Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Laringitis merupakan peradangan pada laring, dan berbagai penyebab


menyebabkan timbulnya gejala umum. Laringitis dapat bersifat akut atau kronis,
infektif atau inflamasi, gangguan terisolasi, atau bagian dari penyakit sistemik, dan
sering kali disertai gejala seperti suara serak. Umumnya, laringitis berhubungan dengan
infeksi saluran pernapasan bagian atas dan dapat berdampak besar pada kesehatan fisik,
kualitas hidup, dan bahkan kesejahteraan psikologis dan pekerjaan jika gejalanya
menetap. [1]

Prevalensi laringitis sulit diperkirakan. Sebuah tinjauan yang dilakukan oleh


Royal College of General Practitioners di Inggris pada tahun 2010 melaporkan kejadian
rata-rata 6,6 kasus laringitis dan trakeitis per 100.000 pasien (semua usia) per
minggu.[1] Laringitis akut biasanya menyerang orang berusia 18 hingga 40 tahun.
Namun, itu dapat dilihat pada anak-anak semuda 3 tahun ke atas. Angka yang akurat
mengenai kejadian laringitis akut tetap tidak diketahui karena kondisi ini tetap tidak
dilaporkan sebagian besar kali. Karena penyakitnya sembuh sendiri, morbiditas dan
mortalitas yang signifikan tidak ditemukan.[2]

Namun, dengan karakteristik inflamasi yang lebih lanjut, terlepas dari


penyebab, tanda dan gejala kompromi jalan napas signifikan secara klinis, disfagia, dan
disfonia dapat menyertai keluhan dan memerlukan pemeriksaan dan perawatan
otorhinolaryngologic yang lebih komprehensif. Karena laringitis dapat diamati dalam
spektrum populasi pasien yang luas, alternatif intervensi dapat berkisar dari metode
sederhana untuk jaminan dan perilaku penghindaran hingga intervensi medico-bedah
yang konservatif atau agresif. [3]

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI LARING

2.1 ANATOMI LARING

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada bagian
bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas bawahnya ialah batas
kaudal kartilago krikoid. [4]

2.1.1 Struktur Rangka Laring

Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang yaitu os hioid dan
beberapa kartilago atau tulang rawan (gambar 2.1).

Gambar 2.1 Struktur rangka laring

2
 Tulang hioid

Tulang hioid berbentuk seperti huruf U. Perlekatan tulang hioid ke


mandibula dan tengkorak oleh ligamentum stilohioid dan m.digastrikus,
m.stilohioid, m.milohioid, m.hioglosus, dan m.geniohioid akan
mempertahankan posisi laring pada leher dan mengangkat laring selama
proses menelan dan fonasi. [4]

 Kartilago tiroid

Kartilago tiroid merupakan tulang rawan hialin yang paling


besar di laring. Terdiri dari dua ala atau sayap yang bertemu di anterior
dan membentuk sudut lancip. Sudut bervariasi menurut jenis kelamin.
Pada pria, bagian superior sudut tersebut membentuk penonjolan
subkutan yang disebut eminensia laring atau Adam’s apple atau jakun.[4]

Tiap permukaan tulang rawan dilapisi oleh perikondrium yang


tebal. Perikondrium melekat secara longgar di permukaan lateral tiap
ala. Tetapi perikondrium melekat dengan erat sepanjang tepi superior,
tepi inferior, kedua kornu, dan tepi posterior kartilago tiroid, perlekatan
posterior ini yang paling tebal. [4]

 Kartilago krikoid

Kartilago krikoid adalah kartilago laring yang paling kuat dan terletak
langsung di bawah kartilago tiroid. Kartilago ini berupa tulang rawan
hialin, tidak berpasangan dan berbentuk cincin. Kartilago krikoid
berfungsi menyokong kerangka laring dan penting untuk mencegah
tertutupnya jalan nafas. [4]

3
 Epiglotis

Epiglotis merupakan tulang rawan yang tipis, fleksibel, berbentuk daun


dan fibroelastik, serta melekat pada bagian dalam anterior kartilago
tiroid. Perikondrium epiglotis sangat melekat, tidak seperti
perikondrium tulang rawan hialin. Oleh karena itu, infeksi cenderung
terlokalisasi jika mengenai epiglotis, sedangkan bila infeksi pada tulang
rawan hialin akan menyebabkan destruksi yang luas karena terlepasnya
perikondrium. [4]

 Kartilago aritenoid

Kartilago arytenoid merupakan tulang rawan hialin yang berpasangan,


berbentuk piramid atau seperti buah pear dan dasarnya luas. Kartilago
aritenoid merupakan bagian utama yang bergerak dari laring. Pada
bagian depan dari dasar piramid, melekat prosesus vokalis sebagai origo
pita suara (plika vokalis), dan ke lateral melekat prosesus muskularis
untuk origo m. krikoaritenoid. Otot yang mengadduksi dan
mengabduksi plika vokalis bergerak oleh karena gerakan kartilago
aritenoid. Pada permukaan medial, kartilago ini datar dan tertutup oleh
mukoperikondrium yang sangat rapat melekat pada kartilago. Pada
ujungpiramid terdapat kartilago kuneiformis (kartilago Wrisberg) dan
kartilago kornikulatum (kartilago Santorini) dan semuanya dua pasang

(gambar 2.2). [4]

4
Gambar 2.2 Penampang medial laring

2.1.2. Mukosa Laring

Mukosa yang melapisi laring terdiri dari 2 jenis epitel, yaitu


epitel gepeng tanpa keratinisasi dan epitel kolumnar berlapis semu
bersilia. Sebagian besar laring dilapisi oleh epitel respiratorius yang
berupa epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Bagian atas epiglotis,
plika ariepiglotik dan fosa piriformis ditutupi oleh epitel gepeng. Bagian
bawah pita suara palsu, ventrikel dan daerah infraglotik ditutupi oleh
epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Silia bergerak ke arah rongga
mulut (gambar 2.3). [4]

