Anda di halaman 1dari 13

MIKOLOGI KHUSUS

MIKOSIS SISTEMIK

SITTI RAHMAH MUSTAKIN


P062192013

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena hanya
dengan, rahmat, hidayah, kebesaran dan keagungan-Nya lah, sehingga penulisan
referat ini dapat diselesaikan, dengan judul “Mikosis Sistemik”.

Selama penulisan ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan motivasi.


Teristimewa kepada dosen pembimbing mata kuliah Mikologi Khusus yang telah
berjasa dalam membimbing dan mencurahkan ilmu kepada penulis. Dan juga
kepada teman-teman tercinta yang telah memberikan masukan dan dorongannya.

Mudah-mudahan penulisan referat ini dapat bermanfaat bagi semua


pembaca. Apabila pembaca menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya
tulis ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
lebih baiknya karya tulis yang akan datang.

Makassar, 02 Maret 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................................i

KATA PENGANTAR .............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ...........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2

BAB III KESIMPULAN .........................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................7

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dermatomikosis adalah kelainan pada kulit yang disebabkan oleh


infeksi jamur. Sebesar 20-25% penduduk dunia mengalami infeksi jamur,
hal ini menjadikan infeksi jamur sebagai infeksi yang paling sering terjadi di
dunia. Di Indonesia, dermatomikosis merupakan penyakit yang umum
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa dermatomikosis selalu menjadi 10 besar penyakit terbanyak di
poliklinik rawat jalan. Hal ini erat kaitannya dengan Indonesia sebagai
negara beriklim tropis, memiliki kelembaban yang tinggi, dan hygiene
masyarakat yang kurang memadai sehingga memudahkan terjadinya infeksi
jamur.
Secara umum, dermatomikosis dapat digolongkan menjadi dua
kelompok, yaitu mikosis superfisial dan mikosis sistemik atau profunda.
Mikosis superfisial adalah infeksi jamur yang menyerang lapisan stratum
korneum kulit, kuku, dan rambut. Mikosis sistemik atau profunda adalah
infeksi jamur yang menyerang jaringan subkutan dan secara sistemik
mengenai organ-organ di bawah kulit seperti traktus respiratorius, traktus
gastrointestinal, traktus urogenitalis, sistem kardiovaskular, susunan saraf
pusat, otot, tulang, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari, mikosis superfisial lebih sering dijumpai
dibandingkan dengan mikosis sistemik. Infeksi mikosis sistemik pada
umumnya bersifat sporadik di daerah endemik seperti Amerika hingga
Afrika, Australia, Jepang, dan Indonesia. Daerah endemik tersebut saat ini
telah dipengaruhi oleh globalisasi dan prevalensi penyakit sistem imun,
terutama AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome). Mikosis sistemik
merupakan penyakit yang jarang ditemui, namun dalam dekade terakhir
insidensnya meningkat seiring dengan meningkatnya prevalensi AIDS,

1
penggunaan antibiotik secara agresif, kemoterapi, imunomodulator dan
transplantasi organ.
Prevalensi mikosis sistemik di Indonesia belum dapat ditentukan
secara pasti, namun insidensnya sangat jarang sehingga penyakit inipun
jarang dibicarakan oleh masyarakat luas dan diagnosisnya sering terlewatkan
oleh para klinisi. Meskipun demikian, mikosis sistemik perlu mendapat
perhatian lebih karena dapat menjadi letal bila tidak didiagnosa secara dini,
terutama pada pasien immunocompromise. Maka dari itu, referat ini dibuat
untuk mengetahui lebih mendalam mengenai mikosis sistemik, dari
diagnosis sampai tatalaksana, untuk mengenali dan menangani kasus
mikosis sistemik.

1.2. Tujuan Penulisan

Mengetahui epidemiologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan


tatalaksana dari masing-masing jenis mikosis sistemik.

