Anda di halaman 1dari 15

Prevalensi Skabies dan Hubungannya dengan Jenis Kelamin dan Tingkat

Pendidikan Santri Pesantren X, Jakarta Timur

Amajida Fadia Ratnasari, Saleha Sungkar

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Email: amajida.fadia@yahoo.com

Abstrak

Latar belakang Skabies merupakan penyakit kulit yang banyak ditemukan di lingkungan
padat hunian seperti pondok pesantren. Karakteristik santri diduga berperan terhadap
kejadian skabies.Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi skabies dan hubungannya
dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X, Jakarta Timur.

Metode Penelitian menggunakan desain cross-sectional dan data diambil pada tanggal 10
Juni 2012 dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi terhadap semua santri
(192 orang). Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 dan dianalisis dengan uji
chi square.

HasilHasil penelitian menunjukkan prevalensi skabies 51,6% (laki-laki 57,4% dan


perempuan 42,9%; tsanawiyah 58,1% dan aliyah 41,3%) dengan lokasi lesi skabies terbanyak
di bokong (33,8%) dan di sela-sela jari tangan (29,2%). Uji chi square menunjukkan
perbedaan bermakna pada prevalensi skabies berdasarkan jenis kelamin (p=0,048) dan
tingkat pendidikan (p=0,023).

Kesimpulan Disimpulkan prevalensi skabies di Pesantren X, Jakarta Timur adalah 51,3%


dan berhubungan dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.

Kata kunci: prevalensi, skabies, santri, jenis kelamin, tingkat pendidikan

Abstract

The Prevalence of Scabies and Its Association with Gender and Education Level of Students
Pesantren X, East Jakarta

Background Scabies is a common skin disease, especially in crowded places, like pesantren.
Characteristics of the students there are believed to be associated with scabies. The purpose
of this study was to determine the prevalence of scabies and its association with gender and
education level of students Pesantren X, East Jakarta.

Method This cross sectional study was conducted on June 10, 2012 by performing anamnesis
and dermatology examination to all students (192 students). Data are managed with SPSS
version 20.0 and analyzed with chi square test.

Results The results showed that the prevalence of scabies was 51,3% (male 57,4% and
female 42,9%; education level tsanawiyah 58,1% and aliyah 41,3%). Most lesions are found

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


in buttocks (33,8%) and interdigital space of the hand (29,2%). Chi square test have shown
significant difference between the prevalence of scabies with gender (p=0,048) and
educational level(p=0,023) of the students.

Conclusion In conclusion, the prevalence of scabies in Pesantren X, East Jakarta is 51,3%


and there is association between the prevalence of scabies with gender and educational level
of the students.

Keywords: prevalence, scabies, students, gender, educational level

Pendahuluan

Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis di wilayah beriklim tropis dan
subtropis,1,2 seperti Afrika, Amerika selatan, Kepulauan Karibia, Australia tengah, Australia
selatan, dan Asia.3,4Prevalensi skabies di daerah endemis di Asia adalah sebesar 13% di
India, 23-29% pada anak berusia 6 tahun di daerah kumuh di Bangladesh, dan 43% di
Kamboja. Di wilayah Asia Tenggara, studi di rumah kesejahteraandi Pulau Pinang, Malaysia
pada tahun 2010 menunjukkan prevalensi skabies 30%5dan studi di empat distrik di Timor
Leste pada tahun 2010menunjukkan prevalensi 17,3%.4,6
Skabies sering diabaikan karena tidak mengancam jiwa sehingga prioritas
penanganannya rendah, namun sebenarnya skabies kronis dan berat dapat menimbulkan
komplikasi yang berbahaya.Skabies menimbulkan ketidaknyamanan karena menimbulkan
lesi yang sangat gatal. Akibatnya, penderita sering menggaruk dan mengakibatkan infeksi
sekunder terutama oleh bakteri Group A Streptococci7 (GAS) serta Staphylococcus
aureus.7Komplikasi akibat infestasi sekunder GAS dan S. aureussering terdapat pada anak-
anak di negara berkembang.7,8
Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies di negara berkembang terkait
dengan kemiskinan yang diasosiasikan dengan rendahnya tingkat kebersihan, akses air yang
sulit, dan kepadatan hunian.9,10Tingginya kepadatan hunian yang diikuti dengan tingginya
interaksi atau kontak fisik antar individu memudahkan transmisi dan infestasi tungau skabies.
Oleh karena itu, prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan
kepadatan hunian dan kontak interpersonal tinggi seperti penjara, barakpengungsi, panti
asuhan, dan pondok pesantren.1,3,10
Pondok pesantren adalah sekolah Islam dengan sistem asrama dan pelajarnya disebut
santri. Pelajaran yang diberikan adalah pengetahuan umum dan agama namun dititikberatkan
pada pelajaran agama Islam.11
Di Indonesia, sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk muslim terbesar
di dunia, terdapat 14798 pondok pesantren.12 Penelitian cross sectional mengenai skabies di

