Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Tetanus mungkin merupakan salah satu nama penyakit yang sering didengar. Tetanus
biasa dihubungkan dengan benda tajam yang berkarat. Tidak hanya orang dewasa, tetapi bayi
juga mempunyai resiko yang cukup tinggi, terkena tetanus, terutama saat proses persalinan.
Karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal maka kita perlu
mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan, serta
komplikasi yang dapat timbul.
1

Penyakit ini merupakan penyakit yang serius namun dapat dicegah kejadiannya pada
manusia. Walaupun tetanus dapat dicegah dengan imunisasi, tetanus masih merupakan
penyakit yang membebani di seluruh dunia terutama di Negara beriklim tropis dan negara
negara sedang berkembang, sering terjadi di brasil, Filipina, Vietnam, Indonesia, dan Negara
lain di benua Asia.
Karena tetanus merupakan penyakit yang cepat berkembang menjadi fatal, maka kita
perlu mengetahui sumber penularannya, pencegahan yang dapat dilakukan, pengobatan dan
komplikasi yang dapat timbul.
Pada skenario kasus yang dibahas, Tetanus terjadi karena adanya luka robek (Vulnus
Laceratum). Luka adalah cedera (injury) atau rudapaksa (trauma) yang terjadi pada setiap
jaringan tubuh yang berakibat terputusnya atau discontinuity jaringan. Ada berbagai macam
penyebab luka yaitu mekanik, termal, elektris, khemis, dan biologis. Luka robek (Vulnus
Laceratum) termasuk dalam macam penyebab luka mekanik.
4


Skenario Kasus
Seorang laki-laki berusia 22 tahun datang ke UGD RS dengan keluhan demam, mulut
terasa kaku dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan. Menurut keterangan pasien, 2
minggu yang lalu mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami luka robek pada tungkai
bawah kanan dan mendapat 27 jahitan oleh seorang petugas kesehatan di desanya. Setelah
dilakukan inspeksi kulit tungkai bawah kanan tampak kemerahan, teraba panas dan bengkak,
dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah. Pasien juga tidak diberikan antibiotik oleh
petugas kesehatan setelah menjahit lukanya. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg denyut
nadi 82x/menit.

Anamnesis
Tujuan utama suatu anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar
yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Kemudian
dapat dibuat penilaian keadaan pasien. Seorang pewawancara yang berpengalaman
mempertimbangkan semua aspek presentasi pasien dan kemudian mengikuti petunjuk-
petunjuk yang kelihatannya perlu mendapat perhatian yang terbesar.
a. Menanyakan identitas pasien : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, umur, suku agama, alamat lengkap, pendidikan, pekerjaan dan status
perkawinan.
b. Menanyakan keluhan utama : keluhan utama pasien datang untuk berobat :
demam, mulut terasa kaku, dan nyeri pada tungkai bawah sebelah kanan.
c. Menanyakan riwayat penyakit sekarang : apakah panasnya naik turun atau
panasnya tidak pernah turun, sudah berapa lama demam. Apakah sebelumnya
pasien pernah terluka atau tertusuk, atau terjatuh dan ada luka ditempat yang
kotor. Keluhan-keluhan penyerta : kaku pada mulut, teraba panas dan bengkak
pada daerah yang terluka dan dari sela-sela luka yang dijahit keluar nanah.
Informasi bisa didapat dari keluarga pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu : apakah pernah mengalami demam sebelumnya,
mengalami kecelakaan dijalan yg kotor dan terdapat luka yang penuh dengan
debu dan kotoran, riwayat pemberian ATS (anti tetanus toxoid), apakah
pernah menderita riwayat penyakit yang lain dan pernahkah dirawat dirumah
sakit. Tanyakan adakah riwayat alergi, riwayat penyakit jantung, ginjal, hati,
DM dan penyakit infeksi lain. Riwayat pemberian ulang vaksin DT (dipteri
dan tetanus) pada saat dewasa umur 19 tahun. Adakah riwayat penyakit
keluarga seperti epilepsi, jantung, ginjal, hepatitis, TBC, alergi.
e. Menanyakan riwayat sosial : lingkungan tempat tinggal contohnya tinggal
dekat pembuangan sampah atau didaerah yang tidak bersih. Hygiene
contohnya pasien tidak pernah bersihkan badannya, saat ada luka pasien tidak
pernah merawatnya, apakah perawatan luka menggunakan bahan yang kurang
aseptic, sosial ekonomi : bekerja sebagai pemulung, tukang bangunan, rumah
didaerah pertenakan.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien ini adalah inspeksi dan palpasi. Ketika
dilakukan inspeksi terlihat kulit tungkai bawah kanan disekitar luka tampak kemerahan dan
terdapat nanah (PUS) yang keluar dari sela-sela luka yang dijahit. Sedangkan dalam
pemeriksaan fisik palpasi, pada tungkai bawah kanan teraba panas dan terdapat benjolan atau
bengkak dan terasa nyeri. Kemudian pemeriksaan fisik seperti kesadaran, tanda-tanda vital,
ekstremitas juga sangat diperlukan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien tersebut seperti
pemeriksaan Laboratorium Bakteriologik. Hanya pada sebagian kecil penderita, pada
pemeriksaan laboratorium akan didapatkan C. tetani bentuk berspora dari sediaan yang
diambil dari luka pada pewarnaan gram atau biakan anaerob. Pada pemeriksaan dan
karakteristik pada kultur, Clostridium tetani merupakan batang positif gram yang ramping,
bergerak, bersifat anaerob obligat dan tidak berkapsul. Walaupun demikian, bakteri ini dapat
juga bersifat negatif gram pada biakan yang sangat muda atau sangat tua. Bakteri ini dengan
mudah membentuk spora di alam dan pada biakan, dengan menghasilkan spora dengan
terminal bulat yang khas sehingga memberi kesan seperti raket tennis (drumstick).
1

