Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN HELLP SYNDROME

DI RUANG PERAWATAN ICU RSUD ULIN BANJARMASIN

DISUSUN OLEH :

AMALIA ISLAMI (1194561920037)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MULIA BANJARMASIN

2020

i
LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL KASUS : POST SC + HELLP SYNDROME

TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : RUANG ICU RSUD ULIN BANJARMASIN

NAMA : AMALIA ISLAMI

Banjarmasin, 7 Februari 2020

Menyetujui,

RSUD ULIN Banjarmasin Program Studi Sarjana Keperawatan


Preseptor Klinik (PK) Universitas Sari Mulia
Preseptor Akademik (PA)

M. Lukmanul Hakim, S. Kep., Ns., M.Kep. Eirene E. M. Gaghauna, Ns., MSN


NIP. 19760116 199603 1 002 NIK. 1166012009017

ii
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL KASUS : POST SC + HELLP SYNDROME

TEMPAT PENGAMBILAN KASUS : RUANG ICU RSUD ULIN BANJARMASIN

NAMA : AMALIA ISLAMI

Banjarmasin, 7 Februari 2020

Menyetujui,

RSUD ULIN Banjarmasin Program Studi Sarjana Keperawatan


Preseptor Klinik (PK) Universitas Sari Mulia
Preseptor Akademik (PA)

M. Lukmanul Hakim, S. Kep., Ns., M.Kep. Eirene E. M. Gaghauna, Ns., MSN


NIP. 19760116 199603 1 002 NIK. 1166012009017

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i


HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vi
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
A. Definisi ....................................................................................................1
B. Anatomi Fisiologi ...................................................................................3
C. Etiologi ....................................................................................................5
D. Manifestasi Klinik ...................................................................................6
E. Clinical Pathway .....................................................................................8
F. Komplikasi ..............................................................................................9
G. Penatalaksanaan Medis ...........................................................................10
H. Penatalaksanaan Keperawatan ................................................................11
DAFTAR PUSTAKA

i
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Sindrom HELLP merupakan sebuah sindrom yang diberi nama oleh dr. Louis
Weinstein pada tahun 1982 berdasarkan manifestasi kliniknya, H (Haemolysis)
atau anemia hemolitik mikroangiopatik, EL (Elevated Liver Enzyms) yaitu
peningkatan kadar enzim pada hati, dan LP (Low Platelet Count) atau rendahnya
jumlah trombosit. Dalam klasifikasi Tennesse kriteria diagnostik untuk sindrom
HELLP adalah hemolysis dengan peningkatan LDH (>600), AST (> 70 μ / L), dan
trombosit <100-109 / L. diagnosis lengkap HELLP ditegakkan jika tiga komponen
tersebut terpenuhi, sementara SIndrom HELLP parsial atau tidak lengkap akan
ditegakkan jika muncul satu atau dua kriteria dari total tiga kriteria tersebut
(Weinstein L, 1982).
Pada tahun 1982, Louis Weinstein pertama kali melaporkan komplikasi hebat
ini, mengamati 29 wanita yang didiagnosis dengan preeklampsia, yang
mengembangkan trombositopenia, hemolisis intravaskular yang terdeteksi oleh
temuan pada apusan darah tepi dan perubahan dalam tes fungsi hati. Sindrom ini
merupakan komplikasi kehamilan yang jarang terjadi seumur hidup yang terlihat
pada 0,02-0,8% kehamilan, terjadi pada trimester terakhir atau pada periode
postpartum awal. (Aloizos S et al, 2013; Abilgaarda U, 2013). Sindrom HELLP
terkait erat dengan preeklamsia, terjadi pada 1/1000 wanita hamil, menyebabkan
wanita hamil menjadi sakit pada trimester ketiga (Nery IS et al, 2014; Pollo-Flores
P, 2017). Evaluasi diagnostik menunjukkan kematian perinatal mendekati 10
hingga 60%, dan ibu 1,5 hingga 5% dari kejadian. Wanita heterozigot untuk
Leiden's Factor V lebih rentan terhadap komplikasi kebidanan yang parah ini.
Sindrom HELLP, sampai saat ini, tidak memiliki pengobatan khusus, karena
sedikit pengetahuan tentang patofisiologi penyakit (Sibai BM, 1993).
Hemolisis yang ditandai oleh anemia hemolitik mikroangiopatik adalah tanda
utama dari sinrom HELLP. Sindrom HELLP didiagnosis dengan adanya fragmen
(shistosit) atau sel darah merah yang berkontraksi dengan spikula (Sel Burr) pada
apusan tepi. Peningkatan kadar dehydrogenase laktat serum, penurunan
konsentrasi haptoglobulin, dan kehadiran bilirubin tak terkonjugasi (>1,2

