Anda di halaman 1dari 10

Diagnosis dan Tatalaksana pada Mola Hidatidosa

Skenario 3
Patricia Renata
102013055
F4
patricia.2013fk055@civitas.ukrida.ac.id
Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no. 6, Kebon Jeruk Jakarta Barat
Skenario 3:
Seorang perempuan berusia 36 tahun diantar suaminya ke unit gawat darurat RS dengan keluhan
keluar darah banyak dari jalan lahir yang dirasakan sejak 1 jam yang lalu. Menurut pasien, dia
sudah telat haid 3 bulan namun saat memeriksa sendiri di rumah dengan tes kehamilan hasilnya
negatif.

Definisi
Mola hidatidosa (Mola Hidatidiformis) adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar di
mana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengelami perubahan berupa
degenerasi hidropik. Secara makroskopik, mola hidatidosa mudah dikenal yaitu berupa
gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan ukuran bervariasi dari
beberapa millimeter sampai 1 atau 2 cm.1,2
Gambaran histopatologik yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma vili, tidak ada
pembuluh darah pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas. 1,2

Anamnesis3
1. Identitas
2. Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang
1

3. Tentang haid, kapan mendapat haid terakhir (HT). bila hari pertama haid terakhir
diketahui maka dapat dijabarkan taksiran tanggal persalinan menunggunakan rumus
Naegele: hari +7 bulan -3, tahun+1
4. Gejala tanda-tanda kehamilan : tanyakan payudara tegang-terasa sakit, Perut bertambah
besar. Tandanya diikuti oleh hipopigmentasi pada linea alba-linea nigra, hiperpigmentasi
areola mamae, chloasma gravidarum, kontraksi yang tanpa nyeri.
5. Tentang kehamilan: kehamilan yang ke berapa? Riwayat selama kehamilan? pernah
keguguran? Berapa kali? Siapa yang menolong persalinan? dan kehamilan ektopik atau
6.
7.
8.

9.

kehamilan mola sebelumnya


Riwayat penyakit dahulu selama dan sebelum kehamilan
Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi pasien
Riwayat keluarga.
Riwayat sosial. Jumlah anak, pekerjaan.

Dari skenario, diketahui pasien mengeluh keluar banyak darah sejak 1 jam yang lalu, disertai
jaringan bulat-bulat seperti anggur. Darah sudah keluar 3 hari lalu, namun berupa flek. Sejak
hamil, pasien mual-muntah 5x sehari, dan merasa perutnya bertambah besar dengan cepat.
HPHT 14 Maret 2016, tanggal pemeriksaan 23 Mei 2016. ANC (-), G3P2A0. G1 2010 bayi lakilaki 2800g, lahir normal di RS tanpa komplikasi. G2 2013 bayi laki-laki lahir normal di bidan
tanpa komplikasi.
Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan tanda-tanda vital (tensi, nadi, temperature, dan pernapasan). 4
2. Inspeksi : apakah pasien tampak sakit ringan atau berat, kurus, atau memiliki berat badan
berlebih? Adakah tanda-tanda anemia? 3
3. Perkusi : tidak begitu banyak berarti, kecuali jika ada suatu indikasi4
4. Palpasi : Ibu hamil diminta berbaring telentang, kepala dan bahu sedikit ditinggikan
dengan memakai bantal. Pemeriksa berdiri disebalah kanan ibu hamil. Dengan sikap
hormat lakukan palpasi bimanual terutama pada perut dan payudara. Dapat menggunakan
maneuver palpasi menurut leopold. 4
5. Auskultasi 4
Digunakan stetoskop monaural (stetoskop obstrerik untuk mendengarkan denyut jantung
janin (djj).
6. Pemeriksaan dalam: 4
Berupa Vaginal touch (VT) dan/atau Rectal touch (CT).