Gambar 2.3 Histologi laring

5
Mukosa laring mengandung banyak kelenjar seromukus,
terutama di pita suara palsu dan ventrikel, dan kemungkinan menjadi
tempat kista retensi. Kelenjar mukosa banyak di laring, tetapi seluruh
tepi pita suara asli tidak mengandung kelenjar. Di bawah lapisan epitel
terdapat membran basalis. Jaringan submukosa berisi jaringan ikat
longgar dan jaringanfibrosa, kecuali pada permukaan posterior epiglotis
dan pita suara asli, karena epitelnya melekat erat. Jaringan submukosa
relatif banyak dan lebih longgar pada permukaan anterior epiglotis,
plika ariepiglotik dan subglotis, sedangkan di bagian laring lebih dalam
relatif sedikit. Secara praktis keadaan ini penting bagi timbulnya udem
angioneurotik, reaksi alergi, eksudat inflamasi yang lebih berat di
bagian submucosa yang lebih longgar. [4]

2.1.3 Otot – Otot Laring

A. Otot ekstrinsik

Otot ekstrinsik berperan dalam gerakan dan fiksasi laring secara


keseluruhan, terdiri dari kelompok otot elevator dan depresor.
Kelompok otot depresor terdiri dari m. tirohioid, m. sternohioid dan m.
omohioid, sedangkan kelompok otot elevator terdiri dari m. digastricus
anterior dan posterior, m.stilohioid, m. geniohioid dan m. milohioid.
Kelompok otot ini penting pada fungsi menelan dan fonasi dengan
mengangkat laring di bawah dasar lidah. [4]

B. Otot intrinsik

Semua otot intrinsik laring berpasangan, kecuali m. teraritenoid.


Fungsinya mempertahankan dan mengontrol aliran udara pernafasan
yang melalui laring, mengontrol tahanan terhadap udara ekspirasi
selama fonasi dan membantu fungsi sfingter dalam mencegah aspirasi
benda asing selama proses menelan. Muskulus interaritenoid dan m.

6
krikoaritenoid lateralis mengadduksi (menutup) pita suara, sedangkan
m. krikoaritenoid posterior mengabduksi (membuka) pita suara.
Muskulus ariepiglotik mengatur gerakan adduksi pita suara palsu dan
menutup pintu masuk laring oleh epiglotis pada saat menelan.
Muskulus krikotiroid mendorong kartilago tiroid dan kartilago krikoid
sehingga saling mendekati, menyebabkan arytenoid bergerak ke
belakang terhadap komisura anterior dan pita suara tertarik secara pasif.
Muskulus krikotiroid dipersarafi oleh ramus eksterna n. laringius
superior dan semua otot intrinsik laring lainnya oleh n. laringius rekuren
(gambar 2.4). [4]

Gambar 2.4. Otot – otot intrinsik laring

2.1.4 Vaskularisasi Laring

Aliran darah arteri laring berasal dari cabang a. tiroid superior dan
inferior, dan sebagian kecil berasal dari a. krikotiroid yaitu cabang dari
a. tiroid superior. Arteri tiroid superior adalah cabang pertama a. karotis

7
eksterna. Arteri tiroid superior berakhir pada kutup atas kelenjar tiroid,
dan memberi cabang kecil ke m. sternokleidomastoideus. [4]

Arteri laringius superior merupakan cabang a.tiroid superior, bersama


dengan vena dan saraf laringius superior masuk ke laring dengan
menembus hiatus pada ligamentum tirohioid setelah bercabang kecil –
kecil untuk mensuplai daerah di atas plika vokalis. Arteri laringius
inferior yang merupakan kelanjutan a. tiroid inferior cabang dari trunkus
tiroservikal, berjalan bersama – sama dengan n. laringius rekuren. Arteri
ini mensuplai bagian inferior laring sampai ke tepi bebas plika vokalis
(gambar 2.5). [4]

Gambar 2.5. Aliran darah arteri laring

Arteri krikotiroid merupakan cabang lain dari a. tiroid superior yang


menyilang bagian atas ligament krikotiroid dan beranastomosis dengan
sisi yang berlawanan. Aliran darah balik dilayani oleh v. laringius
superior dan inferior, yang pada dasarnya mengikuti jalannya arteri.
Aliran superior bergabung dengan v. tiroid superior dan media,
kemudian masuk ke v. jugularis interna. Aliran inferior bergabung
dengan v. tiroid media yang masuk ke v. jugularis interna. Ada beberapa
aliran darah balik yang masuk ke v.tiroid inferior, khususnya struktur –

8
struktur yang berada di garis tengah, langsung masuk ke vena kava
superior (gambar 2.6). [4]

Gambar 2.6. Aliran darah vena laring

2.1.5 Sistem Limfatik Laring

Aliran limfe laring terdiri dari dua sistem besar, yaitu superfisial
(intramukosa) dan profunda (submukosa). Aliran limfe supraglotik dan
subglotik bermuara ke daerah yang berbeda, dipisahkan oleh suatu
daerah dengan sedikit aliran limfe, yaitu pita suara asli. Aliran limfe
supraglotik termasuk plika ariepiglotik dan korda vokalis palsu,
mengalirkan dari sinus piriformis dan bermuara pada kelenjar limfe
servikalis profunda superior yang terletak sekitar percabangan a. karotis
komunis dan v. jugularis interna (98%). Kadang – kadang beberapa
saluran limfe bermuara ke rantai servikal bawah dan kelenjar servikal
asesorius (2%). piglotis merupakan struktur yang berada di garis
median, dengan demikian aliran limfatiknya bilateral. [4]

Aliran limfe subglotik mempunyai dua aliran inferior, yaitu


aliran yang menembus membrane krikotiroid media (pedikel media),
menuju kelenjar limfe yang terletak di depan trakea, biasanya dekat

9
ismus tiroid ke pralaring atau kelenjar Delphian, yang kemudian
bermuara pada kelenjar servikalis profunda media. Bagian lain dari
kelompok inferior (dua pedikel posterolateral) berjalan melalui kelenjar
limfe yang mengikuti a. tiroid inferior dan menuju kelenjar subklavia,
paratrakea dan trakeaesofagus (gambar 2.7). [4]

Gambar 2.7. Aliran pembuluh limfe

2.1.6 Persarafan Laring

Laring dipersarafi oleh cabang nervus vagus, yaitu n. laringius superior


dan n. laringius inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf
motorik dan sensorik. Saraf laringius superior mempersarafi m.
krikotiroid, dan memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita
suara. Nervus laringius inferior merupakan lanjutan dari n. laringius
rekuren. Nervus laringius rekuren merupakan cabang dari n. vagus
(gambar 2.8). [4]

10
Gambar 2.8. Persarafan laring

Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, n. laringius inferior


bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus
anterior akan mempersarafi otot – otot intrinsik laring bagian lateral,
sedangkan ramus posterior mempersarafi otot – otot intrinsic laring
bagian posterior dan mengadakan anastomosis dengan n. laringius
superior ramus internus. [4]

