Anda di halaman 1dari 25

Tinjauan Pustaka

Vitamin D pada kusta

Oleh:
Florencia Palimbong

Pembimbing:
dr. Renate T. Kandou, SpKK(K), FINSDV, FAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1


BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI/
RSUP PROF DR R.D KANDOU MANADO
2021

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ......................................................................................................................... i


DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 3
2.1. KUSTA .......................................................................................................................... 3
2.1.1. DEFINISI ................................................................................................................. 3
2.1.2. EPIDEMIOLOGI ..................................................................................................... 3
2.1.3. ETIOLOGI ............................................................................................................... 4
2.1.4. MEKANISME PENULARAN ................................................................................. 4
2.1.5. IMUNOPATOGENESIS .......................................................................................... 5
2.1.6. GAMBARAN KLINIS ............................................................................................. 6
2.1.7. DIAGNOSA DAN KLASIFIKASI ........................................................................... 7
2.1.8. PENGOBATAN ....................................................................................................... 8
2.2. VITAMIN D .................................................................................................................. 8
2.2.1 DEFINISI .................................................................................................................. 8
2.2.2 METABOLISME ...................................................................................................... 9
2.2.3 FUNGSI .................................................................................................................. 11
2.2.4.PERAN VITAMIN D PADA INFEKSI ................................................................... 12
2.2.5 PERAN VITAMIN D PADA KUSTA ..................................................................... 14
BAB III. PENUTUP............................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 18

i
DAFTAR SINGKATAN

- 1,25 (OH) 2D : 1,25 dihydroxyvitamin D

- 25 (OH) D : 25 hydroxyvitamin D

- AMP : Antimicrobial Peptide

- APC : Antigen Presenting Cell

-B : Borderline-dimorphous

- BB : Mid-borderline

- BL : Borderline Lepromatous

- BT : Borderline Tuberculoid

- BTA : Bakteri tahan asam

- CAMP : Cathelicidin Antimicrobial Peptide

- CYP27B1 : Enzim 1α-hydroxylase

- CYP2R1 : Enzim Cytochrome P450 2R1

- DEFB4 : -defensin-4

- IFN-γ : Interferon-gamma

- IL : Interleukin

- iNOS : Inducible nitric oxide species

-I : Indeterminate

-L : Lepromatosa

- LL : Lepromatosa lepromatosa

ii
- MB : Multibasiler

- MDP : Muramyl dipeptide

- M. Leprae : Mycobacterium leprae

- NF : Nuclear factor kappa-B

- NO : Nitric oxide

- NOD2 : Nucleotide-binding oligomerization domain containing 2

- PB : Pausibasiler

- PGL-1 : Phenolic glicolipid-1

- RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

- TGF -β : Tumor growth factor-β

- Th1 : T helper 1

- Th2 : T helper 2

- TLR : Toll like receptor

- TNF -α : Tumor necrosis factor-α

- TT : Tuberkuloid tuberkuloid

- UVB : Ultra Violet B

- VDR : Vitamin D receptor

- VDBP : Vitamin D Binding Protein

- WHO : World Health Organization

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Kusta atau disebut juga morbus hansen adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis
yang terutama menyerang jaringan kulit dan saraf perifer disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M. leprae).1,2,3 Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang sangat kompleks, bukan hanya dari segi medis tetapi juga dari
segi sosial dan ekonomi.4

Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negara-negara yang sedang berkembang.4


5
Secara global pada tahun 2019 ditemukan 202.256 kasus kusta baru dari 160 negara.
Indonesia berada pada peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan jumlah
kasus kusta baru pada tahun 2019 mencapai 17.439 pasien kusta (angka penemuan kasus baru
6,51 per 100.000 penduduk).6 Angka kunjungan kasus kusta di poliklinik ilmu kesehatan kulit
dan kelamin BLU RSUP Prof. dr R.D Kandou Manado tahun 2020, total 354 kunjungan
pasien kusta (reaksi dan non reaksi), 102 kunjungan (28,8 %) dari 45 kasus (60,81 %) kasus
MH non reaksi.7

Mycobacterium leprae merupakan bakteri yang bersifat obligat intraseluler dengan


tingkat virulensi yang rendah, tetapi bersifat stabil dalam jangka waktu yang lama dalam
tubuh host.8 Pasien yang memiliki bakteri lebih banyak belum tentu menunjukkan gejala
yang lebih berat, bahkan dapat terjadi sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dengan
derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda dari setiap individu.9 Perjalanan
penyakit kusta bergantung pada berbagai faktor, diantaranya faktor kuman M. leprae, faktor
host dan faktor lingkungan yang memicu penularan penyakit kusta seperti tempat tinggal dan
migrasi ke daerah endemis kusta. Usia, jenis kelamin, genetik, status gizi dan imunitas tubuh
dinyatakan merupakan faktor-faktor host yang mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk
menderita kusta.9

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak yang berperan penting dalam
homeostasis kalsium dan metabolisme tulang. 10

1
Pada kusta, terdapat 4 jalur metabolik respon imun yang diekspresikan pada makrofag
salah satunya adalah jalur yang diperantarai reseptor vitamin D (VDR). Vitamin D pada kusta
diketahui berperan sebagai imunomodulator melalui jalur antimikroba yang diperantarai oleh
VDR.11 Vitamin D telah terbukti mengontrol beberapa sifat imunomodulasi inang melalui gen
VDR. Kekurangan vitamin D juga ditemukan terkait dengan peningkatan risiko infeksi. 12
Bakteri intraseluler yang diketahui mampu menghindari destruksi, akan menyebabkan
terganggunya sistem imun yang diregulasi oleh vitamin D. Disregulasi metabolisme vitamin
D ini selanjutnya akan menyebabkan rendahnya kadar vitamin D yang terbentuk dan
menimbulkan infeksi yang persisten serta inflamasi kronis. 13

Adanya invasi patogen, berbagai sitokin inflamasi seperti interferon-γ (IFN-γ) akan
mengaktivasi enzim CYP27B1 untuk mengubah vitamin D bentuk tidak aktif yaitu 25
hydroxyvitamin D (25(OH)D) menjadi bentuk aktif yaitu 1,25 dihydroxyvitamin D
(1,25(OH)2D). Pada infeksi kronis dibutuhkan kadar 1,25(OH) 2D yang tinggi untuk
memodulasi transkripsi gen target cathelicidin antimicrobial peptide (CAMP), gen pengkode
CAMP yang berfungsi untuk membunuh bakteri. Kebutuhan kadar 1,25(OH) 2D yang tinggi
ini akan menyebabkan kadar 25(OH)D menurun. Kadar 25(OH)D merupakan indikator dari
status vitamin D pada seseorang. Individu dengan kadar vitamin D yang rendah kurang
mampu menginduksi aktivitas antibakteri dari monosit dan akan lebih berisiko terjadi
infeksi.13,14

