Anda di halaman 1dari 16

A.

Pendahuluan
Mola hidatidosa atau lebih dikenal dengan hamil anggur merupakan penyakit trofoblastik
gestasional yang sering ditemukan. Penyakit ini merupakan salah satu kelainan dari kehamilan yang
ditandai dengan perkembangan embrionik yang abnormal. Penyakit ini biasanya terjadi pada
kebanyakan wanita Asia dan Afrika. Angka kejadian mola di rumah sakit besar di Indonesia sekitar 1 :
80 persalinan normal sedangkan di Amerika Serikat, angka kejadian hanya 1 : 1000 dan di negara Barat
1 : 600 kehamilan.1,2
Etiologi dari penyakit ini bermacam macam termasuk berbagai kombinasi dari faktor lingkungan
dan genetik. Usia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi dimana mola biasanya muncul
pada pasien yang berusia muda (< 16 tahun) dan usia yang lebih tua yaitu >45 tahun.2,3
Penyakit ini dibagi menjadi 2 yaitu mola hidatidosa parsial dan komplit. Pembagian ini didasarkan
atas morfologi makroskopis, histopatologis dan kariotipe.4
Penyakit ini masih kurang disadari dan dimengerti oleh banyak orang. Hal ini ditandai dengan
kebiasaan penderita yang datang ke rumah sakit saat ia telah menderita perdarahan, anemia berat
bahkan syok sampai perkembangan menjadi degenerasi malignan.5 Angka kejadian degenerasi
malignan sebesar 9 20 % pada mola komplit dan 1 % pada mola parsial.6
Oleh karena hal tersebut maka dibutuhkan deteksi dini yang dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan pelayanan primer melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, serta pemahaman
patofisiologi, dan manajemen yang baik agar didapatkan hasil yang efektif dan efisien

B. Kasus
Seorang pasien G7P5A1 berusia 51 tahun, datang ke Poliklinik Kandungan dan Kebidanan RS
Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan keluhan nyeri perut yang sering hilang timbul. Nyeri
perut kadang di sertai dengan keluarnya darah dari kemaluan berwarna merah segar tanpa di sertai
dengan adanya gumpalan darah berwarna seperti hati (-). Volume darah yang keluar bervariasi, mulai
1x hingga 3x pasien mengganti pembalut. Adanya gelembung seperti mata ikan tidak di perhatikan,
namun tidak ada keluhan keputihan atau nyeri pada daerah kelamin.
Pasien mengatakan pernah di lakukan tindakan kuretase pada Desember 2016 di karenakan
terdiagnosis Hamil Anggur. Kemudian jaringan hasil tindakan kuretase dilakukan Pemeriksaan
Laboratorium Patologi Anatomi. Pada kehamilan saat ini pasien menyampaikan sudah dikatakan hamil
12 minggu. Riwayat hubungan seksual sebelumnya selama kehamilan (-), riwayat di urut-urut
sebelumnya (-), riwayat penggunaan obat-obatan (-), riwayat perut kencang sebelunya (-), riwayat
pengguaan KB (+) selama 18 tahun.
Riwayat persalinan dan kehamilan sebelumnya, Tahun kelahiran kelima anak secara berurutan
tahun 1982, 1984, 1989, 1991, 1992. Semua anak lahir spontan, di rumah, dengan di bantu dukun,
anak ke-1, ke-2, dan ke-5 berjenis kelamin perempuan. Kelima anak hidup sehat hingga sekarang.
Riwayat menarkhe pada usia 15 tahun, riwayat haid siklus teratur, dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan keadaan umum tampak baik, kesadaran kompos mentis,
tanda vital: TD 130/90 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 36,4oC. Status gizi normal.
Pada status generalis, pemeriksaan kepala, thoraks, abdomen, dan ekstremitas dalam batas normal.
Hasil pemeriksaan status obstetrik di dapatkan, pada pemeriksaan luar berupa perut sedikit
cembung, lemas, dan striae (-). Pada palpasi nyeri tekan (+), massa (-), uterus setinggi 3 jari di bawah
pusar, ballottement (-), denyut jantung janin (-). Tidak di lakukan pemeriksaan Vaginal Toucher (VT),
perdarahan pervaginam (-)
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb= 9.4 gr/dL, AL= 10.000/uL, Hmt= 29%, AE= 3.4
juta/uL, AT= 395.000/uL. Urin rutin= warna kuning, jernih, Ph 5.0, protein urin nrgatif, reduksi negatif,
leukosit urin +(1-2)/lpb, eritrosit urin +(2-3)/lpb. Kimia klinik= GDS 90.4 mg/dL, Cholesterol total 121,2
mg/dL, Creatinin 0.71 mg/dL, Asam urat 6.39 mg/dL. Seroimunologi: HBsAg (-)/Negatif. Tiroid: TSH
0.96 uIU/L, FreeT4 19.24 nmol/L, T3 3.11 nmol/L. Dan pemeriksaan kehamilan di dapatkan tes
kehamilan positif. Kemudian pada pasien dilakukan pula pemeriksaan USG dan di dapatkan hasil:
Tampak uterus membesar uk: 10.7x4.3 cm; Tampak gambaran Honeycomb di uterus; Kesan Mola
Hidatidosa berulang.
Diagnosis yang di tetapkan pada pasien adalah G7P5A1 dengan Mola Hidatidosa Berulang. Pasien
didiagnosa banding dengan koriokarsinoma. Tatalaksana yang di lakukan pada pasien berupa
observasi KU, tanda vital dan perdarahan, serta rencana kuretase. Terapi yang di berikan sebelum
tindakan kuretase berupa antibiotik Cefazoline 1 gram/24 jam/IV, induksi Oxytocin 10 IU dalam cairan
kristaloid 500 ml 30 tpm/kontinue, dan Invitec 400 mcg/ 6 jam/ PO.
Dilakukan tindakan kuretase dengan urutan 1). Prosedur rutin pre operatif 2). Preparasi vulva dan
vagina 3). Sondase: 18 cm, RF sedikit miring 4). Dilakukan kuretase sistematis hingga bersih,
didapatkan jaringan: 180 ml, darah 50 ml 5). Sondase ulang: 18 cm 6). Kuretase selesai. Selanjutnya di
lakukan perwatan post operatif berupa observasi KU, tanda vital dan perdarahan, serta terapi Infus
Futrolit 30 tts/menit, Asam tranexamat 500 mg/8 jam/IV, Cefadroxil 200 mg/12 jam/PO, Asam
Mefenamat 500 mg/8 jam/PO, Ranitidine 150 mg/8 jam/PO, Asam Tranexamat 500 mg/8 jam/PO.
C. Pembahasan
Mola Hidatidosa
1. Definisi
Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma villus korialis langka
vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi villus-villus yang membesar dan
edematus itu hidup dan tumbuh terus.
Gambaran makroskopis yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Jaringan trofoblas
pada villus kadang-kadang berproliferasi ringan kadang-kadang keras, dan mengeluarkan human
chorionic gonadotropin (HCG) dalam jumlah lebih besar daripada kehamilan biasa.4
Ada atau tidak adanya fetus atau embrio telah digunakan sebagai pemisah apakah mola
hidatidosa komplit atau parsial.

