Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KULIAH PENGANTAR

BLOK 6.B

MAKALAH KEHAMILAN MOLA

“PRINSIP PENANGANAN KEGAWATDARURATAN PADA KEHAMILAN


MUDA”

DOSEN : DR. DR. JOSERIZAL S, SPOG(K)

OLEH : DARA TRI PRAWANGSA (1710333004)

PRODI S1 KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Masa kehamilan merupakan salah satu masa penentu untuk kesejahteraan ibu dan janin.
Perubahan yang terjadi pada masa kehamilan merupakan kondisi normal yang biasa
disebut sebagai kondisi fisiologi terhadap perubahan sistem tubuh wanita seiring dengan
besarnya janin yang dikandungnya. Namun demikian, perubahan yang terjadi dapat pula
menjadi patologis dan dapat mengancam ibu, bayi yang dikandungnya atau kedua-
duanya.

Kondisi patologis dalam kehamilan dapat dialami saat usia kehamilan muda ataupun
kehamilan lanjut. Dalam kondisi demikian dapat terjadi dalam kondisi yang bisa
diprediksikan ataupun tidak. Namun demikian, masalah patologis dalam kehamilan tetap
harus mendapatkan perhatian serius , hal ini terkait erat dengan kedaruratan baik untuk
ibu ataupun janin yang dikandungnya. Kedaruratan yang terjadi pada masa kehamilan
berkaitan erat dengan perdarahan yang memiliki implikasi terjadinya syok. Dengan
kondisi demikian ini dapat menimbulkan gangguan untuk kesejahteraan janin dimana
pada awal kehamilan merupakan masa pembentukan organ atau organogenesis dan
selanjutnya merupakan masa perkembangan janin itu sendiri. Sedangkan, kegawatan
yang terjadi dalam masa kehamilan bagi ibu dapat meningkatkan angka kematian baik
dari kehamilan secara langsung ataupun tidak langsung dari kehamilannya.

Dari berbagai hal kegawatan yang terjadi dalam masa kehamilan baik untuk janin
ataupun ibu, kemampuan kinerja petugas kesehatan mempunyai peran besar dalam
melakukan deteksi awal, penatalaksanaan kedaruratann dan melakukan rujukan
merupakan hal yang sangat membutuhkan kompetensi tersendiri utamanya bagi bidan
selaku ujung tombak bagi pemberi layanan kebidanan. Dengan kompetensi yang dikuasai
oleh bidan, maka asuhan kehamilan dengan kegawat daruratan dapat dilakukan secara
cepat, tepat dan benar.

B. RUMUSAN MASALAH
▪ Apa definisi dari mola hidatidosa ?
▪ Bagaimana tanda dan gejala dari mola hidatidosa ?
▪ Bagaimana gambaran diagnostik dari mola hidatidosa ?
▪ Bagaimana penatalaksanaan atau pengobatan pada klien dengan mola hidatidosa ?
▪ Bagaimana prognosis pada klien dengan mola hidatidosa ?

C. TUJUAN
▪ Agar mahasiswa mengetahui dan memahami pengertian dari mola hidatidosa
▪ Agar mahasiswa mengetahui dan memahami tanda dan gejala dari mola hidatidosa
▪ Agar mahasiswa mengetahui gambaran diagnostik dari mola hidatidosa
▪ Agar mahasiswa mengetahui penatalaksanaan atau pengobatan dari mola hidatidosa
▪ Agar mahasiswa mengetahui prognosis pada klien dengan mola hadatidosa

D. MANFAAT
Setelah membuat makalah mola hidatidosa ini, mahasiswa diharapkan dapat
mengetahui dan memahami pengertian mola hidatidosa, etiologi mola hidatidosa,
patofisiologi mola hidatidosa, tanda dan gejala mola hidatidosa, komplikasi mola
hidatidosa, gambaran diagnostic mola hidatidosa, penatalaksanaan mola hidatidosa,
serta membuat dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada klien dengan mola
hidatidosa.
BAB II

PEMBAHASAN

MOLA HIDATIDOSA

➢ DEFINISI
Mola berasal dari Bahasa Latin yaitu “mola” yang berarti konsepsi palsu sedangkan
hidatidosa berasal dari Bahasa Yunani yaitu “hydatis” yang berarti setetes air atau kista
yang berisi air. Mola hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar
dimana tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan
berupa degenerasi hidropik. Mola hidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang
ditandai oleh beberapa vesikel seperti anggur yang mengisi dan meregangkan rahim,
biasanya dengan tidak adanya janin utuh.

