Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit refluks laringofaring mengacu pada reaksi peradangan selaput


lendir faring, laring, dan organ pernapasan terkait lainnya, yang disebabkan oleh
refluks isi lambung ke dalam esofagus. Penyakit ini dianggap sebagai entitas
klinis yang relatif baru dengan sejumlah besar manifestasi klinis yang dirawat
melalui berbagai bidang kedokteran, seringkali tanpa diagnosis yang tepat.1
Refluks laringofaring adalah varian ekstra-esofageal dari GERD yang
ditandai oleh disfonia, globus pharyngeus (sensasi benjolan di tenggorokan), suara
serak, dan batuk kronis. Penyakit ini diperkirakan mencakup 10% dari semua
pasien klinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) dan 50% pasien dengan
keluhan suara. Dalam gastroenterologi masih dianggap sebagai manifestasi GERD
(Gastroesofageal Refluks). Gejala klinis LPR terjadi akibat refluks asam
hidrokhlorik (HCl) dan pepsin yang mencederai mukosa laring faring.2
Prevalensi refluks laringofaring yaitu 15– 20%. Kejadian LPR dilaporkan
teridentifikasi dan terdiagnosis sekitar 10% dari seluruh pasien yang datang
kedokter THT, prevalensi LPR sebesar 15-20 % dan sekitar 50% pasien dengan
suara serak memiliki LPR. Refluks laringofaring memiliki dampak terhadap
kualitas hidup penderita secara fisik, ekonomi, dan sosial.3
Diagnosis LPR dibuat dengan menggunakan Koufman Reflux Symptom
Index (RSI), Reflux Finding Score (RFS) berdasarkan temuan pada fiberoptic
nasopharyngo laryngoscopy, dan persentase waktu paparan asam proksimal
dengan pemantauan dual-probe pH.3 Pengetahuan etiopatogenesis penyakit dan
manifestasi klinisnya dapat membantu dokter dalam membuat program yang tepat
untuk pencegahan, diagnosis dini dan terapi yang memadai untuk penyakit refluks
laringofaring. Refluks laringofaring yang tidak diobati dapat menjadi salah satu
penyebab etiologis kanker laring. Perkembangan penyakit bisa jinak atau ganas
dan mengancam kehidupan, dan semua bentuknya dapat sangat mempengaruhi

1
kualitas hidup pada pasien. Perubahan patologis laring dapat ditemukan dengan
laringoskopi, dan beberapa bahkan dengan esofagoskopi terperinci.4

1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini sebagai berikut.

1. Mengetahui tentang refluks laringofaring.


2. Melakukan diskusi ilmiah mengenai refluks laringofaring
3. Sebagai persyaratan dalam memenuhi Kepanitraan Klinik Senior di KSM
Ilmu Penyakit THT RSUD Dr. Pirngadi Medan.

1.3. Manfaat

Paper ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan


pembaca khusunya yang terlibat dalam bidang medis serta masyarakat secara
umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang refluks laringofairng.

2
2.1. Anatomi dan Fisiologi Laring
2.1.1. Anatomi Laring

Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas yang bagian
atas. Bentuk laring seperti limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih
besar dari bagian bawah.  Laring merupakan struktur kompleks yang telah
berevolusi yang menyatukan trakea dan bronkus dengan faring sebagai jalur
aerodigestif umum. Secara umum, laring dibagi menjadi tiga: supraglotis, glotis
dan subglotis. Supraglotis terdiri dari epiglotis, plika ariepiglotis, kartilago
aritenoid, plika vestibular (pita suara palsu) dan ventrikel laringeal. Glotis terdiri
dari pita suara atau plika vokalis. Daerah subglotis memanjang dari permukaan
bawah pita suara hingga kartilago krikoid.
Batas atas laring adalah aditus laring, batas bawahnya merupakan bidang
yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid, bagian depan laring adalah
permukaan belakang epiglottis, tuberkulum epiglotis, ligamentum tiroepiglotis,
sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan arkus kartilago krikoid. Batas
belakang merupakan muskulus aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid
dan batas lateral membran kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan
arkus kartilago krikoid.5

A. Tulang dan Kartilago

Laring dibentuk oleh sebuahh tulang di bagian atas dan beberapa tulang
rawan yang saling berhubungan satu sama lain dan diikat oleh otot intrinsik dan
ekstrinsik serta dilapisi oleh mukosa.

1. Os Hyoid

Os hyoid merupakan tulang yang berbentuk seperti huruf U. Terletak di


antara laring dan mandibula. Hioid berfungsi sebagai tempat melekatnya beberapa
otot mulut dan lidah. Jumlah tulang hyoid hanya 1 pada setiap manusia.

3
2. Kartilago Epiglotis

Epiglotis atau kartilago epiglotis adalah katub kartilago elastis yang


merupakan lipatan tulang rawan berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang
dasar lidah yang melekat pada tepian anterior kartilago tiroid. Epiglotis adalah
tulang rawan yang berfungsi sebagai katup pada pita suara (laring) dan tabung
udara (trakea), yang akan menutup selama proses menelan berlangsung. Pada saat
menelan, epiglotis secara otomatis menutupi mulut laring yaitu menutup dan
mengangkat jakun keatas untuk mencegah masuknya makanan dan cairan,
sehingga tidak mengganggu pernapasan kita karena masuknya makanan atau
cairan tersebut. Epiglotis akan terus terbuka ketika kita bernapas.

3. Kartilago Tiroid

Kartilago tiroid dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamentum


krikotyroid, merupakan tulang rawan laring yang terbesar, terdiri dari dua lamina
yang bersatu di bagian depan dan mengembang ke arah belakang. Kartilago tiroid
terletak di bagian proksimal kelenjar tiroid, biasanya di sebut dengan jakun.
Kartilago hyaline yang bertemu di linea mediana anterior menjadi sebuah tonjolan
sudut V yang disebut dengan Adam’s apple/ commum adamum/prominentia
piriformis (jakun).

4. Kartilago Krikoid

Merupakan kartilago yang berbentuk cincin utuh, terletak di belakang


kartilago tiroid dan merupakan tulang rawan paling bawah dari laring. Kartilago
ini mempunyai arkus anterior yang sempit dan lamina posterior yang lebar.

5. Kartilago aritenoid

Kartilago aritenoid merupakan kartilago kecil yang terdiri dari dua buah
dan berbentuk piramid yang terletak di belakang dari laring pada pinggir atas
lamina kartilago krikoid. Kartilago aritenoid membentuk persendian dengan
kartilgo krikoid disebut artikulasi krikoaritenoid, sehingga dapat terjadi gerakan
meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Masing- masing kartilago aritenoid

4
memiliki apex di bagian atas dan basis di bagian bawahnya. Dimana bagian apex
nya ini akan menyangga dari kartilago coeniculata, sedangkan pada bagian basis
nya bersendi dengan kartilago krikoid. Pada basis nya terdapat dua tonjolan yaitu
prosesus vokalis anterior yang menonjol horizontal ke depan merupakan
perlekatan dari ligamentum vokalis, dan prosesus muskularis lateralis yang
menonjol ke lateral dan merupakan perlekatan dari otot krikoaritenoideus lateralis
dan posterior. Kartilago aritenoid bertanggung jawab terutama untuk membuka
dan menutupnya laring.

