Anda di halaman 1dari 14

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERKINI INKONTINENSIA URIN PADA WANITA

Dr. Budi Iman Santoso, SpOG(K)

ABSTRAK

Diagnosis dan tatalaksana inkontinensia urin harus dilakukan dengan hati-hati dan
menyeluruh. Meski penyebabnya tampak jelas, tetapi inkontinensia urin juga dapat terjadi akibat
kegagalan mekanisme sfingter , overaktivitas kandung kemih maupun otot detrusor. Diagnosis
inkontinensia urin tanpa komplikasi dapat dengan mudah ditegakkan dalam praktek sehari-hari.
Pemeriksaan urodinamik dan sistoskopi dapat bermanfaat pada kasus yang kompleks, resisten
terhadap pengobatan maupun berulang. Secara garis besar, inkontinensia urin dapat dibagi
atas inkontinensia urin tipe stress, tipe urgensi atau tipe campuran. Terapi inkontinensia urin
tipe stress difokuskan pada perbaikan fungsi kontinensia pada uretra, khususnya pada fungsi
otot rangka di uretra. Paradigma pengobatan terkini untuk inkontinensia urin tipe urgensi
dipusatkan pada terapi farmakologik, yakni memperbaiki overaktivitas otot detrusor dengan
obat-obat antimuskarinik. Terapi lainnya yang dimaksudkan untuk memperbaiki fungsi motorik
dan sensorik saraf dapat dipakai untuk kasus-kasus yang membandel. Terapi inkontinensia urin
tipe campuran perlu mempertimbangkan setiap komponen yang terdapat di dalamnya. Dengan
diagnosis yang tepat, maka terapi yang efektif pun dapat diberikan untuk sebagian besar
pasien.

Kata Kunci: Inkontinensia urin, tipe stress, tipe urgensi, tipe campuran

PENDAHULUAN

Inkontinensia urin merupakan masalah yang biasa dihadapi dan mempengaruhi hampir
dua pertiga populasi wanita. Prevalensi yang sebenarnya bisa saja lebih tinggi, karena pasien
biasanya merasa malu untuk mengungkapkan masalahnya kepada dokter; diperkirakan hanya
1 dari 4 wanita yang berusaha menyampaikan keluhannya pada dokter dan berusaha
mengobatinya.1 Diperkirakan, total biaya kesehatan tahunan untuk inkontinensia urin di Amerika
Serikat sebesar 19,5 trilyun dollar AS.2 Selain mempengaruhi kualitas hidup, inkontinensia urin
juga menyebabkan sejumlah komplikasi seperti retensi urin, infeksi kronik saluran kemih bagian
bawah dan refluks vesikouretra, yang semuanya dapat mempengaruhi kesehatan secara
umum. Artikel ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang penuntun diagnosis
dan terapi terkini bagi para dokter untuk menangani inkontinensia urin pada wanita.

1|Page
DEFINISI

Secara umum, inkontinensia urin berarti keluarnya urin tanpa disadari, menurut laporan
seorang pasien.3 Menurut International Continence Society, batasan inkontinensia urin adalah
keluhan berkemih tanpa disadari (involunter) yang menyebabkan masalah sosial dan higiene.
IU dapat terjadi akibat gangguan fungsi saluran kemih bawah yang dipicu oleh sejumlah
penyakit sehingga menyebabkan pasien berkemih pada situasi yang berbeda.4,5,6 Sedangkan
overaktif kandung kemih (OKK) atau overactive bladder syndrome (OAB) didefinisikan sebagai
urgensi dengan atau tanpa IU urgensi dan biasanya disertai oleh frekuensi dan nokturia
sehingga IU urgensi disebut sebagai OAB basah. (lihat gambar 1). OAB yang terjadi tanpa IU
urgensi disebut sebagai OAB kering. Kombinasi gejala ini menyokong gambaran urodinamik
aktivitas detrusor yang berlebih atau sebagai dampak disfungsi uretrovesika.4