Diagnosis
Work Diagnosis ( Diagnosis Kerja)
Dari skenario kasus yang diperoleh dari anamenis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dilakukan, diagnosis kerja yang diperoleh adalah tetanus dan Vulnus
laceratum ( luka robek ).

Diferential Diagnosis (Diagnosis Pembanding)
Adapun beberapa penyakit yang gejala-gejalanya mirip dengan tetanus dan
Vulnus laceratum ( luka robek ), seperti :
- Rabies
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia
yang berakibat fatal. Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus
Lyssa-virus, family rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui sekret yang
terinfeksi pada gigitan binatang. Nama lain ialah hydrophodia, ia rage (perancis), ia
rabbia (italia), ia rabia (spanyol), die tollwut (jerman) atau di Indonesia dikenal
sebagai penyakit anjing gila.
- Keracunan Striknin
Keracunan striknin dapat menyerupai tetanus dengan peningkatan eksibilitas neuron
akibat gangguan pada inhibisi postsinaps, pengobatan yang sedang berkembang
bagi kedua keadaan adalah serupa, dan pemeriksaan biokimia untuk striknin dapat
menegakkan diagnosis.
1

- Meningoencephalitis
Pada meningoencephalitis dapat ditemukan dysphagia dan kaku pada leher. Juga
ditemukan demam dan cairan cerebrospinal yang tidak normal, ditambah dengan
tidak adanya trismus merupakan perbedaannya dengan tetanus.

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif, yaitu Clostridium tetani.
2
Bakteri ini
terdapat di berbagai tempat, dan banyak terdapat di alam. Selain itu, bakteri ini juga diisolasi
oleh kotoran binatang peliharaan dan manusia.
2,3
Clostridium tetani merupakan bakteri yang
berbentuk batang yang selalu bergerak serta merupakan bakteri anaerob obligat yang
menghasilkan spora. Spora yang dihasilkan Clostridium tetani tidak berwarna, berbentuk
oval, menyerupai raket tenes atau paha ayam.
3
Spora ini dapat bertahan lama pada
lingkungan tertentu, mampu bertahan terhadap sinar matahari dan bersifat resisten terhadap
berbagai desinfektan dan pendidihan selama 20 menit.
Setiap sel yang terinfeksi oleh bakteri ini, dapat dengan mudah diinaktivasi dan bersifat
sensitif terhadap beberapa antibiotic (metronidazol, penisilin, dan lainnya).
2,3
Bakteri ini
dapat dikultur, namun hal tersebut jarang dilakukan, sebab efek yang ditimbulkan dari infeksi
bakteri ini dapat dilihat secara klinis. Clostridium tetani menghasilkan efek-efek klinis
melalui eksotoksin yang kuat.
Spora yang dihasilkan oleh Clostridium tetani dapat hidup bertahun-tahun, dan jika spora
tersebut menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain
masuk ke tubuh penderita, maka spora itu akan mengeluarkan toksin yang bernama
tetanospasmin.
2,3,4
Tetanospasmin dihasilkan dalam sel-sel yang terinfeksi di bawah kendali
plasmin. Tetanospasmin ini merupakan rantai polipeptida tunggal. Peranan toksin tetanus
dalam tubuh organisme belum diketahui. DNA toksin ini terkandung dalam plasmid. Adanya
bakteri belum tentu mengindikasikan infeksi, karena tidak semua strain mempunyai plasmid.
Belum banyak penelitian tentang sensitifitas antimicrobial bakteri ini.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus, bakteri masuk
melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik (kurang steril), tetanus ini dikenal
dengan nama tetanus neonatorum.
2

