Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ERUPSI OBAT

Oleh:

TRIO RIZAL WICAKSONO

201210330311107

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya, penulis

dapat menyelesaikan referat ini tepat pada waktunya. Semoga penyusunan referat ini dapat

menjadi wadah pengembangan diri dan kreatifitas, dimana dalam perjalanan akademik yang

sedang ditempuh dalam masa pendidikan kepaniteraan klinik yang dituntut untuk dapat

mengembangkan suatu masalah yang pada akhirnya disusun dalam suatu bacaan ilmiah

(referat), hal ini akan melatih untuk berfikir secara kritis dalam menguraikan suatu persoalan.

Dalam referat ini nantinya akan dibahas mengenai “Erupsi Obat”.

Demikian referat ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi penulis khusunya dan

pembaca pada umumnya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk

membantu lebih menyempurnakan referat ini.

Malang, 4 September 2018

Hormat saya

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 4
3.1. Latar Belakang........................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................... 5


2.1. Erupsi Obat Alergi..................................................................................... 5
2.1.1. Definisi........................................................................................... 5
2.1.2. Etiologi........................................................................................... 5
2.1.3. Epidemiologi.................................................................................. 5
2.1.4. Faktor Resiko................................................................................. 5
2.1.5. Patogenesis..................................................................................... 6
2.1.6. Manifestasi Klinis.......................................................................... 9
2.1.7. Diagnosis....................................................................................... 11
2.1.8. Diagnosis Banding......................................................................... 13
2.1.9. Tatalaksana..................................................................................... 13
2.1.10. Prognosis........................................................................................ 14

2.2. Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik...................... 14


2.2.1. Definisi.......................................................................................... 14
2.2.2. Epidemiologi................................................................................. 15
2.2.3. Etiologi.......................................................................................... 15
2.2.4. Patogenesis.................................................................................... 15
2.2.5. Manifestasi Klinis.......................................................................... 16
2.2.6. Diagnosis....................................................................................... 18
2.2.7. Diagnosis Banding......................................................................... 19
2.2.8. Tatalaksana.................................................................................... 19
2.2.9. Komplikasi..................................................................................... 20
2.2.10. Prognosis....................................................................................... 20

BAB III PENUTUP......................................................................................................... 21


3.1. Kesimpulan................................................................................................ 21

DAFTAR PUSTAKA .........................................................22

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan suatu

manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh. Salah satu gangguan tersebut dapat

disebabkan oleh reaksi alergi terhadap suatu obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug

eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai

akibat reaksi hipersensitivitas terhadap obat.1

Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa golongan

obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi obat alergi atau

erupsi obat. Obat-obatan tersebut yaitu; obat anti inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik;

misalnya penisilin dan derivatnya, sulfonamid, dan obat-obatan antikonvulsan.2,8

Menurut WHO, sekitar 2% dari seluruh jenis erupsi obat yang timbul tergolong

‘serius’ karena reaksi alergi obat yang timbul tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit

bahkan mengakibatkan kematian. Sindrom Steven-Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal

Toksis (NET) adalah beberapa bentuk reaksi serius tersebut.5,8

Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan manifestasi yang

serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan anamnesa yang tepat dari

penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal penting untuk memberikan tatalaksana

yang cepat dan tepat bagi penderita dengan tujuan membantu meningkatkan prognosis serta

menurunkan angka morbiditas.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat Alergi

2.1.1. Definisi

Kandung Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan

manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa.1

2.1.2. Etiologi
Obat yang sering menimbulkan reaksi alergi adalah penisilin, ampisilin, amoksisilin,

kloksasilin, analgetik-antipiretik, dan sulfonamid.9

2.1.3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, erupsi obat terjadi pada sekitar 2-5% pasien rawat inap dan lebih

dari 1% pasien rawat jalan. Persentasi terjadinya erupsi obat di dunia yaitu sekitar 2-3%

pasien rawat inap. Reaksi kutaneous terhadap obat lebih banyak terjadi pada wanita daripada

pada pria. Pada pasien lansia akan memiliki peningkatan prevalensi reaksi obat yang tidak

diinginkan.2

2.1.4. Faktor Risiko


Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah :
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pria.
2. Sistem imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan

sistem imun.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama pada anak-anak dan

orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan sistim

immunologi yang belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih

seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan antigenik.