Gambar. 1. Spektrum definisi OAB. SUI: inkontinensia urin stress. UUI: inkontinensia urin urgensi.
Mixed: inkontinensia urin tipe campuran

Berdasarkan sifat reversibilitasnya, IU dapat dibagi menjadi IU transien (IU akut) dan
IU permanen (IU kronik) atau seringkali juga disebut sebagai established incontinence.
IU transien adalah inkontinensia urin yang terjadi secara mendadak dan berlangsung
sementara akibat kondisi yang bersifat akut (infeksi, penggunaan obat-obat baru, dsb), yang
bila dibiarkan tidak diobati, maka akan menjadi IU persisten.7-10

Selain itu, IU juga dapat digolongkan menjadi IU urgensi, IU tipe stress, IU overflow,
serta overactive bladder. Ada pula yang menggolongkan IU sebagai IU fungsional dan IU tipe
campuran. Pengertian dan definisi singkat dari tipe-tipe IU dapat dilihat pada tabel 1.

2|Page
Tabel 1. Tipe-tipe Inkontinensia Urin

IU urgensi Kebocoran urin dalam jumlah besar yang tidak terkontrol (volume sedang
hingga banyak) dan terjadi tidak terduga, termasuk saat tidur.

IU tipe stress Kebocoran urin dalam jumlah sedikit saat melakukan gerakan fisik (batuk,
bersin, berolahraga)

Overactive bladder Rasa urgensi dan frekuensi untuk berkemih, dengan atau tanpa inkontinensia
urin tipe urgensi

Overflow incontinence Kebocoran urin dalam jumlah kecil akibat kandung kemih yang terlalu penuh

IU fungsional Kebocoran urin terjadi akibat gangguan kognitif atau gangguan fisik (misalnya
akibat demensia atau stroke) atau hambatan lingkungan yang menyebabkan
turunnya pengendalian berkemih.

IU tipe campuran (mixed incontinence) Merupakan kombinasi dari setiap jenis IU di atas. Kombinasi yang paling umum
adalah tipe campuran inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress
dan tipe fungsional.2

FAKTOR RISIKO

Beberapa kondisi penyakit dan obat-obatan yang dipakai juga dapat berkaitan dengan
inkontinensia urin. Kenalilah faktor-faktor risiko yang ada agar dokter dapat segera melakukan
pemeriksaan awal untuk skrining.

Sejumlah kondisi tertentu dalam diri pasien dapat menjadi faktor risiko inkontinensia
urin, yaitu: usia lanjut, kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan per vaginam dengan trauma
persalinan (misalnya persalinan dengan alat seperti forseps dan vakum dan robekan perineum),
jumlah anak yang banyak (lebih dari tiga), riwayat pembedahan panggul dan abdomen,
obesitas, aktivitas fisik yang berat dan riwayat mengompol pada masa kanak-kanak.

Selain itu, penyakit dan penggunaan obat-obatan tertentu juga dapat mencetuskan
terjadinya inkontinensia urin (lihat tabel 2 dan tabel 3).

Tabel 2. Kondisi medis yang dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin


Gangguan fungsi neuromuskular atau integritas jaringan
Paritas dan persalinan per vaginam
Pembedahan panggul sebelumnya
Gangguan fungsi saraf sensorik dan motorik
Diabetes melitus
Penyakit Neurologik
Parkinson
Cerebrovascular accident
Multiple sclerosis
Trauma medula spinalis
Defek kongenital

Stressor abnormal (volume, tekanan)


Gagal jantung kongestif
3|Page
Penyakit paru obstruktif akut
Gangguan kognisi dan kegagalan kontrol kandung kemih volunter
Demensia
Penyakit psikiatrik