➢ EPIDEMIOLOGI

Mola hidatidosa atau kehamilan mola jarang dijumpai. Diperkirakan insidensi kehamilan
mola di dunia sekitar 1-3 kasus untuk 1000 kelahiran hidup. Taiwan melaporkan
insidensi mola hidatidosa adalah 1 dari 125 kelahiran hidup. Insidensi kehamilan mola di
Eropa 1 dari 1000 kelahiran dan 1 dari 1500 kehamilan di USA. Sedangkan di Asia
Tenggara dan Jepang insidensinya sebesar 2 dari 1000 kehamilan. Kehamilan mola
paling banyak dijumpai pada negara oriental seperti Filipina, Cina, Indonesia, Jepang,
India, Amerika sentral dan latin serta Afrika. Di Indonesia, mola hidatidosa dianggap
sebagai penyakit yang penting dengan insiden yang tinggi (data RS di Indonesia, 1 per 40
persalinan)

➢ ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Penyebab mola hidatidosa masih tidak jelas. Beberapa ahli memperkirakan hal ini
disebabkan oleh kelainan kromosom ovum atau sperma atau kedua-duanya. Beberapa
faktor risiko mola hidatidosa yaitu :

1. Pada usia reproduksi yang ekstrim, yaitu pada usia dibawah 15 tahun memiliki faktor
risiko sekitar 20 kali lebih tinggi daripada wanita berusia 20-40 tahun. Wanita
berusia lebih dari 45 tahun juga beberapa ratus kali lebih berisiko daripada yang
berusia 20- 40 tahun. Hal ini disebabkan bagi wanita yang lebih tua sulit untuk
membuat konsepsi dan kehamilan yang sehar dikarenakan pada perimenopause
ovulasi menjadi tidak teratur sehingga membuat konsepsi sulit. Pada wanita yang
teah berumur, ovum juga semakin berumur sehingga meningkatkan kesempatan
terjadinya kelainan kromosom.

2. Pasien yang telah memiliki riwayat kehamilan mola sebelumnya. Pasien dengan
riwayat kehamilan mola komplit maka risiko untuk menderita kehamilan mola
selanjutnya sebesar 1,5%, sedangkan pasien dengan riwayat kehamilan mola
parsial maka risiko untuk menderita kehamilan mola selanjutnya sebesar 2,7%.
Setelah dua kali kehamilan mola, maka risiko mengalami kehamilan mola pada
kehamilan yang ketiga sebesar 23%.

3. Nutrisi yang buruk. Ketidakcukupan dalam mengkonsumsi protein dan lemak hewani
dapat menjelaskan prevalensi di negara oriental lebih banyak dijumpai. Konsumsi
karoten yang rendah merupakan salah satu faktor risiko yang meningkatkan
kejadian kehamilan mola.

4. Terganggunya mekanisme imun maternal.

(a) meningkatnya level gamma globulin pada penyakit hepar dan

(b) meningkatnya hubungan dengan golongan darah AB yang tidak memiliki


antibody ABO.

5. Tingginya rasio kromosom paternal:maternal,

maka semakin tinggi kejadian mola. Mola komplit menunjukkan rasio kromosom
paternal:maternal sebesar 2:0. Pada mola parsial, rasio kromosom paternal:maternal
sebesar 2:1.

6. Riwayat merokok

7. Riwayat infertilitas, nuliparitas.


➢ KLASIFIKASI

a. Mola hidatidosa diklasifikasikan menjadi dua tipe yaitu mola hidatidosa parsial
(Partial Mola Hydatidosa/PMH) dan mola hidatidosa komplit (Complete Mola
Hyatidosa/CMH). Mola hidatidosa parsial (Partial Mola
Hydatidosa/PMH)
Kehamilan mola dapat terjadi akibat dari kesalahan baik dalam
produksi oosit atau pada saat pembuahan. Biasanya, pembuahan menggabungkan
23,X set kromosom haploid dari ovum dengan 23,X atau 23,Y set kromosom haploid
dari sperma, yang hasilnya menjadi diploid zigot 46,XX atau 46,XY yang merupakan
keseimbangan gen maternal dan paternal. Pada kehamilan mola parsial, biasanya
memiliki triploid kariotipe 69,XXX, 69,XXY atau lebih jarang 69,XYY. Masing-
masing terdiri dari dua set haploid paternal dan satu set haploid maternal. Biasanya
disebabkan oleh masuknya dua sperma yang terpisah ke dalam sel ovum. Zigot
triploid ini dapat menghasilkan beberapa perkembangan embrio, namun pada
akhirnya akan menimbulkan kondisi janin yang mematikan. Janin yang mencapai usia
lanjut memiliki banyak keterlambatan pertumbuhan, beberapa anomali kongenital
atau keduanya. Mola hidatidosa parsial ini jarang berubah menjadi suatu keganasan.