1.3. Manfaat Penulisan

Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan informasi dan


meningkatkan pengetahuan mengenai mikosis sistemik sehingga
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penyakit tersebut.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mikosis Sistemik

Mikosis sistemik merupakan infeksi jamur dimana jalur awal


masuknya jamur ke dalam tubuh biasanya pada suatu lokasi profunda
seperti paru-paru, saluran pencernaan atau sinus paranasal. Infeksi ini dapat
menyebar secara hematogen sehingga dapat menyebabkan suatu infeksi
generalisata.
Mikosis sistemik terdiri dari empat jenis yaitu coccidioidomycosis,
histoplasmosis, blastomycosis, dan paracoccidioidomycosis. Masing-masing
dari keempat mikosis sistemik tersebut secara geografis terbatas pada area
endemisitas tertentu. Fungi yang menyebabkan coccidioidomycosis dan
histoplasmosis terdapat di alam pada tanah kering atau tanah yang
bercampur dengan kotoran hewan. Agen-agen blastomycosis dan
paracoccidioidomycosis diduga terdapat di alam, tetapi habitatnya belum
diketahui dengan jelas.
Masing-masing mikosis ini disebabkan oleh suatu fungi yang bersifat
dimorfik oleh perubahan suhu, dan infeksi dimulai di paru-paru setelah
setelah inhalasi masing-masing konidia. Sebagian besar infeksi tidak
menunjukkan gejala dan sembuh tanpa pengobatan. Namun, hanya sedikit
infeksi yang menyebabkan penyakit yang dapat melibatkan penyebaran dari
paru ke organ lain. Mikosis ini tidak ditularkan di antara manusia atau
hewan lain, kalaupun terjadi sangat jarang.
Di dalam daerah endemis untuk jamur ini, sebagian besar infeksi
terjadi pada individu yang imunokompeten, tetapi orang dengan gangguan
imunitas seluler, seperti pasien HIV AIDS, memiliki risiko infeksi serius
yang meningkat.

3
1.2. Jenis Mikosis Sistemik

Mikosis sistemik terdiri dari empat jenis yaitu coccidioidomycosis,


histoplasmosis, blastomycosis, dan paracoccidioidomycosis yang diuraikan
sebagai berikut :

a. Coccidioidomycosis

Coccidioides posadasii

Coccidioidomycosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur


Coccidioides immitis atau Coccidioides posadasii. Jamur ini
menunjukkan bentuk dimorfik yang tidak biasa, dengan bentuk mold
pada suhu ruangan dan terbentuknya struktur mengandung spora yang
lebar, spherules, pada jaringan yang terinfeksi. Seperti mikosis sistemik
lainnya, ada bentuk asimtomatik, infeksi paru akut dan kronik serta
bentuk yang diseminata. Penyakit dapat mengenai individu yang sehat
atau pasien yang memiliki predisposisi, termasuk pasien AIDS.
Epidemiologi jamur ditemukan di tanah dan dapat menyerang
binatang lain serta manusia. Paparan dapat didapatkan dari kunjungan
singkat ke daerah endemik, dan cuaca setempat dapat menentukan
tingkat paparan. Misalnya badai debu menyebabkan infeksi pada banyak
individu. Jalur infeksi yang biasa melalu pernafasan, implantasi
langsung pada kulit dapat terjadi walaupun jarang.
Bentuk infeksi paru primer merupakan tipe klinis yang paling
sering, dengan adanya infeksi dada dengan demam, batuk dan nyeri
dada. Komplikasi seperti efusi pleura dapat terjadi. Pada penyakit yang

4
diseminata, lesi berkembang dikulit, jaringan subkutan, tulang-tulang,
sendi-sendi dan semua organ.
Pemeriksaan laboratorium pada kultur, koloni C.imitis adalah
miselial, tumbuh cepat, putih dan seperti katun. Pada pemeriksaan
dengan mikroskop, tampak seperti rantai arthospora pada miselium yang
lebih tua. Tes serologik berguna dalam mendiagnosis dan menentukan
prognosis dari coccidioidomycosis.
Pengobatan ini tidak ada terapi spesifik, istirahat adalah diperlukan
pada infeksi paru primer, dan bahwa gejala-gejalanya membaik atau
lebih singkat dengan pemberian obat golongan azol oral. Untuk
penyakit yang meluas, pengobatannya masih belum memuaskan, tetapi
amfoterisin B (1mg/kg perhari), itrakonazol (200-400mg perhari) semua
dapat diberikan.
b. Histoplasmosis

