Anda di halaman 1dari 40

SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN JANUARI 2019


UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

GESTATIONAL TROPHOBLASTIC NEOPLASIA

Disusun Oleh :
Albert U. R. L. Awang

Pembimbing :
dr. Laurens D. Paulus, Sp.OG (K) Onk

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
KUPANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus ini diajukan oleh:


Nama : Albert U. R. L. Awang
NIM : 1308012046
Bagian : Obstetri dan Ginekologi RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang
Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
Laporan kasus ini disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif di bagian
Obstetri dan Ginekologi RSUD Prof. DR. W. Z. Johannes Kupang-Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Pembimbing Klinik

dr. Laurens D. Paulus, Sp.OG (K) Onk ……………………...

Ditetapkan di : Kupang
Waktu : Januari 2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah keganasan yang


terjadi pasca suatu kehamilan, baik berupa kehamilan aterm, ektopik, abortus
maupun mola hidatidosa. Kasus yang terbanyak adalah pasca mola. Secara
epidemiologi, penyakit ini dianggap penting di Indonesia, oleh karena
prevalensinya yang tinggi, faktor risiko yang banyak, penyebaran yang hampir
merata dan prognosis yang masih buruk. Dibandingkan dengan jenis onkologi
reproduksi lainnya, GTN mempunyai kekhususan, yaitu sering terjadi pada
perempuan muda dengan paritas rendah, sehingga upaya untuk mengobati dan
mempertahankan fungsi reproduksi, menjadi satu keharusan, mempunyai masa
laten yang dapat diukur dan mempunyai nilai prognostik, mempunyai petanda
tumor yang spesifik, yaitu ß-hCG, yang mempunyai nilai diagnostik dan
prognostik dan dapat diobati secara tuntas, tanpa kehilangan fungsi reproduksi,
walaupun termasuk risiko tinggi(1),(2),(3)
Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) sering memberikan gejala
non ginekologi, seperti sesak nafas atau batuk darah, karena metastasis ke paru,
atau gejala neurologi, akibat penyebaran ke otak atau sistem saraf pusat.
Prognosis tidak ditentukan oleh jauhnya penyebaran, tetapi oleh skor faktor risiko
FIGO. Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis pada pasien dengan Gestational
Trophoblastic Neoplasm (GTN).(4),(5)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah spektrum tumor yang
berasal dari proliferasi abnormal jaringan trofoblas plasenta, mencakup mola
hidatidosa (komplit dan parsial), mola invasif, koriokarsinoma, placental cite
trophoblastic tumor, dan epitheloid trophoblastic tumor. Keempat bentuk terakhir
termasuk ke dalam kelompok tumor trofoblas gestasional (TTG) yang dapat
menginvasi, bermetastasis, dan dapat menyebabkan kematian jika tidak ditangani.
TTG adalah terjemahan dari Gestational Trophoblastic Tumor, yaitu istilah yang
digunakan oleh WHO. Kemudian International Society for the Study of
Trophoblastic Disease (ISSTD) dan FIGO, menggunakan istilah Gestational
Trophoblastic Neoplasm (GTN). (1),(2),(3)
Gestational trophoblastic neoplasia (GTN) merupakan variasi dari
kehamilan yang jarang dengan penyebab yang belum diketahui dan selalu sebagai
penyakit jinak dari mola hidatidosa. Penyakit yang menetap dan malignan, 20%
berkembang dari kehamilan mola.(3)
GTN persisten atau malignan berespon terhadap kemoterapi. Penanda
klinik dari GTN berupa (1) klinis tampak seperti hamil, (2) patognomik penanda
USG, dan (3) penanda tumor spesifik (quantitative serum human chorionic
gonadotropin [hCG]).(4)

2. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLASENTA


Trofoblas adalah jaringan embrional yang berperan penting dalam
implantasi dan plasentasi. Implantasi berhubungan dengan penetrasi blastosis ke
epitel luminal, melintasi lamina basal dan tertanam di stroma. Selama implantasi,
sinsitiotrofoblas terbentuk dan menginvasi jaringan maternal. Vaskularisasi
trofoblas terjadi untuk membuat dan mempertahankan vaskularisasi antara fetus
dan plasenta. Secara simultan, vaskularisasi maternal diatur sehingga terjadi
sirkulasi antara uterus dan plasenta. Agar plasentasi berhasil, kontrol
vaskulogenesis, angiogenesis, dan fungsi trofoblas sangat diperlukan. Trofoblas
manusia merupakan derivat dari trofoektoderm yang merupakan lapisan paling
luar dari blastosit. Setelah implantasi, pada hari 7-8, trofoektoderm berdiferensiasi
menjadi masa sinsitiotrofoblas pada tempat implantasi sebelum perkembangan
vili.(2),(3)

Gambar Pembelahan Zigot Dan Pembentukan Blastokista

3. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Insiden kehamilan mola bervariasi di antara kelompok bangsa dan etnis.
Kejadian tertinggi terjadi pada wanita Asia yang tinggal di Asia (1 dari 200
kehamilan). Insiden di Amerika Serikat sekitar 1 dari 1500 kehamilan, dengan
tingkat kekambuhan 1% hingga 2%. Lebih sering terjadi pada wanita yang lebih
tua. Kejadian ini dikaitkan dengan rendahnya konsumsi karoten pada makanan
dan defisiensi vitamin A. Mola hidatidosa parsial dikaitkan dengan riwayat
infertilitas dan aborsi spontan.(1),(3),(5)
Data tentang insidensi koriokarsinoma lebih terbatas karena
koriokarsinoma lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan mola hidatidosa dan
sulit membedakan koriokarsinoma postmolar dari mola invasif. Di Eropa dan
Amerika Utara, koriokarsinoma terjadi pada 1 per 40.000 kehamilan dan 1 per 40
mola hidatidosa, sedangkan di Asia Tenggara dan Jepang angka kejadian lebih
tinggi yaitu 9,2 dan 3,3 per 40.000 kehamilan. Seperti halnya mola hidatidosa,
GTN banyak ditemukan di Asia dan Amerika Latin. Insidensi GTN di Amerika
Serikat adalah 1:40.000-70.000 kehamilan, sedangkan di Bandung adalah 1:1.000
kehamilan, namun kasus plasental site trophoblastic tumour jarang ditemukan.(1)
Faktor-faktor risiko untuk koriokarsinoma adalah riwayat
mengalami mola hidatidosa komplit, etnis, dan kehamilan pada usia tua. Risiko
mengalami mola hidatidosa komplit meningkat 2 kali pada wanita berusia lebih
dari 35 tahun, dan 7,5 kali pada wanita lebih dari 40 tahun. Sebesar 8-20% mola
hidatidosa berkembang menjadi ganas dengan menginvasi organ sekitar dan
bermetastasis ke lokasi yang jauh seperti paru-paru dan otak. Peningkatan risiko
mengalami koriokarsinoma terjadi pada wanita pengguna kontrasepsi oral jangka
panjang dan mempunyai golongan darah A.(1)

2. ETIOLOGI DAN PATOLOGI


Konsepsi normal, setiap sel tubuh manusia mengandung 23 pasang
kromosom, dimana salah satu masing-masing pasangan dari ibu dan yang lainnya
dari ayah. Dalam konsepsi normal, sperma tunggal dengan 23 kromosom
membuahi sel telur dengan 23 kromosom, sehingga akan dihasilkan 46
kromosom.

.
Gambar Skema Konsepsi Normal
Mola hidatidosa meliputi proliferasi abnormal sinsitiotrofoblas dan
penggantian jaringan trofoblas plasenta normal oleh vili plasenta hidropik. Mola
hidatidosa komplit tidak memiliki embrio yang dapat diidentifikasi atau struktur
janin. Mola hidatidosa parsial ditandai oleh proliferasi trofoblas fokal, degenerasi
plasenta, dan struktur janin atau embrionik yang dapat diidentifikasi. Konstitusi
genetik dari dua jenis kehamilan mola berbeda. Mola hidatidosa komplit memiliki
kromosom yang seluruhnya berasal dari ayah sebagai hasil dari pembuahan
blighted ovum oleh sperma haploid yang reduplikasi, atau jarang, pembuahan
blighted ovum oleh dua sperma.(3),(4)
Kariotipe dari mola hidatidosa komplit biasanya 46XX. Janin dari mola
parsial biasanya merupakan triploid. Ini terdiri dari satu haploid set kromosom
maternal dan dua haploid set kromosom paternal, konsekuensi dari pembuahan
dispermic dari sel telur normal. Mola hidatidosa komplit adalah lebih umum
daripada mola hidatidosa parsial dan lebih cenderung mengalami transformasi
menjadi ganas.(3),(4)
Gambar Asal-usul genetik dari kehamilan dengan mola hidatidosa. (A) CHM yang
monosperma terbentuk hasil pembuahan yang kehilangan materi genetik ibu yang terjadi
baik sebelum pembuahan maupun setelah pembuahan, yang kemudian diikuti oleh
duplikasi dari materi genetik ayah. Materi genetik adalah diploid androgenetik dengan
rumus genetiknya yaitu 46,XX, 46,YY dan hasil pembuahan ini dianggap sebagai hasil
pembuahan yang non-viabel. (B) CHM yang dispermik berkembang dari dua buah sel
sperma yang membuahi sebuah ovumn yang mana tidak lagi mengandung materi genetik
ibu. Diploid androgenesisnya adalah 46,XX,46,XY. (C) CHM biparental terjadi pada
wanita dengan sel telur yang homozigot, atau gabungan heterozigot, yang terdapat mutasi
pada gen NLRP7 atau KHDC3L. pembuahan biparental ini memiliki fenotip yang mirip
dengan CHM dan kemungkinan memiliki rumus 46,XX, atau 46,XY. (D) PHM yang
dispermik sendiri berkembang dari pembuahan pada satu ovum oleh dua sperma. Ini
merupakan bentuk pembuahan darin diandri yang triploid, dengan kemungkinan rumus
genetiknya 69,XXX, 69,XXY or 69,XYY.
Patologi

