Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

(SAINS)

DETEKSI MYCOBACTERIUM TUBERCULOSIS DAN RESISTENSINYA


DENGAN TEKNIK PCR (POLYMERASE CHAIN REACTION) DAN
GENEXPERT MTB/RIF

Diajukan oleh :
Dr. Mukhtar Ikhsan, SpP, MARS

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN (PUSLITPEN)


LP2M UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
Abstrak Hasil Penelitian TB Tahun 2016

Hasil pewarnaan BTA (Bakteri Tahan Asam ) yang berasal dari Puskesmas Bojonggede berjumlah

68 sampel sampel, ternyata BTA positifnya berjumlah 13 sampel (19%), Sedangkan BTA

negatifnya berjumlah 55 (81%). Hasil uji PCR dari 19 sampel ternyata 8 sampel yang bersifat

negatif yang berasal dari Puskesmas Bojonggede, sedangkan hasil uji PCR yang positif

tuberkulosis sebesar 11 sampel (58%) dan yang PCR negatif tuberkulosis sebesar 42%.
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium tuberculosis
dan ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu. Sampai saat ini tuberkulosis masih menjadi masalah
serius di seluruh dunia, karena merupakan penyebab kematian tertinggi. Setiap tahun diperkirakan
8 juta infeksi baru terjadi dan 2,5 sampai dengan 3 juta menimbulkan kematian (Zhang et.al, 2005).
Dari seluruh kasus tuberkulosis di dunia, terbanyak terjadi di negara berkembang, termasuk
Indonesia pada peringkat ketiga setelah negara India dan China, dengan jumlah kasus baru sekitar
539.000 kasus dan jumlah kematian sekitar 101,000 orang pertahun. Menurut Depkes (2008),
penyakit ini paling banyak terjadi di negara berkembang sekitar 75% penderita berada pada usia
produktif yaitu 20-49 tahun, hal ini disebabkan pada negara berkembang memiliki penduduk yang
padat dan prevalensi yang tinggi, sehingga lebih dari 65% dari kasus Tuberkulosis terjadi di Asia.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1992, tuberkulosis paru di Indonesia
menduduki peringkat kedua setelah penyakit kardiovaskular.
Menurut WHO (2010) menyatakan bahwa Indonesia setiap tahun terjadi 583 kasus baru dengan
kematian 130 penderita dengan tuberkulosis positif pada dahaknya.Hasil penelitian Kusnindar
(1990) jumlah kematian yang disebabkan karena tuberkulosis diperkirakan 105,952 orang
pertahun. Kejadian kasus tuberkulosis paru yang tinggi ini paling banyak terjadi pada kelompok
masyarakat dengan sosioekonomi lemah. Terjadinya peningkatan kasus ini dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh, status gizi dan kebersihan diri individu dan kepadatan hunian lingkungan tempat
tinggal.
Pada tahun 2011 WHO merekomendasikan pengobatan untuk penderita TB Paru dengan
strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse Chemotherapy) atau pengawasan
langsung menelan obat jangka pendeksetiap hari baru mencapai 36% dengan angka kesembuhan
87%. Sebelum strategi DOTS (1969-1994) cakupannya sebesar 56% dengan angka kesembuhan
yang dapat dicapai hanya 40-60%.Karena pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi obat yang
tidak cukup dimasa lalu kemungkinan telah timbul kekebalan kuman TB terhadap OAT (obat anti
tuberkulosis) secara meluas atau multi drug resistance (MDR).

