Anda di halaman 1dari 23

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Ovarium


2.1.1 Epidemiologi Kanker Ovarium
Kanker ovarium merupakan kanker ginekologi dengan angka mortalitas
tertinggi, dan menempati urutan kelima penyebab utama kematian wanita yang
berhubungan dengan keganasan.10,11 Pada tahun 2008, di seluruh dunia
diperkirakan 225.500 wanita terdiagnosis dengan kanker ovarium dan 140.200
wanita meninggal akibat kanker ovarium.12 Sementara itu, pada tahun 2012
diperkirakan 238.700 wanita terdiagnosis dengan kanker ovarium dan 151.900
wanita meninggal akibat kanker ovarium.1 Secara umum, kanker ovarium lebih
banyak ditemukan di negara maju dibandingkan negara berkembang dengan
insiden tertinggi didapatkan di Eropa Utara (13,3 per 100.000 per tahun) dan
insiden terendah di Afrika Utara (2,6 per 100.000 per tahun). Di Asia,
diperkirakan insidens kanker ovarium di China adalah sebesar 3,2 per 100.000 per
tahun.12 Di Indonesia, tidak ditemukan data yang spesifik untuk insiden kanker
ovarium, namun pada tahun 2002 diperkirakan terdapat 829 kasus kanker
ovarium.2
Tingginya angka mortalitas kanker ovarium berhubungan dengan sulitnya
deteksi dini kanker ovarium dimana sebagian besar wanita (>75%) sudah
mencapai stadium lanjut (stadium III/IV) saat terdiagnosis kanker ovarium dengan
angka harapan hidup 5 tahun sebesar <30%. Hal ini sangat kontras jika
dibandingkan dengan angka harapan hidup 5 tahun pada kanker ovarium stadium
I yakni >90% .3,4

2.1.2 Faktor Risiko Kanker Ovarium


Berbagai faktor risiko dan faktor proteksi yang dihubungkan dengan
angka kejadian kanker ovarium dirangkum pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.1 : Faktor risiko dan faktor proteksi kanker ovarium. 5,13
4

Faktor Risiko Faktor Proteksi

 Nuliparitas  Menyusui
 Menars awal  Menars lambat
 Endometriosis  Menopause awal
 Terapi sulih hormon  Multiparitas
 Riwayat keluarga dengan  Diet rendah lemak
kanker ovarium  Pil kontrasepsi oral
 Obesitas dan diet tinggi lemak
 Menopause terlambat
 Ras kulit putih

Sesuai dengan incessant ovulation theory dimana kanker ovarium


disebabkan oleh mikrotrauma pada epitel ovarium yang terjadi berulang-ulang
setiap ovulasi, maka semakin banyak jumlah ovulasi yang terjadi akan semakin
meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium; sebaliknya, faktor-faktor yang
menekan ovulasi akan menjadi faktor proteksi terjadinya kanker ovarium.
Penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan usia menars awal (usia < 12 tahun)
dan menopause terlambat (usia > 50 tahun) berisiko lebih tinggi untuk terjadinya
kanker ovarium akibat siklus ovulasi yang lebih banyak. Wanita dengan usia
menars awal berisiko 1,1-1,5 kali lebih tinggi dan wanita dengan usia menopause
yang terlambat berisiko 1,4-4,6 kali lebih tinggi untuk terjadinya kanker ovarium.
Sebaliknya, menyusui, kehamilan, dan penggunaan pil kontrasepsi oral yang
menekan ovulasi akan menjadi faktor proteksi untuk terjadinya kanker ovarium.5
Berbagai studi epidemiologi telah menujukkan adanya hubungan antara
kejadian endometriosis dengan kanker ovarium, namun mekanismenya belum
diketahui secara pasti. Sampai saat ini, diperkirakan faktor stress oksidatif,
inflamasi dan hiperestrogen pada endometriosis akan mengakibatkan terjadinya
5

kerusakan DNA dan pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya kanker ovarium,
namun teori ini masih perlu didukung dengan penelitian lebih lanjut.14
Salah satu fakor risiko yang paling berperan dalam terjadinya kanker
ovarium adalah faktor genetik. Faktor genetik didapatkan pada 10- 15 % kasus
kanker ovarium. Wanita dengan riwayat keluarga terkena kanker payudara dan
atau kanker ovarium meningkatkan risiko terjadinya kanker ovarium sebanyak 2-6
kali. Penelitian lebih lanjut telah berhasil menemukan gen BRCA1 dan BRCA2
yang berhubungan dengan terjadinya kanker ovarium serta kanker payudara.5
BRCA1 dan BRCA2 pertama kali ditemukan pada tahun 1994 dan 1995
dan sampai saat ini merupakan gen yang memiliki pengaruh terkuat dengan
kejadian kanker ovarium.15 BRCA1 merupakan gen onkosupresor pada kromosom
17q21 yang memiliki delesi atau insersi sehingga menyebabkan kodon berhenti
sebelum waktunya dan protein akan menjadi lebih pendek. Gen tersebut juga turut
berperan pada proses remodeling kromatin sehingga jika terjadi mutasi pada gen
ini akan menyebabkan tidak terkontrolnya pertumbuhan sel. Sementara itu,
BRCA2 merupakan gen supresor yang berlokasi pada kromosom 13q.5 Mutasi
pada gen tersebut berhubungan dengan risiko terjadinya kanker ovarium sebesar
50% dan 20% masing-masing untuk BRCA1 dan BRCA2.15

