Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Actinomycosis at supraglottic merupakan infeksi akibat bakteri


actinomycosis yang terjadi di laring. Istilah actinomycosis pertama kali digunakan
pada tahun 1877 oleh Bolinger untuk mendeskripsikan massa yang seperti
sarkoma pada rahang binatang ternak1. Istilah actinomycosis sering disalah
artikan karena kata "mycosis" yang mempunyai arti infeksi jamur, walaupun
actinomycosis itu sendiri merupakan infeksi akibat jamur2. Penyebab yang paling
sering terjadinya infeksi ini adalah Actinomyces Israelii yang merupakan
organisme anaerob gram positif yang masuk ke dalam tubuh manusia melewati
mukosa yang hancur. Actinomycosis sebenarnya juga merupakan flora normal
pada rongga mulut, orofaring dan sistem pencernaan3. Penyakit actinomycosis
bersifat progresif dengan menimbulkan gejala ditimbulkan berupa abses disertai
nyeri, jaringan yang berisi infiltrat dan dapat juga didapatkan gambaran granul-
granul sulfur. Pada infeksi actinomycosis at supraglottic menyebabkan keluhan
seperti suara serak, sakit tenggorokkan dan disfagia3,4. Insiden penyakit
actinomycosis pada manusia telah berkurang secara siginifikan di Amerika
Serikat. Prevalensi kasus tersebut dilaporkan sekitar 1 dari 12.000 populasi pada
tahun 1930, 1 dari 21.000 populasi pada tahun 1950, dan terakhir pada 1970
dilaporkan 1 dari 63.000 populasi2. Dari segi umur actinomycosis paling sering
terjadi pada umur lebih dari 10 tahun dan kurang dari 60 tahun3. Berdasarkan
gender pria lebih sering terkena dari pada wanita, dari kasus-kasus yang telah
dilaporkan perbandingan pria dan wanita sekitar 3:13.
Laporan kasus infeksi actinomycosis at supraglottic yang dilakukan oleh
Raden Isma Nurul Aini di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin di Bandung,
Indonesia pada Februari 2016 menyimpulkan bahwa salah satu faktor risiko pada
actinomycosis at supraglottic adalah keadaan defisiensi imun akibat infeksi HIV.
Pada laporan tersebut seorang laki-laki berusia 21 tahun didagnosa dengan
inflamasi kronis pada tonsil lingual dan supraglotis disertai HIV. Setelah
dilakukan pemeriksaan

Universitas Tarumanagara 1
didapatkan granulomatosa dengan granul sulfur yang menunjukkan peradangan
kronis bakteri actinomycosis. Hal ini menunjukkan bahwa defisensi imun
merupakan salah satu faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Actinomycosis at
supraglottic merupakan penyakit yang jarang tetapi harus tetap diwaspadai,
dikarenakan pengobatan yang terlambat dapat menyebabkan perluasan penyakit
bahkan kematian5.

Universitas Tarumanagara 2
BAB II
2.1 Anatomi Laring
Laring pada manusia merupakan suatu organ kompleks yang mempunyai
fungsi sebagai proteksi pernapasan bagian bawah, respirasi dan juga fonasi atau
proses bersuara. Panjang laring pada orang dewasa sekitar 8 cm. Batas atas laring
adalah aditus laryngis dan batas bawah merupakan pinggir inferior kartilago
krikoid. Pada orang dewasa batas bawah laring setinggi tulang servikal 3 sampai
servikal 6 (C3 -C6)6,7.

2.1.1 Struktur Penyangga Laring


Laring terbentuk dari satu tulang yaitu tulang hioid dan tujuh tulang rawan
atau kartilago yang terdiri dari kartilago tiroid, kartilago krikoid, epiglotis,
kartilago kuneiforme, kartilago korniculata, kartilago arytenoid, dan kartilago
tritisea. Tulang hioid berada di sebelah superior berbentuk seperti huruf U dan
dapat dipalpasi di leher depan dan lewat mulut pada dinding faring lateral8.
Permukaan seblah atas tulang hioid termasuk kedua prosesus yaitu kornu majus
dan kornu minus menjadi tempat melekatnya otot-otot lidah, mandibula dan
kranium Sehingga saat menelan kontraksi dari otot-otot ini akan mengangkat
laring. Kartilago tiroid merupakan kartilago laring yang terbesar dan berbentuk
seperti perisai yang berfungsi untuk melindungi epiglotis. Terdiri dari dua sayap
(lamina thyroidea) yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan
membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adams apple /
prominentia laryngea. Bagian posterior lamina membentuk kornu superior dan
kornu inferior. Kartilago krikoid berada di bawah kartilago tiroid yang
dihubungkan oleh ligamentum krikotiroid. Kartilago krikoid berbentuk lingkaran
utuh pada saluran pernapasan. Bagian posterior dari katilago krikoid cukup lebar
sehingga disebut signet ring. Epiglotis merupakan struktur tunggal berbentuk
seperti bat pingpong yang berfungsi sebagai pembatas untuk mencegah makanan
masuk ke saluran pernapasan. Epiglotis mumnya sedikit cekung pada bagian
posterior pada orang dewasa namun pada sebagian orang epiglotis tampak jelas
melengkung disebut sebagai epiglotis omega atau juvenilis. Selanjutnya Kartilago

Universitas Tarumanagara 3
aritenoid, berbentuk ireguler dan memiliki dua tonjolan meliputi prosesus
muskular lateral dan prosesus vokal anterior. Kartilago kornikulata dan kartilago
kuneiforme merupakan sepasang kartilago yang mengandung jaringan
fibroelsatik. Nama lain dari kartilago kornikulata ialah kartilago santorini yang
merupakan bagian atas dari kartilago arytenoid. Sedangkan kartilago kuneiforme
mempunyai istilah lain kartilago Wrisberg yang berada di sebelah lateral dari
kartilago kornikulata dan menempel pada bagian epiglotis. Kartilago tritisea
terdapat pada pinggir ligamentum tirohioid lateral.6,8,9