Akhir-akhir ini terdapat banyak penelitian yang menghubungkan vitamin D sebagai


imunomodulator dengan beberapa kondisi dermatologi, salah satunya adalah infeksi.
Terdapat beberapa penelitian tentang peran dan hubungan vitamin D dengan infeksi kusta,
sehingga dilakukan penyusunan tinjauan pustaka yang akan membahas tentang vitamin D
pada kusta.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kusta

2.1.1 Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga morbus hansen, sesuai
dengan nama yang menemukannya.15 Kusta adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis
yang disebabkan oleh mycobacterium leprae yang bersifat obligat interseluler. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, selanjutnya dapat menyerang kulit, lalu menyebar ke organ lain
(mukosa mulut, traktur respiratorius bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang
dan testis) kecuali susunan saraf pusat. 9,16

2.1.2 Epidemiologi

Penyakit kusta endemik dinegara tropis, terutama negara-negara berkembang atau


sedang berkembang akibat keterbatasan suatu negara dalam memberikan pelayanan yang
memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan atau pengetahuan tentang penyakit, serta
kesulitan mendapatkan pengobatan yang tepat dan kesejahteraan sosial ekonomi pada
4,17
masyarakat. Secara global pada tahun 2019 ditemukan 202.256 kasus kusta baru dari 160
5
negara. Indonesia berada pada peringkat ketiga di dunia setelah India dan Brazil, dengan
jumlah kasus kusta baru pada tahun 2019 mencapai 17.439 pasien kusta (angka penemuan
kasus baru 6,51 per 100.000 penduduk).6

Kusta dapat terjadi pada semua usia, namun kejadian terbanyak dijumpai pada usia
muda dan produktif. Insiden kusta biasanya terjadi pada kelompok usia antara 20 dan 30
tahun. Kusta terjadi pada kedua jenis kelamin. Laki-laki lebih terpengaruh dibandingkan
perempuan dengan proporsi 2: 1. Lebih banyak kasus pada pria, dikaitkan dengan mobilitas
yang lebih besar dan peningkatan kesempatan untuk kontak. Laki-laki juga bersedia melapor
ke fasilitas kesehatan untuk berobat. 18 Defisiensi dari berbagai vitamin juga mempengaruhi
respon imun bawaan dan didapat, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan respon host

3
terhadap patogen. Defisiensi gizi sering dijumpai di negara-negara endemis kusta, sehingga
dipikirkan bahwa gambaran klinis pada pasien kusta berhubungan dengan status gizi host
yang berinteraksi dengan faktor-faktor genetik dan lingkungan lainnya.19

2.1.3 Etiologi

Kuman M. leprae merupakan kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh
Hansen di Norwegia pada tahun 1873 dan pengamatannya dipublikasikan pada tahun 1874.
menjadikannya bakteri patogen tertua yang diketahui manusia.20 Kuman M.leprae merupakan
patogen obligat intraseluler, kuman batang tahan asam kuat, aerobik, bentuk batang, gram
positif dengan ukuran panjang 1-8 µm dan diameter 0,3 µm.8

Masa membelah diri kuman kusta memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 12-14 hari sehingga masa tunasnya menjadi lama yaitu 2-5 tahun.
Kuman kusta dapat bertahan hidup di lingkungan selama 9 hari. M. leprae terutama
bermultiplikasi di dalam histiosit dan sel schwann, tetapi dapat juga bermultiplikasi di dalam
sel lain termasuk sel otot dan endotelium pembuluh darah. Suhu optimum yang diperlukan
untuk pertumbuhan M. leprae adalah 27-300C. 8,17

2.1.4 Mekanisme penularan

Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti.
Ada beberapa cara transmisi kusta yaitu melalui inhalasi dan kontak langsung, yang lebih
jarang melalui air susu ibu (ASI) atau inokulasi setelah terjadinya trauma.17 Penularan
tersering adalah melalui saluran pernapasan terutama hidung dan melalui kontak kulit yang
tidak utuh. Penularan penyakit kusta terjadi apabila kuman M. leprae yang utuh (hidup)
keluar dari tubuh pasien dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Penularan ini dapat terjadi
melalui kontak yang lama dan erat dengan pasien kusta.21

4
2.1.5 Imunopatogenesis

Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor patogen (M.
leprae), faktor host (usia, jenis kelamin, migrasi, imunitas, genetik), lingkungan
(kelembaban, daerah endemis), dan sosial (lingkungan padat, pendidikan rendah, kebersihan
diri rendah).8

Respon imunitas host terhadap infeksi M. leprae dimulai sejak masuknya patogen
menembus barrier fisik mukosa hidung, kemudian menuju kulit dan saraf tepi melalui
sirkulasi. Keberhasilan invasi M. leprae akan direspon oleh sistem seluler yang diperankan
oleh makrofag sehingga sistem fagositosis makrofag merupakan barrier lini pertama yang
berperan melawan M. leprae. Reseptor pengenalan pola (PRR) yang mengenali M. leprae,
peran toll like receptor (TLR) secara dominan mengaktifkan heterodimer TLR2/1 yang
diekspresikan terutama pada makrofag dan sel dendritik. TLR-1 dan TLR-2 lebih kuat
diekspresikan pada lesi TT daripada LL. 22

Terdapat 4 rute sinyal disertai interaksi molekuler pada makrofag yang melibatkan
aktivasi TRLs, TGF-, jalur regulasi TNF-, dan jalur yang diperantarai oleh VDR.
Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh PGL-1 pada dinding sel M. leprae yang
dikenali oleh complement receptor, serta diregulasi oleh protein kinase. Sistem fagositosis
makrofag diaktivasi melalui pengenalan PGL-1 oleh TLRs pada permukaan makrofag.
Interaksi makrofag dengan PGL-1 melalui TLRs ini menimbulkan aktivasi sel T-Naive
melalui sekresi interleukin-12 (IL-12) dan IL-10. Sitokin-sitokin ini menginduksi perubahan
sel T-naive menjadi sel T-helper 1 (Th1) maupun sel T-helper 2. Masing-masing sel limfosit
T yang teraktivasi akan mempromosikan sel respon imun seluler dan humoral terhadap M.
leprae, sehingga muncul perkembangan penyakit kusta ke bentuk tuberkuloid atau
lepromatosa. Aktivasi TLRs makrofag juga meningkatkan regulasi VDR dan gen 1--
hydroxylase vitamin D yang menyebabkan induksi peptida anti mikroba katelisidin untuk
membunuh M. leprae. Selain itu, stimulasi TLRs memicu aktivasi nuclear transcription factor
(NF) yang berperan dalam proses transkripsi berbagai gen pada respon imun. Sitokin
proinflamasi akibat aktivasi makrofag memodulasi TGF-yang berperan mempertahankan
toleransi sistem imun melalui regulasi proliferasi, diferensiasi, dan pertahanan hidup limfosit.
Aktivasi TGF-ini mengontrol inisiasi dan resolusi respon inflamasi tanpa mempengaruhi
respon imun terhadap patogen. Aktivasi TGF-memicu protein SMAD3 yang berfungsi