1
Terjadinya kasus resisten terhadap obat anti tuberkulosis terutama karena kekebalan ganda (Multi
Drug Resisten = MDR ) kuman TB semakin menjadi masalah serius.Berdasarkan laporan WHO
diperkirakan selama tahun 2007 didapatkan kasus MDR TBsekitar 0,5 juta kasus. KasusMDR TB
ini bersifat mematikan, sangat infeksius dan sukar disembuhkan.Pengobatanterhadap kasus MDR
TB sangat komplek, dimana membutuhkan waktu yang lama, biaya besar dan pengawasan yang
ketat. Keadaan ini pada akhirnya akan menyebabkan terjadinyaepidemi kasus TB yang sulit
ditangani. Keterlambatan dalam mengenali adanya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis
menyebabkan terlambatnya pemberian terapi yang efektif,memperbesar kemungkinan penularan
kuman yang resisten terhadap obat dan meningkatkanresiko kematian pada penderita TB dengan
resistensi obat anti tuberkulosis(Nofriyanda, 2010).
Multidrug resistant tuberculosis yaitu tuberkulosis yang resisten terhadap rifampisin (R/Rif) dan
isoniazid (H/INH) dengan atau tanpa obat anti tuberkulosis (OAT) lainnya (WHO, 2013) yang
merupakan tantangan penting dalam program pengendalian TB dan merupakan masalah kesehatan
utama di beberapa negara (Gandhi et al, 2010; WHO, 2013). Secara global pada tahun 2012, TB
MDR di dunia ada sekitar 450.000 kasus dengan 3,6% dari kasus TB yang terdiagnosa dan 20%
ditemukan dari kasus TB yang pernah mendapat pengobatan. Indonesia pada tahun 2012 berada
di peringkat 8 dari 27 negara dengan beban TB MDR terbanyak di dunia dengan perkiraan pasien
TB MDR sebesar 6.900 kasus yaitu 1,9% dari kasus baru dan 12% dari kasus pengobatan ulang
(WHO, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian Elva Susanty dkk (2015), didapatkan bahwa penderita TB
MDR di RSUP Haji Adam Malik Medan paling banyak pada usia 25-34 tahun, jenis kelamin laki-
laki, penderita yang menikah, pekerjaan buruh/karyawan, tempat berobat TB sebelumnya di
puskesmas, penyakit komorbid yang dijumpai diabetes melitus dan kriteria suspek TB MDR
keenam yaitu pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2.
Uji laboratorium konvensional untuk diagnosa TB dan uji kepekaan obat untuk mendeteksi
resistensi obat lini pertama dan lini kedua memerlukan waktu yang lama untuk mengetahui
hasilnya dan dengan tehnik yang lebih rumit (Boehme, 2009; WHO, 2013). Sementara pasien
menunggu diagnosa, penyakit pasien bertambah parah dan pasien dapat memindahkan penyakit
TB resisten OAT kepada yang lain, khususnya pada anggota keluarga. Deteksi kasus dini TB MDR
penting untuk menghambat penularan dan untuk mencegah penyebaran TB MDR lebih lanjut
sehingga uji diagnostik yang baru sangat diperlukan (Boehme, 2009).

2
Uji konvensionalnya diantaranya adalah dengan metode kultur media perbenihan, bertujuan untuk
memperbanyak bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam spesimen sputum, sehingga dapat
meningkatkan deteksi sensitifitas. Sekarang ini terdapat beberapa media yang dapat digunakan
sebagai kultur dari Mycobacterium tuberculosis, seperti media padat dan cair, seperti Lowenstein-
Jensen, Mycobacteria Growth Indicator Tube ( MGIT ) maupun mikrokoloni culture. Tetapi
semua pemeriksaan diatas memakan biaya yang tidak murah. Dengan demikian masih
berkembang teknik lain dalam penelitian kultr guna mendeteksi Mycobacterium tuberculosis guna
mendapatkan metode kultur yang murah dan tingkat sensitifitas dan spesifitasnya tinggi. Uji
diagnostik kultur media yang dilakukan untuk mengidentifikan kuman Mycobacterium
tuberculosis memiliki beberapa kekurangan diantaranya memerlukan waktu yang lebih lama untuk
mendapatkan hasil, meskipun biaya dapat menjadi lebih murah (Indah W, 2010).

Menurut WHO (2011 & 2010) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari 440.000 penderita
MDR-TB telah dilakukan uji kepekaan obatyang memadai . Masalah paling utama adalah metode
diagnostik konvensional yang ada saat ini lambat dan rumit.(O.Grady et.al, 2011; WHO,2008).
Pertama diperlukan isolasi Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis)pada spesimen, lalu
diidentifikasi, dan dilanjutkan dengan uji kepekaan OAT tersebut. Pemeriksaan uji ini yang telah
direkomendasikan World HealthOrganization (WHO) adalah metode proporsi dengan
menggunakan media seperti Lowenstein Jensen, yang membutuhkan waktu 8–12 minggu. Selama
kurun waktu tersebut penderita mendapat obat yang tidak tepat dan terjadi peningkatan jumlah M.
tuberculosis mutan (WHO, 2008 & Chiang CY,2010).