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


pondok pesantren di Indonesia menunjukkan prevalensi cukup tinggi. Pada tahun 2003,
prevalensi skabies di 12 pondok pesantren di Kabupaten Lamongan adalah 48,8%13dan di
Pondok Pesantren An-Najach Magelang pada tahun 2008 menunjukkan prevalensi sebesar
43%.14
Santri yang mengidap skabies terganggu kualitas hidupnya karena keluhan gatal yang
hebat serta infeksi sekunder.Keluhan tersebut menurunkan prestasi akademik. Pada tahun
2008 sebanyak 15,5% santri penderita skabies di Provinsi Aceh dilaporkan nilai rapornya
menurun.15 Hal tersebut sesuai dengan penelitian Sudarsono di Medan pada tahun 2011 yang
menunjukkan prestasi belajar santri menjadi lebih rendah dibandingkan sebelum menderita
skabies.16
Di Jakarta Timur, terdapat pesantren yang padat penghuni dan santrinya banyak yang
mengeluh kudisan sehingga sering sakit. Untuk mengetahui apakah keluhan tersebut adalah
skabies, perlu dilakukan survei; jika penyakit kulit yang diderita adalah skabies, santri perlu
diobati.
Pengobatan skabies, mudah dilakukan dengan cure rate yang tinggi,7 namun jika
tidak secara masal dan serentak, maka rekurensi segera terjadi. Dengan demikian,
pengobatan skabies harus diikuti dengan penyuluhan kesehatan agar santri dapat mencegah
rekurensi skabies.
Agar penyuluhan kesehatan memberikan hasil yang baik, penyuluhan harus
disesuaikan dengan karakteristik demografi santri antara lain jenis kelamin dan tingkat
pendidikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui prevalensi skabies
di Pesantren X, Jakarta Timur dan hubungannya dengan jenis kelamin dan tingkat
pendidikan.
Pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan antara
prevalensi skabies dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X Jakarta
Timur? Hipotesis yang diajukan adalah prevalensi skabies berhubungan dengan jenis
kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X Jakarta Timur.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan prevalensi skabies dengan jenis
kelamin dan tingkat pendidikan santri Pesantren X Jakarta Timur. Selain itu, terdapat
beberapa tujuan khusus, yaitu:
a) Mengetahui prevalensi skabies di Pesantren X Jakarta Timur
b) Mengetahui sebaran karakteristik santri Pesantren X Jakarta Timur berdasarkan
jenis kelamin dan tingkat pendidikan
c) Mengetahui distribusi lokasi lesi skabies pada santri Pesantren X Jakarta Timur

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


Tinjauan Teoritis

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi tungau
Sarcoptes scabiei varietas hominis dan produknya pada tubuh.2Infestasi tungau dimulai
ketika satu atau beberapa tungau betina yang sedang gravid ditransfer dari kulit orang yang
terinfeksi ke orang lain.1,17 Di kulit yang hangat,19tungau tersebut berjalan mencari tempat
yang sesuai untuk membuat terowongan di permukaan kulit.3,18,19
Tungau akan menggunakan mulut dan kaki serta mengeluarkan sekret berupa enzim
yang akan mencerna kulit inang sambil membuat terowongan di permukaan kulit inang.
Cairan plasma kulit inang yang tercerna oleh enzim tersebut digunakan sebagai sumber
nutrisi tungau.18 Ujung terowongan, di stratum granulosum kulit, merupakan tempat tungau
betina meletakkan 2-3 telur per hari4,18,20
Kontak langsung dari kulit ke kulit merupakan mekanisme utama dalam proses
transmisi skabies, seperti yang dibuktikan dalam studi klasik oleh Mellanby.4,9,10Tungau juga
dapat ditransmisikan melalui pakaian dan sprei, namun cara tersebut hanya sedikit berperan
dalam proses transmisi skabies tipikal.9,10
Proses transmisi tungau dipengaruhi oleh berapa lama rentang waktu tungau dapat
bertahan hidup di luar tubuh inang yang bervariasi dan bergantung pada temperatur dan
kelembaban. Pada permukaan yang kering, baju, maupun sprei, tungau hanya dapat bertahan
hidup selama beberapa jam.18 Meskipun demikian, pada temperatur dan kelembaban ideal
(21oC dan 40-80% kelembaban relatif),3,21 rentang waktu hidup tungau dapat meningkat
hingga 3-4 hari.18,20 Rentang waktu hidup tungau bahkan lebih panjang pada temperatur
rendah4 dan kelembaban tinggi.
Interval waktu antara paparan tungau dengan timbulnya gatal pada tubuh inang
umumnya sekitar 4-6 minggu tetapi, pada orang yang sebelumnya pernah terinfestasi tungau
skabies, gejala pada paparan ulang akan muncul dalam 48 jam atau kurang, bergantung pada
tingkat sensitivitas orang tersebut.20
Skabies umumnya ditemukan di wilayah beriklim tropis dan subtropis4,8,22 dan
negara berkembang. Prevalensi yang sangat tinggi ditemukan pada suku aborigin di
Australia, Afrika, Amerika Selatan serta di negara berkembang lain.1,2
Skabies paling banyak ditemukan pada anak-anak21,22 karena imunitas yang rendah
dan kontak interpersonal yang lebih sering dan dekat.4Pada tahun 2009 penelitian retrospektif
terhadap 29 078 anak di India menunjukkan bahwa skabies merupakan penyakit kulit paling
umum kedua di kelompok umur anak dan paling umum ketiga di bayi.21Meskipun demikian,