6. Kartilago kornikulata

Kartilago kornikulata melekat pada bagian ujung kartilago aritenoid dan


kartilago ini berjumlah dua buah (sepasang). Dua buah kartilago ini bersendi
dengan apeks kartilago aritenoidea dan merupakan tempat lekat plika ariepiglotika
sehingga menyebabkan pinggir atas plika ariepiglotika dextra dan sinistra agak
meninggi.

7. Kartilago kuneiformis

Merupakan kartilago kecil yang berjumlah sepasang dan berbentuk batang


yang terdapat di dalam plika ariepiglotika yang berfungsi untuk menyokong plika
tersebut. Kartilago ini berlokasi di lateral dan superior dari kartilago kornikulata
yaitu di dalam plika ariepiglotika dan merupakan potongan memanjang dari
kartilago elastis kecil berwarna kuning.6

B. Ligamentum dan Membran

Ligamentum merupakan jaringan ikat yang keras yang mengikat tulang


yang satu dengan tulang yang lain pada persedian. Ligamentum yang membentuk
susunan laring adalah:

1. Ligamentum seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior),


2. Ligamentum krikotiroid medial
3. Ligamentum krikotiroid posterior,
4. Ligamentum kornikulofaringal,

5
5. Ligamentum hiotiroideum lateral,
6. Ligamentum hiotiroideum medial,
7. Ligamentum hioepiglatika,
8. Ligamentum tiroepiglotika,
9. Ligamentum ventrikularis,
10. Ligamentum krikotrakealis,
11. Ligamentum vokalis,
12. Ligamentum Hioepiglotikum

Gambar 2.1 Laring dan ligamentumnya dilihat dari depan (A), lateral (B), belakang (C),
lamina kiri kartilago tiroidea dibuang untuk memperlihatkan bagian dalam laring (D).6

C. Otot- Otot Laring

6
Otot- otot laring terbgi menjadi otot ekstrinsik dan otot intrinsik.6

1. Otot- otot ekstrinsik


a. Otot- otot suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, yaitu: m.
stylohyoideus, m. mylohyoideus, m. genyohyoideus, m. digastricus, m.
genyoglosus, m. hyoglosus.
b. Otot- otot infragyoideus berfungsi menarik laring ke atas, yaitu : m.
omohyoideus, m. sternocleidomastoideus, m. tirohioideus.

Gambar 2.2 A. Anatomi otot laring dilihat dari belakang. B. potongan coronal melalui
laring. C. Rima glottidis terbuka sebagian seperti pada saat inspirasi lemah. D. Rima
glottidis terbuka lebar seperti pada saat inspirasi dalam. E. otot- otot menggerakkan
ligamentum vokalis.6

2. Otot- otot intrinsik

7
Otot- otot ini menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya dan
berfungso menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk
membentuk suara dan bernafas. Otot- otot pada kelompok ini berpasangan kecuali
m. aritenoideus yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini
dalam proses pembetukan suara, proses menelan dan bernafas. Bila m.
aritenoideus berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga
menyebabkan adudksi pita suara. Yang termasuk kelompok otot intrinsik yaitu:
a. Otot- otot adduktor : m. aritenoidus transversus, m. aritenoidus oblik, m.
krikotiroid, m. krikoaritenoideus lateral. Otot- otot ini berfungsi untuk
merapatkan/menggerakkan pita suara ke medial.
b. Otot- otot abduktor : m. krikoaritenoideus posterior (m. postikus) yang
berfungsi untuk menggerakkan pita suara ke lateral.
c. Otot- otot tensor : tensor internus terdiri dari m. tiroaritenoideus dan m.
vokalis dan tensor eksternus terdiri dari m. krikotiroideus. Otot- otot ini
berfungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor internus
kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara sedikit melengkung ke
ateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.6
D. Cavum Laring

Cavum laring merupakan suatu ruangan yang meluas dari pintu masuk
laring sampai setinggi tepi bawah kartilago krikoid untuk beralih ke dalam lumen
trakea. Rongga di dalam laring dibagi menjadi tiga yaitu, vestibulum laring,
dibatasi oleh aditus laringis dan rima vestibuli. Kedua, ventrikulus laringis, yang
dibatasi oleh rima vestibuli dan rima glotidis. Di dalamnya berisi kelenjar mukosa
yang membasahi plika vokalis. Ketiga adalah kavum laringis yang berada di
sebelah ckudal dari plika vokalis dan melanjutkan diri menjadi kavum trakealis.
Urutan bangunan yang ada di kavitas laringis mulai dari atas ke bawah :
Aditus laringis, Vestibulum laringis, Rima vestibuli, Ventrikulus laringis, Rima
glottidis, kavitas infraglottica.

1. Aditus Laringis

8
Merupakan pintu masuk laring yang menghadap ke dorsocranial dan
menghadap ke laringofaring. Aditus laringis mempunyai batas-batas:

a. Ventral : pinggir atas epiglottis


b. Lateral : plika ariepiglotika.
c. Dorsokaudal : membran mukosa antar kartilago aritenoidea.
2. Vestibulum Laringis

Vestibulum laringis merupakan kavitas laringis yang terletak dibawah aditus


laringis sampai tepat diatas plika vestibularis (pita suara palsu).

3. Rima vestibuli

Rima vestibuli adalah celah yang dibentuk oleh kedua plika vestibularis.

4. Ventrikulus laringis

Ventrikulus laringis terletak dibawah rima vestibuli dan diatas rima


glottidis. Ventrikulus bagian anterior dan lateralnya meluas ke ats sebagai kantong
buntu yangmensekresi lendir untuk lubrikasi plika vokalis. Kantong buntu ini
disebut Sakulus laringis.

5. Rima Glottidis

Rima glottidis merupakan celah yang dibentuk oleh plika vokalis dextra dan
sinistra. Plika vokalis melekat pada kartilago aritenoid dan pada facies posterior
kartilago Tiroidea, sehingga ada ahli berpendapat plika vocalis 40 % disusun
kartilago aritenoidea dan 60 % disusun tepi atas membrana krikotiroidea. Panjang
plika vokalis menentukan tinggi rendah nada suara manusia, pada pria yang plika
vokalisnya panjang suara lebih rendah (ngebass) sedang pada wanita plika vokalis
pendek sehingga nada suara tinggi.3,6

2.1.2. Fisiologi Laring

9
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, menelan, emosi serta
fonasi.6,7

1. Fungsi Proteksi

Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda
asing masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis
secara bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan
laring ke atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago
aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi otot tiroaritenoid dan otot
aritenoid.selanjutnya otot ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter. Penutupan
rimaglotis terjadi karena adduksi plika vokalis. Kartilago aritenoid kiri dan kanan
mendekat karena adduksi otot-otot ekstrinsik.