Gambar 1. Clostridium tetani.
3
Epidemiologi
Tetanus terjadi di seluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidennya sangat bervariasi. Bentuk paling sering, tetanus neonatorum
(umbilicus), membunuh sekurang-kurangnya 500.000 bayi setiap tahun karena ibu tidak
terimunisasi, lebih dari 70% kematian ini terjadi pada sekitar 10 negara asia dan Afrika
tropis. Lagipula, diperkirakan 15.000-30.000 wanita yang tidak terimunisasi di seluruh dunia
meninggal setaip tahun karena tetanus ibu yang merupakan akibat dari infeksi dengan C.
tetani luka pascapartus.
5

Kebanyakan kasus tetanus non-neonatorum dihubungkan dengan jejas traumatis,
sering luka tembus yang diakibatkan oleh benda kotor, seperti paku, serpihan, fragmen gelas,
atau infeksi tidak steril, tetapi suatu kasus yang jarang mungkin tanpa riwayat trauma.
Tetanus pascainjeksi obat terlarang menjadi lebih sering, sementara keadaan yang tidak lazim
adalah gigitan binatang, abses (termasuk abses gigi), pelubangan cuping telinga, ulkus kulit
kronis, luka bakar, fraktur komplikata, radang dingin (frostbite), gangrene, pembedahan usus,
goresan-goresan upacara, dan sirkumsisi wanita. Penyakit ini juga terjadi sesudah
penggunaan benang jahit yang terkontaminasi atausesudah injeksi intramuskuler obat-obatan,
paling menonjol kinin untuk malaria falsiparum resisten-kloroquin.
5

WHO menetapkan target mengeradikasi tetanus pada tahun 1995, tetanus tetap
bersifat endemik pada negara-negara sedang berkembang dan WHO memperkirakan kurang
lebih 1.000.000 kematian akibat tetanus di seluruh dunia pada tahun 1992, termasuk di
dalamnya 580.000 kematian akibat tetanus neonatorum, 210.000 di Asia Tenggara, dan
152.000 di Afrika. Penyakit ini jarang di jumpai di negara-negara maju. Di Afrika Selatan,
kira-kira terdapat 300 kasus per tahun, kira-kira 12-15 kasus dilaporkan terjadi tiap tahun di
Inggris. Di Amerika Serikat sebagian besar kasus tetanus terjadi akibat trauma akut, seperti
luka tusuk, laserasi atau abrasi.
Perjalanan penyakit
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 7-10
hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme
pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset yang lebih pendek berkaitan dengan
tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan
spasme otot yang semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah
spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi
kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena timbulnya lagi akson terminal
dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu.
2