Gambar Hasil fotomikroskopik yang menunjukkan beragam bentuk histopatologis dari GTD. (A)
mola hidatidosa komplit, (B) mola hidatidosa parsial, (C) koriokarsinoma, (D) tumor trofoblas
plasenta. Secara keseluruhan semuanya memiliki karakteristik berupa gambaran proliferasi yang
abnormal dari trofoblas, dismorfik villi korionik di CHM dan PHM, tanpa adanya invasi abnormal
dari villi dan trofoblas di CC dan PSTT. (asli diperbesar 40x, 20x, 200x, dan 100x, secara berturut-
turut).
Semua bentuk dari GTD merupakan derivat dan beberapa komponen yang
membentuk plasenta normal pada manusia; mola hidatidosa+koriokarsinoma, dan
PSTT/ETT secara berturut-turut merupakan bentuk salinan yang abnormal dari
villi dan trofoblas ekstravilli dari plasenta. Gambaran mola hidatidosa komplit
secara histopatologis menunjukkan karakterisrik khas dari bagian villi, dengan
adanya hiperplasia yang abnormal dari sel-sel trofoblas, hiperselularitas di bagian
stroma, debris karioretik dan adanya kolaps pada pembuluh darah sekitar (Gambar
2A). Sebaliknya gambaran mola hidatidosa parsial secara histopatologis berupa
perubahan hidropik villi dengan villi bertepi irregular dan memiliki bentuk yang
tidak teratur tersebar yang persebaran bersamaan dengan adanya badan
psedoinklusi trofoblastik dan hiperplasia sel trofoblas sebagian (Gambar 2B).
perbedaan secara morfologi dari abortus yang non-mola, terutama yang berkaitan
dengan abnormalitas kromosom, dan hidatidosa parsial terkadang sukar untuk
dibedakan, dan prosedur tambahan mungkin dibutuhkan dalam hal ini, termasuk
pemeriksaan pewarnaan imunohistokimia dengan p57KIP2 (hasil negatif pada
CHM), analisis diploid dengan hibridisasi insitu atau sitometri aliran, atau teknik
pemeriksaan genotip molekular. Pemeriksaan genotip berguna dalam
mengindentifikasi ada tidaknya BiCHM, yang berkaitan dengan FRHM, semenjak
pemeriksaan secara histopatologi tidak dapat membedakannya dari AnCHM yang
tipikal. Sayangnya, hingga saat ini pemeriksaan secara histopatologi maupun
dengan imunohistokimia belum dapat secara pasti memprediksi kemungkinan
terjadinya GTD yang persisten yang dapat terjadi pada kehamilan selanjutnya,
oleh karena itu pada semua kasus kehamilan dengan mola membutuhkan
pengawasan tehadap kadar hormon hCG.(3),(4)
Koriokarsinoma (gambar 2C) merupakan tumor ganas epithelial yang
memproduksi hormone hCG dengan adanya diferensisasi dari fenotip trofoblast
villi, dengan yang secara histopatologi terdapat nekrosis sentral dan berupa
karakteristik dari bentuk bifasik yang menyimpulkan suatu sel yang menyerupai
sel sitotrofoblas dan multinulkeat, dengan area yang menyerupai sel
sinsitotrofoblast. Kasus koriokarsinoma intraplasenta merupakan suatu kasus
yang jarang, tetapi hal ini mungkin mewakili suatu sumber metastasis dari
koriokarsinoma, yang mana terjadi setelah adanya suatu kehamilan yang
tampaknya tidak ada komplikasi. PSTT (gambar 2D) adalah bentuk maligna yang
ekuivalen dengan trofoblast yang menyerupai tempat implantasi interstitial
ekstravilli dan membentuk lesi pada rahim dengan perdarahan yang sedikit dan
nekrosis pada jaringan sekitar, dan kadar hormon hCG yang rendah, dibandingkan
dengan koriokarsinoma. Secara histologi menunjukkan infiltrasi local dan sel-sel
yang monomorfik, sel trofoblast interstitial, yang mengalami bentuk pleomorfik
sedang dan tampaknya adanya mitosis sel, dan terdapat ekspresi dari Human
placental lactogen (hPL) dan penandan trofoblas ekstravilli lainnya. Variasi
spesifik dari PSST dengan gambaran proses hialinisasi yang khas dan gambaran
profil imunohistokimia yang sedikit berbeda telah dilaporkan, dan ETT secara
klinis diperkirakan memiliki karakteristik yang mirip dengan PSTT.(1),(3),(4)
3. KLASIFIKASI
Stadium Deskripsi
Stadium I Penyakit trofoblastik nonmetastatik
Stadium II Penyakit trofoblastik metastatik
Prognosis baik
 Kadar hCG urin < 100.000 IU/24 jam atau kadar hCG serum
< 40.000 IU/I
 Gejala timbul selama < 4 bulan
 Tidak terdapat metastasis ke otak dan hepar
 Belum pernah mendapat kemoterapi
 Kehamilan sebelumnya bukan kehamilan aterm (misalnya
mola, ektopik, atau abortus spontan)
Prognosis jelek
 Kadar hCG urin > 100.000 IU/24 jam atau kadar hCG serum
> 40.000 IU/I
 Gejala timbul selama > 4 bulan
 Terdapat metastasis ke otak atau hepar
 Pernah mengalami kegagalan kemoterapi sebelumnya
 Kehamilan sebelumnya adalah kehamilan aterm

Sistem skoring prognostik WHO penting dalam manajemen medis pasien


dengan mola hidatidosa komplit maupun parsial dan koriokarsinoma. Oleh karena
itu, sistem penilaian FIGO merupakan sistem penilaian FIGO yang dimodifikasi.
Skor dari 8 faktor risiko dijumlahkan dan dimasukkan ke dalam stage FIGO. Skor
0-6 dianggap berisiko rendah. Skor 7 dan lebih tinggi dianggap berisiko lebih
tinggi. Sistem penilaian prognostik WHO yang dimodifikasi tidak berlaku untuk
pasien dengan PSST dan ETT.(2),(3),(4)
4. MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS
Pasien dengan kehamilan mola memiliki temuan yang konsisten dengan
diagnosis kehamilan yang dikonfirmasi serta ukuran uterus yang lebih besar dari
usia kehamilan. Gejala subyektif berlebihan pada kehamilan, dan perdarahan
trimester kedua tanpa rasa sakit. Dengan peningkatan deteksi awal dengan USG
pada trimester pertama, mola sekarang sering didiagnosis pada trimester pertama
kehamilan sebelum gejala muncul.(1),(2),(3),(4)
Perdarahan abnormal adalah gejala yang paling sering muncul sehingga
menjadi aborsi yang mengancam. Kurangnya detak jantung janin terdeteksi pada
kunjungan ANC pertama perlu dievaluasi (tergantung pada perkiraan usia
kehamilan). Pencitraan ultrasonografi menegaskan diagnosis kehamilan molar
dengan karakteristik "snow storm" dan tidak adanya bagian janin (mola
total)Dalam beberapa kasus mola parsial, ultrasonografi dapat memperlihatkan
bentuk janin yang abnormal.(1),(2),(3),(4)
Level hCG kuantitatif berlebihan meningkat untuk usia kehamilan, dan
uterus biasanya lebih besar dari yang diharapkan. Kehamilan mola dapat hadir
dengan tanda-tanda lain dan gejala, termasuk mual dan muntah yang berat,
hipertensi gestasional yang ditandai, proteinuria, dan, jarang, klinis
hipertiroidisme. Sebagian besar temuan ini dapat dikaitkan tingginya kadar hCG
yang dihasilkan oleh kehamilan abnormal.(2)
Dalam satu kasus tanpa diagnosis jaringan, ctDNA memungkinkan
diagnosis GTN yang berasal dari non-molar konsepsi dan diagnosis tumor non-
gestasional, didapatkan berdasarkan tingginya tingkat ketidakstabilan alelik dan
hilangnya heterozigositas dalam ctDNA. Singkatnya ctDNA dapat dideteksi
dalam plasma wanita dengan GTN dan dapat membantu mendiagnosis kasus
tumor trofoblastik gestasional dan non-gestasional tanpa diagnosis histopatologi.(6)
Beberapa pasien dapat mengalami takikardia dan sesak napas, yang timbul
dari perubahan hemodinamik yang intens yang terkait dengan krisis hipertensi
akut. Pada pasien, pemeriksaan fisik menunjukkan tidak hanya perbedaan usia
kehamilan dan ukuran fundus uterus dan jantung janin yang tidak terdengar, tetapi
juga perubahan yang terkait dengan berkembangnya hipertensi, seperti
hiperrefleksia. Pemeriksaan pelvis bimanual dapat mengungkapkan massa
adneksa yang besar (theca lutein cysts), yang mewakili pembesaran ovarium
sekunder terhadap stimulasi hCG. Dalam satu kasus tanpa diagnosis jaringan,
ctDNA memungkinkan diagnosis GTN yang berasal dari non-molar konsepsi dan
diagnosis tumor non-gestasional, didapatkan berdasarkan tingginya tingkat
ketidakstabilan alelik dan hilangnya heterozigositas dalam ctDNA. Singkatnya
ctDNA dapat dideteksi dalam plasma wanita dengan GTN dan dapat membantu
mendiagnosis kasus tumor trofoblastik gestasional dan non-gestasional tanpa
diagnosis histopatologi.(4),(6)
Kehamilan gemeli dengan janin normal hidup berdampingan mola
hidatidosa total atau parsial sangat jarang. Perempuan dengan kehamilan ini harus
dirawat di pusat rumah sakit tersier dengan perawatan khusus. Kehamilan ini
memiliki risiko lebih tinggi penyakit trofoblas gestasional metastatik atau
nonmetastatik persisten (GTD). Mola invasif secara histologis identik dengan
mola hidatidosa total, menyerang miometrium tanpa pangaruh stroma
endometrium yang terlihat pada sampel histologis. Diagnosis berbulan-bulan
setelah evakuasi mola, ketika kadar hCG tidak turun secara tepat dapat merupakan
GTD metastatik atau nonmetastatik persisten. Sesekali dapat didiagnosis dengan
on curettage at the time of initial molar evacuation.(3),(4)
Sedangkan kehamilan mola parsial dan komplit nampak sebagai kehamilan
abnormal, mola parsial paling sering muncul sebagai missed abortion. Perdarahan
vagina lebih jarang terjadi pada kehamilan mola parsial dibandingkan pada
kehamilan mola komplit. Pertumbuhan uterus kurang dari yang diharapkan untuk
usia kehamilan pada kehamilan mola parsial. Ultrasonografi mengungkapkan
molar degenerasi plasenta dan janin/embrio yang sangat abnormal. Komplikasi
medis, kista theca lutein, dan keganasan berikutnya jarang terjadi.(7)
Algoritma manajemen pada pasien dengan PTG setelah mengalami
kehamilan dengan HM dan dalam pemantauan kadar hCG