Mola Hidatidosa Parsial dan Bayi Lahir Mati

b. Mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hyatidosa/CMH) Berbeda dengan


mola hidatidosa parsial, pada kehamilan mola komplit mempunyai jumlah kromosom
yang lengkap yaitu 46,XX sekitar 95% dan 46,XY sekitar 5%. Semua kromosomnya
berasal dari kromosom paternal, dimana pronukleus sel ovum tidak ada. Hal ini
dinamakan androgenesis, yang berarti kedua set kromosom berasal dari kromosom
paternal.

Terdapat dua mekanisme munculnya kombinasi genetik ini :

Kromosom haploid maternal 23,X hilang/tidak ada saat pembuahan 
dan kromosom
haploid paternal 23,X menduplikasi dirinya sendiri 
sehingga membentuk
46,XX.Ovum yang kosong dibuahi oleh dua buah spermatozoa yang

berbeda/dispermi, yang juga berasal dari kromosom paternal. Dalam kehamilan
mola komplit, tidak terbentuk janin dan penampilan dari kehamilan mola lengkap
umumnya terjadi pada trimester kedua. Mola hidatidosa komplit ini mempunyai
kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi suatu keganasan, yaitu sekitar 15-20%.
Genetika pada Kehamilan Normal, Kehamilan Mola Hidatidosa Komplit dan Kehamilan Mola Hidatidosa ParsiaL

Ciri-Ciri Mola Hidatidosa Parsial dan Mola Hidatidosa Komplit


➢ PATOLOGI

Patologi dari mola hidatidosa merupakan penyakit korion. Kematian sel ovum atau
gagalnya perkembangan embrio merupakan hal penting untuk terbentuknya mola
hidatidosa komplit/klasik. Sekresi dari sel yang hiperplastik dan zat-zat yang
ditransfer dari darah maternal/ibu terakumulasi di stroma vili yang tanpa pembuluh
darah. Hal ini menyebabkan distensi vili untuk membentuk vesikel kecil. Distensi ini
dapat terjadi akibat edema dan pencairan stroma. Cairan vesikel merupakan cairan
interstitial dan hampir mirip dengan cairan asites atau edema, tapi kaya akan hCG.

Naked eye appearance seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1, merupakan massa
yang mengisi Rahim yang terbuat dari beberapa rantai dan kelompok kista dari
berbagai ukuran. Tidak dijumpai adanya embrio atau kantung amnion. Jika terjadi
perdarahan, biasanya di ruang desidua.

Tampilan mikroskopik yang biasa ditemukan adalah proliferasi dari epitel sinsitial
dan sitotrofoblas, penipisan jaringan stroma akibat degenerasi hidropik, tidak adanya
pembuluh darah di vili dan pola vili yang jelas dipertahankan.

Perubahan ovarium seperti kista lutein bilateral dijumpai pada sekitar 50% kasus. Hal
ini dikarenakan produksi korionik gonadotropin yang berlebihan dan dapat juga
dijumpai pada kehamilan ganda. Biasanya akan mengecil secara spontan dalam waktu
2 bulan setelah ekspulsi dari mola. Cairan kista ini kaya akan korionik gonadotropin,
esterogen dan progesterone.Perbedaan patologi mola hidatidosa parsial dan komplit
yaitu :

a) Mola hidatidosa parsial (Partial Mola Hydatidosa/PMH)
Pada kehamilan


mola parsial, terdapat dua populasi vili. Salah satunya memiliki ukuran dan
konfigurasi normal serta mengandung pembuluh darah janin, sedangkan yang
lainnya menunjukkan perubahan khas mola yaitu seperti anggur. Biasanya,
embrio atau jaringan embrio dapat dijumpai. Hyperplasia trofoblas fokal dan
biasanya hanya terbatas pada sinsitiotrofoblas.
b)
Mola hidatidosa komplit (Complete Mola Hyatidosa/CMH)
Pada kehamilan
mola komplit, terjadi edema vili dan dinamakan setandan buah anggur. Tidak
dijumpai embrio. Secara mikroskopis, vili sangat besar dan distensi. Dijumpai
hiperplasia dari kedua sinsitiotrofoblas dan sitotrofoblas.
Spesimen Makroskopik dengan Karakteristik Vesikel Berbagai Ukuran