Beberapa penelitian menyatakan lebih dari90% penderita TB yang resisten rifampisin,


jugamengalami resistensi terhadap isoniazid, sehinggaresistensi terhadap rifampisin merupakan
penandapengganti (surrogate marker) yang mewakilisuatu MDR-TB.6-9 Rifampisin bekerja
denganberikatan terhadap subunit-β ribonucleic acid(RNA) polimerase yang dikode oleh gen
rpoB,suatu komponen penting dalam proses transkripsi.Terhambatnya transkripsi RNA ini
menyebabkanterhambatnya sintesis protein. Bila terjadi mutasipada gen rpoB, maka obat
rifampisin tidak dapatberikatan dengan subunit-β RNA polimeraseyang dikenal sebagairesistensi
rifampisin (Lawn SD & Nicol MP, 2011; Hillemann D et.al, 2005). Beberapa peneliti mendapatkan
>95% isolat M.tuberculosis yang resisten terhadap rifampisinmengalami mutasi pada gen rpoB,

3
sehingga regioini merupakan target yang ideal untuk memeriksaresistensi rifampisin secara
molekular (Boehme et.al, 2010; Pietzka et al, 2009; Li J etal, 2012).

Menurut Diana dkk (2010) telah melakukan penelitian dengan suatu uji diagnostik yang dirancang
secara cross sectional. Pemeriksaan sputum penderita dilakukan dengan tiga teknik pemeriksaan,
yaitu dengan teknik PCR, pemeriksaan BTA secara mikroskopik, dan kultur bakteri. Hasil
penelitian dengan membandingkan metode pemeriksaan Bakteri Tahan Asam secara mikroskospik
dengan teknik PCR untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosis memiliki sensitivitas 30%,
spesifisitas 80%, dan akurasi 47%. Uji kemaknaan dengan Mc Nemar memberikan hasil adanya
perbedaan yang bermakna. (p < 0,01).Sedangkan perbandingan metode kultur bakteri TBC dengan
teknik PCR untuk mendeteksi Mycobacterium tuberculosismemiliki sensitivitas 65%, spesifisitas
40%, dan akurasi 57%. Uji kemaknaan dengan Mc Nemar memberikan hasil tidak adanya
perbedaan yang bermakna. (p = 1,0). Dan Perbandingan pemeriksaan Bakteri Tahan Asam secara
mikroskospik denganmetode kultur bakteri TBC untuk mendeteksi Mycobacterium
tuberculosismemiliki sensitivitas 31,6%, spesifisitas 81,8%, dan akurasi 50%. Uji kemaknaan
dengan Mc Nemar memberikan hasil adanya perbedaan yang bermakna. (p < 0,01).Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan teknik PCR sama
baiknya dengan kultur bakteri TBC, namun waktu pemeriksaan dengan teknik PCR lebih singkat
dibandingkan dengan kultur bakteriMycobacterium tuberculosis banyak tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan mikroskopik (BTA).

Menurut Maria Lina dkk (2002), menyatakan bahwa telah melakukan penelitian terhadap
kuman isolat klinis M. tuberculosis menggunakan primer oligonukleotida Pt8 & Pt9 dengan
metode PCR, yang memiliki kemampuan mendeteksi jumlah DNA sebesar 100 fg yang setara
dengan 20 sel bakteri.

Menurut Maria Lina (2006) melaporkan dengan metode Nested PCR dapat mendeteksi M.
tuberculosisdalam 15 isolat di antara 20 isolat klinissedangkan 5 isolat lainnya yang negatifdengan
nested-PCR ternyata 4 isolat tergolongMOTT dan 1 isolat non-mycobacteria. Kuman
M.tuberculosis pada 21 sampel sputum dari30 sampel yang terdiri 25 sampel BTA + dan5 sampel
BTA -, dapat terdeteksi dengannested PCR.Nested PCR dengan menggunakan primer
yangdirancang dari bagian gen rpo~ M. tuberculosismerupakan metode yang cepat, sensitif

4
danspesifik untuk mendeteksi M. tuberculosis baikisolat klinis maupun langsung spesimen
klinisseperti sputum.

Menurut Maria Lina (2007) melaporkan juga bahwa metode Nested PCR lebih spesifik dari kultur
dalammendeteksi M. tuberculosis. Nested PCR lebihsensitif dan spesifik dibanding
denganpemeriksaan mikroskopik untuk mendeteksi M.tuberculosis. Nested PCR dengan
mengunakanprimer yang dirancang dari bagian gen rpo M.tuberculosis merupakan metode
yang cepat,sensitif dan spesifik untuk mendeteksi M.tuberculosis dan resistensinya
terhadaprifampisin pada isolat klinis maupun langsungspesimen klinis seperti sputum.