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


skabies dapat dialami oleh laki-laki dan perempuan segala usia, kelompok etnis, dan tingkat
sosioekonomi.4,20,21 Tidak terdapat perbedaan bermakna antara perempuan dan laki-laki
dengan angka kejadian skabies. Survei serologi pada orang asli di Malaysia oleh Normaznah
et al, menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan antara perbedaan jenis kelamin dengan
kejadian skabies.23
Skabies secara umum dapat dikategorikan menjadi scabies tipikal dan scabies
atipikal.20 Pada pasien dengan skabies tipikal atau konvensional, biasanya terdapat 10-1520
atau kurang dari 5018 tungau betina dewasa di permukaan kulit. Transfer tungau dari satu
orang ke orang lain diperkirakan membutuhkan kontak dekat selama 15-20 menit.24 Pruritis
atau rasa gatal intensif yang semakin memburuk saat malam hari merupakan salah satu gejala
klinis skabies konvensional akibat respons delayed type-4 hipersensitivity terhadap tungau,
telur, atau kotoran tungau.18,20,21 Tanda klinis lain adalah ruam eritomatosa pada kulit.23Lesi
akibat tungau umumnya ditemukan di area tubuh seperti pinggang, pergelangan tangan, sela-
sela jari, siku, lipatan aksila anterior, lipatan paha atau alat kelamin, aerola, dan bokong.21,22
Skabies dapat didiagnosis melalui berbagai metode, antara lain kerokan kulit,18,20
dermoskopi,biopsi kulit dengan melihat infiltrasi sel radang perivaskular, dan presentasi
klinis.21 Baku emas diagnosis skabies adalah visualisasi tungau, telur, atau kotoran tungau
secara langsung melalui preparat KOH hasil kerokan kulit pasien, tetapi, keberadaan kotoran
tungau saja sebaiknya tidak digunakan sebagai pertimbangan diagnostik karena isolat kotoran
tungau dapat terlihat seperti debris.7

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan studi berdesain cross sectional yang menggunakan metode
observasi analitik untuk mengetahui hubungan antara prevalensi skabies dengan jenis
kelamin dan tingkat pendidikan subjek.Penelitian dilakukan di Pondok Pesantren X, Jakarta
Timur.Pondok Pesantren X dipilih karena tingginya prevalensi skabies di populasi
tersebut.Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012.
Populasi target penelitian adalah santri yang sedang menjalani masa pendidikan di
Pondok Pesantren X, Jakarta Timur, sedangkan populasi terjangkau penelitian adalah murid
pesantren yang tinggal di asrama di Pondok Pesantren X, Jakarta Timur, berada di lokasi
penelitian ketika pengambilan data.
Penelitian ini menggunakan metode total population sehingga tidak dilakukan
perhitungan besar sampel. Dengan demikian, setiap santri yang hadir saat pengambilan data

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


diikutsertakan dalam penelitian. Total santri diikutsertakan dalam penelitian ini adalah 192
orang.
Dalam penelitian ini, variabel bebas adalah jenis kelamin dan tingkat pendidikan
subjek penelitian sementara variabel terikat adalah prevalensi skabiesdi Pesantren X.
Variabel perancu dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan, perilaku hidup bersih dan
sehat dan kepadatan hunian.
Saat peneltiian, subjek penelitian terlebih dahulu diberi arahan singkat mengenai
metode penelitian kemudian diminta untuk memberi pernyataan tertulis yang berisi
persetujuan untuk diikutsertakan dalam penelitian. Apabila subjek menyetujui, maka
pengambilan data akan dilakukan.Untuk mendiagnosis subjek penelitian menderita skabies
atau tidak, peneliti bekerja sama dengan dokter spesialis kulit dan kelamin yang akan
melakukan pemeriksaan dermatologi sementara hasil pemeriksaan akan dicatat oleh peneliti.
Data primer yang diperoleh diolah dan dianalisis oleh peneliti menggunakan program
komputer IBM SPSS 20.0for windows.
Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat
digunakan untuk mengetahui distribusifrekuensi dari analisis distribusi variabel dependen
dan variabel independen sementara nalisis bivariat dilakukan untuk mengidentifikasi
hubungan antara prevalensi skabies di Pesantren X dengan jenis kelamin dan tingkat
pendidikan.Penelitian ini menggunakan uji chi square.
Apabila ternyata data tidak memenuhi syarat uji chi-square, yaitu nilai expected
count< 20% atau terdapat nilai expected value kurang dari lima pada salah satu sel, maka
peneliti akan menggunakan uji Kolmogorov- Smirnov. Nilai uji hipotesis dua arah <0,05
dianggap signifikan secara statistik.Penyajian data menggunakan tabel dan narasi deskriptif.

