Anda di halaman 1dari 19

Nama : Matias Setyawan

Nim : 210141010156

Masa KKM : 4 Juli – 11 September 2022

MOLA HIDATIDOSA
Latar Belakang

Mola hidatidosa merupakan penyakit trofoblas yang juga disebut hamil


anggur karena pada kehamilan ini terdapat vesikel multipel yang mirip seperti
anggur di dalam uterus serta biasanya tidak ada fetus di dalamnya. Jenis mola
hidatidosa ini disebut mola hidatidosa komplit sedangkan disebut mola hidatidosa
parsial apabila terdapat fetus di dalamnya. Mola hidatidosa disebut sebagai suatu
kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana tidak ditemukan janin hampir
seluruh villi korealis mengalami perubahan hidrofili dengan ciri-ciri stroma villi
korealis langka vaskularisasi dan edematus. Jaringan trofoblast pada villus
berploriferasi, dan mengeluarkan hormon yaitu hCG dalam jumlah yang lebih
besar daripada kehamilan biasa.

Peningkatan angka kejadian penyakit Mola Hidatidosa dapat dipengaruhi


oleh adanya beberapa faktor risiko seperti, gizi buruk, riwayat obstetri, etnis,
genetik, pemakaian kontrasepsi, sampai status sosial ekonomi yang rendah.
Terutama oleh kalangan wanita dengan usia predileksi (15-45 tahun) dan
multipara. Namun, pada kenyataannya pengetahuan yang dimiliki oleh
masyarakat di Indonesia mengenai faktor risiko tersebut masih sangat rendah.

A. Definisi

Mola hidatidosa adalah salah satu jenis penyakit trofoblas bersifat jinak.
Mola hidatidosa juga disebut hamil anggur karena pada kehamilan ini terdapat
vesikel multipel yang mirip seperti anggur di dalam uterus serta biasanya tidak
ada fetus di dalamnya. Jenis mola hidatidosa ini disebut mola hidatidosa komplit
sedangkan disebut mola hidatidosa parsial apabila terdapat fetus di dalamnya.
Mola hidatidosa disebut sebagai suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin hampir seluruh villi korealis mengalami perubahan

1
hidrofili dengan ciri-ciri stroma villi korealis langka vaskularisasi dan edematus.
Jaringan trofoblast pada villus berploriferasi, dan mengeluarkan hormon yaitu
hCG dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa.

Gambar 1. Gambaran Mola Hidatidosa.

B. Epidemiologi

Studi epidemiologi mengenai Mola Hidatidosa telah dilakukan dan didapatkan


data bahwa di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Eropa telah
menunjukkan kejadian Mola Hidatidosa berkisar 0,57-1,1 per 1000 kehamilan.
Sedangkan insiden Mola Hidatidosa per 1.000 kehamilan terjadi di Asia di mana
beberapa negara yang menduduki peringkat atas yaitu Taiwan dengan 8,0 kasus,
Filipina dan China 5,0 kasus, serta Jepang 3,8 kasus. Insiden ini telah di
investigasi mengenai kemungkinan hipotesis bahwa perbedaan etnis dan ras yang
mengarah pada peningkatan insiden Mola Hidatidosa di antara orang Indian
Amerika, Eskimo, Hispanik, dan Afrika-Amerika serta berbagai populasi Asia dan
hasilnya belum terbukti dan tidak ada kaitannya dengan sifat genetik, faktor
budaya, atau hanya perbedaan dalam bentuk pelaporan kasus saja.

Di Indonesia sendiri, epidemiologi nasional untuk penyakit Mola Hidatidosa


belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa studi yang telah dilakukan
seperti pada tahun 1984, sebuah studi di RS Sardjito, di Yogjakarta melaporkan
bahwa Mola Hidatidosa ditemukan pada 1 di antara 107 kehamilan. Di Indonesia
sendiri didapatkan kejadian mola pada 1:100 kehamilan. Sedangkan di Sulawesi
Utara, Manado dan khusunya RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou sendiri memang

2
belum ada studi epidemiologi yang dilakukan secara khusus untuk mengetahui
nilai angka kejadian mola hidatidosa, tetapi sempat dilakukan 2 studi untuk
mencari tahu berapa kali kejadian Mola Hidatidosa. Yang pertama pada periode 1
Desember 2012 - 31 Desember 2013 dan hasil penelitian memperlihatkan 39
kasus Mola Hidatidosa. Yang kedua dilakukan pada periode 1 Januari – 31
Desember 2014 dan didapatkan angka kejadian sebanyak 35 kasus.