Metode lain untuk uji resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis adalah teknik GeneXpert
MTB/RIF, teknik ini adalah suatu alat uji yang menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid
Amplification Test (NAAT) secara automatis untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin
yang memberikan hasil dalam waktu kurang lebih 2 jam (WHO, 2013). Uji GeneXpert MTB/RIF
berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative real-time PCR dengan amplifikasi gen
target rpoB dan untuk meningkatkan sensitivitas, teknik GeneXpert MTB/RIF menggunakan
molecular beacon (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010; Calligaro et al, 2014). GeneXpert
mampumendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh lokasi aktif enzim (Lawn
dan Nicol, 2011; Marlow et al, 2011) yang terletak di samping M. tuberculosis-urutan DNA
spesifik, oleh karena itu sangat memungkinkan untuk mendeteksi M. tuberculosis dan resistensi
rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan teknologi PCR (Lawn dan Nicol, 2011).
Menurut WHO (2011) dan Boeme et.al(2010) menyatakan bahwateknik GeneXpert MTB/RIF
merupakan pemeriksaan molekuler secara automatis untuk mendeteksi M.tuberculosis dan
sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis terhadap rifampisin. Pemeriksaan ini
menggunakan metode heminested real-timepolymerase chain reaction (PCR) assay untuk
mendeteksi mutasi pada regio hot spot rpoB, kemudian diperiksa dengan beacon molecular
sebagai probe (WHO, 2011; Boehme CC et.al, 2010). Pengujian dilakukan pada platform
GeneXpert MTB/RIF, mengintegrasikan sampel yang akan diolah dalam cartridge plastik sekali
pakai. Cartridge ini berisi semua reagen yang diperlukan untuk dapat melisiskan bakteri, ekstraksi
asam nukleat, amplifikasi, dan deteksi gen yang sudah diamplifikasi. Hasil pemeriksaan dapat
diperoleh dalam waktu 2 jam. Pemeriksaan ini bersifat automatis dan tidak perlu tenaga ahli khusus
(Lawn SD & Nicol MP, 2011).

5
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan penelitian dalam upaya untuk mencari teknik
diagnostik yang cepat, tepat, spesifik dan sensitif untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosisdan resistensinya dengan teknik PCR dan GeneXpert yang merupakan salah satu
diagnostik alternatif.

B.Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui adanya resistensi dan sensitifitas bakteri Mycobacterium tuberculoisis
terhadap antibiotika Obat Anti Tuberculosis (OAT) dengan teknik PCR dan GeneXpert.
b. Tujuan Khusus :
 Untuk mengetahui persentase sampel penderita yang resisten dan sensitif terhadap Obat
anti Tuberculosis (OAT) dengan metode PCR dan GeneXpert.
 Untuk mengetahui jenis antibiotika yang resisten terhadap kumanMycobacterium
tuberculoisisdengan metode PCR dan GeneXpert.
C. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
 Menambah pengetahuan tentang resistensi dan sensitivitas antibiotika terhadap
kuman Mycobacterium tuberculosis.
b. Bagi Institusi
 Memajukan UIN dan FKIK UIN dengan publikasi tentang penelitian ini.
 Memberikan informasi mengenai keilmuan mikrobiologi tentang resistensi dan
sensitivitas tentang Mycobacterium tuberculosis.
c. Bagi Keilmuan
 Dapat memberikan informasi mengenai resistensi dan sensitivitas antibiotika
terhadap kuman Mycobacterium tubercukosis.
 Dapat dijadikan bahan referensi bagi praktisi yang tertarik pada bidang mkrobiologi
terutama tentang resistensi dan sensitivitas antibiotika.

d. Bagi Sosial

6
 Dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang penyakit tuberkulosis
dan pencegahannya terhadap bahaya penyakit tuberkulosis, apabila bakteri ini telah
resisten

7
BAB II

LANDASAN TEORI

B.Morfologi Mycobacterium tuberculosis

Kuman Mycobacterium tuberculosismemiliki ukuran 0,5 – 4 mikron x 0,3 – 0,6 mikron

dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung,

tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid yang disebut asam mikolat (Widoyono,

2002 dan Nofriyanda, 2010).