2.2 Fisiologi Laring


Laring dan lipatan vokal berperan sebagai saluran biologis untuk
bernafas, katup fisiologis untuk perlindungan jalan nafas saat menelan, dan
instrumen untuk produksi suara. Sementara dua fungsi pertama sebagian besar
bergantung pada aktivitas neuromuskuler involunter atau refleksif, sebagian
besar vokalisasi terjadi sebagai akibat dari upaya berbicara berdasarkan
kehendak. Terdiri dari sembilan tulang rawan, dua sendi sinovial, dan berbagai
otot intrinsik ekstrinsik dan suara, ligamen, dan membran yang menghasilkan
suara, laring adalah organ yang sangat kompleks. Gambar 2.9 mengilustrasikan
lipatan vokal putih dan berkilau normal di dalam bagian dalam kerangka laring,
karena lapisan mukosa terluar mereka dari epitel skuamosa berlapis,
nonkeratinisasi. Tubuh lipatan, jauh ke dalam selubung, dibentuk oleh
komponen serat otot tiroksenoid dan serat fibroblast kepadatan tinggi, elastis,

11
dan jaringan kolagen. Struktur seluler yang cepat ini diselimuti oleh matriks
rumit selaput lendir yang memainkan peran penting dalam integritas dan daya
tahan fisiologisnya.

Gambar 2.9 Pita suara normal.

12
BAB III

LARINGITIS

Suara serak (hoarseness/dysphonia), umumnya mengacu pada kualitas vokal


abnormal yang dapat dimanifestasikan sebagai suara yang terdengar tertarik, tegang,
kasar, serak, bergetar, dicekik, atau lemah, atau suara yang memiliki nada tinggi atau
rendah. Meskipun suara serak adalah gejala umum pada pasien yang dilihat oleh dokter
keluarga, data kejadian sebagian besar tidak tersedia. Ini mungkin merupakan gejala
yang muncul, tetapi lebih umum itu adalah salah satu dari banyak gejala lain, seperti
batuk, kesulitan bernapas atau menelan, sakit tenggorokan, atau demam. [12]

Istilah laringitis secara umum mengacu pada peradangan jaringan laring. Dalam
bentuk akut dan subakut, onsetnya biasanya tiba-tiba, dan perjalanan penyakitnya
biasanya sembuh sendiri; yaitu kurang dari 3 minggu. Laringitis kronis biasanya
berkembang secara bertahap, dan tanda-tanda serta gejala yang mendasarinya dapat
bertambah dan berkurang dalam waktu yang sangat lama; beberapa bentuk
granulomatosa dapat terjadi dari satu perubahan traumatis tunggal, dan yang lain
mungkin muncul ketika laring berulang kali terpapar ke agen perusak dengan durasi
[10]
yang lebih lama. oleh karena itu beberapa klasifikasi laryngitis baik berdasarkan
perlangsungannya maupun berdasarkan agen penyebabnya dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :

3.1 Laringitis Akut

Dalam bentuk laringitis akut, onsetnya biasanya tiba-tiba dengan perjalanan


kurang dari 3 minggu dan sembuh sendiri. Umumnya penyebab laryngitis akut
adalah virus pernapasan atas, infeksi bakteri, jamur, dan trauma langsung, baik oleh
perusak eksternal atau episode vokalisasi keras. [2]

13
A. Etiologi

Etiologi untuk laringitis akut dapat diklasifikasikan sebagai infeksi dan


tidak menular. Bentuk infeksi lebih umum dan biasanya mengikuti infeksi
saluran pernapasan atas. Awalnya biasanya virus tetapi agen bakteri segera
mengikuti. Agen virus termasuk Rhinovirus, virus Parainfluenza, virus
Respiratory Syncytial, coronavirus, adenovirus, virus influenza.
Coxsackievirus dan HIV dapat menjadi penyebab potensial di antara
individu yang mengalami gangguan kekebalan. Organisme bakteri yang
paling sering ditemui adalah Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan
Moraxella catarrhalis. Demam eksantematosa seperti campak, cacar air dan
batuk rejan juga berhubungan dengan laringitis akut. Laringitis yang
disebabkan oleh infeksi jamur juga sering terjadi tetapi seringkali tetap tidak
terdiagnosis. Ini biasanya terjadi akibat penggunaan kortikosteroid inhalasi
atau penggunaan antibiotik. Agen lain yang menyebabkan laringitis jamur
termasuk histoplasma, blastomyces, candida, cryptococcus dan
coccidioides. Bentuk non-infeksi disebabkan oleh trauma vokal, alergi,
penyakit refluks gastroesofagus, penggunaan inhaler asma, pencemaran
lingkungan, merokok dan luka bakar termal atau kimia pada laring. Selain
itu, pasien dengan rinitis lebih rentan mengalami radang tenggorokan. [2]

B. Epidemiologi

Laringitis akut biasanya menyerang orang berusia 18 hingga 40 tahun.


Namun, itu dapat dilihat pada anak-anak semuda 3 tahun ke atas. Angka
yang akurat mengenai kejadian laringitis akut tetap tidak diketahui karena
kondisi ini tetap tidak dilaporkan sebagian besar kali. Karena penyakitnya
sembuh sendiri, morbiditas dan mortalitas yang signifikan tidak
ditemukan.[2]

14
C. Patofisiologi

Suatu bentuk laringitis akut sembuh dalam 2 minggu. Bentuk infeksi


ditandai dengan kongesti laring pada tahap awal. Ketika tahap penyembuhan
dimulai, sel-sel darah putih menyerang di tempat infeksi untuk
menghilangkan patogen. Proses ini meningkatkan edema pita suara dan
memengaruhi getaran secara negatif. Seiring edema berlangsung, tekanan
ambang fonasi meningkat. Pembentukan tekanan fonasi yang adekuat
menjadi sulit, dan pasien mengalami suara serak. Kadang-kadang edema
ditandai sehingga tidak mungkin menghasilkan tekanan fonasi yang
memadai. Dalam situasi seperti itu, pasien mengalami aphonia terbuka. [2]

D. Tanda dan Gejala

Gejala awal adalah gejala infeksi saluran pernapasan atas dan termasuk
demam, batuk, sakit tenggorokan, dan rhinorrhoea. Setelah itu, tanda
laringitis akut mulai muncul. Gejala biasanya tiba-tiba dan mulai memburuk
selama dua atau tiga hari, diantaranya termasuk:

• Perubahan kualitas suara (dysphonia), pada tahap selanjutnya mungkin


ada kehilangan suara (aphonia).
• Ketidaknyamanan dan rasa sakit di tenggorokan, terutama setelah
berbicara.
• Disfagia, odinofagia
• Batuk iritasi kering yang memburuk di malam hari.
• Gejala umum kekeringan pada tenggorokan, malaise, dan demam.