4. Dosis

5
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan timbulnya

sensitisasi. Semakin sering obat digunakan, Semakin besar pula kemungkinan timbulnya

reaksi alergi pada penderita yang peka.


5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat yang

disertai dengan keganasan.


6. Atopik
Faktor risiko yang bersifat atopi ini masih dalam perdebatan. Walaupun demikian,

berdasarkan studi komprehensif terhadap pasien yang dirawat di rumah sakit menunjukkan

bahwa timbulnya reaksi obat ini ternyata tidak menunjukkan angka yang signifikan bila

dihubungkan dengan umur, penyakit penyebab, atau kadar urea nitrogen dalam darah saat

menyelesaikan perawatannya.3

2.1.5. Patogenesis
Ada dua macam mekanisme. Pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua

mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi hipersensitivitas

berdasarkan mekanisme imunologis. Obat dan metabolit obat berfungsi sebagai hapten, yang

menginduksi antibodi humoral. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non

imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan

perubahan dalam metabolisme.3


Tabel 1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis.5

6
Mekanisme

Imunologis
- Tipe I (Reaksi

anafilaksis)
Mekanisme ini

paling banyak ditemukan. Yang

berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil.

Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian

kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan

merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin,

heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek,

misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.

- Tipe II (Reaksi Sitotoksis)


Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi

sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.

- Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)


Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi.

Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh

mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai

mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan.

- Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

7
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi

dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah

pajanan terhadap antigen.1,4

Mekanisme Non Imunologis


Reaksi "Pseudo-allergic" menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody-

dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin. Teori yang ada

menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat; pelepasan mediator sel mast

dengan cara langsung, aktivasi langsung dari sistem komplemen, atau pengaruh langsung

pada metabolisme enzim asam arachidonat sel.

Efek kedua, diakibatkan proses farmakologis obat terhadap tubuh yang dapat

menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan kemoterapi anti

kanker. Penggunaan obat-obatan tertentu secara progresif ditimbun di bawah kulit, dalam

jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti hiperpigmentasi

generalisata difus.

2.1.6. Manifestasi Klinis


Erupsi obat alergik dapat bermanifestasi klinik ringan dan berat hingga mengancam

jiwa. Lesi dominan yang timbul merupakan petunjuk reaksi hipersensitivitas yang mendasari.
1. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria ditandai dengan edema setempat pada kulit dengan ukuran yang bervariasi.

Predileksi dapat diseluruh tubuh. Keluhan umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Lesi

individual biasanya bertahan kurang dari 24 jam kemudian hilang perlahan.


Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan

dan kaki. Angioedema pada glottis menyebabkan asfiksia, sehingga dibutuhkan penanganan

segera. Penyebab tersering ialah penisilin, asam asetilsalisilat, NSAID.


Gambar 1. Urtikaria yang disebabkan penisilin

8
2. Erupsi

makulopapular
Erupsi makulopapular disebut juga erupsi eksantematosa atau morbiliformis,

merupakan bentuk erupsi obat alergik paling sering ditemukan, timbul dalam 2-3 minggu

setelah konsumsi obat. Biasanya lesi eritematosa dimulai dari batang tubuh kemudian

menyebar ke perifer secara simetris dan generalisata, hampir selalu disertai pruritus. Erupsi

makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan terkadang meninggalkan bekas

hiperpigmentasi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin, NSAID, sulfonamid,

fenitoin, serta karbamazepin.