2. Refleks Batuk

Benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan keluar.
Laring membantu proses batuk dengan kontraksi otot- otot adduksi laring
sehingga dengan tekanan yang kuat laring akan mengeluarkan benda asing dan
sekret yang terdapat di paru dengan refleks batuk.

3. Fungsi Respirasi

Fungsi respirasi dari laring ialah dengan mengatur besar kecilnya rimaglotis.
Bila m.krikoaritenoid posterior berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis
kartilago aritenoid bergerak ke lateral, sehingga rimaglotis terbuka (abduksi).

4. Fungsi Menelan

Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,


yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas, menutup aditus laringis dan
mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke
dalam laring.

10
5. Fungsi Emosi

Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi seperti


berteriak , mengeluh, menangis dan lain- lain.

6. Fungsi Fonasi

Fonasi adalah produksi suara dari bergetarnya pita suara. Produksi suara,
fungsi pita suara asli (artikulasi, atau membentuk suara ke dalam pidato,
merupakan fungsi dari langit-langit, lidah, bibir, dan mandibula). Fungsi laring
yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta menentukan tinggi
rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh peregangan plika vokalis. Bila
plika vokalis dalam aduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan kartilago tiroid
ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilago aritenoid. Pada saat yang bersamaan
m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid ke
belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan yang efektif untuk berkontraksi.
Sebaliknya, kontraksi m.krikoaritenoid akan mendorong kartilago aritenoid ke
depan, sehingga plikavokalis akan mengendur. Kontraksi serta mengendurnya
plika vokalis akan menentukan tinggi rendah nya nada.

2.2. Anatomi Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,


yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian
anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian
ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk
oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan
sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan

11
laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir
(mukosa blanket) dan otot.

A. Nasofaring

Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah


adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta
berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan
limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fosa
Rosenmuller, kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional
hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n.
glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial dan v.jugularis interna,
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.

B. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum


mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga
orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus
faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

C. Laringofaring (Hipofaring)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas


anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah
vertebra servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula.
Bagian ini merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum
glosoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.
Valekula disebut juga “kantong pil” (pill pockets) sebab pada beberapa orang,
kadang – kadang bila menelan pil akan tersangkut di situ. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini berbentuk omega dan pada
perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang – kadang bentuk

12
infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam perkembangannya,
epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis berfungsi juga
untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat
bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esophagus.6

Gambar 2.3 Anatomi Faring Bagian Posterior.

13
2.3. Penyakit Refluks Laringofaring

Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring,


trakea dan bronkus yang menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus
aerodigestif atas yang menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran napas
bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru.
Istilah refluks laringofaring pertama kali dipublikasikan oleh majalah
Otolaryngology pada tahun 1968 oleh Cherry dan Marguilles yang dikutip oleh
Alberto (2008), mereka menemukan adanya ulserasi dan jaringan granulasi pada
laring akibat adanya paparan cairan asam lambung. Refluks laringofaring disebut
juga extraesophageal reflux, supraesophageal reflux, gastroesophagopharyngeal
reflux, reflux laryngitis, silent reflux, atypical reflux disease.1,2
Refluks laringofaring terjadi ketika perbedaan tekanan antara tekanan positif
intraabdominal dan tekanan negatif pada thoraks maupun laringofaring. Refluks
fisiologis gastroesofageal terjadi secara predominan karena adanya Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR). TLESR dirangsang oleh
distensi lambung, terutama pada masa postprandial dan diaktivasi oleh stretch
reseptor pada dinding lambung. Lengkung refleks terdiri dari impuls yang
dimediasi oleh nervus vagus ke nukleus traktus solitarius pada batang otak, eferen
vagal ke sfingter bawah esofagus dan non cholinergic, non nitergic inhibitory
interneuron yang merelaksasi sfingter. Relaksasi ini untuk membebaskan udara
yang tertelan dengan sendawa. Hal ini terjadi secara independen dari proses
menelan, sekitar 5-30 detik, dan sering setelah kontraksi dari sfingter bawah
esofagus. Refluks ke daerah laringofaring terjadi pada postprandial dan posisi
upright.1

2.3.1. Epidemiologi

Prevalensi refluks laringofaring yaitu 15– 20%. Kejadian LPR dilaporkan


teridentifikasi dan terdiagnosis sekitar 10% dari seluruh pasien yang datang
kedokter THT, prevalensi LPR sebesar 15-20 % dan sekitar 50% pasien dengan
suara serak memiliki LPR. Refluks laringofaring memiliki dampak terhadap
kualitas hidup penderita secara fisik, ekonomi, dan sosial.3

14
Diperkirakan lebih dari 50% pasien dengan gangguan suara yang datang
berobat ke dokter THT diakibatkan oleh RLF. Diduga RLF berperan pada
patogenesis sejumlah kelainan pada laring, termasuk stenosis subglotik,
karsinoma laring, laryngeal contact ulcers, laringospasme, dan vokal nodul pada
pita suara. Pada anak-anak RLF dihubungkan dengan asma, sinusitis dan otitis
media.8

2.3.2. Komponen Refluks

Komponen refluks yang berperan menyebabkan kelainan patologi di daerah


laring adalah asam, pepsin, asam empedu dan tripsin. Pepsin dengan asam telah
diketahui menjadi komponen yang paling berbahaya yang berhubungan erat
dengan kejadian lesi di daerah laring. Pada percobaan pada hewan secara in vitro
menunjukkan pepsin menjadi aktif dan menyebabkan trauma pada sel-sel laring
sampai pH 6.1
Refluks dapat berbentuk gas, cair, atau campuran gas dan cairan. Mayoritas
dari refluks laringofaring berbentuk gas, tanpa penurunan pH dan sama pada
orang normal dan pasien laringitis. Refluks yang berbentuk campuran gas dan
cairan serta refluks yang berbentuk gas dengan penurunan pH yang signifikan
lebih sering pada penderita penyakit refluks laringofaring.1

2.3.3. Mekanisme Proteksi

Terdapat 4 barrier fisiologis sebagai proteksi dari refluks yaitu sfingter


bawah esofagus, acid clearance melalui fungsi motorik esofagus dan gaya
gravitasi, resistensi mukosa esofagus serta sfingter atas esofagus.3
Sfingter bawah esofagus merupakan daerah yang terlokalisasi dengan baik
antara esophageal body dan lambung, mempunyai 2 fungsi yaitu memasukkan
bolus makanan ke dalam lambung dengan cara relaksasi serta mencegah
kembalinya isi lambung ke esofagus. Pada saat menelan, sfingter bawah esofagus
mengalami relaksasi sebagai respon cepat dari sistem saraf pusat. Tekanan
sfingter bawah esofagus diatur oleh otot polos, saraf dan hormon. Kemampuan