1
mg/100ml) semuanya menunjukkan tanda hemolysis. Peningkatan enzim hati
menunjukkan keterlibatan hati dan juga hemolysis. Trombosit yang diaktifkan
mematuhi sel-sel endotel vascular yang rusak yang mengarah pada peningkatan
konsumsi trombosit dan menurunkan jumlahnya. Berikut klasifikasi dari Sindrom
HELLP yaitu :

Klasifikasi Kelas I Kelas II Kelas III


1. Jumlah 1. Jumlah 1. Jumlah
trombosit trombosit> trombosit>
≤50.000 / mm3 50.000 –≤ 100.000 hingga
2. Sr.AST atau Sr. 100.000 / mm3 2. ≤150,000 /
ALT ≥70 IU / L 2. Sr.AST atau Sr. mm3
Kriteria 3. • Sr.LDH ≥600 ALT ≥70 IU / L 3. Sr.AST atau Sr.
IU / L 3. Sr. LDH ≥600 ALT ≥40 IU / L
IU / L 4. Sr.LDH ≥600 IU
/L

Gejala dari sindrom HELLP tidak khas, bervariasi, cepat, dan diagnosis dapat
ditunda, sehingga banyak dari dokter akan salah mendiagnosis sebagai gastritis,
esophagitis, hepatis, kolesistitis, demam virus atau trombositopenia idiopatik.
Gambaran klinis yang khas adalah nyeri kuadran. kanan atas, mual, muntah, dan
nyeri epigastrium. Nyeri perut bisa intermiten atau kolik, juga dapat dikaitkan
dengan malaise (Weinstein L, 2982).
Sindrom ini dianggap sebagai salah satu peristiwa kebidanan yang dapat
muncul. Diagnosis banding dari sindrom ini adalah APS, thrombotic
thrombocytopenic purpura (TTP), sindrom hemolyticuremic (HUS), dan systemic
lupus erythematosus (SLE), yang merupakan kasus dengan angka kematian yang
tinggi dan komplikasi jangka panjang. Kegagalan untuk mendiagnosis dan
mengobati gangguan ini dapat menyebabkan kematian ibu. Ada beberapa opsi
untuk mengelola sindrom ini diantaranya pengiriman segera, manajemen
prenatal, dan pengiriman dalam waktu 48 jam. Morbiditas ibu meliputi koagulasi
intravaskular diseminata, gagal ginjal akut, edema paru, hematoma hati

2
subkapsular, eklampsia, sepsis, gagal napas akut dan berat, dan ablasi retina,
beberapa di antaranya dapat menyebabkan kematian ibu. Risiko eklampsia pada
pasien dengan sindrom HELLP lebih besar pada kasus dengan kadar LDH dan
sakit kepala yang lebih tinggi (Haram K dkk, 2009; Martin JN dkk, 2006; American
College of Obstetricians and Gynecologists, 2013; Fitzpatrick KE et al , 2014).

B. Anatomi Fisiologi
Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan
tangan. Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah
dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat ruang, 2
ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di bawahnya
dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding yang memisahkan
kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri dinamakan septum.

Gambar jantung normal dan sirkulasinya

Batas-batas jantung terdiri dari :

1. Dekstra : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior (VCI)
2. Sinistra : Ujung ventrikel kiri
3. Anterior : Atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri

3
4. Posterior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
5. Inferior : ventrikel kanan yang terletak hamper horizontal sepanjang diafragma
sampai apeks jantung
6. Superior : apendiks atrium kiri