5
sebagai koaktivator VDR atau faktor transkripsi pada inti. Makrofag teraktivasi akibat
stimulus patogen mensekresi sitokin seperti TNF-yang dapat menginduksi inducible nitric
oxide species (iNOS) dan nitric oxide (NO) yang berperan untuk membunuh M. Leprae. 17,,22

2.1.6 Gambaran klinis


Manifestasi klinis kusta terutama melibatkan kulit dan sistem saraf. Selain anestesi
atau hipestesi pada lesi kulit individu, saraf perifer dapat membesar dan teraba. Saraf perifer
tertentu lebih sering terkena. Palpasi saraf merupakan komponen integral dari pemeriksaan
fisik pasien kusta. Dokter juga harus menentukan melalui pemeriksaan fisik apakah ada
penurunan sensasi nyeri, suhu dan / atau sentuhan secara umum (misalnya pada ekstremitas),
sebagai tambahan untuk pemeriksaan perubahan neuropatik (misalnya atrofi otot, kontraktur
fleksi pada jari keempat dan kelima), perubahan vasomotor dan gangguan sekretori (misalnya
mata dan hidung kering).2

Pada kusta tuberkuloid, hanya terlihat beberapa plak berbatas tegas dan hanya
beberapa keterlibatan saraf yang hadir. Pada beberapa pasien dapat terlihat papula atau plak
yang eritematosa, sementara pasien yang berkulit gelap dapat mengalami hipopigmentasi.
Lesi kulit harus diperiksa apakah terdapat alopesia serta anestesi atau hipestesia.2

Kusta borderline, memiliki ciri-ciri yang berada di antara kedua ujung spektrum. Lesi
kulit biasanya asimetris, ada pembengkakan daun telinga unilateral. Tingkat keparahan
kelainan kulit dan sistem saraf perifer tergantung pada apakah pasien "condong" ke arah
lepromatosa (BL) atau tuberkuloid (BT). 2

Kusta lepromatosa, bentuk dengan imunitas seluler paling sedikit dan jumlah basil

terbesar, awalnya ditandai oleh makula eritematosa multipel, papula, nodul, dan plak. Lesi

tersebar luas, dan biasanya distribusinya simetris. Infiltrasi kulit dahi dapat menyebabkan

fasies leonine. Tanda-tanda tambahan dan gejala sisa lanjut termasuk madarosis, saddle nose

infiltrasi kedua daun telinga, dan iktiosis yang didapat pada ekstremitas bawah. Anestesi

dapat terjadi seringkali bersamaan dengan pembesaran saraf perifer dan perubahan

neuropatik. Manifestasi mata seperti lagoftalmus (ketidakmampuan untuk menutup mata

sepenuhnya) dan anestesi kornea dan konjungtiva karena keterlibatan cabang saraf wajah dan
trigeminal, kadang-kadang dapat muncul pada kasus yang parah.2

6
2.1.7 Diagnosa dan klasifikasi

4,9
Dalam menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda kardinal, yaitu :
1. Kelainan kulit yang mati rasa
Kelainan kulit dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis. Gangguan fungsi saraf bisa berupa ; gangguan fungsi sensoris : mati rasa,
gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot,
gangguan fungsi otonom : kulit kering dan pertumbuhan rambut yang terganggu.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear) yang
diambil dari cuping telinga dan lesi kulit aktif, atau dapat diperoleh melalui biopsi
kulit atau saraf.

Diagnosa penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopi, histopatologi dan


4,9,23
serologi. Terdapat beberapa jenis klasifikasi yang umumnya digunakan yaitu :

1. Klasifikasi madrid terdiri dari indeterminate (I), tuberkuloid (T), borderline-


dimorphous (B), dan lepromatosa (L).
2. Klasifikasi Ridley-jopling, terdiri dari tuberkuloid (TT), borderline-tuberculoid (BT),
mid-borderline (BB), borderline- lepromatous (BL), dan lepromatosa (LL).
3. Klasifikasi WHO, untuk memudahkan pengobatan dilapangan. Dalam klasifikasi ini
seluruh pasien kusta dibagi dalam 2 tipe yaitu pausibasiler (PB) dan tipe multibasiler
(MB). Dasar klasifikasi ini adalah gambaran klinis dan hasil pemeriksaan BTA
melalui pemeriksaan kerokan jaringan kulit.

7
2.1.8 Pengobatan

Tujuan utama dari program pemberantasan kusta ialah memutus mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan pasien, serta
mencegah timbulnya kecacatan. Pengobatan kusta yang diberikan adalah melalui program
multi drug therapy (MDT), yang dimulai pada tahun 1981. Regimen MDT ini terdiri atas
kombinasi dua atau lebih obat anti kusta yaitu rifampisin yang bersifat bakterisid kuat,
dapson dan klofazimin dimana keduanya bersifat bakteriostatik. 4 Regimen pengobatan MDT
yang digunakan di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh
WHO, yang dibedakan berdasarkan tipe kusta menurut WHO, yaitu MDT-PB dan MDT-
4
MB. Regimen PB terdiri atas rifampisin 600mg sebulan sekali ditambah dapson 100mg/hari
selama 6 bulan. Regimen MB, terdiri atas kombinasi rifampisin 600mg sebulan sekali,
klofazimin 300mg/sebulan sekali dan 50mg/hari, dapson 100mg/hari dengan lama
pengobatan 12 bulan.4,16

2.2 Vitamin D

2.2.1 Definisi

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak, berperan penting dalam
homeostasis kalsium dan metabolisme tulang.10 Peran fungsional vitamin D yaitu mengurangi
proliferasi sel, meningkatkan apoptosis, meningkatkan diferensiasi, dan regulasi proses
24
biologi termasuk angiogenesis, produksi matriks ekstraseluler, dan respon imun.