Gambar 2.1 Anatomi laring tampak dorsal10

Universitas Tarumanagara 4
2.1.2 Ligamentum Laring dan membran Laring
Ligamentum Laring terdiri dari ligamentum ekstrinsik dan ligamentum
instrinsik. Ligamentum ektrinsik laring menghubungkan kartilago hioid disebelah
atas dan dengan trakea di sebelah bawah. Membran tirohioid terbentang sepanjang
tepi atas kartilago tiroid dengan tepi bagian belakang os hioid yang mengandung
jaringan fibroelastik. Ligamentum krikotrakeal berada di sebelah bawah yang
merupakan perbatasan tulang rawan krikoidea dan tulang rawan trakea.
Ligamentum intrinsik laring berfungsi untuk menghubungkan kartilago,
memperkuat jaringan ikat dan membentuk kerangka dalam laring. Ligamentum
intrinsik laring terbagi menjadi bagian atas dan bagian bawah oleh ventrikel
laring. Bagian atas adalah membran kuadranguler yang merupakan jaringan ikat
longgar elastis laring, membentang dari tepi lateral epiglotis ke kartilago aritenoid
dan kartilago kornikulata. Tepi atasnya membentuk plika ariepiglotika, tepi
bawahnya menebal membentuk ligamentum vestibular yang menjadi dasar dari
lipatan vestibular. Bagian bawah ligamentum intrinsik laring lebih tebal
dibandingkan bagian atasnya mengandung banyak serat elastin. Batas belakang
membran melekat pada tepi atas kartilago krikoid. Batas atas membran melekat
pada komisura anterior kartilago tiroid dan kartilago aritenoid. Pinggir dari
membran triangular menebal dan membentuk ligamentum vokal6.

Universitas Tarumanagara 5
Gambar 2.2 Anatomi laring tampak ventral6.
2.1.3 Otot Laring
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot ekstrinsik dan otot-
otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik bekerja pada laring secara keseluruhan, seperti
menarik laring ke atas atau ke bawah. Otot-otot intrinsik menyebabkan gerakan
pada bagian laring tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara. Otot-
otot ekstrinsik laring terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan di bawah tulang
hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik suprahioid terdiri atas M. tirohioid, M.
stilohioid, M. digastrik, M. geniohioid, M. milohioid, dan M. stilofaring. Otot-otot
ekstrinsik infrahioid terdiri atas M. omohioid, dan M. sternotiroid. Otot-otot
ekstrinsik laring berfungsi untuk menggerakan laring secara keseluruhan. Bagian
suprahioid berfungsi untuk menarik laring ke bawah, sedangkan bagian infrahioid
menarik laring ke atas. Otot-otot intrinsik laring yang terletak di bagian lateral
adalah M. krikoaritenoid lateral, M. tiroepiglotika, M. vokal, M. tiroaritenoid, M.

Universitas Tarumanagara 6
ariepiglotika dan M. krikotiroid. Otot-otot intirinsik laring yang terletak di bagian
posterior adalah M. aritenoid transversum, M. aritenoid obliq dan M.
krikoaritenoid posterior. Otot-otot intrinsik laring berfungsi menggerakkan
struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara dan bernapas.
Sebagian besar otot-otot intrinsik bekerja mendekatkan kedua pita suara ke
tengah, kecuali M. krikoaritenoid posterior yang kontraksinya akan menjauhkan
kedua pita suara ke lateral11.

2.1.4 Rongga Laring


Batas atas rongga laring adalah aditus laring dan batas bawah adalah
bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas depan rongga laring
adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik, ligamentum
tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid, dan arkus kartilago
krikoid. Batas lateral rongga laring adalah membran kuadrangular, kartilago
aritenoid, konus elastik dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya
adalah M. aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid. Dengan adanya
lipatan mukosa pada ligamentum vokal dan ligamentum ventrikular, maka
terbentuklah plika vokal dan plika ventrikular. Bidang antara plika vokal kiri dan
kanan, disebut rima glotis. Bidang antara kedua plika ventrikular, disebut rima
vestibuli. Rima glotis memiliki 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran adalah ruang antara kedua plika vokal, dan
terletak di bagian anterior. Bagian interkartilago terletak antara kedua puncak
kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Plika vokal dan plika
ventrikular membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik
dan subglotik. Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat di atas plika
ventrikular dan di bawah aditus laring. Daerah ini disebut supraglotik. Antara
plika vokal dan plika ventrikular, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring
morgagni. Daerah subglotik atau kavitas infraglotik memiliki batas atas yaitu
plika vokal dan batas bawah pinggir bawah kartilago krikoid.11,12

Universitas Tarumanagara 7
2.1.5 Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu N. laring
superior dan N. laring inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran dari saraf
sensorik dan motorik. Nervus laring superior bercabang menjadi N. laring
superior ramus internus dan N. laring superior ramus ekterna. Ramus eksterna
berjalan pada permukaan luar M. konstriktor faring inferior dan menuju ke M.
krikotiroid. Ramus interna bersama dengan A. laryngis superior menembus
membran tirohioid menuju ke mukosa laring. Nervus laring superior
mempersarafi M. krikotiroid, dan memberikan sensasi pada mukosa laring di
bawah pita suara. Nervus laring inferior merupakan lanjutan dari N. rekuren,
dimana N. rekuren merupakan cabang dari N. vagus. Nervus laring inferior
bercabang menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan
anastomosis dengan N. laring superior ramus interna.11