Patogenesis
Seperti pada semua infeksi luka yang disebabkan oleh Clostridium, kejadian awal
pada tetanus adalah kejadian trauma pada jaringan hospes, yang diikuti dengan kontaminasi
luka oleh Clostridium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan menurunnya potensial
oksidasi-reduksi sehingga menyediakan lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan
Clostridium tetani. Setelah pertumbuhan awal, bakteri ini tidak invasif dan tetap terbatas
berada di jaringan nekrotik, yaitu tempat Clostridium tetani menghasilkan toksin mematikan.
Dan pertumbuhan tetanus biasanya disebabkan oleh masuknya spora bersama benda asing
dan/atau bakteri lain ke dalam jaringan yang rusak atau mati sehingga tersedia keadaan
anaerob yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Kadang-kadang, spora bakteri yang
masuk pada cedera terdahulu dapat bertahan di dalam jaringan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun, dan dapat diaktifkan untuk menjalani pertumbuhan vegetatif ketika terjadi
trauma kecil yang mengubah keadan setempat. Penyakit tetanus disebabkan oleh neurotoksin
yang kuat, yaitu tetanospasmin, yang dihasilkan sebagai protein protoplasmik oleh bentuk
vegetatif C. tetani pada tempat infeksi yang terlokalisasi dan dilepaskan terutama ketika
terjadi lisis bakteri tersebut. Pembetukan toksin ini tampaknya dikendalikan oleh plasmid.
Tetanospasmin dapat terikat secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuknya yang
terpenting ke dalam susunan saraf aadalah myoneural junction pada neuron motorik alfa.
Setelah toksin menjalar ke dalam neuron, toksin tersebut tidak lagi dapat dinetralkan.
Tetanospasmin dibawa melalui transpor aksonal retrograd ke neutoaksis, dan di situ toksin
tersebut bermigrasi secara transinaprik ke neuron linnya. Hal yang terpenting di antara
neuron ini adalah sel penghambat presinaptik. Toksin akan terikat pada sinaps penghambat
presinaptik pada neuroaksis dan mencegah pelepasan transmiter. Karena tidak ada hambatan
tersebut, neuron motorik yang lebih bawah akan meningkatkan tonus otot sehingga timbul
kekakuan otot. Hal ini memungkinkan timbul spasme otot agonis ataupun otot antagonis
secara stimultan, yang merupakan ciri khas tetanus. Tetanospasmin dapat pula memudahkan
kontraksi otot spontan pada tetanus yang berat tanpa potensial aksi pada saraf eferen.
6

Salah satu di antara faktor yang menetukan perjalanan klinis tetanus pada orang yang
tidak diimunisasi ialah jumlah toksin yang dihasilkan dan panjang jalur saraf yang harus
dilalui oleh toksin untuk mencapai neuroaksis. Bila jumlah tetanospasmin cukup besar untuk
menyebar melalui pembulu limfe dan aliran darah ke myoneural junction di seluruh tubuh,
yang akan terkena terlebih dahulu adalah otot dengan jalur saraf terpendek. Dengan
demikian, waktu transpor ke neuroaksis adalah yang terpendek. Pada tetanus generalisata
yang terkena pertama-tama adalah otot pengunyah, otot muka, dan otot leher, kemudian
secara desendens diserang pula otot distal. Pada jenis tetanus generalisata ini, yaitu bentuk
penyakit yang paling sering, pelepasan jumlah toksin yang lebih besar dari luka ke dalam
aliran darah, cenderung menimbulkan permulaan penyakit serta perkembangan gejala yang
lebih cepat ataupun penyakit yang lebih berat. Bila jumlah tetanospasmin sedikit dan dibawa
ke neuroaksis hanya melalui jalur saraf regional, permulaan kekakuan otot akan tertunda
sebanding dengan panjang jalur saraf. Keterlibatan otot mungkin tetap terbatas pada daerah
sekitar luka atau mungkin terjadi tetanus ascendens bila terdapat toksin yang cukup banyak
sehingga dapat menyebar ke arah kranial di dalam medula spinalis.
6

Meskipun neuro spinal penghambat paling sensitif terhadap kerja tetanospasmin,
toksin tersebut dapat pula menghambat pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction.
Hal ini dapat menerangkan paralisis fasialis yang dapat terjadi pada tetanus sefalik. Pada
tetanus generalisata, kadar dan ekspresi katekolamin plasma dapat sangat tinggi, yang
mungkin disebabkan oleh kehilangan inhibisi kolom sel intermediolateral medula spinalis.
Fungsi susunan saraf autonom lainnya dapat pula dipengaruhi oleh tetanospasmin. Suntikan
tetanospasmin secara langsung ke dalam otak dapat menimbulkan kejang, tetapi makna
temuan ini untuk penyakit pada manusia masih belum jelas. Spasme otot tetanus ditimbulkan
pada tingkat spinal susunan saraf pusat, bukan tingkat supraspinal, dan penderita dapat tetap
sadar penuh tanpa ada gangguan fungsi akibat hipoksia. Kerusakan yang disebabkan
tetanospamin adalah pada neuromuscular junction, dan agaknya juga pada sinaps lainnya.
Tampaknya kerusakan ini bersifat permanen, untuk penyembuhannya dibutuhkan
pertumbuhan sinaps baru.
6