E. Diagnosis

Diagnosis biasanya dibuat secara klinis saja yaitu melalui anamnesis.


Pemeriksaan lokal laring selanjutnya menegaskan diagnosis. Pemeriksaan

15
tidak langsung jalan nafas dengan cermin dan pemeriksaan langsung dengan
nasolaringoskop fleksibel digunakan untuk pemeriksaan. Penampilan laring
bervariasi dengan tingkat keparahan penyakit. Pada tahap awal ada eritema
dan edema dari epiglotis, lipatan aryepiglottic, arytenoid, dan pita ventrikel,
tetapi pita suara, sebaliknya, normal dan putih, mengkhianati tingkat suara
serak pasien. [2]

Gambar 3.1 nasolaringoskop fleksibel yang memperlihatkan gambaran pita


suara pada laryngitis akut

Gambar 3.2 Laringitis yang disebabkan bakteri memperlihatkan adanya pus


dan sebaran luas eritem serta perubahan jaringan secara ireguler

16
Gambar 3.3 Laringitis yang disebabkan oleh jamur memperlihatkan adanya
koloni serta edema dan eritema

Seiring perkembangan penyakit, pita suara juga menjadi merah dan


edematous. Wilayah subglotis juga bisa terlibat. Sekresi lengket juga dapat
terlihat antara pita suara dan daerah interarytenoid. Dalam kasus
penyalahgunaan vokal, pendarahan submukosa juga dapat dilihat pada pita
suara. Pencitraan lebih lanjut atau studi laboratorium tidak diperlukan.
Terkadang, jika pasien memiliki eksudat di orofaring atau di pita suara dapat
dilakukan pemeriksaan kultur. [2]

Untuk kecurigaan agen fungal, diagnosis yang pasti dibuat dengan


menunjukkan spora jamur, hifa atau pseudohyphae baik dengan biopsi
jaringan atau feses Kultur dan kultur jamur. Pewarnaan hematoxylin dan
eosin (H&E) menunjukkan hiperplasia epitel dengan hiperkeratosis,
neutrofil di dalam lapisan epitel atas, limfosit, sel plasma, dan jaringan parut
pada stroma submukosa. Gambaran histopatologis yang khas disebut
'hiperplasia pseudoepitheliomatous'. Sementara sebagian besar penulis
menganjurkan biopsi lesi untuk menegakkan diagnosis, beberapa cadangan
ini untuk kasus refraktori atau untuk kasus yang sangat mencurigakan
keganasan.[11]

17
Gambar 3.4 Terlihat bola-bola jamur yang terdiri dari hifa septat tipis
dengan sudut bercabang yang mengarah ke aspergillosis

F. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari laryngitis akut adalah spasmodic dysphonia, reflux


laryngitis, chronic allergic laryngitis, epiglottitis atau coryza. [2]

G. Pengobatan

Pengobatan laryngitis akut sering bersifat suportif dan tergantung pada


keparahan laringitis.

• Istirahat suara (vocal rest) : Ini adalah satu-satunya faktor terpenting.


Penggunaan suara selama laringitis menyebabkan pemulihan tidak
lengkap atau tertunda. Istirahat suara lengkap direkomendasikan
meskipun tidak mungkin untuk dicapai. Jika pasien perlu berbicara,
bicaralah dengan mendesah lembut.
• Penghirupan Uap: Menghirup udara yang lembab meningkatkan
kelembapan saluran udara bagian atas dan membantu menghilangkan
sekresi dan eksudat.
• Menghindari iritasi: Merokok dan alkohol harus dihindari. Merokok
menunda resolusi cepat dari proses penyakit
• Modifikasi diet: pembatasan diet direkomendasikan untuk pasien dengan
penyakit refluks gastroesofageal. Ini termasuk menghindari minuman

18
berkafein, makanan pedas, makanan berlemak, cokelat, peppermint.
Modifikasi gaya hidup penting lainnya adalah menghindari makan
terlambat. Pasien harus makan setidaknya 3 jam sebelum tidur. Pasien
harus minum banyak air
• Obat-obatan: Resep antibiotik untuk pasien yang sehat dengan laringitis
akut saat ini tidak didukung; namun untuk pasien berisiko tinggi dan
pasien dengan gejala berat dapat diberikan antibiotik. Beberapa penulis
merekomendasikan antibiotik spektrum sempit hanya dengan adanya
pewarnaan gram dan kultur yang dapat diidentifikasi. [2]

Laringitis jamur dapat diobati dengan menggunakan antijamur oral.


Perawatan biasanya diperlukan untuk periode tiga minggu dan dapat diulang
jika diperlukan. [2] Pengobatan pada sebagian besar kasus laringitis jamur
melibatkan pemberian obat antijamur oral atau sistemik, termasuk nistatin,
flukonazol, ketokonazol, dan itrakonazol, tergantung dari organisme
penyebab dan sensitifitasnya pada obat.[10] Itrakonazol 100 mg dua kali
sehari selama 3 minggu menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan
resolusi lengkap tanda dan gejala.[11]

Mucolitic seperti guaifenesin dapat digunakan untuk membersihkan


sekresi.Beberapa penulis juga merekomendasikan penggunaan ecotine
osmolyte yang mengandung semprotan oral dan tenggorokan. [2]

Selain modifikasi gaya hidup dan diet, laringitis terkait gastroesophageal


reflux juga diobati dengan obat antireflux. Obat antasida yang menekan
produksi asam seperti reseptor H2 dan agen penghambat pompa proton
sangat efektif melawan gastroesophageal reflux. Di antara semua kelompok
ini, proton pump inhibitor ditemukan paling efektif. Data yang berlaku tidak
mendukung penggunaan antihistamin atau kortikosteroid oral untuk
mengobati laringitis akut. [2]

19
H. Prognosis

Penyakit ini merupakan self-limiting condition, dan memiliki prognosis


baik. Jika pasien tetap menggunakan terapi yang disebutkan di atas,
prognosis untuk pemulihan ke tingkat fonasi premorbid sangat baik.[2]