➢ GEJALA DAN TANDA KLINIS

Gejala Klinis

Perdarahan pervaginam merupakan gejala yang sering dijumpai yaitu 
pada 90%
kasus. Biasanya terjadi pada trimester pertama. Sekitar 3⁄4 pasien mengeluhkan gejala
ini sebelum 3 bulan kehamilan dan hanya sepertiganya yang mengalami perdarahan
dengan jelas. Darah bercampur dengan cairan gelatin yang berasal dari rupture kista
memberikan tampilan cairan “white currant in red currant juice”.

Nyeri perut bagian bawah dengan berbagai derajat yang diakibatkan 


oleh pelebaran uterus yang berlebihan, perdarahan yang tersembunyi, jarang


diakibatkan oleh perforasi uterus dikarenakan invasive mola, infeksi atau kontraksi
uterus saat mengekspulsi kan isinya.

c) Gejala konstitusional, seperti: pasien tampak sakit tanpa alasan yang jelas, muntah
berlebihan dikarenakan kadar korionik gonadotropin yang tinggi dialami pada sekitar 14-
32% dan sekitar 10% mengalami muntah berat sehingga memerlukan perawatan di rumah
sakit. Sesak nafas akibat embolisasi dari sel trofoblas (2%). Tampilan tirotoksik seperti
tremor, takikardia dijumpai pada sekitar 2% kasus dikarenakan meningkatnya kadar
korionik tirotropin.

d) Ekspulsi vesikel seperti anggur secara pervaginam merupakan diagnostik mola. Sekitar
50% kasus mola tidak diduga sampai ekspulsi sebagian atau seluruhnya.
Mola Hidatidosa dalam Proses Ekspulsi Menunjukkan Vesikel dengan Berbagai Ukuran

2. Tanda Klinis

a) Tanda awal-awal kehamilan yang jelas.

b) Pasien tampak lebih sakit.

c) Pucat dijumpai dan biasanya tidak sesuai dengan proporsi jumlah 
darah
yang hilang, mungkin disebabkan adanya perdarahan yang 
tersembunyi.

d) Tanda preeklampsia seperti hipertensi, edema dan/atau proteinuria 
dapat


dijumpai pada sekitar 50% kasus. Kejang dapat terjadi, namun jarang dijumpai.

➢ PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan abdomen

a) Ukuran uterus lebih besar dari yang diperkirakan, hal ini dikarenakan
pertumbuhan vesikel yang berlebihan dan perdarahan yang tersembunyi.

b) Uterus bersifat elastis/kenyal. Hal ini dikarenakan tidak adanya kantung


amnion.

c) Bagian janin tidak teraba dan tidak ada pergerakan janin. Balotement eksternal
tidak dijumpai.

d) Tidak adanya denyut jantung janin yang dideteksi melalui Doppler.

Tanda abdominal yang negatif ini dinilai ketika tanda ini seharusnya ada berdasarkan
ukuran uterus dalam kasus tertentu.
2. Pemeriksaan pervaginam

a) Balotement internal tidak di jumpai.

b) Pembesaran unilateral atau bilateral (kista teka lutein) dari ovarium 
dapat
teraba pada 25-50% kasus. Pembesaran ovarium dapat tidak teraba akibat
pembesaran dari uterus. Pasien dengan kista teka lutein memiliki risiko lebih
besar menderita keganasan. 


c) Dijumpainya vesikel dalam vagina merupakan patognomonik pada mola


hidatidosa.

d) Jika ostium serviks terbuka, bekuan darah atau vesikel dapat dirasakan.