Hasil

Di Pesantren X, Jakarta Timur terdapat 205 santri, namun yang diikutsertakan dalam
penelitian ini adalah 192 santri karena 12 santri tidak hadir saat pengambilan data dan 1
santri tidak mengisi data tingkat pendidikan. Hasil pemeriksaan kulit menunjukkan bahwa 99
santri menderita skabies (prevalensi 51,6%).

Tabel 1.Distribusi Skabies Berdasarkan Jenis Kelamin dan Tingkat Pendidikan

Karakteristik Positif (%) Negatif (%)

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


Jenis kelamin
Laki-laki 66 (57,4%) 49 (42,6%)
Perempuan 33 (42,9%) 44 (57,1%)
Tingkat Pendidikan
Tsanawiyah 68 (58,1%) 49 (41,9%)
Aliyah 31 (41,3%) 44 (58,7%)

Pada tabel 1 tampak bahwa berdasarkan jenis kelamin, prevalensi skabies pada santri
laki-laki (57,4%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (42,9%). Pada uji chi square
diperoleh nilai p=0,048 yang berarti terdapat perbedaan signifikan pada prevalensi skabies
berdasarkan jenis kelamin. Hal tersebut menunjukkan prevalensi skabies di pesantren X
berhubungan dengan jenis kelamin.
Prevalensi skabies pada santri aliyah (41,3%) lebih rendah dibandingkan santri
tsanawiyah (58,1%) dengan nilai p=0,023 (chi square). Hal tersebut menunjukkan terdapat
hubungan antara prevalensi skabies pada santri dengan status pendidikan.

Tabel 2.Distribusi Skabies pada Santri Laki-Laki Berdasarkan Pendidikan

Tingkat Pendidikan Positif Negatif


Tsanawiyah 47 (67,1%) 23 (32,9%)
Aliyah 19 (42,2%) 26 (57,8%)

Pada santri laki-laki, hasil uji chi square menunjukkan perbedaan bermakna
(p=0,008) yang berarti terdapat hubungan antara prevalensi skabies pada santri laki-laki
dengan status pendidikan.

Tabel 3. Distribusi Skabies pada Santri Perempuan BerdasarkanPendidikan

Tingkat Pendidikan Positif Negatif


Tsanawiyah 21 (44,7%) 26 (55,3%)
Aliyah 12 (40%) 18 (60%)

Pada santri perempuan, hasil uji chi square menunjukkan perbedaan tidak bermakna
(p=0,686) yang berarti prevalensi skabies pada santri perempuan tidak terbukti berhubungan
dengan status pendidikan.

Tabel 4. Distribusi Lokasi Lesi Skabies pada Santri

Lokasi Lesi Laki-laki (%,n=115) Perempuan (%, n=77) Total (%, n=192)

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


Sela-sela jari tangan 37 (32,2) 19 (24,7) 56 (29,2)
Tangan 16 (13,9) 1 (1,3) 17 (8,8)
Pergelangan tangan 23 (20,0) 11 (14,3) 34 (17,7)
Lengan 14 (12,2) 9 (11,7) 23 (12,0)
Siku 26 (22,6) 2 (2,6) 28 (14,6)
Ketiak 12 (10,4) 0 (0,0) 12 (6,3)
Kaki 23 (20,0) 23 (29,9) 46 (23,9)
Perut 24 (20,9) 15 (19,5) 39 (20,3)
Dada 7 (6,1) 2 (2,6) 9 (4,7)
Mammae 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0)
Punggung 12 (10,4) 0 (0,0) 12 (6,3)
Bokong 40 (34,8) 25 (32,5) 65 (33,8)
Area genital 38 (33,0) 2 (2,6) 40 (20,8)
Regio inguinal 18 (15,6) 1 (1,3) 19 (9,9)
Kepala 2 (1,7) 0 (0,0) 2 (1,0)
Sela-sela jari kaki 15 (13,0) 5 (6,5) 20 (10,4)

Tabel 4 menunjukkan distribusi lokasi lesi pada santri. Secara keseluruhan lesi
skabies pada santri paling banyak ditemukan di bokong (33,8%) dan di sela-sela jari tangan
(29,2%). Pada santri laki-laki, lokasi lesi skabies paling banyak di bokong (34,8%), area
genital (33,0%), dan sela-sela jari tangan (32,2%). Pada santri perempuan, lokasi lesi skabies
paling banyak di bokong (32,5%), kaki (29,9%), dan sela-sela jari tangan (24,7%).