15
sfingter bawah esofagus untuk menutup secara primer disebabkan karena adanya
aktifitas otot polos intrinsik.
Persyarafan otonomik esofagus dalam mempertahankan tekanan sfingter
bawah esofagus masih menjadi kontroversi, walaupun peneliti lain dapat
membuktikan adanya neurotransmiter alfa adrenergik dan beta bloker dalam
meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus, sedangkan blokade alfa
adrenergik dan stimulasi beta adrenergik akan menurunkan tekanan sfingter
bawah esofagus. Hingga saat ini nervus vagus dipercaya berperan dalam
menyebabkan relaksasi sfingter bawah esofagus. Peranan hormon dalam
mempertahankan tekanan sfingter bawah esofagus masih menjadi perdebatan
yang menarik. Gastrin diduga berperan dalam menyebabkan kontraksi sfingter
bawah esofagus, sedangkan antiserum gastrin menyebabkan penurunan sebesar
80% pada tekanan sfingter basal. Tekanan sfingter basal dapat dipengaruhi oleh
bahan makanan yang masuk. Pengasaman lambung dan makanan yang
mengandung protein akan meningkatkan tekanan sfingter bawah esofagus,
sedangkan makanan berlemak akan menurunkan tekanan sfingter bawah esofagus.
Transient Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESR) merupakan
mekanisme primer yang menyebabkan terjadinya refluks. TLESR terjadi akibat
adanya penurunan mendadak tekanan sfingter esofagus bagian bawah yang tidak
berhubungan dengan proses menelan atau peristaltik. Pada saat terjadi
penambahan tekanan intra abdomen yang normal, frekuensi episode refluks
meningkat karena insufisiensi tonus sfingter bawah esofagus oleh mekanisme
frekuensi relaksasi yang abnormal. Refleks vasovagal disusun oleh
mekanoreseptor aferen dibagian proksimal lambung dengan pusat pengaturan
dibatang otak dan eferen di sfingter bawah esofagus yang mengatur TLESR.
Distensi abdomen (post prandial atau karena pengosongan lambung yang
abnormal atau pada saat menelan udara) merupakan stimulus TLESR. Posisi yang
menyebabkan letak gastrooesophageal junction di bawah permukaan batas air dan
udara di lambung juga diduga menyebabkan terjadinya refluks. Faktor lain yang
mempengaruhi dinamika tekanan dan volume lambung adalah gerakan,

16
ketegangan, obesitas, volume yang berlebihan atau makanan yang hiperosmolar
dan peningkatan usaha pernafasan saat batuk maupun wheezing.
Episode refluks berhubungan dengan 3 kelompok kelainan sfingter bawah
esofagus, yaitu : (1) tekanan sfingter bawah esofagus yang rendah, (2) relaksasi
sfingter yang tidak adekuat saat menelan maupun tidak menelan dan (3)
peningkatan sementara tekanan intraabdomen di lambung atau kombinasi antara
(1) dan (2).
Mukosa esofagus merupakan epitel squamous stratified keratinized yang
terdiri dari 3 lapisan yaitu stratum corneum, spinosum dan germinativum.
Mekanisme pertahanan utama esofagus terhadap refluks asam adalah pembersihan
zat asam intraluminal dan resistensi jaringan. Resistensi jaringan esofagus sebagai
fungsi pertahanan mempunyai 3 bagian yang terdiri dari pre epitel, epitel dan post
epitel. Pre epitel berfungsi sebagai pertahanan di permukaan berupa mukus dan
lapisan cairan yang terdiri dari ion bikarbonat yang berfungsi membuat suasana
menjadi basa. Lapisan pertahanan pre epitel esofagus relatif lebih lemah
dibandingkan pada lambung maupun duodenum. Lapisan epitel berada di apical
dari membran dan kompleks junction. Berfungsi untuk mendistribusikan ion
hidrogen dari lumen ke intercelluler space. Pada keadaan esofagitis, kompleks
junction akan mengalami kerusakan, saat itulah terjadi peningkatan ion H+
sehingga menyebabkan dilatasi dari intercelluler space. Pertahanan pada post
epitel berupa asam yang berfungsi sebagai buffer terhadap efek HCO3 - didalam
sel dan intercelluler space. Suplai darah berfungsi mengangkut ion HCO3-. Ion
Na+ yang berikatan dengan Cl- atau ion HCO3- akan bertukar tempat di
basolateral dari sel membran skuamous melalui pembuluh darah keluar ke sel
cytosol. Stratum germinativum yang mengalami kerusakan akan diperbaiki
melalui 2 macam proses yaitu restitution dan replication dibantu oleh hormon
epidermal growth factor, yang akan aktif dalam jangka waktu 30 menit setelah
terjadi kerusakan akibat paparan refluks asam.
Di dalam esofagus, katalisasi dari hidrasi karbondioksida berupa carbonic
anhidrase akan menghasilkan ion bikarbonat yang berada di intra dan ekstrasel
esofagus sebagai bentuk mekanisme pertahanan, kemudian esofagus akan

17
mengaktifkan pompa ion bikarbonat ke ruang ekstra sel untuk menetralisir asam
lambung. Akibat adanya peningkatan pH, maka karbonik anhidrase akan
menurunkan aktifitas kerja pepsin. Terdapat 11 jenis katalisator isoenzym yang
berbeda cara kerja, kerentanan dan letak maupun lokasi di jarigan serta 4 jenis
karbonik anhidrase yang terekspresi didalam epitel esofagus. Ekspresi dari
karbonik anhidrase secara fisiologis sangat penting, sebab akan merangsang
sekresi dari ion bikarbonat untuk meningkatkan pH refluks dari asam lambung
sebesar 2,5 poin mendekati nilai normal. Sekresi ion bikarbonat pada keadaan
normal tidak ditemukan pada epitel laring, oleh karena ekspresi karbonik
anhidrase III dengan kadar tinggi tidak didapat pada epitel laring, namun pada
keadaan refluks laringofaring terjadi penghapusan karbonik anhidrase yang
signifikan di epitel korda vokalis akibat peningkatan karbonik anhidrase di epitel
komisura posterior. Hal ini disebabkan oleh karena epitel korda vokalis dan
komisura posterior berbeda sehingga saat terjadi refluks asam lambung ke laring,
mekanisme pertahanan karbonik anhidrase pada komisura posterior yang akan
meningkat untuk menghindari kerusakan epitel.
Sfingter atas esofagus berasal dari muskulus krikofaring dan sebagian kecil
serabut muskulus sirkular esofagus bagian distal merupakan pertahanan utama
terhadap terjadinya refluks laringofaring. Tekanan sfingter atas esofagus ini
meningkat bila terjadi stimulasi faring, distensi esofagus dan intraesophageal
infusion melalui jalur vagal eferen. Keadaan lain yang dapat meningkatkan
tekanan sfingter atas esofagus yaitu saat melakukan inspirasi, glossopharyngeal
breathing dan saat melakukan valsava.
Relaksasi dan pembukaan sfingter atas esofagus dapat terjadi saat deglutisi,
ruminasi, regurgitasi dan cegukan, hal ini disebabkan akibat terjadinya hambatan
pada lower motor neuron di batang otak yang mempersarafi sfingter atas esofagus
yang dibantu oleh posisi elevasi laring kearah anterosuperior. 2,3

