ERUPSI OBAT
Oleh:
201210330311107
FAKULTAS KEDOKTERAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Semoga penyusunan referat ini dapat
menjadi wadah pengembangan diri dan kreatifitas, dimana dalam perjalanan akademik yang
sedang ditempuh dalam masa pendidikan kepaniteraan klinik yang dituntut untuk dapat
mengembangkan suatu masalah yang pada akhirnya disusun dalam suatu bacaan ilmiah
(referat), hal ini akan melatih untuk berfikir secara kritis dalam menguraikan suatu persoalan.
Demikian referat ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan
pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
Hormat saya
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 4
3.1. Latar Belakang........................................................................................... 4
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu
manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat
disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug
eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan
obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau
erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik;
Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong
‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang
serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari
penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana
yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Definisi
Kandung Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan
manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa.1
2.1.2. Etiologi
Obat yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah penisilin, ampisilin, amoksisilin,
2.1.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, erupsi obat terjadi pada sekitar 2-5% pasien rawat inap dan lebih
dari 1% pasien rawat jalan. Persentasi terjadinya erupsi obat di dunia yaitu sekitar 2-3%
pasien rawat inap. Reaksi kutaneous terhadap obat lebih banyak terjadi pada wanita daripada
pada pria. Pada pasien lansia akan memiliki peningkatan prevalensi reaksi obat yang tidak
diinginkan.2
sistem imun.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan
immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih
5
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya
sensitisasi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya
berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan
bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila
dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat
menyelesaikan perawatannya.3
2.1.5. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua
mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas
berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang
menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non
imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan
6
Mekanisme
Imunologis
- Tipe I (Reaksi
anafilaksis)
Mekanisme ini
berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.
Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian
kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan
heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek,
misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.
sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
7
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah
dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin. Teori yang ada
menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast
dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung
Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat
menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti
kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam
jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi
generalisata difus.
jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas yang mendasari.
1. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan ukuran yang bervariasi.
Predileksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Lesi
dan kaki. Angioedema pada glottis menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan
8
2. Erupsi
makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis,
merupakan bentuk erupsi obat alergik paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu
setelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang tubuh kemudian
menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, hampir selalu disertai pruritus. Erupsi
makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas
hiperpigmentasi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid,
plak eritema-keunguan dan kadang disertai vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga
sering menyerupai eritema multiforme. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan, dan
genitalia. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan sering
menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada predileksi yang sama setelah pajanan obat
penyebab. Obat penyebab yang sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naproxen, dan
metamizol.
Gambar 2. Fixed Drug Eruption
4. Pustulosi
9
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan erupsi
pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual,
dan malaise. Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustul milier berjumlah banyak diatas
5. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema difus disertai
skuama lebih dari 90% area tubuh. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan
pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah asetaminofen dan minosiklin.
dapat mengancam jiwa karena keterlibatan multiorgan. Seringkali diawali oleh infeksi saluran
pernapasan atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein Barr Virus, dan
Cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam diatas 38°C, lesi pada kulit,
limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi ginjal, leukositosis dan eosinophilia.
Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular yang
Bentuk lain erupsi obat alergik adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau
yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah
masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.
Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan
dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua
10
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian
obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut
dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang
mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi
diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.
Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.
- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis
serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan
darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi
kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi
dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi
yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.
provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah
yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat
membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika
- Pemeriksaan in vitro
Yang diperantarai antibody diantaranya: Hemaglutinasi pasif, Radio immunoassay,
Degranulasi basophil, Tes fiksasi komplemen. Yang diperantarai sel: Tes transformasi
11
limfosit, dan Leucocyte migration inhibition test. Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik
invitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu
2.1.9. Tatalaksana
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi adalah
dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat
kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering
purpura, eritema nodosum, dan eksantema fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3
x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa gatal.
Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid (Hamzah,
2007). Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah.
Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat
antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan
sebagian-sebagian.9
2.1.10. Prognosis
12
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi
dan segera dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat, misalnya eritroderma dan
nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang
reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang
2.2.2. Epidemiologi
Insidens SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2
kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan
risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki
2.2.3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan,
Risiko terjadinya SJS atau NET karena obat dibagi menjadi penggunaan obat jangka
pendek dan penggunaan obat jangka panjang. Risiko tinggi pada group pertama diantaranya
risiko terjadi pada 2 bulan awal pengobatan. Obat-obat yang berisiko tinggi diantaranya
Faktor lain yang berkaitan dengan SJS atau NET yaitu penyakit infeksius seperti yang
disebabkan oleh HIV, herpesvirus atau Mycoplasma pneumoniae, dan virus hepatitis A.
13
2.2.4. Patogenesis
Mekanisme terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-NET
terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi
sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap
obat penyebab. Berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini yaitu IL-6,
terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek,
dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan bagian
proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi
target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik,
sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis
bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa
berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan
konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga
dapata terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.1
Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran
yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini
hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik,
dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa
dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga
terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
14
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Pada beberapa orang, rambut dan kuku
rontok.11
Gambar 3. Peluruhan luas epidermis pada SJS
sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang
cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut
dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam
yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan
pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk
makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa
mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya
pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang
alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang
selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak
napas.11
15
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan
nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan
perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan
2.2.6. Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET
adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu
yang jelas dengan konsumsi obat tersangka dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa.
Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan <10% LPB, NET bila
epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB.1
Pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi
ginjal, fungsi hati, gula darah sewaktu, dan foto rontgen paru untuk menilai keparahan
penyakit.
16
2.2.7. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya: staphylococcal
scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption, acute generalized
2.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan pengehentian segera obat
nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara
aseptik tanpa debridement, perawatan mata, dan mukosa mulut. Terapi spesifik dengan
meresepkan kortikosteroid dosis tinggi untuk waktu yang singkat pada awal reaksi, misalnya
prednison 1-2 mg / kg / hari selama 3-5 hari. Untuk kasus ynag berat dapat diberikan
2.2.9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang mengancam
2.2.10. Prognosis
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, yang memberikan
nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia >40 tahun, denyut jantung >120/menit, terdapat kanker
atau keganasan hematologik, epidermolisis >10% LPB, kadar urea serum >10mM/L
(>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20mEq/L, kadar gula darah sewaktu >252mg/dL. Nilai
0-1 3,2
2 12,1
17
3 35,8
4 58,3
5 90
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi
pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Faktor-faktor yang
memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang dengan sistem
imunitas rendah, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. Ada dua macam mekanisme yang
dikenal, pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non
imunologis.
hipersensitivitas obat. Bentuk lain erupsi obat alergik yaitu sindrom stevens-Johnson dan
Nekrolisis Epidermal Toksik yang merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi
mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata
pemeriksaan penunjang diantaranya biopsi kulit, laboratorium, uji tempel, uji provokasi, dan
teknik in vitro. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif
sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama
18
pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat
tergantung pada luas kulit yang terkena, seperti nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana Menaldi SL, dkk. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta:
https://emedicine.medscape.com/article/1049474-overview#a2
3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:
www.aafp.org/afp
6. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Medscape
http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
9. Hanifati S, Menaldi SL. Erupsi Obat Alergik. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.
sn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_july-17.pdf
11. Peter C, Schalock MD. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal
http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
12. Ngan V, Oakley A. Stevens-Johnson Syndrome / Toxic Epidermal Necrolysis.
20
https://www.dermnetnz.org/topics/stevens-johnson-syndrome-toxic-epidermal-
necrolysis/
21