Diskusi

Skabies adalah penyakit yang berhubungan dengan kepadatan hunian dan perilaku
kebersihan.Penelitian ini dilakukan di Pesantren X, Jakarta Timur yang mempunyai
kepadatan penghuni yang tinggi. Hasilnya menunjukkan prevalensi skabies yang tinggi, yaitu
51,6%. Hasil tersebut sesuai dengan berbagai penelitian yang melaporkan bahwa prevalensi
skabies di pesantren tergolong tinggi.Hilmi25 pada tahun 2011 melaporkan prevalensi skabies
di suatu pesantren di Jakarta Timur sebesar 51,6%. Tingginya prevalensi skabies di pesantren
disebabkan padatnya hunian kamar tidur, yaitu 30 orang dalam satu ruangan yang luasnya
35m2.Dengan kepadatan hunian yang tinggi, kontak langsung antar santri menjadi tinggi
sehingga memudahkan penularan skabies.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi skabies berhubungan dengan jenis
kelamin, yaitu prevalensinya lebih tinggi pada laki-laki dan laki-laki lebih berisiko
terinfestasi skabies dibandingkan perempuan.Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan
Khobir yang menyatakan bahwa di pesantren di daerah Pekalongan didapatkan bahwa

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


prevalensi skabies pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.Khobir26 menyatakan hal
tersebut mungkin karena santri perempuan lebih memperhatikan kebersihan diri. Penelitian
oleh Fakoorziba, et al27 di Iran juga menunjukkan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada
laki-laki.
Amro et al28 melakukan penelitian pada 1734 pasien yang mendatangi klinik
dermatologi di Palestina pada tahun 2005-2010. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil
bahwa insidens dan prevalensi skabies pada perempuan dan laki-laki tidak memiliki
perbedaan signifikan. Hal yang sama dilaporkan oleh peneliti di Gaza29 Brazil,30 Egypt,31 dan
Malaysia.23 Penelitian oleh Shawa29 di Gaza pada tahun 2005 menunjukkan prevalensi
skabies sedikit lebih tinggi pada laki-laki, yaitu 57%, dibandingkan pada perempuan, yaitu
43%, tetapi perbedaan ini tidak bermakna secara statistik.Normaznah, et al23 juga melaporkan
di Malaysia tidak ada perbedaan signifikan antara prevalensi skabies pada laki-laki (26,1%)
dengan perempuan (23,6%).
Berbeda dengan hasil penelitian di atas, insidens skabies di Inggris32,33 lebih tinggi
pada perempuan dibandingkan pada laki-laki. Dalam penelitian mengenai skabies di
Edinburgh sejak tahun 1815 hingga 2000, Savin33 melaporkan jumlah penderita skabies
perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki sejak tahun 1937 dengan usia puncak antara
11 sampai 20 tahun.Penelitian oleh Downs, et al32 di Inggris juga melaporkan prevalensi
skabies lebih tinggi pada perempuan (p < 0,000001).
Secara umum, tingkat pendidikan mempengaruhi prevalensi penyakit di
komunitas.Pada komunitas dengan tingkat pendidikan yang tinggi, prevalensi penyakit
menular umumnya lebih rendah dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah. Raza et al34 melaporkan tingkat pendidikan rendah (< 10 tahun)
merupakan faktor yang berpengaruh signifikan terhadap kejadian skabies pada tentara laki-
laki di Pakistan. Dalam penelitian tersebut diduga orang berpendidikan rendah memiliki
kesadaran rendah mengenai pentingnya higiene pribadi dan tidak mengetahui bahwa higiene
pribadi yang buruk berperan penting dalam penularan penyakit.Dalam penelitian Fakoorziba
M., et al27 di Iran dilaporkan bahwa prevalensi skabies tertinggi terdapat pada orang dengan
pendidikan rendah.
Pada penelitian ini didapatkan prevalensi skabies berhubungan dengan tingkat
pendidikan santri.Prevalensi skabies lebih rendah pada santri yang memiliki tingkat
pendidikan aliyah dibandingkan yang memiliki tingkat pendidikan tsanawiyah.Hasil
penelitian ini sesuai dengan laporan Hilmi25 yang menyatakan prevalensi skabies pada santri
aliyah lebih rendah dibandingkan pada santri tsanawiyah.Wahjoedi35 juga melaporkan bahwa