3.2 Laringitis Kronis

Laringitis kronis, atau radang laring yang berlangsung selama lebih dari 3
minggu, merupakan masalah yang kompleks tetapi semakin sering terjadi. Infeksi
bakteri merupakan etiologi laryngitis kronis yang kurang disadari tetapi secara
klinis terlihat angka kejadian yang signifikan. Laringitis bakteri kronis dapat
didiagnosis dalam keadaan disfonia kronis dengan atau tanpa disfagia.
Laringoskopi memperlihatkan pita suara eritematosa dan edematosa serta kerak
dan purulensi eksudatif. [5] Kondisi ini memiliki onset yang lebih tenang daripada
rekan akutnya. Tanda dan gejalanya mungkin bertambah dan menyusut dalam
waktu yang sangat lama, umumnya beberapa minggu atau bulan. [3]

A. Etiologi

Faktor etiopatogenik yang paling umum yang terkait dengan inflamasi


endolaring kronis dan difus adalah

1. Individu dengan perilaku vokal yang kasar dan berlebihan, seperti berteriak,
bersorak, bernyanyi, dan berdehem yang berlebihan.
2. Individu dengan jarak vocal tinggi yang diakibatkan kepribadian , gaya
hidup atau tuntutan pekerjaan
3. Perokok aktif maupun pasif
4. Individu yang sering mengalami reflux laring-faring (LPR)
5. Individu yang mengalami dehidrasi faring akibat kafein berlebih
6. Individu dengan hidrasi kurang (tidak minum air 6-8 gelas sehari)

20
7. Individu yang mengkonsumsi obat antikolinergik, diuretic atau ACE-
inhibitor (efek samping dehidrasi jaringan).
8. Individu dengan asma atau PPOK (iritasi sekunder dari batuk)
9. Individu dengan penyakit tertentu seperti Sjogrens syndrome, lupus,
hyperthyroidism (Graves disease), hypothyroidism (myxedema), dan
sarcoidosis
10. Individu dengan riwayat infeksi Haemophilus Influenza type B
11. Individu dengan riwayat keganasan laring (dengan atau tanpa
fibrosis/inflamasi post induksi radiasi jaringan loko-regional)

Ketika terjadi penyalahgunaan vokal atau perilaku penyalahgunaan yang


disebutkan di atas, permukaan pita suara mengalami gaya tabrakan getaran
yang kuat dan berulang, yang menghasilkan gesekan hebat, agitasi termal,
penghancuran sel, dan whiplash. Persistensi dari faktor-faktor eksogen atau
endogen ini sering menyebabkan nekrosis jaringan, fibrosis, dan jaringan parut
yang terlokalisir, sekunder akibat efek pembusukan limfosit, eosinofilia,
makrofag, fibroblast, dan kolagen yang menumpuk di jaringan yang meradang
secara kronis. Maka diperkirakan laringitis kronis mungkin ada pada sekitar
sepertiga dari populasi umum, dan bahwa lebih dari 50% individu dengan
gejala kondisi ini baru ditemukan saat laringoskopi. [3]

21
Gambar 3.5 tampakan laryngitis akibat iritasi kronis akibat penggunaan kokain,
tampak edema, eritem dan diskolorisasi jaringan

B. Epidemiologi

Menurut Gybre, dalam 5 tahun, 56 kasus laringitis kronis dicatat dalam layanan
atau frekuensi rumah sakit 11,2 kasus / tahun. Usia rata-rata pasien adalah 41,7
tahun dengan ekstrem dari 7 dan 79 tahun. Kelas modal adalah 40 hingga 50
tahun dengan frekuensi 26,8%. Tercatat dominasi perempuan 62,5% dengan
rasio jenis kelamin. Para pengguna suara professional (pekerja dengan modal
suara) merupakan kelompok sosioprofesional yang paling representatif, atau
25,5% dari kasus-kasus [6]

C. Penatalaksanaan

Perawatan untuk kondisi ini terutama harus fokus pada penyebab yang
diduga mendasarinya, seperti penyalahgunaan vokal, merokok,dehidrasi,
refluks, asma, alergi, penyakit sistemik, dan gejala sisa obat yang mengiritasi.
Dalam banyak kasus, modifikasi perilaku dan istirahat vokal sudah cukup untuk
memperbaiki kondisi. Menginstruksikan pasien untuk menghindari kondisi dan
perilaku berikut ini:

22
 perokok aktif atau pasif ,
 alergen spesifik seperti debu, polen, atau polutan lingkungan,
 minuman berkafein,
 obat dekongestan sistemik,
 inhaler yang mengandung bahan steroid,
 kegiatan membersihkan tenggorokan, dan
 berbisik.

Konsumsi air harian yang memadai, seperti yang disebutkan di atas, sering
bermanfaat, seperti penggunaan pelega tenggorokan bebas gula dan pelembap
kabut dingin untuk pelembab tenggorokan topikal; manfaat menenangkan dari
menghirup uap juga patut dicoba. [3]

Nilai terapi saline isotonik mungkin bermanfaat bagi pasien dengan laringitis
persisten meskipun ada pengobatan alternatif. Dalam keadaan tertentu, di mana
perbaikan suara sangat diperlukan, penggunaan singkat kortikosteroid sistemik
(misalnya, paket dosis Medrol), atau injeksi steroid terisolasi langsung ke lapisan
superfisial dari lamina propria dari pita suara dapat diberikan dalam pengaturan
resmi untuk bantuan segera peradangan dan disfonia terkait. Methylprednisolone
(40mg / mL) direkomendasikan untuk prosedur injeksi, menggunakan jarum
suntik 1-mL, kanula melengkung, dan jarum suntik sekali pakai. Dosis yang
dianjurkan berkisar dari, 1 mL hingga 1,0 mL per injeksi intralesional. Untuk lesi
tepi bebas lipatan vokal jinak dan peradangan adalah dosis yang lebih kecil.[3]

Intervensi bedah agresif sering dapat ditunda atau dihindari dengan steroid.
Patologi laring kronis atau akut yang jauh berbeda, seperti edema persisten,
polipoid corditis, dan polip fusiform atau hemoragik, dapat diobati secara efektif
pada awalnya melalui strategi modifikasi perilaku, diikuti oleh rezim farmakologis
yang disebutkan sebelumnya jika diperlukan. Perlu dicatat bahwa durasi manfaat
apa pun yang berasal dari injeksi steroid ke dalam pita suara dapat sangat

