Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

“ ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SINDROM


HELLP “

Dosen pembimbing :

Ns. ANITA MIRAWATI

OLEH :

KELOMPOK 9, KELAS 3B :

INDAH NOVIA PUTRI

NANDA JULIAN

PEMILA PUISENA GUSMAN

YUSIA OKTA VIKA

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI D III KEPERAWATAN SOLOK

TAHUN 2019
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Salah satu masalah yang sangat perlu untuk dikhawatirkan bagi semua ibu hamil

yaitu masalah preeklamsia. Sebuah komplikasi pada kehamilan yang ditandai

dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) dan tanda-tanda kerusakan organ,

misalnya kerusakan ginjal yang ditunjukkan oleh tingginya kadar protein pada

urine (proteinuria). Saat usia kehamilan Anda sudah memasuki minggu ke-20

atau lebih (paling umum usia kehamilan 24-26 minggu) sampai tidak lama setelah

bayi lahir maka sebaiknya harus waspada karena gejala awal preeklamsia

biasanya akan muncul. Masalah preeklamsia biasanya tidak disadari oleh ibu

hamil sehingga lama kelamaan akan berkembang menjadi eklamsia, kondisi

medis serius yang mengancam keselamatan ibu hamil dan janinnya. Pada tahun

2014 preeklamsia dan eklamsia menjadi penyebab kematian saat kehamilan

nomor tiga tertinggi di dunia, dengan menyumbang 14 persen dari total kematian

saat kehamilan seluruh dunia, menurut lembaga kesehatan intenasional (Maya,

2015). Menurut data WHO (World health Organization) tahun 2001 di seluruh dunia

preeklamsi menyebabkan 50.000 – 76.000 kematian maternal dan 900.000

kematian perinatal setiap tahunnya. Insidens preeklamsi pada kehamilan adalah

sebesar ±5-10% dan menjadi satu dari tiga penyebab utama angka kematian ibu

setelah perdarahan dan infeksi (Miller, 2007).

Angka kejadian di Indonesia bervariasi di beberapa rumah sakit di seluruh

Indonesia yaitu antara 5,75 - 9,17% dan meningkat sebesar 40% selama beberapa

tahun terakhir di seluruh dunia (Gilbert dkk, 2008).

Di Indonesia masih merupakan penyebab kematian nomor dua tertinggi (24%)


setelah perdarahan (Depkes RI, 2001). Pengaruh preeklamsi pada ibu hamil

bervariasi dari hipertensi ringan, hipertensi berat atau krisis hipertensi, eklampsia

sampai sindroma HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet),

kondisi preeklamsi berat ini dapat terjadi pada ±1 per 1000 kehamilan (Davison,

2004).Pada beberapa penelitian yang ada, dikemukakan bahwa terjadi peningkatan

risiko yang merugikan dari keluaran persalinan pada wanita yang mengalami

hipertensi dalam kehamilan yang kronik. Keluaran persalinan terdiri dari keluaran

maternal dan keluaran perinatal. Keluaran maternal sebagai contohnya adalah

kematian maternal. Di negara maju presentase kematian maternal akibat serangan

eklamsia adalah 0,4% hingga 7,2%. Sedangkan di negara berkembang yang

pelayanan kesehatan tersiernya kurang memadai, kematian maternal akibat

eklamsia dapat mencapai lebih dari 25%.7. Selain kematian maternal pada

keluaran maternal dari penderita preeklamsia dapat ditemukan juga solusio

plasenta (1–4%), edema paru / aspirasi (2–5%), gagal ginjal akut (1–5%),

eklamsia (<1%), kegagalan fungsi hepar (<1%).8 dan disseminated

coagulopathy/HELLP syndrome (10–20%) (Sibai dkk, 2005).

Sindrom Hemolysis Elevated Liver Enzymes Low Platelets (HELLP) merupakan

suatu komplikasi pada kehamilan yang dapat membahayakan serta mengancam

nyawa baik ibu hamil atau pun janin yang dikandung. Hellp sindrom biasanya

dihubungkan dengan kondisi Pre-eklamsia. Dimana angka kejadian dilaporkan

sebesar 0,2 – 0,6% dari seluruh kehamilan dan 10 – 20% terjadi pada pasien

dengan komorbid Preeklamsia. Secara umum terjadi pada pasien multipara, usia

kehamilan minimal 35 minggu. Sebanyak 20% kasus tidak disertai dengan

hipertensi, 30% kasus disertai hipertensi sedang dan 50% kasus disertai hipertensi

berat. Gejala lainnya adalah nyeri kepala 30%, pandangan kabur, malaise 90%,
mual/muntah 30%, nyeri disekitar perut atas 65% dan parestesia, kadang juga

disertai edema (Wahjoeningsih, 2005).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pengertian dari HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme,

Low Platelet) sindrom ?

