Email: amajida.fadia@yahoo.com
Abstrak
Latar belakang Skabies merupakan penyakit kulit yang banyak ditemukan di lingkungan
padat hunian seperti pondok pesantren. Karakteristik santri diduga berperan terhadap
kejadian skabies.Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi skabies dan hubungannya
dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X, Jakarta Timur.
Metode Penelitian menggunakan desain cross-sectional dan data diambil pada tanggal 10
Juni 2012 dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi terhadap semua santri
(192 orang). Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 dan dianalisis dengan uji
chi square.
Abstract
The Prevalence of Scabies and Its Association with Gender and Education Level of Students
Pesantren X, East Jakarta
Background Scabies is a common skin disease, especially in crowded places, like pesantren.
Characteristics of the students there are believed to be associated with scabies. The purpose
of this study was to determine the prevalence of scabies and its association with gender and
education level of students Pesantren X, East Jakarta.
Method This cross sectional study was conducted on June 10, 2012 by performing anamnesis
and dermatology examination to all students (192 students). Data are managed with SPSS
version 20.0 and analyzed with chi square test.
Results The results showed that the prevalence of scabies was 51,3% (male 57,4% and
female 42,9%; education level tsanawiyah 58,1% and aliyah 41,3%). Most lesions are found
Pendahuluan
Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan
subtropis,1,2 seperti Afrika, Amerika selatan, Kepulauan Karibia, Australia tengah, Australia
selatan, dan Asia.3,4Prevalensi skabies di daerah endemis di Asia adalah sebesar 13% di
India, 23-29% pada anak berusia 6 tahun di daerah kumuh di Bangladesh, dan 43% di
Kamboja. Di wilayah Asia Tenggara, studi di rumah kesejahteraandi Pulau Pinang, Malaysia
pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi skabies 30%5dan studi di empat distrik di Timor
Leste pada tahun 2010menunjukkan prevalensi 17,3%.4,6
Skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas
penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies kronis dan berat dapat menimbulkan
komplikasi yang berbahaya.Skabies menimbulkan ketidaknyamanan karena menimbulkan
lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan mengakibatkan infeksi
sekunder terutama oleh bakteri Group A Streptococci7 (GAS) serta Staphylococcus
aureus.7Komplikasi akibat infestasi sekunder GAS dan S. aureussering terdapat pada anak-
anak di negara berkembang.7,8
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait
dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang
sulit, dan kepadatan hunian.9,10Tingginya kepadatan hunian yang diikuti dengan tingginya
interaksi atau kontak fisik antar individu memudahkan transmisi dan infestasi tungau skabies.
Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan
kepadatan hunian dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, barakpengungsi, panti
asuhan, dan pondok pesantren.1,3,10
Pondok pesantren adalah sekolah Islam dengan sistem asrama dan pelajarnya disebut
santri. Pelajaran yang diberikan adalah pengetahuan umum dan agama namun dititikberatkan
pada pelajaran agama Islam.11
Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk muslim terbesar
di dunia, terdapat 14798 pondok pesantren.12 Penelitian cross sectional mengenai skabies di
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau
Sarcoptes scabiei varietas hominis dan produknya pada tubuh.2Infestasi tungau dimulai
ketika satu atau beberapa tungau betina yang sedang gravid ditransfer dari kulit orang yang
terinfeksi ke orang lain.1,17 Di kulit yang hangat,19tungau tersebut berjalan mencari tempat
yang sesuai untuk membuat terowongan di permukaan kulit.3,18,19
Tungau akan menggunakan mulut dan kaki serta mengeluarkan sekret berupa enzim
yang akan mencerna kulit inang sambil membuat terowongan di permukaan kulit inang.
Cairan plasma kulit inang yang tercerna oleh enzim tersebut digunakan sebagai sumber
nutrisi tungau.18 Ujung terowongan, di stratum granulosum kulit, merupakan tempat tungau
betina meletakkan 2-3 telur per hari4,18,20
Kontak langsung dari kulit ke kulit merupakan mekanisme utama dalam proses
transmisi skabies, seperti yang dibuktikan dalam studi klasik oleh Mellanby.4,9,10Tungau juga
dapat ditransmisikan melalui pakaian dan sprei, namun cara tersebut hanya sedikit berperan
dalam proses transmisi skabies tipikal.9,10
Proses transmisi tungau dipengaruhi oleh berapa lama rentang waktu tungau dapat
bertahan hidup di luar tubuh inang yang bervariasi dan bergantung pada temperatur dan
kelembaban. Pada permukaan yang kering, baju, maupun sprei, tungau hanya dapat bertahan
hidup selama beberapa jam.18 Meskipun demikian, pada temperatur dan kelembaban ideal
(21oC dan 40-80% kelembaban relatif),3,21 rentang waktu hidup tungau dapat meningkat
hingga 3-4 hari.18,20 Rentang waktu hidup tungau bahkan lebih panjang pada temperatur
rendah4 dan kelembaban tinggi.
Interval waktu antara paparan tungau dengan timbulnya gatal pada tubuh inang
umumnya sekitar 4-6 minggu tetapi, pada orang yang sebelumnya pernah terinfestasi tungau
skabies, gejala pada paparan ulang akan muncul dalam 48 jam atau kurang, bergantung pada
tingkat sensitivitas orang tersebut.20
Skabies umumnya ditemukan di wilayah beriklim tropis dan subtropis4,8,22 dan
negara berkembang. Prevalensi yang sangat tinggi ditemukan pada suku aborigin di
Australia, Afrika, Amerika Selatan serta di negara berkembang lain.1,2
Skabies paling banyak ditemukan pada anak-anak21,22 karena imunitas yang rendah
dan kontak interpersonal yang lebih sering dan dekat.4Pada tahun 2009 penelitian retrospektif
terhadap 29 078 anak di India menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit paling
umum kedua di kelompok umur anak dan paling umum ketiga di bayi.21Meskipun demikian,
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan studi berdesain cross sectional yang menggunakan metode
observasi analitik untuk mengetahui hubungan antara prevalensi skabies dengan jenis
kelamin dan tingkat pendidikan subjek.Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren X, Jakarta
Timur.Pondok Pesantren X dipilih karena tingginya prevalensi skabies di populasi
tersebut.Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012.