23
bervariasi dari pasien ke pasien. Secara umum, efek positif dapat berlangsung
selama dua bulan atau lebih lama pada beberapa individu, terutama mereka yang
berhenti terlibat dalam perilaku atau kegiatan yang secara kausal terkait dengan
kondisi tersebut. Untuk gejala yang berulang, perawatan berulang dapat dicoba,
tetapi tidak lebih dari 3 bulan setelah injeksi awal.[3]

3.3 Croup

Croup atau laryngotracheobronchitis adalah kondisi pernapasan yang biasanya


dipicu oleh infeksi virus akut pada saluran napas bagian atas. Infeksi ini
menyebabkan pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu
pernapasan normal dan menghasilkan gejala klasik berupa batuk, stridor, dan suara
serak yang “menggonggong”.Croup biasanya dianggap disebabkan oleh infeksi
virus. [7]

Gambar 3.6 Tampakan daerah inflamasi pada croup

A. Etiologi

Di antara anak-anak yang dievaluasi untuk croup di unit gawat darurat satu atau
lebih agen virus diidentifikasi dalam 80% dari spesimen dengan membalikkan

24
reaksi rantai transkripase polimerase (RT-PCR), virus parainfluenza terdeteksi
lebih banyak. sering. Tidak peduli apa alat deteksi yang digunakan, penelitian
selama beberapa dekade telah secara konsisten menunjukkan bahwa virus
parainfluenza khususnya tipe 1 adalah penyebab paling sering dari croup [2].
Hanya virus parainfluenza yang dikaitkan dengan puncak utama terjadinya
kasus croup. Parainfluenza tipe 1 telah diidentifikasi pada sekitar seperempat
hingga sepertiga kasus. Parainfluenza tipe 3 umumnya adalah virus kedua yang
paling sering dikaitkan, terhitung sekitar 6% hingga 10% dari kasus tergantung
pada tahun dan strain yang bersirkulasi. Demikian pula, meskipun infeksi rhino
syncytial virus (RSV) sangat lazim di antara kelompok ini, relatif sedikit (
sekitar 5% dari infeksi RSV) bermanifestasi sebagai croup.Studi yang lebih
baru menggunakan metode RT-PCR telah mendeteksi rhinovirus, enterovirus,
dan bocavirus pada 9% hingga 13% dari spesimen dari anak-anak dengan
croup. Dalam banyak kasus, agen virus lain secara bersamaan diidentifikasi.
Konektivitas dengan rhinovirus sangat sering. [7]

B. Tanda dan Gejala

Croup ditandai dengan batuk “menggonggong”, stridor, suara serak, dan sulit
bernapas yang biasanya memburuk di malam hari. Batuk “menggonggong”
sering digambarkan menyerupai panggilan anjing laut atau singa laut [2].
Stridor diperburuk oleh agitasi atau tangisan, dan dapat didengar saat istirahat,
ini mungkin mengindikasikan penyempitan saluran udara yang kritis. Ketika
croup memperburuk stridor dapat menurun secara signifikan. Sebagian besar
anak-anak mengalami gejala rinore, batuk, dan kadang-kadang demam, 12
sampai 48 jam sebelum timbulnya batuk croup yang “kasar dan berat”. suara
serak menandakan timbulnya stridor pernapasan. Batuknya tidak produktif,
tetapi memiliki nada “kulit segel” yang kuat dan kasar. Stridor pernapasan
dapat disertai dengan retraksi dinding dada, biasanya paling ditandai di daerah
supraklavikula dan suprasternal. Beberapa anak mungkin mengalami stridor

25
inspirasi dan ekspirasi. Tingkat pernapasan mungkin sangat tinggi, tetapi
tingkat lebih besar dari 50 per menit tidak biasa pada anak-anak dengan croup,
berbeda dengan takipnea yang ditandai yang sering terbukti dengan
bronkiolitis.

C. Tatatalaksana

Prinsip dasar dalam tatalaksana croup adalah mengatasi obsruksi


jalan nafas. Dengan demikian, kebutuhan oksigen tetap terpenuhi. Beberapa
tindakan yang dapat dilakukan dalam tatalaksana croup ini adalah:
pemberian oksigen, epinefrin, kortikosteroid, dan tindakan intubasi.
Tatalaksna lainnya adalah pemberian antipiretik dan antibiotika (jika ada
tandatanda infeksi bakteri. [8]

Dalam tatalaksana croup, recemik epinefrin merupakan pilihan utama,


efek terapinya lebih besar, dan mempunyai sedikit efek terhadap
kardiovaskuler seperti takikardi dan hipertensi. Namun demikian, Lepinefrin
standard yang tersedia di lebih banyak rumah sakit dapat bekerja sebaik
epinefrin resemik. Pada kelainan jantung tertentu, misalnya Tetralogi Fallot
dan pasien dengan takikardi, nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan.[8]

Epinefrin diberikan dengan dosis 0,05 ml/kgBB dari 2,25%


epinefrin resemik (maksimal. 0,5 mL) dalam 3-5 mL NaCl fisiologis.
Epinefrin ini diberikan melalui alat nebulisasi setiap 2 jam. Efek yang
ditimbulkan kurang sama efektifnya dengan nebulisasi 0,5 mL/kgBB epinefrin
1/10.000 tanpa pengenceran dengan NaCl fisiologis (maks 5 mL). Setelah
pemberian nebulisasi epinefrin perlu diobservasi. Dibutukan waktu selama 6
jam sesudah nebulisasi. Pada anak, dengan gagal pernafasan dapat diberikan
ulang epinefrin. Continous epinefrin digunakan pada anak yang mendapat
perawatan di di ruang rawat intensif anak (Pediatric Intensive Care Unit).[8]

26
Antibiotika hanya diberikan pada keadaan tertentu saja. Umumnya
antibiotika tidak diperlukan dalam tetalaksana croup. Namun, ada kondisi
tertentu yang membutuhkan antibiotika, yaitu pada laringotrakheobronkhitis
yang seringkali disertai dengan superinfeksi bakteri. Pasien diberikan terapi
antibiotik empiris sambal menunggu hasil kultur. Antibiotik empiris dapat
diberikan sefalosporin generasi ke-3. Untuk epiglottitis diberikan antibiotic
golongan sefalosporin generasi ke-3 (seftriaxon atau sefotaksim) selama 7-
10 hari. Kloramfenikol selama 5 hari sama efektifnya dengan pemberian
seftriakson. Untuk trakeitis bakteri: diberikan antibiotic spektrum luas selama
10-14 hari. [8]