2. Apa saja penyebab dari HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low

Platelet) sindrom?

3. Ada berapa klasifikasi dari HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low

Platelet) sindrom?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk menambah pengetahuan tentang penyakit HELLP sindrom yang

merupakan akibat lanjut dari Pre-eklamsia dan eklamsia.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pengertian dari HELLP (Hemolysis, Elevated Liver

Enzyme, Low Platelet) sindrom.

b. Untuk mengetahui penyebab dari HELLP (Hemolysis, Elevated Liver

Enzyme, Low Platelet) sindrom.


BAB II

LANDASAN TEORI
A. Pengertian

Hellp Sindrom merupakan komplikasi kebidanan yang mengancam nyawa yang

biasanya terjadi akibat pre-eklampsia, kedua kondisi ini biasanya terjadi selama

fase akhir dari suatu kehamilan atau kadang-kadang terjadi setelah melahirkan

(Abildgaard dkk, 2009).

Hellp Sindrom merupakan rusaknya sel darah merah, meningkatnya enzim liver,

rendahnya jumlah trombosit darah. Sindrom ini bisa mengancam keselamatan

wanita hamil dan janinnya (Maya, 2015).

Menurut Prawirohardjo (2009) Hellp syndrom (Hemolysis, Elevated Liver

Enzyme, Low Platelets Count) merupakan suatu variasi dari Pre-eklamsi berat

yang disertai trombositopenia,hemolisis dan gangguan fungsi hepar. Hellp

Sindrom adalah hemolisis dan peningkatan fungsi hepar serta trombositopenia

yang merupakan komplikasi dari Pre-eklamsi dan eklamsi yang terdiri dari :

1. Hemolisis (penghancuran sel darah merah)

2. Peningkatan enzim hati (yang menunjukan adanya kerusakan hati) dan

3. Penurunan jumlah trombosit.

Sindrom HELLP adalah suatu keadaan multisitem, yang merupakan suatu bentuk

preeklamsia-eklamsia berat dimana ibu tersebut mengalami berbagai keluhan dan

menunjukan adanya bukti laboratorium umum untuk sindrom hemolisis sel darah

merah, peningkatan enzim hati dan trombosit rendah(Bobak dkk 2005).

Menurut Vegan (2010) HELLP sindrom merupakan suatu kerusakan multisystem

dengan tanda-tanda: hemolisis, peningkatan enzim hati dan trombositopenia yang

diakibatkan disfungsi endotel sistemik. Insidens Sindrom Hellp pada kehamilan


berkisar antara 0,2 – 0,6%, pada Pre-eklampsi berat 4 – 12% dan menyebabkan

mortalitas maternal cukup tinggi (24%) serta mortalitas perinatal antara 7,7 –

60%.

Sindroma HELLP juga merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa dan

berpotensi mempersulit kehamilan, dimana penyakit ini dulu dikenal sebagai

edema, proteinuria dan hipertensi pada abad ke 20 dan kemudian berganti nama

pada tahun 1982 oleh Louis Weinstein.

B. Etiologi

Penyebab pasti Hellp Sindrom sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan

pada penyakit multisystem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme dan

kelainan koagulasi. Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya.

Etiologi dan patogenesis dari sindroma HELLP ini selalu dihubungkan dengan

preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis dari preeklampsia sampai saat

ini juga belum dapat diketahui dengan pasti. Banyak teori yang dikembangkan

dari dulu hingga kini untuk mengungkapkan patogenesis dari preeklampsia,

namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau disfungsi

dari sel endotel. Tetapi apa penyebab dari perubahan endotel ini belum juga

diketahui dengan pasti. Saat ini ada empat buah hipotesis yang sedang diteliti

untuk mengungkapkan etiologi dari preeklampsia, yaitu : iskemia plasenta, Very

Low Density Lipoprotein versus aktivitas pertahanan toksisitas, maladaptasi imun

dan penyakit genetik. Sindroma HELLP ini merupakan manifestasi akhir dari

hasil kerusakan endotel mikrovaskular dan aktivasi dari trombosit intravaskular.