Terdapat dua bentuk vitamin D yaitu vitamin D 2 (ergokalsiferol), dan vitamin D3


(kolekalsiferol). Vitamin D3, bentuk aktif vitamin D, tidak hanya mengatur metabolisme
kalsium dan tulang tetapi juga memainkan peran imunomodulator yang dimediasi melalui
25
pengikatan reseptornya (VDR) dalam monosit, makrofag, dan limfosit aktif.

Ada dua sumber vitamin D yaitu lewat pembuatan di kulit dan asupan makanan.
Sebagian besar vitamin D dalam edaran darah dibuat di kulit yang terpajan radiasi ultraviolet
B dan hanya 10% yang berasal dari makanan. Sumber vitamin D yang berasal makanan
antara lain: jamur, ikan yang berminyak seperti salmon, ikan kembung, minyak hati ikan kod,
26
dan kuning telur.

8
2.2.2 Metabolisme vitamin D

Metabolisme vitamin D dapat melalui proses bioaktivasi melalui jalur klasik yang
melibatkan renal dan jalur non klasik (ekstra-renal). Vitamin D3 (kolekalsiferol), bentuk
alami vitamin D, diproduksi di kulit dari 7-dehydrocholesterol. Setelah iradiasi, 7-
dehydrocholesterol menghasilkan pra-vitamin D3 yang mengalami penataan ulang dari tiga
ikatan rangkap untuk membentuk vitamin D3. Sintesis vitamin D di kulit merupakan sumber
vitamin D terpenting dan bergantung pada intensitas penyinaran ultraviolet B (UVB), dengan
panjang gelombang sebesar 290-315 nm. Previtamin D3 secara cepat akan menginduksi
terjadinya isomerase yang kemudian membentuk vitamin D3. 27,28

Vitamin D diangkut dalam darah dan berikatan dengan vitamin D binding protein
(VDBP) yang selanjutnya mengalami hidroksilasi oleh enzim 25-hydroxylase vitamin D
(CYP2R1) di hepar menghasilkan 25(OH)D. 25(OH)D adalah bentuk vitamin D yang tidak
aktif dan menunjukkan jumlah vitamin D yang tersimpan di dalam tubuh. 14,27,29
Konsentrasinya dalam serum telah berfungsi sebagai salah satu biomarker status vitamin D.
menurut US Endocrine Society, kadar 25(OH)D serum dikategorikan menjadi defisiensi (< 20
27,30
ng/mL), insufisiensi (21-29 ng/mL), dan suffisiensi (30-100 ng/mL).

Selanjutnya, proses metabolisme yang kedua adalah bioaktivasi vitamin D yang


terjadi di renal. 25(OH)D mengalami hidroksilasi di renal oleh enzim lainnya yaitu CYP27B1
(sebelumnya dikenal dengan 1α-hydroxylase) menjadi 1,25(OH)2D atau kalsitriol.27,31
1,25(OH)2D merupakan bentuk aktif dari metabolik vitamin D. Namun selain di renal,
1,25(OH)2D juga diproduksi di berbagai jaringan lainnya seperti kulit, makrofag, kolon,

pankreas, pembuluh darah, dan lainnya. 14,32

Produksi 1,25(OH)2D oleh renal secara ketat diregulasi oleh sejumlah faktor, yang
terpenting adalah fosfor serum dan kadar hormon paratiroid dengan menurunkan regulasi
produksi renal selanjutnya.14,33 Sebaliknya, 1,25(OH)2D oleh jaringan ekstra-renal diregulasi
oleh sitokin (contoh IFN-γ), lipopolisakarida, nitric oxide dan VDBP intraselular, yang
mengaktivasi enzim CYP27B1 untuk menstimuli konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH) 2D.
Produksi 1,25(OH)2D ekstra-renal pada jaringan yang diinfeksi oleh bakteri intraseluler akan
menyebabkan produksi 1,25(OH)2D ekstra-renal menjadi berlebihan, yang selanjutnya renal

9
tidak mampu untuk mengontrol produksi 1,25(OH) 2D dan menyebabkan prohormon
25(OH)D menjadi menurun dikarenakan konversi yang cepat menjadi 1,25(OH) 2D.13,14,33

Penggunaan jangka panjang obat tertentu, termasuk fenobarbital, fenitoin,


karbamazepin, rifampisin, dan antiretroviral, diketahui menyebabkan peningkatan regulasi
CYP3A4 yang menyebabkan penurunan kadar 25(OH)D dan 1,25(OH) 2D. Selain itu, juga
terdapat penyakit yang mempengaruhi status vitamin D pada seseorang, antara lain penyakit
pada ginjal, hati, penyakit granulomatosa seperti infeksi tuberkulosis dan keganasan. 34

Gambar 1. (Dikutip dari kepustakaan no.33) Metabolisme vitamin D: Setelah paparan sinar
matahari prekursor 7-dehydrocholesterol dalam membran plasma dari keratinosit basal epidermal dan
suprabasal serta fibroblas dermal diubah menjadi previtamin D3. Vitamin D3 yang disintesis
dilepaskan dari membran plasma dan memasuki sirkulasi sistemik dan terikat pada protein pengikat
vitamin D (VDBP). Konsentrasi serum vitamin D3 memuncak 24-48 jam setelah paparan radiasi UV.
Setelah dalam sirkulasi, vitamin D diubah oleh hidroksilase hati menjadi 25-hidroksivitamin D
(25(OH)D; kalsidiol). 25 (OH) D tidak aktif secara biologis, 25 (OH) D diubah di ginjal menjadi
bentuk hormonal aktifnya 1,25-dihidroksivitamin D (1,25 (OH) 2D; kalsitriol) dalam proses yang
biasanya dikontrol secara ketat oleh hormon paratiroid. 33

10
2.2.3 Fungsi vitamin D

Vitamin D berperan penting dalam perkembangan mineralisasi tulang, namun


terdapat peran lain vitamin D setelah ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) dijaringan
yang tidak terlibat dalam metabolisme kalsium dan fosfat. Reseptor vitamin D juga terdapat
pada banyak jaringan dan sel tubuh untuk mengembangkan respon biologis.19

1,25-dihydroxyvitamin D adalah produk aktif akhir dari regulasi kompleks produksi


renal dan berperan sebagai hormon steroid.35 Peran klasik (peran skeletal) dari vitamin D
adalah meningkatkan absorbsi kalsium dengan mengatur beberapa calcium transport protein
pada usus halus serta memobilisasi dan reabsorbsi kalsium dari tulang yang merupakan
tempat penyimpanan kalsium terbesar pada tubuh manusia.30,33

Studi terakhir dari genome-wide analysis mengungkapkan bahwa vitamin D memiliki


28
peran ekstra-skeletal melalui penemuan VDR dan enzim CYP27B1. Pengangkutan
metabolit vitamin D ekstra sel dilakukan oleh lipoprotein, albumin, dan VDBP, sedangkan
intra sel oleh VDR. Reseptor vitamin D diidentifikasi sebagai faktor transkripsi nukleus yang
mengatur sejumlah gen target. VDR ekstra-renal memproduksi metabolit vitamin D,
35
meregulasi berbagai gen yang tidak terlibat pada metabolisme kalsium.