Tabel 3. Obat-obat yang dapat mencetuskan inkontinensia urin


Diuretik
Obat yang menurunkan tonus uretra
Alfa-bloker
Obat yang mencetuskan retensi urin dan inkontinensia tipe overflow
Imipramin, antipsikotik, obat parkinson, antihistamin, analgesik opioid, alfa simpatomimetik, beta-
simpatomimetik dan antagonis kalsium
Obat dengan mekanisme sedasi
Analgesik opioid, psikotropika, antihistamin, hipnotik dan anxiolitik

DIAGNOSIS

Evaluasi dasar pada inkontinensia urin meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti, yang bertujuan untuk menegakkan diagnosis kerja dan mengenali faktor-faktor perilaku
dan riwayat pengobatan sebelumnya yang mungkin dapat memperparah inkontinensia urin

ANAMNESIS

Anamnesis terdiri atas penilaian tentang kondisi inkontinensia yang dialami, dampaknya
dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Berdasarkan gejala dan tanda yang diderita
pasien, dokter dapat membedakan jenis inkontinensia urin yang terjadi (lihat tabel 4).
Penggunaan Kuesioner untuk Diagnosis Inkontinensia Urin (KDIU), seperti yang terlihat pada
gambar 2, juga akan sangat membantu

Tabel 4. Tipe-tipe Inkontinensia Urin


Tipe Gejala Tanda
Stress kebocoran urin saat batuk, bersin, kebocoran urin dengan
melompat, aktivitas fisik peningkatan tekanan intra
abdomen (misalnya batuk)

Urgensi terjadi kebocoran urin disertai rasa kebocoran urin pada saat inhibisi
urgensi pada saat menuju kamar kontraksi otot detrusor hilang
mandi

Campuran kebocoran urin tipe stress dan kebocoran urin saat peningktan
disertai gejala urgensi tekanan intra-abdomen dan saat
kotnraksi detrusor hilang

4|Page
Gambar 2. Kuesioner untuk Diagnosis Inkontinensia Urin

Setelah jenis inkontinensia urin dapat ditentukan, maka hal berikut ini perlu dilakukan:
Perkirakan jumlah hilangnya urin rata-rata dalam satu hari (jumlah pakaian dalam
yang diganti setiap hari, perlunya mengenakan pembalut di luar periode menstruasi,
jenis dan jumlah pembalut yang dipakai setiap harinya);
Nilailah seberapa besar gangguan yang ditimbulkan oleh inkontinensia urin tersebut
bagi pasien (membatasinya dari aktivitas sosial, olah raga, dsb. Kecemasan bahwa
gejala inkontinensia tersebut akan memburuk). Untuk menilai pengaruh inkontinensia
urin terhadap kualitas hidup, gunakanlah kuesioner kualitas hidup seperti Contilife dan
Ditrovie;
Cantumkanlah kapan dimulainya gejala, khususnya saat terjadi urgensi (seberapa
sering hal itu terjadi, dan apakah ada kejadian mengompol saat masa kanak-kanak
dulu);
Tanyakan riwayat obstetri, ginekologi dan pembedahan sebelumnya.

5|Page
Cantumkan pemeriksaan maupun pengobatan yang pernah dilakukan seelumnya untuk
mengobati inkontinensia;
Minta pasien untuk melengkapi catatan kegiatan harian berkemih (voiding diary)
seperti yang terlihat pada gambar 3. Voiding diary akan membantu pasien untuk
memperkirakan frekuensi inkontinensia tiap episode, dan situasi mengapa gejala
tersebut timbul, serta membuat pasien sadar akan gejala tersebut. Buku harian itu
sebaiknya dilengkapi pasien dalam waktu 2 sampai 3 hari, tidak perlu berurutan
(misalnya, satu saat hari kerja dan yang lainnya pada saat akhir pekan).