Patofisiologi (Gejala klinik)
Dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk melalui luka, racun
Clostridium tetani akan merusak sistem saraf dan segera memunculkan gejal serta tanda-
tanda tetanus, misalnya kejang dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan
tidak dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus), dinding perut
mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka seperti menyeringai/tertawa (risus
sardonicus). Pasien tetanus mudah sekali mengalami kejang, terutama apa apabila
mendapatkan rangsangan seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya. Sehingga perlu
diisolasi dalam ruang tersendiri. Tetanus pada bayi baru lahir disebut tetanus neonatorum
lebih mudah terjadi bila bayi tidak mendapat imunisasi pasif atau bila pada saat ibunya hamil
tidak pernah mendapat imunisasi.
7

Komplikasi dari tetanus antara lain, Hipoksia yang diebabkan oleh gangguan
pernapasan, pnemonia sebagai akibat atelektasis, aspirasi dan/atau ventilasi mekanik,
trombosis vena dan emboli paru, aritmia jantung, hipertensi dan hipotensi yang disebabkan
oleh ketidakstabilan autonom, miokarditis, dan/atau kekurangan volume intravaskular, fraktur
tulang punggung atau tulang panjang, infeksi yang berkaitan dengan luka awal, ulkus
dekubitalis, dan berbagai kateter yang dipasang menetap yaitu intravaskular dan pada
kandung kemih, ulkus peprikum akut.
6

Penatalaksanaan
Terapi Non Medika Mentosa
Nanah (pus) merupakan salah satu tanda adanya infeksi bakteri kulit. Luka dapat
bernanah jika perawatan atau pengobatan lukanya tidak baik/kotor. Mula-mula, tutup luka
dengan pembalut steril. Jangan menaruh antiseptik, salep, obat tepung, dan sebagainya pada
luka karena akan memperbesar kemungkinan kontaminasi dan kerusakan jaringan oleh bahan
kimia. Perdarahan diatasi dengan pembalut tekan. Bila luka terdapat pada ekstremitas, maka
ekstremitas yang terluka harus ditinggikan. Perdarahan pada arteri coba diatasi dengan
melakukan kompresi dengan jari. Bila perdarahan tidak berhenti, tekan arteri bagian
proksimal dengan jari. Setelah itu kompres bagian proksimal arteri yang terluka tersebut
dengan knevel verband. Dengan cara ini, luka harus sering-sering dibuka, sekitar setiap 5-15
menit. Bila lebih dari dua jam, dapat terjadi nekrosis atau iskemia kontraktur.
1
Bila terdapat luka yang kotor dan terlihat jelas bahwa lukanya terkontaminasi, maka
dapat diindikasikan balutan yang mengandung antiseptik. Povidone iodine dan klorheksidin
mempunyai aktivitas dengan spectrum yang luas. Penggunaan povidone iodine sangat
berguna untuk pengobatan luka luka yang terinfeksi.
1
Untuk luka yang memerlukan tindakan pembedahan, maka harus dilakukan beberapa
hal, antara lain persiapan luka, anestesi lokal, pembersihan luka dan sekitarnya, kemudian
penutupan luka.Yang dilakukan dalam persiapan luka antara lain mencuci luka dengan
larutan fisiologis atau dengan akuades. Jangan menggunakan bahan yang merangsang seperti
alkohol, karena akan merangsang rasa nyeri pada pasien. Pembersihan dilakukan seperlunya
saja.

