Disusun oleh:
dr. Aristo Ryan Lumentut
Pembimbing:
dr. Romdon Purwanto, Sp.An - KIC
Disusun oleh
Pembimbing
Pendamping Pendamping
Latar Belakang
Kematian mendadak hingga saat ini masih menjadi penyebab utama kematian.
WHO menjelaskan bahwa sebagian besar kematian mendadak dilatarbelakangi oleh
penyakit kardiovaskuler dan penyebab utama dari kematian ini adalah penyakit jantung
koroner. Komplikasi yang paling memungkinkan dari penyakit jantung koroner adalah
gagal jantung. Individu yang menderita gagal jantung akan mengalami penurunan
toleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan kualitas hidup dan rentang hidupnya
memendek.2
Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih
kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.
Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali
sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus
diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke
tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan
homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang
dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk.
Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome
yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard
dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.3
Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit
(ICU) tetapi kemudian akhirnya meninggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera
otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung
di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal
mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia,
hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/iskemia global pada henti jantung akan
mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap
terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi.. Derajat keparahan
sindrom ini akan bervariasi tergantung lama dan penyebab henti jantung, dan tidak
akan terjadi pada henti jantung yang singkat.3
EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004 melakukan survey yang
menyimpulkan bahwa, diperkirakan 17,1 juta orang meninggal (29% dari jumlah
kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Dari kematian 17,1 juta
orang tersebut, diperkirakan 7,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung
koroner. Kasus penyakit jantung koroner meningkat pada negara maju dan negara
berkembang dan diperkirakan pada tahun 2020 kasus penyakit jantung koroner sudah
mencapai 82 juta kasus. Lebih dari 60% beban kasus penyakit jantung koroner secara
global terjadi di negara berkembang. 4
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang
dilakukan oleh Balitbangkes pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi nasional
penyakit jantung koroner sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi untuk kejadian henti
jantung mendadak belum didapatkan. Namun hasil Riset Kesehatan Dasar (2007)
menunjukkan data bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung
mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3 tahun. Sedangkan data yang
diperoleh dari WHO pada tahun 2002 di Indonesia sudah terjadi 220 372 kasus
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung.5
Untuk mengurangi angka kematian akibat henti jantung, maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang tepat dalam penanganan pasien henti jantung. Salah satu
penanganan yang dikembangkan adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP). Resusitasi
Jantung Paru telah diperkenalkan sejak tahun 1960. Selama kurun waktu 40 tahun sejak
diperkenalkannya, RJP modern telah banyak perubahan dan perkembangan. Hingga
saat ini RJP merupakan penatalaksanaan yang sangat vital dalam kasus henti jantung.
American Heart Asociation menyebutkan bahwa kejadian henti jantung dapat terjadi di
mana saja, penanganan RJP pada saat kejadian dapat membantu mengurangi risiko
kematian. Henti jantung dapat sangat mematikan, namun ketika RJP dan defibrilasi
dapat diberikan secepatnya, dalam banyak kasus jantung dapat berdenyut kembali.5
PATOFISIOLOGI
Tingkat kematian yang tinggi dari pasien yang awalnya mencapai ROSC setelah
henti jantung dapat dikaitkan dengan proses patofisiologis yang unik yang melibatkan
banyak organ. Meskipun iskemia seluruh tubuh yang berkepanjangan pada awalnya
menyebabkan kerusakan jaringan global dan cedera organ, kerusakan tambahan terjadi
selama dan setelah reperfusi. Fitur unik dari patofisiologi henti jantung sering
ditumpangkan pada penyakit atau cedera yang menyebabkan henti jantung, juga.
sebagai komorbiditas yang mendasarinya. Terapi yang fokus pada organ individu dapat
membahayakan sistem organ yang terluka lainnya. 4 komponen kunci dari sindrom
henti jantung adalah (1) cedera otak post henti jantung, (2) disfungsi miokard post henti
jantung, (3) respons iskemia sistemik / reperfusi, dan (4) patologi faktor pencetus yang
menetap. Tingkat keparahan gangguan ini setelah ROSC tidak seragam dan akan
bervariasi pada masing-masing pasien berdasarkan tingkat keparahan iskemik,
penyebab henti jantung, dan kondisi kesehatan pasien sebelumnya. Jika ROSC dicapai
dengan cepat setelah serangan jantung, sindrom pasca-serangan jantung tidak akan
terjadi.6
1. Cedera Otak pada Post Henti Jantung
Cedera otak pasca henti jantung merupakan penyebab umum morbiditas
dan mortalitas. Dalam 1 studi pasien yang selamat dari ICU tetapi kemudian
meninggal di rumah sakit, cedera otak adalah penyebab kematian pada 68%
setelah henti jantung di luar rumah sakit dan pada 23% setelah henti jantung di
rumah sakit. Kerentanan unik otak dikaitkan dengan toleransi iskemia yang
terbatas dan responsnya yang unik terhadap reperfusi. Mekanisme cedera otak
yang dipicu oleh henti jantung dan resusitasi adalah kompleks dan termasuk
eksitotoksisitas, homeostasis kalsium yang terganggu, pembentukan radikal
bebas, kaskade protease patologis, dan aktivasi jalur pensinyalan sel-kematian.
Banyak jalur ini lewati selama periode dari jam sampai hari setelah ROSC.
Secara histologis, subpopulasi neuron yang selektif rentan adalah hippocampus,
korteks, otak kecil, corpus striatum, dan thalamus dapat merosot selama
beberapa jam hingga berhari-hari. Baik nekrosis dan apoptosis neuron telah
dilaporkan setelah henti jantung. Namun, kontribusi relatif dari setiap jalur
kematian sel masih kontroversial, dan sebagian bergantung pada usia pasien dan
subpopulasi neuron yang diperiksa. Durasi cascade cedera yang relatif berlarut-
larut dan perubahan histologis menunjukkan jendela terapi yang luas untuk
strategi neuroprotektif setelah henti jantung.6,7
Meskipun kegagalan sirkulasi mikro serebral, reperfusi makroskopis
sering hiperemik pada beberapa menit pertama setelah henti jantung karena
peningkatan CPP (Cerebral Perfusion Preasure) dan gangguan autoregulasi
serebrovaskular. Tekanan perfusi awal yang tinggi ini secara teoritis dapat
meminimalkan gangguan reflow. Namun, reperfusi hiperemik memperburuk
otak. Dalam 1 penelitian pada manusia, hipertensi (tekanan arteri rata-rata
[MAP]> 100 mm Hg) dalam 5 menit pertama setelah ROSC tidak dikaitkan
dengan peningkatan hasil neurologis, tetapi MAP yang stabil selama 2 jam
pertama setelah ROSC berkorelasi positif dengan hasil neurologis. Meskipun
kembalinya oksigen dan pengiriman substrat metabolik pada tingkat
mikrosirkulasi sangat penting, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa
terlalu banyak oksigen selama tahap awal reperfusi dapat memperburuk cedera
saraf melalui produksi radikal bebas dan cedera mitokondria.8
Di luar fase reperfusi awal, beberapa faktor berpotensi mengganggu
pengiriman oksigen otak dan kemungkinan cedera sekunder dalam beberapa
jam hingga berhari-hari setelah henti jantung. Ini termasuk hipotensi,
hipoksemia, gangguan autoregulasi serebrovaskular, dan edema otak; Namun,
data manusia terbatas pada seri kasus kecil. Autoregulasi CBF (Cerebral Blood
Folw) terganggu untuk beberapa waktu setelah henti jantung. Selama periode
subakut, perfusi serebral bervariasi dengan CPP daripada dikaitkan dengan
aktivitas neuron. Pada manusia, dalam 24 hingga 48 jam pertama setelah
resusitasi dari henti jantung, meningkatkan resistensi pembuluh darah otak,
sehingga menurunkan CBF, penurunan tingkat metabolisme otak dari konsumsi
oksigen (CMRO2), dan penurunan konsumsi glukosa Secara keseluruhan, ada
kemungkinan bahwa CPP diperlukan untuk mempertahankan perfusi serebral
yang optimal.9
Faktor lain yang dapat mempengaruhi cedera otak setelah henti jantung
adalah pireksia, hiperglikemia, dan kejang. Dalam serangkaian kasus kecil,
pasien dengan suhu > 39 ° C dalam 72 jam pertama setelah henti jantung di luar
rumah sakit memiliki peningkatan risiko kematian otak yang signifikan.10
Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih
kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.
Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali
sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus
diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke
tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan
homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang
dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk.
Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome
yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard
dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.23
Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit
(ICU) tetapi kemudian akhirnya meniggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera
otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung
di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal
mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia,
hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/iskemia global pada henti jantung akan
mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap
terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi. Dengan demikian
sindrom pasca henti jantung mempunyai gambaran seperti sepsis, yaitu penurunan
volume intravaskular dan vasodilatasi.23
TUJUAN AWAL
TUJUAN LANJUT
Kilgannon dkk meneliti 6000 pasien dengan ROSC pasca henti jantung
dan dalam keadaan hiperoksia yaitu PaO2 lebih dari 300 mmHg mempunyai
keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien-pasien yang mempunyai nilai
PaO2 antara 60 dan 300 mmHg. Dilaporkan bahwa hiperoksemia mempunyai
keluaran yang lebih buruk dibandingkan dengan hipoksemia dan
normoksemia. Panduan AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen
inspirasi ditritrasi deng memlihara saturasi oksiken arteri (SaO2) lebih dari
94% dan PaO2 sekitar 100 mmHg. Inisiasi bantuan ventilasi mekanik
dianjurkan dengan volume ventilation dengan volume tidal 6-8 mL/kg predicted
body weight, laju napas 10-14 kali/menit dengan memlihara Pa CO2 35-40
mmHg, atau lebih baik dipantau dengan alat capnometer untuk memelihara
end tidal CO2 dalam batas normal. Oleh karena pasien-pasien pasca henti
jantung mempunyai risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome, dan
menghindari terjadinya ventilator-induced lung injury maka plateau pressure
dijaga kurang atau sama dengan 30 cmH2O.24
B. OPTIMASI HEMODINAMIK
Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata
(mean artery pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini
dilaporkan dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat,
sedangkan bila MAP lebih dari 100 mmHg akan mempunyai efek
merugikan.25 Untuk menilai kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat
diperiksa kadar laktat darah dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO). 26
C. PENGENDALIAN SUHU
Terapi Hipotermia
E. PENGENDALIAN KEJANG
PPCM sebagai gagal jantung yang berkembang pada akhir bulan kehamilan
atau hingga lima bulan pascapersalinan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (ejec
ventrikel kiri- fraksi tion (LVEF) <45% atau pemendekan fraksional <30%, atau
keduanya).25 Pada tahun 2010 European Sociaty of Cardiology (ESC) mendefinisikan
kardiomiopati peripartum sebagai gagal jantung yang terjadi “Menjelang akhir
kehamilan atau di bulan-bulan berikutnya persalinan, di mana tidak ada penyebab lain
gagal jantung ditemukan”.26
Setiap peningkatan usia ibu hamil, pre-eklampsia, dan banyak kehamilan (dan
beberapa bagian dari bantuan teknologi dalam reproduksi), yang merupakan faktor
risiko untuk PPCM. Perempuan kulit hitam memiliki peningkatan risiko PPCM.26
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. YU
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 05 Juli 1989
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Alamat :-
Pendidikan : S1
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara
ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit : 24 Mei 2019 pk. 08.35 WITA
Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2019 pk. 11.00 WITA
Tempat pemeriksaan : Ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Aloei Saboe
Diambil dari : Alloanamnesa
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran
Evaluasi Anestesi:
Dilakukan dengan menggunakan sistem 6B, yaitu: Breath, blood, brain, bowel,
bladder dan bone.
B1: Breath
O2 via ventilator dengan setting:
Mode : PCV+,
PEEP (Positive end expiratory pressure) : 5 mmHg
FiO2 (Fraction of inspired O2) : 60%
PS (Pressure supportl) : 16 mmHg
Respiratory Rate : 20x/min
I:E (Insipration : Ekspiration ratio) : 1:2
SpO2 99%; RR 20x/min; Rh +/+; Wz -/-; Lendir (+) pada orofaring dan ETT.
B2: Blood
BP: 90/60, HR: 115x/min; T: 36°C
B3: Brain
GCS E2M3Vx Pupil Isokor; RC +/+
B4: Bowel
Bising usus (+)N
B5: Bladder
Urine output (+)
B6: Bone
Nadi lemah, edema (-)
DIAGNOSA KERJA
Gagal nafas
ROSC
Post Sectio Caesarea
TATALAKSANA
Tatalaksana di intensive care unit (ICU), menggunakan sistem FASTHUG, yaitu:
Feeding, analgetic, sedation, thromboembolic prophylaxis, head of bed elevation,
ulcer stress prophylaxis, dan glycemic control.
PROGNOSIS
Ad vitam: Dubia ad malam
Ad fungsionam: Dubia ad malam
Ad sanationam: Dubia ad malam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal 24/05/2019
Hb: 13,5
Leukosit: 14.200
Trombosit: 183.000
Hct: 39,5
Na: 135
K: 4.1
Cl: 106
Ureum: 21
Creatinine: 0.6
CT-scan Kepala
Tanggal 25/05/2019
Kesan : Tidak tampak lesi patologik intracerebri maupun cerebelli pada MSCT scan
kepala ini
RINGKASAN RAWAT INAP DAN TERAPI DI ICU
Tanggal 25/05/2019
PINDAH NIFAS
DISKUSI
Diagnosis pada pasien ini adalah gagal nafas post Return of Spontaneous
Circulation (ROSC), pada pasien ini mengalami henti jantung yang kemungkinan
disebabkan oleh Post Partum Cardiomyopathy . Dasar diagnosis tersebut adalah dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis yang didapatkan
saat dirujuk ke ruang perawatan ICU Aloei Saboe, pasien mengalami cardiac arrest
setalah dilakukan operasi section caesarea, kemudian dilakukan RJP, dan pasien
mengalami ROSC. Keberhasilan dalam resusitasi jantung – paru ditandai dengan
kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang merupakan
tanda awal dari tujuan pengelolaan secara menyeruluh pada pasien henti jantung. Hal
yang ditakutkan akan terjadi pasien post ROSC adalah kegagalan beberapa organ tubuh,
atau yang biasa disebut post cardiac arrest syndromes, sehingga kita harus mencegah
kegagalan itu terjadi.
Kondisi pasien saat masuk ICU sudah dalam keadaan terintubasi dan terpasang
ventilator dengan settingan mode PCV dengan Fi02: 60, PEEP: 5 dengan kadar Sp02
pasien 96%, dan setelah dilakukan pemeriksaan AGD ditemukan kadar PCO2: 35.1
Pa02: 136, hasil ini akan memberikan outcome yang baik kepada pasien. Kadar Pa02
yang lebih dari 300mmHg mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien-
pasien yang mempunyai Pa02 antara 60 dan 300mmHg (Curley et al, 2010).
Setelah penanganan jalan nafas tercapai maka dilanjutkan optimasi
hemodinamika pasien, pengelolaan hemodinamika diutamakan dengan perbaikan
volume intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekuat, serta untuk mengoptimalkan
pasokan oksigen. Saat masuk TD pasien 90/60 sehingga diberikan kombinasi obat
inotropic dan vasopressor; dobutamin dan norepinephrine, dan setelah 2 hari
pemberian, TD pasien mencapai normal 120/80 dengan nilai MAP 93,3 mmHg.
Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata (mean artery
pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini dilaporkan dapat menjaga
perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat, sedangkan bila MAP lebih dari 100
mmHg akan mempunyai efek merugikan (Pearson et al, 2000).
Pemberian antibiotic juga penting dalam penganganan kasus post cardiac arrest
syndrome, karena sepsis merupakan salah satu penyebab henti jantung, sindrom
gangguan pernapasan akut, dan gagal organ multipel. Dengan demikian,
kecenderungan untuk eksaserbasi sindrom henti jantung terjadi ketika pada keadaan
sepsis. Kegagalan beberapa organ adalah penyabab utama kematian di ICU setelah
resusitasi awal di RS dibandingan diluar RS. Karena dalam RS akan meningkatkan
resiko infeksi yang lebih besar pada henti jantung di RS (Laver S et al 2004). Sehingga
pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas yaitu dengan pemberian Meropenem
1gr/12 jam.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan CT – scan kepala untuk melihat apakah
adanya cedera otak setelah henti jantung, pada pasien tidak ditemukannya lesi patologik
intracerbri maupun cerebelli di kepala. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi
cedera otak setelah henti jantung adalah pyrexia, hyperglycemia, dan kejang (Zeiner A
et al, 2001). Pemberian Citicolin dan Piracetam membantu dalam melindung korteks
serebri agar tidak kekurangan oksigen.
Setelah dievaluasi di ruangan dan dilakukan Echocardiography pada pasien oleh
Kardiolog, ditemukan adanya dilatasi LV dan penurunan fungsi EF = 24%, sehingga
didiagnosis dengan Post Partum Cardiomyopathy. Hal ini sesuai dengan dasar untuk
mendiagnosis PPCM membutuhkan bukti Echocardiografi disfungsi ventrikel kiri
dengan LVEF <45% dan sering (tetapi tidak selalu) dilatasi ventrikel kiri; presentasi
peripartum atau pada periode postpartum awal; dan tidak adanya penjelasan alternative
(Arany Z et al 2016).
KESIMPULAN