18
2.3.4. Patofisiologi

Patofisiologi refluks laringofaring terjadi karena rusaknya sistem pertahanan


fisiologis yang dapat mencegah masuknya cairan asam lambung ke dalam saluran
pernafasan atas yaitu sfingter bawah esofagus, fungsi motorik dari mukosa
esofagus, resistensi mukosa esofagus dan sfingter atas esophagus.3
Terdapat dua teori yang mendominasi bagaimana asam lambung dapat
memprovokasi gejala dan tanda klinis kelainan ekstraesofageal. Yang pertama
karena trauma langsung asam-pepsin ke laring dan jaringan sekitarnya. Yang
kedua adalah asam di distal esofagus menstimulasi refleks yang dimediasi nervus
vagus sehingga terjadi bronkokonstriksi yang mengakibatkan berdehem (chronic
throat clearing) dan batuk, yang memprovokasi lesi mukosa. Pada kenyataannya,
dua hal ini mungkin saling berhubungan. Gejala timbul karena trauma mukosa
langsung atau kerusakan dari silia, mengakibatkan stasis mukus dan berdehem
(chronic throat clearing) dan batuk.1
Tingkat keasaman juga mempengaruhi dimana pH 0-4 yang paling
berbahaya. Episode refluks asam yang lemah (pH 4-7) tidak dideteksi pada cut off
limit pH 4 pada monitoring pH 24 jam, mungkin melewati esofagus tanpa gejala
dan tanda klinis tapi dapat mengiritasi mukosa laring yang sensitif. Epitel
respiratori bersilia yang terdapat di laring lebih sensitif terhadap asam, pepsin
yang teraktivasi dan garam empedu dari pada mukosa esophagus.1
Waktu dan frekuensi dari paparan asam yang menyebabkan penyakit refluks
laringofaring masih diperdebatkan. Koufman et al (2002) menyatakan satu kali
refluks sudah cukup menyebabkan gangguan. Hal ini berdasarkan penelitian pada
hewan dimana 3 kali refluks asam dan pepsin selama 1 minggu sudah dapat
menyebabkan kerusakan mukosa laring.1,2

19
2.3.5. Diagnosis

Walaupun silent reflux lebih sulit di diagnosa daripada GERD. Diagnosa


dapat ditegakkan berdasarkan kombinasi antara anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.Silent reflux dapat ditegakkan berdasarkaan gejala klinis
melalui Reflux Symptoms Index (Tabel 2.1) dan pemeriksaan Laring melalui
Reflux Finding Score (Tabel 2.4). Akan tetapi pemeriksaan penunjang sering
digunakan untuk menegakkan diagnosis.9
A. Anamnesis
Gejala refluks laringofaring sedikit berbeda dengan gejala klasik GERD
yang sering ditemukan pada pasien gastroenterologik seperti rasa terbakar pada
dada (heart burn), regurgitasi, dan esophangitis. Pada pasien dengan reflusk
laringofaring sering ditemukan suara serak (hoarseness), globus pharyngeus
(sensasi seperti ada benjolan di tenggorok), disfagia, batuk dan chronic throat
clearing. Gastroenterologis menggolongkan pasien yang tidak memilki gejala
gastrointestinal sebagai atypical refluxers.2,9
Hal yang penting ditanyakan apakah ada perubahan suara terutama
perubahan suara yang intermitten di siang hari. Jika ada keluhan ini perlu ada
kecurigaan akan LPR. Gejala lain yang sering dikeluhkan pasien adalah rasa
seperti tersangkut di tenggorok (Globus sensation), mendehem (throat clearing),
batuk dan suara serak. Gejala lain seperti nyeri tenggorok, penumpukan dahak di
tenggorok, obstruksi jalan nafas intermiten, post nasal drip, wheezing, halitosis
dan disfagia dapat timbul. Suara serak merupakan gejala utama pada LPR yang
paling nyata dan utama.Gejala-gejala yang tidak spesifik lain dapat disebabkan
kondisi lain seperti keeadaan alergi dan kebiasaan merokok.1
Gerakan paradoks pita suara dan spasme laring juga dapat dikarenakan LPR
sehingga perlu ditanyakan apakah pasien mempunyai masalah pernafasan dan
perubahan suara. Asma dan sinusitis dapat merupakan gejala lain LPR. Refluks
sering dianggap sebagai faktor yang dapat mencetuskan asma. Pada pasien yang
asam lambungnya dapat ditekan terlihat ada perbaikan fungsi paru dan perbaikan
keluhan pada kasus asma 78%. Gejala-gejala esofagus yang dapat ditemui pada
pasien LPR seperti rasa seperti terbakar di dada 37 % dan regurgitasi 3%. Riwayat

20
mengkonsumsi obat gastritis seperti antasida perlu ditanyakan serta riwayat suka
mengkonsumsi makanan pedas. Pertanyaan seperti ini membantu penegakan
diagnosis penyakit refluk karena pasien sering datang dengan keluhan yang tidak
pasti. Pola hidup seperti kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol, 92%
ditemukan pada pasien dengan penyakit refluks. Rokok dan alkohol ditengarai
sebagai salah satu penyebab penurunan tekanan esofagus bawah, kelemahan
tahanan mukosa, memanjangnya waktu pengosongan lambung dan merangsang
sekresi lambung. Belfasky (2002) menyatakan ada 9 gejala refluks (Reflux
Symptom Index/RSI) yang dapat digunakan untuk menentukan adanya gejala LPR
dan derajat sebelum dan sesudah terapi. Gejala yang sering muncul seperti suara
serak, mendehem, penumpukan dahak di tenggorok atau post nasal drip, sukar
menelan, batuk setelah makan, sulit bernafas atau tersedak, batuk yang sangat
mengganggu, rasa mengganjal dan rasa panas di tenggorok, nyeri dada atau rasa
asam naik ke tenggorok. Gejala tersering pada LPR adalah suara serak 71%, batuk
51% dan rasa mengganjal di tenggorok (globus faringeus) 47%. Pasien karsinoma
laring ditemukan riwayat LPR 58% dan stenosis subglotik 56%. Skor RSI adalah
0-45 dengan skor ≥ 13 curiga LPR.1
Tabel 2.1 Reflux Symptom Index (RSI)

0 = tidak,
Dalam 1 bulan terakhir, apakah kamu menderita
5 = sanga berat
1 Suara serak/ problem suara 0 1 2 3 4 5
2 Clearing your throat (sering mengeluarkan 0 1 2 3 4 5
lender tenggorok/ mendehem)
3 Mukus berlebih / PND (Post Nasal Drip) 0 1 2 3 4 5
4 Kesukaran menelan 0 1 2 3 4 5
5 Batuk setelah makan / berbaring 0 1 2 3 4 5
6 Kesukaran bernafas / chocking 0 1 2 3 4 5
7 Batuk yang mengganggu 0 1 2 3 4 5
8 Rasa mengganjal di tenggorok 0 1 2 3 4 5
9 Heartburn, rasa nyeri di dada, gangguan 0 1 2 3 4 5
pencernaan, regurgitasi asam

