PENDAHULUAN
1
kualitas hidup pada pasien. Perubahan patologis laring dapat ditemukan dengan
laringoskopi, dan beberapa bahkan dengan esofagoskopi terperinci.4
1.2. Tujuan
1.3. Manfaat
2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Laring
2.1.1. Anatomi Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas yang bagian
atas. Bentuk laring seperti limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih
besar dari bagian bawah. Laring merupakan struktur kompleks yang telah
berevolusi yang menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur
aerodigestif umum. Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis
dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago
aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri
dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotis memanjang dari permukaan
bawah pita suara hingga kartilago krikoid.
Batas atas laring adalah aditus laring, batas bawahnya merupakan bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid, bagian depan laring adalah
permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotis, ligamentum tiroepiglotis,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas
belakang merupakan muskulus aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid
dan batas lateral membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan
arkus kartilago krikoid.5
Laring dibentuk oleh sebuahh tulang di bagian atas dan beberapa tulang
rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan
ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa.
1. Os Hyoid
3
2. Kartilago Epiglotis
3. Kartilago Tiroid
4. Kartilago Krikoid
5. Kartilago aritenoid
Kartilago aritenoid merupakan kartilago kecil yang terdiri dari dua buah
dan berbentuk piramid yang terletak di belakang dari laring pada pinggir atas
lamina kartilago krikoid. Kartilago aritenoid membentuk persendian dengan
kartilgo krikoid disebut artikulasi krikoaritenoid, sehingga dapat terjadi gerakan
meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Masing- masing kartilago aritenoid
4
memiliki apex di bagian atas dan basis di bagian bawahnya. Dimana bagian apex
nya ini akan menyangga dari kartilago coeniculata, sedangkan pada bagian basis
nya bersendi dengan kartilago krikoid. Pada basis nya terdapat dua tonjolan yaitu
prosesus vokalis anterior yang menonjol horizontal ke depan merupakan
perlekatan dari ligamentum vokalis, dan prosesus muskularis lateralis yang
menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan dari otot krikoaritenoideus lateralis
dan posterior. Kartilago aritenoid bertanggung jawab terutama untuk membuka
dan menutupnya laring.
6. Kartilago kornikulata
7. Kartilago kuneiformis
5
5. Ligamentum hiotiroideum lateral,
6. Ligamentum hiotiroideum medial,
7. Ligamentum hioepiglatika,
8. Ligamentum tiroepiglotika,
9. Ligamentum ventrikularis,
10. Ligamentum krikotrakealis,
11. Ligamentum vokalis,
12. Ligamentum Hioepiglotikum
Gambar 2.1 Laring dan ligamentumnya dilihat dari depan (A), lateral (B), belakang (C),
lamina kiri kartilago tiroidea dibuang untuk memperlihatkan bagian dalam laring (D).6
6
Otot- otot laring terbgi menjadi otot ekstrinsik dan otot intrinsik.6
Gambar 2.2 A. Anatomi otot laring dilihat dari belakang. B. potongan coronal melalui
laring. C. Rima glottidis terbuka sebagian seperti pada saat inspirasi lemah. D. Rima
glottidis terbuka lebar seperti pada saat inspirasi dalam. E. otot- otot menggerakkan
ligamentum vokalis.6
7
Otot- otot ini menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya dan
berfungso menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk
membentuk suara dan bernafas. Otot- otot pada kelompok ini berpasangan kecuali
m. aritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembetukan suara, proses menelan dan bernafas. Bila m.
aritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adudksi pita suara. Yang termasuk kelompok otot intrinsik yaitu:
a. Otot- otot adduktor : m. aritenoidus transversus, m. aritenoidus oblik, m.
krikotiroid, m. krikoaritenoideus lateral. Otot- otot ini berfungsi untuk
merapatkan/menggerakkan pita suara ke medial.
b. Otot- otot abduktor : m. krikoaritenoideus posterior (m. postikus) yang
berfungsi untuk menggerakkan pita suara ke lateral.
c. Otot- otot tensor : tensor internus terdiri dari m. tiroaritenoideus dan m.
vokalis dan tensor eksternus terdiri dari m. krikotiroideus. Otot- otot ini
berfungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus
kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara sedikit melengkung ke
ateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.6
D. Cavum Laring
Cavum laring merupakan suatu ruangan yang meluas dari pintu masuk
laring sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid untuk beralih ke dalam lumen
trakea. Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring,
dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Kedua, ventrikulus laringis, yang
dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa
yang membasahi plika vokalis. Ketiga adalah kavum laringis yang berada di
sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.
Urutan bangunan yang ada di kavitas laringis mulai dari atas ke bawah :
Aditus laringis, Vestibulum laringis, Rima vestibuli, Ventrikulus laringis, Rima
glottidis, kavitas infraglottica.
1. Aditus Laringis
8
Merupakan pintu masuk laring yang menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laringofaring. Aditus laringis mempunyai batas-batas:
3. Rima vestibuli
Rima vestibuli adalah celah yang dibentuk oleh kedua plika vestibularis.