Gambar 2.3 Laring tampak lateral (komplit) 6

Universitas Tarumanagara 8
2.1.6 Vaskularisasi Laring
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu bagian atas oleh A.
laring superior dan bagian bawah oleh A. laring inferior. Arteri laring superior
merupakan cabang dari A. tiroid superior, dimana A. tiroid superior merupakan
cabang dari A. karotis eksterna. Arteri laring superior dan N. laring superior
berjalan menembus membran tirohioid untuk mempendarahi mukosa dan otot-otot
laring. Arteri laring inferior merupakan cabang dari A. tiroid inferior, dimana A.
tiroid inferior merupakan cabang dari trunkus tiroservikal. Arteri laring inferior
dan N. laring inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid, memasuki laring
melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. Di dalam laring
arteri itu bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot serta beranastomosis
dengan A. laring superior. Vena laring superior dan vena laring inferior letaknya
sejajar dengan a.laring superior dan inferior yang kemudian bergabung dengan
vena tiroid superior dan inferior.11

2.2. Histologi laring


Pada preparat histologik laring dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin
(Gambar 2.4) plika vestibular dilapisi oleh mukosa berhubungan dengan bagian
posterior dari epiglotis. Seperti di epiglotis, plika vestibular terdiri dari epitel
kolumnar berlapis semu bersilia dengan sel goblet. Pada lamina propia banyak
terdapat kelenjar seromukosa. Duktus eksretori yang berasal dari kelenjar
seromukosa tehubung ke bagian luar epitel. Kelenjar limfa, pembulu darah, dan
sel adiposa juga berada di daerah lamina propia plika vestibular. Ventrikel
merupakan bagian yang memisahkan pita suara atau plika vokal dengan plika
vestibular. Mukosa yang berada di ventrikel mirip dengan mukosa yang berada
pada plika vestibular. Kelenjar getah bening lebih banyak pada daerah ini dan
kadang disebut sebagai "laryngeal tonsils". Lamina propia menyatu dengan
perikondrium dari hialin kartilago tiroid. Mukosa pada plika vokal terdiri dari
epitel berlapis skuamosa. Bagian atas dari plika vokal ialah ligamen vokal yang
mengandung serat elastik dan otot vokal13.

Universitas Tarumanagara 9
Gambar 2.4 Histologi laring13

2.3 Fisiologi laring


Laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun ternyata
laring mempunyai tiga fungsi utama meliputi proteksi jalan napas, respirasi, dan
fonasi. Perlindungan jalan napas selama menelan terjadi melalui beberapa
mekanisme. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja dari otot tiroaritenoid dalam
plika ariepiglotika dan korda vestibular, di samping aduksi plika vokal yang
ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal
lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika

Universitas Tarumanagara 10
ariepiglotika ke bawah menutup aditus laring. Struktur ini mengalihkan makanan
ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke sinus piriformis, dan selanjutnya
ke esofagus. Relaksasi oto krikofaring yang terjadi bersamaan mempermudah
jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Bukan hanya
itu, respirasi juga di hambat dalam proses menelan melalui refleks yang diperantai
reseptor mukosa pada daerah supraglotis. Hal tersebut mencegah inhalasi
makanan atau saliva ke dalam trakea. Pada bayi posisi laring lebih tinggi sehingga
memungkinkan kontak antara epiglotis dengan palatum mole sehingga bayi dapat
bernapas selama menyusui tanpa masuknya makanan ke jalan napas. Selama
respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh derajat penutupan korda vokal.
Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi
pengisian dan pengosongan jantung dan paru.
Proses pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks.
Korda vokal yang teraduksi, berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang
bergetar akibat udara yang dipaksa antara korda vokal akibat kontraksi otot-otot
respirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara.
Otot intrinsik dan ekstrinsik laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi
nada dengan mengubah bentuk dan massa pada ujung korda vokal dan tegangan
korda itu sendiri. Kekerasan suara pada sesuai dengan tekanan aliran udara
subglotis yang menimbulkan terjadinya gerakan pada korda vokal. Lalu untuk
berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara
aritenoid yang terabduksi tanpa getaran plika vokal8.

Universitas Tarumanagara 11
BAB III
ACTINOMYCOSIS AT SUPRAGLOTTIC

3.1 Definisi
Actinomycosis at supraglottic merupakan bagian dari laryngeal
actinomycosis atau aktinomikosis pada laring yang menunjukkan manifestasi
klinis yang tidak biasanya, penyebab infeksi actinomycosis sebenarnya berasal
dari flora normal yang berada di mulut dan orofaring14. Actinomycosis sendiri
merupakan infeksi bakteri anaerob gram positif berasal dari genus actinomyces.
Seperti yang diketahui actinomyces bukan hanya merupakan flora normal pada
rongga mulut tetapi juga pada faring, dan sistem pencernaan15,16. Mesikupun
merupakan flora normal tubuh, orang yang mempunyai riwayat pengobatan terapi
radiasi pada leher ataupun trauma, dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi14.
Actinomycosis dapat terjadi di regio cervico-facial, rongga abdomen, dan mulut.
Tanda dan gejala umum yang sering ditimbulkan berupa abses disertai nyeri, dan
jaringan yang berisi infiltrat. dapat juga didapatkan gambaran granul-granul sulfur
yang merupakan ciri khas dari Actinomyces5,15.

3.2 Epidemiologi
Actinomycosis merupakan kasus infeksi bakteri yang jarang terjadi.
Patogen ini tidak muncul di alam bebas melainkan flora normal di orofaring dan
sistem pencernaan atas. Penyebaran infeksi ini tidak dari orang ke orang
melainkan bersifat endogenous infection yang berasal dari dalam tubuh17. Dari
segi umur actinomycosis dapat terjadi pada segala usia, tetapi dari kasus-kasus
yang telah dilaporkan pasien lebih banyak terkena pada umur lebih dari 10 tahun
dan kurang dari 60 tahun3. Hal ini terjadi kemungkinan akibat dari pengaruh
hormon yang ikut berperan menimbulkan penyakit tersebut17. Berdasarkan gender
pria lebih sering terkena dari pada wanita, dari kasus-kasus yang telah dilaporkan
perbandingan pria dan wanita sekitar 3:1. Di Belanda dan German dari studi yang
pernah dilakukan insidens penyakit ini didapatkan 1 dari 100.000 kasus,
Sedangkan di daerah Cleveland, Amerika adalah 1 dari 300.000 kasus3.