2.1.3 Klasifikasi Kanker Ovarium


Kanker ovarium merupakan penyakit yang heterogen dengan berbagai tipe
dan subtipe yang berbeda baik secara histologi maupun karakteristik dan pada
akhirnya juga memiliki prognosis yang berbeda.16 Secara histologis, tumor
ovarium dibagi berdasarkan sel asalnya, yakni : Sel epitel permukaan ovarium
(60%), Germ sel (30%), Sex Cord/Stromal ovarium (8%), dan tumor lain yang
bermetastasis ke ovarium (3%). Untuk mempermudah klasifikasi, tumor ovarium
yang berasal dari germ sel dan Sex Cord/Stromal ovarium juga disebut dengan
non epitelial. Sehingga secara singkat tumor ovarium dapat dibagi menjadi dua
tipe yaitu epitelial dan non epitelial. Meskipun 40% tumor ovarium merupakan
tipe non epitelial, namun hanya 10% kanker ovarium yang berasal dari tipe non
epitelial.3,17
6

Gambar 2.1 : Jenis Sel Ovarium.13

Tabel 2.2. Klasifikasi Tumor Ovarium menurut WHO.18

SURFACE EPITHELIAL-STROMAL TUMORS


Serous tumors
Benign (cystadenoma)
Borderline tumors (serous borderline tumor)
Malignant (serous adenocarcinoma)
Mucinous tumors, endocervical-like and intestinal type
Benign (cystadenoma)
Borderline tumors (mucinous borderline tumor)
Malignant (mucinous adenocarcinoma)

Endometrioid tumors
Benign (cystadenoma)
Borderline tumors (endometrioid borderline tumor)
Malignant (endometrioid adenocarcinoma)
Clear cell tumors
7

Benign
Borderline tumors
Malignant (clear cell adenocarcinoma)
Transitional cell tumors
Brenner tumor
Brenner tumor of borderline malignancy
Malignant Brenner tumor
Transitional cell carcinoma (non-Brenner type)
Epithelial-stromal
Adenosarcoma
Malignant mixed müllerian tumor
Fibromas

SEX CORD–STROMAL TUMORS


Granulosa tumors
Fibrothecomas
Thecomas
Sertoli cell tumors
Leydig cell tumors
Sex cord tumor with annular tubules
Gynandroblastoma
Steroid (lipid) cell tumors

GERM CELL TUMORS


Teratoma
Immature
Mature
Solid
Cystic (dermoid cyst)
8

Monodermal (e.g., struma ovarii, carcinoid)


Dysgerminoma
Yolk sac tumor (endodermal sinus tumor)
Mixed germ cell tumors

Kanker ovarium tipe epitelial sendiri memiliki 5 subtipe utama yang


masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda baik dari segi epidemiologi,
genetik, lesi prekursor, pola penyebaran, respon terhadap kemoterapi, dan
prognosis. Subtipe tersebut adalah high grade serous (70%), endometrioid (10%),
clear cell (10%), mucinous (3-4%), dan low grade serous (<5%).17
Macam-macam gambaran histopatologi dari kanker ovarium juga
diperkirakan sebagai akibat dari perbedaan asal dari lesi prekursor kanker ovarium
yang berbeda-beda. Kanker ovarium tipe serous menyerupai gambaran epitel tuba
fallopi, tipe endometrioid menyerupai epitel kelenjar endometrium, dan tipe
musinus menyerupai gambaran epitel endoserviks.3

Tabel 2.3 Karakteristik Kanker Ovarium Berdasarkan Tipe Histopatologi.17

High Grade Serous Low Grade Serous Mucinous Endometrioid Clear cell

Stadium Saat Lanjut Awal/Lanjut Awal Awal Awal


Terdiagnosis
9

Jaringan asal/ Metaplasia tuba pada Tumor serosa Adenoma- borderline- Endometriosis, Endometriosis,
Lesi Prekursor inklusi dari permukaan borderline karsinoma; Teratoma Adenofibroma Adenofibroma
epitel ovarium atau
tuba fallopi

Resiko Genetik BRCA1/2 ? ? HNPCC ?