• Anamnesis:
1. Amenorea 2. Hiperemesiis 3. Perdarahan pervaginam 4. Gejala lainnya

• Pemeriksaaan Fisik :

1. TFU lebih besar dari UK 2. DJJ (-) 3.Perdarahan pervaginam

Pemeriksaan penunjang

1. Kadar ᵦ-hCG 2. Foto thorax (metastasis? Jika ya kemoterapi), jiak tidak lanjutkan
utuk indakan kuretase

Tindakan

1 Kuretasi 2. Lab PA jaringan mola

Jinak : Ganas

Evaluasi kadar ᵦhCG secara periodik Kemoterapi

1. kemoterapi
Selama evaluasi kadar ᵦhCG abnormal

Kemoterapi

Gambar 3. USG pelvis dengan Doppler yang menunjukkan GTN yang persisten setelah
munculnya HM. (A) sebelum kemoterapi. (B) post-kemoterapi.
Investigasi stadium dan stratifikasi terapi setelah kehamilan dengan mola
hidatidosa
Kebanyakan pasien GTN setelah kehamilan dengan mola hidatidosa
teridentifikasi melalui monitoring terhadap kadar hormon hCG dan jarang
memerlukan pemeriksaan lanjutan yang lebih ekstensif. Informasi tambahan yang
dibutuhkan unutk menentukan terapi meliputi anamnesis tentang riwayat penyakit
sekarang dan terdahulu, pemeriksaan klinis, penghitungan kadar hCG serum,
pemeriksaan dengan USG Doppler untuk mengkonfirmasi ada tidaknya
kehamilan, menilai ukuran dan volume dari uterus, dan mengevaluasi adanya
tidaknya penyebaran ke organ lain disekitar rongga panggul termasuk vaskular
(gambar 3). Penilaian akhir dengan menggunakan indeks pulsasi dari Doppler
merupakan suatu faktor prognostik tersendiri untuk mengetahui resistensi
terhadap pengobatan tunggal dengan metotreksat dan saat ini sementara diteliti
dalam suatu penelitian prosepektif. Karena metastatis ke paru merupakan hal yang
paling sering terjadi maka pemeriksaan X-ray dada juga penting untuk dilakukan.
Pemeriksaan CT-scan dada tidak diperlukan bila hasil X-ray dada menunjukkan
hasil yang normal, sekalipun ditemukan adanya mikrometastasis paru yang dapat
ditemukan pada 40% kasus, pemeriksaan dengan CT tidak akan memberikan hasil
yang cukup bermakna. Namun, bila lesi tidak terlihat dengan pemeriksaan X-ray
dada, maka diindikasikan untuk melakukan pemeriksaan MRI otak dan CT-scan
tubuh untuk mengeksklusi adanya penyebaran yang luas ke organ lain dari tubuh
oleh penyakit ini, misalnya penyebaran ke otak atau hepar, yang mana secara
signifikan akan merubah tatalaksana terapinya.(3),(4)
FIGO melaporkan data GTN dengan menggunakan sistem skoring untuk
menentukan prognosis dan sistem stadium secara anatomis (Tabel 2). Sejak tahun
2002 seluruh klinis dianjurkan untuk menggunakan sistem skoring ini sebagai
panduan terapi GTN dan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi
pada pasien dengan GTN yang menerima terapi tunggal dengan Metotreksat atau
Aktinomisin D. skor dengan nilai 0-6 dan ≥7 secara berturut-turut menunjukkan
adanya risiko yang rendah risiko tinggi terjadinya resisten terhadap pengobatan.
Hasil akhir yang didapatkan adalah hampir tidak ada kemungkinan untuk sembuh
bila hanya diterpai dengan pengobatan tunggal, oleh karena itu diperlukan terapi
multi-agen. Sementara penentuan stadium secara anatomis tidak banyak
membantu dalam menentukan terapi, tetapi cukup membantu klinisi dalam hal
membuat perbandingan hasil antar pusat penelitian. Variabel yang dinilai dalam
skoring untuk menentukan prognosis antara lain : (i) volume tumor, (ii) tempat
yang terlibat, (iii) ada tidaknya resisten terhadap pengobatan sebelumnya (iv)
durasi timbulnya penyakit ini dari kehamilan sebelumnya (tabel 2).(3),(4)

5. PENATALAKSANAAN
Dalam kebanyakan kasus kehamilan mola, perawatan definitifnya adalah
kuretase dari isi uterus. Evakuasi isi uterus dilakukan paling sering dengan
pelebaran serviks, dan kuretase. Evakuasi mola yang lebih besar kadang-kadang
dikaitkan dengan atonia uteri dan kehilangan darah yang berlebihan, persiapan
yang tepat harus dilakukan untuk pemberian uterotonik dan transfusi darah, jika
perlu. Histerektomi atau induksi persalinan dengan prostaglandin biasanya tidak
dianjurkan, karena peningkatan risiko kehilangan darah dan gejala sisa lainnya.
Indung telur multikistik yang diperbesar secara bilateral (kista theca lutein) yang
dihasilkan dari stimulasi folikel oleh tingkat tinggi hCG yang bersirkulasi, tidak
mewakili perubahan keganasan. Kista teka lutein selalu mengalami kemunduran
dalam beberapa bulan pasca evakuasi, dan karena itu tidak memerlukan
pengangkatan secara operasi.(4),(7)
Manajemen Pasca Evakuasi
Kecenderungan untuk kambuh, pasien harus dipantau secara ketat selama 6
hingga 12 bulan setelah evakuasi kehamilan mola. Pasien Rh-negatif harus
diberikan globulin Rhimmune. Tindak lanjut terdiri dari pemeriksaan fisik berkala
untuk memeriksa metastasis vagina dan involusi struktur panggul. Level hCG
kuantitatif harus diperiksa dalam waktu 48 jam pasca evakuasi, setiap 1 hingga 2
minggu pasca evakuasi, dan pada 1 hingga 2 bulan kemudian. Level hCG
kuantitatif yang naik merupakan indikasi penyakit persisten. Selama tahun
pertama, pasien harus dirawat dan diberikan pil kontrasepsi oral (OCP) atau
kontrasepsi andal lainnya metode untuk mencegah kehamilan berulang. Risiko
kekambuhan setelah 1 tahun remisi adalah <1%. Risiko kambuh dengan
kehamilan berikutnya adalah 1% hingga 2%.(4)

Gambar Kurva Mochizuki untuk evaluasi kadar Hcg pasien dengan paskaevakuasi mola hidatidosa

Tabel Pedoman Indikasi untuk Kemoterapi di UK untuk pasien dengan diagnosa


GTD.