Selanjutnya suntikkan zat anestesi lokal di sekitar luka. Penyuntikan dilakukan pada
kulit di luar atau sekitar luka pada luka kotor, atau di dalam luka pada luka bersih. Setelah
dianestesi, maka penderita tidak akan merasa kesakitan sewaktu dimanipulasi.
1
Setelah dilakukan anestesi lokal pada luka, kemudian tutup luka dengan kasa steril.
Cukur rambut di sekitar luka, dan cuci sekitar luka dengan antiseptik. Kemudian lakukan
debridement, buang jaringan nekrotik dan benda asing yang diketemukan. Usahakan agar tepi
luka menjadi rata dan tajam, bila belum dapat diratakan dengan gunting atau dengan pisau.
Semprot luka dengan perhidrol sehingga semua kotoran keluar. Bila perlu gosok luka dengan
kasa sambil disiram perhidrol. Kemudian bilas luka dengan larutan fisiologis atau akuadest.
1
Siram luka sekali lagi dengan povidone iodine, kemudian beri pembalut steril di
sekeliling luka. Setelah itu dapat dilakukan penjahitan primer. Pada proses penjahitan, jangan
sampai terjadi penegangan kulit karena dapat menyebabkan nekrosis. Pada luka yang lebih
dari 6-8 jam dianggap luka kotor. Pada luka ini dapat dilakukan jahitan sementara / situasi
dan drain. Jahitan ini sewaktu-waktu dapat dibuka, terutama bila terjadi pernanahan untuk
memberi jalan keluar bagi sekret. Bila sekret tirak terbentuk lagi, maka drain dapat dicabut.
Bila masih ada sekret, drain diganti setiap 2-3 hari sekali.
1
Pada umumnya perawatan dan pengobatan luka gigitan serupa dengan trauma lain
yang sebanding berasal dari sumber yang tercemar. Luka harus dibersihkan dengan seksama
dan jaringan mati dibuang dengan melakukan debridemen. Campuran amonia kuartener,
misalnya benzalkonium klorida (Zephiran) 1:1000, dapat digunakan pada dugaan terpapar
rabies.
6
Penutupan primer luka kotor akan menimbulkan infeksi ,terutama yang disebabkan
oleh gigitan manusia, anjing atau kucing. Luka tusuk dalam atau luka-luka gilas (crush
injuries) yang tidak dapat dibersihkan secara memadai dan didebridemen, harus dibiarkan
tanpa dijahit. Banyak ahli bedah menganjurkan agar semua luka gigitan manusia dibiarkan
tanpa dijahit, mengingat besarnya kemungkinan timbulnya infeksi lokal. Pencegahan
terhadap tetanus harus diberikan pada luka gigitan. Imunisasi profilaksis terhadap rabies
segera dilakukan, jika binatang penggigit diduga dan diketahui terinfeksi.
6
Terapi Medika Mentosa
Karena luka gigitan dianggap telah tercemar bakteri, maka dapat diberikan
pengobatan antibiotika pencegahan, setelah dilakukan sejumlah biakan bila terjadi luka lebih
dalam dari permukaan kulit. Pemilihan antibiotik yang tepat diperlukan untuk mencegah
infeksi yang disebabkan bakteri tersebut. Kombinasi amoxicillin dengan clavulanate
merupakan kombinasi antibiotik pilihan pertama dalam menangani gigitan. Alternatifnya
antara lain cephalosporine generasi ke-2, atau kombinasi antara penisilin dan cephalosporin
generasi pertama. Pasien dengan alergi penisilin dapat digantikan dengan kombinasi
clindamycin dengan ciprofloxacin. Pada ibu hamil atau anak-anak dapat digunakan
kombinasi trimethoprim dengan sulfametoxazol. Pada pasien dengan infeksi yang serius
membutuhkan perawatan di rumah sakit dan juga antibiotik parenteral seperti ampicillin-
sulbactam, cefoxitin, ticarcillin-clavulanate, ataupun kombinasi clindamycin-
fluoroquinolone.
6
Pencegahan
Vaksinasi
Vaksinasi tetanus bertujuan untuk mencegah kerusakan saraf. Vaksin tetanus
diberikan pada (1) bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun, (2) ibu hamil, (3) semua orang
dewasa. Vaksin tetanus memiliki berbagai kemasan seperti preparat tunggal (TT), kombinasi
dengan toksoid difteri dan atau perusis (dT, DT, DTwp,Dtap) dan kombinasi dengan
komponen lain seperi Hib dan hepatitis B.
7

Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari DPT (difteri, pertusis,
tetanus). DPT diberikan satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan, 15-18 bulan, dan terakhir saat masuk sekolah (4-6 tahun). Bagi orang dewasa,
sebaiknya menerima booster dalam bentuk TT (tetanus toksoid) setiap 10 tahun.
7