Universitas Tarumanagara 12
3.3 Etiologi
Actinomycosis umumnya disebabkan oleh bakteri gram positif
Actinomyces israelii. Selain actinomyces israelii ada beberapa spesies yang dapat
menyebabkan actinomycosis seperti Actinomyces naeslundii, Actinomyces
viscosus, Actinomyces odontolyticus, Actinomyces meyeri, Actinomyces
gerencseriae (dulunya disebut A. israelii serotype II) , dan Propionibacterium
propionicum. Bakteri-bakteri ini juga bisa menyebabkan infeksi pada kelenjar
lakrimal sehingga membuat mata merah dan sering mengeluarkan air mata
(lacrimal canaliculitis) dan infeksi pada gigi atau endodontic infection. Penelitian
lebih lanjut di bidang mikrobiologi dengan menggunakan metode genotypic
seperti ribosom 16S RNA menunjukkan adanya spesies actinomycosis yang baru.
Sekarang ini terdapat 47 spesies dan 2 subspesies yang telah ditemukan
dari manusia maupun binatang, dan hanya 25 spesies yang telah divalidasikan
menyebabkan infeksi pada manusia, contohnya adalah Actinomyces europaeus,
Actinomyces neuii, Actinomyces radingae, Actinomyces graevenitzii, Actinomyces
turicensis, Actinomyces georgiae, Arcanobacterium (Actinomyces) pyogenes,
Arcanobacterium (Actinomyces) bernardiae, Actinomyces funkei, Actinomyces
lingnae, Actinomyces houstonensis,Actinomyces massiliiensis, Actinomyces
timonensis, dan Actinomyces cardiffensisare5. Infeksi actinomycosis biasanya
berhubungan dengan infeksi lainnya seperti eikenella corrodens, streptococcus,
bacteroides, enterococcus dan fusobacterium spp. Infeksi ini hnaya dapat
menyerang individu yang mengalami kerusakan jaringan atau mukosa yang
rupture, selain itu pasien yang memiliki riwayat diabetes meilitus , malnutrisi dan
juga imunkompromais merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit
actinomycosis3.
Teori lain membagi etiologi berdasarkan lokasi yaitu infeksi actinomyces
di mulut, faring, saluran pencernaan dan bagian distal esofagus. Pertama di mulut
penyebabnya yaitu Actinomyces georgiae, Actinomyces gerencseriae,
Actinomyces graevenitzii, Actinomyes israelii, Actinomyces meyeri, Actinomyces
naeslundii, Actinomyces odontolyticus, dan Actinomyces oris. Lalu pada bagian
saluran faring meliputi Actinomyces cardiffensis, Actinomyces georgiae,

Universitas Tarumanagara 13
Actinomyces gerencseriae, Actinomyces israelii, Actinomyces massiliensis,
Actinomyces meyeri, Actinomyces naeslundii, Actinomyces odontolyticus,
Actinomyces radicidentis18.

Gambar 3.1 Etiologi actinomycosis18

3.4 Klasifikasi
Menurut Mel Mapparu, 1938 Cope mengklasifikasi Actinomycosis menjadi tiga
kelas berdasarkan letak terjadinya infeksi bakteri tersebut yaitu : a. Cervicofacial
Actinomycosis, b. abdominal Actinomycosis, c. pulmonal Actinomycosis19.
Sedangkan berdasarkan tempatnya actinomycosis dapat terjadi di oral-
cervicofacial, thoracic, mediastinal, abdominal, pelvic, central nervous system,
maupun di sistem muskulo-skeletal3.

3.5 Patofisiologi
Tahap terpenting patogenesis masuknya kuman actinomyocosis ke dalam
tubuh manusia adalah gangguan pada dinding mukosa (Gambar 3.2). Pada
penyakit di bagian mulut dan cervicofacial tidak jarang berhubungan dengan
kesehatan gigi yang kurang baik , post-trauma, pemberian radioterapi pada kepala
dan leher, maupun operasi di bidang onkologik.

Universitas Tarumanagara 14
Gambar 3.2 Patogenesis Aktinomikosis19
Spesies bakteri yang lain biasanya juga muncul secara bersamaan sebagai
organisme pendamping yang membantu mengurangi pertahanan tubuh dari host
nya dengan cara mengurangi tekanan oksigen. Seperti halnya actinomyces dan
streptococcus spp meningkatkan resistensi untuk memfagositosis dan membunuh.
Manifestasi dari fase inflamasi akut yang kadang terlihat adalah selulitis disertai
nyeri di bagian oral-cervicofacial ataupun infeksi di jaringan lunak tubuh. Pada
fase yang lebih lama atau kronik mempunyai karakteristik lesi fibrotik padat yang
berkembang secara perlahan, dan bertahap menyebar ke jaringan lainnya. Lesi
yang muncul berupa bengkak disertai indurasi. Lesi tersebut dapat timbul sebagai
lesi tunggal maupun lesi multipel. Lama kelamaan lesi tersebut matang sehingga
menjadi lunak, berfluktuasi atau bisa digerakan dan bersupurasi atau
mengeluarkan nanah.
Kasus actinomycosis juga berkaitan pada pengobatan yang menggunakan
steroid, infliximab, bifosfonat, kemoterapi pada leukimia akut, transplantasi organ,
infeksi granulomatosa kronik dan human immunodeficiency virus (HIV).
Bagaimanapun patogenesis penyakit ini masih belum jelas apakah pertahanan
tubuh berperan penting pada pencegahan atau mengkontrol infeksi ini3.