Darah dipompakan melalui semua ruang jantung dengan bantuan keempat


katup yang mencegah agar darah tidak kembali ke belakang dan menjaga agar
darah tersebut mengalir ke tempat yang dituju. Keempat katup ini adalah katup
trikuspid yang terletak di antara atrium kanan dan ventrikel kanan, katup
pulmonal, terletak di antara ventrikel kanan dan arteri pulmonal, katup mitral yang
terletak di antara atrium kiri dan ventrikel kiri dan katup aorta, terletak di antara
ventrikel kiri dan aorta. Katup mitral memiliki 2 daun (leaflet), yaitu leaflet anterior
dan posterior. Katup lainnya memiliki tiga daun (leaflet). Jantung dipersarafi
aferen dan eferen yang keduanya sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Saraf
parasimpatis berasal dari saraf vagus melalui preksus jantung. Serabut post
ganglion pendek melewati nodus SA dan AV, serta hanya sedikit menyebar pada
ventrikel. Saraf simpatis berasal dari trunkus toraksik dan servikal atas, mensuplai
kedua atrium dan ventrikel. Walaupun jantung tidak mempunyai persarafan
somatik, stimulasi aferen vagal dapat mencapai tingkat kesadaran dan dipersepsi
sebagai nyeri.

Suplai darah jantung berasal dari arteri koronaria. Arteri koroner kanan berasal
dari sinus aorta anterior, melewati diantara trunkus pulmonalis dan apendiks
atrium kanan, turun ke lekukan A-V kanan sampai mencapai lekukan
interventrikuler posterior. Pada 85% pasien arteri berlanjut sebagai arteri
posterior desenden/ posterior decendens artery (PDA) disebut dominan kanan.
Arteri koroner kiri berasal dari sinus aorta posterior kiri dan terbagi menjadi arteri
anterior desenden kiri/ left anterior descenden (LAD) interventrikuler dan
sirkumfleks. LAD turun di anterior dan inferior ke apeks jantung.

Mayoritas darah vena terdrainase melalui sinus koronarius ke atrium kanan.


Sinus koronarius bermuara ke sinus venosus sistemik pada atrium kanan, secara
morfologi berhubungan dengna atrium kiri, berjalan dalam celah atrioventrikuler.

4
Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah terkait
fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu atrium-ventrikel
kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian pompa jantung tersebut,
pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru sedangkan bagian pompa jantung
yang kiri berperan dalam sirkulasi sistemik untuk seluruh tubuh. Kedua jenis
sirkulasi yang dilakukan oleh jantung ini adalah suatu proses yang
berkesinambungan dan berkaitan sangat erat untuk asupan oksigen manusia
demi kelangsungan hidupnya.

Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke jantung.
Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah dari sirkulasi
vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut ke jantung sebelah
kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup trikuspid menuju
ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup pulmonal.

Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami oksigenasi


di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah. Darah merah ini
kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena pulmonalis. Dari atrium kiri,
darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup mitral dan selanjutnya dipompakan
ke aorta.

Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri, dinamakan tekanan
darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi maksimal, ventrikel ini mulai
mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri akan mengalir ke ventrikel ini.
Tekanan dalam arteri akan segera turun saat ventrikel terisi darah. Tekanan ini
selanjutnya dinamakan tekanan darah diastolik. Kedua atrium berkontraksi
secara bersamaan, begitu pula dengan kedua ventrikel.

C. Etiologi
Seperti halnya preeklampsia, etiologi dan patogenesis sindrom HELLP tidak
sepenuhnya dipahami. Peningkatan trombosis vaskular dan aktivasi sistem
koagulasi mungkin menjadi bagian penting dalam presentasi klinis gangguan ini.
Kriteria laboratorium untuk diagnosis sindrom HELLP telah dijelaskan secara
klasik namun masih kurang keseragaman di antara lembaga yang berbeda.

5
Manajemen agresif sindrom HELLP dengan kelahiran cepat tampaknya
menghasilkan tingkat kematian perinatal terendah. Manajemen konservatif atau
hamil telah dikaitkan dengan tingkat kelahiran mati yang lebih tinggi dengan
kortikosteroid antenatal yang tidak menyebabkan resolusi kelainan laboratorium.
Penyelesaian kelainan laboratorium pada sindrom HELLP berlangsung lama
selama beberapa hari setelah melahirkan (Barton, 2004).
Sindrom HELLP telah digambarkan sebagai salah satu jenis atau komplikasi
preeklampsia. Sindrom HELLP terjadi pada 10-20% wanita dengan preeklamsia
berat. Namun, dari hasil pengamatan, 10-20% dari pasien yang hadir dengan
sindrom tersebut tidak pernah didiagnosis dengan preeklampsia, dan 15-20%
pasien yang tersebut juga tidak memiliki temuan klinis hipertensi dan atau
proteinuria ( Kinay, 2015; Jebbinkab, 2012; Rimaitis et al, 2019).
Faktor-faktor risiko sindrom ini termasuk usia> 35 tahun, multiparitas, riwayat
hipertensi pada kehamilan sebelumnya, Kaukasia, kehamilan multipel, dan
riwayat sindrom antibodi antifosfolipid (APS). 5% hingga 10% orang dengan
sindrom HELLP menderita APS. Sindrom ini terjadi pada 0,5% hingga 0,9%
kehamilan dan pada 10% hingga 20% preeklamsia berat. Sekitar 70% kasus
didiagnosis sebelum pengiriman.