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


prevalensi skabies berhubungan dengan tingkat pendidikan, yaitu prevalensi skabies lebih
tinggi pada santri tsanawiyah dibandingkan aliyah.Kuspriyanto36 pada penelitiannya di
pesantren di Pasuruan, Jawa Timur melaporkan hubungan antara prevalensi skabies dengan
tingkat pendidikan.Pawening37 yang melakukan penelitian di Pekalongan juga melaporkan
prevalensi skabies berhubungan dengan tingkat pendidikan.
Dalam penelitian ini, dilakukan uji statistik untuk mengetahui hubungan antara
prevalensi skabies berdasarkan jenis kelamin dengan tingkat pendidikan. Uji chi square
menunjukkan hubungan antara prevalensi skabies pada santri laki-laki dengan status
pendidikan sedangkan pada santri perempuan tidak berhubungan. Hal tersebut kemungkinan
disebabkan santri perempuan lebih memperhatikan kesehatan kulit dibandingkan laki-laki.
Lesi skabies umum ditemukan di pergelangan tangan, sela-­‐sela   jari,   siku,   lipatan  
aksila   anterior,   lipatan   paha   atau   alat   kelamin,   aerola,   dan   bokong.22-­‐24 Data deskriptif pada
penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, lokasi lesi paling banyak di bokong
(33,8%) dan sela-sela jari tangan (29,2%) sementara Das, et al38 yangmelaporkan lokasi lesi
skabies terbanyak pada pasien Indian adalah di genitalia (60%) diikuti sela-sela jari tangan
(57%).
Pada santri laki-laki, lokasi lesi skabies paling banyak di bokong (34,8%), area genital
(33,0%), dan sela-sela jari tangan (32,2%) sementara pada santri perempuan, lokasi lesi
skabies paling banyak di bokong (32,5%), kaki (29,9%), dan sela-sela jari tangan (24,7%).
Pada penelitian ini, banyaknya lesi skabies di area genital pada santri laki-laki, tetapi tidak
pada area genital santri perempuan kemungkinan karena santri laki-laki di pesantren tersebut
memiliki kebiasaan memakai pakaian bawah berlapis-lapis, yakni dari dalam ke luar adalah
celana dalam, celana pendek, celana luar panjang, dan sarung. Selain itu, lokasi tersebut
menjadi lokasi lesi tersering karena tungau skabies lebih mudah membuat terowongan di
stratum korneum yang lembab dan tersembunyi.18,20

Kesimpulan

Prevalensi skabies di Pesantren X, Jakarta Timur adalah 51,6% dengan prevalensi


skabies pada santri laki-laki 57,4% dan perempuan 42,9% serta pada santri tsanawiyah
58,1% dan pada santri aliyah 41,3%. Prevalensi skabies berhubungan dengan jenis kelamin

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


dan tingkat pendidikan.Lokasi lesi terbanyak pada santri adalah di bokong (33,8%) dan di
sela-sela jari tangan (29,2%).

Saran

Perlu dilakukan pemberantasan skabies di Pesantren X, Jakarta Timur dengan


melakukan pengobatan masal dan penyuluhan kesehatan.Penyuluhan kesehatan tersebut perlu
diberikan kepada semua santri, dengan perhatian khusus pada santri laki-laki dan santri
dengan tingkat pendidikan tsanawiyah.Pemeriksaan skabies perlu dilakukan dengan
mengamati tempat predileksi, terutama bokong dan sela-sela jari tangan.

Daftar Referensi

1. Steer AC, Jenney AWJ, Kado J, Batzloff MR, Vincent SL, Waqatakirewa L, et al. High
burden of impetigo and scabies in a tropical country. PLoS Negl Trop Dis. [serial di
internet]. 2009 Jun 23. [diakses: 2012 Mar 28];3:e467. Diunduh dari:
http://www.plosntds.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pntd.0000467
2. Baker F. Scabies management. Paediatr Child Health. [serial di internet]. 2010 Okt.
[diakses: 2012 Mar 29];6:775-7. Diunduh dari:
http://www.cps.ca/english/statements/ii/ii01-01.htm
3. Shelley FW, Currie BJ. Problems in diagnosing scabies, a global disease in human and
animal populations. CMR. [serial di internet]. 2007 Apr. [diakses 2012 Mar 19]; 268–
279. Diunduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1865595/pdf/0042-
06.pdf
4. Hengge UR, Currie BJ, Jäger G, Lupi O, Schwartz RA. Scabies: a ubiquitous neglected
skin disease. Lancet Infect Dis. 2006. [diakses 2012 Mar 29];6:769-79.
5. Zayyid M, Saadah S, Adil AR, Rohela, Jamaiah M. Prevalence of scabies and head lice
among children in a welfare home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine.
[serial di internet]. 2010. [diakses 2012 Mar 29];27:442–6. Diunduh dari:
http://www.msptm.org/files/442_446_Muhammad_Zayyid_M.pdf
6. Department of Child and Adolescent Health Environment WHO. Epidemiology and
management of common skin disease in children in developing countries. [serial di
internet]. 2005. [diakses 2012 Apr 8]. Diunduh dari:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_FCH_CAH_05.12_eng.pdf