D. Prognosis

Kelompok tetap merupakan penyakit yang umum di antara anak-anak, tetapi


dengan modalitas yang tersedia saat ini untuk manajemen, sebagian besar anak
mungkin dirawat di rumah, dan penyakit biasanya sembuh dalam 3-4 hari.
Sebagian besar memiliki gejala ringan, dan hanya 5% anak yang dipulangkan
dari gawat darurat setelah terapi kortikosteroid perlu kembali karena gejala
yang memburuk. Jika gejala anak minimal saat dikeluarkan, kembalinya dalam
waktu 24 jam sangat kecil kemungkinan. [7]

3.4 Laringitis Alergik

Peradangan alergi dapat mempengaruhi saluran udara bagian atas dan bawah
dan penyakit alergi dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada kualitas
hidup dan produktivitas individu. Rinitis alergi mempengaruhi setidaknya 20%
dari populasi Amerika dan tingkat prevalensi meningkat. Hubungan antara
penyakit pernafasan saluran napas bagian atas dan bawah semakin diakui dan telah
digambarkan sebagai saluran udara terpadu.[9]

Konsep jalan napas terpadu digambarkan sebagai perubahan inflamasi di satu


bagian jalan napas yang menyebabkan respons inflamasi di segmen lain jalan

27
napas. Meskipun jalan napas terpadu dipelajari dengan baik dan dijelaskan,
hubungan penyakit alergi dan gejala laring dan peran alergi pada laringitis kronis
masih kurang dijelaskan dan kontroversial.Studi baru-baru ini telah mengusulkan
bahwa alergi dapat menyebabkan disfonia oleh peradangan langsung, trafik lendir
melalui laring saluran napas atas atau bawah, dan perilaku kompensasi seperti
batuk yang menyebabkan edema laring.[9]

Gejala laring yang disebabkan oleh laringitis alergi tidakspesifik dan termasuk
suara serak, kliring tenggorokan, batuk dan sensasi globus. Meskipun tidak ada
tanda-tanda laringoskopi spesifik adalah patognomonik untuk laringitis alergi,
temuan terkait dengan laringitis alergi termasuk lendir endolaringeal yang padat,
hiperemia dan edema lipatan vokal. Tanda-tanda dan gejala ini juga umum pada
pasien dengan refluks laringofaringeal (LPR) dan oleh karena itu beberapa
penelitian membahas kemungkinan alergi laringitis salah didiagnosis sebagai LPR.
Orang dengan rinitis alergi memiliki prevalensi disfonia yang lebih tinggi daripada
orang yang tidak alergi. Penyanyi dengan gejala vokal 15% --- 25% lebih mungkin
untuk memiliki rinitis alergi daripada mereka yang tidak memiliki gejala vokal.[9]

Laringitis alergi terjadi akibat paparan alergen yang dihirup, menyebabkan


gejala batuk dan disfonia dan kemungkinan terjadi melalui 3 mekanisme: (1)
peradangan lokal pada laring, hidung atau sinus paranasal menghasilkan sistem
upregulasi mediator peradangan yang melewati sirkulasi dan meningkatkan
produksi lendir lokal,(2) lalu lintas lendir melalui laring dan (3) edema mukosa
yang dihasilkan dari mekanisme kompensasi seperti membersihkan tenggorokan
dan batuk. Menurut konsep jalan napas terpadu, laringitis alergi akan terjadi akibat
penyebaran sistemik peradangan lokal yang melibatkan seluruh saluran
pernapasan.[9]

28
3.5 Laringitis TB

Tuberkulosis laring adalah radang spesifik pada laring yang disebabkan


oleh Mycobacterium tuberkulosa. Tuberkulosis laring jarang bersifat primer dan
hampir selalu disertai dengan tuberculosis paru aktif. Tuberkulosis laring
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang merupakan bakteri tahan asam
yang secara sekunder berasal dari tuberculosis paru. Tuberkulosis laring primer
jarang ditemukan. Basil tuberculosis berukuran sangat kecil, berbentuk batang
tipis agak bengkok dan bergranular, yang hanya bisa dilihat di bawah mikroskop.
Panjangnya 1-4 mikron dan lebarnya antara 0,3 - 0,6 mikron. Basil tuberkulosis
akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 370C dengan tingkat pH optimal
(pH 6,4 – 7,0).[4]

A. Etiopatogenesis
Tuberkulosis laring dapat terjadi karena infeksi primer maupun sekunder.
Pada infeksi primer terjadi karena tidak ada keterlibatan tuberkulosis paru
dan kuman secara langsung menginfeksi mukosa laring melalui partikel
udara dan mengakibatkan terbentuknya granuloma. Pada infeksi sekunder,
tuberkulosis laring terjadi bisa karena mekanisme penyebaran secara
langsung dari tuberculosis paru yang aktif, luas dan berkavitas, yang
menghasilkan sputum yang sangat infeksius dan akibat batuk keluar dari
trakeobronkial. Kuman mencapai mukosa laring melalui
1). Bronkogenik, yaitu kontak dengan sputum yang mengandung
Mycobacterium tuberculosis dan menyerang daerah mukosa yg telah
mengalami mikrolesi akibat trauma local seperti penggunaan suara yang
berlebihan dan malnutrisi.
2). Hematogen dan Limfogen, yaitu Mycobacterium tuberculosis terbawa
melalui pembuluh darah dan pembuluh limfe submukosa dari lokasi infeksi

29
di paru dan kemudian terakumulasi di submukosa laring. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. [4]

B. Tanda dan Gejala


 Gejala permulaan tuberkulosis laring adalah suara parau yang
berlangsung berminggu-minggu, mulanya ringan tetapi dapat
progresif menjadi disfonia atau afonia berat pada stadium lanjut.
 Di tenggorok mungkin ada perasaan kering, panas dan nyeri. Rasa
nyeri biasanya tidak berat, kecuali jika ada perikondritis yang akan
menyebabkan odinofagia berat dan odinofonia yang dapat menjalar ke
telinga sehingga terjadi otalgia.
 Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri
oleh karena radang lainnya merupakan tanda yang khas.
 Sumbatan jalan nafas dapat terjadi pada stadium lanjut penyakit ini,
dan diperkirakan seperempat dari penderita tuberkulosis laring
mengalami sumbatan jalan nafas pada saat mereka datang pertama
kali. Sumbatan jalan nafas dapat terjadi akibat udem, tuberkuloma atau
adanya fiksasi pita suara bilateral pada garis median.
 Gejala sistemik tuberkulosis paru biasanya juga ditemukan antara lain
berupa keluhan demam, menggigil, berkeringat pada malam hari, berat
badan menurun dan rasa lelah. Batuk dengan sputum yang
mukopurulen dan kadang- kadang batuk darah juga dapat terjadi. [4]