Berdasarkan skenario, didapatkan hasil pemeriksaan fisik abnormal: KU sakit sedang,


konjungtiva anemis, cervix terbuka 1 jari, corpus uteri membesar sebesar usia kehamilan 18-20
minggu, didapat darah dan jaringan bundar pada jari pemeriksa.
Pemeriksasan penunjang
Pemeriksaan laboraturium
Ibu hamil hendaknya diperiksa urin dan darah sekurang-kurangnya 2 kali selama
kehamilan, sekali pada permulaan dan sekali pada akhir kehamilannya. Laboraturium
urin: darah lengkap, golongan darah, pemeriksaan lain. Pemeriksaan tes kehamilan

berdasarkan peningkatan Betha Human Choriogonadotrophin. 4


Ultrasonografi
Dibandingakan pemeriksaan rontgen, USG tidak berbahaya untuk janin karena memakai
prinsip sonar (bunyi. Jadi, boleh dipergunakan pada kehamilan muda. Pada layar, dapat
dilihat letak gerakan dan gerakan jantung janin. 4

Dari skenario, didaparkan hasil abnormal: Hb 10 gr/dl, Ht 29%, serum -hCG 165.000 mU/mL,
USG pada uterus terdapat massa dengan area cystic, tampak gambaran honeycomb/snowstorm.
Terdapat techa lutein cyst pada ovarium kanan dan kiri.

Epidemiologi
Dalam sebuah studi populasi di Korea, menggunakan terminology dan klasifikasi terkini dan
melaporkan insiden mola hidantidosa adalah 2 per 1000 perlahiran. 1
Biasanya dijumpai lebih sering pada umur reproduktif (15-45 tahun), dan pada multipara. Jadi
dengan meningkatnya paritas kemungkinan menderita mola akan lebih besar. 4
Faktor Risiko
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti akan tetapi faktor-faktor yang dapat
menyebabkannya antara lain:
1. Usia

Usia ibu di kedua ujung spectrum reproduksi adalah faktor risiko untuk kehamilan mola.
Secara spesifik, remaja dan wanita berusia 36 hingga 40 tahun memiliki risiko dua kali
lipat dan mereka yang berusia lebih dari 40 tahun hampir 10 kali lipat. 1
2. Riwayat kehamilan mola
terdapat peningkatan risiko substansial untuk penyakit trofoblastik rekuren. Dalam suatu
ulasan terhadap 12 penilitian yang mencakup total 5000 kehamilan mola, frekuensi mola
rekuren adalah 1,3%. Risikonya adalah 1,5% untuk mola komplet dan 2,7% untuk mola
parsial. Berkowitz dkk. Melaporkan bahwa 23 persen wanita yang pernah mengalami 2
kali kehamilan mola memiliki mola ketiga! Mola hidatidiformis berulang pada wanita
dengan pasangan yang berbeda menandakan bahwa pembentukan mola disebabkan oleh
defek oosit. 1
3. Faktor risiko lain
Pemakaian kontrasepsi oral dan durasinya serta riwayat keguguran meningkatkan
kemungkinan kehamilan mola hingga dua kali lipat. Studi-studi lain mengemukakan
adanya peran merokok, peningkatan usia ayah, asupan vitamin A dan lemak hewani yang
rendah, defisiensi protein, sosioekonomi rendah, paritas tinggi, imuno selektif trofoblas.
1,4

Patogenesis

Mola hidatidiformis komplet


Secara umum, vili korionik tampak sebagai massa yang terdiri dari vesikel-vesikel jernih.
Vesikel ini memiliki ukuran bervariasi, sering berkelompok pada tangkai ramping. Secara
histologis, lesi biasanya memperlihatkan degenerasi hidropik dan edema vilus; tidak
adanya pembuluh darah vilus; proliferasi epitel trofoblas dengan derajat bervariasi; dan
tidak adanya unsur mudigah seperti janin dan amnion. 1
Komposisi kromosom mola komplet biasanya diploid dan berasal dari ayah. Sekitar 85%
adalah 46XX dengan kedua set kromosom berasal dari ayah. Ovum dibuahi oleh sebuah
sperma haploid yang menduplikasikan kromosomnya sendiri setelah meiosis. Kromosom
4

ovum tidak ada atau inaktif. Pada mola komplet lainnya, pola kromosom mungkin 46XY
akibat fertilisasi dispermik. 1
Kehamilan mola komplet memiliki insiden sekuele ganas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mola parsial. Pada sebagian besar penelitian, 15-20% mola komplet
memperlihatkan tanda-tanda penyakit trofoblastik persisten. Yang menarik, evakuasi
mola secara dini tidak menurunkan risiko ini. 1