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Untuk etiologi dan faktor risiko terjadinya Mola Hidatidosa antara lain adalah
:

 Faktor ovum. Dimana ovum memang sudah mengalami perubahan


patologik sehingga mati, tetapi terlambat dikeluarkan. Spermatozoa
memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau ada kelainan atau
gangguan dalam pembuahan
 Wanita yang menikah atau memulai aktifitas seksual pada usia muda
(kurang dari 18 tahun)
 Wanita dengan usia 36 – 40 tahun (>40 tahun risiko meningkat 10 kali
lipat)
 Riwayat sosial ekonomi rendah. Pada masa kehamilan keperluan zat – zat
gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan janin, bila keadaan sosial ekonomi
rendah maka makanan atau suplemen yang dibutuhkan untuk memenuhi
gizi yang diperlukan tubuh bisa kurang terpenuhi sehingga mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin.
 Jarak usia kehamilan yang berdekatan
 Jumlah paritas yang tinggi
 Defisiensi Vitamin A
 Kekurangan protein
 Imunoselektif dari Sel Trofoblas

3
 Proliferasi Trofoblas
 Degenerasi Hidrofilik
 Infeksi virus atau faktor kromosom yang belum jelas

D. Patofisiologi

Mola Hidatidosa adalah kehamilan abnormal yang dikarakterisasi oleh


proliferasi trofoblas dengan tingkat yang bervariasi dan pembengkakan vesikula
dari vili plasenta yang berkaitan dengan ketiadaan atau abnormalitas fetus. Mola
hidatidosa komplit mengalami pembesaran vili tanpa adanya fetus atau embrio,
trofoblas hiperplasia dengan tingkat atipia yang bervariasi, dan tidak ada kapiler-
kapiler vili. Secara makrokopis, vili pada mola hidatidosa komplit tampak seperti
rangkaian buah anggur. Hampir 90% kariotipe dari mola komplit adalah 46,XX,
yang berasal dari duplikasi kromosom sperma haploid yang memfertilisasi telur
dengan kromosom maternal yang tidak ada atau inaktif.

Sepuluh persen kariotipe mola komplit sisanya adalah 46,XY atau 46,XX,
sebagai hasil dari fertilisasi telur kosong oleh dua buah sperma (dispermi).
Beberapa studi memperlihatkan pasien dengan kehamilan mola berulang adalah
molar biparental yang dapat bersifat familial atau sporadik. Kondisi ini berkaitan
dengan mutasi missense pada gen NLRP7 pada kromosom 19q13.3- 13.4.
Neoplasia trofoblastik (mola invasif atau koriokarsinoma) terjadi setelah mola
komplit pada 15-20%.

4
E. Diagnosis

1. Anamnesis :
- Perdarahan pervaginam.
- Perdarahan bervariasi mulai dari banyak atau sedikit, tidak
teratur, dan berwarna merah kecoklatan kadang disertai
gumpalan.
- Amenorea.
- Mual muntah berlebihan yang lebih parah dari biasanya
(hyperemesis gravidarum)
- Nyeri perut bagian bawah (bisa terjadi)
- Pernah mengeluarkan jaringan mola seperti buah anggur atau
mata ikan dari vagina yang merupakan diagnosis pasti.
- Timbul gejala pre-eklampsi pada trimester kedua atau ketiga.
- Penurunan berat badan.

2. Pemeriksaan Fisik :
- Pada Inspeksi bisa terlihat muka dan badan kadang-kadang
terlihat pucat kekuning-kuningan yang disebut dengan mola
face
- Perut tampak lebih besar dari biasanya.
- Pada Palpasi, Uterus membesar lebih dari dengan usia
kehamilannya, teraba lembek.
- Tidak teraba adanya bagian janin, ballottement, ataupun
gerakan janin.
- Adanya fenomena harmonika, dimana ketika darah atau
gelembung mola keluar, fundus uteri akan turun lalu naik lagi
karena terkumpul kembali darah yang baru.
- Nyeri tekan ketika dipalpasi di perut bisa terjadi.

5
- Pada pemeriksaan palpasi juga bisa ditemukan pembesaran
kelenjar tiroid (Hipertiroid) yang menunjukan adanya
komplikasi berupa tiroktoksikosis.
- Pada pemeriksaan dalam (inspekulo) bisa didapatkan darah
yang keluar dari kanalis servikalis / fluksus (+). Uterus teraba
lembek. Selain itu, dilihat juga apakah ditemukannya jaringan
mola pada vagina.
- Pada Pemeriksaan Auskultasi, tidak ditemukannya bunyi DJJ
(denyut jantung janin).