Enzim CYP27B1 diketahui memiliki peran penting dalam bioaktivasi vitamin D yang
dominan diekspresikan pada renal, namun enzim ini juga diekspresikan pada berbagai sel
atau jaringan ekstra-renal seperti sel imun alami (monosit/makrofag, sel dendritik, dan sel T),
sel beta pankreas, plasenta, sel paratiroid, kolon, payudara dan paru. Enzim CYP27B1 dan
VDR berperan dalam sintesis vitamin D intrakrin melalui mekanisme yang berbeda dengan
sintesis di renal sesuai dengan target sel spesifik. Hal ini mengungkapkan berbagai fungsi
vitamin D ekstra-skeletal seperti peranan pada sistem imunitas, endokrin, muskular,
kardiovaskular, kanker, neurogeneratif, renal dan pulmonal. 27,32

11
2.2.4 Peran vitamin D pada infeksi

Penelitian saat ini telah mengamati bahwa vitamin D memiliki peran non klasik yaitu
sebagai imunomodulator dalam sistem imunitas. 13,14 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara kadar vitamin D yang rendah dengan berbagai penyakit infeksi.
Vitamin D diketahui memiliki efek antimikroba dan memodulasi sistem imunitas serta
13
mempengaruhi kadar sitokin. Banyak bakteri patogen membentuk sel persisten yang dapat
bereplikasi di dalam makrofag, dalam bentuk ini dapat menyebabkan infeksi subklinis dan
telah dikaitkan dengan penyakit kronis. Bakteri intraseluler dapat memodulasi produksi
sitokin, dan pada monosit dan makrofag, aktivasi sitokin secara nyata menghambat
transkripsi gen 1,25(OH)2D/VDR.13

1,25-dihydroxivitamin D meregulasi sistem imunitas melalui VDR yang dijumpai


pada sebagian besar sel imun terutama antigen presenting cells (APC) seperti monosit,
makrofag, dan sel dendritik untuk mengekspresikan anti microbial peptide (AMP) untuk
membunuh patogen.13

Secara garis besar terdapat tiga jalur mekanisme imun 1,25-(OH)2D- VDR antara lain
intrakrin, parakrin dan endokrin. Jalur intrakrin berperan dalam aktivitas antibakteri alamiah
yang diawali dengan pengenalan patogen oleh pattern recognition receptor (PRR) TLR2/1
yang menginduksi ekspresi 1--hydroxylase (CYP27B1) dan VDR. Induksi ekspresi
CYP27B1 pada sistem intrakrin akan mengubah 25-OHD menjadi vitamin D bentuk aktif
1,25-(OH)2D, yang kemudian berikatan dengan VDR dan mendorong regulasi transkripsi gen
dari sel target. Respon penting pertama dari jalur intrakrin adalah VDR meregulasi ekspresi
gen cathelisidin (LL37), yang mengkode protein pemicu penghancuran kuman intraseluler
dengan menghasilkan cathelisidin antimicrobial peptide (CAMP) dan -defensin-4 (DEFB4).
Mekanisme kedua adalah induksi ekspresi CYP27B1 oleh TLR2 dengan melibatkan sitokin
interleukin-15 (IL-15). Sitokin IL-15 yang disekresi oleh makrofag saat terinduksi oleh TLR
mampu meningkatkan produksi peptida antimikroba. Selain itu, juga mampu menekan iron-
regulatory hepcidin, mendorong autofagosom, dan menginduksi ekspresi protein nucleotide-
binding oligomerization domain containing 2 (NOD2). Respon induksi DEFB4 juga
memerlukan sinyal imun seperti ikatan muramyl dipeptide (MDP) yang berikatan dengan
NOD2, dan respon interleukin-1 (IL-1) melalui NK. 36,37

12
Jalur mekanisme parakrin meregulasi respon antimikroba melalui intrakrin vitamin D.
Sitokin inflamasi yang ikut terlibat dalam jalur parakrin adalah IFN-γ yang memediasi respon
antibakteri pada makrofag yang bergantung dengan vitamin D, sedangkan IL-4 mampu
meningkatkan ekspresi CYP24A1 (berfungsi sebagai pemecah 1,25-(OH)2D menjadi
25(OH)D) dan menstimulasi aktivitas 24-hydroxylase pada monosit dengan menghentikan
induksi TLR2/1 memicu LL37.36

Mekanisme terakhir adalah jalur endokrin. Neutrofil memiliki ekspresi VDR yang
sangat tinggi dan menunjukkan ekspresi yang sama dari LL37 yang diinduksi 1,25-(OH)2D
pada sel monosit. Respon neutrofil terhadap infeksi tidak melalui komplek 1,25-(OH)2D-
VDR, namun dipicu langsung oleh 1,25-(OH)2D sebagai faktor endokrin.36