Gambar 3. Contoh catatan harian kegiatan berkemih (urinary diary)

Setelah itu, nilailah kondisi yang dapat mencetuskan atau memperburuk inkontinenia
urin yang terjadi dan kaitkan dengan faktor risiko yang mungkin ada pada pasien, misalnya:

Masalah-masalah saat berkemih, misalnya sering buang air kecil, disuria, hematuria
(tumor saluran kemih), rasa terbakar saat kencing (infeksi saluran kemih)
Poliuria (diabetes, hiperkalsemia), nokturia (edema disebabkan karena gagal jantung
kongestif);
Iritasi lokal atau nyeri saat berhubungan seks (vaginitis atrofi)
Masalah pencernaan (konstipasi atau bahkan impaksi feses)
Gangguan persarafan, misalnya disestesia, disfungsi sfingter ani
Masalah psikis seperti kebingungan, depresi, dan gangguan kognitif
Mobilitas yang menurun

6|Page
Pemeriksaan Fisik
Untuk menilai kondisi pasien, maka dokter sebaiknya melakukan pemeriksaan
diagnostik dasar dan lanjutan.
Pemeriksaan diagnostik dasar meliputi:
Pemeriksaan saluran kemih dan kelamin. Pasien berbaring terlentang, dengan
kondisi kandung kemih separuh penuh. Periksalah kemungkinan adanya prolaps organ
panggul atau distensi kandung kemih. Pemeriksaan colok vagina dapat menilai kualitas
dasar panggul dan kekuatan otot perineum
Uji tekan batuk (cough stress test) untuk memeriksa adanya kebocoran urin.
Pemeriksaan ini dapat memastikan diagnosis inkontinensia urin tipe stress. Uji ini
sebaiknya dilakukan pada saat pasien berdiri dengan kondisi kandung kemih penuh
agar dapat memaksimalkan kemungkinan terjadinya episode inkontinensia urin; pasien
berdiri dan berusaha untuk batuk, sedangkan dokter mengamati kemungkinan
kebocoran urin yang terjadi pada saat batuk (lihat gambar 4).
Pemeriksaan sensitivitas perineum hanya bila dicurigai terdapat kelainan saraf

Gambar 4. Uji Tekan Batuk (Cough Stress Test)

7|Page
Pemeriksaan volume sisa urin. Volume sisa urin diukur dalam waktu 10-15 menit
pascakemih dengan melakukan kateterisasi sederhana atau dengan melakukan
pemindaian kandung kemih (bladder scan). Pada inkontinensia urin tipe stress,
pemeriksaan ini akan dapat menyingkirkan kemungkinan retensi urin pada pasien yang
dicurigai mengalami retensio, yakni pada wanita dengan gejala neurologis atau pada
pasien berusia lanjut dan pemeriksaan ini selalu dilakukan sebelum memberikan terapi
pembedahan. Pada inkontinensia urin tipe urgensi, pemeriksaan ini hanya dilakukan
sebelum memberikan obat antikolinergik dan hanya disarankan juga untuk pasien
dengan kemungkinan retensio urin akibat gangguan saraf atau usia lanjut.
Urinalisis. Para klinisi juga perlu mengirimkan pasien untuk pemeriksaan urinalisis
sebagai skrining faktor intrinsik kandung kemih yang dapat menyebabkan terjadinya
gejala inkontinensia urin, misalnya infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini biasanya
dilakukan sebelum sistoskopi atau pemeriksaan urodinamik.