2. Epidemiologi
Kehamilan mola telah dilaporkan insidennya berkisar antara 0,5 sampai 2,5 dari 1000 wanita
hamil.5 Tingginya insiden kehamilan mola pada beberapa tempat disebabkan oleh banyak faktor
termasuk ras, status ekonomi, usia, kebiasaan makan, riwayat reproduksi dahulu. Wanita Asia
diketahui memiliki kemungkinan untuk mengalami kehamilan mola 10 kali lebih tinggi dari pada
wanita Eropa dan Amerika Utara. Peningkatan progresif kejadian kehamilan mola telah diobservasi
dan diduga adanya konsumsi karoten dan lemak hewani yang kurang. Wanita pada akhir usia
reproduktifnya lebih tinggi kemungkinannya untuk mengalami kehamilan mola, apalagi jika mereka
berusia tua, risiko untuk mengalami kehamilan mola antara 300-400 kali lipat bila dibandingkan
dengan wanita usia 20 29. Parazzini dkk menyimpulkan risiko mengalami kehamilan mola komplet
bertambah seiring dengan bertambahnya usia pria, tapi tidak ada efek yang ditemukan terhadap
kehamilan mola parsial.6 Sebagai tambahan wanita dengan riwayat kehamilan mola memiliki risiko
10 kali lipat untuk terjadinya kehamilan mola kedua.5

3. Etiologi dan faktor risiko1,2,6,7


1. Umur
Insidensi kehamilan mola meningkat 2x lipat pada wanita berumur lebih dari 35 tahun. Pada
wanita di atas 40 tahun kejadiannya meningkat 5-7,5 kali lipat. Beberapa penelitian menunjukan
peningkatan insiden mola pada wanita hamil usia belasan tahun. La Vecchia dkk melaporkan
peningkatan kejadian sebanyak 4 kali lipat bila usia ayah lebih dari 45 tahun. Pada mola parsial
tidak ada hubungan antara umur ibu dengan angka kejadian. 7
2. Etnis
Penelitian di Hawaii oleh Matsuura dkk menunjukan kejadian yang lebih tinggi pada wanita
Filipina dan Jepang dibandingkan dengan kejadian tersebut pada wanita kulit putih dan penduduk
asli Hawaii. Di Singapura juga didapatkan wanita keturunan Eurasian mempunyai kemungkinan
dua kali lipat dibandingkan wanita keturunan Cina, India dan Malaysia. Di Cina, etnis yang terbesar
yaitu Han mempunyai tingkat kejadian yang paling rendah dibandingkan etnis Zhuang dan
Mongolia.
3. Riwayat mola
Wanita dengan kehamilan mola sebelumnya mempunyai risiko 10 kali lipat dibandingkan
populasi pada umumnya.
4. Faktor reproduktif dan kontrasepsi
Kejadian mola hidatidosa mengalami peningkatan 2 kali lipat pada wanita yang sebelumnya
mengalami abortus spontan. 7 Peningkatan Paritas tidak secara signifikan mempengaruhi kejadian
mola. Tahun 1976 Stone dkk menemukan hubungan antara pemakaian kontrasepsi oral dengan
kejadian Mola, tetapi peneliti lain tidak menemukan hubungan tersebut.
5. Faktor Nutrisi
Studi perbandingan kasus di Amerika dan Itali memperlihatkan penurunan insidensi mola
dengan intake lemak binatang dan beta karoten yang tinggi.
6. Paparan herbisida
Penelitian di Vietnam menunjukan pengaruh buruk agen orange dan kontaminannya, yaitu
TCDD (2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioxin) terhadap kejadian mola.