Kelainan Molekul P53 dan jalur pRb BRAF atau K-ras K-ras PTEN, HNF-1β
Signifikan β-catenin, ARID1A
ARID1A PIK3CA
PIK3CA
K-ras
MI

Proliferasi Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah

Respon terhadap 80% 26%-28% 15% ? 15%


Kemoterapi

Prognosis Buruk Baik Baik Baik Sedang


10

Gambar 2.2 : Gambaran histopatologi dari kanker ovarium (A) High grade
serous carcinoma (B) Low grade serous carcinoma (C) Mucinous carcinoma
(D) Endometrioid carcinoma (E) Clear cell carcinoma.17
11

Gambar 2.3 : Gambaran histopatologi dan lokasi asal kanker ovarium. Tipe
serous dianggap berasal dari tuba fallopi, tipe endometrioid dari
endometrium, dan tipe musinus dari endoserviks.3

2.1.4 Patogenesis Kanker Ovarium


Sampai saat ini, belum ditemukan patogenesis pasti dari kanker ovarium.
Salah satu masalah terbesar untuk mengungkap patogenesis dari kanker ovarium
adalah bahwa kanker ovarium merupakan suatu penyakit yang heterogen, yang
terdiri dari berbagai macam tipe sel dengan berbagai karakteristik yang sangat
berbeda.6

2.1.4.1 Teori Incessant Ovulation


Pada awalnya, semua kanker ovarium diperkirakan berasal dari epitel
permukaan sel ovarium. Selama ovulasi, sel epitel permukaan tersebut akan
mengalami trauma fisik dan harus direparasi. Dalam siklus hidup wanita, ovulasi
akan terjadi berulang-ulang dan dengan demikian maka trauma pada epitel juga
akan terjadi berulang-ulang, yang akan menyebabkan kerusakan DNA sel. Sel
epitel yang telah mengalami kerusakan DNA sangat rentan mengalami perubahan,
12

salah satunya dapat menyebabkan terjadinya invaginasi ke stroma kortikel.


Invaginasi ini pada akhirnya akan terperangkap dan membentuk lingkaran sel
epitel di dalam stroma yang dinamakan dengan kista inklusi (cortical inclusion
cyst). Setelah berada di dalam ovarium, sel epitel ini akan terpapar dengan
hormon-hormon ovarium yang dapat merangsang proliferasi sel epitel pada kista
inklusi dan pada akhirnya bertransformasi menjadi sel kanker.3,7
Teori tersebut sesuai dengan data epidemiologi dimana jumlah siklus
ovulasi berhubungan dengan risiko terjadinya kanker ovarium. Kelemahan teori
ini adalah bahwa teori ini tidak dapat menjelaskan berbagai macam tipe histologi
kanker ovarium dan perbedaan prognosis dari berbagai tipe kanker ovarium. 19
Secara histologis, epitel permukaan ovarium (mesotelium) tidak memiliki
kesamaan histologis dengan karsinoma serous, endometrioid, mucinous, clear cell
atau transisional cell.6 Selain itu, teori ini juga bertentangan dengan fakta bahwa
pada pasien sindroma ovarium polikistik yang mengalami penurunan siklus
ovulasi justru memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena kanker ovarium.3,7

2.1.4.2 Teori Two Pathway


Teori ini awalnya dicetuskan oleh Kurman dan Shih pada tahun 2004 yang
berusaha untuk mengintegrasikan temuan histologi, klinis dan genetik dari kanker
ovarium.3 Shih dan Kurman kemudian membagi kanker ovarium menjadi 2 tipe;
yaitu tipe I dan tipe II. Kanker ovarium tipe I terdiri dari low grade serous,
mucinous, endometrioid, clear cell, dan sel transisional. Sementara itu, kanker
ovarium tipe II terdiri atas high grade serous, undifferensiated dan
carcinosarcoma.19
Pada kanker ovarium tipe I, lesi prekursor diperkirakan berasal dari
ovarium. Kanker ovarium tipe I ini tumbuh dengan lambat, cenderung jinak,
biasanya pada saat terdiagnosis hanya mengenai ovarium, dan stabil secara
genetik.19 Tumor ovarium akan mengalami serangkaian perubahan morfologi
secara berkelanjutan dan menjadi kanker ovarium dengan melewati fase
intermediet (borderline). Patogenesis dari kanker ovarium tipe I adalah melalui
jalur tradisional, yakni kista inklusi epitel permukaan ovarium yang merangsang
proliferasi sel epitel dan pada akhirnya bertransformasi menjadi sel kanker .
13

Perubahan genetik yang paling sering ditemukan pada kanker ovarium tipe I
adalah mutasi KRAS dan BRAF, yang keduanya akan mengaktivasi jalur
onkogenik MAPK.3,6,7
Berbeda dari kanker ovarium tipe I, kanker ovarium tipe II diperkirakan
berasal di luar ovarium, yaitu dari tuba fallopi. Kanker ovarium tipe II cenderung
tumbuh lebih agresif, secara genetik tidak stabil, dan biasanya saat terdiagnosis
sudah dalam stadium lanjut. Sebagian besar dari kanker ovarium tipe II
mengalami mutasi TP53 (50-80%), juga overekspresi dari HER2/neu (10-20%)
dan AKT (12-18%). Hampir separuh dari kanker ovarium tipe II berhubungan
dengan mutasi gen BRCA1/2. Patogenesis kanker ovarium tipe II berasal dari tuba
fallopii, dimana kombinasi dari mutasi TP53 dan stressor lingkungan seperti
sitokin inflamasi dan reactive oxygen species akan menyebabkan sel epitel
sekretori pada tuba fallopii akan mengalami proses perubahan neoplastik.
Penelitian menunjukkan TP53 berhubungan dengan paritas yang rendah, sehingga
ovulasi tetap dianggap sebagai pencetus dari mutasi TP53.3,19
Teori two pathway dari Kurman dan Shih menggabungkan karakteristik
fenotip dan genotip dari kanker ovarium. Teori ini jelas lebih mampu menjelaskan
patogenesis kanker ovarium dibanding teori sebelumnya. Namun, teori ini masih
belum dapat menjelaskan bagaimana kanker ovarium tipe II yang bukan berasal
dari ovarium dapat menjadi kanker ovarium.19