Histoplasma capsulatum

Histoplasma capsulatum adalah saprofit tanah dimorfik yang


menyebabkan histoplasmosis, infeksi mikotik di paru yang paling
sering terjadi pada manusia dan hewan. H. capsulatum merupakan
saprofit lingkungan yang dapat diisolasi dari tanah dan habitat burung.
Penyakit ini biasanya didapat melalui inhalasi spora dan epidemik
dari infeksi pernafasan dapat terjadi pada orang-orang yang terpapar
terhadap lingkungan yang banyak mengandung spora, ketika
membersihkan lokasi yang banyak terkontaminasi oleh hinggapnya
burung-burung seperti ranting pohon dan bangunan tua yang telah

5
rusak. Insiden histoplasmosis tertinggi di Amerika Serikat, dimana
daerah endemik meliputi negara bagian tengah dan timur.
Meskipun setiap orang bisa mendapat histoplasmosis lewat
inhalasi, akan tetapi infeksi diseminata terjadi pada pasien-pasien
dengan penyakit yang mengganggu imunitas seluler, seperti AIDS atau
limfoma. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk diagnosis
histoplasmosis ditegakkan dengan mengidentifikasi sel menyerupai ragi
intraseluler yang kecil dari histoplasma di sputum, darah perifer,
sumsum tulang dan spesimen biopsi.
Pilihan pengobatan untuk histoplasmosis tergantung dari tingkat
beratnya penyakit. Pada pasien dengan beberapa bentuk diseminata atau
bentuk terlokalisir, itrakonazol oral (200-400 mg perhari) sangat efektif.
Obat ini juga digunakan untuk pengobatan supresi jangka panjang
pasien AIDS setelah pengobatan primer baik dengan itrakonazol atau
amfoterisisn B.
c. Blastomycosis

Blastomyces dermatitidis

Blastomyces dermatitidis adalah fungi yang bersifat dimorfik


sesuai perubahan suhu yang tumbuh sebagai kapang pada biakan,
menghasilkan hialin, hifa bersepta yang bercabang dan konidia. B.
dermatitidis menyebabkan blastomycosis, suatu infeksi kronik dengan
lesi granulomatosa dan supuratif yang bermula di paru, dari tempat ini
penyebaran dapat terjadi ke setiap organ, tetapi terutama kulit dan
tulang. Lesi-lesi kulit merupakan gambaran yang sering didapatkan

6
pada blastomycosis diseminata. Lesi kulit sering simetris dan biasanya
mengenai wajah dan ekstremitas.
Jamur dapat ditemukan dengan pemeriksaan KOH dari pus,
kerokan kulit atau sputum, berupa sel yang berbentuk seperti bola
(spherical) refraktil dan berdinding tebal. Pada kultur, jamur tumbuh
seperti jamur miselial dalam suhu ruangan, menghasilkan konidia yang
kecil, bulat, seperti buah pear.
Pengobatannya sama dengan yang digunakan pada histoplasmosis,
itrakonazol (200-400 mg perhari) digunakan pada infeksi yang kurang
berat atau pada penyebaran lokal. Pengobatan biasanya diberikan paling
sedikit 6 bulan. Amfoterisin B (sampai dengan 1mg/kg perhari)
umumnya digunakan untuk pengobatan blastomycosis diseminata
dengan penyebaran yang luas.
d. Parococcidioidomycosis