Bakteri ini termasuk ordo Actinomycetalis, familia Mycobacteriaceae dan genus

Mycobacterium.Genus Mycobacterium memiliki beberapa spesies diantaranya Mycobacterium

tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Basil tuberkulosis berbentuk batang

ramping lurus, tapi kadang-kadang agak melengkung, dengan ukuran panjang 2μm-4μm dan lebar

0,2μm–0,5μm. Organisme ini tidak bergerak, tidak membentuk spora, dan tidak berkapsul, bila

diwarnai akan terlihat berbentuk manik-manik atau granuler. Kuman ini bersifat obligat aerob dan

pertumbuhannya lambat. Dibutuhkan waktu 18 jam untuk mengganda dan pertumbuhan pada

media kultur biasa dapat dilihat dalam waktu 6-8 minggu (Jawetz et. al, 2005 dan

http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/Chapter%20II.pdf))

Pertumbuhan bakteri ini tumbuh optimal pada suhu 37⁰C dan pH 6,4 – 7,0. Jika dipanaskan

pada suhu 60⁰C bakteri akan mati selama 15-20 menit, bakteri sangat sensitif terhadap sinar

matahari dan radiasi sinar ultraviolet. Disamping itu organisme ini agak resisten terhadap bahan-

bahan kimia dan tahan terhadap pengeringan, sehingga memungkinkan untuk tetap hidup dalam

periode yang panjang didalam ruangan-ruangan, selimut dan kain yang ada di kamar tidur, sputum.

8
Bakteri ini memiliki dinding sel yang terdiri dari 60% yaitu kompleks lemak seperti mycolic acid

yang menyebabkan kuman bersifat tahan asam, cord factor merupakan

mikosida yang berhubungan dengan virulansi. Bakteri yang bersifat virulen mempunyai bentuk

khas yang disebut serpentine cord, Wax D yang berperan dalam immunogenitas dan phospatides

yang berperan dalam proses nekrosis kaseosa. Basil tuberkulosis sulit untuk diwarnai tapi sekali

diwarnai ia akan mengikat zat warna dengan kuat yang tidak dapat dilepaskan dengan larutan asam

alkoholseperti perwarnaan Ziehl Nielsen. Organisme seperti ini di sebut tahan asam. Basil

tuberkulosis juga dapat diwarnai dengan pewarnaan fluoresens seperti pewarnaan auramin

rhodamin.(Jawetz et.al, 2005, Widoyono, 2002, dan http://repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/ 19500/4/Chapter%20II.pdf).

B.Epidemiologi Tuberkulosis

Penderita tuberkulosis baru paru menular di dunia Setiap tahunnya terjadi sekitar 4 juta,

ditambah lagi dengan penderita yang tidak menular. Artinya setiap tahun di dunia ini akan ada

sekitar 8 juta penderita tuberkulosis paru, dan akan ada sekitar 3 juta orang meninggal oleh karena

penyakit ini. Ditahun 1990 tercatat ada lebih dari 45 juta kematian di dunia karena berbagai sebab,

dimana 3 juta diantaranya (7%) terjadi karena kasus tuberkulosis. Selain itu 25% dari seluruh

kematian yang sebenarnya dapat dicegah terjadi akibat tuberkulosis.Tahun 1990 dikawasan Asia

Tenggara telah muncul 3.1 juta penderita baru tuberkulosis dan terjadi lebih dari satu juta kematian

akibat penyakit ini. Pada tahun 2005 di Asia Tenggara ada lebih dari 8,8 juta penderita baru

tuberkulosis dan lebih dari 1,6 juta kematian.(Jawetz et al, 2005, Tortora et al, 2010;

9
C. Transmisi dan Penyebaran Tuberkulosis

Transmisi tuberkulosismelalui udara oleh partikel kecil yang berisi kuman tuberkulosis yang

disebut “droplet nukleus”.Droplet nukleus yang berukuran 1-5 μm dapat sampai ke alveoli. Droplet

nukleus kecil yang berisi basil tunggal lebih berbahaya daripada sejumlah besar basil didalam

partikel yang besar, sebab partikel besar akan cenderung menumpuk dijalan napas daripada sampai

ke alveoli sehingga akan dikeluarkan dari paru oleh sistem mukosilier.7 Batuk merupakan

mekanisme yang paling efektif untuk menghasilkan droplet nukleus. Satu kali batuk yang cepat

dan kuat akan menghasilkan partikel infeksius sama banyaknya dengan berbicara keras selama

lima menit. Penyebaran melalui udara juga dapat disebabkan oleh manuver ekspirasi yang kuat

seperti bersin, berteriak, bernyanyi,2 Satu kali bersin dapat menghasilkan 20.000 – 40.000 droplet,

tapi kebanyakan merupakan partikel yang besar sehingga tidak infeksius. Pasien yang batuk lebih

dari 48 kali/malam akan menginfeksi 48% dari orang yang kontak dengan pasien. Sementara

pasien yang batuk kurang dari 12 kali/malam menginfeksi 28% dari

kontaknya.(http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf)