Gambar 2. (dikutip dari kepustkaan no.36) Metabolisme intrakrin vitamin D dan kekebalan
antibakteri monosit. Patogen bakteri difagositosis oleh sel seperti monosit tetapi mampu menjalani
replikasi intraseluler yang dapat mengancam sel inang. Reseptor pengenalan pola seperti toll-like
receptor (TLR) juga dapat bertindak sebagai sensor monosit patogen, efek bersamaan pada ekspresi
gen seperti CYP27B1 dan VDR. Induksi komponen sistem vitamin D ini menyediakan mekanisme
untuk konversi 25(OH)D (25D) menjadi 1,25(OH)2D (1,25D) dan pensinyalan nuklir intrakrin
berikutnya melalui VDR. Di antara gen yang diinduksi oleh sistem intrakrin adalah katelisidin (LL37)
yang bertindak sebagai protein antibakteri ketika dimasukkan ke dalam fagosom. Faktor antibakteri
lain seperti defensin 4 (DEFB4) juga diinduksi oleh intrakrin 1,25D, tetapi memerlukan stimulasi
tambahan oleh faktor nuklir-kappa B (NF-κB), yang dirangsang oleh faktor-faktor seperti interleukin-
1 (IL-1) atau NOD2 dan ligan muramyl dipeptide (MDP). Metabolisme vitamin D intrakrin juga
mendorong pembunuhan bakteri melalui peningkatan autofagi yang mendorong pembentukan
autofagosom. Induksi sistem vitamin D intrakrin dalam monosit melalui aktivasi TLR tampaknya
memerlukan interleukin-15 (IL-15) sebagai perantara dan juga dapat dirangsang oleh interferon
(IFNγ), dengan aktivitas antibakteri yang ditingkatkan. Sebaliknya, interleukin-4 (IL-4) menekan
aktivitas antibakteri intrakrin vitamin D dengan meningkatkan enzim katabolik vitamin D 24-
hidroksilase (CYP24A1). 36

13
2.2.5 Peran vitamin D pada kusta

Mekanisme vitamin D sebagai imunomodulator pada infeksi mikobakteri belum


sepenuhnya dipahami, namun beberapa teori telah dikemukakan. 27,30 Pada penyakit kusta,
vitamin D melalui interaksinya dengan VDR diduga dapat mempengaruhi kemampuan
makrofag dalam membunuh patogen dengan meningkatkan ekspresi CAMP.32,38 Katelisidin
efektif melawan bakteri gram positif dan gram negatif, jamur dan mikobakteri di berbagai
tempat masuknya patogen, termasuk kulit dan lapisan mukosa sistem pernapasan dan
pencernaan. Pasien dengan kadar 25(OH)D kurang dari 20 ng/mL mungkin tidak dapat
sepenuhnya mengekspresikan katelisidin.14

Sel-sel imunitas bawaan seperti monosit dan makrofag mendeteksi adanya bakteri M.
leprae yang dimediasi, berupa heterodimer toll like receptor (TLR2/1).39,41 TLR2/1 yang
berada pada permukaan sel akan mengenali PGL-1 yang berada pada M. Leprae setelah
terjadi kontak dengan TLR, kaskade persinyalan akan dicetuskan di dalam sel host.39,40
Aktivasi dari TLR 2/1 pada monosit akan menginduksi VDR yang selanjutnya akan
mengaktifkan jalur antimikroba yang dimediasi oleh vitamin D. 39-41 Kemudian VDR akan
menginduksi katelisidin yang merupakan gen target dari jalur fungsional vitamin D. Salah
satu famili katelisidin yang telah diteliti yaitu LL-37, lini pertama dalam pertahanan terhadap
infeksi, perekrutan monosit, sel T dan neutrofil menuju lokasi infeksi. 13,14

Vitamin D dan analog aktifnya meningkatkan ekspresi katelisidin LL-37 dalam


berbagai jenis sel, termasuk keratinosit, sel epitel, dan monosit / makrofag manusia.
Katelisidin adalah senjata antimikroba yang menghilangkan mikobakteri intraseluler dan juga
memainkan peran dalam berbagai proses jalur autofagi untuk meningkatkan fusi fagosom
mikobakteri dengan autofagosom dan autolisosom. Selain peran antibakterinya, LL-37
memiliki peran pleiotropic dalam berbagai respons biologis, sebagai imunomodulator dengan
fungsi anti-inflamasi dalam sel atau jaringan.42

M. leprae dan M. tuberculosis, keduanya merupakan bakteri intraselular, sehingga


memiliki mekanisme pertahanan host terhadap patogen yang hampir sama. Mekanisme
biologis vitamin D dalam memodulasi sistem imunitas untuk membunuh Mycobacterium
masih dalam penelitian, meskipun sebagian sudah diketahui. Secara in vitro, 1,25(OH)2D,
memiliki aktivitas antimikroba pada monosit dan makrofag. 1,25-dihydroxyvitamin D

14
berperan meningkatkan fusi fagosom dan lisosom pada makrofag yang terinfeksi,
membalikkan kemampuan dari Mycobacterium yaitu mencegah fusi fagosom menuju
lisosom. 1,25-dihydroxyvitamin D juga menyebabkan kematian Mycobacterium sp., dengan
menginduksi produksi AMP pada makrofag yang terinfeksi dan neutrofil. 19,40

Regulasi VDR merupakan mekanisme umum yang digunakan oleh vitamin D sebagai
sistem pertahanan host terhadap patogen. M. leprae diketahui menghambat aktivitas VDR
melalui penurunan regulasi dari enzim CYP27B1 pada monosit, enzim yang mengubah
25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D.14,39 Kadar 1,25(OH)2D yang tinggi dibutuhkan pada infeksi
kronis untuk memodulasi transkripsi gen target CAMP, dimana hal ini akan menyebabkan
kadar 25(OH)D menurun, sehingga status vitamin D dapat berperan dalam meningkatkan
atau mengganggu respon imun bawaan terhadap infeksi. 13,14

Studi dari Genome wide analysis berperan penting dalam mengungkapkan mekanisme
utama yang memicu sistem vitamin D intrakrin dan respon imunitas terkait dalam sel
monosit/makrofag dan sel dendritik. Penelitian tersebut menggunakan sel imun yang diisolasi
secara langsung dari subyek penelitian maupun yang dikultur, telah membuktikan adanya
respon vitamin D yang diinduksi oleh patogen. Bagaimana respon ini berfungsi pada penyakit
imun yang sebenarnya seperti halnya pada kusta, belum sepenuhnya jelas.29

Berdasarkan hasil analisis DNA, didapatkan profil ekspresi gen pada kusta
tuberkuloid menunjukkan adanya ekspresi CYP27B1, CYP24A1, dan VDR yang signifikan,
sebaliknya pada kusta tipe lepromatosa didapatkan ekspresi yang lebih rendah. Disimpulkan
dari penelitian bahwa sistem vitamin D intrakrin pada kusta tipe tuberkuloid masih intak atau
tidak terganggu, sehingga mampu untuk membantu respon anti bakteri dari vitamin D.
Berbeda halnya sistem vitamin D intrakrin pada kusta lepromatosa yang terganggu, khas
ditandai oleh tingginya makrofag yang terinfeksi M. Leprae. 29

1,25-(OH)2D3 dapat berkontribusi pada penyebaran M. leprae dengan mempengaruhi


sel dendritik dan sel T-regulator. Pada sel dendritik, 1,25- (OH)2D3 menurunkan maturasi,
menghambat ekspresi MCH kelas II, CD40, CD80, CD86, menurunkan IL-12 dan
meningkatkan produksi IL-10. Dalam sel T, 1,25-(OH)2D3 dapat mempromosikan ekspresi
FoxP3 dan produksi IL-10, dan mendukung perkembangan sel T.