Mola hidatidiformis parsial/inkomplet


Adanya sejumlah elemen jaringan janin dan perubahan hidatiformis yang bersifat fokal
dan kurang lanjut. Terjadi pembengkakkan progresif lambat di dalam stroma vilus korion
yang biasanya avascular, sementara vilus vascular yang memiliki sirkulasi janin-plasenta
yang berfungsi tidak terkena. Kariotipe biasanya triploid-69XXX, 69XXY, atau lebih
jarang lagi 69XYY. Kariotipe ini masing-masing tersusun oleh satu set kromosom
haploid ibu dan dua set kromosom haploid ayah. Janin nonviable pada mola parsial
triploid biasanya mengalami malformasi multiple, 82% mengalami hambatan
pertumbuhan simetris. 1
Risiko penyakit trofoblastik persisten setelah mola parsial jauh lebih rendah daripada
setelah kehamilan mola komplet. Selain itu, penyakit persisten jarang merupakan
koriokarsinoma. Growdon dkk. Menemukan bahwa kadar -hCG pascaevakuasi yang
lebih tinggi berkorelasi dengan peningkatan risiko penyakit yang persisten. Secara
spesifik, kadar 200 mIU/mL, pada minggu ketiga sampai kedelapan pascaevakuasi
dilaporkan berkaitan dengan risiko penyakit persisten setidaknya 35%.1

Kehamilan mola kembar


Terdiri dari satu kehamilan mola diploid komplet dan satu kehamilan normal tidak jarang
dijumpai. 5% mola diploid adalah bagian dari kehamilan kembar dengan satu janin.
Kelangsungan hidup janin tersebut bervariasi dan bergantung pada apakah diagnosis
ditegakkan dan jika demikian, apakah timbul masalah akibat komponen mola, misalnya
preeclampsia atau pendarahan. Dari 113 ini, 45% sampai 28 minggu, 70%nya bertahan
hidup. Dibandingkan dengan mola parsial, wanita dengan kehamilan kembar jenis ini
5

memperlihatkan risiko substansial mengalami neoplasia trofoblastik gestasional. Tetapi


risiko ini tampaknya tidak lebih besar daripada setelah mola komplet tunggal.
Dalam 77 kehamilan, 21% kehamilan yang tidak diakhiri akan memerlukan kemoterapi
untuk penyakit persisten. Angka ini tidak secara bermakna, berbeda dari angka 16% pada
wanita yang mengakhiri kehamilan mereka. 25% dari kehamilan ini kemudian
memerlukan kemoterapi. 1

Kista Teka-Lutein
Pada 25 sampai 60 persen wanita dengan mola komplet, ovarium mengandung banyak
kista teka-lutein. Kista-kista ini memiliki ukuran bervariasi. Permukaan kista licin, sering
kekuningan, dan dilapisi oleh sel-sel lutein. Kista ini diperkirakan berasal dari stimulasi
berlebihan elemen lutein oleh hCG dalam jumlah besar yang dikeluarkan oleh sel-sel
trofoblas proliferative. 1

Gambaran Klinis
Pada permulannya gejala mola hidatidosa tidak seberapa berbeda dengan kehamilan biasanya,
yaitu mual, muntah, pusing, dan lain-lain, hanya saja derajat keluhannya sering lebih hebat.
Selanjutnya perkembangan lebih pesat, sehingga pada umumnya besar uterus lebih besar dari
umur kehamilan. Pendarahan merupakan gejala utama mola. Biasanya keluhan perdarahan inilah
yang menyebabkan mereka datang ke rumah sakit. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi antara
bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa intermiten,
sedikit-sedikit atau sekaligus banya sehinggak menyebabkan syok atau kematian. Karena
pendarahan ini umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia. 2
Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein, baik unilateral maupun bilateral. Umumnya
kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan, tetapi ada juga kasus-kasus di mana kista
lutein baru di temukan pada waktu follow-up. Kasus mola dengan kista lutein mempunyai risiko
4 kali lebih besar unutk mendapat degenerasi keganasan di kemudian hari daripada kasus tanpa
kista. 2

Working Diagnosis
G3P2A0 hamil 10 minggu dengan mola hidatidosa + anemia

Differential diagnosis
Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah di buahi tidak
menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Pada umumnya penderita menunjukkan
gejala-gejala kehamilan muda, dan mungkin merasa nyeri sedikit di perut bagian bawah yang
tidak seberapa dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal uterus membesar dan lembek walaupun
mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. Tuba yang mengandung hasil konsepsi karena
lembeknya sukar diraba pada pemeriksaan bimanual. Pada pemeriksaan USG sangat membantu
menegakkan diagnosis kehamilan ini apakah intrauterine atau kehamilan ektopik.