D. Patofisiologi
Patofisiologi sindrom HELLP belum jelas. Beberapa peneliti percaya bahwa
sindrom HELLP adalah subkelompok preeklamsia berat dan patofisiologinya
sama (Cunningham FG et al, 2014).
Pada awal kehamilan, sel sitotrofoblas menginvasi arterispiralis uterus,
mengganti lapisan endothelial dari arteri tersebut dengan merusak jaringan elastis
medial, muskular, dan neural secara berurutan. Sebelum trimester kedua
kehamilan berakhir, arteri spiralis uteri dilapisi oleh sitotrofoblas, dan sel
endothelial tidak lagi ada pada bagian endometrium atau bagian superfisial dari
miometrium. Proses remodeling arteri spiralis uteri menghasilkan pembentukan
sistem arteriolar yang rendah tahanan serta mengalami peningkatan suplai
volume darah yang signifikan untuk kebutuhan pertumbuhan janin. Pada
preeklampsia, invasi arteri spiralis uteri hanya terbatas pada bagian desidua
proksimal, dengan 30% sampai dengan 50% arteri spiralis dari placental bed luput

6
dari proses remodeling trofoblas endovaskuler. Segmen miometrium dari arteri
tersebut secara anatomis masih intak dan tidak terdilatasi. Rerata diameter
eksternal dari arteri spiralis uteri pada ibu dengan preeklampsia adalah 1,5 kali
lebih kecil dari diameter arteri yang sama pada kehamilan tanpa komplikasi.
Kegagalan dalam proses remodeling vaskuler ini menghambat respon adekuat
terhadap kebutuhan suplai darah janin yang meningkat yang terjadi selama
kehamilan. Ekspresi integrin yang tidak sesuai oleh sitotrofoblas ekstravilli
mungkin dapat menjelaskan tidak sempurnanya remodeling arteri yang terjadi
pada preeklampsia. Kegagalan invasi trofobas pada preeklampsia menyebabkan
penurunan perfusi uteroplasenta, sehingga menghasilkan plasenta yang
mengalami iskemi progresif selama kehamilan. Selain itu, plasenta pada ibu
dengan preeklampsia menunjukkan peningkatan frekuensi infark plasenta dan
perubahan morfologi yang dibuktikan dengan proliferasi sitotrofoblas yang tidak
normal. Bukti empiris lain yang mendukung gagasan bahwa plasenta merupakan
etiologi dari preeklampsia adalah periode penyembuhan pasien yang cepat
setelah melahirkan.
Jaringan endotel vaskuler memiliki beberapa fungsi penting, termasuk di
antaranya adalah fungsi pengontrolan tonus otot polos melalui pelepasan
substansi vasokonstriktor dan vasodilator, serta regulasi fungsi anti koagulan, anti
platelet, fibrinolisis melalui pelepasan faktor yang berbeda. Hal ini menyebabkan
munculnya gagasan bahwa pelepasan faktor dari plasenta yang merupakan
respon dari iskemi menyebabkan disfungsi endotel pada sirkulasi maternal. Data
dari hasil penelitian mengenai disfungsi endotel sebagai patogenesis awal
preeklampsia menunjukkan bahwa hal tersebut kemungkinan merupakan
penyebab dari preeklampsia, dan bukan efek dari gangguan kehamilan tersebut.
Selanjutnya, pada ibu dengan preeklampsia, faktor gangguan kesehatan pada ibu
yang sudah ada sebelumnya seperti hipertensi kronis, diabetes, dan
hiperlipidemia dapat menjadi faktor predisposisi atas kerusakan endotel maternal
yang lebih lanjut.

