Anda di halaman 1dari 11

Dermatitis Kontak Iritan pada Ibu Rumah Tangga

Arwi Wijaya
10.2012.294 / F8
Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
arwi.wijaya@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan nonimunologik pada
kulit yang disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen. Faktor eksogen
berupa bahan-bahan iritan (kimiawi, fisik, maupun biologik) dan faktor endogen memegang
peranan penting pada penyakit ini. Dermatitis kontak iritan lebih banyak tidak terdeteksi
secara klinis disebabkan karena penyebabnya yang bermacam-macam dan interval waktu
antara kontak dengan bahan iritan serta munculnya ruam tidak dapat diperkirakannya.
Dermatitis muncul segera setelah pajanan dan tingkat keparahannya ditentukan berdasarkan
kuantitas, konsentrasi, dan lamanya terpajan oleh bahan iritan tersebut. Penanganan
dermatitis kontak tidak selamanya mudah karena banyak dan seringnya faktor-faktor
tumpang tindih yang memicu setiap kasus dermatitis. Pencegahan bahan-bahan iritasi kulit
adalah strategi terapi yang utama pada dermatitis kontak iritan.1,2
Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti, teratur dan
lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Anamnesis dapat langsung dilakukan pada pasien (auto-anamnesis) atau terhadap
keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk
diwawancarai, misalnya dalam keadaan gawat-darurat, afasia akibat stroke dan lain
sebagainya.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi (khusus wanita), riwayat penyakit
dalam keluarga, anamnesis susunan system dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial
ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan, lingkungan).3

Dalam kasus ini diperlukan anamnesis tambahan untuk membantu menegakkan


diagnosa. diantaranya :
-

Pasien mengklain adanya pajanan yang menyebabkan iritasi kutaneus


Onset dari gejala terjadi dalam beberapa menit sampai jam untuk DKI akut. DKI
lambat dikarakteristikkan oleh causa pajanannya, seperti benzalkonium klorida
(biasanya terdapat pada cairan disinfektan), dimana reaksi inflamasinya terjadi 8-

24 jam setelah pajanan.


Onset dari gejala dan tanda dapat tertunda hingga berminggu-minggu ada DKI
kumulatif (DKI Kronis). DKI kumulatif terjadi akibat pajanan berulang dari suatu

bahan iritan yang merusak kulit.


Penderita merasakan sakit, rasa terbakar, rasa tersengat, dan rasa tidak nyaman
akibat pruritus yang terjadi.

Pemeriksaan Fisik
Biasanya pada pemeriksaaan fisik dermatitis kontak iritan akan didapatkan hasil :
-

Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah terbentuk vesikel

Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh

Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit

Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan


Dari hasil pemeriksaan fisik dalam skenerio didapatkan bahwa kedua tangannya gatal,
perih, kemerahan dan kering.

Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mediagnosis dermatitis kontak iritan. Ruam
kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat
memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Dermatitis kontak
iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek berbagai iritan.
1.

Patch Test

Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang menyebabkan kontak dermatitis.
Konsentrasi yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit, dapat memberikan hasil negatif
palsu oleh karena tidak adanya reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai
alergi (positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan reaksi positif
dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kembali dilakukan pemeriksaan pada 48 jam
berikutnya. Jika hasilnya didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis

sebagai DKI, Pemeriksaan patch tes digunakan untuk pasien kronis, dengan dermatitis kontak
yang rekuren.
2.

Kultur Bakteri

Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi sekunder bakteri.
3.

Pemeriksaan IgE

Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya diathetis atopic atau riwayat


atopi.
Diagnosis Diferensial
Dermatitis Atopik4
Dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi pada dirinya sendiri ataupun
keluarganya, yaitu asma bronchial, rhinitis alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman.
Epidemiologi

Bayi (2bulan-2tahun), anak (3-10tahun), dewasa (13-30tahun). Banyak

keringat lebih sering terkena, panas dan lembab memudahkan timbulnya penyakit. Diduga
diturunkan secara autosomal resesif dan dominan.
Etiologi Belum diketahui namun factor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya
penyakit.
Gejala Eritema, papel-papel, vesikel sampai erosi dan likenifikasi. Penderita tampak gelisah,
gatal dan sakit berat.
Efloresensi/sifatnya :
Bayi

: eritema berbatas tegas, papel/vesikel miliardiserati erosi dan eksudasi serta krusta