(Prawirohardjo, 2009).

C. Klasifikasi

Kriteria diagnosis Hellp Sindrom berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium


antara lain Mississippi dan Tennessee. Bila dikombinasikan kedua klasifikasi ini

maka Klas 1 termasuk kelompok sindroma HELLP atau Hellp Sindrom komplit,

sedangkan Klas 2 dan 3 merupakan Hellp Sindrom partial (Khan, 2014).

klasifikasi Hellp Sindrom

Sistem Mississippi Sistem Tennessee

1. Klas 1 trombosit ≤ 50 K/mm³ Sindrom Komplit

2. Klas 2 trombosit > 50 - ≤ 100 K/mm³ 1. Hemolisis (gambaran sel abnormal)

3. Klas 3 trombosit > 100 - ≤ 150 K/mm³ 2. AST ≥ 70 IU/L

3. Platelet < 100 K/mm³

4. LDH ≥ 600 IU/L

5. AST dan atau ALT ≥ 40 IU/L Sindrom partial

6. Hemolisis (gambaran sel abnormal) Terdapat 1 atau 2 tanda di atas

1. LDH ≥ 600 IU/L

D. Patofisiologi

HELLP sindrom (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelets Count) ini

merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel

mikrovaskular dan aktivasi trombosit intravascular, akhirnya terjadi vasospasme,

aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya terjadi kerusakan endotel.

Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati merupakan

tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil

yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apus darah tepi

ditemukan spherocytes, schistocytes, triangular cells dan burr cells. Peningkatan

kadar enzim hati diperkirakan skunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh

deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan

pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom


subkapsular atau rupture hati. Nekrosis periportal dan pendarahan merupakan

gambaran histopatologik yang paling sering ditemukan . trombositopenia ditandai

dengan peningkatan pemakaian dan atau destruksi trombosit (Prawirohardjo,

2009).

Menurut Bobak, dkk (2005) walaupun mekanisme pasti belum diketahui, sindrom

HELLP diduga terjadi akibat perubahan yang mengiring preeklamsia-eklamsia.

Vasospasme arterial, kerusakan endothelium dan agregasi trombosit dengan

akibat hipoksia jaringan adalah mekanisme yang mendasarinya untuk

patofisiologi sindrom HELPP.

E. Faktor Resiko

Menurut Prawirohardjo (2009) Faktor Hellp Sindrom berbeda dengan Pre-

eklamsi. Pasien Hellp Sindrom secara bermakna lebih tua (rata – rata umur 25

tahun) disbanding pasien Pre-Eklamsi dan eklamsi tanpa Hellp Sindrom (rata –

rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit

putih dan multipara

Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun 11 % pasien

muncul pada umur kehamilan < 27 minggu, pada masa antepartum sekitar 69 %

pasien dan pada masa postpartum sekitar 31 %. Pada masa postpartum, saat

terjadinya khas, dalam waktu 48 jam pertama postpartum (Khan, 2014).

faktor resiko Hellp Sindrom

Hellp Sindrom Pre – eklampsi

Multipara Nulipara

Usia Ibu > 25 tahun Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun

Ras Kulit Putih Riwayat Keluarga pre-eklampsi

Riwayat Obstetri Jelek ANC yang minimal


Diabetes Melitus

Hipertensi Kronik

Kehamilan Multipel

F. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala pasien dengan Hellp Sindrome sangat bervariasi. Secara umum

terjadi pada kehamilan multipara, warna kulit putih, dengan usia kehamilan

minimal 35 minggu. Sebanyak 20% kasus tidak disertai dengan hipertensi, 30%

disertai dengan hipertensi sedang dan 50% disertai hipertensi berat. Gejala

lainnya adalah nyeri kepala (30%), pandangan kabur, malaise (90%),

mual/muntah (30%), nyeri disekitar perut atas (65%) dan parestesia. Kadang

kadang bisa juga disertai dengan edema (Rahardjo dan Maulydia, 2012)

Tanda gejala atau keluhan ibu terhadap kondisi ini bervariasi dari malaise, nyeri

ulu hati, mual dan muntah sampai gejala meyerupai virus yang tidak spesifik.

Pada awal berobat, ibu biasanya sudah berada dalam trimester kedua atau awal

trimester ketiga dan awalnya hanyamenunjukan beberapa tanda preeklamsia-

eklamsia (Bobak dkk, 2005).