3. Fixed drug eruption (FDE)


FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Lesi berupa makula atau

plak eritema-keunguan dan kadang disertai vesikel/bula pada bagian tengah lesi sehingga

sering menyerupai eritema multiforme. Predileksi tersering di daerah bibir, tangan, dan

genitalia. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama hilang, bahkan sering

menetap. Ciri khas FDE adalah berulang pada predileksi yang sama setelah pajanan obat

penyebab. Obat penyebab yang sering menyebabkan FDE adalah tetrasiklin, naproxen, dan

metamizol.
Gambar 2. Fixed Drug Eruption

4. Pustulosi

eksantematosa generalisata akut

9
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA) merupakan erupsi

pustular akut yang timbul 1-3 minggu setelah konsumsi obat yang diawali oleh demam, mual,

dan malaise. Kelainan kulit yang ditemukan berupa pustul milier berjumlah banyak diatas

dasar eritematosa. Predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh.

5. Eritroderma
Eritroderma disebut juga dermatitis eksfoliativa, merupakan lesi eritema difus disertai

skuama lebih dari 90% area tubuh. Pada eritroderma sering terjadi ketidakseimbangan

elektrolit, gangguan termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi

pasien untuk dirawat. Obat penyebab antara lain adalah asetaminofen dan minosiklin.

6. Sindrom hipersensitivitas obat


Sindrom hipersensitivitas obat (SHO) merupaka erupsi obat alergik tipe berat yang

dapat mengancam jiwa karena keterlibatan multiorgan. Seringkali diawali oleh infeksi saluran

pernapasan atas dan dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein Barr Virus, dan

Cytomegalovirus. Tanda karakteristik SHO adalah demam diatas 38°C, lesi pada kulit,

limfadenopati, gangguan fungsi hati dan/atau fungsi ginjal, leukositosis dan eosinophilia.

Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu setelah konsumsi obat, dengan lesi makulopapular yang

paling sering ditemukan.

Bentuk lain erupsi obat alergik adalah dermatitis medikamentosa, purpura atau

vaskulitis, eritema multiforme, sindrom steven-johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.1


2.1.7. Diagnosis
Dasar diagnosis erupsi obat alergi adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-obatan

yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari sesudah

masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang biasanya subfebris.

Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik distribusi yang menyeluruh dan

simetris serta bentuk kelainan yang timbul.


Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari jenis lesi

dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data mengenai semua

10
jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis mengenai cara pemberian

obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut

dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang

mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat

alergi yang bersifat persisten.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi

obat alergi adalah (Nayak & Acharjya, 2008):


- Biopsi kulit
Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat membantu menegakkan

diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan.

Akan tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab erupsi.

- Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan menegakkan diagnosis

serta melihat kemungkinan etiologi penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan

darah lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan lain-lain) serta fungsi

kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi

dimana bila perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi obat alergi

yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat overdosis dari obat tersebut.

- Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi


Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat dipercaya. Uji

provokasi (exposure test) dengan melakukan pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah

yang paling membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang lebih berat

membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati dan harus sesuai dengan etika

maupun alasan medikolegalnya.

- Pemeriksaan in vitro
Yang diperantarai antibody diantaranya: Hemaglutinasi pasif, Radio immunoassay,

Degranulasi basophil, Tes fiksasi komplemen. Yang diperantarai sel: Tes transformasi

11
limfosit, dan Leucocyte migration inhibition test. Sejumlah tes yang dilakukan dengan teknik

invitro didesain untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu

tersebut disebabkan karena obat atau bukan.

2.1.8. Diagnosis Banding


Diagnosis banding erupsi obat alergi diantaranya dermatitis kontak alergi, manifestasi

dermatologi pada rubella, eritema multiform, pityriasis rosea.2

2.1.9. Tatalaksana
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat alergi adalah

dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat

yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat mungkin. Pemberian

kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat kortikosteroid yang sering

digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa,

purpura, eritema nodosum, dan eksantema fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3

x 10 mg sampai 4 x 10 mg sehari.
Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa gatal.

Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid (Hamzah,

2007). Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering atau basah.

Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan obat

antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah

perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada

eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya

hidrokortison 1% sampai 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang

menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan

sebagian-sebagian.9

2.1.10. Prognosis

12
Prognosis erupsi obat alergik tipe ringan baik bila obat penyebab dapat diidentifikasi

dan segera dihentikan. Pada erupsi obat alergik tipe berat, misalnya eritroderma dan

nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang

terjadi misalnya sepsis.

2.2. Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksik


2.2.1. Definisi
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) dan Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) merupakan

reaksi mukokutan akut yang mengancam nyawa, ditandai dengan nekrosis epidermis yang

luas sehingga terlepas.1

2.2.2. Epidemiologi
Insidens SSJ adalah 1-6 kasus/juta penduduk/tahun, dan insidens NET 0,4-1,2

kasus/juta penduduk/tahun. Penyakit ini dapat terjadi pada setiap usia, terjadi peningkatan

risiko pada usia diatas 40 tahun. Perempuan lebih sering terkena dibandingkan laki-laki

dengan perbandingan 1,5:1.1

2.2.3. Etiologi
Terdapat empat kategori etiologi yaitu (1) infeksi, (2) drug-induced, (3) keganasan,

dan (4) idiopatik.6

Risiko terjadinya SJS atau NET karena obat dibagi menjadi penggunaan obat jangka

pendek dan penggunaan obat jangka panjang. Risiko tinggi pada group pertama diantaranya

pemakaian trimetroprim-sulfomethoxazole dan antibiotik sulfonamid lainnya, diikuti

sefalosporin, quinolon, dan aminopenicilin. Pada penggunaan jangka panjang, peningkatan

risiko terjadi pada 2 bulan awal pengobatan. Obat-obat yang berisiko tinggi diantaranya

carbamazepin, NSAID, kortikosteroid, fenitoin, allopurinol, fenobarbital dan asam valproat.

Faktor lain yang berkaitan dengan SJS atau NET yaitu penyakit infeksius seperti yang

disebabkan oleh HIV, herpesvirus atau Mycoplasma pneumoniae, dan virus hepatitis A.

Sedangkan kondisi non-infeksius termasuk diantaranya radioterapi, lupus eritematosus, dan

penyakit kolagen vaskular.10

13
2.2.4. Patogenesis
Mekanisme terjadinya SSJ-NET belum sepenuhnya diketahui. Pada lesi SSJ-NET

terjadi reaksi sitotoksik terhadap kertainosit sehingga mengakibatkan apoptosis luas. Reaksi

sitotoksik yang terjadi melibatkan sel NK dan sel limfosit T CD8+ yang spesifik terhadap

obat penyebab. Berbagai sitokin yang terlibat dalam patogenesis penyakit ini yaitu IL-6,

TNF-α, IFN-γ, IL-18, Fas-L, granulisin, perforin, granzim-B.

2.2.5. Manifestasi Klinis


Gejala SSJ-NET timbul dalam waktu 8 minggu setelah awal pajanan obat. Sebelum

terjadi lesi kulit, dapat timbul gejala non-spesifik, misalnya demam, sakit kepala, batuk/pilek,

dan malaise selama 1-3 hari. Lesi kulit tersebar secara simetris pada wajah, badan, dan bagian

proksimal ekstremitas, berupa makula eritematosa atau purpurik, dapat pula dijumpai lesi

target. Dengan bertambahnya waktu, lesi kulit meluas dan berkembang menjadi nekrotik,

sehingga terjadi bula kendur dengan tanda Nikolsky positif. Keparahan dan diagnosis

bergantung pada luasnya permukaan tubuh yang mengalami epidermolisis. Lesi pada mukosa

berupa eritema dan erosi biasanya dijumpai minimal pada 2 lokasi, yaitu mulut dan

konjungtiva, dapat juga ditemukan erosi di mukosa genital. Keterlibatan organ dalam juga

dapata terjadi, namun jarang, misalnya paru, saluran cerna, dan ginjal.1

Pada SSJ ini terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di

orifisium, dan kelainan mata.


a. Kelainan kulit
Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan

plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran

yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini

hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpura, atau nekrotik,

dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa

dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga

terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.