Pemeriksaan Diagnostik Lanjutan

Pemeriksaan berikut ini biasanya dicadangkan untuk situasi tertentu, yakni saat diagnosis tidak
jelas, terapi konservatif gagal atau bila direncanakan terapi pembedahan.
Pemeriksaan berat lampin. Pemeriksaan berat lampin urin (pad weights) dapat
bermanfaat ketika diagnosis inkontinensia tidak dapat ditegakkan secara obyektif di
kamar praktek atau ketika gejala yang dilaporkan pasien tampaknya lebih berat daripada
tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik atau pemeriksaan urodinamik. Pasien
membungkus lampin urin yang telah dipakainya selama 1 hari penuh dengan kantung
plastik kedap udara, dan kemudian beratnya ditimbang di kamar praktek dokter. Cara ini
dipakai untuk mengukur banyaknya jumlah urin yang bocor.
Q-tip test. Pemeriksaan diagnostik ini hanya bermanfaat untuk menentukan terapi
bedah yang terbaik dalam tatalaksana Inkontinensia urin. Pasien berbaring terlentang,
dan alat Q-tip yang telah diberi pelumas dimasukkan ke dalam uretra, kemudian sudut
dasar panggul diukur pada saat pasien beristirahat dan pada saat pasien melakukan
kontraksi. Bila pada saat istirahat atau kontraksi ternyata sudut dasar panggul lebih dari
30 derajat, maka dapat ditegakkan diagnosis hipermobilitas uretra, dan terapi bedah
yang mampu menyokong uretra dapat dilakukan. Bila tidak ada hipermobilitas maka
terapi urethral bulking secara umum dapat dianggap sebagai terapi bedah terbaik

8|Page
Pemeriksaan urodinamik multi kanal . Pemeriksaan ini atau disebut juga dengan
multi-channel urodynamics merupakan pemeriksaan standar baku emas untuk
membedakan inkontinensia urin tipe stress dengan inkontinensia akibat aktivitas
kandung kemih yang berlebihan (urge incontinence). Pemeriksaan urodinamik
memungkinkan pemeriksaan tekanan di dalam uretra, kandung kemih dan abdomen
dalam waktu yang bersamaan. Pemeriksaan ini juga membantu dokumentasi derajat
keparahan stress inkontinensia urin, mengenali gangguan sfingter intrinsik sebagai
penyebab SUI dan membantu evaluasi fungsi berkemih. Pemeriksaan urodinamik paling
bermanfaat bagi wanita dengan gejala inkontinensia yang tidak jelas (tidak dapat
digolongkan menjadi inkontinensia urin tipe stress atau tipe urgensi), dan pada wanita
dengan gejala inkontinensia urin tipe campuran atau diduga mengalami gangguan
sfingter intrinsik, pasien yang direncanakan akan mendapat terapi bedah dan/atau
pasien yang dicurigai mengalami gangguan berkemih. Pengaruh pemeriksaan
urodinamik dalam memperbaiki hasil terapi masih belum jelas. Pemeriksaan urodinamik
biasanya hanya dianjurkan pada keadaan sebagai berikut:
Bila diagnosis jenis inkontinensia urin masih belum jelas
Bila inkontinensia urin tipe urgensi tidak membaik dengan pemberian antikolinergik
Bila pembedahan disarankan sebagai terapi terbaik inkontinensia urin tipe stres
Bila terdapat penyakit lainnya (misalnya masalah pengosongan kandung kemih,
masalah volume residu urin pasca kemih, riwayat pembedahan untuk inkontinenisa
urin sebelumnya, riwayat pembedahan pangggul, atau radiasi atau prolaps organ
panggul derajat 3 atau 4, dan gangguan saraf
Sistoskopi hanya disarankan bila dicurigai adanya tumor, misalnya pada pasien
dengan gejala infeksi atau hematuria berulang
Ultrasonografi saluran kemih bagian atas dan urografi intravena biasanya hanya
dilakukan pada kasus-kasus yang rumit dan kompleks

TATALAKSANA
Dalam menangani pasien dengan inkontinensia urin, para dokter perlu selalu mengingat
untuk memulai terapi dengan mengenali perilaku-perilaku pasien yang dapat mencetuskan atau
yang dapat memperparah gejala. Terapi non-bedah harus selalu dijelaskan terlebih dahulu dan
pasien sebaiknya mencoba terapi non-bodah atau terapi dengan menggunakan obat dulu
sebelum pasien dirujuk untuk terapi bedah.