Sedangkan menurut Vegan (2010) Hellp Sindrome ditandai dengan :

1. Hemolisis

Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara

laboratorik adanya Burr Cells pada apusan darah tepi.

2. Elevated Live Enzymes

Dengan meningkatnya SGOT, SGPT (>70 IU) dan LDH (>600 IU) maka

merupakan tanda degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH >1400 IU

merupakan tanda spesifik akan kelainan klinik


3. Low Platelets

Jumlah trombosit <100.000/mm³ merupakan tanda koagulasi intravaskuler.

Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti – bukti Hemolisis dengan adanya

kerusakan sel eritrosit, antara lain Burr Celss dan Helmet Cells. Hemolisis ini

mengakibatkan peningkatan kadar bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH).

Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan enzim hepar yaitu Aspartate

transaminase (AST/GOT), Alanin transaminase (ALT/GPT). Semakin lanjut

proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan koagulasi dan hemostatis darah

dengan ketidaknormalan Protrombin Time, Partial Tromboplastin time dan

fibrinogen bila keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah

50.000/ml biasanya akan didapatkan hasil hasil degradasi fibrin dan aktivasi

antitrombin III yang mengarah terjadinya Disseminated Intravaskular

Coagulopathy (DIC), dimana insidens DIC pada Hellp Sindrome sekitar 4 – 38%.

Pasien Hellp Sindrom dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi,

dari yang bernilai diagnostic sampai semua gejala dan tanda pada pasien

preeklampsi-eklampsi yang tidak menderita Hellp Sindrom. Pasien biasanya

muncul dengan keluhan nyeri epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%).

Beberapa mengeluh mual dan muntah (50%), yang lainnya bergejala seperti

infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat malaise selama

beberapa hari sebelum tanda lain. Mual dan atau muntah dan nyeri epigastrium

diperkirakan akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh

deposit fibrin intravascular. Pasien Hellp Sindrom biasanya menunjukan

peningkatan berat badan yang bermakna dengan edema menyeluruh. Hal yang

penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg, diastolic 110 mmHg)

tidak selalu ditemukan (Khan, 2014).


G. Penatalaksanaan Medis

Menurut Cushman dkk (2012) satu – satunya tatalaksana yang efektif adalah

dengan proses persalinan yang cepat. Protokol standar dari The University of

Mississippi termasuk pemberian Kortikosteroid.

Sedangkan menurut Khan (2014) penatalaksanaan Hellp Sindrom antara lain

sebagai berikut:

1. Diagnosis dini sangat penting mengingat banyaknya penyakit yang mirip

dengan Hellp Sindrom

2. Pengobatan Hellp Sindrom juga harus memperhatikan cara cara perawatan

dan pengobatan pada preeklampsi dan eklampsi

3. Pemberian cairan intravena harus sangat hati-hati karena sudah terjadi

vasospasme dan kerusakan sel endotel.

4. Hendaknya dilakukan section cesaria dan bila trombosit < 50.000/cc, maka

perlu diberikan transfusi trombosit. Bila trombosit < 40.000/cc dan akan

dilakukan section cesaria maka perlu ditransfusi darah.

5. Dapat pula diberikan Plasma Exchange dengan Fresh Frozen Plasma dengan

tujuan menghilangkan sisa-sisa hemolisis mikroangiopati.

6. Pemberian Double Strength Dexamethasone diberikan 10 mg/iv/12 jam segera

setelah diagnosis Hellp sindrom ditegakan. Kegunaan pemberiannya yaitu

untuk meningkatkan pematangan paru pada kehamilan preterm dan dapat

mempercepat perbaikan gejala klinis dan laboratories.

7. Pada Hellp sindrom postpartum diberikan Dexamethasone 10 mg/12 jam

disusul pemberian 5 mg Dexamethasone 2 kali dalam selang waktu 12 jam.

8. Perbaikan gejala klinik pada pemberian Dexamethasone dapat diketahui

dengan :
a. Meningkatnya produksi urin

b. Meningkatnya trombosit

c. Menurunnya tekanan darah

d. Menurunnya kadar LDH dan ASH

9. Bila terjadi rupture hati, sebaiknya segera dilakukan pembedahan lobektomi.

10. Sikap terhadap kehamilan pada Hellp Sindrom lahirkan bayi tanpa

memandang usia kehamilan.