15
Interferon-γ, yang disekresikan oleh sel Th1, diketahui memiliki peran pelindung
terhadap agen intraseluler dengan meningkatkan peran enzim CYP27B1. Mekanisme ini
diketahui berperan pada kusta tipe TT, terutama diperankan oleh sistem imunitas seluler yaitu
Th1 dimana terjadi peningkatan kadar IFN-γ dan ditandai dengan makrofag yang diprogram
untuk mengekspresikan jalur antimikroba yang dimediasi oleh vitamin D.19,40,41 Pada kusta
tipe LL, IL-4, IL-10 dan IFNα/β kadarnya meningkat. Hal ini yang diduga menjadi penyebab
sistem vitamin D intrakrin terganggu pada kusta tipe LL. IL-4 dan IL-10 diketahui
mensupresi produksi antibakteri. Peran IFNβ dimediasi oleh IL-10 yang berperan mensupresi
ekspresi dari enzim CYP27B1, sedangkan IL-4 tampaknya berperan melalui menstimulasi
aktivitas enzim katabolik vitamin D, CYP24A1. 19,36,41

Gambar 3. (dikutip dari kepustakaan no.19) Partisipasi metabolit aktif Vitamin D (1,25 (OH) 2
VD3) dalam respon imun terhadap M. leprae. 1,25 (OH)2 VD3 meningkatkan ekspresi VDR, IL-1 dan
peptida katelisidin di makrofag yang berkontribusi untuk pembersihan bakteri yang dimediasi oleh
respon imun bawaan. Namun, penyebaran mikobakteri dapat dikaitkan dengan aksi 1,25 (OH) 2 VD3
dalam sel dendritik dan 1,25 (OH)2 VD3 mengurangi pematangan sel dendritik dengan mengurangi
ekspresi IL-12, MHC kelas II, CD 40, CD80, CD60, dan meningkatkan produksi IL-10 dalam sel T,
mendukung generasi sel T regulator. Sel T regulator menekan respons Th1 dan mengganggu fungsi
mikrobisidal makrofag, berkontribusi pada persistensi mikobakteri di inang. 19

16
BAB III
PENUTUP

Kusta atau disebut juga morbus hansen adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis
yang terutama menyerang jaringan kulit dan saraf perifer disebabkan oleh Mycobacterium
leprae (M. leprae). Perjalanan penyakit kusta bergantung pada berbagai faktor, diantaranya
faktor kuman M. leprae, faktor host dan faktor lingkungan yang memicu penularan penyakit
kusta seperti tempat tinggal dan migrasi ke daerah endemis kusta, usia, jenis kelamin,
genetik, status gizi dan imunitas tubuh yang salah satunya dapat dipengaruhi oleh vitamin D.

Salah satu peran fungsional vitamin D yaitu sebagai imunomodulator dimana


polimorfisme gen reseptor vitamin D (VDR) telah ditemukan terkait dengan kusta. Vitamin D
telah terbukti mengontrol beberapa sifat imunomodulasi inang melalui gen VDR. Regulasi
VDR merupakan mekanisme umum yang digunakan oleh vitamin D sebagai sistem
pertahanan host terhadap patogen. M. leprae diketahui menghambat aktivitas VDR melalui
penurunan regulasi dari enzim CYP27B1 pada monosit, enzim yang mengubah 25(OH)D
menjadi 1,25(OH)2D. Kadar 1,25(OH)2D yang tinggi dibutuhkan pada infeksi kronis untuk
memodulasi transkripsi gen target CAMP, dimana hal ini akan menyebabkan kadar 25(OH)D
menurun. Individu dengan kadar vitamin D yang rendah kurang mampu menginduksi
aktivitas antibakteri dan akan lebih berisiko terjadi infeksi.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Salgado CG, Cardoso de Brito A, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. Dalam: Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AH, Margolis DJ, McMichael AJ, Orringer J,
penyunting. Fitzpatrick's dermatology. Edisi ke-9. New York : Mc.Graw-Hill. 2019.
h.2892-920.
2. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infection. Dalam : Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, Callen JP, Lorenzo C, Heymann WR, dkk, editor. Dermatology. Edisi ke-
3. United States of America: Elsevier Inc; 2012.h.1221-28.
3. Barua S. Global Leprosy Situation: Historical Perspective, Achievments, Challenges
and Future Steps. Dalam : Kumar B, Kar HK, penyunting. IAL Textbook of Leprosy.
Indian Association of Leprologist. Edisi ke-2. Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd.
New Delhi. 2017. h.45-58.
4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Buku
Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.2014.
5. World Health Organization. Global leprosy (Hansen disease) update, 2019: time to
step-up prevention initiatives–Weekly Epidemiological Record. 2020 Sep 4;95(36):417-
40.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2019
tentang Pengendalian penyakit kusta. Jakarta. 2020. h.167-9.
7. Data kunjungan pasien kusta di poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin BLU
RSUP Prof. dr. RD. Kandou Manado rekapitulasi bulan Januari-Desember 2020.
Manado.
8. Sekar B. Bacteriology of leprosy. Dalam: Kumar B, Kar HK, penyunting. IAL
Textbook of Leprosy. Indian Association of Leprologist. Edisi ke-2. Jaypee Brothers
Medical Publishers Ltd. New Delhi. 2017. H 90-104.
9. Wisnu IM, Sjammsoe-Dalli ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Menaldi SL, Bramono K,
Indriatmi W, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta : Badan
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.h.87-102.
10. Nair R, Maseeh A. Vitamin D: The “sunshine” vitamin. Journal of pharmacology &
pharmacotherapeutics. 2012 Apr;3(2):118.
11. Bartley J, Camargo CA. Vitamin D and infection. In: Gombart AF. Vitamin D:
oxidative stress, immunity, and aging. United State: CRC press. 2013. p.323-51.