3. Pemeriksaan Penunjang :
- USG (Ultrasonografi) : USG memiliki peran yang sangat penting
dalam diagnosis mola hidatidosa komplit ataupun parsial sampai di
tahap dimana USG sudah menggantikan fungsi dari pemeriksaan
pra-operasi yang lain. Hal ini dikarenakan vili korionik Mola
Hidatidosa komplit menunjukkan pembengkakan hidropik difus,
pola ultrasonografi vesikular yang khas yang dapat diamati, yang
terdiri dari multiple holes (lubang) di dalam massa plasenta dan
biasanya tidak ada gambaran janin. Selain gambaran tersebut,
biasanya ditemukan gambaran snowstorm (badai salju) ataupun
gambaran honey comb (sarang tawon) dan vesicular pattern yang
biasanya muncul pada trimester kedua kehamilan dari isi uterus
dan ditemukannya kista lutein fokal yang menguatkan diagnosa
Mola Hidatidosa komplit. Ultrasonografi juga dapat memfasilitasi
diagnosis dini mola parsial dengan menunjukkan ruang kistik fokal
di dalam plasenta dan peningkatan diameter transversal dari
plasenta. Selain itu pada Mola Hidatidosa Parsial, biasanya
terdapat gambaran janin yang tidak berkembang dengan sempurna
namun gambaran kista lutein walaupun bisa terjadi,jarang muncul.

6
- Foto Rontgen : Tidak terlihat adanya tulang – tulang janin (pada
kehamilan 3-4 bulan). Tetapi pada Mola Hidatidosa Parsial bisa
terlihat walaupun tidak terbentuk secara lengkap.

- Human Chorionic Gonadotropin : hCG adalah penanda tumor


spesifik penyakit yang diproduksi oleh Mola Hidatidosa dan
Neoplasma Trofoblas Gestasional. Ini mudah diukur secara
kuantitatif dalam urin dan darah, dan kadar hCG telah terbukti
berkorelasi dengan beban penyakit. hCG ini adalah glikoprotein
plasenta yang terdiri dari 2 subunit yang berbeda yaitu  subunit
yang menyerupai hormon glikoprotein hipofisis dan  subunit yang
unik untuk produksi plasenta. Mola Hidatidosa biasanya
berhubungan dengan peningkatan -hCG yang nyata bila
dibandingkan dengan kehamilan normal. Sekitar 50% pasien
dengan Mola Hidatidosa Komplit memiliki -hCG pre-evakuasi
dengan kadar > 100.000 mIU/mL. Selain itu pemeriksaan hormon
-hCG dapat digunakan sebagai indikator kuat untuk mendiagnosis
pasien pada stadium awal. Tetapi kalau pemeriksaan -hCG hanya
dilakukan sekali saja, bagaimanapun, jarang membantu dalam
membedakan Mola Hidatidosa komplit dengan kehamilan
intrauterin normal, kehamilan ganda, atau kehamilan dengan
komplikasi penyakit seperti eritroblastosis fetalis atau infeksi
intrauterin yang berhubungan dengan pembesaran plasenta, karena
kadar -hCG tertinggi biasanya terjadi di dalam akhir trimester
pertama kehamilan ketika diagnosis kehamilan mola biasanya
dipertimbangkan. Sedangkan untuk Mola Hidatidosa parsial, di sisi
lain, sering kali tidak dapat dibedakan dengan peningkatan level -
hCG > 100,000 mIU/mL karena peningkatan ini hanya terjadi pada
< 10% pasien. Ketika jaringan Mola Hidatidosa sudah di evakuasi
maka hormon -hCG akan perlahan – lahan menurun sampai pada