Adanya plateau atau pemingkatan kadar HCG setelah evakuasi HM


Perdarahan pervaginam yang berat atau terbukti adanya peradangan gastrointestinal atau
intraperitoneal
Bukti adanya korikarsinoma dari pemeriksaan histologis
Bukti adanya metastasis ke otak, hepar, gastrointestinal, atau gambaran opak ukuran >
2cm pada foto rontgen dada.
Kadar HCG serum > 20000IU/l > 4 minggu setelah evakuasi, karena adanya risiko
perforasi uterus
Peningkatan kadar HCG dalam 6 bulan setelah evakuasi walaupun terus mengalami
penurunan. (yang ini sudah dihapuskan)

GTN persisten nonmetastatik sepenuhnya ditangani oleh kemoterapi agen


tunggal. Kemoterapi agen tunggal adalah baik metotreksat atau aktinomisin D.
WHO telah mengembangkan prognostik sistem penilaian untuk GTN yang
mencakup sejumlah temuan epidemiologis dan laboratorium; sistem ini kemudian
digabungkan menjadi FIGO. FIGO skor 7 atau lebih mengklasifikasikan GTN
metastasis sebagai risiko tinggi, membutuhkan kemoterapi multi-agen. Regimen
kemoterapi kombinasi dengan tingkat keberhasilan tertinggi adalah: etoposide,
metotreksat, aktinomisin D, siklofosfamid, dan Oncovin (vincristine)) [EMACO].
Radioterapi ajuvan kadang dilakukan dengan pasien yang memiliki metastasis ke
otak atau hati. Pembedahan mungkin diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan, menghilangkan penyakit yang resisten terhadap kemoterapi, dan
mengobati komplikasi lain untuk menstabilkan pasien berisiko tinggi selama
kemoterapi intensif. Tingkat penyembuhan untuk non-metastasis prognosis baik
100%, untuk penyakit metastasis prognosis buruk adalah 80% hingga 90%.(4),(8)
Tatalaksana pada penyakit dengan risiko rendah
Sekitar 95% dari pasien dengan mola hidatidosa akan berkembang menjadi
GTN dengan risiko yang rendah (skor 0-6). Pada wanita dengan stadium I
tampaknya terbatas pada kavum uterus, berdasarkan aturan kedua D&C dalam
mengurangi kebutuhan untuk kemoterapi masih meninggalkan perdebatan.
Berdasarkan hasil penelitian di UK menunjukkan bahwa prosedur ini memiliki
manfaat bila kadar hCG <5000 IU/I dengan penyakit ini terbatas pada kavum
uterus daripada sampai ke miometrium. Faktanya, efikasi yang rendah dari D&C
kedua, risiko rendah untuk mengetahui terjadinya infeksi, menyebabkan
perdarahan dan perforasi uterus seharusnya seimbang terhadap kemungkinan
kesembuhan yang hampir mencapai 100% dan relatif aman dalam menjalankan
kemoterapi. Terkadang pada beberapa pasien yang sudah melakukan histerektomi
atas permintaan kelurga, tidak terhindar dari perlunya kemoterapi lanjutan,
walaupun sebenarnya memungkinkan untuk tidak dilanjutkan.(4)
Konsekuensinya, hampir seluruh pasien GTN dengan risiko rendah,
diberikan kemoterapi berupa terapi tunggal baik dengan metotreksat maupun
Aktinomisin sebagai pilihan terapi yang paling sering dipilih. Berbagai regimen
saat ini telah dikembangkan, dan kebanyakan berasal dari penelitian retrospektif
dan bukan penelitian acak terkontrol, dimana didapatkan hasil bahwa dapat
menginduksi terjadinya remisi sebesar 50-90%. Variabilitas ini juga ditunjukkan
dari perbedaan dosis yang digunakan, frekuensi pemberian, rute pemberian, sesuai
dengan kriteria pasien yang seleksi untuk menerima terapi tersebut. beberapa
penelitian berpendapat bahwa terapi yang diberikan secara lebih intesif seperti
diberikan setiap hari selama lebih dari 5-8 hari setiap 2 minggu akan memberikan
hasil terapi yang lebih baik daripada terapi yang diberikan satu kali dalam 2
minggu. Dan beberapa peneliti yang lain berpendapat bahwa aktinomisin
memiliki.(4)
Pada akhirnya, saat ini sebuah penelitan acak terkontrol telah dilakukan
secara internasional yang melakukan perbandingan terapi metotreksat yang
umumnya digunakan secara luas di Eropa/ atau pada beberapa Negara bagian di
dunia (tabel 3) [MTX 0.4mg/kg (max 25mg) IV d1-5 setiap 2 minggu] dengan
aktinomisin 1.25mg/m2 IV setiap 2 minggu. Yang paling penting, pasien yang
gagal pada terapi lini pertama dapat diberikan terapi lini kedua dan kadang-
kadang lini ketiga kemoterapi sehingga secara keseluruhan angka bertahan hidup
dapat mencapai 100%. Sebagaimana angka bertahan hidup yang tinggi,
memungkinkan untuk lebih dipilih terapi dengan toksisitas yang lebih rendah pada
pasien yang baru memulai terapi sehingga dapat meminimalisir kemungkinan efek
berbahaya dari pengobatan yang dapat timbul. Di Charing Cross Hospital,
regimen MTX yang dikombinasi dengan asam folat lebih dipilih dari regimen
Aktinomisin karena lebih aman, memiliki efek yang lebih dapat ditolerir oleh
pasien, dan lebih sedikit memberikan efek kerontokan rambut.(7)
Setelah melewati perawatan yang singkat di rumah sakit untuk monitoring
ada tidaknya perdarahan yang ditimbulkan, kebanyakan pasien sudah dapat
dipulangkan dan menjalani pengobatan secara rawat jalan, atau dirawat secara
khusus oleh dokter umum pribadi dirumah. Diperkirakan 2% wanita mengalami
komplikasi berupa ulserasi pada mulut, sakit mata, dan pada kasus yang jarang
mengalami nyeri pleuritik akibat serositis. Selama menjalani kemoterapi,
monitoring kadar hCG dilakukan minimal seminggu sekali, dan minimal dari dua
sampel yang diambil menunjukkan adanya gambaran plateau atau peningkatan
dari kadar hCG akan memberikan keputusan awal bahwa adanya resisten pada
pengobatan dan mengindikasikan perlu dilakukannya perubahan terapi. Pada
pasien dengan resisten dengan terapi MTX/Asam folat, penentuan apakah dapat
digantikan dengan terapi menggunakan aktinomisin atau diberikan terapi
kombinasi secara berturut-turut sangat bergantung dari kadar hCG <300 atau
>300IU/l, yang mana dapat menyembuhkan hampir pada semua kasus.
Kemoterapi sebaiknya dilanjutkan sampai kadar hCG mencapai nilai normal dan
berlanjut hingga enam minggu ke depan (gambar 5). Hal yang terakhir bertujuan
untuk mengeliminasi sisa-sisa dari tumor dan meminimalisir kemungkinan
terjadinya kekambuhan. Berdasaran data dari sebuah penelitian non-acak
menunjukkan bahwa mengurangi satu siklus dari pengobatan dapat meningkatkan
risiko kekambuhan sebanyak dua kali lipat. Berdasarkan data ini dilakukan
kebijakan pengobatan baru dari dua siklus terapi menjadi 3 siklus terapi. Dan
hanya 30% pasien dengan skor 5-6 yang dapat sembuh dengan risiko terapi yang
rendah. Konsekuensinya, hal ini akan sangat membantu untuk mengkoreksi
kembali sistem skoring yang dibuat oleh FIGO, dan 70% wanita dalam kelompok
yang mengalami resisten dengan pengobatan menggunakan MTX/FA dapat
diidentifikasi lebih dini dan dapat diberikan terapi yang lebih intensif. Jika
memungkinkan evaluasi vaskular dengan Doppler dapat sangat membantu. Selain
itu, untuk wanita yang masuk kedalam kategori ini dengan kadar hCG >400.000
IU/I cenderung sulit untuk sembuh dengan MTX/FA dan sebaiknya diberikan
pengobatan multiagen.(4),(8)
Tabel Regimen kemoterapi dengan Metotreksat dan Asam Folat untuk pasien
dengan risiko rendah
Metotreksat (MTX) 50mg /48 jam IM hingga total mencapai 4
dosis
Kalsium Folat (FA) 15mg PO (diberikan 30 menit setelah
injeksi MTX )
Gambar Grafik HCG sebagai penanda tumor yang menunjukkan respon pasien dengan
risiko rendah terhadap kemoterapi. Setelah melalui proses evakuasi dari CHM, tampak
kadar HCG cenderung tetap tinggi dengan gambaran datar (plateau) sehingga
menandakan suatu GTD/GTN yaNg persisten, sehingga pasien diindikasikan untuk
menerima terapi dengan MTX/FA. Terapi ini terus dilanjutkan hingga 6 minggu kedepan
setlah kadar HCG kembali normal (5 IU/I).