4. Patogenesis
Beberapa teori yang menerangkan patogenesis penyakit ini adalah:,4
1. Teori missed abortion
Kematian mudigah pada usia kehamilan 3-5 minggu, saat seharusnya sirkulasi fetomaternal
sudah terbentuk, menyebabkan gangguan peredaran darah. Sekresi dari sel-sel yang mengalami
hiperplasia menghasilkan substansi-substansi yang berasal dari sirkulasi darah ibu, dan substansi
substansi tersebut diakumulasikan ke dalam stroma vili sehingga terjadi kista vili yang kecil-kecil.
Cairan yang terdapat dalam kista tersebut adalah cairan interstitial yang menyerupai cairan asites atau
edema, tetapi kaya akan hCG.
2. Teori neoplasma dari Park
Teori ini mengemukakan bahwa yang abnormal adalah sel-sel trofoblas, yang mempunyai fungsi
yang abnormal pula, yaitu terjadi resorpsi cairan yang berlebihan ke dalam vili sehingga timbul
gelembung. Hal ini menyebabkan gangguan peredaran darah dan kematian mudigah. Sebagian dari
vili berubah menjadi gelembung-gelembung yang berisi cairan jernih. Biasanya tidak ada janin, hanya
pada mola parsial kadang-kadang ditemukan janin. Gelembung-gelembung ini sebesar butir kacang
hijau sampai sebesar buah anggur. Gelembung ini dapat mengisi seluruh kavum uteri.
Patogenesis molekuler penyakit ini secara pasti belum diketahui. Penelitian yang dilakukan oleh
Berkowitz menunjukan peningkatan ekspresi onkoprotein Penelitian terhadap gen p53 tidak
menunjukan hasil yang berarti. 4,6. Sinsitiotrofoblas yang berproliferasi menghasilkan hCG, sehingga
pada penyakit ini terjadi peningkatan kadar hCG di serum dan urin.

5. Histopatologi2
Mola hidatidosa adalah lesi dari plasenta dengan ciri degenerasi hidropik dari vili korialis dan
proliferasi trofoblas yang dibagi menjadi mola komplit dan mola parsial
Mola Komplit
Gambaran makroskopis
Villi edematus, secara masif membesar membentuk gambaran seperti buah anggur, ukuran
diameternya mulai dari beberapa milimeter sampai yang terbesar lebih kurang 3 cm, rata-rata
diameternya adalah 1,5 cm.
Gambaran mikroskopis
Tampak proliferasi trofoblas, banyak trofoblas yang menunjukan sitologi atipia. Stroma vili
berdegenerasi hidropik dan edematus, tidak ada jaringan embrio atau fetus. Kebanyakan villi
membentuk central cistern yaitu daerah di tengah-tengah yang acelular. Villi ini biasanya
avaskular, kadang-kadang ada daerah yang vaskular yang mengandung debris nekrotik. Dapat
ditemukan kalsifikasi pada villi.
Mola parsial
Gambaran makroskopis
Volume jaringan biasanya kecil kurang dari 100 sampai 200 ml. Villi tampak membesar tetapi
biasanya ukurannya lebih kecil dari pada mola komplit. Biasanya terlihat plasenta normal, demikian
pula fetus atau selaput amnion.
Gambaran mikroskopis
Terdapat 2 jenis trophoblas, sebagian dengan ukuran normal dengan degenerasi hidropik dan
proliferasi trophoblas fokal. Sentral cistern jarang terlihat, villi memperlihatkan fibrosis pada
stroma. Hiperplasia trofoblas lebih jelas terlihat dibandingkan mola komplit. Sel atipia jarang
terlirhat. Ciri lain yang biasa terdapat adalah invaginasi trofoblas pada stroma villi, sehingga
membentuk scalloping.
6. Klasifikasi
Secara histopatologis pembakuan istilah yang dianjurkan WHO adalah sebagai berikut:
1. Mola hidatidosa : terbagi menjadi molahidatidosa komplit dan parsial
2. Mola invasif : berupa gambaran hyperplasia trofoblas dan gambaran yang
menyerupai jaringan plasenta. Pada pemeriksaan imnuhistokimia dapat diketahui bahwa
mayoritasadalah sel trofoblas intermediet.Mola invasif dibedakan dari koriokarsinoma dari
adanya gambaran vili.
3. Koriokarsinoma gestasional : Karsinoma yang berasal dari jaringan trofoblas dengan elemen
sitotrofoblas dan trofolas.
4. Placental site trophoblastic tumor (PSST) Berasal dari tempat melekatnya plasenta dan mayoritas
adalah sel tropoblas intermediet.6
Berdasarkan gambaran histopatologi mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu:2,4
1. Mola hidatidosa komplit (klasik)
Struktur dan gambaran histologinya ditandai oleh:
Degenerasi hidropik dan pembengkakan stroma villi
Tidak adanya pembuluh darah dalam vili
Proliferasi epitel trofoblas sehingga mencapai derajat yang beragam
Tidak ditemukan janin dan amnion