7
E. Pathway Hipertensi Pada Kehamilan

Tidak disertai kejang Tidak disertai kejang

Preeklampsia Indikasi dilakukan SC


Eklampsia
Penurunan jumlah darah ke Penurunan
Vasopasme Pembuluh Darah ginjal GFR Terputusnya inkontinuitas
Proteinuria

Lesi pada lapisan endotelia Merangsang peningkatan saraf Aliran darah Pengaktifan mediator kimiawi
ke ginjal Penurunan jumlah
simpatis (bradikinin, prostaglandin)
menurun albumin
Trombosit menyatu pada sisi lesi
Afferent Penurunan tekanan
Jantung Paru Gangguan
Sel darah merah pecah onkotik osmotik
RAA
Medula Spinalis
Kontraktilitas Kongesti vena
Hemolisis berlebih pulmonal Perpindahan cairan
meningkat
Retensi Na intravaskuler ke intrasel
Talamus
Pemecahan hem dan globulin berlebih & H2O
Heart rate Perpindahan
meningkat cairan dari Cortex Cerebri Edema
Biliverdin berlebih Edema
ekstrasel ke
intrasel
Beban jantung
Bilirubin belum terkonjugasi berlebih Nyeri dipersepsikan
meningkat Kelebihan
Peningkatan Volume
Ketidakmampuan hepar mengonjugasi tekanan Vena
Hipertrofi ventrikel
Pulmo Cairan Nyeri Akut
bilirubin kiri

Peningkatan enzim hati Penurunan curah Edema Paru


jantung
Bilirubin direct berlebih Gangguan
Penurunan COP Pertukaran
Ikterik Gas
Penurunan suplai Sumber : Prawirohardjo, 2009; Jayakusuma,2005; Angsar,
O2 ke jaringan 2003.
Gangguan Integritas Kulit

Hipoksia
8
Intoleransi Aktivitas Peningkatan Asam
Laktat
F. Manifestasi Klinik
Gejala klinis gangguan ini adalah nyeri epigastrium, kuadran atas dan kanan
nyeri perut, mual, dan muntah. Nyeri perut kuadran kanan atas bisa berupa kolik
atau persisten. Banyak pasien melaporkan riwayat kelelahan dari beberapa hari
sebelumnya. 30% hingga 60% pasien menderita sakit kepala dan 20% di
antaranya mengalami gejala penglihatan. Peningkatan berat badan yang
meningkat selama kehamilan dan edema umum dapat dilihat pada lebih dari 50%
kasus sebelum timbulnya sindrom HELLP. Pasien dengan sindrom ini dapat
datang dengan tanda dan gejala nonspesifik atau gejala sindrom virus
(Cunningham FG et al, 2014; Benedetto C et al, 2011; Koenen SV et al, 2006;
Haram K et al, 2009).
Sebagian besar dari kasus ini adalah ibu dengan usia 27 hingga 37 minggu
kehamilan dan 30% sisanya didiagnosis setelah melahirkan dan paling sering
terjadi dalam 48 jam pertama setelah melahirkan. Dalam 15% hingga 20% kasus,
pasien tidak memiliki proteinuria atau hipertensi sebelum didiagnosis sindrom
HELLP. Oleh karena itu, diyakini bahwa sindrom ini adalah kelainan kecuali
preeklampsia. Diagnosis sindrom HELLP sulit ketika tidak disertai dengan
hipertensi dan proteinuria dan gejalanya kadang-kadang keliru untuk penyakit
gastritis, influenza, hepatitis akut, dan kandung empedu. Tingkat kematian
sindrom HELLP cukup tinggi (sekitar: 25%) (Koenen SV et al, 2006; Haram K et
al, 2009; Abilgaard U, 2013).
Sebagai salah satu bentuk kriteria dari preeklampsia berat, HELLP memiliki
onset yang juga mengawali proses gangguan pada perkembangan dan fungsi
plasenta, dan iskemia yang memicu stress oksidatif, yang secara akumulatif akan
mengganggu endothelium melalui aktivasi platelet, vasokonstriktor, dan
menyebabkan terganggunya kehamilan normal yang ditunjukkan dengan
abnormalitas relaksasi vaskular (Cuningham, et al, 2014).

G. Komplikasi
Sindrom HELLP telah menunjukkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
perinatal pada kondisi janin maupun sang ibu. Komplikasi maternal seperti solusio
plasenta, edema paru dengan gangguan pernapasan akut, penyebarluasan
koagulasi intravaskular (DIC), perdarahan serebral, syok septik, gagal ginjal akut,

9
dan hematoma hati subkapsular merupakan hal yang sering terjadi. Komplikasi
neonatal paling sering disebabkan oleh persalinan prematur, termasuk
hipoglikemia, displasia bronkopulmoner, sindrom gangguan pernapasan,
enterokolitis nekrotikans, dan kematian neonatal (Aloizos S et al, 2013; Abilgaarda
U, 2013; Haram K et al 2009).