➢ PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
Darah lengkap dengan hitung platelet, blood urea nitrogen (BUN),


kreatinin, dan fungsi hati. Golongan darah, fungsi tiroid diindikasikan. Prothrombin time
(PT), partial thromboplastin time (PTT), protrombin, fibrinogen diperiksa jika secara
klinis diindikasikan. Kadar hCG yang tinggi (> 100.000 IU/L) biasanya dijumpai pada
pasien dengan kehamilan mola komplit. Penilaian kadar hCG > 100.000 IU/L disertai
dengan perdarahan pervaginam dan pembesaran uterus merupakan sugestif untuk
diagnosis kehamilan mola komplit. Pada kehamilan mola parsial biasanya kurang
berhubungan dengan peningkatan kadar hCG, biasanya < 100.000 IU/L. berdasarkan
subunit hCG, kehamilan mola komplit memiliki kadar subunit beta hCG yang lebih tinggi
dibandingkan kehamilan mola parsial (24:1). Sedangkan, pada kehamilan mola parsial
mempunyai kadar alfa hCG yang lebih tinggi dibandingkan kehamilan mola komplit
(0,85:0,17). Rata-rata persentasi rasio beta hCG terhadap alf hCG pada kehamilan mola
komplit dan mola parsial adalah 20,9:2,4.

2. Foto polos
Foto polos abdomen dapat dilakukan jika usia kehamilan lebih dari 16
minggu. Pada kehamilan mola dapat dijumpai bayangan janin yang negatif. Pemeriksaan
foto polos dada juga dilakukan untuk mengetahui adanya embolisasi paru.

3. USG

Pencitraan sonografi merupakan andalan dalam mendiagnosis penyakit trofoblastik. USG


merupakan teknik yang akurat dan sensitif untuk mendiagnosiss mola hidatidosa komplit.
Kehamilan mola komplit dengan karakteristik pola vesikuler akibat pembengkakan pada
seluruh korionik vili. Korionik vili pada trimester satu tampak kecil dan sedikit kavitasi.
Namun, secara umum pada kehamilan mola komplit menunjukkan massa uterin ekogenik
dengan beberapa rongga kistik anekoik tetapi tanpa janin atau kantung amnion, tampilan
ini sering disebut sebagai badai salju (snow storm) atau gambaran seperti sarang lebah
(honey comb). Tampilan USG pada kehamilan mola parsial berupa penebalan dan
multikistik plasenta bersama dengan janin yang disertai retardasi pertumbuhan atau
setidaknya jaringan janin. Walaupun beberapa karakteristik ini hanya dijumpai kurang
dari setengah kejadian mola hidatidosa.

4. CT dan MRI
Penggunaan CT dan MRI untuk diagnosis tidak dianjurkan.

Diagnosis pasti mola hidatidosa didapati melalui pemeriksaan histopatologi dari hasil
konsepsi.

➢ PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan mola hidatidosa yaitu :

Perbaikan keadaan umum 
Yang termasuk diantaranya misalnya pemberian


transfusi darah untuk memperbaiki syok atau anemia dan menghilangkan atau
mengurangi penyulit seperti preeklampsia atau tirotoksikosis.

Pengeluaran jaringan mola, terdapat dua cara yaitu :

a) Vakum kuretase 
Setelah keadaan umum diperbaiki, dilakukan vakum


kuretase tanpa pembiusan. Evakuasi mola dilakukan dengan vakum
kuretase, terlepas dari seberapa besar ukuran uterus. Dilatasi serviks pada
preoperasi dengan agen osmosis direkomendasikan jika serviks dilatasi
minimal. Perdarahan yang hebat dapat terjadi selama operasi pada kasus
kehamilan mola dibandingkan kehamilan nonmolar. Sehingga pada mola
yang besar, anestesia yang adekuat, akses intravena yang cukup, dan
persiapan transfusi darah diperlukan. Serviks dilatasi secara mekanik agar
dapat memasukkan vakum kuretase dengan ukuran 10 mm sampai 14 mm.
Ketika evakuasi dimulai, oksitosin diberikan untuk mengurangi
perdarahan. USG selama operasi direkomendasikan untuk membantu
dalam menentukan kavitas uterus telah dikosongkan. Ketika miometrium
berkontraksi, dilakukan kuret secara menyeluruh dan hati-hati dengan alat
kuret sharp large-loop Sims. Jika perdarahan terus berlangsung walaupun
evakuasi uterus dan infus oksitosin, agen uterogenik dapat diberikan. Pada
beberapa kasus embolisasi arteri pelvis atau histerektomi mungkin
dibutuhkan. Tindakan kuretase cukup dilakukan 1 kali saja, asal bersih.
Kuretase kedua hanya dilakukan bila ada indikasi.