7
akhirnya tidak ada lagi. Apabila level -hCG > 300.000 mIU/ml
maka itu bisa mempengaruhi reseptor thyrotropin, mengakibatkan
aktifitas hormon-hormon tiroid (T3/T4) meningkat. Akibatnya
gejala-gejala hipertiroidisme bisa terjadi berupa hipertensi,
takikardia, tremor, hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, diare,
muntah, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun dan
sebagainya. Selain itu, dapat terjadi krisis hipertiroid tidak
terkontrol yang disertai hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular,
toksemia, penurunan kesadaran sampai delirium-koma
- Pathologic and Histologic Diagnosis : Diagnosis patologis Mola
Hidatidosa Komplit dan Parsial dibuat dengan pemeriksaan
spesimen kuretase. Pewarnaan imunohistologis untuk p57 (sebuah
gen yang diekspresikan secara maternal) dapat membedakan Mola
Hidatidosa komplit yang tidak terdeteksi immunostaining-nya
dengan Mola Hidatidosa parsial yang immunostaining-nya positif
terdeteksi. Sedangkan prosedur flow cytometry dapat membedakan
zigot diploid lengkap dari zigot triploid parsial. Jadi bisa dikatakan
pemeriksaan ini bisa membedakan Mola Hidatidosa Komplit dan
Parsial secara pasti. Tetapi kelemahannya adalah kita harus
mengevakuasi jaringan Mola terlebih dahulu sehingga tidak bisa
digunakan untuk diagnosis ataupun pencegahan stadium awal
kecuali jaringan tersebut keluar dengan sendirinya dari vagina
selama masa kehamilan Mola tersebut.
- Uji Sonde : Sonde dimasukkan ke dalam kanalis servikalis secara
pelan dan hati-hati, kemudian sonde diputar. Jika tidak ada
tahanan, kemungkinan mola.
- Uji Biologik dan Uji Imunologik (Galli Mainini dan Planotest).
Akan positif setelah pengenceran (titrasi). Galli Mainini 1/300 (+),
maka suspek mola hidatidosa. Galli Mainini 1/200 (+), maka
kemungkinan mola hidatidosa atau kehamilan kembar.

8
F. Klasifikasi

Klasifikasi Mola Hiadatidosa menurut Federation International of


Gynecolgy and Obstetrics (FIGO), Mola hidatidosa terbagi menjadi 2 yaitu
mola hidatidosa komplit dan parsial :
1. Mola Hidatidosa Komplit : Mola Hidatidosa komplit merupakan hasil
kehamilan tidak normal tanpa adanya embrio/janin, dengan pembengkakan
hidrofilik vili korionik abnormal yang tampak sebagai massa vesikel
bening yang bervariasi dalam ukuran dan sering menggantung dalam
kelompok. Selain itu, trofoblastnya mengalami hyperplasia dengan atypia
dengan berbagai varian jenis. Mola hidatidosa komplit hanya mengandung
DNA paternal sehingga bersifat androgenetik tanpa adanya jaringan janin.
Hal ini terjadi karena satu sel sperma membawa kromosom 23X
melakukan fertilisasi terhadap sel telur yang tidak membawa gen maternal
(tidak aktif), kemudian mengalami duplikasi membentuk 46XY dan 46XX
heterozigot. Pada kehamilan trimester pertama, vili korialis mengandung
cairan dalam jumlah lebih sedikit, bercabang, dan mengandung sinsitio-
trofoblas dan sitotrofoblas hiperplastik dengan banyak pembuluh darah
yang membengkak di vili plasenta. Dan, secara makroskopik pada
kehamilan trimester dua mola hidatidosa komplit berbentuk seperti anggur
karena vili korialis mengalami pembengkakan secara menyeluruh.
Biasanya Mola hidatidosa komplit bisa berkembang menjadi Penyakit
Trofonlas Neoplasma seperti mola invasive atau koriokarsinoma.

2. Mola Hidatidosa Parsial : Sedangkan pada kehamilan Mola Hidatidosa


parsial, ia memiliki perubahan jaringan mola yang kurang lanjut (tidak
seluruhnya) dan lebih fokal sehingga masih memliki beberapa jaringan
janin atau embrionik yang bisa di identifikasi. Ciri-ciri lainnya adalah vili
korionik dengan edema fokal yang bervariasi dalam ukuran dan bentuk,

9
inklusi trofoblas stomal yang menonjol dan bergerigi , dan sirkulasi vili
yang berfungsi, serta hiperplasia trofoblas fokal dengan atypia ringan.
Selain itu, Mola Hidatidosa parsial merupakan zigot triploid yang
mengandung dua set kromosom paternal dan satu set kromosom maternal.
Zigot triploid ini menghasilkan beberapa perkembangan embrio, namun
pada akhirnya merupakan kondisi janin yang mematikan. Pada kehamilan
Mola Hidatidosa Parsial, seringkali terjadi kematian mudigah atau
ditemukan sel darah merah berinti pada pembuluh darah.