H. Penatalaksaan Medis
Penanganan sindrom HELLP sangat bergantung pada usia kehamilan dan tingkat
keparahan dari gejala-gejala yang ditimbulkan. Namun, pada dasarnya segera
mengeluarkan bayi dari dalam kandungan merupakan jalan terbaik untuk
menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu,
dokter akan fokus dulu terhadap pematangan fungsi paru-paru pada janin.
Selanjutnya, akan diputuskan apakah tindakan persalinan bisa dilakukan atau
tidak. Berikut ini adalah bentuk-bentuk penanganan sindrom HELLP yang bisa
diberikan oleh dokter, sebelum siapnya proses persalinan:
1. Istirahat total di rumah sakit, dengan diawasi secara berkala oleh dokter dan
perawat
2. Pemantauan kondisi janin melalui pemeriksaan seperti tes biofisik dengan
menggunakan sonogram, evaluasi pergerakan janin, dan tes nonstres
3. Transfusi darah yang diberikan saat jumlah sel darah merah berada di bawah
normal
4. Pemberian obat-obatan, seperti kortikosteroid untuk mempercepat
pematangan paru-paru janin, obat antihipertensi, hingga obat antikejang
berupa magnesium sulfat.
Dokter akan mengusahakan persalinan secara normal pada ibu hamil
penderita sindrom HELLP, terutama pada pasien dengan serviks yang sehat dan
usia kehamilan yang sudah mencapai 34 minggu. Persalinan dengan operasi
Caesar akan dihindari karena berisiko menimbulkan komplikasi, seperti
perdarahan akibat rendahnya jumlah trombosit di dalam tubuh (Alodokter, 2018).

10
I. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan,
nomor rekam medik, suku, dan tanggal masuk rumah sakit
2) Riwayat kehamilan sekarang : kehamilan yang ke berapa, sudah
pernah melakukan ANC, terjadi peningkatan tensi, odema, pusing,
nyeri epigastrium, mual muntah, dan penglihatan kabur
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit jantung, ginjal,
Hipertensi, paru
4) Riwayat kehamilan, persalinan, nifas yang lalu : adakah hipertensi
atau preeklamsi
5) Riwayat kesehatan keluarga : adakah keluarga yang menderita
penyakit jantung, ginjal, hipertensi, dan gammeli
6) Pola pemenuhan nutrisi
7) Pola istirahat
8) Pengkajian psiko-sosio-spiritual yang dapat menyebabkan
kecemasan
b. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (Breathing)
Pemeriksaan fisik pada sistem pernapasan meliputi pergerakan
dada, pemakaian otot bantu nafas, suara nafas, batuk, produksi
sputum, alat bantu nafas dan gangguan sistem pernafasan lainnya.
2) B2 (Blood)
Pemeriksaan fisik meliputi pengkajian suara jantung, irama jantung,
CRT, CVP, Edema, dan lain-lain. z
3) B3 (Brain)
Pemeriksaan fisik meliputi penilaian tingkat kesadaran, reaksi pupil,
reflex fisiologis, meningeal sign, pengkajian nyeri dan pengkajian
sistem saraf kranial.
4) B4 (Bladder)
Pemeriksaan fisik meliputi apakah ada pemasangan kateter,
frekuensi urin, konsistensi urin, kesulitan BAK, dan balance cairan.

11
5) B5 (Bowel)
Pemeriksaan fisik meliputi pengkajian mukosa bibir, lidah, keadaan
gigi, nyeri telan, distensi abdomen, peristaltic usus, mual, muntah,
hematemesis, melena, terpasang NGT, diare, konstipasi, asites, dan
lain-lain.
6) B6 (Bone)
Pemeriksaan fisik meliputi turgor, perdarahan kulit, icterus, akral,
pergerakan sendi, fraktur, luka, dan lain-lain,

c. Pemeriksaan Penunjang
1) Tanda vital yang diukur 2 kali dengan interval 6 jam
2) Laboraturium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau + 1 sampai + 2 pada skala kualitatif),
kadar hematocrit menurun, berat jenis urine meningkat, serum
kreatinin meningkat, uric acid >7 mg/100 ml.
3) USG : untuk mendeteksi keadaan kehamilan dan plasenta
4) NST : Untuk menilai kesejahteraan janin