9|Page
Tatalaksana Inkontinensia Urin Tipe Stress
Terapi terpilih untuk inkontinensia urin tipe stres adalah latihan otot dasar panggul, yang
kadang-kadang dikombinasikan dengan biofeedback atau stimulasi listrik. Latihan sejumlah
teknik tampaknya lebih efektif daripada teknik tunggal saja. Latihan dapat dilakukan oleh ahli
fisioterapi atau bidan. Latihan dasar panggul merupakan terapi lini pertama untuk inkontinensia
urin tipe stres. Bila latihan ini dalam 10-20 sesi tidak memberikan hasil, pertimbangkan terapi
lainnya.
Terapi untuk inkontinensia urin tipe stres meliputi modifikasi perilaku, terapi farmakologik
dan terapi bedah. Modifikasi perilaku untuk pasien inkontinensia urin tipe stres adalah: 1)
penggunaan inkontinensia pad; 2) batasi asupan cairan; 3) penurunan berat badan; 4) melatih
waktu berkemih yang teratur; 5) menekan batuk. Terapi farmakologik yang biasa digunakan
adalah Duloksetin, suatu inhibitor reuptake serotonin dan norepinefrin, yang biasanya dipakai
sebagai antidepresan. Meski demikian efektivitas obat ini masih terbatas, dan efek
sampingnya cukup signifikan. Penggunaan antikolinergik tidak direkomendasikan untuk
inkontinensia urin tipe stres. Sedangkan terapi bedah meliputi: 1) Suspensi retropubik dari
Burch dan Marshall-Marchetti Krantz; 2) Pubovaginal atau suburethral sling; 3)Mid-urethral
sling; 4) Urethral bulking agents.
Pasien perlu diinformasikan adanya berbagai jenis piluhan terapi dan mendiskusikan
bersama dengan dokter mengenai terapi yang paling dianggap baik.

Tatalaksana Inkontinensia Urin Tipe Urgensi


Terapi terpilih adalah latihan kandung kemih dengan didukung oleh terapi perilaku
(membatasi asupan cairan, melatih frekuensi berkemih, melakukan pencatatan harian
berkemih), latihan dasar panggul dan stimulasi listrik fungsional (untuk menghambat otot
detrusor).
Obat antikolinergik juga dapat dipakai sebagai terapi lini pertama atau bila terapi
perilaku telah gagal. Biasanya, obat diresepkan setelah diagnosis infeksi saluran kemih dan
retensi urin dapat disingkirkan; atau bila pasien tidak mempunyai kontraindikasi terhadap obat
antikolinergik maupun tidak menjalani terapi antikolinesterase. Terapi antikolinergik dapat
dikombinasikan dengan terapi perilaku.

Antikolinergik yang direkomendasikan adalah oksibutinin, tolterodin atau trospium.


Semuanya cukup efektif dan lebih baik dibanding plasebo untuk menghilangkan gejala

10 | P a g e
inkontinensia urgensi (penurunan gejala sebesar 1 episode inkontinensia setiap 48 jam).
Tolterodin dan trospium dapat ditoleransi lebih baik daripada oksibutinin.
Dosis awal yang direkomendasikan adalah oksibutinin 2,5 mg, 3 kalil sehari, dosis ini
dapat dinaikkan hingga 5 mg, 3 kali sehari hingga mencapai dosis efektif untuk individu
tersebut. Efektivitas oksibutinin, tolterodin dan trospium tercapai setelah terapi selama 5-8
minggu. Bila efek samping terasa berat, maka gantilah dengan antikolinergik jenis lainnya.
Pasien tetap perlu diawasi akan risiko terjadinya retensi urin, perhatikan adanya distensi
kandung kemih, khususnya pada pasien usia lanjut atau pasien dengan faktor risiko yang
berat.
Sejumlah antikolinergik golongan baru juga sudah mulai dipakai dalam terapi
inkontinensia urin tipe urgensi dan overaktif kandung kemih (lihat Tabel 5)
Bila terapi antikolinergik tidak efektif setelah penggunaan 1-2 bulan, ada dua alternatif
yang dapat dilakukan:
1. Bila obat antikolinergik diresepkan setelah uji urodinamik, maka gunakanlah
antikolinergik jenis lain. Bila masih gagal juga, rujuk ke spesialis dan pertimbangkan
terapi bedah.
2. Bila antikolinergik diresepkan tanpa uji urodinamik sebelumnya, maka lakukanlah uji
urodinamik terlebih dahulu dan kemudian rujuk ke spesialis.
Tabel 5. Profil Antimuskarinik Untuk Terapi Inkontinensia urin tipe Urgensi