Anak : papel-papel miliar, likenifikasi, tak eksudatif


Dewasa : hiperpigmentasi, kering dan likenifikasi
Predileksi :
Bayi

: kedua pipi, kepala,badan,lipat siku,lipat lutut

Anak : tengkuk, lipat siku, lipat lutut


Dewasa : tengkuk, lipat lutut, lipat siku, punggung kaki
Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis yang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi
Epidemiologi Semua umur dan frekuensi sama pada pria dan wanita
Etiologi Bahan logam berat, kosmetik (lipstick, deodorant, cat rambut), bahan perhiasan
(kacamata, jam tangan, anting-anting), obat-obatan (obat kumur, sulfa, penisilin), karet
(sepatu, BH). Factor lingkungan berpengaruh besar untuk timbulnya penyakit, seperti
3

pekerjaan dengan lingkungan yang basah, tempat-tempat lembab atau panas, pemakaian alatalat yang salah.
Gejala Gatal, kemerahan pada daerah kontak, eritema, papel, vesikel dan erosi
Efloresensi Eritema nummular sampai dengan plakat, papel dan vesikel berkelompok disertai
erosi nummular hingga plakat. Terkadang hanya berupa macula macula hiperpigmentasi
dengan skuama halus
Predileksi Semua bagian tubuh
Dermatitis Venenata
Dermatitis Venenata adalah Dermatitis Kontak Iritan yang disebabkan oleh terpaparnya bahan
iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga, pohon mahoni, kopi, mangga, serta sayuran
seperti tomat, wortel dan bawang. Bahan aktif dari serangga juga dapat menjadi penyebab. Contohnya
ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari penderita baru
merasa pedih esok harinya, pada awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau
bahkan nekrosis.

Etiologi
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen (iritan dan
lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
Faktor Eksogen
Selain dengan asam dan basa kuat, tidak mungkin untuk memprediksi potensial iritan
sebuah bahan kimia berdasarkan struktur molekulnya. Potensial iritan bentuk senyawa
mungkin lebih sulit untuk diprediksi. Faktor-faktor yang dimaksudkan termasuk : (1) Sifat
kimia bahan iritan: pH, kondisi fisik, konsentrasi, ukuran molekul, jumlah, polarisasi,
ionisasi, bahan dasar, kelarutan ; (2) Sifat dari pajanan: jumlah, konsentrasi, lamanya pajanan
dan jenis kontak, pajanan serentak dengan bahan iritan lain dan jaraknya setelah pajanan
sebelumnya ; (3) Faktor lingkungan: lokalisasi tubuh yang terpajan dan suhu, dan faktor
mekanik seperti tekanan, gesekan atau goresan. Kelembapan lingkunan yang rendah dan suhu
dingin menurunkan kadar air pada stratum korneum yang menyebabkan kulit lebih rentan
pada bahn iritan.1
Faktor Endogen
a. Faktor genetik
Ada hipotesa yang mengungkapkan bahwa kemampuan individu untuk mengeluarkan
radikal bebas, untuk mengubah level enzym antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk
4

perlindungan heat shock protein semuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga
menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan ititan. Selain itu, predisposisi
genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda untuk setiap bahan iritan. Pada penelitian,
diduga bahwa faktor genetik mungkin mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF polimorfis telah dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap kontak iritan.5
b. Jenis Kelamin
Gambaran klinik dermatitis kontak iritan paling banyak pada tangan, dan wanita
dilaporkan paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin dengan
dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan iritan, kerja basah dan lebih
suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada pembedaan jenis kelamin untuk dermatitis
kontak iritan yang ditetapkan berdasarkan penelitian.1,5
c. Umur
Anak-anak dibawah 8 tahun lebih muda menyerap reaksi-reaksi bahan-bahan kimia dan
bahan iritan lewat kulit. Banyak studi yang menunjukkan bahwa tidak ada kecurigaan pada
peningkatan pertahanan kulit dengan meningkatnya umur. Data pengaruh umur pada
percobaan iritasi kulit sangat berlawanan. Iritasi kulit yang kelihatan (eritema) menurun pada
orang tua sementara iritasi kulit yang tidak kelihatan (kerusakan pertahanan) meningkat pada
orang muda. Reaksi terhadap beberapa bahan iritan berkurang pada usia lanjut. Terdapat
penurunan respon inflamasi dan TEWL, dimana menunjukkan penurunan potensial penetrasi
perkutaneus.5
d. Suku
Tidak ada penelitian yang mengatakan bahwa jenis kulit mempengaruhi berkembangnya
dermatitis kontak iritan secara signifikan. Karena eritema sulit diamati pada kulit gelap,
penelitian terbaru menggunakan eritema sebagai satu-satunya parameter untuk mengukur
iritasi yang mungkin sudah sampai pada kesalahan interpretasi bahwa kulit hitam lebih
resisten terhadap bahan iritan daripada kulit putih.1
e. Lokasi kulit
Ada perbedaan sisi kulit yang signifikan dalam hal fungsi pertahanan, sehingga kulit
wajah, leher, skrotum, dan bagian dorsal tangan lebih rentan terhadap dermatitis kontak
iritan. Telapak tangan dan kaki jika dibandingkan lebih resisten.1,5
f. Riwayat Atopi
Adanya riwayat atopi diketahui sebagai faktor predisposisi pada dermatitis iritan pada
tangan. Riwayat dermatitis atopi kelihatannya berhubungan dengan peningkatan kerentanan
terhadap dermatitis iritan karena rendahnya ambang iritasi kulit, lemahnya fungsi pertahanan,
5