18
12. Singh I, Lavania M, Pathak VK, Ahuja M, Turankar RP, Singh V, Sengupta U. VDR
polymorphism, gene expression and vitamin D levels in leprosy patients from North
Indian population. PLoS neglected tropical diseases. 2018 Nov 27;12(11):e0006823.
13. Mangin M, Sinha R, Fincher K. Inflammation and vitamin D: the infection connection.
Inflamm Res. 2014;63:803-19.
14. Youssef DA, Miller CWT, El-Abbassi AM, Cutchins DC, Cutchins C, et al.
Antimicrobial implications of vitamin D. Dermato-Endocrinology. 2011;3(4):220-9.
15. Khurana A. Epidemiology and world distribution. Dalam : Sardana K, Khurana A,
editor. Jopling’s Handbook of leprosy. Edisi ke-6. New delhi : CBS Publishers &
Distributors Pvt Ltd. 2020. H. 1-5
16. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (Perdoski). Kusta. Panduan
Praktik Klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta. 2017.h.80-7.
17. Lastória JC, Morgado de Abreu MAM. Leprosy: review of the epidemiological,
clinical, and etiopathogenic aspects. An Bras Dermatol. 2014;89(2):205-18.
18. Joshi PL. Epidemiology of leprosy. Dalam: Kumar B, Kar HK, penyunting. IAL
Textbook of Leprosy. Indian Association of Leprologist. Edisi ke-2. Jaypee Brothers
Medical Publishers Ltd. New Delhi. 2017. H 33-44.
19. Vazquez CMP, Netto RSM, Barbosa KBF, Moura TR, Almeida RP, Duthie MS.
Micronutrients influencing the immune response in leprosy. Nutricion Hospitalaria.
2014; 29(1):26-36.
20. Sardana K, Bhushan P, Khurana. Clinical Leprosy. Dalam : Sardana K, Khurana A,
editor. Jopling’s Handbook of leprosy. Edisi ke-6. New delhi : CBS Publishers &
Distributors Pvt Ltd. 2020. H. 6-58.
21. Gupta UD, Mohanty PS. Naturally Occurring Leprosy: Mycobacterium leprae and other
Environmental Mycobacteria in Nature. Dalam : Kumar B, Kar HK, penyunting. IAL
Textbook of Leprosy. Indian Association of Leprologist. Edisi ke-2. Jaypee Brothers
Medical Publishers Ltd. New Delhi. 2017. H. 182-5.
22. Khurana A. Immunology of disease. Dalam : Sardana K, Khurana A, editor. Jopling’s
Handbook of leprosy. Edisi ke-6. New delhi : CBS Publishers & Distributors Pvt Ltd.
2020. H. 163-175.
23. Misra RS, Kataria JK. Classification. Dalam : Kumar B, Kar HK, penyunting. IAL
Textbook of Leprosy. Indian Association of Leprologist. Edisi ke-2. Jaypee Brothers
Medical Publishers Ltd. New Delhi. 2017. H. 254-62.

19
24. Medrano M., Carrillo-Cruz E., Montero I., Perez-Simon J.A. Vitamin D: Effect on
Haematopoiesis and Immune System and Clinical Applications. Int. J. Mol.
Sci. 2018;19:2663. doi: 10.3390/ijms19092663.
25. Mandal D, Reja AH, Biswas N, Bhattacharyya P, Patra PK, Bhattacharya B. Vitamin D
receptor expression levels determine the severity and complexity of disease progression
among leprosy reaction patients. New microbes and new infections. 2015 Jul 1;6:35-9.
26. Pusparini P. Defisiensi Vitamin D Pada Penyakit (Vitamin D Deficiency and Diseases).
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2018 Apr
15;21(1):90-5.
27. Christakos S, Dhawan P, Verstuyf A, Verlinden L, Carmeliet G. Vitamin D:
metabolism, molecular mechanism of action, and pleiotropic effects. Physiological
reviews. 2016 Jan;96(1):365-408.
28. Wadhwa B, Relhan V, Goel K, Kochhar AM, Garg VK. Vitamin D and skin diseases: A
review. Indian Journal of Dermatology, Venereology, and Leprology. 2015 Jul
1;81(4):344.
29. Chun RF, Liu PT, Adams JS, Hewison M. Impact of vitamin D on immune function:
lessons learned from genom-wide analysis. Frontiers in Physiology. (serial online).
2014.
30. Prietl B, Treiber G, Pieber TR, Amrein K. Vitamin D and immune function. Nutrients.
2013;5:2502-21.
31. Bikle DD. Vitamin D metabolism, mechanism of action, and clinical applications.
Chemistry & biology. 2014 Mar 20;21(3):319-29.
32. Gupta V. Vitamin D: Extra skeletal effects. Hournal of Medication Nutritions and
Neutraceuticals. 2012;1(1):17-26.
33. Mostafa WZ, Hegazy RA. Vitamin D and the skin: focus on a complex relationship: a
review. Journal of Advanced Research. 2015;6:793-804.
34. Sizar O, Khare S, Goyal A, Bansal P, Givler A. Vitamin D deficiency. StatPearls
[Internet]. 2020 Jul 21.
35. Deluca, HF. History of the discovery of vitamin D and its active metabolites. BoneKey
Reports. 2013;3:479.
36. Hewison M. Vitamin D and immune function: autocrine, paracrine or endocrine?.
Scandinavian Journal of Clinical and Laboratory Investigation. 2012 Apr
1;72(sup243):92-102.

20
37. Jo, E.K., Shin, D.M., Modlin, R. L. 2013.Vitamin D and Human Innate Immunity. In:
Gombart, A. F. Vitamin D, Oxidative Stress, Immunity, and Aging. New York: CRC
Press. p. 223-39.
38. Oliviera A. L. G., Chaves A. T., Menezes C. A., Guimares N. S., Bueno L. L., Fujiwara
R. T., Rocha M. O. C. Vitamin D receptor expression
and hepcidin in the protection or severity of leprosy: a systematic review. Microbes and
Infection; 19(6): 311-322 (2017).
39. Mazini PS et al. Gene association with leprosy: A Review of Published Data. Froentiers
in Genetics. 2016;6(658):1-17.
40. Lu’o’ng KVQ, Nguyên LTH. Role of the vitamin D in leprosy. The American Journal
of the Medical Sciences. 2012;343(6):471-82.
41. Liu PT et al. MicroRNA-21 targets the vitamin D-dependent antimicrobial pathway in
leprosy. Nature Medicine. 18, 267–273. 2014;18:267-73.
42. Chung C, Silwal P, Kim I, Modlin RL, Jo EK. Vitamin D-cathelicidin axis: at the
crossroads between protective immunity and pathological inflammation during
infection. Immune network. 2020 Apr;20(2).

21

Anda mungkin juga menyukai