Populasi target penelitian adalah santri yang sedang menjalani masa pendidikan di
Pondok Pesantren X, Jakarta Timur, sedangkan populasi terjangkau penelitian adalah murid
pesantren yang tinggal di asrama di Pondok Pesantren X, Jakarta Timur, berada di lokasi
penelitian ketika pengambilan data.
Penelitian ini menggunakan metode total population sehingga tidak dilakukan
perhitungan besar sampel. Dengan demikian, setiap santri yang hadir saat pengambilan data
Hasil
Di Pesantren X, Jakarta Timur terdapat 205 santri, namun yang diikutsertakan dalam
penelitian ini adalah 192 santri karena 12 santri tidak hadir saat pengambilan data dan 1
santri tidak mengisi data tingkat pendidikan. Hasil pemeriksaan kulit menunjukkan bahwa 99
santri menderita skabies (prevalensi 51,6%).
Pada tabel 1 tampak bahwa berdasarkan jenis kelamin, prevalensi skabies pada santri
laki-laki (57,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (42,9%). Pada uji chi square
diperoleh nilai p=0,048 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada prevalensi skabies
berdasarkan jenis kelamin. Hal tersebut menunjukkan prevalensi skabies di pesantren X
berhubungan dengan jenis kelamin.
Prevalensi skabies pada santri aliyah (41,3%) lebih rendah dibandingkan santri
tsanawiyah (58,1%) dengan nilai p=0,023 (chi square). Hal tersebut menunjukkan terdapat
hubungan antara prevalensi skabies pada santri dengan status pendidikan.
Pada santri laki-laki, hasil uji chi square menunjukkan perbedaan bermakna
(p=0,008) yang berarti terdapat hubungan antara prevalensi skabies pada santri laki-laki
dengan status pendidikan.
Pada santri perempuan, hasil uji chi square menunjukkan perbedaan tidak bermakna
(p=0,686) yang berarti prevalensi skabies pada santri perempuan tidak terbukti berhubungan
dengan status pendidikan.
Lokasi Lesi Laki-laki (%,n=115) Perempuan (%, n=77) Total (%, n=192)
Tabel 4 menunjukkan distribusi lokasi lesi pada santri. Secara keseluruhan lesi
skabies pada santri paling banyak ditemukan di bokong (33,8%) dan di sela-sela jari tangan
(29,2%). Pada santri laki-laki, lokasi lesi skabies paling banyak di bokong (34,8%), area
genital (33,0%), dan sela-sela jari tangan (32,2%). Pada santri perempuan, lokasi lesi skabies
paling banyak di bokong (32,5%), kaki (29,9%), dan sela-sela jari tangan (24,7%).
Diskusi
Skabies adalah penyakit yang berhubungan dengan kepadatan hunian dan perilaku
kebersihan.Penelitian ini dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur yang mempunyai
kepadatan penghuni yang tinggi. Hasilnya menunjukkan prevalensi skabies yang tinggi, yaitu
51,6%. Hasil tersebut sesuai dengan berbagai penelitian yang melaporkan bahwa prevalensi
skabies di pesantren tergolong tinggi.Hilmi25 pada tahun 2011 melaporkan prevalensi skabies
di suatu pesantren di Jakarta Timur sebesar 51,6%. Tingginya prevalensi skabies di pesantren
disebabkan padatnya hunian kamar tidur, yaitu 30 orang dalam satu ruangan yang luasnya
35m2.Dengan kepadatan hunian yang tinggi, kontak langsung antar santri menjadi tinggi
sehingga memudahkan penularan skabies.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi skabies berhubungan dengan jenis
kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko
terinfestasi skabies dibandingkan perempuan.Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan
Khobir yang menyatakan bahwa di pesantren di daerah Pekalongan didapatkan bahwa
Kesimpulan
Saran
Daftar Referensi
1. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, et al. High
burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS Negl Trop Dis. [serial di
internet]. 2009 Jun 23. [diakses: 2012 Mar 28];3:e467. Diunduh dari:
http://www.plosntds.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pntd.0000467
2. Baker F. Scabies management. Paediatr Child Health. [serial di internet]. 2010 Okt.
[diakses: 2012 Mar 29];6:775-7. Diunduh dari:
http://www.cps.ca/english/statements/ii/ii01-01.htm
3. Shelley FW, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human and
animal populations. CMR. [serial di internet]. 2007 Apr. [diakses 2012 Mar 19]; 268–
279. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1865595/pdf/0042-
06.pdf
4. Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected
skin disease. Lancet Infect Dis. 2006. [diakses 2012 Mar 29];6:769-79.
5. Zayyid M, Saadah S, Adil AR, Rohela, Jamaiah M. Prevalence of scabies and head lice
among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine.
[serial di internet]. 2010. [diakses 2012 Mar 29];27:442–6. Diunduh dari:
http://www.msptm.org/files/442_446_Muhammad_Zayyid_M.pdf
6. Department of Child and Adolescent Health Environment WHO. Epidemiology and
management of common skin disease in children in developing countries. [serial di
internet]. 2005. [diakses 2012 Apr 8]. Diunduh dari:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_FCH_CAH_05.12_eng.pdf