Bakteri basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh melalui traktus gastrointestinal ketika minum

susu yang mengandung Mikobakterium tuberkulosis. Jalan masuk lain kedalam tubuh manusia

adalah melalui luka pada kulit atau membran mukosa, tetapi penyebaran dengan cara ini sangat

jarang. Jika fokus tuberkulosis telah terbentuk pada satu bagian tubuh maka penyakit dapat

menyebar ke bagian tubuh yang lain melalui pembuluh darah, saluran limfatik, kontak langsung,

saluran cerna (sering dari intestinum kembali ke darah melalui duktus torasikus) dan terakhir yang

paling sering melalui jalan napas. (Jawetz et al, 2005; Tortora et.al, 2010;

http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf))

10
Risiko seseorang tertularpenyait ini tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.Pasien

TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien

TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk

of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu

tahun.4,8 ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap

tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.( Jawetz et al ; Tortora et al, 2010;

http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf)

D.PatogenesisMycobacterium tuberculosis

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh cell mediated immune response.

Sel efektornya adalah makrofag, sedang limfosit (biasanya sel T) merupakan immunoresponse

cell. Inhalasi partikel besar yang berisi lebih dari tiga basil tuberkulosis tidak akan sampai ke

alveoli, partikel akan melekat di dinding bronkus dan akan dikeluarkan oleh sistem mukosiliari,

tetapi inhalasi partikel kecil yang berisi 1-3 basil dapat sampai ke alveoli (Tortora et.al, 2010,

http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf dan Jawetz et al,

2005).

Bakteri Basil tuberkulosis yang menginfeksi paru selama 6 – 8 minggu akan menimbulkan

gejala karena telah mengaktifasi limfosit T helper CD4 (cluster diffrentiated) agar memproduksi

interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga meningkatkan kemampuan fagositosisnya.

Disamping itu juga diproduksi TNF (tumor necrotizing factor) oleh limfosit T dan makrofag

dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.(Jawetz et.al, 2005;

http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf;Tortora et al, 2010)

11
Bakteri yang berbentuk Basil tuberkulosis yang masuk ke alveoli akan diikuti oleh vasodilatasi

dan masuknya leukosit polimorponuklear dan makrofag yang berfungsi untuk memakan dan

membunuh basil tersebut. Setelah beberapa hari maka leukosit berkurang dan makrofag jadi

dominan. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut

yang disebut dengan focus primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer

ini dapat sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di fagosit

atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar getah bening menuju

kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya kelenjar getah bening dengan fokus primer

disebut kompleks ghon. Infeksi primer kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya

bersamaan seperti TB post primer.TB post primer umumnya terlihat pada paru bagian atas

terutama pada segmen posterior lobus atas atau pada bagian apeks lobus bawah. Terjadinya TB

post primer dapat terjadi melalui salah satu dari 3 mekanisme ini yaitu:

1..Perkembangan langsung dari TB primer

2. Reaktivasi dari TB primer (endogenous)

3.Reinfeksi dari luar (exogenous reinfection).

Bakteri yang berhasil masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses proliferasi dari basil
tuberkulosis didalam nekrosis sentral diikuti dengan perlunakan dan pencairan zat-zat kaseosa
yang dapat pecah ke bronkus dan membentuk kavitas. Perdarahan dapat terjadi jika proses kaseosa
berlanjut ke pembuluh darah pada dinding kavitas. Penyebaran kaseosa dan bahan-bahan cair
kedalam percabangan bronkus akan menyebarkan infeksi ke daerah paru yang lainnya. Rupturnya
fokus kaseosa kedalam pembuluh darah akan mengakibatkan terjadinya TB milier (Tortora et al,
2010; Jawetz et al, 2005; http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter%
20II.pdf)

Pencegahan penyakit dapat diberikan dengan vaksinasi BCG yang merupakan imunisasi aktif
dimana vaksin yang digunakan merupakan kuman yang dilemahkan sehingga tidak dapat

12
menyebabkan penyakit, melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas.Individu yang telah
diberikan vaksin BCG secara lengkap maka didalam badannya telah terbentuk suatu kekebalan
yang dapat melawan infeksi tuberkulosis sehingga walaupun (Tortora et al, 2010 dan
http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf).

E. Mekanisme Resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap Antibiotik

Resistensi Mycobacterium tuberculosis merupakan masalah resistensi antibiotik sangat


berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatandan biaya pengobatan.Selain itu kuman yang telah
resisten terhadap antibiotik menjadisemakin virulen. Untuk dapat menghambat bakteri yang
sensitif maka harus terdapat 3kondisi dalam waktu yang bersamaan( Nofriyanda, 2010).