21
Tabel 2.2 Gejala dan Kondisi Laring yang Terkait Refluks Laringofaring
Gejala Kondisi
Disponia kronik Refluks laringitis
Disponia intermiten Stenosis subglottic
Vocal fatigue Karsinoma laring
Perubahan suara Cedera endotrakeal intubasi
Chronic throat clearing Ulkus kontak dan granuloma
Produksi mukus berlebihan ditenggorokan Stenosis glottic posterior
Post nasal drip Fiksasi kartilago arytenoid
Batuk kronik Paroxysmal laryngospasm
Disfagia Paradoxical vocal fold movement
Globus Globus pharyngeus
Obstruksi saluran nafas intermiten Nodul vocal
Obstruksi saluran nafas kronik Degenerasi polypoid
Laryngomalacia
Pachydermia laryngis
Leukoplakia rekuren
Sindrom kematian bayi mendadak

Tabel 2.3 Perbedaan GERD dan Refluks Laringofairng


GERD Refluks Laringofaring
Gejala
Rasa terbakar pada dada +++++
dan/ atau regurgitasi
Suara serak, disfagia dan + ++++
globus
Temuan
Esofagitis endoskopik +++++
Inflamasi laring + ++++

22
Hasil diagnosis
Biopsi esofagus +++++
Abnormal radiografi ++ -
esofagus
Abnormal monitoring Ph +++++
esofagus
Abnormal monitoring Ph - +++
faring

23
Pola refluks
Posisi supinasi +++++
(berbaring)
Posisi berdiri + ++++
Respon pengobatan
Diet dan modifikasi gaya ++ +
hidup
Antagonis histamin 2 +++ ++
Pump proton inhibitor +++++++

B. Pemeriksaan fisik
Keadaan laring yang dicurigai teriritasi asam seperti hipertrofi komissura
posterior, globus faringeus, nodul pita suara, laringospasme, stenosis subglotik
dan karsinoma laring. Untuk melihat gejala LPR pada laring dan pita suara perlu
pemeriksaan Laringoskopi. Gejala paling bermakna seperti adanya eritema, edema
dan hipertrofi komissura posterior.1,9

Gambar 2.4 Hipertrofi komissura Posterior


Laringitis posterior ditemukan pada 74% kasus begitu juga udem serta
eritema laring dijumpai pada 60% kasus LPR. Dapat juga terjadi hipertrofi
mukosa interaritenoid dan pada kasus lanjutan dapat berkembang menjadi
hiperkeratosis epitel pada komissura posterior. Granuloma (gambar 2) dan nodul
pita suara dapat terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati.1

24
Gambar 2.5. Granuloma
Belfasky (2002) membuat tabel penilaian gejala LPR melalui pemeriksaan
laringoskop fleksibel (Reflux Finding Score/ RFS). Skor dimulai dari nol (tidak
ada kelainan) dengan nilai maksimal 26 dan jika nilai RFS ≥7 dengan tingkat
keyakinan 95% dapat di diagnosis sebagai LPR. Nilai ini juga dapat dengan baik
memprakirakan efektifitas pengobatan pasien.
Tabel 2.4. Reflux Finding Score

Reflux Finding Score (RFS)


Edema Subglotik / pseudosulcus 0 = tidak ada
vokalis
2 = ada
Ventrikular obliterasi 2 = parsial
4 = komplit
Eritema / hyperemia 2 = hanya aritenoid
4 = difus
Edema pita suara 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
Edema laring difus 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing

25
Hipertrofi komisura posterior 1 = ringan
2 = moderat
3 = berat
4 = obstructing
Granula / jaringan granulasi 0 = tidak ada
2 = ada
Mukus kental endolaring 0 = tidak ada
2 = ada

Edem subglotik (Pseudosulkus vokalis - gambar 3) ditemui pada 90% kasus,


adalah udem subglotik dimulai dari komissura anterior meluas sampai laring
posterior.

Gambar 2.6. Pseudosulkus vokalis


Obliterasi ventrikel (gambar 4) ditemukan pada 80% kasus. Dinilai menjadi
parsial atau komplit. Pada obliterasi parsial ditemukan gambaran pemendekan
jarak ruang ventrikel dan batas pita suara palsu memendek. Sedangkan pada
keadaan komplit ditemukan pita suara asli dan palsu seperti bertemu dan tidak
terlihat adanya ruang ventrikel.1,9

26
Gambar 2.7 Obliterasi ventrikel
Eritema atau laring yang hiperemis merupakan gambaran LPR yang tidak
spesifik. Sangat tergantung kualitas alat endoskopi seperti kualitas sumber cahaya,
monitor video dan kualitas endoskop fleksibel sendiri jadi kadang-kadang sulit
terlihat. Edema pita suara dinilai tingkatannya. Gradasi ringan (nilai 1) jika hanya
ada pembengkakan ringan, nilai 2 jika pembengkakan nyata dan gradasi berat jika
ditemukan pembengkakan yang lebih berat dan menetap sedangkan nilai 4
(gradasi sangat berat) jika ditemukan degenerasi polipoid pita suara.2 Udem laring
yang difus dinilai dari perbandingan antara ukuran laring dengan ukuran jalan
nafas, penilaian mulai nari nol sampai nilai 4 (obstruksi). Hipertrofi komissura
posterior gradasi ringan (nilai 1) jika komissura posterior terlihat seperti “kumis”,
nilai 2 (gradasi sedang) jika komisura posterior bengkak sehingga seperti
membentuk garis lurus pada belakang laring. Gradasi berat (nilai 3) jika terlihat
penonjolan laring posterior kearah jalan nafas dan gradasi sangat berat apabila
terlihat ada obliterasi ke arah jalan nafas. Gambaran lain yang mungkin ditemukan
adalah sinusitis berulang dan erosi dari gigi.1,9

C. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan pH 24 jam dipertimbangkan sebagai tes yang paling dapat


dipercaya sebagai tes untuk refluks laringofaring. Dua buah elektroda dimasukkan
secara intranasal dan diletakkan 5 cm diatas sfingter bawah esofagus dan 0,5-2 cm
diatas sfingter atas esophagus. Walaupun dianggap sebagai standar baku emas
untuk diagnosis refluks laringofaring tetapi pemeriksaan ini masih jauh dari tes