Universitas Tarumanagara 15
3.6 Histopatologi
Actinomyces adalah bakteri gram postif berfilamentosa. Actinomyces
teraspirasi dari orofaring dimana merupakan flora normal di tonsil pada anak atau
gigi yang tidak bersih dan gingivitis (radang pada gusi) pada lansia. Secara
histologis bakteri actinomycosis sangat bervariasi dengan ciri mikroabses, infiltrat
limfosit polimorfik, histosit, sel plama, giant cell, dan fibrosis. Sekali waktu
respon inflamasi pada jaringan fibrotik dapat didiagnosa sebagai inflammatory
pseudotumor. Diagnosis pasti actinomycosis pada pemeriksaan histopatologis
adalah didapatkannya granul-granul bersulfur (Gambar 3.3), lalu secara
mikroskopik menunjukkan bakteri gram positif yang berokoloni. Pewarnaan gram
dengan teknik Grocott-Gomori Methenamine Silver (GMS) menunjukkan filamen
bundar yang iregular dilapisi matriks eosinofil dari eksudat plasma protein
membentuk reaksi Splendore-Hoeppli20.

Gambar 3.3 Gambaran Histopatologi actinomycosis21.


Hasil dari Gambar 3.3.A menunjukkan koloni dari aktinomikosis
menggunakan pewarnaan hematoksilin dan eosin dengan (100 kali perbesaran),
Gambar 3.3.B didapatkannya koloni bakteri berfilamentosa dengan pewarnaan
gram (400 kali perbesaran), Gambar 3.3.C menunjukkan koloni bakteri
berfilamentosa menggunakan pewarnaan GMS (400 kali perbesaran)21.

3.7 Tanda dan Gejala


Manifestasi klinik secara umum dari actinomycosis di bagi menjadi 3 yaitu
actinomycosis cervicofacial, abdominal and pelvic actinomycosis, pulmonary

Universitas Tarumanagara 16
actinomycosis atau thoracic actinomycosis. Actinomycosis lainnya dapat terjadi di
Central Nervous System (CNS) actinomycosis , dan Musculoskeletal
actinomycosis. Actinomycosis yang paling sering biasanya terjadi di lokasi
cervicofacial kurang lebih 55 persen dari kasus infeksi actinomycosis. Pada pasien
cervicofacial actinomycosis sering disertai riwayat trauma pada mulut, riwayat
operasi pada mulut, dan karies gigi yang semuanya dapat memfasilitasi masuknya
bakteri actinomycosis ke dalam jaringan cervicofacial. Manifestasi klinisnya
berupa lumpy jaw yaitu benjolan di daerah leher yang tidak nyeri serta dapat
membentuk fistula22. pada trauma mulut manifestasi yang timbul ialah rasa nyeri,
indurasi dan pembengkakan yang berwarna merah pudar (dull-red) pada jaringan
lunak pada daerah lesi. Tempat paling sering terdapat massa inflamasi adalah pada
regio mandibula. Selain itu, pasien juga mengeluh sering gatal dan trismus23,24.
Infeksi yang lebih kronis menimbulkan warna kebiruan pada lesi (bruish
discoloration). Massa fluktuasi, edema, pembengkakan jaringan lunak, abses yang
disertai demam dan penurunan berat badan. Gumpalan massa disertai lesi ulseratif
dapat juga terjadi di lidah, rongga hidung, nasofaring, tiroid, hipofaring, dan
laring. Infeksi actinomycosis cervicofacial juga dapat menyebar ke daerah
sekitarnya seperti lidah, sinus, selaput otak, dan pembuluh darah jika dibiarkan24.

3.8 Diagnosis
Diagnosis actinomycosis dapat ditegakkan dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

3.8.1 Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap dan terarah meliputi keluhan
yang dialami, sejak kapan timbulnya, bagaimanakah progesifitas perjalanan
pernyakit tersebut, bila keluhan tersebut berupa timbulnya benjolan apakah
disertai dengan nyeri, adakah riwayat, pernahkah mempunyai riwayat seperti
demikian sebelumnya, adakah riwayat yang dapat meningkatkan terjadinya
infeksi tersebut seperti mempunyai kebersihan gigi yang buruk, radang pada gusi,
trauma di mulut, riawayat pengobatan radiasi ataupun pengobatan menggunakan

Universitas Tarumanagara 17
bisfosfonat. Pasien biasa mengeluhkan bengkak yang tidak nyeri di daerah
mandibular atau sekitar rahang, dan kesulitan mengunyah. Pada infeksi di daerah
laring sendiri keluhan dapat berupa suara serak, sakit tenggorok dan disfagia3,4.
3.8.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik actinomycosis at supraglottic berupa keadaan umum,
status general, pemeriksaan pada telinga hidung dan tenggorok yaitu inspeksi dan
palpasi, termasuk juga pemeriksaan laringoskopi. Ada 2 tipe pemeriksaan
laringoskopi yaitu laringoskopi direk dan laringoskopi indirek. Pada laringoskopi
indirek dilakukan dengan menggunakan kamera yang dimasuki melewati rongga
mulut menuju laring, sedangkan laringoskopi direk dilakukan pada ruang operasi
dengan anastesi umum sehingga pemeriksa melihat langsung pita suara, dan
bagian laring lainnya11. Cara memasukan laringoskopi direk ialah pasien harus
dianastesi umum, setelah pasien tidak sadar posisikan leher pasien ekstensi ke atas
(sniffing position), buka mulut pasien dengan menggunakan scissors technique
yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk pada tangan sebelah kanan,
masukan laryngoscope blade dengan tangan kiri secara perlahan, arahkan secara
perlahan ke bagian tengah sampai terlihat epiglotis25.
Pemeriksaan laringoskop tak langsung dapat dilakukan melalui kaca laring
atau dengan menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid telescope) atau
serat optik (fiberoptic telescope). Penggunaan teleskop dapat dihubungkan dengan
alat video yang disebut videolaringoskopi. Video laringoskopi dapat memberikan
visualisasi laring yang lebih jelas, terutama pita suara baik keadaan diam (stasis)
maupun saat bergerak (dinamis). Visualisasi laring dan pita suara secara dinamis
akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop dimana gerakan pita suara dapat
diperlambat sehingga dapat telihatan getaran (vibrasi) pita suara dan gelombang
mukosanya (mucosal wave)11. Pemeriksaan laringoskopi laryngeal actinomycosis
menunjukkan gambaran edema supraglotik dan eritema dengan lesi eksudat
disepanjang pita suara (vocal folds) dan vestibular folds14. Salah satu contoh
gambaran laryngeal actinomycosis yaitu penelitian yang dilakukan oleh Keisuke
Yoshihama pada tahun 2013 didapatkan gambaran massa ireguler di sepertiga
bagian pita suara kiri dengan laringoskopi indirek (Gambar 3.4).