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


7. Golant AK, Levitt JO. Scabies: a review of diagnosis and management based on mite
biology. Pediatr Rev. [serial di internet]. 2012 Mar 26. [diakses 2012 Apr 7]; 33: e1-e12.
Diunduh dari: http://pedsinreview.aappublications.org/content/33/1/e1.full
8. Gilmore SJ. Control strategies for endemic childhood scabies. PloS One. [serial di
internet]. 2011 Jan 25. [diakses 2012 Mar 16];6:e15990. Diunduh dari:
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.pone.0015990
9. Johnstone P, Strong M. Scabies. BMJ. [serial di internet]. 2008 Okt. [diakses 2012 Apr
2]; 8:1707. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2907996/pdf/2008-1707.pdf
10. Roodsari MR, Malekzad F, Ardakani ME, Alai BA, Ghoraishian M. Original article:
prevalence of scabies and pediculosis in Ghezel Hesar Prison, Iran. IDTMRC. [serial di
internet]. 2007 Jul 1. [diakses 2012 Mar 24]; 16: 201-204. Diunduh dari:
http://www.jpad.org.pk/OctDec%202006/3.Original%20article%20Prevalence%20of%2
0scabies%20and%20pediculosis%20in%20Ghezel%20Hesar%20prison,%20Iran.pdf
11. Haningsih S. Peran strategis pesantren, madrasah, dan sekokah islam di Indonesia. El
Tarbawj Jurnal Pendidikan Islam. [serial di internet]. 2008. [diakses 2012 Apr 6]; 1:1.
Diunduh dari: http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/viewFile/186/175
12. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penyelenggaraan dan pembinaan pos kesehatan
pesantren. 2007. Diunduh dari:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream/123456789/814/4/BK2008-G37.pdf
13. Ma’rufi I, Keman S, Notobroto HB. Faktor sanitasi lingkungan yang berperan terhadap
prevalensi penyakit skabies. Jornal Unair. [serial di internet]. 2005 Jul. [diakses 2012
Mar 13]; 2:1. Diunduh dari:
http://www.journal.unair.ac.id/detail_jurnal.php?id=514&med=5&bid=3
14. Saad. Pengaruh faktor higiene perorangan terhadap angka kejadian skabies di Pondok
Pesantran An-Najach Magelang. Universitas Diponegoro. [serial di internet]. 2009.
[diakses 2012 Apr 7]. Diunduh dari: http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/250/gdlhub-
gdl-s1-2010-indriasari-12496-fkm590-k.pdf
15. Muzakir. Faktor yang berhubungan dengan penyakit skabies pada pesantren di
Kabupaten Aceh Besar tahun 2007. [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara. 2008.
16. Sudarsono. Tanjung C. Lakswinar S. Yusuf EA. Pengaruh skabies terhadap prestasi
belajar santri di sebuah pesantren di Kota Medan. Medan: Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara. 2011

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


17. Department of Child and Adolescent Health and Development World Health
Organization Discussion paper of children health: The Current Evidence for the Burden
of Group A Streptococcal Diseases. [serial di internet].2005. [diakses 2012 Mar 16]. [60
halaman]. Diunduh dari: http://whqlibdoc.who.int/hq/2005/WHO_FCH_CAH_05.07.pdf
18. California Department of Public Health Division of Communicable Disease Control
.Prevention and control of scabies in California long-term care facilities. 2008. [diakses
2012 Mar 19]. [20 halaman]. Diunduh dari:
http://www.cdph.ca.gov/pubsforms/Guidelines/Documents/PrevConofScabies.pdf
19. Sampathkumar K, Mahaldar AR, Ramakrishnan M, Prabahar S. Norwegian scabies in a
renal transplant patient. Indian J Nephrol. [serial di internet]. 2010 Apr. [diakses 2012
Mar 28];20:89-91. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2931140/?tool=pubmed
20. Los Angeles County Department of Public Health Acute Communicable Disease Control
Program. Scabies prevention and control guidelines acute and sub-acute care facilities.
2009 Jul. [diakses 2012 Apr 9]. [33 halaman]. Diunduh dari:
http://publichealth.lacounty.gov/acd/docs/ScabiesGuidelinesFinal8.20.09_1.pdf
21. Wong SSY, Woo PCY, Yuen K. Unusual laboratory findings in a case of norwegian
ccabies provided a clue to diagnosis.J. Clin. Microbiol. [serial di internet].2005 Jan 6.
[diakses 2012 Apr 5]; 3(5):2542. Diunduh dari:
http://jcm.asm.org/content/43/5/2542.full.pdf+html (17)
22. Lapeere H, Naeyaer JM, Weert JD, Maeseneer JD, Brochez L. Incidence of scabies in
Belgium. Epidemio Infect. [serial di internet]. 2007 Mei 16. [diakses 2012 Mar 15]; 136:
395-398. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2870815/pdf/S0950268807008576a.pdf
23. Normaznah Y, Saniah K, Nazma M, Mak JW, Khrishnasanmy M, Hakim LS.
Seroprevalence of sarcoptes scabiei var canis antibodies among aborigines in Peninsular
Malaysia. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1996 Mar. [diakses 15 Okt 2013];
27(1): 53-56.
24. Mathieu E. Scabies. [serial di internet]. 2011 Juli 1. [diakses 2012 Apr 9]. Diunduh dari:
http://wwwnc.cdc.gov/travel/yellowbook/2012/chapter-3-infectious-diseases-related-to-
travel/scabies-sarcoptic-itch-sarcoptic-acariasis.htm (18)
25. Hilmi F. Prevalensi penyakit skabies dan hubungannya dengan karakteristik santri
Pesantren X Jakarta Timur. 2011 Agu.