Terapi pada GTN dengan Risiko Tinggi


Pasien dengan skor ≥7 (tabel 2) memiliki risiko yang besar untuk terjadi
resisten obat dan cenderung tidak mengalami perbaikan dengan terapi tunggal.
Oleh sebab itu telah dikembangkan beberapa agen terapi baru termasuk :
MTX/FA dan ActD (MFA); MTX, ActD, siklofosfamid, doxorubicin, melphalan,
hidroksiurea dan vincristine (CHAMOCA); MTX, ActD dan siklofosfamid
(MAC); etoposide, MTX dan ActD (EMA) dan beberapa regimen lainnya. Di
Charing Cross Hospital sendiri regimen yang sedang dikembangkan terdiri atas
EMA dan digunakan bergantian dengan siklofosfamid dan vincristine tiap
minggunya (CO: perhatikan tabel 4). Terapi ini telah digunakan secara luas,
karena efeknya lebih dapat diprediksi dan dalam waktu singkat efek toksisitasnya
lebih mudah untuk dikontrol. Penelitian retrospektif oleh pusat penelitan GTD di
Korea membandingkan pengobatan dengan MFA, MAC, CHAMOCA, dengan
EMA-CO dan didapatkan angka remisi berturut-turut sebesar 63.3% (31 dari 49),
67.5% (27 dari 40), 76/2% (32 dari 45) dan 90.6% (87 dari 96 kasus). Penggunaan
regimen EMA-CO membutuhkan rawat inap selama semalam dan dapat
menyebakan alopesia yang reversible. Selain itu regimen ini sifatnya
mieolosupresif, tetapi adanya faktor stimulasi koloni granulosit membantu dalam
menyokong jumlah hitung jenis neutrofil di dalam darah, intesitas terapi dan
mencegah terjadinya demam neutropenia.(4)
Selain itu, faktor yang mempengaruhi buruknya prognosis bergantung dari
tipe penyakitnya, durasi penyakit, awal kehamilan, hasil pengobatan kemoterapi
sebelumnya. untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kematian yang dini, kami
telah menemukan bahwa dengan menggunakan kemoterapi dengan hati-hati
menggunakan etoposide dosis rendah 100mg/m2 dan cisplatin 20mg.m2 pada hari
ke-1 dan ke-2 dan diulangi setiap minggunya selama 1-3 minggu secara nyata
dapat mengatasi masalah ini. pemberian Etoposide dosis rendah dan cisplatin
yang dikombinasi dengan pemeriksaan genetik untuk menyingkirkan CC non-
gestasional. Telah terbukti mampu meningkatkan data OS jangka panjang hingga
94% pada pasien dengan risiko tinggi. Sebagaimana pedoman terapi pada
penyakit dengan risiko rendah, terapi ini juga dilanjutkan hingga 6 minggu setelah
kadar hCG mencapai nilai normal atau 8 minggu jika bila disertai dengan
metastasis ke otak atau adanya prognosis buruk. Dokumentasi pre-terapi dan post-
terapi juga perlu dilakukan untuk dilakukan perbandingan. Pengangkatan sisa
massa tidak diperlukan karena tidak mengurangi risiko untuk terjadinya rekurensi
yang mana hanya 3% besar pengaruhnya.(7)
Tabel Regimen kemoterapi dengan EMA/CO untuk pasien dengan risiko tinggi
EMA
Hari -1
Etoposide 100mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit)
Aktinomisin D 0,5mg IV (bolus pelan)
MTX 300mg/m2 IV (diinfus selama > 12 jam)
Hari -2
Etoposide 100mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit)
Aktinomisin D 0,5mg IV (bolus pelan)
Asam folat (dimulai 24 jam 15mg IV atau PO setiap 12 jam hingga mencapai 4 dosis
setelah pemberian MTX
melalui infus)
CO
Hari -8
Vincristine 1mg/m2 IV (bolus pelan, max selama 2 minggu)
Siklofosfamid 600mg/m2 IV (melalui infus diberikan selama 30 menit)

Tabel Tatalaksana terapi pada kasus GTN yang mengalami kekambuhan


Regimen Jadwal pemberian
Hari-1
Deksametason 20 mg PO (12 h sebelum pemberian paclitaxel)
Deksametason 20 mg oral (6 jam sebelum pemberian paclitaxel)
Simetidin 30 mg dalam 100 ml NS (selama 30 min i.v.)
Chlorphenamine 10 mg bolus i.v.
Paclitaxel 135 mg/m2 dalam NS 250 ml NS (selama 3 jam i.v.)
Manitol 10% dalam NS 500 ml (selama 1 jam i.v.)
Cisplatin 60 mg/m2 dalam NS (selama 3 jam i.v.)
Post-hidrasi 1 l NS + KCl 20 mmol + 1 g MgSO4 selama 2 jam i.v.
Hari -15
Deksametason 20 mg PO (12 h sebelum pemberian paclitaxel)
Deksametason 20 mg oral (6 jam sebelum pemberian paclitaxel)
Simetidin 30 mg dalam NS 100 ml ( selama 30 min IV)
Chlorphenamine 10 mg bolus i.v.
Paclitaxel 135 mg/m2 dalam NS 250 ml NS (selama 3 jam i.v.)
Etoposide 150 mg/m2 dalam 1 l NS selama 1 jam i.v.

Tatalaksana padan kasus resisten obat


Sebanyak 20% kasus GTN dengan risiko tinggi akan mengalami kemajuan
selama atau setelah menjalani terapi utama dengan kemoterapi, tetapi beberapa
pasien ini tetap memiliki kemungkinan prognosis yang baik dengan presentase
sebesar 75-80% yang masih dapat ditolong dengan pengobatan ini. Karena dapat
disebabkan oleh karena adanya kasus kekambuhan yang dapat terdeteksi secara
dini melalui monitoring kadar hCG. Selain itu, melalui cara ini juga dapat
dideteksi secara dini adanya resisten obat, yang mana akan lebih lagi terdeteksi
bila menggunakan monogram dan model kinetik. Pada pasien yang mengalami
kekambuhan fluorine-18 fluorodeoxyglucose-PET (FDG-PET) dapat membantu
dalam mengidentifikasi daerah yang masih aktif dari penyakit ini sehingga
mampu memfasilitasi prosedur pembedahan untuk menetukan lokasi yang tepat
untuk direseksi dan mendukung pengobatan. Namun pada keadaan tidak
memungkinkan untuk dilakukan pembedahan atau pada keadaan turunnya kadar
hCG secara tidak teratur, beberapa regimen telah dibuat atau telah diadopsi dari
germ cell tumour di Charing Cross Hospital, telah dikembangkan penggunaan
regimen pengobatan dengan Etoposide dengan cisplatin (EP) yang digunakan
bergantian setiap minggunya dengan EMA yang diberikan pada hari kedua
pemberian Etoposide dan Aktinomisin. Melalui pengobatan ini angka bertahan
hidup mencapai >80% tetap efek toksisitas yang dapat ditimbulkan cukup
signifikan, sehingga dibutuhkan terapi dengan toksisitas yang lebih rendah. Pada
beberapa kasus GTN yang resisten obat telah dilaporkan memberikan respon atau
sembuh dengan pengobatan tunggal menggunakan paclitaxel atau terapi
kombinasi dengan gemcitabine dan capecitabine. Atas dasar ini, sebuah penelitian
non-acak menunjukkan pemberiaan terapi dengan paclitaxel/cisplatin dan
paclitaxel/etoposide secara bergantian tiap dua minggu terbukti lebih dapat
ditolerir efek sampingnya dibandingkan dengan pemberian EP/EMA dan efektif
pada kasus GTN yang mengalami kekambuhan atau refrakter. Sebagai tindak
lanjut dari penelitian ini, International Society of the Study of Trophoblastic
Diseases (ISSTD) baru saja melangsungkan penelitian acak kontrol yang
membandingkan terapi TE/TP dengan EP/EMA untuk menentukan terapi yang
optimal bagi pasien dengan kasus GTN yang mengalami kekambuhan yang
sebelumnya telah menerima terapi kombinasi dengan non-cisplatin/paclitaxel
seperti EMA/CO. Pendekatan lain yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus
kambuh termasuk pemberian kemoterapi dengan dosis tinggi disertai transplantasi
sel stem perifer. Walaupun demikian, pada kasus ini jarang ditemukan terjadinya
kesembuhan, oleh karena itu seleksi terhadap pasien yang memberikan kemajuan
terapi yang baik perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil prognosis yang baik
melalui pendekatan ini.(4)
Tatalaksana pada PSTT dan ETT
PSTT dibedakan dari CC, berdasarkan pertumbuhannya yang lebih lambat,
metastasis yang timbulnya kemudian, adanya keterlibatan dengan nodus
limfatikus yang lebih sering dari CC, serta produksi hCG yang lebih sedikit dari
CC. Walaupun demikian, sama halnya dengan CC, PSTT dan berkembang dari
berbagai jenis kelainan dalam kehamilan, termasuk PHM, dan umumnya timbul
gejala perdarahan pervaginam. PSTT dapat dicurigai pada keadaan kadar hCG
yang rendah secara jumlah dari penyakit yang tampak melalui pemeriksaan
imaging yang dikombinasi dengan adanya peningkatan kadar beta hCG bebas,
namun perlu diketahui tidak satupun dari hasil pemeriksaan ini yang m bermakna
diagnostik. Oleh karena itu konfirmasi melalui pemeriksaan histopatologi
memainkan peran yang penting pada kasus ini. Data terkini telah melaporkan
sejumlah kasus yang diambil dari jumlah popluasi yang besar yang terdiri dari 62
kasus yang berlangsung selama 30 tahun, dan mewakili 0,2% dari kasus GTD
yang ada di UK dan telah menilai gambaran prognosis dari penyakit ini.
Berdasarkan analisis secara univariat, terhadap stadium, kadar hCG, dan indeks
mitosis, serta durasi dalam hal ini > 4 tahun dari kehamilan awal memiliki makna
prognostik, tetapi sistem skoring oleh FIGO sendiri tidak banyak membantu.
Hanya durasi dari kehamilan sebelumnya yang memiliki makna untuk
memprediksi prognosis berdasarkan dari analisis secara multivariat dengan
presentase untuk durasi yang ≥48 bulan dan < 48 bulan secara berturut-turut
sebesar 100% (13 dari 13 kasus) yang meninggal dan 98% (48 dari 49 kasus) yang
bertahan hidup. Pengaruh ini mungkin tidak dapat dijelaskan oleh adanya
perbedaan terkait stadium penyakit atau kadar hCG dari penyakit, namun dapat
menunjukkan adanya perubahan secara biologi dari tumor ini selama periode
waktu tertentu. Tatalaksana pada PSTT tentu berbeda dengan CC. pasien dengan
kasus metastasis membutuhkan terapi kombinasi, seperti, EP/EMA yang
dilanjutkan selama 8 minggu setelah kadar hCG mencapai normal. Tidak seperti
CC, pada kasus ini sisa-sisa tumor dikeluarkan secara pembedahan, termasuk
uterus. pada keadaan dapat menyebabkan kesulitan dalam menentukan terapi pada
stadium awal penyakit. Histerektomi merupakan pilihan terapi yang dianggap
paling aman dan disertai pengangkatan kelenjar limfe dari kavum pelvis dan
ovarium, kecuali jika pasien memiliki riwayat kanker ovarium dalam keluarga
atau sudah mengalami menopause. Saat ini kami mendukung pemberian terapi
EP/EMA atau TE/TP selama 8 minggu bila disertai dengan adanya faktor risiko
yang buruk seperti penyakit sudah dialami lebih dari 4 tahun sejak kehamilan
awal. Dan faktanya, pada kelompok yang terakhir, pada kasus tertentu dapat
dipertimbangkan pemberian terapi dengan kemoterapi dosis tinggi. Dan pada
wanita muda nullipara, tentunya terdapat keinginan yang kuat untuk
mempertahankan fertilitas terkhususnya pada yang tampak adanya abnormalitas
yang fokal di uterus. pada keadaan ini pembedahan dengan uterine-sparing
surgery, namun memiliki kemungkinan untuk berkembang menjadi penyakit
uterus multifokalmikroskopik, sehingga diperlukan konseling yang tepat dan hati-
hati mengenai tindakan ini dan prognosisnya. Saat ini ETT dianggap memiliki
karakteristik yang sama dengan PSTT, namun faktanya hanya terdapat sedikit
data untuk memastikan hal ini. PSTT dan ETT merupakan kasus yang jarang
terjadi dan terapinya pun tidak menjanjikan, oleh karena itu saat ini telah diliris
basis data tetang PSTT/ETT oleh ISSTD untuk merangkum kasus-kasus yang
berkaitan dengan penyakit ini.(4),(7)