Universitas Tarumanagara 18
Gambar 3.4 kuman actinomyosis di pita suara dengan laringoskopi indirek26.

3.8.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan ialah pemeriksaan laboratorium,
radiologik dan mikrobiologik. Pemeriksaan laboratorium berupa hitung darah
lengkap menunjukkan anemia dan leukositosis, laju endap darah (LED)
meningkat, dan C-Reactive protein (CRP) meningkat. Mikrobiologi berupa kultur
dan pewarnaan gram27. untuk radiologik pemeriksaan berupa CT-scan dan
Magnetic resonance imaging (MRI). MRI lebih sensitif dibandingkan penggunaan
CT-scan untuk mendeteksi gejala sisa dari infeksi ini dan sebaiknya dilakukan
bila memungkinkan3.

3.8.4 Diagnosa Banding


Diagnosa banding yang utama dari actinomycosis ialah infeksi bakteri
Nocardia. Baketri Actinomyces bukan merupakan bakteri tahan asam (BTA) dan
tidak bisa dilihat menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen, meskipun terkadang
mereka merupakan BTA yang lemah. Nocardia adalah bakteri berfilamentosa
yang tidak bisa dilihat menggunakan pewarnaan hematoksilin dan eosin tetapi
bakteri ini bisa dilihat dengan baik menggunakan pewarnaan modified Ziehl-
Neelsen. Perbedaan antara kedua bakteri berfilamen ini penting terkait dengan
sensitivitas mereka terhadap pengobatan dengan menggunakan antibiotik.
Penisilin merupakan drug of choice untuk mengobati actinomycosis, sedangkan
untuk bakteri Nocardia penggunaan penisilin kurang responsif, maka dari itu

Universitas Tarumanagara 19
digunakan antibiotik golongan sulfa seperti kortimoksazol dan trimetroprim28.
Lesi yang berisikan massa pada infeksi actinomycosis mungkin bisa
bermanifestasi sebagai tumor, perlu dilakukan tindakan invansif untuk menegakan
diagnosis seperti dilakukan biopsi. actinomycosis juga harus dibedakan dengan
infeksi inflamasi kronik, polimikrobakterial infeksi dan infeksi akibat jamur22.

3.9 Tatalaksana
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi actinomycosis
yang paling sering disebabkan oleh actinomyces israelii ini berkaitan dengan
infeksi HIV, penggunaan steroid dan tumor proliferatif berkaitan dengan rusaknya
mukosa maupun penurunan kekebalan tubuh. Dari segi pengobatan dilakukan
pengobatan langsung terkait penyakit HIV dan meminimalisasi penggunaan
immunosupresi, lalu dilanjutkan dengan pengobatan antibiotik yang biasanya
infeksi ini mempunyai respon baik hanya dengan pengobatan secara oral. Untuk
infeksi yang lebih luas dan tidak bisa diobati dengan orang dapat dilakukan terapi
non farmakologi.

3.9.1 Terapi Farmakologi


Penemuan dan penggunaan antibiotik penisilin dalam pengobatan
actinomycosis telah secara dramatis mengubah jalannya penyakit ini. Dua prinsip
terapi, berdasarkan pengalaman klinis dari 70 tahun terakhir telah mengalami
evolusi. Sangat penting mengobati penyakit ini dengan dosis yang tinggi dan
jangka waktu yang lama. Penggunaan terapi dengan penisilin intravena sebanyak
18 sampai 24 juta unit dengan jangka waktu 2 sampai 6 minggu ditambah dengan
terapi oral yaitu penisilin atau amoxisilin selama 6 sampai 12 bulan merupakan
pedoman untuk mengobati infeksi ini. Kasus yang lebih ringan biasanya pada
cervicofacial actinomycosis mungkin bisa diobati dengan durasi yang lebih
singkat dengan obat oral. Penggunaan tetrasiklin untuk penderita yang alergi
terhadap penisilin memberikan hasil yang baik dan banyak yang berhasil sembuh.
Tetrasiklin dapat diberikan oral dengan dosis 500mg, diminum empat kali sehari.
Selain tetrasiklin bisa diberikan obat lain seperti eritromisin, doksisiklin, dan

