MIKOSIS SISTEMIK
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena hanya
dengan, rahmat, hidayah, kebesaran dan keagungan-Nya lah, sehingga penulisan
referat ini dapat diselesaikan, dengan judul “Mikosis Sistemik”.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
penggunaan antibiotik secara agresif, kemoterapi, imunomodulator dan
transplantasi organ.
Prevalensi mikosis sistemik di Indonesia belum dapat ditentukan
secara pasti, namun insidensnya sangat jarang sehingga penyakit inipun
jarang dibicarakan oleh masyarakat luas dan diagnosisnya sering terlewatkan
oleh para klinisi. Meskipun demikian, mikosis sistemik perlu mendapat
perhatian lebih karena dapat menjadi letal bila tidak didiagnosa secara dini,
terutama pada pasien immunocompromise. Maka dari itu, referat ini dibuat
untuk mengetahui lebih mendalam mengenai mikosis sistemik, dari
diagnosis sampai tatalaksana, untuk mengenali dan menangani kasus
mikosis sistemik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
1.2. Jenis Mikosis Sistemik
a. Coccidioidomycosis
Coccidioides posadasii
4
diseminata, lesi berkembang dikulit, jaringan subkutan, tulang-tulang,
sendi-sendi dan semua organ.
Pemeriksaan laboratorium pada kultur, koloni C.imitis adalah
miselial, tumbuh cepat, putih dan seperti katun. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop, tampak seperti rantai arthospora pada miselium yang
lebih tua. Tes serologik berguna dalam mendiagnosis dan menentukan
prognosis dari coccidioidomycosis.
Pengobatan ini tidak ada terapi spesifik, istirahat adalah diperlukan
pada infeksi paru primer, dan bahwa gejala-gejalanya membaik atau
lebih singkat dengan pemberian obat golongan azol oral. Untuk
penyakit yang meluas, pengobatannya masih belum memuaskan, tetapi
amfoterisin B (1mg/kg perhari), itrakonazol (200-400mg perhari) semua
dapat diberikan.
b. Histoplasmosis
Histoplasma capsulatum
5
rusak. Insiden histoplasmosis tertinggi di Amerika Serikat, dimana
daerah endemik meliputi negara bagian tengah dan timur.
Meskipun setiap orang bisa mendapat histoplasmosis lewat
inhalasi, akan tetapi infeksi diseminata terjadi pada pasien-pasien
dengan penyakit yang mengganggu imunitas seluler, seperti AIDS atau
limfoma. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk diagnosis
histoplasmosis ditegakkan dengan mengidentifikasi sel menyerupai ragi
intraseluler yang kecil dari histoplasma di sputum, darah perifer,
sumsum tulang dan spesimen biopsi.
Pilihan pengobatan untuk histoplasmosis tergantung dari tingkat
beratnya penyakit. Pada pasien dengan beberapa bentuk diseminata atau
bentuk terlokalisir, itrakonazol oral (200-400 mg perhari) sangat efektif.
Obat ini juga digunakan untuk pengobatan supresi jangka panjang
pasien AIDS setelah pengobatan primer baik dengan itrakonazol atau
amfoterisisn B.
c. Blastomycosis
Blastomyces dermatitidis
6
pada blastomycosis diseminata. Lesi kulit sering simetris dan biasanya
mengenai wajah dan ekstremitas.
Jamur dapat ditemukan dengan pemeriksaan KOH dari pus,
kerokan kulit atau sputum, berupa sel yang berbentuk seperti bola
(spherical) refraktil dan berdinding tebal. Pada kultur, jamur tumbuh
seperti jamur miselial dalam suhu ruangan, menghasilkan konidia yang
kecil, bulat, seperti buah pear.
Pengobatannya sama dengan yang digunakan pada histoplasmosis,
itrakonazol (200-400 mg perhari) digunakan pada infeksi yang kurang
berat atau pada penyebaran lokal. Pengobatan biasanya diberikan paling
sedikit 6 bulan. Amfoterisin B (sampai dengan 1mg/kg perhari)
umumnya digunakan untuk pengobatan blastomycosis diseminata
dengan penyebaran yang luas.
d. Parococcidioidomycosis
Paracoccidiodes brasiliensis
7
terdapat variasi yang sangat luas dimana bentuk progresif yang lebih
cepat dari infeksi diseminata.
Pemeriksaan pada sputum, eksudat dan kerokan dapat diperiksa
dengan menggunakan KOH. Pemeriksaan ini memperlihatkan sejumlah
yeast yang bulat dengan gambaran khas multiple budding dimana sel
induk dikelilingi oleh sejumlah besar buds (kuncup) yang lebih kecil.
Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis, tes yang
utama adalah immunodiffusion assay dan tes fiksasi komplemen. Ada
juga tes deteksi antigen untuk memonitoring pasien dengan penyakit
yang diseminata.
Pilihan terapi pada sebagian besar kasus adalah itrakonaszol yang
dapat memberikan remisi dalam 3-6 bulan. Ketokonazol adalah
alternatif lain. Kekambuhan dapat terjadi, dan jika memungkinkan
pasien harus diperiksa ulang secara periodik setelah terapi primer.
8
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
9
DAFTAR PUSTAKA
Kim M, Lee S, Sung H, Won C, Chang S, Lee M, et al. Clinical Analysis of Deep
Cutaneous Mycoses: A 12-year experience at a single institution. Mycoses. 2012;
55: 501-6.
Brooks G.F., Carroll K.C., Butel J.S., Morse S.A., & Mietzner T.A. (2016).
Medical Microbiology 26th ed. New York : The McGraw-Hill.
10