4. Ventrikulus laringis
5. Rima Glottidis
Rima glottidis merupakan celah yang dibentuk oleh plika vokalis dextra dan
sinistra. Plika vokalis melekat pada kartilago aritenoid dan pada facies posterior
kartilago Tiroidea, sehingga ada ahli berpendapat plika vocalis 40 % disusun
kartilago aritenoidea dan 60 % disusun tepi atas membrana krikotiroidea. Panjang
plika vokalis menentukan tinggi rendah nada suara manusia, pada pria yang plika
vokalisnya panjang suara lebih rendah (ngebass) sedang pada wanita plika vokalis
pendek sehingga nada suara tinggi.3,6
9
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, menelan, emosi serta
fonasi.6,7
1. Fungsi Proteksi
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda
asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis
secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi otot tiroaritenoid dan otot
aritenoid.selanjutnya otot ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan
rimaglotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan
mendekat karena adduksi otot-otot ekstrinsik.
2. Refleks Batuk
Benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.
Laring membantu proses batuk dengan kontraksi otot- otot adduksi laring
sehingga dengan tekanan yang kuat laring akan mengeluarkan benda asing dan
sekret yang terdapat di paru dengan refleks batuk.
3. Fungsi Respirasi
Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rimaglotis.
Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rimaglotis terbuka (abduksi).
4. Fungsi Menelan
10
5. Fungsi Emosi
6. Fungsi Fonasi
Fonasi adalah produksi suara dari bergetarnya pita suara. Produksi suara,
fungsi pita suara asli (artikulasi, atau membentuk suara ke dalam pidato,
merupakan fungsi dari langit-langit, lidah, bibir, dan mandibula). Fungsi laring
yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila
plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid
ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya, kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan, sehingga plikavokalis akan mengendur. Kontraksi serta mengendurnya
plika vokalis akan menentukan tinggi rendah nya nada.
11
laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mukosa blanket) dan otot.
A. Nasofaring
B. Orofaring
C. Laringofaring (Hipofaring)
12
infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.6
13
2.3. Penyakit Refluks Laringofaring
2.3.1. Epidemiologi
14
Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang
berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF. Diduga RLF berperan pada
patogenesis sejumlah kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik,
karsinoma laring, laryngeal contact ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada
pita suara. Pada anak-anak RLF dihubungkan dengan asma, sinusitis dan otitis
media.8
15
sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya
aktifitas otot polos intrinsik.
Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter
bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat
membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam
meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa
adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter
bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam
menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam
mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan
yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter
bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar
80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh
bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang
mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus,
sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus.
Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR) merupakan
mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR terjadi akibat
adanya penurunan mendadak tekanan sfingter esofagus bagian bawah yang tidak
berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik. Pada saat terjadi
penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi episode refluks
meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme
frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh
mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan
dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR.
Distensi abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang
abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang
menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan
udara di lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang
mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan,
16
ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang hiperosmolar
dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing.
Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah
esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi
sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3)
peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara
(1) dan (2).
Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang
terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum.
Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan
zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai
fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post
epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan
lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana
menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah
dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di apical
dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion
hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks
junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+
sehingga menyebabkan dilatasi dari intercelluler space. Pertahanan pada post
epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3 - didalam
sel dan intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion HCO3-. Ion
Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar tempat di
basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel
cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki
melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon
epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah
terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam.
Di dalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa carbonic
anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel
esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan
17
mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam
lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan
menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang
berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis
karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari
karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang
sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung
sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan
normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik
anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada
keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang
signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel
komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan
komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring,
mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan
meningkat untuk menghindari kerusakan epitel.
Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil
serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama
terhadap terjadinya refluks laringofaring. Tekanan sfingter atas esofagus ini
meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesophageal
infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan
tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal
breathing dan saat melakukan valsava.
Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat deglutisi,
ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan
pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus
yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior. 2,3
18
2.3.4. Patofisiologi
19
2.3.5. Diagnosis
20
mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka
mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini membantu penegakan
diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang dengan keluhan yang tidak
pasti. Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92%
ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditengarai
sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan
tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang
sekresi lambung. Belfasky (2002) menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux
Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR
dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara
serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar
menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat
mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa
asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk
51% dan rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma
laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%. Skor RSI adalah
0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR.1
Tabel 2.1 Reflux Symptom Index (RSI)
0 = tidak,
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita
5 = sanga berat
1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lender tenggorok/ mendehem)
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam
21
Tabel 2.2 Gejala dan Kondisi Laring yang Terkait Refluks Laringofaring
Gejala Kondisi
Disponia kronik Refluks laringitis
Disponia intermiten Stenosis subglottic
Vocal fatigue Karsinoma laring
Perubahan suara Cedera endotrakeal intubasi
Chronic throat clearing Ulkus kontak dan granuloma
Produksi mukus berlebihan ditenggorokan Stenosis glottic posterior
Post nasal drip Fiksasi kartilago arytenoid
Batuk kronik Paroxysmal laryngospasm
Disfagia Paradoxical vocal fold movement
Globus Globus pharyngeus
Obstruksi saluran nafas intermiten Nodul vocal
Obstruksi saluran nafas kronik Degenerasi polypoid
Laryngomalacia
Pachydermia laryngis
Leukoplakia rekuren
Sindrom kematian bayi mendadak
22
Hasil diagnosis
Biopsi esofagus +++++
Abnormal radiografi ++ -
esofagus
Abnormal monitoring Ph +++++
esofagus
Abnormal monitoring Ph - +++
faring
23
Pola refluks
Posisi supinasi +++++
(berbaring)
Posisi berdiri + ++++
Respon pengobatan
Diet dan modifikasi gaya ++ +
hidup
Antagonis histamin 2 +++ ++
Pump proton inhibitor +++++++
B. Pemeriksaan fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura
posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik
dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu
pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti adanya eritema, edema
dan hipertrofi komissura posterior.1,9
24
Gambar 2.5. Granuloma
Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui pemeriksaan
laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai dari nol (tidak
ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS ≥7 dengan tingkat
keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga dapat dengan baik
memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.
Tabel 2.4. Reflux Finding Score
25
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada
26
Gambar 2.7 Obliterasi ventrikel
Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR yang tidak
spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas sumber cahaya,
monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi kadang-kadang sulit
terlihat. Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya
ada pembengkakan ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat jika
ditemukan pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4
(gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita suara.2 Udem laring
yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring dengan ukuran jalan
nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4 (obstruksi). Hipertrofi komissura
posterior gradasi ringan (nilai 1) jika komissura posterior terlihat seperti “kumis”,
nilai 2 (gradasi sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga seperti
membentuk garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat
penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila
terlihat ada obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang mungkin ditemukan
adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi.1,9
C. Pemeriksaan penunjang
27
yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari
tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat
bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat
menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini
sangat mahal dan terbatas.1
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes
yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik
yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan
pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam.
Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis
LPR. Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif
dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid. Monitor pH
24 jam di faringoesofageal pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double
probe pH monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR.
Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak
ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks karena
pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya refluks asam pada
sfingter esofagus atas dengan di bawah sehingga dapat menentukan adanya LPR
atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman
dan dapat ditemukan hasil negatif palsu sekitar 20%. Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup
sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini
hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.
Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan
supresi asam.
Pemeriksaan Endoskopi dengan menggunakan esofagoskop dapat
membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan
sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita
28
temukan gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi
esofagus.1,2,9
Pemeriksaan videostroboskopi, pemeriksaan video laring dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan
pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan lambat. Pemeriksaan
Histopatologik, pada biopsi laring ditemukan gambaran hiperplasia epitel
skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini dapat
berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta penumpukan fibrin, jaringan
granulasi dan fibrotik di daerah submukosa.1,3,4
Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium Pemeriksaan ini dapat
melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di esofagus, hiatus
hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter esofagus bawah.1 kelemahannya
pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks yang intermiten. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada keadaan jika pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis ke arah
GERD, disfungsi esofagus atau diagnosis yang belum pasti.Pemeriksaan
laringoskopi langsung memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan
operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya
serta dapat dilakukan tindakan biopsi.1,3,4
2.3.6. Penatalaksanaan
29
B. Medikamentosa
C. Pembedahan
30
pasti. Sebuah studi baru-baru ini merevisi serangkaian luas pasien yang menjalani
fundoplikasi dan menemukan peningkatan serupa pada pasien dengan temuan
laring dan gejala khas GERD dan mereka yang memiliki gejala khas eksklusif.
Sebaliknya, hasil yang buruk diperoleh untuk pasien dengan gejala laring
eksklusif, tetapi tes pemantauan pH positif untuk refluks, menunjukkan
kemungkinan bahwa penyebab gejala tidak terkait dengan refluks pada banyak
pasien ini. Telah disarankan bahwa Nissen fundoplikasi tidak boleh dilakukan
pada pasien yang resisten terhadap PPI. Selanjutnya, satu studi menunjukkan
bahwa hanya 10% pasien yang merespon terhadap terapi fundoplikasi Nissen
setelah kegagalan terapi PPI, dan tingkat respons ini tidak berbeda dari kelompok
yang terus menggunakan PPI (7%).9
31
instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, segera penderita diberi tes
terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan pola hidup
dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan
umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara perlahan-
lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik,
maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama
kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka
pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal
esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras
barium dapat segera dilakukan.3
2.3.7. Prognosis
Angka keberhasilan dari terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari
salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan
omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat.
Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2
kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.3,4,9
2.3.8. Komplikasi
32
33
BAB III
KESIMPULAN
34
Daftar Pustaka
35