Universitas Tarumanagara 20
klindamisin. Doksisiklin bekerja menghambat sintesa protein dan pertumbuhan
bakteri dengan mengikat subunit ribosom 30S dan 50S dari bakteri18. Klindamisin
juga bekerja menghambat pertumbuhan bakteri dengan memblokir rantai peptidyl
t-ribonucleic acid (RNA) dari ribosom menyebabkan pembentukan RNA
terhambat, tetapi pemakaian obat doksisiklin kurang efektif membunuh bakteri
penyerta lainnya29.
Untuk pasien yang sedang hamil eritromisin merupakan alternatif yang
aman dengan dosis 500 mg sampai 1000 mg intravena atau 500 mg peroral setiap
enam jam sekali. Terapi yang lebih mudah bisa dilakukan dirumah dengan
menggunakan ceftriakson satu kali sehari. Ceftriakson berguna untuk mengobati
penyakit actinomycosis cervicofacial derajat sedang sampai berat, cara kerjanya
yakni menangkap pertumbuhan bakteri dengan mengikat bakteri ke pengikat
protein (penicillin-binding protein). Penggunaan kombinasi obat antibiotik beta-
laktam dengan beta-lactam inhibitor (contohnya asam klavulanat) juga
memberikan hasil yang adekuat30. Obat yang harus dihindari untuk menangani
penyakit ini meliputi metronidazole, golongan aminoglikosida, oksasilin,
dikloksasisilin dan sefaleksin. Beberapa teori juga membagi terapi menjadi 3 lini
dan menjadi protokol pengobatan infeksi actinomycosis30.

Gambar 3.5 Terapi actinomycosis30

Universitas Tarumanagara 21
3.9.2 Terapi non-farmakologi
Tindakan pengobatan non farmakologi lebih ditunjukan untuk pasien yang
tidak bisa diobati dengan pengobatan yakni dengan dilakukannya tindakan
operasi. Untuk lesi yang berbentuk abses juga bisa dilakukan drainase secara
prekutan dengan kombinasi terapi obat3.

3.10 Prognosis
Prognosis aktinomikosis tanpa pengobatan umumnya buruk bila tidak
diobati dengan cepat dan tepat. Apabila aktinomikosis didiagnosis dini dan diobati
dengan terapi antibiotik yang tepat, prognosisnya sangat baik. Karena
actinomycosis bersifat progresif, prognosis tergantung pada tahap di mana infeksi
didiagnosa dan diobati. Meskipun perbaikan lambat dan membutuhkan terapi
antibiotik selama berbulan-bulan, kebanyakan individu dapat pulih. cervicofacial
actinomycosis merupakan daerah infeksi yang paling mudah diobati. Jika infeksi
tidak sepenuhnya dihilangkan, penderita berisiko untuk kambuh kembali atau
rekuren dalam bentuk yang lebih parah. Infeksi yang tidak diobati dapat
menyebabkan cedera jaringan luas atau kematian31.

3.11 Pencegahan
Pencegahan infeksi actinomycosis at supraglottic dicegah dengan menjaga
kebersihan mulut secara teratur. Mengurangi penggunaan alkohol merupakan
salah satu pencegahan karena dapat mempercepat rusaknya mukosa di
gastrointestinal.

Universitas Tarumanagara 22
BAB IV
RESUME
Actinomycosis at supraglottic merupakan bagian dari laryngeal
actinomycosis atau aktinomikosis pada laring yang menunjukkan manifestasi
klinis yang tidak biasanya. Actinomycosis merupakan infeksi yang jarang terjadi.
actinomycosis dapat terjadi pada segala usia, tetapi dari kasus-kasus yang telah
dilaporkan pasien lebih banyak terkena pada umur lebih dari 10 tahun dan kurang
dari 60 tahun. Penyebab infeksi ini paling sering disebabkan oleh bakteri gram
positif Actinomyces israelii. Actinomycosis masuk menginfeksi tubuh manusia
melalui mukosa yang rusak diperberat dengan orang yang mengalami defisiensi
imun. Setelah masuk bakteri menetap di jaringan dan kemudian menyebar ke
bagian sekitarnya. Actinomycosis diklasifikasikan berdasarkan letak terjadinya
infeksi bakteri tersebut yaitu : a. Cervicofacial Actinomycosis (termasuk
actinomycosis at supraglottic), b. abdominal Actinomycosis, c. pulmonal
Actinomycosis. Pada pemeriksaan histopatologis Diagnosis pasti adalah
didapatkannya granul-granul bersulfur yang merupakan ciri-khas dari penyakit
ini. Diagnosis actinomycosis at supraglottic dapat ditegakkan dengan cara
anamnesis, pemeriksaan fisik telinga hidung tenggorok mencakup laringoskopi
direk dan indirek dengan kaca laring, dan pemeriksaan penunjang berupa CT-scan
dan MRI. Untuk terapi nya dapat menggunakan terapi oral maupun terapi operatif.
Untuk terapi oral actinomycois pilihan pertama nya ialah penisilin. Terapi lainnya
dapat diberikan Amoksisilin, ceftriakson, klindamisin, doksisiklin, dan
eritromisin. Untuk terapi non-farmakologi dapat dilakukan drainase abses. Untuk
terapi non-farmakologis saat ini jarang dilakukan akibat infeksi ini jarang meluas
setelah ditemukannya antibiotik. Prognosis dari aktinomikosis tanpa pengobatan
umumnya buruk bila tidak diobati dengan cepat dan tepat mengingat
actinomycosis at supraglottic sering dianggap sebagai keganasan pada laring.
Meskipun perbaikan lambat dan membutuhkan terapi antibiotik selama berbulan-
bulan, kebanyakan individu dapat pulih. Pencegahan infeksi actinomycosis at
supraglottic maupun actinomycosis lainnya dapat dicegah dengan menjaga
kebersihan mulut secara teratur. Mengurangi penggunaan alkohol merupakan

Universitas Tarumanagara 23
salah satu pencegahan karena dapat mempercepat rusaknya mukosa di
gastrointestinal.