H. Diagnosis banding

Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat

bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya

sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan

pembedahan. Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:

1) Perlemakan hati akut dalam kehamilan

2) Apendistis

3) Gastroenteritis

4) Kolesistitis

5) Batu ginjal

6) Pielonefritis

7) Ulkus peptikum

8) Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik

9) Trombositipeni purpura trombotik

10) Sindrom hemolitik uremia

11) Ensefalopati dengan berbagai etiologi

12) Sistemik lupus eritematosus (SLE)

I. Prognosis
1. Pada kebanyakan pasien akan stabil dalam waktu 24 – 48 jam dan sebagian

dengan penyakit Klas 1 lebih lama waktu pemulihan postpartum.

2. Tingkat kekambuhannya adalah 2 – 27% pada kehamilan berikutnya.

3. Pasien dengan resiko Pre-eklampsi atau hipertensi dalam kehamilan dapat

beresiko melahirkan premature, pertumbuhan janin terhambat dan solution

plasenta pada kehamilan berikut.


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Suatu proses

kolaborasi melibatkan perawat, ibu dan tim kesehatan lainnya. Pengkajian

dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan fisik. Dalam pengkajian

dibutuhkan kecermatan dan ketelitian agar data yang terkumpul lebih akurat,

sehingga dapat dikelompokan dan dianalisis untuk mengetahui masalah dan

kebutuhan ibu terhadap perawatan.

Menurut Mitayani (2012) pengkajian yang dilakukan pada pasien antara lain

sebagai berikut :

1. Identitas umum ibu

2. Riwayat kesehatan dahulu

Kemungkinan ibu menderita hipertensi sebelum hamil, mempunyai riwayat

pre eklamsia – eklamsia pada kehamilan terdahulu, biasanya mudah terjadi

pada ibu dengan obesitas serta ibu hamil mungkin pernah menderita penyakit

ginjal kronis.

3. Riwayat kesehatan sekarang

Biasanya ibu merasa sakit kepala di daerah frontal, terasa sakit di ulu hati /

nyeri epigastrium, gangguan virus (penglihatan kabur, skrotoma dan

diplopoa), mual dan muntah, tidak nafsu makan, gangguan serebral lainnya

(terhuyung-huyung, refleks tinggi dan tidak tenang), edema pada ekstremitas,

tengkuk terasa berat serta kenaikan berat badan mencapai 1 kg/minggu.

4. Riwayat kesehatan keluarga

Kemungkinan mempunyai riwayat preeklamsia dan eklampsia dalam


keluarganya.

5. Riwayat perkawinan

Biasanya terjadi pada wanita yang menikah dibawah usia 20 tahun atau diatas

35 tahun

6. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum (biasanya lemah)

b. Sakit kepala dan wajah terlihat edema

c. Konjungtiva sedikit anemis, edema pada retina.

d. Nyeri daerah epigastrium, anoreksia serta mual dan muntah

e. Hiper refleksia dan klonus pada kaki

f. Oliguria dan proteinuria

g. DJJ tidak teratur serta gerakan janin melemah

7. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

1) Penurunan Hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal Hemoglobin

untuk wanita hamil adalah 12 – 14 gr%).

2) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37 – 43 vol%)

3) Trombosit menurun (nilai rujukan 150 – 450 ribu/mm³

4) Ditemukan protein dalam urin

5) Bilirubin meningkat ( N= <1 mg/dl)

6) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat

7) AST (asparat aminomtransferase) > 60 ui

8) SGPT meningkat ( N=15 – 45 µ/ml)

9) SGOT meningkat ( N= < 31µ/l).

10) Total protein serum menurun ( N=6,7 – 8,7 gr/dl)


b. Pemeriksaan radiologi

Ditemukan retardasi pertumbuhan janin intrauterus, pernafasan intrauterus

lambat, aktivitas janin lambat dan volume cairan ketuban sedikit serta

denyut jantung bayi melemah.

8. Data sosial ekonomi

Berat lebih banyak terjadi pada wanita dan golonganekonomi rendah, karena

mereka kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung protein dan juga

kurang melakukan perawatan antenatal yang teratur

9. Data psikologis

Biasanya ibu berada dalam kondisi yang labil dan mudah marah, ibu merasa

khawatir akan keadaan dirinya dan keadaan janin dalam kandungannya, ibu

takut nanti anaknya lahir cacat atau meninggal dunia sehingga ibu takut untuk

melahirkan

B. Diagnosa Keperawatan

Menurut Mitayani (2012) dari hasil pengkajian diatas diagnose keperawatan yang

mungkin muncul adalah sebagai berikut :

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotic,

perubahan permeabilitas pembuluh darah serta retensi sodium dan air.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemi, penurunan aliran

balik vena

3. Resiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah

ke plasenta

4. Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan

peningkatan tekanan darah).