Pemberian antibiotik harus dapat mencapai target dalam konsentrasi yang cukup dan
dalamkondisi metabolit aktif. Antibiotik tidak di inaktif sebelum berikatan dengan target.Target
yang sensitif terhadap kerja antibiotik harus ada pada sel bakteri.Target dari antibiotik yang sering
adalah pada enzim atau protein esensial lainnya.Antibiotik mulanya akan melewati dinding sel
untuk mencapai target dan dibawa ke dalamsel menuju target untuk berikatan dengan target site.
Dengan berikatannya antibiotik dengantarget site maka baru antibiotik dapat mempengaruhi kerja
dari sel. Terjadinya proses resistensi terhadapa obat dapat melalui macam. Namun secaraumum
terjadinya resistensi terhadap obat melalui: a. Destruksi atau inaktifasi antibiotik b.Perobahan
pada target site untuk mengurangi atau menghilangkan tempat ikatanantibiotik pada
targetc.Pengurangan permeabilitas permukaan sel atau mekanisme blokade antibiotik masuk sel
atau pengeluaran antibiotik dari sel ( efflux system )d.Penggantian tahapan metabolisme yang
dihambat oleh antibiotik (Nofriyanda, 2010)

F. Resistensi ObatTerhadap Anti Tuberkulosis

Adanya reaksi resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis terhadap obat-obat


antituberkulosis menimbulkan beberapa masalah untuk penatalaksanaan terhadap penderita TB.,
diantaranya adalah : membutuhkan biaya besar, lamanya pengobatan yang bertambah, butuh
pengawasan yang ketat, resiko kematian dan resiko penularan yang tinggi karena kuman
mikobakterium tuberkulosis menjadi semakin virulen.(Nofriyanda, 2010).

Terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dapat berupa:

13
1. Mono Resisten yaitu terdapatnya resistensi terhadap 1 macam obat anti tuberkulosis
2. Multi Drug Resisten ( MDR ) yaitu terdapatnya resistensi terhadap minimal 2 macam obat
anti tuberkulosis yatuINH dan rifampisin dengan atau tanpa obat anti tuberkulosis lainnya.-
3. Poliresisten yaitu terdapatnya resistensi terhadap lebih dari 1 obat anti tuberkulosis tapi
bukankombinasi INH dan rifampisin

Terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi berdasarkan:

a. Resistensi Primer yaitu terdapatnya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten pada
penderitaTB yang belum pernah diobati dengan obat anti tuberkulosis atau telah
minumobat anti tuberkulosis kurang dari 1 bulan. Penderita ini terinfeksi dari penderitaTB
lain yang sebelumnya telah mengalami resistensi terhadap obat antituberkulosis. b
b. Resistensi Sekunder yaitu terdapatnya strain mikobakterium tuberkulosis yang resisten
pada penderitaTB yang telah minum obat anti tuberkulosis minimal 1 bulan. Pada
awalnyakuman masih sensitif namun karena pengobatan yang tidak adekuat maka
terjadimutasi pada sel kuman mikobakterium tuberkulosis sehingga terjadi
resistensiterhadap obat anti tuberkulosis.

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya resistensi terhadap obat


antituberkulosis.Faktor -faktor tersebut dapat meliputi faktor dari penderita, tenaga
kesehatanmaupun faktor obat itu sendiri. Diantara faktor – faktor yang mempengaruhi
terjadinyaresistensi terhadap obat anti tuberkulosis (Nofriyanda, 2010) adalah:

1. Obat tidak diminum sesuai dengan yang dianjurkan karena pengetahuan yang salah,terputusnya
obat, adanya efek samping, hamil dan lain–lain-

2. Obat tidak diminum sesuai dosis yang diberikan-

3. Cara pemberian obat yang salah-

4.Adanya penyakit yang menyebabkan penyerapan obat tidak sempurna

5.Tenaga kesehatan tidak memberikan terapi yang adekuat.

6. Pasien sebelumnya telah resisten terhadap salah satu obat yang diberikan

14
- Mendapat monoterapi- Riwayat penggunaan obat anti tuberkulosis tanpa pengawasan-

5. Pemberian obat anti tuberkulosis bersama dengan obat lain sehingga menyebabkanterjadinya
interaksi obat.

G. Metode/ Teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)

PCR adalah suatu metode in vitro untuk amplifikasi sekuen DNA target spesifik secara
enzimatik dengan menggunakan sepasang primer oligonukleotida spesifik yang terdapat pada dua
daerah (region) yang sekuennya telah diketahui. PCR ditemukan pertama kali oleh Kary Mullis
tahun 1983 dan telah digunakan secara luas dalam bidang biologi molekuler genetika molekuler,
diagnosis kedokteran, dan kedokteran forensik (Kendrew, 1994). Pada dasarnya reaksi PCR
mengambil prinsip replikasi DNA, yaitu pembukaan untai ganda, penempelan primer, dan
perpanjangan rantai DNA baru oleh DNA polimerase dari arah 5’ ke 3’. Hanya saja pada metode
PCR, tidak digunakan enzim ligase dan primer RNA (Snustad et al, 1997).