Tabel 2.4 Perbedaan Karakteristik Kanker Ovarium Tipe I dan Tipe II.19

Tumor Tipe I Tumor Tipe II

Karakteristik Lambat Agresif

Saat Terdiagnosis Tingkat Awal Tingkat lanjutan

Angka Kelangsungan Hidup 5 tahun ± 55% ± 30%

Tipe Histological/Penanda
Endometrioid/ Endometriosis High Grade Serous Kemungkinan de novo,
Clear Cell/ Endometriosis dimulai pada epitel
14

Mucinous/ Cystadenoma mucinous, permukaan tuba ovary:


Endometriosis SCOUT P53 signature 
STIL/TILTSTIC
Teratoma, Tumor Brenner,dan Undifferentiated/ Atau stem sel hilum ovari
MBT ?
Karsinoma Serosum Grade Rendah/ Serous cystadenoma, Carcinosarcoma
Adenofibroma
Tumor Proliferasi Serosa ?
Atipikal (TPSA)
Kista Epitelial Mullerian
Transtitional Cell Carcinoma / Brenner Trumor

2.1.4.3 Teori Tuba Fallopi


Sebelumnya, karena teori yang dianut mempercayai kanker ovarium
berasal dari ovarium sendiri maka tidak banyak penelitian yang mencari lesi
prekursor kanker ovarium di tempat lain.6 Namun, Piet dkk pada tahun 2001
menemukan tingginya insiden displasia epitel pada tuba fallopi (50%) yang
menyerupai kanker ovarium tipe high grade serous yang disebut dengan tubal
intraepithelial carcinoma (TIC) pada wanita dengan mutasi gen BRCA1/2 yang
menjalani salfingoooforektomi profilaksis. Hal ini diperkuat dengan penelitian-
penelitian lain yang mendapatkan hasil serupa.3,6 Penelitian lain yang dilakukan
oleh Kindelberger dkk tanpa memandang status BRCA, juga mendapatkan hasil
yang serupa pada kanker ovarium dan kanker peritoneum tipe high grade
serous.3,6 Hal ini cukup mengejutkan, dimana penelitian sebelumnya yang
difokuskan pada ovarium tidak mendapatkan hasil yang sama. Studi yang meneliti
ovarium kontralateral dari ovarium yang terkena kanker juga mendapatkan hasil
yang normal atau mengalami perubahan morfologi namun tidak menyerupai tipe
high grade serous. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa tuba fallopi kemungkinan merupakan lokasi dimana terjadinya lesi
prekursor kanker ovarium dan pada akhirnya menyebar ke ovarium yang
lokasinya berdekatan.6,7
Sesuai dengan karakteristik kanker ovarium tipe II, mutasi TP53 juga
didapatkan pada TIC. Pada tuba fallopi yang normal, melalui pemeriksaan
15

imunohistokimia dapat ditemukan adanya sel sekretori yang mengekspresikan P53


yang identik dengan mutasi TP53 pada kanker ovarium tipe II. Namun tidak
semua yang didapatkan dengan P53 akan bermutasi menjadi TP53 dan menjadi
kanker. P53 ini diduga merupakan respon yang menunjukkan adanya kerusakan
DNA pada sel epitel tuba akibat paparan sitokin dan oksidan. 50% dari penemuan
P53 ini akan diikuti dengan terjadinya mutasi TP53 yang dan pada akhirnya
menjadi kanker.3,6,7,16
Hampir seluruh TIC (70-90%) didapatkan pada daerah fimbria, yang
merupakan bagian distal dari tuba falllopi. Meskipun pada awalnya dirasa
kontroversial, namun teori ini mulai dapat diterima oleh para ahli. Fimbria yang
berlokasi sangat dekat dengan ovarium dianggap terpapar dengan stressor
lingkungan yang sama dengan ovarium. Selain itu, fimbria juga merupakan
daerah yang kaya dengan pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya
metastasis ke ovarium melalui pembuluh darah.6

Gambar 2.4 Proses Terjadinya TIC.6

2.1.5 Gejala Klinis Kanker Ovarium


Kanker ovarium seringkali tidak menimbulkan gejala yang spesifik,
terutama pada stadium dini. Sehingga kanker ovarium sering disebut dengan
16