5. Gangguan pemenuhan ADL b/d immobilisasi; kelemahan


6. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan b/d

misinterpretasi informasi

7. Nyeri akut b/d peningkatan tekanan vaskuler cerebral akibat hipertensi

8. Risiko cedera ibu b/d edema / hipoksia jaringan.

C. Rencana Keperawatan

Perencanaan keperawatan merupakan tugas lanjut dari perawatan setelah

mengumpulkan data yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ibu sesuai

dengan pengkajian yang telah dilakukan. Pada tahap ini ditetapkan tujuan dan

alternative tindakan yang akan dilakukan sesuai dengan kemungkinan diagnosis

yang telah dijelaskan sebelumnya (Mitayani, 2012).

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan tekanan osmotic,

perubahan permeabilitas pembuluh darah serta retensi sodium dan air.

Tujuan :

Volume cairan kembali seimbang

Intervensi :

a. Pantau dan catat intake dan output setiap hari

R/. dengan memantau intake dan output diharapkan dapat diketaui adanya

keseimbangan cairan dan dapat diramalkan keadaan dan kerusakan

glomerulus.

b. Pantau tanda-tanda vital, catat waktu pengisian kapiler atau CRT

(capillary refill time)

R/. dengan memantau tanda tanda vital dan pengisian kapiler dapat

dijadikan pedoman untuk penggantian cairan atau menilai respons dari

kardiovaskular.

c. Pantau serta ukur berat badan ibu


R/. dengan mengukur berat badan ibu dapat diketahui berat badan yang

merupakan indicator yang tepat untuk menentukan keseimbangan cairan

d. Observasi keadaan edema

R/. keadaan edema merupakan indicator keadaan cairan dalam tubuh

e. Kaji distensi vena jugularis dan perifer

R/. retensi cairan yang berlebihan bisa dimanifestasikan dengan pelebaran

vena jugularis dan edema perifer.

f. Kolaborasi dengan ahli gizi tentang pemberian diit rendah garam

R/. diit rendah garam akan mengurangi terjadinya kelebihan cairan

g. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat diuretic

R/. diuretic dapat meningkatkan filtrasi glomerulus dan menghambat

penyerapan nsodium dan air dalam tubulus ginjal.

2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemi, penurunan aliran

balik vena

Tujuan :

Curah jantung kembali normal

Intervensi :

a. Pantau nadi dan tekanan darah

R/. dengan memantau nadi dan tekanan darah dapat melihat peningkatan

volume plasma, relaksasi vascular dengan penurunan tahanan perifer.

b. Lakukan tirah baring pada ibu dengan posisi miring ke kiri

R/. meningkatkan aliran balik vena, curah jantung dan perfusi ginjal

c. Kolaborasi untuk pantau parameter hemodinamik

R/. memberikan gambaran akurat dari perubahan vascular dan volume

cairan. Konstruksi vascular yang lama, peningkatan dan hemokonsentrasi


serta perpindahan cairan menurunkan curah jantung.

d. Kolaborasi pemberian obat antihipertensi sesuai kebutuhan

R/. obat antihipertensi bekerja secara langsung pada arteriol untuk

meningkatkan relaksasi otot polos kardiovaskular dan membantu

meningkatkan suplai darah.

e. Pantau TD dan setelah pemberian obat antihipertensi

R/. mengetahui efek samping yang terjadi seperti takikardi, sakit kepala.

Mual, muntah dan palpitasi.

3. Resiko cedera pada janin berhubungan dengan tidak adekuatnya perfusi darah

ke plasenta.