Kehamilan mola komplit sepenuhnya diturunkan dari pihak laki-laki dan memiliki karakteristik
predominan kariotipe 46 xx ( > 90%), dengan kromosom sepenuhnya berasal dari ayah. Ovum dibuahi
oleh sebuah sperma haploid yang kemudian mengadakan duplikasi kromosomnya sendiri setelah
miosis dan nukleus ovum tersebut dapat hilang atau tidak-teraktivasi. Kromosom ovum biasanya tidak
terlihat atau tampak tidak aktif. Walaupun sebagian besar mola komplit memiliki pola kromosom
46xx, sekitar 10% memiliki kariotipe 46xy. Kromosom pada mola komplit 46xy juga tampaknya berasal
dari paternal seluruhnya, tetapi pada keadaan ini, telur yang kosong difertilisasi oleh dua sperma.
Kariotipe ini mungkin berhubungan dengan kejadian keganasan di kemudian hari. Variasi lain juga
pernah dikemukakan yaitu 45x. Risiko neoplasia trofoblastik yang terjadi pada mola komplit kurang
lebih sebesar 20%.
Gambar 1. Sketsa mola hidatidosa komplit

Gambar 2. Kariotipe mola hidatidosa komplit


2. Mola hidatidosa parsial
Jika perubahan hidatidosa bersifat fokal serta belum begitu jauh dan masih terdapat janin atau
sedikitnya kantong amnion, keadaan ini digolongkan sebagai mola hidatidosa parsial. Pada sebagian
villi yang biasanya avaskuler terjadi pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara villi
lainnya yang vaskuler dengan sirkulasi darah fetus plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami
perubahan.
Hiperplasia trofoblastik yang terjadi, lebih bersifat fokal daripada generalisata, kariotipe secara
khas lebih tripoid, yang bisa 69, XXY atau 69, XYY, dengan satu komplemen maternal tapi biasanya
dengan dua komplemen haploid paternal. Janin secara khas menunjukkan stigmata triploid yang
mencakup malformasi kongenital multipel dan retardasi pertumbuhan. Risiko terjadinya
koriokarsinoma yang berasal dari mola hidatidosa parsial sangat kecil.

Gambar 3. Kariotipe mola hidatidosa parsial


Mola Komplit Mola Parsial
Jaringan fetal atau embrio Tidak ada Ada
Pembengkakan hidatidosa dari vili korialis Difus Fokal
Hiperplasia trofoblastik Difus Fokal
Pengelupasan vili korialis Tidak ada Ada
Inklusi stroma trofoblastik Tidak ada Ada
Kariotipe 46XX; 46XY 69XXY; 69XYY
Tabel 1. Gambaran hidatidosa komplit dan parsial
3. High Risk dan Low Risk
Penyakit trofoblas gestasional atau Gestational trophoblastic disease (GTD) merupakan sebuah
spektrum tumor-tumor terkait, termasuk mola hidatidosa, mola invasif, placental-site trophoblastic
tumor dan koriokarsinoma, yang memiliki berbagai variasi lokal invasi dan metastasis.Menurut
FIGO,2006 istilah Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) atau Penyakit tropoblas ganas (PTG)
menggantikan istilah istilah yang meliputi chorioadenoma destruens, metastasizing mole, mola invasif
dan koriokarsinoma. 1
Staging klinik menurut Hammond menyatakan PTG terbagi 2 yaitu PTG tidak bermetastasis dan
PTG bermetastasis. PTG bermetastasis terbagi risiko rendah dan risiko tinggi. Faktor risiko tinggi bila
kadar HCG urin >100.000 u/ml atau kadar HCG serum >40.000 u/ml, interval lebih dari 4 bulan,
bernetastasis ke otak atau hati, kegagalan kemoterapi sebelumnya, kehamilan sebelumnya adalah
kehamilan aterm.4
Berapa faktor resiko yang berhubungan dengan perubahan mola hidatidosa komplit menjadi Penyakit
tropoblas ganas (PTG). 16
a. kadar HCG praevakuasi 100.000 mIU/mL
b. Gambaran histopatologi proliferasi sel sangat berlebih
c. Terdapat kista lutein
Ketiganya mempunyai hubungan yang kuat dengan terjadinya keganasan pascaevakuasi mola.
Variabel faktor risiko tersebut mampu digunakan untuk memilah/memprediksi penderita mola yang
akan menjadi PTG (risko tinggi) atau kembali normal (risiko rendah).
Sedangkan menurut The International Federation of Gynecology and Oncology (FIGO)
menetapkan bebrapa kriteria yang dapat digunakan untuk mendiagnosis PTG yaitu5:
1. Menetapnya kadar B HCG pada empat kali penilaian dalam 3 minggu atau lebih (misalnya hari
1,7, 14 dan 21)
2. Kadar B HGC meningkat pada selama tiga minggu berturut-turut atau lebih (misalnya hari 1,7
dan 14)
3. Tetap terdeteksinya B HCG sampai 6 bulan pasca evakuasi mola.
4. Gambaran patologi anatomi adalah koriokarsinoma.