dan lambatnya proses penyembuhan. Pada pasien dengan dermatitis atopi misalnya,
menunjukkan peningkatan reaktivitas ketika terpajan oleh bahan iritan.1
Epidemologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan
umur, ras, dan jenis kelamin. Data epidemiologi penderita dermatitis kontak iritan sulit
didapat. Jumlah penderita dermatitis kontak iritan diperkirakan cukup banyak, namun sulit
untuk diketahui jumlahnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh banyak penderita yang tidak
datang berobat dengan kelainan ringan.6
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan bahwa
249.000 kasus penyakit akupasional nonfatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin,
15,6% (38.900 kasus) adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab kedua terbesar untuk
semua penyakit okupational. Juga berdasarkan survey tahunan dari institusi yang sama,
bahwa incident rate untuk penyakit okupasional pada populasi pekerja di Amerika,
menunjukkan 90-95% dari penyakit okupasional adalah dermatitis kontak, dan 80% dari
penyakit didalamnya adalah dermatitis kontak iritan.1
Sebuah kusioner penelitian diantara 20.000 orang yang dipilih secara acak di Sweden
melaporkan bahwa 25% memiliki perkembangan gejala selama tahun sebelumnya. Orang
yang bekerja pada industri berat, mereka yang bekerja bersentuhan dengan bahan kimia keras
yang memiliki potensial merusak kulit dan mereka yang diterima untuk mengerjakan
pekerjaan basah secara rutin memiliki faktor resiko. Mereka termasuk : muda, kuat, laki-laki
yang dipekerjakan sebagai pekerja metal, pekerja karet, terapist kecantikan, dan tukang roti.
Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui
kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin,
menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.6
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian
dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti.
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah
menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan
kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta
6

mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat
perubahan vaskuler.6
DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein,
misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor
(GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor
IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.6
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNF, suatu sitokin proinflamasi
yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi
sel dan pelepasan sitokin.6
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan
lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan
kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan
kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.6
Gambaran Klinis
Dermatitis kontak iritan dibagi tergantung sifat iritan. Iritan kuat memberikan gejala akut,
sedang iritan lemah memberi gejala kronis. Selain itu juga banyak hal yang mempengaruhi
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan penyebab tersebut dan pengaruh
faktor tersebut, dermatitis kontak iritan dibagi menjadi sepuluh macam, yaitu:
1. DKI akut
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk dermatitis kontak iritan akut. Penyebab
DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan asam hidroklorid atau basa
kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida. Biasanya terjadi karena kecelakaan, dan reaksi
segera timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak dengan
iritan, terbatas pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang
terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit berbatas
tegas, dan pada umumnya asimetris.6
2. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8 sampai 24
jam atau lebih setelah kontak. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat,
misalnya podofilin, antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam
hidrofluorat. Contohnya ialah dermatitis yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang
7