Untuk mencegah tetanus neonatorum, wanita hamil dengan persalinan berisiko tinggi
paling tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT. Dosis TT kedua sebaiknya diberikan paling
tidak mendapatkan 2 kali dosis vaksin TT. Dosis TT kedua sebaiknya dberikan paling tidak 4
minggu setelah pemberian dosis pertama, dan dosis kedua sebaiknya diberikan paling tidak 2
minggu sebelum persalinan. Untuk ibu hamil yang sebelumnya pernah menerima TT 2x pada
waktu calon pengantin pada kehamilan sebelumnya, maka diberikan booster TT 1 kali saja.
7

Vaksin tetanus tidak boleh diberikan pada orang dengan riwayat reaksi alergi berat
(anafilaksis) pad pemberian sebelumnya, pada orang yang alergi terhadap komponen vaksin,
dan wanita hamil. Pemberian vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami
demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.
7


Imunisasi Aktif dan Imunisasi Pasif
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikan toksoid tetanus dengan tujuan
merangsang tubuh membentuk antibodi. Manfaat imunisasi aktif ini sudah banyak
dibuktikan. Imunisasi pasif diperoleh dengan memberikan serum yang sudah mengandung
antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog (imunoglobulin antitetanus). Berdasarkan
riwaya imunitas dan jenis luka, baru ditentukan pemberiaan antitetanus serum atau toksoid.
8

Ada keraguan untuk memberikan serum antitetanus bersamaan dengan toksoid karena
ditakutkan terjadinya netralisasi toksoid oleh ATS. Ini dapat dicegah dengan memberikannya
secara terpisah pada tempat penyuntikn yang berjauhan, misalnya lengan kanan dan paha kiri.

8

Prognosis
Penyembuhan tetanus terjadi melalui regenerasi sinapsis dalam medula spinasis dan
dengan demikian pengembalian relaksasi otot. Namun, karena episode tetanus tidak
berakibat produksi antibodi penetralisasi toksin, imunisasi aktif dengan tetanus toksoid pada
pemulangan dengan pemberian penyempurnaan seri pertamanya adalah suatu keharusan.
Faktor yang mempengaruhi hasil akhir yang paling penting adalah kualitas perawatan
pendukung. Mortalitas paling tinggi pada anak yang amat muda dan pada orang yang amat
tua. prognosis yang paling baik dihubungkan dengan masa inkubasi yang lama, tanpa demam,
dan dengan penyakit terlokalisasi. Prognosis yang tidak baik dihubungkan dengan antara jejas
dan mulainya trismus seminggu atau kurang dan dengan tiga hari atau kurang antara trimus
dan spasme tetanus menyeluruh. Sekuele jejas otak hipoksik, terutama pada bayi, adalah
serebral palsi, kemampuan mental yang menurun dan kesukaran perilaku . kebanyakan
kematian terjadi dalam seminggu sakit. Angka kematian kasus yang dilaporkan untuk tetanus
menyeluruh berkisar antara 5% dan 35% dan untuk tetanus neonatorum meluas dari <10%
dengan penanganan perawatan intensif sampai >75% tanpa perawatan tersebut. Tetanus
sefalik terutama mempunyai prognosis jelek karena kesukaran pernapasan dan pemberian
makan.
5
Penyembuhan Luka
- Penyembuhan primer
Kordinasi pembentukan parut dan regenerasi paling mudah dilukiskan pada kasus
penyembuhan luka kulit. Jenis penyembuhan yang paling sederhana terlihat pada penanganan
luka oleh tubuh seperti pada insisi pembedahan, dimana pinggir luka dapat saling didekatkan
agar proses penyembuhan dapat terjadi. Segera setelah terjadi luka maka tepi luka
dihubungkan oleh sedikit bekuan darah, yang fibrinnya bekerja seperti lem. Segera setelah
terjadi reaksi peradangan akut pada luka itu, dan sel-sel radang, khususnya makrofag,
memasuki bekuan darah dan mulai menghancurkannya. Dekat reaksi peradangan eksudatif
ini, terjadilah pertumbuhan ke dalam oleh jaringan granulasi ke dalam daerah yang tadinya
ditempati oleh bekuan darah. Dengan demikian maka dalam jangka waktu beberapa hari luka
itu dijembatani oleh jaringan granulasi yang disiapkan agar matang menjadi parut. Sementara
proses ini berjalan, maka epitel permukaaan di bagian tepi mulai melakukan regenerasi, dan
dalam waktu beberapa hari berimigrasi lapisan tipis epitel di atas permukaan luka. Waktu
jaringan parut dibawahnya menjadi matang, epitel ini juga menebal dan matang sehingga
menyerupai kulit di dekatnya. Hasilnya akhirnya adalah terbentuknya kembali permukaan
kulit dan dasar jaringan parut yang tidak nyata atau hanya terlihat sebagai satu garis yang
menebal.