Tujuan :

Tidak terjadi cedera pada janin

Aliran darah ke plasenta adekuat

Intervensi :

a. Monitor tekanan darah ibu

R/. dengan mengetahui tekanan darah ibu dapat mengetahui keadaan

aliran darah ke plasenta seperti tekanan darah tinggi, aliran darah ke

plasenta berkurang sehingga suplai oksigen ke janin berkurang.

b. Pantau denyut jantung janin

R/. dengan memantau denyut jantung janin (DJJ) dapat diketaui keadaan

jantung janin lemah atau menurun menandakan suplai oksigen ke plasenta

berkurang sehingga dapat direncanakan intervensi selanjutnya.

c. Anjurkan ibu untuk istirahat

R/. dengan mengistirahatkan ibu diharapkan metabolism tubuh menurun

dan peredaran darah ke plasenta menjadi adekuat sehingga kebutuhan


oksigen untuk janin dapat dipenuhi.

d. Anjurkan ibu untuk tidur miring ke kiri

R/. dengan posisi miring kekiri diharapkan venan kava di bagian kanan

tidak tertekan oleh uterus yang membesar sehingga aliran darah keplasenta

menjadi lancer

e. Berikan obat hipertensi setelah kolaborasi dengan dokter

R/. dengan diberikannya obat hipertensi dapat menurunkan tonus arteri

dan menyebabkan penurunan afterload jantung dengan vasodilatasi

pembuluh darah sehingga tekanan darah menurun. Dengan menurunnya

tekanan darah maka aliran darah ke plasenta menjadi adekuat

4. Risiko kejang pada ibu b/d penurunan fungsi organ (vasospasme dan

peningkatan tekanan darah).

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan perawatan tidak terjadi kejang pada ibu

Intervensi :

a. Monitor tekanan darah tiap 4 jam

R/. Tekanan diastole > 110 mmHg dan sistole 160 atau lebih merupkan

indikasi dari PIH

b. Catat tingkat kesadaran pasien

R/. Penurunan kesadaran sebagai indikasi penurunan aliran darah otak

c. Kaji adanya tanda-tanda eklampsia ( hiperaktif, reflek patella dalam,

penurunan nadi,dan respirasi, nyeri epigastrium dan oliguria )

R/. Gejala tersebut merupakan manifestasi dari perubahan pada otak,

ginjal, jantung dan paru yang mendahului status kejang


d. Monitor adanya tanda-tanda dan gejala persalinan atau adanya kontraksi

uterus

R/. Kejang akan meningkatkan kepekaan uterus yang akan memungkinkan

terjadinya persalinan

e. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian anti hipertensi dan SM

R/. Anti hipertensi untuk menurunkan tekanan darah dan SM untuk

mencegah terjadinya kejang

5. Resiko cedera ibu berhubungan dengan edema / hipoksia jaringan.

Tujuan :

Ibu tidak mengalami risiko cedera karena mengalami edema

Intervensi :

a. Kaji adanya masalah SSP ( mis; sakit kepala, peka rangsang ,gangguan

penglihatan atau perubahan pada pemeriksaan funduskopi )

R/: Edema serebral dan vasokontriksi dapat diev aluasi dari masa

perubahan gejala, prilaku atau retina.

b. Tekankan pentingnya klient melaporkan tanda tanda dan gejala yang

berhubungan dengan SSP.

R/: Keterlambatan tindakan atau awitan progresif gejala-gejala yang dapat

menga kibatkan kejang tonik-klonik atau eklamsia.

c. Perhatikan perubahan pada tingkat kesadaran.

R/: Pada kemajuan HKK vasokonstriksi dan vasospasme pembuluh darah

serebral menurunkan konsumsi ogsigen 20% dan mengakibatkan iskemia

serebral

d. Kaji tanda tanda eklamsia yang akan datang; hiperaktivitas (3+sampai 4+)

dari reflek tendon dalam, klonus pergelangan kaki, penurunan nadi dan
oernafasan , nyeri epegastrik, dan oliguria (kurang dari 50ml/jam ) .

R/: Edema / vasokonstiksi umum, dimanifestasikan oleh masalah SSP

berat dan masalah ginjal hepar ,kardiovaskular dan pernapasan

mendahului kejang .

e. Implementasi tindakan pencegahan kejang perprotokol.

R/: Menurunkan resiko cidera bila kejang terjadi.

f. Pada kejadian kejang , miringkan klient; pasng jalan nafas/blok gigitan

bila mulut rileks; berikan oksigen lepaskan pakaian yang ketat ; jangan

membatasi gerakan ; dan dokumentasikan masalah motorik , durasi kejang

, dan perilaku pasca kejang.

R/: Mempertahankan jalan nafas menurunkan resiko aspirasi dan

mencegah lidah menyumbat jalan nafas . memaksimalkan oksigenasi

.(catatan ; waspada dengan penggunaan jalan nafas / blok gigitan ; jangan

mencoba bila rahang keras karena dapat terjadi cidera).