27
yang ideal dan menimbulkan banyak kontroversi. Yang pertama, sensitivitas dari
tes ini hanya 50-60%. Yang kedua, kira-kira 12% dari pasien THT tidak dapat
bertoleransi dengan prosedur pemeriksaan pH. Yang ke tiga, modifikasi diet dapat
menimbulkan hasil negatif palsu pada pemeriksaan pH. Pemeriksaan pH ini
sangat mahal dan terbatas.1
Terapi empirik dengan proton pump inhibitor (PPI) disarankan sebagai tes
yang ideal untuk penyakit refluks laringofaring dan merupakan cara diagnostik
yang tidak invasif, simpel dan juga dapat memberikan efek terapi. Tes PPI dengan
pemberian omeprazole 40 mg perhari selama 14 hari mempunyai sensitivitas dan
spesifitas yang sama dengan pemeriksaan pH metri 24 jam.
Laringoskopi fleksibel merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis
LPR. Biasanya yang digunakan adalah laringoskop fleksibel karena lebih sensitif
dan mudah dikerjakan di poliklinik dibandingkan laringoskop rigid. Monitor pH
24 jam di faringoesofageal pemeriksaan ini disebut ambulatory 24 hours double
probe pH monitoring yang merupakan baku emas dalam mendiagnosis LPR.
Pertama kali diperkenalkan oleh Wiener pada 1986. Pemeriksaan ini dianjurkan
pada keadaan pasien dengan keluhan LPR tetapi pada pemeriksaan klinis tidak
ada kelainan. Pemeriksaan ini sangat sensitif dalam mendiagnosis refluks karena
pemeriksaan ini secara akurat dapat membedakan adanya refluks asam pada
sfingter esofagus atas dengan di bawah sehingga dapat menentukan adanya LPR
atau GERD. Kelemahan pemeriksaan ini adalah mahal, invasif dan tidak nyaman
dan dapat ditemukan hasil negatif palsu sekitar 20%. Hal ini dikarenakan pola
refluks pada pasien LPR yang intermittent atau berhubungan dengan gaya hidup
sehingga kejadian refluks dapat tidak terjadi saat pemeriksaan. Pemeriksaan ini
hanya dapat menilai refluks asam sedangkan refluks non asam tidak terdeteksi.
Pemeriksaan ini disarankan pada pasien yang tidak respons terhadap pengobatan
supresi asam.
Pemeriksaan Endoskopi dengan menggunakan esofagoskop dapat
membantu dalam penegakan diagnosis. Gambaran esofagitis hanya ditemukan
sekitar 30% pada kasus LPR. Gambaran yang patut dicurigai LPR adalah jika kita

28
temukan gambaran garis melingkar “barret” dengan atau tanpa adanya inflamasi
esofagus.1,2,9
Pemeriksaan videostroboskopi, pemeriksaan video laring dengan
menggunakan endoskop sumber cahaya xenon yang diaktifasi oleh pergerakan
pita suara. Gambaran ini dapat dilihat dengan gerakan lambat. Pemeriksaan
Histopatologik, pada biopsi laring ditemukan gambaran hiperplasia epitel
skuamosa dengan inflamasi kronik pada submukosa. Gambaran ini dapat
berkembang menjadi atopi dan ulserasi epitel serta penumpukan fibrin, jaringan
granulasi dan fibrotik di daerah submukosa.1,3,4
Pemeriksaan esofagografi dengan bubur Barium Pemeriksaan ini dapat
melihat gerakan peristaltik yang abnormal juga motilitas, lesi di esofagus, hiatus
hernia, refluks spontan dan kelainan sfingter esofagus bawah.1 kelemahannya
pemeriksaan ini tidak dapat menilai refluks yang intermiten. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada keadaan jika pengobatan gagal, terdapat indikasi klinis ke arah
GERD, disfungsi esofagus atau diagnosis yang belum pasti.Pemeriksaan
laringoskopi langsung memerlukan anestesi umum dan dilakukan diruangan
operasi. Dapat melihat secara langsung struktur laring dan jaringan sekitarnya
serta dapat dilakukan tindakan biopsi.1,3,4

2.3.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanan penyakit refluks laringofaring dapat berupa:

A. Perubahan Pola Hidup

Ketika anamnesis dan pemeriksaan klinis ditegakkan untuk mendiagnosis


keadaan refluks laringofaring, maka penderita segera disarankan untuk mengubah
pola hidup dan pola makan, diantaranya adalah menghentikan kebiasaan merokok
dan minum- minuman beralkohol, mengurangi berat badan yang berlebih,
membatasi konsumsi makanan yang mengandung coklat, lemak, citrus, minum
minuman bersoda, anggur merah, kafein, atau waktu makan malam yang
berdekatan dengan waktu tidur.3

29
B. Medikamentosa

Terapi farmakologi yang dianjurkan berupa PPI seperti omeprazole,


esomeprazole, lansoprazole, pantoprazole dan rabeprazole. Obat lain yang sering
digunakan dalam pengobatan refluks laringofaring adalah antagonis H2 receptor
seperti cimetidine, ranitidine, nizatidine, famotidine yang berfungsi mengurangi
sekresi asam lambung. Prokinetik agen seperti cisapride, metoclopramide yang
berfungsi mempercepat pembersihan esofagus serta meningkatkan tekanan
sfingter bawah esofagus. Mucosal cytoprotectan seperti sucralfate yang berfungsi
melindungi mukosa dari asam dan pepsin. Antasida juga dapat diberikan seperti
alumunium hidroksida, magnesium hidroksida atau sodium bikarbonat yang dapat
berfungsi mengurangi gejala refluks.
Proton pump inhibitor merupakan obat anti refluks paling efektif yang
berfungsi menekan produksi asam lambung dibandingkan dengan antagonis
reseptor H2, dengan cara menghalangi kerja H+/ K+ ATP ase dijalur akhir
produksi asam dari sel parietal. Rangsangan pada sel parietal akan mengeluarkan
enzim dari tubule vesicles cytoplasmatic ke membran kanalis sekretorius. Proses
ini sangat erat hubungannya dengan transport K+/ Cl- terhadap pergerakan ion
potassium ke permukaan luminal dari enzim. Perpindahan asam dari kanalikulus
ke dalam lumen kelenjar dimulai pada mukosa lambung. Proses pengasaman ini
dibentuk diantara sel sitoplasma parietal dan kanalikulus. Tingginya kadar pH
terjadi pada proses diantara sel parietal dan kanalikulus, sehingga kerja PPI pada
daerah ini dapat mengurangi tingginya kadar pH lambung.
Omeprazole bersifat lipofilik dan basa lemah yang berarti dapat dengan
mudah penetrasi ke membran sel serta terkonsentrasi dalam keadaan asam,
mempunyai waktu paruh yang relatif pendek(kira-kira 1- 2 jam) dan mempunyai
masa durasi yang panjang.3

C. Pembedahan

Fundoplication laparoskopi atau Nissen adalah perawatan bedah yang sudah


mapan untuk GERD dan menghasilkan hasil yang dapat diandalkan dan
direproduksi. Namun, perannya dalam manajemen refluks laringofaring tidak