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan ikterik
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
e. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi

3. Rencana Tindakan Keperawatan

N DIAGNOSA
NOC NIC
O KEPERAWATAN
1 Nyeri akut Pain Level Pain Management
berhubungan
Setelah dilakukan 1. Identifikasi lokasi, karakteristrik,

12
dengan agen tindakan keperawatan durasi, frekuensi, kualiats dan
cidera fisik selama 1 x 60 menit intensitas nyeri
tingkat nyeri klien 2. Identitas skala nyeri
menurun dengan kriteria 3. Identifikasi faktor yang
hasil : memperberat
1. Keluhan nyeri dari skala 4. Berikan tehnik non farmakologis
3 (sedang) ke skala 5 dalam menangani nyeri
(menurun) 5. Kontrol lingkungan yang
2. Meringis dari skala 3 memperberat rasa nyeri
(sedang) menjadi 5 6. Fasilitasi istirahat dan tidur
(menurun) 7. Jelaskan strategi mengurangi
nyeri
8. Anjurkan memonitor nyeri
secara mandiri
9. Ajarkan tehnik non farmakologis
untuk mengurangi nyeri
10. Kolaboratif pemberian analgetik
sesuai order

2 Gangguan Tissue Integrity : Skin Pressure Management


Integritas Kulit and Mucous Membranes 1. Anjurkan pasien untuk
berhubungan Hemodyalis akses menggunakan pakaian yang
dengan ikterik Setelah dilakukan longgar
tindakan keperawatan 2. Hindari kerutan pada tempat
selama 1 x 24 jam, tidur
kerusakan kulit dapat 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
teratasi dengan kriteria bersih dan kering
hasil : 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
1. Integritas kulit yang pasien) setiap dua jam sekali
baik bisa 5. Monitor kulit akan adanya
dipertahankan kemerahan
(sensasi, elastisitas, 6. Oleskan lotion atau
temperatur, hidrasi, minyak/baby oil pada daerah

13
pigmentasi) yang tertekan
2. Tidak ada luka/lesi 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
pada kulit pasien
3. Perfusi jaringan baik 8. Monitor status nutrisi pasien
4. Menunjukkan 9. Memandikan pasien dengan
pemahaman dalam sabun dan air hangat
proses perbaikan kulit
dan mencegah
terjadinya cedera
berulang
5. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami

3 Intoleransi Energy Conservation Activity Therapy


Aktivitas Activity Tolerance
berhubungan Self Care : ADLs 1. Kolaborasikan dengan tenaga
dengan imobilitas rehabilitasi medis dalam
Setelah dilakukan merencanakakn program terapi
tindakan keperawatan yang tepat
selama 3 kali shift 2. Bantu klien dalam
diharapkan Kriteria Hasil mengidentifikasi aktivitas yang
1. Berpartisipasi dalam mampu dilakukan
aktivitas tanpa disertai 3. Bantu klien untuk memilih
peningkatan tekanan aktivitas konsisten yang sesuai
darah, nadi, dan RR dengan kemampuan fisik,
2. Mampu melakukan psikologi, dan sosial
aktivitas sehari-hari 4. Bantu untuk mendapatkan alat

14
3. Tanda-tanda vital bantu aktivitas seperti kursi
normal roda, krek
4. Mampu berpindah 5. Bantu untuk mengidentifikasi
dengan atau tanpa alat aktivitas yang disukai
5. Status kardiopulmonal 6. Bantu klien untuk membuat
adekuat jadwal latihan disela waktu
6. Sirkulasi status baik luang
7. Status respirasi : 7. Bantu klien untuk
pertukaran gas dan mengidentifikasi kekurangan
ventilasi adekuat dalam beraktivitas
8. Monitor respon fisik,
emosi,sosial, dan spiritual
4 Gangguan Respiratory Status : Gas Airway Management
pertukaran gas exchange 1. Buka jalan nafas, guanakan
berhubungan Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust
dengan edema ventilation bila perlu
paru Vital Sign Status 2. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
Setelah dilakukan 3. Identifikasi pasien perlunya
tindakan keperawatan pemasangan alat jalan nafas
selama 3 kali shift buatan
diharapkan ventilasi 4. Pasang mayo bila perlu
menjadi adekuat dengan 5. Lakukan fisioterapi dada jika
kriteria hasil : perlu
1. Mendemonstrasikan 6. Keluarkan sekret dengan batuk
peningkatan ventilasi atau suction
dan oksigenasi yang 7. Auskultasi suara nafas, catat
adekuat adanya suara tambahan
2. Memelihara 8. Lakukan suction pada mayo
kebersihan paru paru 9. Berika bronkodilator bial perlu
dan bebas dari tanda 10. Barikan pelembab udara
tanda distress 11. Atur intake untuk cairan