Gambaran Mola Hidatidosa Parsial Moal Hidatidosa


Komplit

Kariotipe Umumnya 69 XXX atau 46 XX atau 46 XY


69 XXY

Patologi

 Janin Kadang-kadang Tidak ada

 Amnion, sel darah Kadang-kadang Tidak ada


merah janin

 Edema vilus Bervariasi, fokal Difus

 Proliferasi Trofoblas Bervariasi, fokal, Bervariasi, ringan-berat


ringan-sedang

Gambaran Klinis

 Diagnosis Missed abortion Gestasi mola

 Ukuran uterus Kecil untuk masa 50% besar untuk masa


kehamilan kehamilan

 Kista teka-lutein Jarang 25-30%

 Penyulit medis Jarang Sering

 Penyakit pasca-mola 1-5% 15-20%

10
G. Tatalaksana

1. Memperbaiki Keadaan Umum.


- Koreksi dehidrasi dan menstabilkan TTV
- Transfusi darah bila ada anemia (Hb < 10 g/dl)
- Bila ada gejala pre-eklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati
sesuai dengan protokol penanganan di bagian obstetrik dan
ginekologi
- Bila ada gejala-gejala tirotoksikosis, dikonsultasikan ke bagian
penyakit dalam

2. Suction Evacuation dan Kuretase.


Adalah metode evakuasi Mola Hidatidosa yang lebih dipilih
(terlepas dari ukuran uterus) untuk pasien yang ingin mempertahankan
kesuburannya. Metode ini dilakukan bila kondisi yang mempengaruhi
keadaan pasien telah diatasi. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi
seperti anemia, syok atau bahkan pre-eklampsia dan tirotoksikosis. Teknik
kuretase yang dilakukan adalah kuretase hisap. Bila kanalis servikalis
belum terbuka maka akan dilakukan pemasangan laminaria dan kuretase
akan dilakukan 24 jam kemudian. Setelah semua persiapan operasi juga
pemberian dan efek anestesi tercapai, serviks dilebarkan untuk
memungkinkan suction canunula (kanula hisap) 12-14 mm masuk ke
segmen bawah rahim. Kanula kemudian diputar sembari isi intrauterin
dikeluarkan. Direkomendasikan untuk melakukan suntikan oksitosin
intravena dimulai pada awal kuretase suction dan dilanjutkan selama
beberapa jam pasca operasi untuk untuk menimbulkan kontraksi uterus
mengingat isinya akan dikeluarkan. Tindakan ini dapat mengurangi
perdarahan dari tempat implantasi dan dengan terjadinya retraksi
miometrium, dinding uterus akan menebal dan dengan demikian resiko
perforasi dapat dikurangi. Evakuasi suction harus diikuti dengan kuretase
tajam dan tepat. Karena risiko perdarahan meningkat dengan ukuran
rahim, setidaknya 2 U darah harus segera tersedia saat rahim > 16 minggu

11
ukuran kehamilan. Jangan lupa juga untuk mengirimkan hasil jaringan ke
bagian patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan.

3. Histerektomi.
Merupakan alternatif untuk suction kuretase jika proses persalinan telah
selesai. Adneksa dapat dibiarkan utuh bahkan dengan adanya kista teka lutein.
Selain mengevakuasi kehamilan mola, histerektomi memberikan sterilisasi
permanen dan menghilangkan risiko invasi miometrium lokal. Dikarenakan
potensi penyakit metastasis bahkan setelah histerektomi, risiko post-molar
untuk berkembang menjadi Gestational Trophoblastic Neoplasia masih tetap
pada 3-5%, sehingga diperlukan pemeriksaan -hCG lanjutan. Tetapi, induksi
medis persalinan dan histerektomi tidak direkomendasikan untuk evakuasi
kehamilan mola. Metode-metode ini meningkatkan morbiditas ibu, seperti
kehilangan darah, evakuasi tidak lengkap yang membutuhkan dilatasi dan
kuretase, dan kebutuhan untuk persalinan SC pada kehamilan berikutnya.
Mereka juga meningkatkan penyebaran trofoblas dan perkembangan
Gestational Trophoblastic Neoplasia post-molar yang membutuhkan
kemoterapi.