Personalisasi pengobatan
GTN merupakan salah satu contoh bentuk kanker yang jarang ditemukan,
dimana agen target molekular masih belum ditemukan, dan untuk
penyembuhannya masih menggunakan agen kemoterapi konvensional. Hal ini
disebabkan karena GTN memberikan respon yang baik dengan terapi
menggunakan obat-obatan tersebut dan dilakukan pengukuran kadar hCG secara
serial, karena penyakit ini memiliki biomarker yang relatif sensitif,
memungkinkan terdeteksinya adanya resistensi obat lebih dini, sehingga terapi lini
kedua atau ketiga sudah dapat diberikan sebelum terbentuk pertumbuhan tumor
yang baru.(4)
Pada keadaan yang jarang dapat terjadi multi-drug resistant yang mana
pada keadaan tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan pembedahan atau
pemberian terapi lainnya, sehingga belum dapat dipahami dengan jelas,
bagaimana tatalaksana terbaik untuk kasus ini. Semenjak GTN diketahui memiliki
vaskularisasi yang tinggi, dapat dipikirkan kemungkinan untuk diberikan vascular
targeting agents seperti bevacizumab yang dianggap efektif pada kasus ini.
Tumor ini juga dapat mengekspresikan reseptor faktor pertumbuhan epidemis
secara berlbihan, yang menyebabkan timbulnya pertanyaan apakah preparat
erlotinib atau gefitinib dapat menunjukkan efikasi dalam penggunaannya. Namun
sejauh ini, kami tidak menemukan adanya manfaat penggunaan beberapa agen ini
pada kasus dengan multi- drug-resistant. Sementara untuk potensi terapi dengan
anti-hCG targeted therapy masih belum diteliti lebih lanjut dan mungkin dapat
dicoba pada wanita yang sudah tidak ingin menambah keturunan atau untuk
pasien yang sudah tidak memiliki pilihan terapi yang lain.(4)

Follow up dan Implikasi jangka Panjang

Risiko terjadinya kekambuhan setetalah menjalani kemoterapi adalah


sebesar 3% dan terjadi pada tahun pertama follow up. Oleh karena itu monitoring
kadar hCG secara hati-hati perlu dilakukan dan disarankan untuk menunda
kehamilan hingga telah melewati periode ini. Metode kontrasepsi apapun dapat
diberikan pada kasus ini, termasuk kontrasepsi pil selama tidak adanya
kontraindikasi dalam pemberiaan. Di UK, pemantauan kadar hCG dilakukan
setiap minggunya selama 6 minggu setelah memberikan kemoterapi, dan
kemudian diikuti dengan pemeriksaan kadar hCG pada serum dan urin setiap 2
minggu selama 6 bulan, sebelumnya akhirnya berganti dengan pemeriksaan urin
saja tiap bulannya selama 6 bulan, tetapi pada akhirnya waktu pemantauan
dikurangi hingga hanya tiap 6 bulan saja (tabel 6). Pemantauan akan terus
dilakukaan seumur hidup, bila tidak begitu yakin akan waktu yang aman untuk
dilakukan penghentian pemantauan dan ini memungkinkan untuk memperoleh
data jangka panjang berkenan dengan efek terapinya termasuk kemungkinan
terjadinya kanker yang kedua.(4)
Sebagian dari terapi dengan EMA/CO menyebabkan penundaan waktu
menopause hingga 3 tahun, dan kesuburan sebaliknya tidak ikut dipengaruhi
dengan presentase sebesar 83% dari kasus mengalami kehamilan setelah
menjalani kemoterapi baik dengan MTX/FA atau dengan EMA/CO. Terlebih,
penggunaan obat kemoterapi terbukti secara klinis tidak menyebabkan
peningkatan yang jelas dari insidensi malforamasi kongenital, sehingga penting
untuk dilakukan pemantauan kehamilan dengan USG dan beberapa pemeriksaan
kehamilan lainnya untuk memastikan kehamilan berjalan dengan normal. Pada
keadaan ini, pemantauan kadar hCG dapat dihentikan, namun di periksaan
kembali pada minggu ke-6 dan 10 setelah kehamilan untuk memastikan tidak
terjadinya rekurensi dari penyakit atau penyakit yang baru. Gejala sisa akibat
kemoterapi jarang ditemukan.(8)
Kebanyakan risiko kanker baru terjadi bila pengobatan dengan kemoterapi
kombinasi diteruskan hingga melewati 6 bulan. Perlu ditekankan bahwa
pemantauan yang berkelanjutan penting untuk dilakukan pada pasien yang telah
menerima terapi dengan kemoterapi.(4)
Tabel Pedoman UK untuk waktu pemantauan kadar hCG pada pasien yang telah
menerima kemoterapi
Pemeriksaan kadar HCG post kemoterapi pada pasien dengan
risiko rendah/tinggi
Urin Darah
Tahun 1
Minggu 1-6 setelah Tiap minggu Tiap minggu
kemoterapi
Bulan 2-6 Tiap 2 minggu Tiap 2 minggu
Bulan 7-12 Tiap 2 minggu Tiap 2 minggu
Tahun ke-2 Tiap 4 minggu/ tiap 1 bulan -
Tahun ke-3 Tiap 8 minggu/tiap 2 bulan -
Tahun ke-4 Tiap 3 bulan -
Tahun ke-5 Tiap 4 bulan -
Setelah 5 tahun Tiap 6 bulan -
BAB 3