“silent killer”. Saat diagnosis ditegakkan, 79% dari penderita kanker ovarium
sudah mencapai stadium lanjut, dan gejala yang ditimbulkan biasanya
berhubungan dengan organ-organ lain yang terkena.13,20
Gejala-gejala tersering yang muncul pada kanker ovarium diantaranya
adalah distensi abdomen, nyeri abdomen, nyeri pelvis, peningkatan frekuensi
berkemih, konstipasi atau diare, perdarahan pervaginam, penurunan berat badan
dan merasa lemas. Gejala-gejala tersebut di atas tidaklah spesifik untuk kanker
ovarium melainkan sering juga ditemukan pada penyakit lain seperti gangguan
saluran pencernaan, sehingga sangat sulit mendiagnosis kanker ovarium dengan
hanya menilai keluhan klinis pasien. Namun, sebagai praktisi klinis kita harus
lebih waspada jika menemukan wanita dengan keluhan seperti di atas yang
mungkin berhubungan dengan kanker ovarium.20
Pada pemeriksaan fisik, penemuan yang didapat juga seringkali tidak
spesifik. Pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada kanker ovarium adalah
adanya pembesaran abdomen yang kadang disertai dengan ascites. Jika
pembesaran abdomen cukup besar, dapat pula menimbulkan gejala dispneu.13

2.1.6 Diagnosis dan Stadium Kanker Ovarium


Diagnosis pasti kanker ovarium adalah dengan pemeriksaan histopatologi
yang dilakukan setelah dilakukan tindakan pembedahan. Kecurigaan terhadap
adanya kanker ovarium yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang. Alat diagnosis terbaik yang saat
ini dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis kanker ovarium
adalah melalui ultrasonografi dan pemeriksaan serum penanda tumor.3,21
Pemeriksaan ultrasonografi merupakaan pemeriksaan non invasif untuk
menilai bentuk dan ukuran ovarium, namun ultrasonografi hanya mampu
mendeteksi tumor yang menyebabkan perubahan besar ovarium yang signifikan.
Hal ini tidaklah menguntungkan, dimana pada kanker ovarium tipe serosa dapat
menyebar ke daerah pelvis tanpa didahului dengan adanya pembesaran dari
ovarium. Pemeriksaan ultrasonografi juga sering memberikan hasil positif palsu
17

karena sulit untuk membedakan jenis tumor yang jinak atau ganas hanya dengan
menilag gambaran ultrasonografi saja.3
Pemeriksaan serum penanda tumor merupakan pemeriksaan yang mudah
dilakukan, dan minimal invasif. Penanda tumor yang paling sering digunakan
adalah CA-125, namun CA-125 belum dianggap sebagai marker yang ideal
karena rendahnya spesitifitas akibat tingginya angka positif palsu. Saat ini
dipertimbangkan untuk menggunakan kombinasi penanda tumor untuk
mendapatkan hasil yang lebih memuaskan dalam diagnosis kanker ovarium.
Kombinasi yang paling sering digunakan saat ini adalah antara CA-125 dan HE4
yang secara sensitifitas dan spesitifitas lebih baik dibandingkan dengan penilaian
kadar CA-125 saja, namun belum juga didapat hasil yang memuaskan .3,21
Saat ini juga telah dikembangkan perhitungan untuk menilai kemungkinan
keganasan dari tumor ovarium, yakni dengan Risk of Malignancy Index (RMI).
RMI terdiri dari status menopause, CA-125 dan USG. Penghitungan ini tentu
memiliki sensitifitas yang lebih tinggi dibanding hanya dengan mengandalkan
kadar CA-125 saja dengan sensitifitas sebesar 85% dan spesitifitas sebesar 97 %.
RMI memiliki potensi untuk mengurangi jumlah prosedur operasi pada tumor
yang jinak dibandingkan dengan hanya menggunakan CA-125 sebagai marker.
akibat tingginya positif palsu pada CA-125.21

Tabel 2.5 Penghitungan Risk of Malignancy Index.18

RMI = M x U x C

Dimana :
M : Status menopause ( 1 = premenopause; 3 = postmenopause)
U : Ultrasonografi ( 0= Normal; 1 untuk masing-masing penemuan : kista
multilokuler, kista bilateral, ascites, metastasis ; skor maksimal = 3)
C : Kadar CA-125
18

RMI > 200 menunjukkan kemungkinan besar kanker ovarium.

Stadium kanker ovarium yang dianut saat ini adalah menurut FIGO yang
menilai seberapa jauh penyebaran dari kanker ovarium tersebut. Secara umun,
kanker ovarium stadium I adalah dimana tumor hanya terbatas pada ovarium.
Semantara stadium II-IV telah terdapat penyebaran baik ke organ sekitar maupun
sampai organ yang lokasinya jauh.18 Stadium II menunjukkan penyebaran pada
rongga pelvis, Stadium III menunjukkan penyebaran ke peritoneum dan atau
kelenjar getah bening regional, dan Stadium IV menunjukkan penyebaran yang
lebih jauh dari peritoneum.3