4. Follow-Up.
Tindak lanjut setelah evakuasi mola hidatidosa sangat penting untuk
mendeteksi sekuele trofoblas (mola invasif atau koriokarsinoma), yang
berkembang pada sekitar 15-20% dari Mola Hidatidosa Komplit dan 1-5 %
dari Mola Hidatidosa Parsial. Temuan klinis dari involusi uterus yang cepat,
regresi kista ovarium, dan hentinya perdarahan semua-nya adalah tanda yang
meyakinkan, namun, tindak lanjut yang definitif memerlukan pengukuran
hCG kuantitatif serum serial setiap 1-2 minggu sampai 3 tes berturut-turut
menunjukkan kadar normal, setelah itu kadar hCG harus ditentukan pada
setiap interval 3 bulan selama 6 bulan setelah kembali normal secara spontan.
Lebih dari setengah pasien akan mengalami regresi lengkap hCG menjadi

12
normal dalam waktu 2 bulan setelah evakuasi. Kontrasepsi dianjurkan selama
6 bulan setelah hasil hCG normal pertama. Penggunaan pil kontrasepsi oral
lebih dipilih karena mereka memiliki efek yang bisa menekan kadar LH
endogen, yang mungkin mengganggu pengukuran hCG pada tingkat rendah
dan penelitian telah menunjukkan bahwa pil kontrasepsi oral tidak
meningkatkan risiko Neoplasma Trofoblas Post-molar. Pemeriksaan patologis
plasenta dan produk konsepsi lainnya serta penentuan kadar hCG pasca-
persalinan 6 minggu dianjurkan pada semua kehamilan berikutnya.
Kemungkinan berkembangnya penyakit persisten (neoplasma) setelah
evakuasi mola lengkap meningkat dengan bukti pertumbuhan trofoblas yang
nyata, seperti kadar hCG sebelum evakuasi > 100.000 mIU/mL, pertumbuhan
uterus berlebihan (>20 ukuran minggu), dan kista teka lutein dengan diameter
> 6 cm. Pasien dengan  1 dari tanda-tanda ini memiliki sekitar 40%
kemungkinan untuk terjadi Neoplasma Gestasional Post-molar dibandingkan
dengan 4% untuk mereka yang tidak memiliki tanda-tanda ini. Pasien dengan
usia > 40 tahun, memiliki riwayat kehamilan mola berulang, mola aneuploid,
dan pernah mengalami komplikasi kehamilan mola, seperti toksemia,
hipertiroidisme, dan embolisasi trofoblas, juga meningkatkan risiko
Neoplasma Trofoblas Gestasional pasca kehamilan molar.

Bila pada pasien ditemukan gejala dimana β-hCG yang plateau atau
meningkat post kuretase, perdarahan yang hebat, hasil histologis yang
mengarah ke koriokarsinoma, metastasis, serum β-hCG ≥ 20.000 IU/L selama
> 4 minggu maka dapat diberikan terapi kemoterapi pada pasien. Namun, pada
pasien tersebut mengingat angka kemungkinan keganasan yang tinggi maka
perlu dilakukan pemberian obat kemoterapi profilaksis untuk mengurangi atau
menghambat proliferasi sel trofoblastik menjadi ganas. Bila selama masa
observasi, kadar β-HCG tetap atau meningkat dan pada pemeriksaan foto
toraks ditemukan adanya tanda-tanda metastasis maka pasien harus dievaluasi
dan dimulai pemberian kemoterapi.

13
Berbagai kriteria hCG telah digunakan untuk mendiagnosis penyakit
trofoblas gestasional postmolar. Baru-baru ini, International Federation of
Gynecologists and Obstetricians (FIGO) menstandarisasi kriteria hCG berikut
untuk diagnosis penyakit trofoblas gestasional post-molar:

- Kadar hCG yang datar dari empat nilai pemeriksaan atau


peningkatan ± 10% dicatat selama durasi 3 minggu (hari 1, 7, 14,
dan 21).
- Peningkatan kadar hCG lebih dari 10% dari tiga nilai yang tercatat
selama durasi 2 minggu (hari 1, 7, dan 14).
- hCG yang terdeteksi menetap selama lebih dari 6 bulan setelah
evakuasi molar.

Pemeriksaan β-hCG serum secara kuantitatif, dilakukan setiap minggu


untuk mola hidatidosa risiko tinggi dan setiap 2 minggu untuk mola hidatidosa
risiko rendah. Adapun batas akhir penilaian β-hCG kuantitatif berdasarkan pada
kriteria Mochizuki adalah:

- Pada minggu ke-4, kadar β-hCG ≤ 1000 m IU/ml.


- Pada minggu ke-6, kadar β-hCG ≤ 100 m IU/ml.
- Pada minggu ke-8 kadar β-hCG ≤ 20-30 mIU/ml.
- Pada minggu ke-12 kadar β-hCG ≤ 5 m lU/ml.