C. Diagnosis
1. Anamnesis yang cermat yaitu yang memenuhi tanda dan gejala yang
sesuai : disfonia berminggu-minggu sampai afonia; terasa nyeri, panas
dan kering di tenggorok; odinofagia; sumbatan jalan nafas; serta gejala
sistemik berupa keluhan demam, menggigil, berkeringat pada malam

30
hari, berat badan menurun dan rasa lelah, dan juga batuk dengan sputum
mukopurulen atau darah.
2. Pada pemeriksaan laringoskopi, didapatkan tanda dini tuberkulosis
laring berupa hyperemis di daerah interaritenoid dan pita suara bagian
posterior, dan mungkin disertai pembengkakan di daerah interaritenoid
dan timbulnya eksudat berwarna kekuningan. Epiglotis dapat juga
berwarna merah dan membengkak, terutama permukaan yang
menghadap laring. Ulkus biasanya dangkal dan ditutupi oleh eksudat
kasar berwarna abu-abu kotor dan memberi gambaran pita suara seperti
digigiti tikus (mouse eaten appearance). [4]

Gambar 3.7 mouse eaten appearance

Gambar 3.8 Udem mukosa aritenoid

31
Gambar 3.9 Udem mukosa true vocal cord

3. Pemeriksaan Histopatologi dan kultur . Diagnosis pasti tuberkulosis


laring dapat ditunjukkan oleh adanya gambaran radang granulomatosa
dengan granuloma kaseosa atau pengejuan yang khas, hiperplasia
pseudoepitelial atau adanya sel Langhans pada pemeriksaan
histopatologi, serta ditemukannya bakteri tahan asam pada hapusan dan
atau kultur sputum atau bilasan lambung penderita dengan pewarnaan
[4]
Ziehl Nielsen.

Gambar 3.9 Sel langhans

32
Gambar 3.10 Hasil mikroskopik kultur bakteri
D. Penatalaksanaan
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR 14

Tahap awal (intensif)


 Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi
obat.
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu.
 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama

33
 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan 14

34
BAB IV

RINGKASAN

Laringitis merupakan peradangan pada organ spesifik yaitu laring. Laringitis


adalah kondisi umum yang dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk akut dan kronis,
tergantung pada lamanya gejala. Etiologi dapat berhubungan dengan prekursor infeksi,
alergi, atau iritasi. Sebagaimana berlaku untuk setiap masalah medis, menentukan
etiologi yang mendasari laringitis sangat penting untuk perawatan yang akurat.
Riwayat terperinci yang diikuti oleh pemeriksaan fisik biasanya memastikan diagnosis
dan hasil yang sukses. Jika keluhan pasien agak ringan, perawatan formal mungkin
tidak perlu, karena masalahnya biasanya sembuh sendiri. Namun, dengan karakteristik
inflamasi yang lebih lanjut, terlepas dari penyebab, tanda dan gejala kompromi jalan
napas signifikan secara klinis, disfagia, dan disfonia dapat hidup berdampingan dan
memerlukan pemeriksaan dan perawatan otorhinolaryngologic yang lebih
komprehensif.

Alat diagnostik yang paling berguna dalam mengevaluasi peradangan laring


adalah endoskopi fiberoptik yang kaku atau fleksibel. Endoskopi laring sering
mengungkapkan patologi loco-regional yang dapat dibuktikan namun bervariasi,
tergantung pada etiologi yang mendasarinya.

Karena laringitis dapat diamati dalam spektrum populasi pasien yang luas,
alternatif intervensi dapat berkisar dari metode sederhana untuk jaminan dan perilaku
penghindaran hingga intervensi medico-surgical yang konservatif atau agresif.
Deskripsi terperinci dari teknik tersebut disajikan dalam algoritma pengobatan untuk
setiap subtipe laringitis.

35
Algoritma Dysphonia/Hoarseness oleh American Academy of Family Physicians [12]

Disfonia menetap
Riwayat selama 2 minggu Faktor resiko
penyalahgunaan suara dysplasia atau
atau gejala infeksi carcinoma (rokok,
saluran nafas bagian alcohol,reflux,
atas atau alergi? disfagia, hemoptysis?

Ada gejala
Voice rest, tangani
reflux
simptomatis
gastroesofageal

laringoskopi Berikan PPI Membaik dalam laringoskopi


laringoskopi 2 minggu
dosis tinggi
jangka pendek

Lanjut terapi
Membaik dalam simptomatis,
4 minggu laringoskopi jika
disfonia berulang

laringoskopi Lanjut terapi PPI,


laringoskopi jika Sedang pakai
disfonia berulang kortikosteroid
inhalasi

Ada penyakit Kurangi atau


sistemik lain hentikan

laringoskopi Atasi
Membaik dalam 4 minggu
penyebab

Membaik dalam 4 minggu laringoskopi Lanjut terapi


minimal
kortikosteroid
laringoskopi Lanjut terapi, jika diperlukan,
laringoskopi jika laringoskopi jika
36
disfonia berulang disfonia berulang
DISFONIA

-Riwayat perokok berat


-otalgia
MENETAP ATAU -disfagia/odinofagia
TERDAPAT RED -Stridor
FLAGS -Hemoptysis
-demam/keringat malam
hari/penurunan berat
Riwayat badan
aktivitas -Massa di leher

Penggunaan suara Laryngopharyngeal Penggunaan steroid


Mengalami ISPA
berlebih/phonotrauma reflux inhalasi

Voice rest dan hidrasi - Edukasi teknik benar


-voice rest Pertimbangkan cukup penggunaan inhalasi
-Hidrasi cukup gunakan PPI dan
- Bilas mulut dan
-Rujuk perubahan pola hidup
berkumur
- pertimbangkan
antigungal jika ada
sariawan

Evaluasi 6-8 minggu

Rujuk ke Spesialis
THT-KL Gejala hilang Tidak perlu dirujuk

Algoritma Disfonia berdasarkan The Royal Australian College of General Practitioners 13

37

Anda mungkin juga menyukai