7. Diagnosis2,4.,6,7
1. Gejala Klinik
Pada umumnya kehamilan dengan mola hidatidosa memberikan gejala klinis sebagai berikut :
a. Perdarahan pervaginam
Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
kehamilan mola hidatidosa komplit, dan terjadi pada 97% kasus. Jaringan mola dapat terpisah dari
desidua dan merusak pembuluh darah maternal, dan sejumlah besar darah yang tertahan dapat
mengganggu pembuluh darah maternal. Ketika bekuan-bekuan darah intrauterin mengalami
oksidasi dan pencairan, cairan seperti jus buah prune akan mengalir ke dalam vagina. Oleh
karena perdarahan pervaginam dapat banyak dan memanjang, setengah dari pasien akan
mengalami anemia (kadar hemoglobin < 10 g/100 mL).
b. Tidak adanya aktivitas janin.
c. Eklampsi dan preeklampsi
Eklampsi dan preeklamsi pada trimester pertama atau pada awal trimester kedua yang
merupakan hal yang tidak biasa pada kehamilan normal, telah dikatakan sebagai hal
patognomonik pada mola hidatidosa, walaupun hanya terjadi pada 10-12% pasien.
d. Hiperemesis
Mual dan muntah yang sering berlebihan, dilaporkan terjadi 14-32% pasien mola, walaupun hal
ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10% pasien mola dengan mual dan muntah
cukup berat sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.
e. Mola hidatidosa sering disertai dengan kista lutein
Kista teka lutein multipel yang menyebabkan pembesaran satu atau kedua ovarium terjadi pada
15-30% penderita mola. Umumnya kista ini menghilang setelah jaringan mola dikeluarkan tetapi
ada juga kasus kista lutein baru ditemukan pada saat pemantauan. Kasus mola dengan kista lutein
mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk mendapatkan degenerasi keganasan di kemudian hari.
Kista lutein ini diperkirakan terjadi akibat rangsangan elemen lutein yang berlebih oleh hormon
korionik gonadotropin dalam jumlah besar yang disekresi oleh trofoblas yang berproliferasi. Pada
setengah jumlah kasus, kedua ovarium membesar dan involusi dari kista terjadi setelah beberapa
minggu, biasanya seiring dengan penurunan kadar hCG. Tindakan bedah hanya dilakukan bila
ada ruptur dan perdarahan atau pembesaran ovarium tadi mengalami infeksi. Setelah evakuasi
mola, kista lutein normalnya mengecil secara spontan dalam waktu 2 sampai 4 bulan.
f. Embolisasi
Sejumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma vili keluar dari uterus ke vena pada saat evakuasi.
Sebetulnya pada setiap kehamilan selalu ada migrasi sel trofoblas ke peredaran darah kemudian
ke paru tanpa memberi gejala apapun. Tetapi pada kasus mola kadang-kadang sel trofoblas ini
sedemikian banyak sehingga dapat menimbulkan emboli paru akut yang dapat menyebabkan
kematian. Jumlah dan volume akan menentukan gejala dan tanda dari emboli paru akut bahkan
akibat yang fatal, walaupun kefatalan jarang terjadi.
g. Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola sering meningkat, namun gejala
hipertiroid jarang muncul. Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat
dengan besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadi tirotoksikosis. Oleh
karena kasus mola dengan uterus besar masih banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada
setiap kasus mola hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif. Mola yang disertai
tirotoksikosis mempunyai prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penyebab kematian adalah krisis tiroid. Peningkatan
tiroksin plasma biasanya disebabkan oleh efek dari estrogen seperti yang dijumpai pada
kehamilan normal. Kadar tirosin bebas dalam serum yang meningkat disebabkan oleh thyrotropin
like effect dari hormon korionik gonadotropin. Terdapat korelasi antara kadar hCG dan fungsi
endogen tiroid, tetapi hanya kadar hCG yang melebihi 100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:1
Inspeksi
- Muka dan kadang-kadang badan kelihatan pucat kekuning-kuningan yang disebut muka mola
(mola face).
- Kalau gelembung mola keluar dapat dilihat jelas
Palpasi
- Uterus membesar tidak sesuai dengan tuanya kehamilan, teraba lembek
- Tidak teraba bagian-bagian janin dan balotemen dengan gerak janin
Auskultasi
- Tidak terdengar bunyi denyut jantung janin (pada mola hidatidosa parsial mungkin dapat
didengar BJJ)
- Terdengar bising dan bunyi khas
Pemeriksaan dalam
- Pastikan besarnya rahim, rahim terasa lembek, tidak ada bagian-bagian janin, terdapat
perdarahan dan jaringan dalam kanalis servikalis dan vagina, serta evaluasi keadaan serviks.
3. Pemeriksaan Penunjang 2,4,6,7
a. Laboratorium
Karakteristik yang terpenting pada penyakit ini adalah kemampuannya untuk memproduksi
HCG, sehingga jumlahnya meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kadar -hCG seharusnya pada
usia kehamilan yang sama.
Hormon ini dapat dideteksi pada serum maupun urin penderita dan pemeriksaan yang lebih
sering dipakai adalah -hCG kuantitatif serum. Pemantauan secara hati-hati dari kadar -hCG
penting untuk diagnosis, penatalaksanaan dan tindak lanjut pada semua kasus penyakit trofoblastik.
Jumlah hCG yang ditemukan pada serum atau pada urin berhubungan dengan jumlah sel-sel tumor
yang ada.
b. Ultrasonografi
Pada kelainan mola, bentuk karakteristik berupa gambaran seperti badai salju dengan atau
tanpa kantong gestasi atau janin. USG dapat menjadi pemeriksaan yang spesifik untuk membedakan
antara kehamilan normal dengan mola hidatidosa.
Pada 15 25 % kasus mola komplit dijumpai adanya massa kistik di daerah adneksa. Massa
tersebut berasal dari kista teka lutein ukuran > 6 cm.8 USG telah menggantikan semua sarana
diagnostik dalam menegakkan diagnostik mola.9,10