14
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Pada beberapa orang, rambut dan kuku

rontok.11
Gambar 3. Peluruhan luas epidermis pada SJS

b. Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir yang tersering

adalah mukosa mulut (100%), kemudian

disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%),

sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang

cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut

dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam

yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan

pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk

makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa

mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya

pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang

alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang

selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak

napas.11

Gambar 4. ulserasi dan krusta pada permukaan mulut

15
c. Kelainan mata
Kelainan mata, merupakan

80% diantara semua kasus, yang

tersering ialah konjungtivitis

kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis,

perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan

nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan

perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan

faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan

inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan.

Gambar 5. Lesi erosiv pada kelopak mata dan konjungtivitis

2.2.6. Diagnosis
Dasar diagnosis SSJ-NET

adalah anamnesis yang teliti tentang kronologis perjalanan penyakit, disertai hubungan waktu

yang jelas dengan konsumsi obat tersangka dan gambaran klinis lesi kulit dan mukosa.

Diagnosis SSJ ditegakkan bila epidermolisis hanya ditemukan <10% LPB, NET bila

epidermolisis >30% LPB dan overlap SSJ-NET bila epidermolisis 10-30% LPB.1

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang penting untuk menunjang diagnosis.

Pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah, elektrolit, albumin dan protein darah, fungsi

ginjal, fungsi hati, gula darah sewaktu, dan foto rontgen paru untuk menilai keparahan

penyakit.

16
2.2.7. Diagnosis Banding
Berbagai penyakit kulit bulosa dapat menyerupai SSJ-NET, misalnya: staphylococcal

scalded skin syndrome, generalized bullous fixed drug eruption, acute generalized

exanthematous pustulosis, dan lupus eritematosus bulosa.1

2.2.8. Tatalaksana
Tatalaksana yang optimal berupa: deteksi dini dan pengehentian segera obat

tersangka, serta perawatan suportif di rumah sakit. Perawatan suportif mencakup:

mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, suhu lingkungan yang optimal 28-30°C,

nutrisi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan asupan makanan, perawatan kulit secara

aseptik tanpa debridement, perawatan mata, dan mukosa mulut. Terapi spesifik dengan

menggunakan kortikosteroid sistemik untuk setiap kasus SSJ-NET.1

Peran kortikosteroid sistemik (kortison) tetap kontroversial. Beberapa klinisi

meresepkan kortikosteroid dosis tinggi untuk waktu yang singkat pada awal reaksi, misalnya

prednison 1-2 mg / kg / hari selama 3-5 hari. Untuk kasus ynag berat dapat diberikan

prednison 3-4 mg / kg / hari. 12

2.2.9. Komplikasi
Dalam perjalanan penyakitnya, SSJ-NET dapat mengalami penyulit yang mengancam

nyawa berupa sepsis dan multiple organ failure.1

2.2.10. Prognosis
Prognosis SSJ-NET dapat diperkirakan berdasarkan SCORTEN, yang memberikan

nilai 1 untuk hal-hal berikut : usia >40 tahun, denyut jantung >120/menit, terdapat kanker

atau keganasan hematologik, epidermolisis >10% LPB, kadar urea serum >10mM/L

(>28mg/dL), kadar bikarbonat serum <20mEq/L, kadar gula darah sewaktu >252mg/dL. Nilai

SCORTEN ini dianjurkan untuk dievaluasi pada hari ke 1 dan ke 3.1


Tabel 1. Angka Kematian Pasien SJJ-NET Berdasarkan Nilai SCORTEN

Nilai SCORTEN Angka Kematian (%)