Banyak luka di kulit yang sembuh dengan cara yang sama seperti ini tanpa
perawatan medis. Pada luka lainnya, diperlukan jahitan untuk mendekatkan kedua tepi luka
sampai terjadi penyembuhan. Jahitan dapat dilepas jika sudah terjadi organisasi dan
regenerasi epitel pada saat dimana tepi luka tidak akan membuka lagi jika benang dilepas.
9

- Penyembuhan sekunder (penyembuhan yang disertai granulasi)
Bentuk penyembuhan kedua terjadi jika luka kulit sedemikian rupa sehingga tepinya
tidak dapat saling didekatkan selama proses penyembuhan. Jenis penyembuhan ini secara
kualitatif identik dengan yang penyembuhan primer. Perbedaannya hanya terletak pada
banyaknya jaringan granulasi yang terbentuk, dan biasanya terbentuk jaringan parut yang
lebih besar. Tentu saja, seluruh proses memerlukan waktu lebih lama dari penyembuhan
primer. Pada luka besar yang terbuka itu, sangat sering terlihat jaringan granulasi yang
menutupi dasar luka sebagai sebuah karpet yang lembut, yang mudah berdarah bila disentuh.
Pada keadaan lain, jaringan granulasi tumbuh nyata di bawah keropeng, dan terjadi regenerasi
epitel di bawah keropeng.
9

Akhirnya pada keadaan ini keropeng lalu dibuang setelah penyembuhan sempurna.
Penyembuhan pada setiap jaringan tubuh terjadi dengan proses yang berjalan sejajar dengan
yang digambarkan untuk kulit, dengan variasi-variasi lokal yang bergantung pada
kemampuan jaringan untuk melakukan dan regenerasi.
9

Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri Clostridium tetani. Penyakit
ini ditandai oleh spasme otot yang tidak terkendali akibat kerja neurotoksin kuat, yaitu
tetanospasmin, yang dihasilkan bakteri ini. Tetanus juga dapat menyebabkan berbagai
komplikasi seperti hipoksia, pneumonia dan aspirasi. Pencegahan seperti vaksinasi dan
imunisasi dapat dilakukan untuk mengatasi tetanus.
Salah satu penyebab terjadinya tetanus adalah adanya luka robek ( Vulnus laceratum
) atau trauma jaringan yang kemudian akan terkontaminasi oleh bakteri Clostridium tetani
tersebut. Kerusakan jaringan ini dapat menyediakan lingkungan yang cocok bagi
pertumbuhan bakteri ini dan pengeluaran toksinnya.





Daftar Pustaka
1. Yulianto Arie. Luka terkena benda tajam, hati-hati tetanus. Diunduh dari:
http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2007/07/luka-terkena-benda-tajam-hati-hati-
tetanus. 10 November 2013.
2. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2911-23.
3. Syahrurachman A, Chatim A, Soebandrio AWK, Karuniawati A, Santoso AUS, Harun
BMH. Buku ajar mikrobiologi kedokteran. Edisi revisi. Tangerang: bina rupa aksara
publisher; 2010. h. 152-3.
4. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons
Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw Hill, 2008. p. 1197-
200.
5. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Ed.15. Jakarta : EGC, 2000.h.1004
6. Muliawan Y S. Bakteri anaerob yang erat kaitannya dengan problem di klinik. Jakarta :
EGC, 2008.h.34-55.
7. Cahyono B S B J, Lusi A R, Verawati, dkk. Vaksinasi. Yogyakarta : Kanisius,
2010.h.71-2.
8. Sjamsuhidajat R, J ong D W. Buku ajar ilmu bedah.Ed.2. Jakarta : EGC, 2004.h.24.
9. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC;2006.h.56-75.

Anda mungkin juga menyukai