Tabel 2.6 Kriteria Stadium Kanker Ovarium Menurut FIGO.18


Stadium Kriteria
I Pertumbuhan tumor terbatas pada ovarium

Ia Pertumbuhan tumor terbatas pada satu ovarium, cairan


ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh
Ib Pertumbuhan tumor terbatas pada kedua ovarium, cairan
ascites tidak mengandung sel-sel ganas, tidak ada
pertumbuhan tumor pada permukaan luar tumor, kapsul
utuh.
Ic Tumor pada stadium Ia atau Ib tetapi dengan pertumbuhan
tumor pada permukaan luar dari satu atau kedua atau kapsul
pecah atau cairan ascites atau cairan bilasan peritoneum
mengandung sel-sel ganas

II Pertumbuhan tumor pada satu atau kedua ovarium dengan


perluasan ke rongga pelvis
19

IIa Penyebaran dan atau metastasis ke uterus dan atau tuba


fallopi
IIb Penyebaran tumor ke organ pelvis lainnya
IIc Tumor dengan stadium IIa atau IIb, tetapi dengan
pertumbuhan tumor pada pemukaan luar dari satu atau
kedua ovarium atau kapsul pecah atau cairan ascites atau
cairan bilasan peritoneum mengandung sel-sel ganas
III Tumor melibatkan satu atau kedua ovarium dengan
implantasi di luar pelvis dan atau terdapat pembesaran
kelenjar limfe inguinal atau retroperitoneal. Metastasis pada
pemukaan liver sesuai dengan stadium III. Tumor terbatas
pada pelvis, tetapi pemeriksaan histologi menunjukkan
penyebaran tumor ke usus halus atau omentum
IIIa Tumor secara makroskopis terbatas pada pelvis dan tidak
ada pembesaran kelenjar limfe, tetapi pemeriksaan histologi
menunjukkan penyebaran ke permukaan peritoneum
abdominal
IIIb Tumor pada satu atau kedua ovarium dengan penyebaran di
permukaan peritoneum berdiameter tidak lebih dari 2 cm
dan didukung oleh hasil pemeriksaan histologi. Tidak ada
penyebaran ke kelenjar limfe
IIIc Terdapat penyebaran pada peritoneum abdominal dengan
diameter lebih dari 2 cm atau terdapat penyebaran ke
kelenjar limfe retroperitoneal atau inguinal atau keduanya
IV Pertumbuhan tumor meliputi satu atau kedua ovarium
dengan metastase jauh. Bila terdapat efusi pleura, harus
ditemukan sel-sel ganas pada pemeriksaan sitologi.
Metastasis pada parenkim liver sesuai dengan stadium IV
20

Stadium kanker ovarium sangat berhubungan dengan usia harapan hidup


pasien. Secara umum, kanker ovarium merupakan kanker ginekologi dengan
prognosis yang buruk dengan angka harapan hidup 5 tahun sebesar 35%. Hal ini
diakibatkan sedikitnya pasien kanker ovarium yang terdiagnosis pada stadium
dini. Padahal, jika ditemukan pada stadium I-II angka harapan hidup 5 tahun
berkisar antara 80-90%. Hal ini jauh berbeda dengan angka harapan hidup 5 tahun
pada stadium III-IV yang hanya sebesar 25%.13,20

Tabel 2.7 Stadium Kanker Ovarium dan Angka Harapan Hidup 5 Tahun.13

Stadium Distribusi (%) Angka Harapan Hidup


5 Tahun (%)
I 20 90
II 10-15 80
III 45 20-30
IV 15 <5

2.2 Pencegahan Kanker Ovarium


Berdasarkan data-data epidemiologi, pencegahan primer kanker ovarium
hanya dilakukan dengan memodifikasi faktor risiko dan faktor proteksi kanker
ovarium. Sebagai contoh, penggunaan kontrasepsi oral yang bila digunakan dalam
jangka waktu minimal 5 tahun akan mengurangi risiko terjadinya kanker ovarium
sebesar 50%. Selain itu, paritas juga memiliki efek proteksi terhadap kanker
ovarium dimana terdapat penurunan risiko terjadinya kanker ovarium sebesar
50% dibandingan dengan nuliparitas. Namun, modifikasi tersebut belum dapat
berperan banyak dalam penurunan angka kejadian kanker ovarium. Selain itu
penggunaan kontrasepsi oral juga dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker
payudara dan tromboemboli.6,8
Upaya pencegahan lainnya yang saat ini tengah dikembangkan adalah
dengan melakukan upaya pembedahan profilaksis. Seiring dengan
berkembangnya teori patogenesis kanker ovarium, dimana kanker ovarium
dianggap berasal dari tuba fallopii, saat ini muncul upaya pencegahan kanker
21

ovarium dengan pembedahan, baik dengan salfingektomi atau


salfingoooforektomi.6
Awalnya pembedahan profilaksis ini hanya ditujukan bagi wanita yang
berisiko tinggi terkena kanker ovarium, yakni wanita dengan mutasi gen BRCA
1/2. Namun dalam perkembangannya, ternyata tidak semua kanker ovarium
terkait dengan faktor genetik, sehingga upaya pembedahan profilaksis tersebut
juga dianggap berguna bagi wanita pada populasi umum.8