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Nn. M.E.T
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 25 tahun
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Soe, Kabupaten TTS
Agama : Kristen Protestan
Status : Belum Menikah
Pendidikan : D3-Keperawatan
MRS : Triase VK 30 November 2018 pukul 14.00 WITA
2.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis dan alloanamnesis bersama adik pasien
pada tanggal 7 Desember 2018 di ruangan Edelweis 2.
Keluhan Utama : Perdarahan pada jalan lahir sejak ± 11 hari yang lalu
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien dalam masa perawatan hari ke-7
dengan keluhan utama perdarahan dari jalan lahir yang terjadi diluar haid
pasien yang berlangsung sejak hari Selasa tanggal 27 November 2018.
Perdarahan sangat banyak sehingga pasien mengganti 4x pembalut dalam
sehari. Saat ini perdarahan sudah berkurang dan hanya berupa bercak
darah. Saat ini pasien juga mengeluhkan nyeri pada kepala sebelah kanan
yang kemudian menjalar ke sebelah kiri. Lemah pada badan kanan disertai
kram. Sesak napas dirasakan pasien namun jarang. Makan minum baik,
BAB dan BAB baik.
Riwayat Penyakit Dahulu: pasien pernah mengalami kehamilan mola
pada bulan Mei 2018 dengan usia kehamilan 3 bulan berdasarkan HPHT.
Pada bulan Mei pasien mengatakaan kalau kehamilannya merupakan
kehamilan anggur dan keluar spontan yang kemudian pasien dirujuk
sebelah kanan yang menjalar kepala ke RSUWZJ karena mengalami
perdarahan.
Riwayat Pengobatan : pasien telah mendapat pengobatan kemoterapi
sebanyak 6x sejak tanggal 13 Juni 2018.
1. 13-14 Juni 2018 menggunakan Paclitaxel 230 mg & Carboplatin
550 mg
2. 6-7 Juli 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin 500
mg
3. 27-28 Juli 2018 menggunakan Paclitaxel 200 mg & Carboplatin
500 mg
4. 24-25 Agustus 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg &
Carboplatin 550 mg
5. 5-6 Oktober 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg & Carboplatin
550 mg
6. 30-31 Oktober 2018 menggunakan Paclitaxel 210 mg &
Carboplatin 550 mg

Riwayat Menstruasi :

Menarche : 10 tahun dengan siklus 28 hari teratur dan lama haid 3-5 hari

Riwayat KB ; -

Riwayat Persalinan :
1. 9 bulan/RSUD Soe/Bidan/ Spontan pervaginam/2800 gram /laki-
laki/2 tahun/Sehat

Riwayat Keluarga : Menurut pasien tidak ada anggota keluarganya yang


mengalami keluhan yang sama maupun yang mengalami penyakit
keganasan (kanker), hipertensi (-), diabetes melitus (-) , Asma (-)
Riwayat Penyakit Dahulu : pasien memiliki riwayat mengalami
penyakit mola hidatidosa pada bulan Mei dengan usia kehamilan 3 bulan.
2.3 Pemeriksaan Fisik
Kesadaaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tanda Vital : TD: 130/80 mmHg Nadi: 84x/menit
Temperatur: 36,7oC Pernapasan:18x/menit
Kulit : Pucat (-), ikterik (-) dan sianosis(-)
Mata : Konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-,
exoptalmus -/-
Kepala : Alopesia generalisata
Telinga : Simetris, otore (-), tidak ada kelainan anatomi
Mulut : Bibir tampak kering, sianosis (-), pucat (-), mukosa
mulut lembab
Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-), Pembesaran
Tiroid (-)
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 sinistra
Perkusi : Redup, Batas jantung normal
Auskultasi : S1 S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
Pulmo Anterior
Inspeksi : Pengembangan dada saat statis dan dinamis
simetris, penggunaan otot bantu pernapasan (-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Pulmo Posterior
Inspeksi : Pergerakan napas simetris D=S
Palpasi : Nyeri tekan (-), taktil fremitus D=S
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Cembung, striae (-)
Auskultasi : Bising usus (+)
Palpasi : Supel, tidak teraba bagian janin, tidak teraba
ballotement, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
Vagina
Inspeksi : Perdarahan vagina (bercak darah)
VT : fluksus (-), fluor albus (-), portio licin, corpus uteri
membesar sesuai usia kehamilan 11-12 minggu, nyeri adneksa
parametrium (-), massa adneksa parametrium kanan (-),massa adneksa
parametrium kiri, cavum douglass tidak menonjol.
Ekstremitas : Akral hangat, edema tungkai (-/-), CRT < 2 detik.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
30 November 2018 – VK
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi

Darah Rutin

Hemoglobin 10,1 g/Dl 12,0 – 16,0 L

Jumlah Eritrosit 3,94 106/uL 4,20 – 5,40 L

Hematokrit 30,6 % 37,0 – 47,0 L

MCV, MCH, MCHC

MCV 77,7 fL 81,0 – 96,0 L

MCH 25,6 Pg 27,0 – 36,0 L

MCHC 33,0 g/L 31,0 – 37,0

RDW-CV 20,3 % 11,0 – 16,0 H

RDW-SD 57,2 fL 37 – 54 H
Jumlah Leukosit 9,13 103/ul 4,0 – 10,0

Hitung Jenis

Eosinofil 0,1 % 1,0 – 5,0 L

Basofil 0,2 % 0–1

Neutrofil 70,0 % 50 – 70

Limfosit 21,7 % 20 – 40

Monosit 8,0 % 2–8

Jumlah Eosinofil 0,01 103/uL 0,00 – 0,40

Jumlah Basofil 0,02 103/uL 0,00 – 0,10

Jumlah Neutrofil 6,39 103/uL 1,50 – 7,00

Jumlah Limfosit 1,98 103/uL 1,00 – 3,70

Jumlah Monosit 0,73 103/uL 0,00 – 0,70 H

Jumlah Trombosit 315 103/uL 150 – 400

Kimia Darah

Glukosa Sewaktu 87 mg/dL 70 – 150

BUN 5,0 mg/dL < 48

Kreatinin Darah 0,68 mg/dL 0,6 – 1,1

Albumin 3,7 mg/L 3,5-5,2


Bilirubin total 0,90 mg/dL < 0,9
Bilirubin direk 0,30 mg/dL < 0,2
Bilirubin indirek 0,60 mg/dL 0,00-0,70
Elektrolit
Natrium Darah 137 mmol/L 132-147
Kalium Darah 3,9 mmol/L 3,5-4,5
Klorida Darah 105 mmol/L 96-111
Calcium Ion 1.090 mmol/L 1.120-1.320
Total Calcium 2,4 mmol/L 2,2-2,55
SGPT 12 U/L < 41
SGOT 23 U/L < 35

27 Mei 2018
PST Positif Negatif

27-5-2018 28-6-2018 26-7-2018 27-10-2018 1-12-2018

ᵦ-hCG 51200 mIU/mL 800 mIU/mL NEGATIF NEGATIF NEGATIF

Hasil pemeriksaan USG

Hepar : ukuran normal (10 cm), intensitas echo parenkim normal, sudut tajam tepi
reguler, tak tampak pelebaran IHBD/EHBD, v.porta/v.hepatika normal, tak tampak kista
atau massa nodul
GB : ukuran normal, tak tampak penebalan dinding, tidak tampak batu/kista/massa
Pancreas : ukuran normal, intensitas echo parenkim normal, tidak tampak
kalsifikasi/kista/massa, tak tampak pelebaran duktus pancreaticus
Lien : ukuran normal(7,8 cm), intensitas echoparenkim normal, tidak tampak
kista/massa/nodul
Ginjal kanan: ukuran normal (8,3 cm), intensitas echoparenkim normal, batas sinus
kortex tampak jelas, tak tampak ektasis sitem pelviocaleceal, tak tampak kista/massa/batu
Ginjal kiri: ukuran normal (7,3 cm), intensitas echoparenkim normal, batas sinus kortex
tampak jelas, tak tampak ektasis sitem pelviocaleceal, tak tampak kista/massa/batu
Buli : tidak terisi urine, terpasang cateter
Uterus : ukuran normal, tak tampak massa/kalsifikasi
Adnexa kanan kiri : tampak lesi kistik, non septated,, ukuran ± 5,4 cmx3,6 cm, tampak
juga multipel vena dilatasi kanan kiri (kanan>kiri)
Tampak intensitas echo cairan bebas ekstraluminal dicavum abdomen
Tak tampak pembesaran KGB paraaorta
Kesan :
Kista ovarium kanan ukuran ± 5,4 x 3,6 cm
Suspect pelvic congestion syndrome adneksa kan kiri (kanan>kiri)
Hepar / GB / Pankreas / Lien /
Ginjal kanan kiri / Buli/ Uterus tak tampak kelainan
Hepar, gallblader, ginjal kanan kiri, bli normal
Uterus normal
Terdapat kista pada adnexa dextra dengn ukuran 5,6x3,7 cm
Kesimpulan :
Kista ovarium
Hasil pemeriksaan CT Scan