Oksibutinin Oksibutinin Tolterodin Trospium Solifenasin Darifenasin


TDS

Struktur kimia Amin tersier Amin tersier Amin tersier Amin Amin tersier Amin tersier
Kuarterner

Efikasi Perbandingan sulit dilakukan karena teknik uji klinik dan karakteristik pasien berbeda-beda. Efikasi atau
efektivitas obat serupa pada semua antimuskarinik: 60-75% menurunkan episode inkontinensia urin tipe
urgensi

Efek samping Mulut kering, Iritasi kulit Mulut kering, Mulut kering, Mulut kering, Mulut kering,
konstipasi konstipasi konstipasi konstipasi konstipasi

Dosis 5, 10, atau 15 3,9 mg 2 atau 4 mg 20 mg 5 atau 10 mg 7,5 atau 15


mg mg

Regimen IR: 2-4x sehari 2x seminggu sekali sehari 2 x sehari Sekali sehari Sekali sehari

ER: 1x sehari

Waktu paruh 13,2 jam 36 jam 8,8 jam 12,2 + 3,2 jam 45-68 jam 12,43 jam
(10mg) (metabolit
aktif) (7,5 mg)

11 | P a g e
12,05 jam

(15 mg)

Bioavailabilitas Buruk (2-15%) ---- Baik (75%) Buruk (10%) Baik (90%) Buruk
oral
(15-20%)

Metabolisme Metabolisme Tidak ada Metabolisme Sekresi Metabolisme Metabolisme


ekstensif di eliminasi lintas ekstensif di tubulus ginjal ekstensif di ekstensif di
hati melalui pertama, hati melalui aktif sebagai hati melalui hati melalui
isoform kemudian isoform rute elilminasi isoform isoform
CYP450, dimetabolisme CYP450, utama; CYP450 CYP450
ekstensif di esterifikasi
CYP3A4 hati melalui CYP 2D6 hepatik, bukan CYP3A4 CYP3A4 dan
(utama), isoform (utama), melalui CYP2D6
CYP450 CYP450
CYP 2D6 CYP 3A4

Interaksi obat Itrakonazol Itrakonazol Ketokonazol, Tidak ada; Dosis jangan Flekainid,
yang berkaitan eksresi lebih dari 5 mg tioridazin,
dengan Mikonazol Mikonazol Itrakonazol, tubulus ginjal bila diberikan TCA;
metabolisme aktif; tetapi bersama
Makrolid Makrolid Mikonazol, jangan lebiih
obat hati-hati saat ketokonazol
(ertiromisin, (ertiromisin, dari 7,5 mg
Makrolid memberikan atau inhibitor
klaritromisin) klaritromisin) bila diberikan
(eritromisin, obat ini CYP3A4
dengan lainnya (yakni bersama:
klaritromisin),
digoksin dan nefazodon,
ketokonazol,
Siklosporin metformin fluvoksamin,l
atau obat lain TCA) itrakonazol,
Vinblastin yang dapat
berkompetisi ritonavir,
degnan
eksresi ginjal nelfinavir
aktif
klaritromisin,

atau
nefazodon

Kontraindikasi Retensi urin; retensi gaster dan kondisi lain dengan penurunan motilitas saluran cerna yang berat;
glaukoma sudut sempit; hipersensitivitas terhadap obat

TDS = Transdermal delivery system; IR= immediate release; ER=extended release; CYP=cythochrome P; TCA= tricyclic
antidepressants.

