecol, 1986; 4; 906-9.

3. Turkington, C.A., Hydatidiform Mole, Gale Encyclopediaof Medicine, Published


December, 2002.

4. Hernandez, Shepard, Gestational Throphoblastic Neoplasia, eMedicine.com Inc,


lastUpdated August 6, 2002.

5. Bagshawe KD, Dent J, Webb J. Hydatiform mole in England and Wales 1973-83.
Lancet, 1986; 2 (8508) : 673-7.

6. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational Trophoplastic Disease. In : Berek JS,


Adashi EV, Hillard PA, eds. Novaks Gynecology. 12 th ed Baltimore : Williams
& Wilkins, 1996; 1261-79.

7. Sebire NJ, Fisher RA, et al. Risk of recurrent hydatiform mole and subsequent
pregnancy outcome following complete or partial hydatiform molar pregnancy.
Br J Obstet Gynecol, 2003; 110; 22-6.

8. Berkowitz RS, Goldstein DP, et al. Management of complete molar pregnancy. J


Reprod Med, 1987; 32 (9) : 634-9.

9. Hammand CB, Soper JT. Diagnosis and management of hydatiform mole.


Gynecology Oncology 2000; 71: 108-15.

Anda mungkin juga menyukai