8. Kriteria diagnostik2,6
Pada beberapa kasus, vesikel mola hidatidosa yang berupa gambaran anggur dikeluarkan
sebelum mola secara spontan abortus atau dikeluarkan dengan operasi. Pengeluaran secara spontan
umum terjadi pada minggu ke-16 dan jarang terjadi setelah 28 minggu. Penemuan klinik berupa
perdarahan yang menetap dan pembesaran uterus lebih dari usia kehamilan harus dicurigai sebagai
kehamilan mola. Harus juga dipikirkan apakah pembesaran uterus tersebut disebabkan oleh mioma
uteri, hidramnion atau kehamilan ganda. Penegakkan diagnosis yang akurat ialah dengan pemeriksaan
USG.
Sebagai kesimpulan, kriteria diagnostik mola hidatidosa komplit sebagai berikut:
1. Perdarahan yang terus menerus pada kehamilan kurang lebih 12 minggu yang biasanya bersifat
masif dan berwarna kecoklatan.
2. Pembesaran uterus melebihi usia kehamilan.
3. Tidak adanya bagian janin dan denyut jantung janin walupun uterus membesar setinggi pusat
atau lebih.
4. Gambaran USG yang khas yaitu badai salju atau honeycomb.
5. Kadar serum HCG yang lebih tinggi daripada kadar umum berdasarkan usia kehamilan.
6. Preeklampsia dan eklampsia yang muncul sebelum minggu ke-24.
7. Hiperemesis gravidarum.
Diagnosis pasti ditegakkan bila kita melihat lahirnya gelembung-gelembung mola. Tetapi bila
menunggu sampai gelembung mola keluar biasanya sudah terlambat, karena pengeluaran gelembung
umumnya disertai perdarahan yang banyak dan keadaan umum pasien menurun. Yang baik ialah bila
diagnosis mola dapat ditegakkan sebelum keluar gelembung.
9. Komplikasi 2,5,6,7,11
- Perforasi uterus pada saat dilakukan tindakan kuret hisap.
- Perdarahan pasca evakuasi mola. Pemberian oksitosin intra vena sebelum prosedur dimulai
dapat mengurangi kejadian perdarahan ini.
- Koagulasi intravena diseminata dapat terjadi akibat jaringan mola melepaskan faktor-faktor yang
bersifat fibrinolitik.
- Emboli trofoblastik, yang dapat menyebabkan insufisiensi pernapasan akut.
- Syok hipovolemik akibat perdarahan.