15
pernafasan mengoptimalkan
3. Mendemonstrasikan keseimbangan.
batuk efektif dan suara 12. Monitor respirasi dan status O2
nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan
dyspneu (mampu
mengeluarkan sputum,
mampu bernafas
dengan mudah, tidak
ada pursed lips)
4. Tanda tanda vital
dalam rentang norma
5 Kelebihan Volume Fluid Balance Fluid Management
Cairan
berhubungan Setelah dilakukan 1. Monitor hasil Hb yang sesuai
dengan gangguan tindakan keperawatan dengan retensi cairan
mekanisme selama 3 kali shift 2. Monitor vital sign
regulasi diharapkan Kriteria Hasil 3. Monitor masukan makanan dan
1. Terbebas dari edema cairan
dan efusi 4. Pasand DC jika diperlukan
2. Terbebas dari 5. Kaji lokasi dan luas edema
kelelahan, 6. Batasi masukan cairan
kecemasan, atau 7. Kolaborasi pemberian diuretic
kebingungan sesuai intruksi
3. Kesimbangan cairan 8. Kolaborasi dengan dokter jika
tidak terganggu tanda cairan berlebih muncul
4. Kelebihan volume memburuk
cairan dapat dikurangi

16
DAFTAR PUSTAKA

Abilgaard, U. (2013). Pathogenesis of the syndrome of hemolysis, elevated liver


enzymes, and low platelet count (HELLP): a review. Eur J Obstet Gynecol
Reprod Biol, 914.

Berhan. (2015). Should magnesium sulfate be administered to women with mild pre-
eclampsia? A systematic review of published reports on eclampsia. J Obstet
Gynecol res, 831-842.

Cunningham. (2014). Williams Obstetrics 24th ed. Mc Graw Hill, 756.

Fitzpatrick. (2014). Risk factors, management and outcomes of hemolysis, elevated


liver enzymes, and low platelets syndrome. Obstet Gynecol, 618.

Gynecologists, A. C. (2013). Task Force on Hypertension in Pregnancy. Obstet


Gynecol, 122.

Hammoud, G. (2014). Preeclampsia-induced Liver Dysfunction, HELLP Syndrome


and Acute Fatty Liver of Pregnancy. Clin Liver Dis, 69-73.

Haram, K. (2009). The HELLP syndrome: Clinical issues and management. A Review.
BMC Pregnancy Childbirth.

Jaatinen, N. (2010). Eclampsia in Finland; 2006 to 2010. Acta Obstet Gynecol Scand,
594-605.

Koenen. (2006). Is there a diurnal pattern in the clinical symptoms. Matern Fetal
Neonatal Med, 19, 93-99.

Martin. (2006). Understanding and managing HELLP Syndrome: the integral role of
aggressive glucocorticoids for mother and child. Am J Obstet Gynecol.

Pritchard. (1954). Intravascular hemolysis, thrombocytopenia and other hematological


abnormalities associated with severe toxemia of pregnancy. N Engl J Med, 89-
98.

17
Rezende, J. (2014). Obstetricia Fundamental 13th ed. Rio de Janeiro: Guanabara
Koogan.

Sibai, B. (1993). Maternal morbidity and mortality in 442 pregnancies with hemolysis,
elevated liver enzymes, and low platelets (HELLP syndrome). . Am H Obstet
Gynecol.

Thornton. (2013). The incidence of preeclampsia and eclampsia and associated


maternal mortality in Australia from population-linked:2000-2008. Am J Obstet
Gynecol, 1-5.

Weinstein. (1982). Syndrome of haemolysis elevated liver enzymes and low platelet
count-A severe consequence of hypertension in pregnancy. Am J Obstet
Gynecol, 159-167.

Zwart, J. (2008). Eclampsia in the Netherlands. Obstet Gynecol, 820-827.

18

Anda mungkin juga menyukai