0-1 3,2

2 12,1

17
3 35,8

4 58,3

5 90

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Erupsi obat alergik adalah reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi

pada kulit yang dapat disertai maupun tidak keterlibatan mukosa. Faktor-faktor yang

memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah jenis kelamin, orang dengan sistem

imunitas rendah, usia, dosis obat, infeksi dan keganasan. Ada dua macam mekanisme yang

dikenal, pertama adalah mekanisme imunologis dan kedua adalah mekanisme non

imunologis.

Morfologi erupsi obat diantaranya; urtikaria, angioedema, erupsi makulopapular, fixed

drug eruption, pustulosis eksantematosa generalisata akut, eritroderma, dan sindrom

hipersensitivitas obat. Bentuk lain erupsi obat alergik yaitu sindrom stevens-Johnson dan

Nekrolisis Epidermal Toksik yang merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata

disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat.

Erupsi obat alergik dapat didiagnosa dengan anamnesa, pemeriksaan lesi,

pemeriksaan penunjang diantaranya biopsi kulit, laboratorium, uji tempel, uji provokasi, dan

teknik in vitro. Penatalaksanaan umum dilakukan pemberian terapi yang bersifat suportif

sedangkan penatalaksanaan khusus diberikan terapi sesuai gejala yang timbul terutama

18
pemberian obat golongan kortikosteroid dan antihistamin. Prognosis erupsi alergi obat sangat

tergantung pada luas kulit yang terkena, seperti nekrolisis epidermal toksik prognosis dapat

menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Lesmana Menaldi SL, dkk. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2016. hal: 190-5.


2. Jonathan EB, dkk. Drug Eruptions. Medscape 2017. Diakses pada

https://emedicine.medscape.com/article/1049474-overview#a2
3. Revus J, Allanore AV. Drugs Reaction. In: Bolognia Dermatology. Volume One. 2nd

edition. Philadelphia: Elserve limited; 2003. p: 333-52.


4. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.

Pharmaceutical Press 2006. Diakses pada

http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
5. Riedl MA, Casillas AM, Adverse Drug Reactions; Types and Treatment Options. In:

American Family Physician. Volume 68, Number 9; 2003. Diakses pada

www.aafp.org/afp
6. Parrillo J Steven, DO, FACOEP, FACEP : Stevens-Johnson Syndrome. Medscape

2010. Diakses pada http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview


7. Rassner, Prof. Dr. Med, Dr. Med. U. Steinert. Buku Ajar & Atlas Dermatology. Edisi

4. Jakarta: EGC; 1995. Hal: 105-7.


8. Lee A, Thomson J. Drug-induced skin. In: Adverse Drug Reactions, 2nd ed.

Pharmaceutical Press 2006. Diakses pada

http://drugsafety.adisonline.com/pt/re/drs/pdf
9. Hanifati S, Menaldi SL. Erupsi Obat Alergik. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV.

Jakarta: Media Aesculapius; 2014. Hal: 336-7.


10. Deore SS, dkk. Drug Induced – Stevens Johnson Syndrome: A Case Report.

Internasional Journal of Scientific Study 2014. Diakses pada http://www.ijss-

sn.com/uploads/2/0/1/5/20153321/ijss_july-17.pdf
11. Peter C, Schalock MD. Stevens-Johnson Syndrome (SJS) and Necrolysis Epidermal

Toxic. The merck manual 2006. Diakses pada

http://www.merck.com/mmhe/sec18/ch203/ch203e.html
12. Ngan V, Oakley A. Stevens-Johnson Syndrome / Toxic Epidermal Necrolysis.

Dermatologist New Zealand 2016. Diakses pada

20
https://www.dermnetnz.org/topics/stevens-johnson-syndrome-toxic-epidermal-

necrolysis/

21

Anda mungkin juga menyukai