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


26. Khobir A. Pengaruh pendidikan thaharah terhadap sikap hidup sehat santri pondok
pesantren di Pekalongan. E-Journal STAIN. [serial di internet]. Tidak ada tanggal.
[diakses: 20 Okt 2013]; 7:1. Diunduh dari:
http://www.ejournal.stainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/download/211/18
4
27. Fakoorziba M, Amin M, Moemenbellah-Fard M., Najafi M. The frequency rate of
scabies and its associated demographic factors in Kazerun, fars province, Iran. ZJRMS.
2011 Sep 23. [Diakses: 2013 Okt 18]; 14 (8): 90-91.
28. Amro A, Hamarsheh O. Epidemiology of scabies in the West bank, Palestinian territories
(occupied). Int J Infect Dis. [serial di internet]. 2012 Feb. [diakses: 20 Okt 2013]; 16 (2):
e117-20. Diunduh dari:
http://www.sciencedirect.com/science/article/piii/S1201971211002232
29. Rodina MA. The epidemiology of scabies in Gaza governorates. Journal of Al Azhar
University. [serial di internet]. 2007. [diakses 18 Okt 2013];9:13-20. Diunduh dari:
http://www.alazhar.edu.ps/journal123/attachedFile.asp?seqq1=684
30. Heukelbach J, Wilcke T, Winter B, Feldmeier H. Epidemiology and morbidity of scabies
and pediculosis capitis in resource-poor communities in Brazil. Br J Dermatol. [serial di
internet]. 2005. [diakses 20 Okt 2013]; 153: 150-156.
31. Hegazy AA, Darwish NM, Hamid IAA, Hammad SM. Epidemiology and control of
scabies in an Egyptian village. Int J Dermatol. 1999. [diakses: 20 Okt 2013]; 38: 291-
295.
32. Downs AM, Harvey I, Kennedy CT. The epidemiology of head lice and scabies in the
UK. Epidemiol Infect. 1999. [diakses: 20 Okt 2013];122:471-477.
33. Savin JA. Scabies in Edinburgh from 1815 to 2000. J R Soc Med. 2005. [diakses: 20 Okt
2013]; 124-129.
34. Raza N, Qadir SNR, Agha H. Risk factor for scabies among male soldiers in Pakistan:
case-control study. East Mediterr Health J. [serial di internet]. 2009 Sep. [Diakses: 2013
Okt 18];15:5.Diunduh dari:
http://www/applications.emro.who.int/emhj/1505/15_5_2009_1105_1110.pdf
35. Wahjoedi I. Faktor risiko kejadian penyakit skabies pada Pondok pesantren Kabupaten
Kulon Progo. ETD UGM. [serial di internet]. 2008. [Diakses: 2013 Okt 20].
36. Kuspriyanto. Pengaruh sanitasi lingkungan dan perilaku sehat santri terhadap kejadian
skabies di pondok pesantren Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Jurnal Ilmiah UNS.
[serial di internet]. 2013 Jun. [diakses 15 Okt 2013]; 11: 21. Diunduh dari:

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013


http://www.geografi.jurnal.unesa.ac.id/136_935/pengaruh-sanitasi-lingkungan-dan-
perilaku-sehat-santri--terhadap-kejadian-skabies-di-pondok-pesantren--kabupaten-
pasuruan-jawa-timur
37. Pawening NA. Perbedaan angka kejadian skabies antar kelompok santri berdasarkan
lama belajar di pesantren. UNS Digilib. [serial di internet]. 2004. [diakses 15 Okt 2013].
Diunduh dari: http://www.dglib.uns.ac.id./pengguna.php?mn=showview&id=1262
38. Das S, Chatterjee T, Banerji G, Biswas I. Evaluation of the commonest site,
demographic profile, and most effective theraphy in scabies. IJD. [serial di internet].
2006. [diakses: 2013 Des 18]; 51(3): 186-188. Diunduh dari:
http://www.e-ijd.org/article.asp?issn=0019-
5154;year=2006;volume=51;issue=3;spage=186;epage=188;audast=Das

Prevalensi skabies..., Amajida Fadia Ratnasari, FK UI, 2013

Anda mungkin juga menyukai