Bila ternyata didapatkan perkembangan penyakit menjadi Gestational


Trophoblastic Neoplasia maka langkah selanjutnya adalah menentukan nilai ada
tidaknya metastastis dan lokasi metastasisnya dengan menggunakan Stadium
International Federation of Gynecologists and Obstetricians (FIGO), sebagai
berikut :

1. Stadium I: Penyakit terbatas pada uterus.

14
2. Stadium II: GTN menyebar ke luar uterus, tapi terbatas pada struktur
genital (adneksa, vagina, broad ligament).
3. Stadium III: GTN menyebar ke paru, dengan atau tanpa keterlibatan
traktus genital.
4. Stadium IV: Semua tempat metastasis lainnya.

Setelah menentukan stadium dari perkembangan penyakit langkah selanjutnya


adalah menentukan Risk Score dari Gestational Trophoblastic Neoplasia dengan
menggunakan modifikasi skor prognostik World Health Organization (WHO)
yang diadaptasi dari International Federation of Gynecology and Obstetrics
(FIGO). Dimana Skor 0 – 6 menunjukkan risiko rendah, sedangkan skor ≥ 7
menunjukkan risiko tinggi.

Langkah selanjutnya setelah menentukan skornya adalah penatalaksanaan


secara kemoterapi. Dan untuk kemoterapi ada baiknya dilakukan oleh ahli
onkologi. Kemoterapi adalah tatalaksana primer dan evakuasi berulang tidak
disarankan karena risiko perforasi, perdarahan, infeksi dari uterus atau terjadinya
adhesi di intrauterin. Meskipun demikian, pertimbangan evakuasi kedua setelah
evakuasi mola pertama dilakukan untuk menghindari atau meminimalkan
kemoterapi.10 Manfaat evakuasi kedua akan lebih besar jika kadar serum Beta-
Human Chorionic Gonadotrophin (β-hCG) < 1.500 IU/L.18 Kuretase mungkin
diperlukan jika didapatkan perdarahan atau jaringan mola yang cukup besar.
Sementara itu, histerektomi dapat menjadi terapi primer atau terapi yang
membantu untuk beberapa kasus.

Kemoterapi dengan obat tunggal biasanya cukup untuk dilakukan pada


penyakit trofoblastik ganas dengan risiko rendah. Obat tunggal yang bisa
digunakan, yaitu metotreksat (MTX) atau aktinomisin D (ActD) karena dapat
menginduksi remisi 50 – 90%. MTX dan Act D memiliki efektivitas yang mirip,
tetapi MTX jauh lebih kurang toksik dibandingkan Act D. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal atau gangguan fungsi hati digunakan Act D.

Sementara itu, pasien penyakit trofoblastik ganas dengan risiko tinggi


harus ditatalaksana menggunakan beberapa obat kemoterapi dengan atau tanpa
bantuan operasi dan radioterapi. Pada 1980 ditemukan kombinasi obat kemoterapi

15
yang efektif untuk penyakit trofoblastik ganas, yaitu etoposid, MTX, ActD,
siklofosfamid, dan vincristine (EMA-CO).11,19,20 Semua pasien dengan penyakit
trofoblastik ganas harus dilakukan follow up setiap minggunya untuk mengukur
kadar serum β-hCG sampai tidak terdeteksi selama 3 minggu berturut-turut.
Kemudian pengukurannya dilanjutkan setiap bulannya sampai tidak terdeteksi
selama 12 bulan.

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi Mola Hidatidosa adalah :
1. Perdarahan hebat
2. Anemia
3. Syok Hipovolemik
4. Hipertiroidisme
5. Respiratory Distress
6. Perforasi Uterus
7. Neoplasma Trofoblas Gestasional (mola invasive, koriokarsinoma, dan
placental site trophoblastic tumor)
8. Infeksi Sekunder
9. Toxemia

I. Prognosis

Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh pendarahan, infeksi, lemah