Penatalaksanaan
Pengelolaan mola hidatidosa dapat terdiri atas tahap-tahap berikut ini:

Perbaikan keadaan umum


Yang termasuk usaha ini misalnya pemberian transfuse darah untuk memperbaiki syok
atau anemia dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeclampsia atau
tirotoksikosis. 2

Pengeluaran jaringan mola


o Vakum kuretase
Setelah keadaan umum diperbaiki dilakukan vakum kuretase tanpa pembiusan.
Untuk memperbaiki kontraksi diberikan pula uterotonika. Vakum kuretase
dilanjutkan dengan kuretase dengan menggunakan sendok kuret biasa yang
7

tumpul. Tindakan kuret cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih. Kuret kedua
hanya dilakukan bila ada indikasi. 2
Sebelum tindakan kuret sebaiknya disediakan darah untuk menjaga bila terjadi
pendarahan yang banyak. 2
o Histerektomi
Tindakan ini dilakukan pada perempuan yang telah cukup umur dan cukup
mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi ialah karena umur tua
dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasa. Tidak
jarang

bahwa

pada

sediaan

histerektomi

bila

dilakukan

pemeriksaan

histopatologik sudah tampat adanya tanda-tanda keganasan berupa mola


invasive/koriokarsinoma. 2

Kemoterapi profilaksis
Prognosis jangka panjang bagi wanita dengan mola hidatidosa, tidak membaik dengan
kemoterapi profilaksus. Karena toksisitas termasuk kematian mungkin signifikan,
kemoterapi tidak dianjurkan secara rutin. 2

Pemeriksaan tindak lanjut


Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kemungkinan keganasan setelah mola
hidatidosa. Tes hCG harus mencapai nilai normal 8 minggu setelah evakuasi. Lama
pengawasan berkisar satu tahun. Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama periode
ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, difragma,
atau pantang berkala. 2

Komplikasi4
Komplikasi dari mola hidantidosa antara lain adalah pendarahan yang hebat sampai syok, kalau
tidak segera ditolong dapat berakibat fatal, perdarahan berulang yang dapat menyebabkan
8

anemia, infeksi sekunder, perforasi karena keganasan dan karena tindakan, dan kemungkinan
menjadi ganas pada kira-kira 18-20% kasus, akan menjadi mola destruens atau koriokarsinoma.

Prognosis
Dubia ad malam.

Kesimpulan
Mola hidatidosa merupakan suatu kelainan dalam kehamilan yang angka insidennya meninggi di
negara berkembang. Etiologinya belum diketahui, namun ada faktor risikonya. Mola komplet
lebih ganas dibanding mola inkomplet dan insiden untuk menjadi neoplasia trofoblastik
diseasenya lebih tinggi. Terapinya bisa dilakukan vakum kuretase dan histerektomi. Bila masi
ingin punya anak jangan dilakukan histerektomi. Follow up setelah terapi penting untuk
memastikan apakah terjadi keganasan atau tidak.

Daftar Pustaka
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams. Edisi ke-23. Vol ke-1. Jakarta: EGC; 2012.h. 271-78
2. Prawirohardjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2008.h. 460-90
3. Safitri A, editor. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Edisi ke-8. Jakarta:
Erlangga; 2006.h.32-3
4. Sofian A. Sinopsis obstetric. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2012.h. 38-45, 67-70
5. Sastrawinata S, Martaadisoebrata D, Wirakusumah

FF, editor. Ilmu kesehatan

reproduksi: obstetric patalogi. Edisi ke-2. Jakarta: EGC: 2007.h. 30

10

Anda mungkin juga menyukai