Universitas Tarumanagara 24
DAFTAR PUSTAKA

1. Taussig, Lynn M, and Louis I Landau. Pediatric Respiratory Medicine. 2nd ed.
Estados Unidos: Mosby, 2008. Print.
2. Dermatologic Aspects of Actinomycosis: Background, Pathophysiology,
Epidemiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2017 [cited 11 September
2017]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1092133-
overview?pa=vk2D0hqfbnLmC1ArK0kKdIs5RRaMnPUfuh1%2B5TVIKpPoo%
2F%2Fw%2FilSJv3FzpiarcugcFrqow%2Bf2%2F37XuRaZT6JAA%3D%3D#a4
3. Bennett J, Dolin R, Blaser M, Mandell G, Douglas R. Mandell, Douglas, and
Bennett's principles and practice of infectious diseases. 8th ed. Philadelphia, PA
19103-2899;.2015
4. Michael C, Lucas M, Adam L. a case of epiglottic abscess due to actinomyces
in an immunocompetent adult. Home of Sidney Kimmel Medical College
[Internet].
2017[cited8September2017];.Availablefrom:https://www.otopa.org/SiteAssets/Do
cuments/2016%20eposters/Topf%2C%20Michael%20%20A%20Rare%20Case%
20of%20Acute%20Epiglottitis%20with%20Epiglottic%20Abscess.pdf
5. Isma Nurul Aini, Wiyana R, Sari Ratunanda S, Dinasti Permana A, Mahdiani
S. Aktinomikosis pada pasien imunokompromais. ORLI. 2017;47(1):81-88
6. Scott-Brown W, Gleeson M. Scott-Brown's otolaryngology, head and neck
surgery. London: Hodder Arnold; 2008.
7. Netter F, Dalley A. Atlas of human anatomy. Teterboro (N.J.): Icon Learning
Systems; 2001.
8. Adams G, Boies L, Hilger P. Boies's Fundamentals of otolaryngology. W.B.
Saunders; 1989
9. Ballenger J, Snow J. Ballenger's otorhinolaryngology. Baltimore: Williams &
Wilkins; 2003.
10. Paulsen F, Waschke J. Sobotta Atlas of Human Anatomy, Vol. 1, 15th ed.
English. London: Elsevier Health Sciences Germany; 2013.

Universitas Tarumanagara 25
11. Hermani B, Hutauruk SM. Disfonia. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti DR. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
kepala & leher. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016. Hal. 209-14.
12. Lee KJ. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 10th ed. New
York: The McGraw-Hill; 2008. P. 529-40.
13. Eroschenko V, Di Fiore M. Di Fiore's atlas of histology with functional
correlations. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams &
Wilkins; 2013.
14. Patel S, Jaworek A, Patel V, Duckworth L, Sawhney R, Chheda N. Laryngeal
Actinomycosis in an Immunocompromised Patient. Journal of Voice.
2014;28(6):838-840.
15. Ferri F, Ferri F. Ferri's clinical advisor 2018. Elesevier; 2017.
16. Razek A, Castillo M. Imaging appearance of granulomatous lesions of head
and neck. European Journal of Radiology. 2010;76(1):52-60.
17. Oostman O, Smego R. Cervicofacial actinomycosis: Diagnosis and
management. Current Infectious Disease Reports. 2005;7(3):170-174
18. Knnen E, Wade W. Actinomyces and Related Organisms in Human
Infections. Clinical Microbiology Reviews. 2015;28(2):419-442.
19. Mupparapu M. Oral Radiology: Interpretation and Diagnostic Strategies
[Internet]. 1st ed. New York: Dental Clinics of North America; 2016 [cited 7
September 2017]. Available from:
https://www.clinicalkey.com/#!/content/journal/1-s2.0-
S0011853215000956?scrollTo=%23hl0000546
20. L. R, Digumarthy S. The pathology of pulmonary bacterial infection
[Internet]. Elesevier; 2017 [cited 8 September 2017]. Available from:
https://www.clinicalkey.com/#!/content/journal/1s2.0S0740257017300850?scroll
To=%23hl0000308
21. Pillappa R, OBrien T, Sullivan J, Weksler B. Esophageal Actinomycoses
Mimicking Malignancy. The Annals of Thoracic Surgery. 2016;101(5):1967-
1970.

Universitas Tarumanagara 26
22. F. Jacobs R, E. Schutze G. Nelson Textbook of Pediatrics. 20th ed. Elesevier;
2016.
23. Soria-Aledo V, Flores-Pastor B, Carrasco-Prats M. Abdominopelvic
actinomycosis: a serious complication in intrauterine device users. Acta Obstet
Gynecol Scand. 2004;83 :863-5.
24. Rothschild B, Naples V, Barbian L. Bone manifestations of actinomycosis.
Ann Diagn Pathol. 2006;10 :24-27.
25. . Collins S. Direct and Indirect Laryngoscopy: Equipment and Techniques.
Respiratory Care. 2014;59(6):850-864.
26. Yoshihama K, Kato Y, Baba Y. Vocal Cord Actinomycosis Mimicking a
Laryngeal Tumor. Case Reports in Otolaryngology. 2013;2013:1-2.
27. Sung H, Lee I, Kim S, Jung S, Kim S, Kim S et al. Clinical Features of
Abdominal Actinomycosis: A 15-year Experience of A Single Institute. Journal of
Korean Medical Science. 2011;26(7):932.
28. S. Brandwein-Gensler M, Mahadevia P, R. Gnepp D. Diagnostic Surgical
Pathology of the Head and Neck. 2nd ed. Elesevier; 2009.
29. Actinomycosis Medication:Antibiotics [Internet]. Emedicine.medscape.com.
2017
[cited10September2017].Availablefrom:http://emedicine.medscape.com/article/21
1587-medication#2
30. Lebwohl M. Treatment of Skin Disease: Comprehensive Therapeutic
Strategies. 4th ed. Elsevier; 2014.
31. Moniruddin A, Begum H, Nahar K. Actinomycosis: An Update. Medicine
Today. 2012;21(2).

Universitas Tarumanagara 27

Anda mungkin juga menyukai