2.2.1 Salfingektomi Profilaksis Sebagai Pencegahan Kanker Ovarium


Tuba fallopii, yang saat ini dianggap sebagai lokasi awal dari terjadinya
kanker ovarium menyebabkan bergesernya tren pembedahan profilaksis dari
salfingoooforektomi menjadi salfingektomi. Banyaknya efek samping yang
ditimbulkan akibat ooforektomi, terutama pada wanita muda menjadi bahan
pertimbangan untuk dilakukannya salfingektomi.7,22
Untuk menurunkan angka kejadian kanker ovarium sebesar 40%,
diperkirakan harus dilakukan 100 tindakan salfingektomi profilaksis untuk
mencegah 1 kasus kanker ovarium.23 Sampai saat ini, salfingektomi profilaksis
merupakan upaya pencegahan terjadinya kanker ovarium yang dianggap paling
efektif.9 Pada tahun 2010, The British Columbia Ovarian Cancer Research Group
(OVCARE) mulai melakukan kampanye untuk melakukan salfingektomi
profilaksis pada saat dilakukan histerektomi atau prosedur sterilisasi.
Diperkirakan, hal ini akan dapat menurunkan angka kejadian kanker ovarium
sebesar 20-40% dalam 20 tahun ke depan.8
Salfingektomi merupakan suatu prosedur yang sederhana. Salfingektomi
dapat dilakukan bersamaan dengan atau tanpa histerektomi, misalnya untuk tujuan
sterilisasi. Namun, salfingektomi juga dapat memiliki efek samping yakni
terganggunya aliran darah ke ovarium sehingga mengganggu fungsi ovarium. Hal
ini jelas sangat mengganggu terutama pada pasien usia muda.8,9,23
Salfingektomi profilaksis jelas merupakan suatu kemajuan dalam upaya
pencegahan kanker ovarium, diharapkan prosedur ini akan mampu menurunkan
angka kejadian kanker ovarium. Namun teori patogenesis yang menganggap
22

kanker ovarium berasal dari tuba fallopii mungkin bukanlah satu-satunya rute
yang dapat menyebabkan terjadinya kanker ovarium. Karena sampai saat ini
belum ditemukan patogenesis pasti dari kanker ovarium, sehingga salfingektomi
profilaksis mungkin tidak dapat mencegah terjadinya seluruh kanker ovarium.24

2.2.2 Salfingektomi Profilaksis pada Mutasi gen BRCA1/2


Wanita yang berisiko tinggi terkena kanker ovarium dengan memiliki
mutasi gen BRCA1/2 disarankan untuk menjalani pembedahan profilaksis untuk
mencegah terjadinya kanker ovarium. Prosedur pembedahan yang disarankan
adalah salfingooforektomi, setelah dianggap memiliki jumlah anak yang cukup.24
Kapan waktu yang tepat untuk melakukan salfingoooforektomi pada wanita
dengan mutasi gen BRCA1/2 masih menjadi kontroversi. Di satu sisi prosedur
tersebut harus dilakukan sesegera mungkin mengingat potensi menjadi kanker
ovarium, namun di sisi lain efek samping akan lebih bermakna pada wanita usia
muda. Salfingoooforektomi akan lebih efektif jika dilakukan sebelum terjadinya
menopause, namun pada wanita muda hal ini akan mengakibatkan menopause
dini.7,24 Beberapa sumber mengajurkan untuk dilakukan tindakan
salfingoooforektomi profilaksis pada usia 40 tahun atau saat sudah memiliki
jumlah anak yang cukup.15,22
Salfingoooforektomi profilaksis bukanlah suatu prosedur yang tanpa risiko.
Ooforektomi bilateral, terutama pada wanita usia muda dapat menyebabkan
mortalitas yang berhubungan dengan peningkatan risiko kardiovaskular. Selain itu
juga dapat menyebabkan morbiditas seperti peningkatan risiko parkinsonism,
demensia, dan osteoporosis. 7,8,22,24,25
Pilihan pembedahan lain untuk menghindari efek samping dari ooforektomi
adalah dengan salfingektomi. Namun, dengan mempertimbangkan kemungkinan
ovarium sebagai penyebab kanker ovarium, ooforektomi dapat tetap dilakukan,
hanya ditunda waktunya sampai mendekati waktu terjadinya menopause.7,22,24
Dengan adanya 3 pilihan bagi wanita dengan mutasi gen BRCA1/2 untuk
prosedur pembedahan profilaksis, yakni (1) salfingooforektomi profilaksis, (2)
salfingektomi profilaksis, dan (3) salfingektomi profilaksis dengan penundaan
ooforektomi maka sebuah simulasi yang dinamakan Markov Monte Carlo dibuat
23

untuk mempertimbangkan keuntungan masing-masing tindakan. Hasil yang


didapat adalah bahwa salfingoooforektomi profilaksis merupakan strategi paling
efektif untuk pencegahan kanker ovarium, namun salfingektomi dengan
penundaan ooforektomi merupakan tindakan dengan kualitas hidup yang paling
baik.22,24