b) Histerektomi 


Metode selain vakum kuretase mungkin dapat dipertimbangkan pada


kasus tertentu. Histerektomi dengan preservasi ovarium dapat
dipertimbangkan pada wanita yang sudah pernah melahirkan. Alasan
dilakukannya histerektomi ialah karena umur tua dan paritas tinggi
merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya keganasan, batasan yang
dipakai adalah umur 35 tahun dengan anak hidup tiga. Pada wanita usia 40
tahun atau lebih, sekitar sepertiganya berkembang menjadi PTG dan
histerektomi dapat menurunkan angka kejadian PTG ini. Tidak jarang
bahwa pada sediaan histerektomi bila dilakukan pemeriksaan
histopatologik sudah tampak adanya tanda-tanda keganasan berupa mola
invasif/koriokarsinoma.
3. Pemeriksaan tindak lanjut
Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya
kemungkinan keganasan setelah mola hidatidosa. Untuk tidak
mengacaukan pemeriksaan selama periode ini, pasien dianjurkan untuk
tidak hamil dulu dengan menggunakan kondom, diafragma atau pantang
berkala.
➢ KOMPLIKASI

1. Komplikasi segera

a) Perdarahan dan syok 
Penyebab perdarahan antara lain akibat pemisahan


vesikel dengan ikatannya pada desidua, perdarahan ini dapat tersembunyi atau
tidak tersembunyi; perdarahan intraperitoneal yang masif akibat dari perforasi
mola; dan perdarahan selama evakuasi mola akibat atonik uterus atau cedera
uterus.

b) Sepsis
Meningkatnya risiko sepsis disebabkan antara lain karena tidak


adanya membrane pelindung sehingga organisme vagina dapat masuk ke dalam
rongga rahim; adanya degenerasi vesikel, pengelupasan desidua dan darah yang
lama merupakan tempat kesukaan bakteri untuk tumbuh; dan meningkatnya
intervensi selama operasi.
c) Perforasi uterus 


Uterus mungkin terluka dikarenakan perforasi mola yang menyebabkan


perdarahan intraperitoneal yang masif; selama evakuasi vagina terutama dengan
metode konvensional atau selama kuretase vakum.

d) Preeklampsia dengan kejang jarang ditemukan. 


e) Insufisiensi pulmonar akut diakibatkan embolisasi paru dari sel 
trofoblas


dengan atau tanpa stroma vili. Gejala biasanya dimulai 
dalam waktu 4-6 jam
setelah evakuasi.

f) Kegagalan koagulasi dikarenakan embolisasi paru dari sel trofoblas



menyebabkan deposisi fibrin dan trombosit. 


2. Komplikasi lanjut
Perkembangan mola hidatidosa menjadi koriokarsinoma berkisar antara 2-10%.
Faktor risikonya antara lain pasien berusia ≥ 40 tahun dan < 20 tahun, paritas ≥ 3,
serum hCG > 100.000 mIU/mL, ukuran uterus > 20 minggu, riwayat kehamilan
mola sebelumnya dan kista teka lutein yang besar (diameter > 6 cm).

➢ PROGNOSIS
Risiko langsung dari perdarahan dan sepsis berkurang dengan nyata dikarenakan
diagnosis dini, transfusi darah dan pengobatan. Sekitar 15-20% kehamilan mola
komplit menjadi penyakit kehamilan trofoblas persisten, dimana adanya plateu
atau peningkatan kembali dari kadar hCG. Pada sekitar 5% kasus, berkembang
menjadi metastasis. Risiko rekurensi mola hidatidosa di kehamilan selanjutnya
sekitar 1-4%. Sebagian dari pasien mola akan segera sehat kembali setelah
jaringannya dikeluarkan, tetapi ada sekelompok wanita yang menderita
degenerasi keganasan menjadi koriokarsinoma yaitu sekitar 5,56%. Kejadian
malformasi janin tidak meningkat setelah kemoterapi. Perbaikan dan prognosis
jangka panjang dapat dikaitkan dengan faktor faktor berikut :

a) Pengenalan faktor risiko tinggi yang terkait dengan koriokarsinoma


b) Follow up kadar beta hCG
c) Penggunaan obat sitotoksik pada saat optimal dan dalam kasus yang 
tepat 