jantung atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak
ada lagi tetapi di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara
2,2%-5,7%. Sebagian dari pasien mola akan sehat kembali setelah jaringannya
dikeluarkan, tetapi ada sebagian yang kemudian menderita regenerasi keganasan
menjadi koriokarsinoma. Presentase keganasan yang terjadi berkisar antara
5,56%.7 Tetapi kebanyakan prognosis umum untuk pasien Mola Hidatidosa,
dikarenakan masih bentuk jinak prognosisnya masih dubia ad bonam.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Winkjosastro H. Mola Hidatidosa. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2011.
2. Bruce, S., Sorosky, J. (2019). Gestational Trophoblastic Disease. Abington
Hospital.
3. Pradjatmo, H., Dasuki, D., Dwianingsih, E. K., Triningsih, E. (2015).
Malignancy Risk Scoring of Hydatidiform Moles. Asian Pacific Journal of
Cancer Prevention. Vol 16. 2015.
4. Sarah D. Profil Mola Hidatidosa. J e-Clinic. 2015;3:3–6.
5. Paputungan T V., Wagey FW, Lengkong RA. Profil penderita Mola
Hidatidosa di RSUP Prof . Dr . R . D . Kandou. J e-Clinic [Internet].
2016;4(1):215–22. Available from:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/download/10958/105
47
6. Lurain JR. Gestational trophoblastic disease I: Epidemiology, pathology,
clinical presentation and diagnosis of gestational trophoblastic disease, and
management of hydatidiform mole. Am J Obstet Gynecol [Internet].
2010;203(6):531–9. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2010.06.073Hancock BW, Tidy JA.
Current management of molar pregnancy. J Reprod Med Obstet Gynecol.
2002;47(5):347–54.
7. dr. Ratna Dewi Puspita Sari, S. Ked. S. Hubungan Riwayat Abortus
Dengan Kejadian Mola Hidatidosa Pada Wanita Usia Reproduktif Di Rsud
Abdul Moeloek Lampung [Internet]. 2018. 21–29 p. Available from:
http://repository.lppm.unila.ac.id/10424/1/dr Ratna DPS %28Laporan
Penelitian Fakultas 2018%29.pdf
8. Kusuma A, Pramono B. Karakteristik Mola Hidatidosa Di Rsup Dr.
Kariadi Semarang. J Kedokt Diponegoro. 2017;6(2):319–27.
9. Ivan Sanusi, Muhammad Hakimi S. Faktor - Faktor Risiko Penyakit
Trofoblas. In: Ivan Sanusi, Muhammad Hakimi S, editor. Berkala Ilmu
Kedokteran. Yogjakarta: Bagian Ilmi Kebidanan dan Penyakit Kandungan

17
Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta; 1996. p. 83–
90.
10. Harjito VN, Hidayat YM, Amelia I. Hubungan antara Karakteristik Klinis
Pasien Mola Hidatidosa dengan Performa Reproduksi Pascaevakuasi di
Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. J Sist Kesehat. 2017;3(1):25–31.
11. F. Gary Cunningham Kenneth J. Leveno Steven L. Bloom Catherine Y.
Spong Jodi S. Dashe Barbara L. Hoffman Brian M. Casey Jeanne S.
Sheffield. Williams Obstetrics. 24th ed. F. Gary Cunningham Kenneth J.
Leveno Steven L. Bloom Catherine Y. Spong Jodi S. Dashe Barbara L.
Hoffman Brian M. Casey Jeanne S. Sheffield, editor. McGraw Hill
Education;
12. Purba YS, Munir MA, Saranga D. Mola Hidatidosa. Med Prof [Internet].
2019;1 (1)(1):79–86. Available from:
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/jmp/article/download/12052/923
0
13. Narottama H, Gumilar E, Askandar B. Kehamilan Kembar Disertai Mola
Hidatidosa. J Ilm Kedokt Wijaya Kusuma. 2019;8(2):75–83.
14. Wargasetia TL, Nataprawira HMD, Fakultas B, Universitas K, Maranatha
K. Aspek Patobiologis pada Penyakit Trofoblas Gestasional. Jkm.
2011;2(2):190–205.
15. Olivia FC. Case Report : Seorang Wanita 30 Tahun Dengan Mola
Hidatidosa Komplet. Majority. 2016;5(April):142.
16. Muzayyanah. Studi Kasus : Mola Hidatidosa. In: Mutiara Medika. 2nd ed.
Yogjakarta; 2002. p. 55–61.
17. Aprianti S. Penelitian Kadar b-hCG Penderita Mola Hidatidosa Sebelum
dan Sesudah Kuratase. Indones J Clin Pathol Med Lab. 2006;13(1):1–3.
18. Figo Oncology Committee. FIGO staging for gestational trophoblastic
neoplasia 2000. Int J Gynecol Obstet. 2002;77(3):285–7.
19. Hussain A, Aziz SA, Bhat GM, Lone AR. Gestational Trophoblastic
Neoplasia. Tumors Cancers Ski Tissue-Bone-Urogenitals. 2017;115–20.
20. Biscaro A, Braga A, Berkowitz RS. Diagnóstico, classificação e
tratamento da neoplasia trofoblástica gestacional. Rev Bras Ginecol e

18
Obstet. 2014;37(1):42–51.

19

Anda mungkin juga menyukai