Tampak lesi multifokal hiperdense, densitas darah , volume terbesar ± di cortex subxortex
parietal kiri disertai perifokal edema yang ytampak sedikit mendesak ventrikel latralis kiri
ke kanan sehingga menyebabkan midlineshift ke kanan sejauh 0,4 cm .
Tampak lesi hiperdense densitas darah intraventrikel lateralis kanan dan kiri, III & IV
Sulcus dan girus diluar lesi tampak baik
Sisterna tampak baik
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Pons & serebelum tidak tampak kelainan
Orbita & mastoid kanan kiri tampak baik
Sinus paranasalis kanan kiri tak tampak kelainan.
Calvaria tampak baik
Kesan :
Multifokal ICH volume terbesar ± 28 ml di cortex subcortex parietal kiri diserat perifokal
edema yang tampak sedikit mendesak ventrikel lateralis kiri ke kanan sehingga
menyebabkan midlineshift ke kanan sejauh 0,4 cm
IVH intraventrikel lateralis kanan kiri, III,IV
Tampak lesi hipodense batas tegas, tentakel, dicentrum semioval kiri
Tak tampak lesi hiperdense di brain parenchim
Tak tampak midline shift
Sulcy dan gyrus diluar lesi tampak baik
Sistem ventrikel dan siterna tampak baik
Tak tampak kalsifikasi abnormal
Pons dan serebellum tampak baik
Orbita dan mastoid kanan kiri tampak baik
Sinus paranasalis kanan kiri tampak baik
Calvaria baik
Kesan :
1. lesi hipodense batas tegas di centrum semiovale kiri dd :
 SOL
 Chronic Ischemic Infark
2. saat ini tidak tampak ICH

Hasil pemeriksaan X-Ray thorax

Cor : besar dan bentuk normal


Pulmo : tampak multiple nodul ukuran bervariasi pada kedua lapang paru. Sinus
pherenicocostalis kanan dan kiri tajam
Kesan :
1. multipel nodul ukuran bervariasi di kedua lapang paru : suspect metastase proses
coarse nodul type
2. cor tak tampak kelainan
KP tak aktif
Pasien MRS 30/11/2018 pukul 14.00 setelah menjalani perawatan selama
10 hari perawatan. Perdarahan pervaginam sudah berhenti dan keluhan lemah
pada separuh badan kanan mulai berkurang serta keluhan keram sudah
menghilang. Pasien di pulangkan pada tanggal 10/12/2018 setelah menjalani
perawatan selama 10 hari perawatan.

Assesment

 Menometrorhagia dengan riwayat Gestational Trophoblastic Neoplasia


 Hemiparese Dextra

Planning

 KIE
 Thorax foto
 CT Scan kepala
 Drip Kalnex dalam Ringer Laktat
 Konsul ke Neurologist

Prognosis

 Quo ad vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad fungsionam : Dubia
 Quo ad sanactionam : Dubia ad malam
BAB 4

PEMBAHASAN

Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN) adalah keganasan yang


terjadi pasca suatu kehamilan, baik berupa kehamilan aterm, ektopik, abortus
maupun mola hidatidosa. Pasien datang dengan keluhan perdarahan yang terjadi
diluar siklus haid pasien (menometroragia). Teorinya, menometroragia pada GTN
terbentuk karena adanya lesi pada uterus dengan perdarahan yang sedikit dan
nekrosis pada jaringan sekitar. Perdarahan yang terjadi pada pasien awalnya
sangat banyak sehingga pasien diberikan terapi Asam Tranexamat 3x500 mg
sehinggga perdarahan mulai dapat diatasi dan berkurang sampai hanya berbentuk
bercak. Pemberian asam tranexamat oral maupun injeksi dapat menurunkan
jumlah perdarahan sampa memberhentikan perdarahan yang terjadi diluar siklus
haid.
. Dari hasil anamnesis pasien mengatakan bahwa isi kandungannya keluar
secara Wanita yang baru pertama kali mengalami kehamilan dengan mola, secara
umumnya sebaiknya dilakukan evakuasi dengan vakum dilatasi atau kuretase
spontan saat usia kehamilan 3 bulan. Kejadian ini terjadi pada bulan Mei 2018
sebelum pasien di rujuk ke RSUD Prof. Dr. W. Z Johannes Kupang. Tatalaksana
yang optimal pada pasien dengan penyakit GTN dapat dilakukan pada pusat
pelayanan kesehatan yang terpadu, yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan
patologi anatomi, dan untuk monitoring kadar hCG. Pasien dengan kadar hCG
yang negatif setelah mendapatkan terapi yang adekuat menandakan bahwa pasien
berespon terhadap kemoterapi.
Gambaran foto thorax multipel nodul ukuran bervariasi di kedua lapang
paru : suspect metastase proses coarse nodul type. Namun setelah di kemoterapi
gambaran foto tthorax pasien menjadi normal. Hal ini menandakan bahwa pasien
memiliki respon yang baik terhadap kemoterapi. Dari hasil CT Scan kepala
ditemukan adanya gambaran Multifokal ICH volume terbesar ± 28 ml di cortex
subcortex parietal kiri diserat perifokal edema yang tampak sedikit mendesak
ventrikel lateralis kiri ke kanan sehingga menyebabkan midlineshift ke kanan
sejauh 0,4 cm dan adanya IVH intraventrikel lateralis kanan kiri, III,IV. Hal ini
sudah sesuai teori dimana keganasan seperti GTN (koriokarsinoma) dapat
memberikan gambaran metastase berupa perdarahan intrakranial yang dalam
prosesnya akan terbentuk gambaran infark pada otak. Lesi hipodense batas tegas
di centrum semiovale kiri DD SOL DD Chronic Ischemic Infark.
Pasien diterapi dengan paclitaxel dan carboplatin. Pemberian kemoterapi
ini sebaiknya diberikan jika telah dilakukan diskusi dengan pusat rujukan GTN.
Imunoglobulin anti-D dianjurkan untuk diberikan pada pasien setelah menjalani
vakum dilatasi atau kuretase Sistem skoring FIGO untuk pasien dengan skor ≥7
(risiko tinggi) sebaiknya menerima multi-agent kemoterapi dan saat ini pada
kebanyakan pusat institusi menggunakan EMA/CO, karena lebih efektif, dan
mudah untuk diberikan, serta relative rendah toksisitasnya. Pasien dengan risiko
tinggi sebaiknya medapat terapi lanjutan selama 6 minggu dan diperpanjang
hingga 8 minggu pada pasien dengan prognosis yang buruk, seperti adanya
keterlibatan metastasis ke hepar atau otak. Pasien diberikan terapi paclitaxel dan
carboplatin dikarenakan regmen EMA/CO yang tidak tersedia.
Kematian yang dini pada pasien dengan risiko sangat tinggi dapat
dikurangi dengan memberikan etoposide dosis rendah dan cisplatin. Pada pasien
dengan risiko rendah maupun risiko tingggi yang telah mengikuti kemoterapi,
dengan adanya sisa massa pada paru atau uterus, tidak memiliki makna prediktif
untuk menentukan kemungkinan terjadinya rekurensi dari penyakit sehingga
tidak diperlukan eksisi dengan pembedahan.
BAB 5

PENUTUP

Telah dilaporkan pasien perempuan usia 25 tahun dengan keluhan keluar


bercak darah dari jalan lahir sejak ± 11 hari yang lalu. Dilakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis Menometroragia
D/Gestational Trophoblastic Neoplasia D/SOL Cerebri metastase dd vaskuler.
Pasien MRS 30/11/2018 pukul 14.00 setelah menjalani perawatan selama 10 hari
perawatan. Perdarahan pervaginam sudah berhenti dan keluhan lemah pada
hemiparese dextra mulai berkurang serta keluhan parestesia sudah menghilang.
Pasien di pulangkan pada tanggal 10/12/2018 setelah menjalani perawatan selama
10 hari perawatan. Pasien dianjurkan oleh dokter saraf untuk kontrol rutin di Poli
Saraf.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wargasetia TL, Maranatha UK. Aspek Patobiologis pada Penyakit


Trofoblas Gestasional. 2016;10(February 2011):192–3.
2. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. 3rd ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono
Prawihardjo; 2011. 73, 221,445 p.
3. Fallis A. Williams Obstetrics. Vol. 53, Journal of Chemical Information
and Modeling. 2013. 359-364 p.
4. Sebire NJ, Fisher R, Golfier F, Hospitalier C, Lyon U De, Massuger L.
Clinical Practice Guidelines Gestational Trophoblastic Disease : ESMO
Clinical Practice. Ann Oncol. 2013;24(November):1–2.
5. Is W, Trophoblastic G. About Gestational Trophoblastic Disease What Is
Gestational Trophoblastic Disease ? Am Cancer Soc. 2017;1:1–5.
6. Openshaw MR, Harvey RA, Sebire NJ, Kaur B, Sarwar N, Seckl MJ, et al.
Circulating Cell Free DNA in the Diagnosis of Trophoblastic Tumors. The
Authors; 2016;4:146–52. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.ebiom.2015.12.022
7. Ehlen TG, Bessette P, Gerulath AH, Jolicoeur L, Savoie R. Gestational
Trophoblastic Disease. Obstet Gynaecol Cancer. 2002;5(114):2–4.
8. Summary E. Gestational Trophoblastic Neoplasia. Union Int Cancer
Control. 2014;1–9.

Anda mungkin juga menyukai