2.2.3 Salfingektomi Profilaksis pada Populasi umum


Bukti-bukti penelitian yang mendukung teori tuba fallopii sebagai penyebab
kanker ovarium membuat Salvador dkk mencetuskan untuk mengintegrasikan
prosedur salfingektomi pada histerektomi yang ditujukan pada kasus-kasus
ginekologi yang bersifat jinak. Hal ini menyebabkan peningkatan jumlah
salfingektomi yang dilakukan bersamaan dengan histerektomi sebanyak 20 kali
lipat di Kanada. Selain itu, untuk metode sterilisasi pada wanita juga dianjurkan
untuk dilakukan salfingektomi karena memiliki efek proteksi terhadap kanker
ovarium dibandingkan dengan ligasi tuba.24,25
Histerektomi merupakan prosedur ginekologi yang paling sering dilakukan.
Di Amerika Serikat, setiap tahunnya diperkirakan dilakukan > 600.000
histerektomi, dan 55% diantaranya disertai dengan salfingooforektomi bilateral. 7
Histerektomi yang dilakukan tanpa disertai dengan salfingektomi berisiko 7,8%
mengalami gangguan yang pada akhirnya memerlukan tindakan salfingektomi.
Gangguan yang sering ditemukan adalah hidrosalfing, infeksi, tumor jinak, dan
kanker ovarium.8,22,26
Selain itu, tambahan prosedur salfingektomi pada saat melakukan
histerektomi tidak menambah risiko komplikasi yang terjadi serta hanya sedikit
menambah durasi operasi.24 Salfingektomi jika dilakukan pada saat histerektomi
hanya menambah durasi operasi sekitar 16 menit, sementara salfingektomi
sebagai metode pilihan untuk streilisasi hanya menambah durasi operasi sebesar
10 menit. Tidak didapatkan peningkatan risiko untuk kebutuhan transfusi darah,
perawatan di rumah sakit yang memanjang, serta perawatan ulangan pasca
operasi. 8,22,28
24

Saat ini, sebagian besar klinisi telah memahami keuntungan dilakukannya


salfingektomi pada saat histerektomi, sehingga klinisi akan menjelaskan kepada
pasien dan pasien dapat memilih apakah akan dilakukan tindakan salfingektomi
pada saat dilakukannya histerektomi.23Di Kanada, sebuah survey terhadap dokter
spesialis obstetri dan ginekologi menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka
(68%) telah mengetahui manfaat dari salfingektomi profilaksis dan telah atau akan
menambahkan prosedur tersebut pada saat melakukan histerektomi.25
Keuntungan dari salfingektomi profilaksis yang dilakukan adalah tidak
terganggunya fungsi dari ovarium. Morelli, dkk dalam penelitiannya tidak
menemukan perbedaan yang signifikan dari kadar Anti-Mullerian Hormone
(AMH), Follicle Stimulating Hormone (FSH), jumlah follikel antral, dan diameter
rata-rata ovarium dari pemeriksaan sebelum dilaukan operasi dan 3 bulan setelah
operasi.8,9,22 Penelitian lain dari Finley, dkk juga mendapati kesimpulan yang
serupa. Namun, tindakan histerektomi sendiri dianggap dapat mempercepat
terjadinya menopause. Dalam 5 tahun setelah dilakukan histerektomi, 20% dari
wanita mengalami menopause atau sekitar 4 tahun lebih cepat dibanding rata-rata
wanita yang tidak menjalani histerektomi. Hal ini disebabkan karena histerektomi
mungkin dapat mengganggu aliran darah ke ovarium yang pada akhirnya
mempengaruhi fungsi dari ovarium.8,22,26,28
The American College of Obstetrics and Gynecology telah mengeluarkan
pendapatnya terkait dengan salfingektomi profilaksis sebaga upaya pencegahan
kanker ovarium, sebagai berikut:
1. Dokter dapat mendiskusikan dengan pasien yang akan menjalani
histerektomi tentang adanya keuntungan dari dilakukannya prosedur
tambahan salfingektomi yang dapat berfungsi sebagai upaya pencegahan
kanker ovarium.
2. Pada wanita yang akan menjalani upaya sterilisasi, dokter dapat
menjelaskan bahwa salfingektomi juga merupakan salah satu metode
sterilisasi yang efektif, selain merupakan upaya pencegahan kanker
ovarium.
25

3. Salfingektomi profilaksis dapat memberikan kesempatan bagi dokter


untuk mencegah terjadinya kanker ovarium di masa depan.
4. Validitas dari salfingektomi profilaksis untuk menurunkan insidens kanker
ovarium perlu didukung dengan penelitian lebih lanjut.27
Terlepas dari semua bukti yang mendukung peranan salfingektomi
profilaksis untuk mencegah kanker ovarium, sampai saat ini salfingektomi
profilaksis belum menjadi guideline untuk pencegahan kanker ovarium. Hal ini
memerlukan penelitian yang lebih banyak dengan skala populasi yang lebih
besar.8,22,24

Anda mungkin juga menyukai