pada malam hari (dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis.6
3. DKI kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lain ialah DKI kronis.
Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah (Faktor fisis, misalnya
gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas atau dingin; juga bahan, misalnya
deterjen, sabun, pelarut, tanah, bahkan juga air). DKI kumulatif mungkin terjadi karena
kerjasama berbagai faktor. Bisa jadi suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis iritan, tetapi baru mampu bila bergabung dengan faktor lain.
Kelainan baru nyata setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahuntahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor penting.6
Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal
(hyperkeratosis) dan likenifikasi, difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit dpat
retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami kontak
terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit
retak (fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama tanpa eritema,
sehingga diabaikan oleh penderita. Setelah dirasakan mengganggu, baru mendapat perhatian.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak
ditemukan di tangan dibandingkan dengan di bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan yang
beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu: tukang cuci, kuli bangunan, montir di bengkel,
juru masak, tukang kebun, penata rambut.6
4. Reaksi Iritan
Reaksi iritan merupakan dermatitis iritan subklinis pada seseorang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam dalam beberapa bulan
pertama pelatihan. Kelainan kulit monomorf dapat berupa skuama, eritema, vesikel, pustule,
dan erosi. Umumnya dapat sembuh sendiri, menimbulkan penebalan kulit (skin hardening),
kadang dapat berlanjut menjadi DKI kumulatif.6
5. DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala seperti
dermatitis numularis, penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu. Paling sering terjadi di
tangan.6
6. DKI noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai perubahan fungsi
sawar stratum korneum tanpa disertai kelainan klinis.6
8

7. DKI subyektif
Juga disebut DKI sensori; kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti
tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya
asam laktat.6
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan melakukan
dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip
pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan proteksi (seperti
penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan
iritan dengan bahan lain.
Selain itu, beberapa strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis
kontak iritan adalah sebagai berikut:
1. Kompres dingin dengan Burrows solution
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan membantu
mengurangi pertumbuhan bakteri.5,17 Kompres ini diganti setiap 2-3 jam.7
2. Glukokortikoid topikal
Efek topical dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih kontrofersional karena efek
yang ditimbulkan, namun pada penggunaan yang lama dari corticosteroid dapat menimbulkan
kerusakan kulit pada stratum korneum.17 Pada pengobatan untuk DKI akut yang berat,
mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu pertama, 60 mg dosis inisial, dan di
tappering 10mg.7
3. Antibiotik dan antihistamin
Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya infeksi sekunder
oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme antimikroba yang telah dimiliki kulit,
mungkin memiliki peranan yang penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis
akibat iritan, tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan menggunakan
antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan untuk mempercepat penyembuhan.
Secara bersamaan, glukokortikoid topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan.
Sedangkan antihistamin mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis
akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi antihistamin untuk
dermatitis kontak iritan, dan secara klinis antihistamin biasanya diresepkan untuk mengobati
beberapa gejala simptomatis.7

Penatalaksanaan non medika mentosa biasanya dengan dilakukan kepada pasien


penderita dermatitis kontak iritan , baik yang akut maupun kronis . Kita bisa menyuruh pasien
untuk memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan. Selain itu, prinsip pengobatan
penyakit ini adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan proteksi (seperti
penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan
iritan dengan bahan lain .
Komplikasi
DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topical. Lesi kulit bisa mengalami
infeksi sekunder, khususnya oleh Staphylococcus aureus. Neurodermatitis sekunder (liken
simpleks kronis) bisa terjadi terutama pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya
atau dengan stres psikologik. Hiperpigmentasi atau hipopignemtasi post inflamasi pada area
terkena DKI. Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif, ekskoriasi atau artifak .
Prognosis
Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat disingkirkan dengan
sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini sering terjadi pada DKI kronis yang
penyebabnya multi faktor, juga pada penderita atopi.6
Kesimpulan
Dermatitis Kontak Iritan terjadi karena adanya kontak dengan bahan iritan secara garis besar
ada dua jenis iritan yaitu DKI akut dimana disebabkan oleh iritan yang kuat dan DKI kronik
disebabkan oleh iritan lemah secara berulang. Pencegahan dari penyakit dermatitis kontak
iritan bisa dilakukan dengan melakukan proteksi, seperti menggunakan sarung tangan, juga
bisa dengan menghindari bahan iritan penyebab dermatitis tersebut, dan menggantikannya
dengan bahan lain.

10

Daftar Pustaka
1. Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL, editors.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw Hill;
2008.p.396-401.
2. Chew AL and Howard IM, editors. Ten Genotypes Of Irritant Contact Dermatitis. In:
Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany: Springer-Verlag
Berlin Heidelberg; 2006.p.5-8.
3. Gleadle J. At glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.
4. Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N. Dermatitis Atopik. Buku Ajar Alergi Imunologi
Anak. 2nd ed. Jakarta: IDAI; 2010.
5. Wilkinson SM, and Beck MH. Rooks Textbook Of Dermatology 7th ed. Australia:
Blackwell Publishing. 2004.chapter 19.
6. Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. Dermatitis. In: Djuanda A, Mochtar H,
Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2008.p.130-33.
7. Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis. Germany:
Springer-Verlag Berlin Heidelberg; 2006.p.461-5.

11

Anda mungkin juga menyukai