10. Penatalaksanaan 1,2,4,5,6,7,11


Penatalaksanaan mola hidatidosa terdiri dari 4 tahap yaitu :
1. Perbaikan keadaan umum
Yang termasuk dalam usaha ini misalnya transfusi darah pada anemia berat atau tatalaksana
syok, dan menghilangkan atau mengurangi penyulit seperti preeklampsia dan tirotoksikosis.
Preeklampsia diobati seperti pada kehamilan biasa, sedangkan untuk tirotoksikosis diobati sesuai
protokol dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Pengeluaran jaringan mola
Bila diagnosis telah ditegakkan dan kondisi yang berkaitan dengan kehamilan mola seperti
anemia berat, hipertensi, hipertiroidisme telah ditegakkan, kehamilan mola harus segera diakhiri. Ada
dua cara evakuasi, yaitu :
a. Kuret hisap
Merupakan tindakan pilihan untuk mengevaluasi jaringan mola, dan sementara proses evakuasi
berlangsung berikan infus 20 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL (sebagai tindakan preventif
terhadap perdarahan hebat dan pencapaian efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara
cepat). Sondase tidak boleh dilakukan untuk mencegah terjadinya perforasi uterus
Kuret hisap sebaiknya diikuti dengan kuret tajam, dan jaringan yang diambil dengan kuret tajam,
dikirimkan secara terpisah ke Bagian Patologi Anatomi untuk membedakan dengan khoriokarsinoma.5
Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan minimal 3 set agar dapat dipergunakan
secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai. Jika terdapat mola hidatidosa yang besar
(ukuran uterus >12 minggu, dan dievakuasi dengan kuret hisap, laparotomi harus dipersiapkan, atau
mungkin diperlukan ligasi arteri hipogastrika bilateral bila terjadi perdarahan atau perforasi).
b. Histerektomi
Sebelum adanya kuret hisap, histerektomi dahulu sering dilakukan pada pasien dengan ukuran
uterus di atas 12-14 minggu. Namun histerektomi saat ini tetap merupakan pilihan pada wanita yang
telah cukup umur dan cukup mempunyai anak. Alasan untuk melakukan histerektomi adalah karena
umur tua dan paritas tinggi merupakan faktor predisposisi timbulnya keganasan. Batasan yang dipakai
adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Tidak jarang bahwa pada sediaan histerektomi bila
dilakukan pemeriksaan histopatologi sudah tampak adanya tanda-tanda mola invasif.
2. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan risiko tinggi keganasan, biasanya diberikan metotreksat atau
aktinomisin D. Tidak semua ahli setuju dengan cara ini, dengan alasan jumlah kasus mola menjadi
ganas tidak banyak dan sitostatika merupakan obat yang berbahaya. Goldstein berpendapat bahwa
pemberian sitostatika profilaksis dapat menghindarkan keganasan dengan metastase, serta
mengurangi koriokarsinoma di uterus sebanyak 3 kali.5
Kadar hCG di atas 100.000 IU/L praevakuasi dianggap sebagai risiko tinggi untuk perubahan
ke arah ganas. Pada kasus ini dapat dipertimbangkan untuk memberikan metotreksat (MTX) 3x5 mg
sehari selama 5 hari dengan interval 2 minggu sebanyak 3 kali pemberian. Dapat juga diberikan
aktinomisisn D 12 g/kgBB/hari selama 5 hari.13
3. Pemeriksaan tindak lanjut
Setelah evakuasi mola atau histerektomi dengan mola in situ, pasien haruslah menjalani
pemeriksaan kadar subunit-beta hCG setiap minggu sampai hasilnya normal untuk tiga minggu
berturut-turut, dan setiap bulan sampai kadarnya normal pada 6 bulan berturut-turut.
Lama pengawasan berkisar antara satu atau dua tahun, mengingat kemungkinan terjadi
keganasan setelah mola hidatidosa ( 20%).12,13 Untuk tidak mengacaukan pemeriksaan selama
periode ini pasien dianjurkan untuk tidak hamil dulu, dengan pemakaian alat kontrasepsi. Selama
pengawasan, secara berkala dilakukan pemeriksaan ginekologik, kadar hCG dan radiologi.
Pemeriksaan kadar hCG dilakukan setiap minggu sampai kadar menjadi negatif selama 4 6 minggu
dan selanjutnya tiap bulan selama 1 tahun dan setelah itu pemeriksaan dilakukan dengan interval 3
bulan. Pemeriksaan Roentgen paru-paru dilakukan untuk mengetahui adanya metastasis.
4. Kontrasepsi7,13
Pasien dimotivasi untuk menggunakan kontrasepsi yang efektif selama tindak-lanjut pemantauan
kadar gonadotropin. Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) sebaiknya tidak dipasang sampai pasien
mencapai kadar hCG normal, oleh karena adanya risiko potensial perforasi uterus. Jika pasien tidak
menginginkan sterilisasi bedah, pilihan kontrasepsi adalah hormonal atau metoda barrier.

11.Prognosis
Pemantauan yang dilihat pada pasien mola hidatidosa yang telah menjalani evakuasi
mengindikasikan bahwa tindakan ini bersifat kuratif pada lebih dari 80% pasien. Mola hidatidosa yang
berulang terjadi pada 0,5 sampai 2,6% dengan risiko yang lebih besar untuk menjadi mola invasif atau
koriokarsinoma. Kurang lebih 20% mola hidatidosa komplit menjadi metastatik koriokarsinoma yang
potensial invasif.7
Stadium dan Skoring Prognosis
Pembagian staging FIGO 1982 bersifat sederhana, mengacu pada hasil pemeriksaan klinis dan
pencitraan, misalnya foto thorak.