6. Nyeri akut (epigastrium) berhubungan dengan peningkatan tekanan vaskuler

cerebral akibat hipertensi

Tujuan :

Nyeri mendekati normal

Nyeri terkontrol dan Pasien merasa nyaman

Intervensi :

a. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

b. Kaji penyebab nyeri, tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

c. Kurangi factor presipitasi nyeri

d. Pilih dan lakukan penanganan nyeri ( farmakologi , non farmakologi, dan

inter personal )
e. Ajarkan teknik relaksasi

f. Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

g. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

h. Evaluasi keefektifan control nyeri

i. Tingkatkan istirahat

j. Kolaborasikan dengan dokter atau medis lain jika ada keluhan dan

tindakan nyeri tidak berhasil

7. Gangguan pemenuhan ADL berhubungan dengan immobilisasi; kelemahan

Tujuan :

ADL dan kebutuhan beraktifitas pasien terpenuhi secara adekuat.

Mampu beraktivitas secara mandiri

Intervensi :

a. Kaji toleransi pasien terhadap aktifitas menggunakn termometer berikut :

nadi 20/m diatas frekuensi nadi istirahat, catat peningkatan tekanan darah,

Dispenia, nyeri dada, kelelahan berat, kelemahan, berkeringat, pusing atau

pingsang.

b. Tingakat istirahat, batasi aktifitas pada dasar nyeri atau respon

hemodinamik

c. berikan aktifitas senggang yang taidak berat.

d. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas ; penurunan kelemahan dan

kelelahan, tekanan darah stabil, peningkatan perhatian pada aktifitas dan

perawatan diri.

e. Dorong memjukan aktifitas atau toleransi perawatan diri.

f. Anjurkan keluarga untuk membantu pemenuhan kebutuhan ADL pasien

g. Anjurakan pasiien menghindari peningkatan tekanan abdomen, mengejan


saat defekasi.

h. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas, contoh : posisi duduk

diatas tempat tidur bila tidak ada pusing dan nyeri, bangun dari tempat

tidur, belajar berdiri dst.

8. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan

berhubungan dengan misinterpretasi informasi

Tujuan :

Kebutuhan pengetahuan terpenuhi secara adekuat.

Intervensi :

a. Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman atau situasi.

Dorong mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, takut dll.

b. Mempertahankan kepercayaan pasien ( tanpa adanya keyakinan yang

salah )

c. Terima tapi jangan beri penguatan terhadap penolakan

d. Orientasikan klien atau keluarga terhadap prosedur rutin dan aktifitas,

tingkatkan partisipasi bila mungkin.

e. Jawab pertanyaan dengan nyata dan jujur, berikan informasi yang

konsisten, ulangi bila perlu.

f. Dorong kemandirian, perawatan diri, libatkan keluarga secara aktif dalam

perawatan.
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan

Hellp Sindrom yaitu singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low

Platelets Count merupakan suatu variasi dari Pre-eklampsi berat yang disertai

trombositopenia, hemolisis dan ganggua fungsi hepar. Faktor resiko Hellp

Sindrom berbeda dengan pasien Pre-eklampsi, pasien Hellp Sindrom secara

bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien Pre-eklampsi

dan Eklampsi tanpa Hellp Sindrom. Gambaran klinis Hellp Sindrom bervariasi.

Oleh sebab itu diperlukan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis Hellp

Sindrom. Diagnosis ini sangat penting mengingat banyak penyakit yang mirip

dengan Hellp Sindrom.

B. Saran

Diharapkan nanti nya pasien dengan pre eklamsi dapat segera diatasi serta

diberikan penanganan yang maksimal sehingga dapat mencegah terjadinya

HELLP sindrom dan apabila sudah terjadi dalam kondisi sindrom HELLP

hendaknya mendapat penatalaksanaan yang efektif.


DAFTAR PUSTAKA
Ardianti, M. (2015). Waspada preeklamsi komplikasi kehamilan penyebab kematian.

(artikel). Diakses pada tanggal 19 januari 2016 dari http://ilmukesehatan.com

Bailis, A., & Witter, F. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: The Jhons Hopkins

Manual of Gynecology and Obstetrics, 3rd Ed.2007

Bobak dkk.(2005). Buku Ajar keperawatan maternitas Edisi 4. Jakarta: EGC

Depkes RI. 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001. Jakarta: Departement

Kesehatan RI.

Gilbert, J.S. Ryan, M. Babbette, B. Sedeek, M. Murphy, S. Granger, J.P. 2008.

Anda mungkin juga menyukai