BAB III

PENUTUP

➢ KESIMPULAN

Mola hidatidosa adalah suatu bentuk tumor jinak dari sel-sel


trofoblas (yaitu bagian dari tepi sel telur yang kelak terbentuk menjadi ari-
ari janin) Hasil pembuahan yang gagal tersebut lalu membentuk
gelembung-gelembung menyerupai buah anggur. Pertumbuhan gelembung
semakin hari semakin banyak bahkan bisa berkembang secara cepat.Hal
ini yang membuat perut seorang ibu hamil dengan Molahidatidosa tampak
cepat besar. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar HCG
(dengan pemeriksaan GM titrasi) atau dapat dilihat dari hasil laboratorium
beta sub unit HGG pada ibu hamil tinggi. Pemeriksaan USG kandungan
akan terlihat keadaan kehamilan yang kosong tanpa ada janin dan tampak
gambaran seperti badai salju dalam bahasa medis di sebut ”Snow storm”.

Hingga sekarang faktor penyebab langsung kejadian hamil anggur


ini masih belum diketahui secara pasti. Seringkali ditemukan pada
masyarakat dengan kondisi sosial ekononi yang rendah, kurang gizi, ibu
yang sering hamil dan gangguan peredaran darah dalam rahim.
Tindakan kuretase menjadi pilihan untuk membersihkan rahim dari
gelembung-gelembung hamil anggur. Kuretase dilakukan dapat berulang
beberapa kali tergantung kondisi kehamilan Molahidatidosa. Dokter akan
memeriksa kadar hormon Hcg dalam tubuh ibu dan memastikan bahwa
sudah sungguh-sungguh bersih. Pada keadaan yang dianggap berbahaya
bagi kesehatan ibu dapat pula dilakukan tindakan pengangkatan rahim,
namun keputusan ini juga mempertimbangkan faktor umur ibu dan jumlah
anak yang sudah dimiliki. Tindakan terakhir ini sangat jarang dilakukan.

➢ SARAN

Diharapkan semua pihak yang berperan dalam pelayanan kesehatan untuk


memberikan penanganan yang lebih baik lagi, untuk meminimalkan
kejadian kematian ibu akibat perdarahan khususnya yang diakibatkan
kehamilan Molahidatidosa dan kejadian keganasan akibat Molahidatidosa.
DAFTAR PUSTAKA

Silver RM, Branch DW, Goldenberg R, et al. 2011 :Nomenclature for pregnancy
outcomes. Obstet Gynecol 118(6):1402 


Virk, Jasveer. 2007. Medical Abortion and the Risk of Subsequent Adverse Pregnancy
Outcomes N Engl J Med 2007;357:648-53. 


Prawirohardjo, Sarwono.2008. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: Yayasan Bina


Pustaka 


Ramsey PS, Owen J. 2000. Midtrimester cervical ripening and labor induction. Clin
Obstet Gynecol 43(3):495 


Kelly H, Harvey D, Moll S. 2006. A cautionary tale.Fatal outcome of Methotrexate


Therapy Given for Management of Ectopic Pregnancy.Obstet Gynecol 107:439. 


Prawirohardjo S, 2011. Ilmu Bedah Kebidanan. PT Bina Pustaka, Jakarta; 474-487. 


Wiknjosastro, Hanifa. 2000. Kehamilan Ektopik. Ilmu Bedah Kebidanan edisi pertama.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta..hal 198-210. 


Barash JH, Buchanan EM, Hillson C, 2014. Diagnosis and Mnagement of Ectopic
Pregnancy. American Academy of Family Physician. 90(1): 34-40 


Sepilin VP, 2016. Ectopic Pregnancy. Medscape Reference.Available from:



www.medscape.com/article/2041923-overview 


8. Berrocal L, Torino JR, Medrano S, Garcia D, Arcalis N, Conejero A, etc. Invasive


molar pregnancy and MRI: What every radiologist must know. European Society
of Radiology. pp.1-51. 


9. Hadijanto B. Perdarahan pada kehamilan muda. Dalam: Prawirohadrjo S. Ilmu


Kebidanan, Edisi keempat, Cetakan ketiga, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2010. hlm.459-91. 


12.Markusen TE, O’Quinn AG. Gestational Trophoblastic Diseases. In: Decherney AH


and Nathan L. Current Obstetric and Gynecologic: Diagnosis and Treatment. Ninth
Edition. USA: McGraw-Hill Company. pp.947-49.

Anda mungkin juga menyukai