Paracoccidiodes brasiliensis

Paracoccidiodes brasiliensis adalah jamur dimorfik yang


menyebabkan infeksi penafasan dengan kecenderungan menyebar ke
membran mukosa dan kelenjar limfe. Lesi oral atau circumoral sering
terdapat pada bentuk paracocidioidomycosis mukokutaneus; lesi juga
dapat mengenai hidung, konjungtiva atau disekitar anus. Lesi-lesi ini
dapat berupa granuloma kecil atau ulkus. Penyembuhannya dengan
parut yang menyebabkan kecacatan yang berat.
Lokasi sistemik lain yang terlibat antara lain limfa, usus kecil, paru
dan hati. Paracocidioidomycosis jarang pada pasien AIDS meskipun

7
terdapat variasi yang sangat luas dimana bentuk progresif yang lebih
cepat dari infeksi diseminata.
Pemeriksaan pada sputum, eksudat dan kerokan dapat diperiksa
dengan menggunakan KOH. Pemeriksaan ini memperlihatkan sejumlah
yeast yang bulat dengan gambaran khas multiple budding dimana sel
induk dikelilingi oleh sejumlah besar buds (kuncup) yang lebih kecil.
Tes serologi sangat membantu dalam menegakkan diagnosis, tes yang
utama adalah immunodiffusion assay dan tes fiksasi komplemen. Ada
juga tes deteksi antigen untuk memonitoring pasien dengan penyakit
yang diseminata.
Pilihan terapi pada sebagian besar kasus adalah itrakonaszol yang
dapat memberikan remisi dalam 3-6 bulan. Ketokonazol adalah
alternatif lain. Kekambuhan dapat terjadi, dan jika memungkinkan
pasien harus diperiksa ulang secara periodik setelah terapi primer.

8
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Mikosis sistemik merupakan infeksi jamur dimana jalur awal


masuknya jamur ke dalam tubuh biasanya pada suatu lokasi profunda
seperti paru-paru, saluran pencernaan atau sinus paranasal. Infeksi ini dapat
menyebar secara hematogen sehingga dapat menyebabkan suatu infeksi
generalisata. Mikosis sistemik terdiri dari empat jenis yaitu
coccidioidomycosis, histoplasmosis, blastomycosis, dan
paracoccidioidomycosis.
Gejala klinis dari mikosis sistemik dapat bervariasi mulai dari lesi kulit
sampai gejala khusus sesuai dengan organ yang terserang, yang tersering
adalah paru-paru. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang
didukung dengan pemeriksaan mikroskopis, kultur, maupun tes serologi.
Prinsip tatalaksana terapi mikosis sistemik adalah pemberian anti fungal
seperti itrakonazol, ketokonazol, atau amfoterisin B dengan dosis dan durasi
pemberian yang adekuat untuk setiap jenis mikosis sistemik.

3.2. Saran

Data dan penelitian mengenai mikosis sistemik sebaiknya terus


dikembangkan dan dipublikasikan untuk menambah wawasan serta
kesadaran masyarakat dan klinisi mengenai penyakit mikosis sistemik.
Dengan demikian, diagnosa dini dapat ditegakkan dan tatalaksana dapat
dilakukan secara baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

James W, Berger T, Elston D. Andrew’s disease of the skin: Clinical


Dermatology. USA: Waunders Company; 2006. p. 304-16.

Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi B. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6 th ed.


Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011. p. 89-91.

Samaila M, Abdullahi K. Cutaneus Manifestation of Deep Mycosis: An


Experience in a Tropical Pathology Laboratory. Indian J Dermatol. 2011; 56(3):
282-6.

Kim M, Lee S, Sung H, Won C, Chang S, Lee M, et al. Clinical Analysis of Deep
Cutaneous Mycoses: A 12-year experience at a single institution. Mycoses. 2012;
55: 501-6.

Brooks G.F., Carroll K.C., Butel J.S., Morse S.A., & Mietzner T.A. (2016).
Medical Microbiology 26th ed. New York : The McGraw-Hill.

10

Anda mungkin juga menyukai