30
pasti. Sebuah studi baru-baru ini merevisi serangkaian luas pasien yang menjalani
fundoplikasi dan menemukan peningkatan serupa pada pasien dengan temuan
laring dan gejala khas GERD dan mereka yang memiliki gejala khas eksklusif.
Sebaliknya, hasil yang buruk diperoleh untuk pasien dengan gejala laring
eksklusif, tetapi tes pemantauan pH positif untuk refluks, menunjukkan
kemungkinan bahwa penyebab gejala tidak terkait dengan refluks pada banyak
pasien ini. Telah disarankan bahwa Nissen fundoplikasi tidak boleh dilakukan
pada pasien yang resisten terhadap PPI. Selanjutnya, satu studi menunjukkan
bahwa hanya 10% pasien yang merespon terhadap terapi fundoplikasi Nissen
setelah kegagalan terapi PPI, dan tingkat respons ini tidak berbeda dari kelompok
yang terus menggunakan PPI (7%).9

Gambar 2.8 Algoritma penilaian dan penatalaksanaan penyakit refluks


laringofaring berdasarkan American Medical Association

Menurut survey American Bronchoesophageal Association, penderita


dengan sangkaan refluks laringofaring di tegakkan dengan menggunakan

31
instrumen RSI lebih dari 13 dan RFS lebih dari 7, segera penderita diberi tes
terapi empiris dengan proton pump inhibitor (PPI) disertai perubahan pola hidup
dan diit, kemudian dilakukan observasi selama kurang lebih 3 bulan. Bila keadaan
umum penderita membaik, maka pemberian PPI dapat dikurangi secara perlahan-
lahan atau bila keadaan umum penderita mengalami perubahan sedikit lebih baik,
maka dosis pemberian terapi dapat ditingkatkan dan penderita dievaluasi selama
kurang lebih 6 bulan, namun pada keadaan penderita bertambah buruk maka
pemeriksaan multichannel impedance dan pH monitoring, pemeriksaan transnasal
esophagoscopy, manometri dan pemeriksaan foto dengan menggunakan kontras
barium dapat segera dilakukan.3

2.3.7. Prognosis

Angka keberhasilan dari terapi cukup tinggi bahkan sampai 90%, dengan
catatan terapi harus diikuti dengan modifikasi diet yang ketat dan gaya hidup. Dari
salah satu kepustakaan menyebutkan angka keberhasilan pada pasien dengan
laryngitis posterior berat sekitar 83% setelah diberikan terapi 6 minggu dengan
omeprazol. Dan sekitar 79% kasus alami kekambuhan setelah berhenti berobat.
Sedangkan prognosis keberhasilan dengan menggunakan Lansoprazole 30 mg 2
kali sehari selama 8 minggu memberikan angka keberhasilan 86%.3,4,9

2.3.8. Komplikasi

Asam lambung yang masuk kedalam tenggorok dan laring dapat


menyebabkan iritasi jangka panjang dan kerusakan daerah tersebut. Tanpa diobati,
laryngopharyngeal reflux dapat berakibat serius. Pada bayi dan anak-anak,
laryngopharyngeal reflux dapat mengakibatkan: 1.penyempit pada area di bawah
pita suara ; 2. Ulkus kontak; 3. Infeksi telinga rekuren karena gangguan fungsi
dari tuba Eustachius; 4. Efusi cairan pada telinga tengah. Pada orang dewasa,
laryngopharyngeal reflux dapat menyebabkan skar pada tenggorok dan pita suara.
Dan dapat juga meningkatkan resiko kanker pada area tersebut, merusak paru dan
mengiritasi paru seperti asma, emfisema dan bronkitis.8

32
33
BAB III
KESIMPULAN

Refluks laringofaring adalah aliran balik cairan lambung ke laring, faring,


trakea dan bronkus yang menyebabkan kontak dengan jaringan pada traktus
aerodigestif atas yang menimbulkan jejas pada laringofaring dan saluran napas
bagian atas, dengan manifestasi penyakit-penyakit oral, faring, laring dan paru.
Penyebab LPR adalah refluks retrograd dari asam lambung atau isinya pepsin ke
saluran esofagus atas dan menimbulkan cedera mukosa karena trauma langsung
sehingga terjadi kerusakan silia yang menimbulkan tertumpuknya mukus,
aktivitas mendehem dan batuk kronis akibatnya akan terjadi iritasi dan inflamasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkaan gejala klinis (Reflux Symptoms
Index/RSI) dan pemeriksaan Laring (Reflux Finding Score/ RFS). Skor RSI pada
kecurigaan LPR adalah skor ≥ 13 dan skor RFS ≥7. Laringoskopi fleksibel
merupakan pemeriksaan utama untuk mendiagnosis LPR karena lebih sensitif dan
mudah dikerjakan di poliklinik. Penatalaksanaan LPR meliputi medikamentosa
dengan obat-obatan anti refluks, perubahan gaya hidup dengan modifikasi diet
serta secara bedah dengan operasi funduplikasi. Penjelasan kepada pasien
mengenai pencegahan refluks cairan lambung merupakan kunci pengobatan LPR .
Proton Pump Inhibitor (PPI) terapi LPR yang utama dan paling efektif dalam
menangani kasus refluks disamping modifikasi gaya hidup.

34
Daftar Pustaka

1. Andersson O, Ryden A,Ruth, Moller RY and finizia C. 2010. Development


and validation of a laryngopharyngeal reflux questionnaire, the Pharyngeal
Reflux Symptom Questionnaire. Scandinavian Journal of Gastroenterology
vol.45.pp. 147–159.
2. Patel, D. A., Blanco, M., & Vaezi, M. F. (2018). Laryngopharyngeal reflux
and functional laryngeal disorder: perspective and common practice of the
general gastroenterologist. Gastroenterology & Hepatology, 14(9), 512.
3. Ford, Charles N. 2005. Evaluation and Management of Laryngopharyngeal
Reflux. JAMA, vol 294(12).
4. Salihefendic, N., Zildzic, M., & Cabric, E. (2017). Laryngopharyngeal Reflux
Disease–LPRD. Medical Archives, 71(3), 215.
5. Snell, Richard S. (2011). Anatomi klinis berdasarkan sistem; alih bahasa,
Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa Indonesia, Ardy Suwahjo, Yohanes
Antoni. Liestyawan. Jakarta : EGC
6. Spector, Gershon J, Joseph H. Ogura. (2003). Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher Jilid Satu. Dalam: Snow JB, Ballenger JJ (eds).
Tanggerang: Binarupa Aksara Publisher.
7. Piazza, C., Ribeiro, J. C., Bernal-Sprekelsen, M., Paiva, A., & Peretti, G.
(2010). Anatomy and Physiology of the Larynx and Hypopharynx. In
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery (pp. 461-471). Springer,
Berlin, Heidelberg.
8. Andriani, Y., Akil, M. A., Gaffar, M., & Punagi, A. Q. (2011). Deteksi pepsin
pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan reflux
symptom index dan reflux finding score. Oto Rhino Laryngologica
Indonesiana, 41(2), 121-7.
9. Campagnolo, A. M., Priston, J., Thoen, R. H., Medeiros, T., & Assunção, A.
R. (2014). Laryngopharyngeal reflux: diagnosis, treatment, and latest
research. International archives of otorhinolaryngology, 18(02), 184-191

35

Anda mungkin juga menyukai