Tatalaksana untuk Inkontinensia Urin tipe Campuran

12 | P a g e
Terapi lini pertama adalah latihan otot dasar panggul, yang dikombinasikan dengan stimulasi
listrik, biofeedback atau terapi perilaku (yakni latihan otot kandung kemih) tergantung gejala
manakah yang paling mengganggu bagi pasien, dan/ atau terapi antikolinergik.
Bila gejala tidak mereda setelah 10-20 sesi latihan dasar panggul dan/atau setelah terapi
antikolinergik setelah 5-8 minggu, lakukan uji urodinamik dan rujuk ke spesialils.

KESIMPULAN
Inkontinensia urin merupakan masalah yang umum terjadi pada wanita. Sayangnya,
sebagian besar wanita tidak berobat. Oleh karena itu, klinisi perlu menanyakan ada tidaknya
gejala inkontinensia urin pada setiap pasien wanita.

Evaluasi klinis sederhana dapat dilakukan, salah satunya dengan algoritma yang
ditunjukkan pada gambar 5.

Gambar 5. Algoritma Penatalaksanaan Inkontinensia Urin

13 | P a g e
Setelah evaluasi klinis yang sederhana dan diagnosis ditegakkan, maka terapi perilaku
dan terapi non-bedah dapat dilakukan hanya berdasarkan gejala. Pendekatan terapi
inkontinensia konvensional ini dapat secara signifikan memperbaiki gejala hingga 70%. Dengan
cara ini, para klinisi di tingkat layanan kesehatan primer dapat mengatasi sebagian besar gejala
inkontinensia pada wanita, dan memberikan rujukan hanya bila pendekatan yang dicoba
ternyata gagal. Terapi bedah dapat efektif pada wanita dengan tanda inkontinensia urin tipe
stres yang jelas dan pada pasien yang terapi perilaku dan non-bedahnya gagal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Nygaard IE, Heit M. Stress urinary incontinence. Obstet Gynecol 2004;104:607-20.


2. Hu TW, Wagner TH, Bentkover JD, et al. Costs of urinary incontinence and overactive bladder in
the United States: a comparative study. Urology 2004;63:461-5.
3. Anaes. Management of female urinary incontinence in general practice. Clinical practice
guidelines. May 2003. P. 1-13
4. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Urinary Incontinence : The
Management of Urinary Incontinence in Woman. Didapatkan dari URL : http://www.nice.org.uk.
Diunduh pada tanggal 10 Februari 2008
5. Holroyd-Leduc JM, Straus SE. Management of Urinary Incontinence in Women : Scientific
Review. JAMA 2004;291(8):986-5
6. Scottisg Intercollegiate Guidelines Network. Management of Urinary Incontinence in Primary Care
: A National Clinical Guideline. Edisi pertama. Edinburgh : SIGN 2004. Didapatkan dari URL :
http://www.sign.ac.uk. Diunduh pada tanggal 10 Februari 2008
7. American Family Physician. Urinary Incontinence in Women. Diunduh November 2008 dari
www.aafp.org/afp/980600ap/weiss.html
8. Lui PD. Urinary Incontinence. Diunduh November 2008 dari
www.merck.com/mmpe/sec17ch2286html.
9. DuBeau CE. Urinary Incontinence. Diunduh November 2008 dari
www.americangeriatrics.org/staging/products/ui/incon5.m.htm.
10. Bolz M. Urinary Incontinence Assessment in Older Adults Part I Transient Urinary Incontinence.
Hartford Institute for Geriatric Nursing 2007;11.1:1-2
11. Mariappan P, Alhasso A, Ballantyne Z, et al. Duloxetine, a serotonin and noradrenaline reuptake
inhibitor (SNRI) for the treatment of stress urinary incontinence: a systematic review. Eur Urol
2007;51:67-74

14 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai