Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

POST RETURN OF SPONTANEOUS CIRCULATION in


INTENSIVE CARE UNIT SETTING

Disusun oleh:
dr. Aristo Ryan Lumentut

Pembimbing:
dr. Romdon Purwanto, Sp.An - KIC

Program Internsip Dokter Indonesia


Rumah Sakit Prof. dr. H. Aloei Saboe
Periode November 2018-November 2019
Gorontalo
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul :

Post Resuscitation of Circulation in


Intensive Care Unit Setting

Disusun oleh

dr. Aristo Ryan Lumentut

Internship RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe

Periode November 2018 - November 2019

Gorontalo, Oktober 2019

Pembimbing

dr. Romdon Purwanto, Sp.An - KIC

Pendamping Pendamping

dr. Sjafriani Ibrahim dr. Budianto Kahar


PENDAHULUAN

Setelah kembalinya sirkulasi spontan (ROSC), tantangannya adalah untuk


mengatur langkah-langkah yang memastikan kemungkinan yang lebih tinggi untuk
kelangsungan hidup. Terlepas dari penyebab gagalnya beberapa sistem organ dapat
dipengaruhi oleh sindrom henti jantung. Intervensi yang diperlukan untuk perawatan
pasca-ROSC dikumpul menjadi rejimen perawatan: identifikasi dan pengobatan yang
cepat dari penyebab henti jantung; dan pengobatan kelainan elektrolit. Penting juga
untuk menetapkan manajemen jalan napas definitif untuk mempertahankan ventilasi
normokapnis, mencegah hiperoksia, dan mengoptimalkan manajemen hemodinamik
melalui cairan intravena yang baik dan obat-obatan vasoaktif. Manajemen suhu yang
ditargetkan setelah ROSC meliputi perlindungan saraf dan akan mengarah pada
peningkatan hasil neurologis. Kontrol glikemik kadar glukosa darah pada 6-10 mmol /
L, manajemen kejang yang memadai dan langkah-langkah untuk mengoptimalkan
fungsi neurologis harus diintegrasikan ke dalam perawatan. Intervensi yang digariskan
berpotensi dapat menyebabkan lebih banyak pasien keluar dari rumah sakit hidup-
hidup dengan fungsi neurologis yang baik.1
TINJAUAN PUSTAKA

Latar Belakang
Kematian mendadak hingga saat ini masih menjadi penyebab utama kematian.
WHO menjelaskan bahwa sebagian besar kematian mendadak dilatarbelakangi oleh
penyakit kardiovaskuler dan penyebab utama dari kematian ini adalah penyakit jantung
koroner. Komplikasi yang paling memungkinkan dari penyakit jantung koroner adalah
gagal jantung. Individu yang menderita gagal jantung akan mengalami penurunan
toleransi terhadap aktivitas fisik, penurunan kualitas hidup dan rentang hidupnya
memendek.2
Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih
kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.
Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali
sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus
diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke
tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan
homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang
dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk.
Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome
yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard
dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.3
Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit
(ICU) tetapi kemudian akhirnya meninggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera
otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung
di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal
mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia,
hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/iskemia global pada henti jantung akan
mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap
terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi.. Derajat keparahan
sindrom ini akan bervariasi tergantung lama dan penyebab henti jantung, dan tidak
akan terjadi pada henti jantung yang singkat.3
EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) pada tahun 2004 melakukan survey yang
menyimpulkan bahwa, diperkirakan 17,1 juta orang meninggal (29% dari jumlah
kematian total) karena penyakit jantung dan pembuluh darah. Dari kematian 17,1 juta
orang tersebut, diperkirakan 7,2 juta kematian disebabkan oleh penyakit jantung
koroner. Kasus penyakit jantung koroner meningkat pada negara maju dan negara
berkembang dan diperkirakan pada tahun 2020 kasus penyakit jantung koroner sudah
mencapai 82 juta kasus. Lebih dari 60% beban kasus penyakit jantung koroner secara
global terjadi di negara berkembang. 4
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang
dilakukan oleh Balitbangkes pada tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi nasional
penyakit jantung koroner sebesar 1,5%, sedangkan prevalensi untuk kejadian henti
jantung mendadak belum didapatkan. Namun hasil Riset Kesehatan Dasar (2007)
menunjukkan data bahwa kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung
mendapatkan porsi 4,6% dari 4.552 mortalitas dalam 3 tahun. Sedangkan data yang
diperoleh dari WHO pada tahun 2002 di Indonesia sudah terjadi 220 372 kasus
kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung.5
Untuk mengurangi angka kematian akibat henti jantung, maka dibutuhkan
penatalaksanaan yang tepat dalam penanganan pasien henti jantung. Salah satu
penanganan yang dikembangkan adalah Resusitasi Jantung Paru (RJP). Resusitasi
Jantung Paru telah diperkenalkan sejak tahun 1960. Selama kurun waktu 40 tahun sejak
diperkenalkannya, RJP modern telah banyak perubahan dan perkembangan. Hingga
saat ini RJP merupakan penatalaksanaan yang sangat vital dalam kasus henti jantung.
American Heart Asociation menyebutkan bahwa kejadian henti jantung dapat terjadi di
mana saja, penanganan RJP pada saat kejadian dapat membantu mengurangi risiko
kematian. Henti jantung dapat sangat mematikan, namun ketika RJP dan defibrilasi
dapat diberikan secepatnya, dalam banyak kasus jantung dapat berdenyut kembali.5
PATOFISIOLOGI
Tingkat kematian yang tinggi dari pasien yang awalnya mencapai ROSC setelah
henti jantung dapat dikaitkan dengan proses patofisiologis yang unik yang melibatkan
banyak organ. Meskipun iskemia seluruh tubuh yang berkepanjangan pada awalnya
menyebabkan kerusakan jaringan global dan cedera organ, kerusakan tambahan terjadi
selama dan setelah reperfusi. Fitur unik dari patofisiologi henti jantung sering
ditumpangkan pada penyakit atau cedera yang menyebabkan henti jantung, juga.
sebagai komorbiditas yang mendasarinya. Terapi yang fokus pada organ individu dapat
membahayakan sistem organ yang terluka lainnya. 4 komponen kunci dari sindrom
henti jantung adalah (1) cedera otak post henti jantung, (2) disfungsi miokard post henti
jantung, (3) respons iskemia sistemik / reperfusi, dan (4) patologi faktor pencetus yang
menetap. Tingkat keparahan gangguan ini setelah ROSC tidak seragam dan akan
bervariasi pada masing-masing pasien berdasarkan tingkat keparahan iskemik,
penyebab henti jantung, dan kondisi kesehatan pasien sebelumnya. Jika ROSC dicapai
dengan cepat setelah serangan jantung, sindrom pasca-serangan jantung tidak akan
terjadi.6
1. Cedera Otak pada Post Henti Jantung
Cedera otak pasca henti jantung merupakan penyebab umum morbiditas
dan mortalitas. Dalam 1 studi pasien yang selamat dari ICU tetapi kemudian
meninggal di rumah sakit, cedera otak adalah penyebab kematian pada 68%
setelah henti jantung di luar rumah sakit dan pada 23% setelah henti jantung di
rumah sakit. Kerentanan unik otak dikaitkan dengan toleransi iskemia yang
terbatas dan responsnya yang unik terhadap reperfusi. Mekanisme cedera otak
yang dipicu oleh henti jantung dan resusitasi adalah kompleks dan termasuk
eksitotoksisitas, homeostasis kalsium yang terganggu, pembentukan radikal
bebas, kaskade protease patologis, dan aktivasi jalur pensinyalan sel-kematian.
Banyak jalur ini lewati selama periode dari jam sampai hari setelah ROSC.
Secara histologis, subpopulasi neuron yang selektif rentan adalah hippocampus,
korteks, otak kecil, corpus striatum, dan thalamus dapat merosot selama
beberapa jam hingga berhari-hari. Baik nekrosis dan apoptosis neuron telah
dilaporkan setelah henti jantung. Namun, kontribusi relatif dari setiap jalur
kematian sel masih kontroversial, dan sebagian bergantung pada usia pasien dan
subpopulasi neuron yang diperiksa. Durasi cascade cedera yang relatif berlarut-
larut dan perubahan histologis menunjukkan jendela terapi yang luas untuk
strategi neuroprotektif setelah henti jantung.6,7
Meskipun kegagalan sirkulasi mikro serebral, reperfusi makroskopis
sering hiperemik pada beberapa menit pertama setelah henti jantung karena
peningkatan CPP (Cerebral Perfusion Preasure) dan gangguan autoregulasi
serebrovaskular. Tekanan perfusi awal yang tinggi ini secara teoritis dapat
meminimalkan gangguan reflow. Namun, reperfusi hiperemik memperburuk
otak. Dalam 1 penelitian pada manusia, hipertensi (tekanan arteri rata-rata
[MAP]> 100 mm Hg) dalam 5 menit pertama setelah ROSC tidak dikaitkan
dengan peningkatan hasil neurologis, tetapi MAP yang stabil selama 2 jam
pertama setelah ROSC berkorelasi positif dengan hasil neurologis. Meskipun
kembalinya oksigen dan pengiriman substrat metabolik pada tingkat
mikrosirkulasi sangat penting, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa
terlalu banyak oksigen selama tahap awal reperfusi dapat memperburuk cedera
saraf melalui produksi radikal bebas dan cedera mitokondria.8
Di luar fase reperfusi awal, beberapa faktor berpotensi mengganggu
pengiriman oksigen otak dan kemungkinan cedera sekunder dalam beberapa
jam hingga berhari-hari setelah henti jantung. Ini termasuk hipotensi,
hipoksemia, gangguan autoregulasi serebrovaskular, dan edema otak; Namun,
data manusia terbatas pada seri kasus kecil. Autoregulasi CBF (Cerebral Blood
Folw) terganggu untuk beberapa waktu setelah henti jantung. Selama periode
subakut, perfusi serebral bervariasi dengan CPP daripada dikaitkan dengan
aktivitas neuron. Pada manusia, dalam 24 hingga 48 jam pertama setelah
resusitasi dari henti jantung, meningkatkan resistensi pembuluh darah otak,
sehingga menurunkan CBF, penurunan tingkat metabolisme otak dari konsumsi
oksigen (CMRO2), dan penurunan konsumsi glukosa Secara keseluruhan, ada
kemungkinan bahwa CPP diperlukan untuk mempertahankan perfusi serebral
yang optimal.9
Faktor lain yang dapat mempengaruhi cedera otak setelah henti jantung
adalah pireksia, hiperglikemia, dan kejang. Dalam serangkaian kasus kecil,
pasien dengan suhu > 39 ° C dalam 72 jam pertama setelah henti jantung di luar
rumah sakit memiliki peningkatan risiko kematian otak yang signifikan.10

2. Disfungsi Miokard pada Post Henti Jantung


Segera setelah ROSC, detak jantung dan tekanan darah sangat
bervariasi. Penting untuk mengetahui bahwa detak jantung normal atau
meningkat dan tekanan darah, segera setelah ROSC dapat disebabkan oleh
peningkatan sementara konsentrasi katekolamin lokal dan yang beredar.11
Ketika terjadi disfungsi miokard henti jantung, dapat dideteksi dalam beberapa
menit ROSC dengan pemantauan yang tepat. Dalam studi babi, fraksi ejeksi
berkurang dari 55% menjadi 20%, dan tekanan akhir-diastolik ventrikel kiri
meningkat dari 8 hingga 10 mm/Hg menjadi 20 hingga 22 mm/Hg setelah 30
menit ROSC.12
Dalam beberapa kasus menggambarkan disfungsi miokard sementara
setelah henti jantung manusia. Nilai-nilai indeks jantung mencapai titik
nadir/titik terendah pada 8 jam setelah resusitasi, meningkat secara substansial
dalam 24 jam, dan hampir seragam kembali normal dengan 72 jam pada pasien
yang selamat dari henti jantung di luar rumah sakit.13 Responsif dari disfungsi
miokard global henti jantung terhadap obat inotropik didokumentasikan dengan
baik dalam penelitian pada hewan. Pada babi, infus dobutamin 5 sampai 10 μg
· kg − 1 · min − 1 secara dramatis meningkatkan sistolik (fraksi ejeksi ventrikel
kiri) dan disfungsi diastolik (relaksasi isovolumik ventrikel kiri) setelah henti
jantung.12
3. Sistemik Iskemik / Respons Reperfusi
Henti jantung merupakan kondisi syok yang paling parah, di mana
pengiriman oksigen dan substrat metabolik tiba-tiba dihentikan dan metabolit
tidak lagi dihilangkan. CPR hanya sebagian membalikkan proses ini, mencapai
curah jantung dan pengiriman oksigen sistemik (Do2) yang jauh lebih sedikit
dari biasanya. Selama CPR, peningkatan kompensasi dalam ekstraksi oksigen
sistemik terjadi, yang menyebabkan penurunan signifikan saturasi oksigen vena
sentral (Scvo2).14 Hutang oksigen yang terakumulasi mengarah pada aktivasi
endotel dan peradangan sistemik dan merupakan prediksi dari kegagalan organ
multipel dan kematian.15
Seluruh badan Iskemia / reperfusi setelah henti jantung dengan adanya
kekurangan oksigen terkait menyebabkan aktivasi umum jalur imunologis dan
koagulasi, yang meningkatkan risiko kegagalan organ multipel dan infeksi.15
Kondisi ini memiliki kesamaan beberapa fitur dengan sepsis. Sedini 3 jam
setelah henti jantung, konsentrasi darah berbagai sitokin, reseptor terlarut, dan
endotoksin meningkat, dan besarnya perubahan ini berhubungan dengan hasil.
Molekul adhesi sel antar-molekul terlarut-1, molekul adhesi sel vaskuler
terlarut-1, dan P- dan E-selektin meningkat selama dan setelah CPR, yang
menunjukkan aktivasi leukosit atau cedera endotel. Menariknya,
hiporesponsivitas dari leukosit yang beredar, sebagaimana dinilai secara ex
vivo, telah dipelajari secara luas pada pasien dengan sepsis dan disebut
"toleransi endotoksin." Toleransi endotoksin setelah henti jantung dapat
melindungi terhadap proses proinflamasi yang berlebihan, tetapi dapat
menyebabkan imunosupresi dengan peningkatan risiko infeksi nosokomial.16
Aktivasi pembekuan darah tanpa aktivasi fibrinolisis endogen yang
memadai merupakan mekanisme patofisiologis penting yang dapat
berkontribusi terhadap gangguan reperfusi mikrosirkulasi.17 Pembentukan
fibrin intravaskular dan mikrotrombosis didistribusikan ke seluruh
mikrosirkulasi, yang menunjukkan peran potensial untuk intervensi yang
berfokus pada hemostasis. Sistem koagulasi / antikoagulasi dan fibrinolisis /
antifibrinolisis diaktifkan pada pasien yang menjalani RJP, terutama mereka
yang memulihkan sirkulasi spontan.17
4. Patologi Faktor Pencetus.
Patofisiologi sindrom henti jantung biasanya dipersulit dengan
bertahannya patologi akut yang menyebabkan atau berkontribusi pada henti
jantung itu sendiri. Diagnosis dan penatalaksanaan patologi endapan persisten
seperti sindrom koroner akut (ACS), penyakit paru, perdarahan, sepsis, dan
berbagai toksidrom dapat menyulitkan dan dipersulit oleh patofisiologi
simultan dari sindrom henti jantung.
Kemungkinan besar mengidentifikasi ACS pada pasien yang
diresusitasi dari henti jantung. Dalam studi henti jantung di luar rumah sakit,
infark miokard akut telah didokumentasikan pada 50% pasien dewasa. Cedera
pada jantung selama resusitasi awal mengurangi kekhususan biomarker jantung
untuk mengidentifikasi ACS setelah ROSC. Pada 12 jam setelah ROSC dari
henti jantung di luar rumah sakit, troponin T telah dilaporkan 96% sensitif dan
80% spesifik untuk diagnosis infark miokard akut, sedangkan creatine kinase-
MB 96% sensitif dan 73% spesifik.18
Penyakit tromboemboli lain yang perlu dipertimbangkan setelah henti
jantung adalah emboli paru. Emboli paru telah dilaporkan pada 2% hingga 10%
dari kematian mendadak.18
Penyakit paru primer seperti penyakit paru obstruktif kronik, asma, atau
pneumonia dapat menyebabkan gagal napas dan henti jantung. Ketika henti
jantung disebabkan oleh gagal napas, fisiologi paru mungkin lebih buruk setelah
pemulihan sirkulasi. Redistribusi darah ke pembuluh darah paru dapat
menyebabkan edema paru yang jujur atau setidaknya peningkatan gradien
oksigen alveolar-arteri setelah henti jantung.19 untuk contoh: edema otak akut
lebih sering terjadi setelah henti jantung yang disebabkan oleh asfiksia.20
Sepsis adalah penyebab henti jantung, sindrom gangguan pernapasan
akut, dan gagal organ multipel. Dengan demikian, kecenderungan untuk
eksaserbasi sindrom henti jantung terjadi ketik pada keadaan sepsis. Kegagalan
organ multipel adalah penyebab kematian yang lebih umum di ICU setelah
resusitasi awal dari henti jantung di rumah sakit daripada setelah henti jantung
di luar rumah sakit. Ini mungkin mencerminkan kontribusi infeksi yang lebih
besar terhadap henti jantung di rumah sakit.21
TUJUAN PENGELOLAAN PASIEN PASCA HENTI JANTUNG

Keberhasilan resusitasi jantung - paru yang ditandai dengan kembalinya


sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation/ROSC) yaitu terabanya nadi
karotis, yang sebenarnya adalah langkah awal dari tujuan pengelolaan secara
menyeluruh pada pasien henti jantung. Pengelolaan pasca henti jantung
dilaporkan dapat menurunkan mortalitas akibat tidak stabilnya hemodinamik,
bahkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat gagal multi organ dan
brain injury.6

Setelah ROSC, neuro-neuron syaraf yang cedera ada yang menjadi pulih
kembali tetapi ada pula yang mengalami kematian oleh karena apoptosis atau lisis.
Aktivitas listrik di otak dapat kembali normal, terganggu atau bahkan tidak kembali
sama sekali dalam beberapa jam sampai beberapa hari, sehingga kondisi ini harus
diperhatikan pada saat transportasi dari tempat pasien mengalami henti jantung ke
tempat rujukan karena kondisi otak yang masih sangat rentan. Gangguan
homeostasis yang terjadi meliputi hipotensi, gangguan oksigenasi dan ventilasi, kejang
dan demam yang dapat mengakibatkan keluaran neurologik yang lebih buruk.
Keadaan ini disebut sindrom pasca henti jantung/post-cardiac arrest syndrome
yang terdiri atas cedera otak, respons reperfusi/iskemia sistemik, disfungsi miokard
dan patologi penyebab henti jantung yang menetap.23

Dari beberapa pasien yang hidup kemudian dirawat di intensive care unit
(ICU) tetapi kemudian akhirnya meniggal di rumah sakit (RS), dilaporkan cedera
otak merupakan penyebab kematian pada 68% pasien yang mengalami henti
jantung di luar rumah sakit dan 23% pada pasien yang mengalami henti jantung
di RS. Cedera otak pasca henti jantung dapat diperberat oleh adanya gagal
mikrosirkulasi, gangguan autoregulasi, hiperkarbia, hiperoksia, pireksia,
hiperglikemia dan kejang. Reperfusi/iskemia global pada henti jantung akan
mengaktifkan sistem immun dan koagulasi yang keduanya berperan terhadap
terjadinya gagal multi organ dan meningkatkan risiko infeksi. Dengan demikian
sindrom pasca henti jantung mempunyai gambaran seperti sepsis, yaitu penurunan
volume intravaskular dan vasodilatasi.23
TUJUAN AWAL

 Mengoptimalkan fungsi kardiopulmoner dan perfusi organ vital.


 Pada henti jantung di luar rumah sakit, transpor pasien ke rumah sakit
yang tepat dan mempunyai fasilitas sistem pengelolaan pasca henti jantung
yang menyeluruh yaitu intervensi koroner akut, pengelolaan neurologi, goal-
directed critical care, and hipotermia.
 Transpor pasien henti jantung di rumah sakit yaitu ke critical care unit yang
tepat dan mampu memberikan pengelolan pasca henti jantung yang
menyeluruh.
 Melakukan identifikasi dan memberikan terapi penyebab henti jantung dan
mencegah henti jantung berulang.

TUJUAN LANJUT

 Mengendalikan suhu tubuh untuk mengoptimalkan kesintasan dan pemulihan


neurologik.
 Mengidentifikasi dan melakukan terapi sindrom koroner akut.
 Mengoptimalkan ventilasi mekanik dengan meminimalkan cedera paru.
 Mengurangi risiko gagal multiorgan dan mendukung fungsi organ-organ bila
dibutuhkan.
 Menilai secara obyektif prognosis untuk pemulihan.
 Membantu pasien yang hidup dengan pelayanan rehabilitasi bila diperlukan.

A. PENGOLAAN OKSIGENASI DAN VENTILASI

Hipoksemia dan hiperkarbia akan dapat menyebabkan henti


jantung berulang dan berperan mengakibatkan cedera otak sekunder. Pada
umumnya setelah ROSC pasien akan diberikan oksigen 100% dengan
atau tanpa intubasi endotrakheal. Namun demikian, beberapa percobaan
binatang menunjukan bahwa hiperoksemia dapat menimbulkan oxidative stress
dan membahayakan neuron pasca iskhemik. 24

Kilgannon dkk meneliti 6000 pasien dengan ROSC pasca henti jantung
dan dalam keadaan hiperoksia yaitu PaO2 lebih dari 300 mmHg mempunyai
keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien-pasien yang mempunyai nilai
PaO2 antara 60 dan 300 mmHg. Dilaporkan bahwa hiperoksemia mempunyai
keluaran yang lebih buruk dibandingkan dengan hipoksemia dan
normoksemia. Panduan AHA mengajurkan pemberian fraksi oksigen
inspirasi ditritrasi deng memlihara saturasi oksiken arteri (SaO2) lebih dari
94% dan PaO2 sekitar 100 mmHg. Inisiasi bantuan ventilasi mekanik
dianjurkan dengan volume ventilation dengan volume tidal 6-8 mL/kg predicted
body weight, laju napas 10-14 kali/menit dengan memlihara Pa CO2 35-40
mmHg, atau lebih baik dipantau dengan alat capnometer untuk memelihara
end tidal CO2 dalam batas normal. Oleh karena pasien-pasien pasca henti
jantung mempunyai risiko terjadinya acute respiratory distress syndrome, dan
menghindari terjadinya ventilator-induced lung injury maka plateau pressure
dijaga kurang atau sama dengan 30 cmH2O.24

B. OPTIMASI HEMODINAMIK

Pengelolaan hemodinamik diutamakan dengan perbaikan volume


intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekuat, mengoptimalkan pasokan
oksigen, mengidentifikasi dan mengobati penyebab henti jantung. Seperti
misalnya, bila penyebab henti jantung adalah sepsis, maka early goal-
directed therapy (EGDT) menurut Rivers harus dilakukan sebagai metode
resusitasi hemodinamik.

Pada sindrom pasca henti jantung akan terjadi hipovolemi akibat


peningkatan permiabilitas kapiler, oleh karena itu resusitasi cairan dengan
kristaloid dapat dimulai. Target tekanan vena sentral (central venous
pressure/CVP) dilaporkan tidak dapat menilai status volume bila emboli
paru, tension pneumothraks, tamponade jantung atau infark miokard
kanan sebagai penyebab henti jantung. Akhir-akhir ini metode untuk
menilai kecukupan volume intravaskular adalah perubahan diameter vena
cava inferior yang dinilai dengan ultrasonografi, pulse pressure variation
atau systolic pressure variation. Namun demikian,keluaran urin lebih dari 1
ml/kg berat badan/ jam dapat merupakan target resusitasi.23

Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata
(mean artery pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini
dilaporkan dapat menjaga perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat,
sedangkan bila MAP lebih dari 100 mmHg akan mempunyai efek
merugikan.25 Untuk menilai kecukupan pasokan oksigen ke jaringan dapat
diperiksa kadar laktat darah dan saturasi oksigen vena sentral (ScvO). 26

Apabila dengan resusitasi cairan, pemberian obat vasopresor dan


inotropik gagal dalam menjaga tekanan perfusi dan pasokan oksigen, maka
bantuan mekanik hemodinamik dapat dipertimbangkan seperti pemasangan
intra-aortic balloon pump (IABP) atau left ventricular assist device (LVAD),
meskipun alat-alat ini tidak dianjurkan digunakan secara rutin. 23

Seperti diketahui pasien pasca henti jantung dengan STEMI


harus dilakukan angiography koroner dini dan percutaneus coronary
intervention (PCI) oleh karena nyeri dada dan/atau elevasi ST merupakan
prediktor lemah adanya sumbatan koroner akut pada pasien seperti ini,
maka intervensi harus dipertimbangkan pada semua pasien pasca henti
jantung yang disebabkan penyakit jantung koroner. 23

C. PENGENDALIAN SUHU

Terapi Hipotermia

Penelitian-penelitian pada binatang dan manusia menunjukan bahwa


hipotermi ringan merupakan neuroproteksi dan memperbaiki keluaran
setelah suatu periode iskhemia-hipoksia serebral global. Hipotermi
menurunkan kecepatan metabolisme oksigen serebral sekitar 6% setiap
penurunan suhu sebesar 1°C. Sebagian besar penelitian terapi hipotermi
pasca henti jantung karena ventricular fibrillation (VF) menggunakan pasien
dengan kesadaran koma.Satu penelitian prospektif pada pasien- pasien
henti jantung non VF yang dilakukan induksi hipotermi yang dimulai
sebelum pasien dirujuk ke rumah sakit dan dilanjutkan di rumah sakit
rujukan. Infusi 2000ml ringer laktat dingin dapat mengurangi waktu untuk
mencapai suhu pusat < 34°C setelah tiba di rumah sakit dan memperbaiki
keluaran rumah sakit. Pasien yang diberikan terapi hipertermi suhunya
harus dapat diturunkan secepat mungkin. Hasil penelitian prospektif
menunjukan waktu terbaik dlakukan hipotermi adalah antara 2-8 jam setelah
ROSC, dengan target suhu antara 32 - 34° C. 23

Terapi hipotermi dibagi menjadi 3 fase yaitu induksi, pemeliharaan


dan penghangatan. Fase induksi dapat dilakukan dengan cara eksternal
dan internal. Pemberian infus 30ml/kg BB NaCl 0,9% atau Ringer laktat yang
bersuhu 4°C akan menurunkan suhu inti sekitar 1,5°C. Sebagai tambahan
pemberian infus dingin adalah teknik surface cooling yaitu meletakkan
bongkahan es atau handuk dingin atau selimut dingin pada lipat paha,
ketiak, kepala dan leher. Pemberian cairan dingin melalui pipa nasogastrik
juga dapat dilakukan. Pemantauan suhu inti yang paling sederhana yaitu suhu
rektal dapat dilakukan selama induksi terapi hipotermi ini.23

Pasien menggigil merupakan efek samping yang tidak diinginkan pada


saat mencapai suhu target. Obat – obat yang dapat diberikan untuk
mengatasi menggigil adalah propofol, fentanyl, petidin dan
dexmedetomidine. Setelah suhu target 32-34°C tercapai maka fase kedua
yaitu fase pemeliharaan dimulai dan dipertahankan selama 12 sampai 24 jam.
Infusi dingin dapat dihentikan, dan hanya dilakukan pemeliharaan suhu
dengan bongkahan es dan selimut/handuk dingin. Setelah 12-24 jam
hipotermi, mulai dilakukan fase ketiga yaitu penghangatan. Penghangatan
yang dilakukan dengan kecepatan 0,25 °C sampai 0,5°C per jam. 23
Terapi Hiperpireksia

Hipertermi dapat terjadi pada 48 jam pertama pasca henti jantung.


Suhu > 37,6°C akan meningkatkan keluaran neurologik yang buruk pada
pasien-pasien pasca henti jantung. Bila hipertermi terjadi selama fase
penghangatan terapi hipertemi, maka pasien harus dipantau dengan ketat
dan suhu diturunkan dengan segera.

D. PENGENDALIAN KADAR GULA DARAH

Banyak dilaporkan adanya hubungan antara kadar gula darah tinggi


pasca henti jantung dengan keluaran neurologik yang buruk. Terapi hipotermi
dapat pula mengakibatkan resistensi insulin sehingga kadar gula darah
meningkat, oleh sebab itu maka kadar gula darah dijaga dengan kisaran 150
sampai < 180 mg/dL, dengan infuse insulin dan pemantauan kadar gula darah
tiap 1-2jam agar tidak terjadi hipoglikemia.

E. PENGENDALIAN KEJANG

Kejang atau mioklonus atau keduanya terjadi 5-15% pasien dewasa


setelah ROSC dan terjadi pada 10-40% pasien yang tetap koma. Kejang akan
meningkatkan metabolisme serebral sampai 3 kali dan dapat memperburuk
cedera otak; sehingga harus diterapi secepatnya dan seefektif mungkin
dengan benzodiazepin, phenytoin, barbiturat atau propofol.Tidak ada penelitian
yang mendukung diberikannya profilaksis obat anti kejang pada pasien
dewasa pasca henti jantung. 23
POST PARTUM CARDIO MYOPATHY

PPCM sebagai gagal jantung yang berkembang pada akhir bulan kehamilan
atau hingga lima bulan pascapersalinan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (ejec
ventrikel kiri- fraksi tion (LVEF) <45% atau pemendekan fraksional <30%, atau
keduanya).25 Pada tahun 2010 European Sociaty of Cardiology (ESC) mendefinisikan
kardiomiopati peripartum sebagai gagal jantung yang terjadi “Menjelang akhir
kehamilan atau di bulan-bulan berikutnya persalinan, di mana tidak ada penyebab lain
gagal jantung ditemukan”.26

Setiap peningkatan usia ibu hamil, pre-eklampsia, dan banyak kehamilan (dan
beberapa bagian dari bantuan teknologi dalam reproduksi), yang merupakan faktor
risiko untuk PPCM. Perempuan kulit hitam memiliki peningkatan risiko PPCM.26

Diagnosis PPCM membutuhkan bukti Echocardiografi disfungsi ventrikel kiri


dengan LVEF <45% dan sering (tetapi tidak selalu) dilatasi ventrikel kiri; presentasi
peripartum atau pada periode postpartum awal; dan tidak adanya penjelasan alternatif.
Ekokardiografi juga dapat menunjukkan dilatasi dan disfungsi ventrikel kanan,
hipertensi paru, atrium kiri atau biatrial pembesaran, regurgitasi mitral dan trikuspid
fungsional, dan trombus intrakardiak, Echocardiography merupakan alat pencitraan
yang tepat dalam mendiagnosis PPCM.27

Kebanyakan wanita dengan PPCM didiagnosis setelah mengalami tanda-tanda


dan gejala gagal jantung. Satu studi menemukan bahwa 2,6% wanita yang memiliki
PPCM di AS antara 2004 dan 2011 juga memiliki syok kardiogenik. Tromboemboli
tampaknya menjadi yang paling umum komplikasi PPCM yang parah, mempengaruhi
6,6% wanita dengan PPCM di US.28 Aritmia berkontribusi besar terhadap morbiditas
dan mortalitas pada wanita dengan PPCM, dan kematian mendadak akibat ventrikel
takikardi.
PRESENTASI KASUS
ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. YU
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 05 Juli 1989
Umur : 29 tahun
Agama : Islam
Alamat :-
Pendidikan : S1
Anak ke : 1 dari 2 bersaudara

ANAMNESA
Tanggal masuk rumah sakit : 24 Mei 2019 pk. 08.35 WITA
Tanggal pemeriksaan : 24 Mei 2019 pk. 11.00 WITA
Tempat pemeriksaan : Ruang Intensive Care Unit (ICU) RS Aloei Saboe
Diambil dari : Alloanamnesa
Keluhan Utama : Penurunan Kesadaran

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


Anamnesis dilakukan di ruang intensive care unit (ICU) RS Aloei Saboe tanggal 24
Mei 2019. Pasien merupakan rujukan dari RS Siti Khadijah, pasien post arrest saat
opersi SC ± ½ jam SMRS, os sebelumnya tidak mengeluhkan sesak napas, sesak bila
berbaring, sesak napas pada malam hari, nyeri dada atau dada berdebar – debar. Tidak
ada riwayat pingsan atau penurunan kesadaran sebelumnya.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


-

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Tidak ada di dalam keluarga yang sakit seperti ini
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di ruang ICU pada tanggal 24 Mei 2019 pukul 11.00 WIB
Kesan Umum: Tampak sakit berat, Kesadaran: Koma

Evaluasi Anestesi:
Dilakukan dengan menggunakan sistem 6B, yaitu: Breath, blood, brain, bowel,
bladder dan bone.

B1: Breath
O2 via ventilator dengan setting:
Mode : PCV+,
PEEP (Positive end expiratory pressure) : 5 mmHg
FiO2 (Fraction of inspired O2) : 60%
PS (Pressure supportl) : 16 mmHg
Respiratory Rate : 20x/min
I:E (Insipration : Ekspiration ratio) : 1:2
SpO2 99%; RR 20x/min; Rh +/+; Wz -/-; Lendir (+) pada orofaring dan ETT.

B2: Blood
BP: 90/60, HR: 115x/min; T: 36°C

B3: Brain
GCS E2M3Vx  Pupil Isokor; RC +/+

B4: Bowel
Bising usus (+)N

B5: Bladder
Urine output (+)

B6: Bone
Nadi lemah, edema (-)
DIAGNOSA KERJA
 Gagal nafas
 ROSC
 Post Sectio Caesarea

TATALAKSANA
Tatalaksana di intensive care unit (ICU), menggunakan sistem FASTHUG, yaitu:
Feeding, analgetic, sedation, thromboembolic prophylaxis, head of bed elevation,
ulcer stress prophylaxis, dan glycemic control.

 O2 Via Ventilator mode PCV+


 IVFD RL 20 gtt/m
F: Aff oral
A: Morphine 2cc/jam
S: -
T: -
H: Head up 30°
U: Omeprazole 40 mg/ 24 jam
G: -
 Meropenem 1g/12 jam IV
 Kalnex 1 amp/8 jam IV
 Piracetam 3gr/12 jam
 Citicoline 500mg/12 jam
 Manitol 100/6jam
 Dobutamin 10 mcg/kgBB IV/SP
 Raivas 0,3 mcg/kgBB IV/SP

PROGNOSIS
Ad vitam: Dubia ad malam
Ad fungsionam: Dubia ad malam
Ad sanationam: Dubia ad malam
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal 24/05/2019
Hb: 13,5
Leukosit: 14.200
Trombosit: 183.000
Hct: 39,5
Na: 135
K: 4.1
Cl: 106
Ureum: 21
Creatinine: 0.6

Analisis Gas Darah


Tanggal 24/05/2019
pH: 7,348
pCO2: 35,8 mmHg
pO2: 136,1 mmHg
HCO3-: 19.5 mM
FiO2: 45%
SpO2: 98.5%
X-Ray
Tanggal 25/05/2019

Kesan : Pneumonia disertai efusi pleura sinistra

CT-scan Kepala

Tanggal 25/05/2019
Kesan : Tidak tampak lesi patologik intracerebri maupun cerebelli pada MSCT scan
kepala ini
RINGKASAN RAWAT INAP DAN TERAPI DI ICU

Tanggal 24/05/2019  Pasien diterima di IGD RS Aloei Saboe, kemudian ditransfer


ke ICU.
O2 on Ventilator mode PCV+, SpO2 99%; RR 20x; BP 90/60; HR 115x; GCS
E2VxM3
IVFD RL 20tpm
Analgetik  Morphine
 Meropenem 1g/12 jam IV (H1)
 Kalnex 1 amp/8 jam IV
 Piracetam 3gr/12 jam
 Citicoline 500mg/12 jam
 Manitol 100cc/6jam
 Dobutamin 10mcg/kgBB
 Raivas 0,3mcg/kgBB

Tanggal 25/05/2019  Hari ke 2 di ICU


Pasien Sadar, gelisah, keluar darah dari jalan lahir +
O2 on Ventilator mode PCV+ SpO2 98%; RR 22x; BP:100/60 HR 128x; GCS
E4VxM5
IVFD RL 20tpm
Analgetik  Morphine
 Meropenem 1g/12 jam IV (H2)
 Kalnex 1 amp/8 jam IV
 Piracetam 3gr/12 jam
 Citicoline 500mg/12 jam
 Manitol 100cc/4jam
 Dobutamin 10mcg/kgBB (Tapp down)
 Raivas 0,3mcg/kgBB
 Konsul Kardiologi
EKG

Tanggal 25/05/2019

Kesan: Sinus Takikardia


Tanggal 26/05/2019  Hari ke 3 di ICU
Pasien sadar, keluar darah dari jalan lahir +
EKSTUBASI
O2 on nasal canule 2 L/m; SpO2 99%; RR 22x; BP 110/70; HR 119x; GCS: E4V5M6
IVFD RL 20 tpm
 Meropenem 1g/12 jam IV (H3)
 Kalnex 1 amp/8 jam IV
 Piracetam 3gr/12 jam
 Citicoline 500mg/12 jam

PINDAH NIFAS
DISKUSI

Diagnosis pada pasien ini adalah gagal nafas post Return of Spontaneous
Circulation (ROSC), pada pasien ini mengalami henti jantung yang kemungkinan
disebabkan oleh Post Partum Cardiomyopathy . Dasar diagnosis tersebut adalah dari
hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Dari anamnesis yang didapatkan
saat dirujuk ke ruang perawatan ICU Aloei Saboe, pasien mengalami cardiac arrest
setalah dilakukan operasi section caesarea, kemudian dilakukan RJP, dan pasien
mengalami ROSC. Keberhasilan dalam resusitasi jantung – paru ditandai dengan
kembalinya sirkulasi spontan (ROSC) yaitu terabanya nadi karotis, yang merupakan
tanda awal dari tujuan pengelolaan secara menyeruluh pada pasien henti jantung. Hal
yang ditakutkan akan terjadi pasien post ROSC adalah kegagalan beberapa organ tubuh,
atau yang biasa disebut post cardiac arrest syndromes, sehingga kita harus mencegah
kegagalan itu terjadi.
Kondisi pasien saat masuk ICU sudah dalam keadaan terintubasi dan terpasang
ventilator dengan settingan mode PCV dengan Fi02: 60, PEEP: 5 dengan kadar Sp02
pasien 96%, dan setelah dilakukan pemeriksaan AGD ditemukan kadar PCO2: 35.1
Pa02: 136, hasil ini akan memberikan outcome yang baik kepada pasien. Kadar Pa02
yang lebih dari 300mmHg mempunyai keluaran yang lebih buruk dibandingkan pasien-
pasien yang mempunyai Pa02 antara 60 dan 300mmHg (Curley et al, 2010).
Setelah penanganan jalan nafas tercapai maka dilanjutkan optimasi
hemodinamika pasien, pengelolaan hemodinamika diutamakan dengan perbaikan
volume intravaskular, menjaga tekanan perfusi adekuat, serta untuk mengoptimalkan
pasokan oksigen. Saat masuk TD pasien 90/60 sehingga diberikan kombinasi obat
inotropic dan vasopressor; dobutamin dan norepinephrine, dan setelah 2 hari
pemberian, TD pasien mencapai normal 120/80 dengan nilai MAP 93,3 mmHg.
Tekanan perfusi yang adekwat dapat dicapai bila tekanan arteri rerata (mean artery
pressure/MAP) kisaran 90-100 mmHg. Pada nilai MAP ini dilaporkan dapat menjaga
perfusi serebral dan pasokan oksigen adekuat, sedangkan bila MAP lebih dari 100
mmHg akan mempunyai efek merugikan (Pearson et al, 2000).
Pemberian antibiotic juga penting dalam penganganan kasus post cardiac arrest
syndrome, karena sepsis merupakan salah satu penyebab henti jantung, sindrom
gangguan pernapasan akut, dan gagal organ multipel. Dengan demikian,
kecenderungan untuk eksaserbasi sindrom henti jantung terjadi ketika pada keadaan
sepsis. Kegagalan beberapa organ adalah penyabab utama kematian di ICU setelah
resusitasi awal di RS dibandingan diluar RS. Karena dalam RS akan meningkatkan
resiko infeksi yang lebih besar pada henti jantung di RS (Laver S et al 2004). Sehingga
pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas yaitu dengan pemberian Meropenem
1gr/12 jam.
Pada pasien dilakukan pemeriksaan CT – scan kepala untuk melihat apakah
adanya cedera otak setelah henti jantung, pada pasien tidak ditemukannya lesi patologik
intracerbri maupun cerebelli di kepala. Beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi
cedera otak setelah henti jantung adalah pyrexia, hyperglycemia, dan kejang (Zeiner A
et al, 2001). Pemberian Citicolin dan Piracetam membantu dalam melindung korteks
serebri agar tidak kekurangan oksigen.
Setelah dievaluasi di ruangan dan dilakukan Echocardiography pada pasien oleh
Kardiolog, ditemukan adanya dilatasi LV dan penurunan fungsi EF = 24%, sehingga
didiagnosis dengan Post Partum Cardiomyopathy. Hal ini sesuai dengan dasar untuk
mendiagnosis PPCM membutuhkan bukti Echocardiografi disfungsi ventrikel kiri
dengan LVEF <45% dan sering (tetapi tidak selalu) dilatasi ventrikel kiri; presentasi
peripartum atau pada periode postpartum awal; dan tidak adanya penjelasan alternative
(Arany Z et al 2016).
KESIMPULAN

Manajemen pasien dengan post Return of Sontaneous Circulation (ROSC)


adalah sangat kompleks dan memerlukan evaluasi yang cepat dan tepat. Semua rumah
sakit harus membuat protokol standar untuk inisiasi awal manajemen perawatan pasca-
ROSC, yang pada akhirnya akan meningkatkan perfusi sistemik dan membantu
perbaikan organ-organ tubuh..

Anda mungkin juga menyukai