Stadium 1 Tumor trofoblastik gestasional terbatas pad korpus uteri

Stadium II Tumor trofoblastik gestasional meluas ke adneksa atau vagina,


namun terbatas pada struktur genitalia.

Stadium III Tumor trofoblastik gestasional bermetastasis ke paru, dengan atau


tanpa metastasis di genitalia interna.

Stadium IV Bermetastasis ke tempat lain

Tabel 2 : Staging klinis menurut FIGO

Ada beberapa sistem yang digunakan untuk mengkategorikan penyakit trofoblas ganas. Semua
sistem mengkorelasikan antar gejala klinik pasien dan risiko kegagalan pada kemoterapi. Sistem
Skoring FIGO tahun 2000 merupakan modifikasi sistem skoring WHO.

Skor faktor risiko menurut FIGO 0 1 2 4


(WHO) dengan staging FIGO

Usia < 40 >=40 - -


Kehamilan sebelumnya Mola Abortus Aterm -

Interval dengan kehamilan <4 4-6 7-12 >12


tersebut (bulan)

Kadar hCG sebelum terapi < 103 103-104 >104-105 >105


(mIU/mL)
Ukuran tumor terbesar, - 3-4 > 5 cm -
termasuk uterus
Lokasi metastasis, termasuk Paru-paru Limpa, ginjal Traktus Otak, hepar
uterus gastrointestinal

Jumlah metastasis yang - 1-4 5-8 >8


diidentifikasi
Kegagalan kemoterapi - - Agen tunggal Agen multipel
sebelumnya
Tabel II : Skoring faktor risiko menurut FIGO (WHO) dengan staging FIGO

DAFTAR PUSTAKA
1. Wiknjosastro H. Mola Hidatidosa dalam: Ilmu Kandungan. Edisi ke-2. Jakarta.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2006; 262 266.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL et al. Disease and Abnormalities of placenta, in William
Obstetrics. 21sted. New York, Mc Graw Hill ; 2001 ; 828 843.
3. Metchick LN, Carlone V, Haag BL. Thyrotoxicosis In : Hospital Physician. www.turner-
white.com : March 2005 p 46-56
4. H Alan, De Cherney, Nathan L. Gestational Trophoblastic Disease. In : Current
Obstetric Gynecologic Diagnose and Treatment. 9th ed. Lange. Baltimore NY. Mc
Graw Hill. 2000; 947 958.
5. Hurteau JA, Gestational trophoblastic disease : Management of Hydatiform mole. In : Clinical
Obstetrics and gynecology, Lippincott Williams & Wilkins, 2003,volume 46, number 3, 557
569.
6. Parazzini F, La Vecchia C Pampallona S. Parental age and risk complete and partial
hydatidiform mole. Br J Obstet Gynaecol. 1996;93:582.
7. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational trofoblastic disease. In : Novaks Gynecology. 13 th ed,
Philadelphia ; Williams & Wilkins, 2002 : 1353 1371
8. Society of Gynecologic oncologies, Diagnosis and treatment of gestational trophoblastic
disease. In : ACOG practice buletin, Clinical management guidelines for obstetrician and
gynecologists number 53, june 2004.
9. Montz FJ, Schlaerth JB, Morrow CP. The Natural history of theca lutein cysts. In : Obstet
Gynecol 1988;72:247-51
10. Soper JT, Lesis JL Jr, Hammond CB. Gestational Trophoblastic disease. In: Hoskins WJ, Perez
CA, Young RC, editors. Principals and practice of gynecologic oncology. 2nd ed. Philadelphia
(PA):Lippincott-Raven: 1997.p. 1039-77
11. Soto Wright V, Bernstein M, Goldstein DP, Berkowitz RS. The changing clinical presentation of
complete molar pregnancy. Obstet Gynecol 1995 ;86:775-9
12. The Management of gestational trophoblastic neoplasia. Royal collage of obstet & gynecol.
Guideline no. 38. February 2004
13. Sebire NJ, Fisher RA, Foskett M et al. Risk of recurrent hydatidiform mole and subsequent
pregnancy outcome following complete or partial hydatidiform molar pregnancy, BJOG,
January 2003 (110); 22-26
14. Carney ME. Treatment of low risk gestational trophoblastic disease. In : Clinical Obstetrics
and gynecology, Lippincott Williams & Wilkins, 2003, volume 46, number 3, 579-592.
15. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Endocrine
Disorders. Williams Obstetric 21 ed. New York, Mc Graw-Hill 2001; 1341-7.
16. Hidayat, Yudi Mulyana; Gandamihardja, Supriadi; Krisnadi, Sofie Rifayani., Hubungan Kadar
HCG Praevakuasi, Gambaran Histopatologi, dan Kista Lutein dengan Performa HCG pada
Penderita Mola Hidatidosa yang Berkembang Menjadi PTG dan Kembali Normal, MKB, Volume
46 No. 4, Desember 2014

Anda mungkin juga menyukai