Komponen-komponen yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah enzim termostabil Tag
DNA polimerase, larutan dapar PCR (PCR buffer), dNTP, DNA cetakan (template), oligonuleotida
primer, dan kofaktor seperti magnesium (Mg2+). Campuran ini bekerja secara berulang untuk
menggandakan rantai DNA target, dengan kecepatan dan spesifisitas reaksi yang sangat
ditentukan oleh suhu. Keberhasilan reaksi PCR ini tergantung pada interaksi yang efisien dengan
semua komponen tersebut diatas (Kolmodin & Williams, 1989).

Proses PCR merupakan suatu rangkaian siklus temperatur yang terjadi secara berulang. Satu
siklus PCR terdiri 3 tahap, yaitu: 1) denaturasi,2) annealing, dan 3) ekstension. Denaturasi adalah
proses pemisahan satu untai ganda DNA menjadi dua untai tunggal DNA. DNA untai tunggal ini,
berperan sebagai cetakan (template), tempat penempelan primer, dan tempat kerja DNA
polimerase. Pemisahan untai ganda DNA, dapat terjadi melalui proses pemanasan yang umumnya
dilakukan pada suhu 90-95C selama 30 detik. Selanjutnya pada tahap annealing suhu reaksi
diturunkan menjadi –50C selama 30 – 60 detik, untuk penempelan primer oligonukleotida
pada sekuens yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ketiga dalam siklus PCR
adalah ekstension yang dilakukan pada suhu 72C, yang merupakan suhu optimum untuk kerja
enzim Tag DNA polimerase. Proses ini berlangsung selama lebih kurang 1,5 menit. Ekstensien
merupakan proses pemanjangan primer membentuk sekuen DNA yang komplementer dengan

15
DNA cetakan. Ketiga tahap tersebut berlangsung selama beberapa kali sampai tingkat amplifikasi
yang diinginkan. Pada umumnya amplifikasi berlangsung sebanyak 25 – 40 siklus, bergantung
pada jumlah DNA yang diinginkan. Tahap-tahap proses PCR terlihat pada Gambar 3 (Snustad et
al, 1997; Kendrow, 1994; Kolmodin & Williams, 1989).

16
Gambar 3. Proses amplifikasi dengan metode PCR. Satu siklus terdiri dari tahap denaturasi, annealing,
dan ekstensi. Satu siklus PCR akan menggandakan jumlah molekul DNA target. Tiap rantai baru yang
telah disintesis, akan bertindak sebagai cetakan untuk proses amplifikasi. Selanjutnya setiap siklus PCR
akan memperbanyak DNA cetakan dua kali lipat, sehingga banyak DNA yang dihasilkan pada akhir
proses PCR adalah 2n (n= jumlah siklus)(Snustad etal,1997).

H. Teknik GeneXpertMTB/RIF

Teknik GeneXpert MTB/RIF merupakan pemeriksaan molekuler secara automatis untuk


mendeteksi M.tuberculosis dan sekaligus mendeteksi resistensi M. tuberculosis terhadap
rifampisin. Pemeriksaan ini menggunakan metode heminested real-timepolymerase chain reaction
(PCR) assay untuk mendeteksi mutasi pada regio hot spot rpoB, kemudian diperiksa dengan

17
beacon molecular sebagai probe (WHO, 2011; Boehme et.al, 2010) Pengujian dilakukan pada
platform GeneXpert MTB/RIF, mengintegrasikansampel yang akan diolah dalam cartridge plastik
sekali pakai. Cartridge ini berisi semua reagen yang diperlukan untuk dapat melisiskan
bakteri,ekstraksi asam nukleat, amplifikasi, dan deteksi gen yang sudah diamplifikasi. Hasil
pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu 2 jam. Pemeriksaan ini bersifat automatis dan tidak
perlu tenaga ahli khusus (Nurlinadkk, 2013; Lawn SD & Nicol, 2011).
Menurut WHO (2013) teknik/ metode geneXpert MTB/RIF adalah suatu alat uji yang
menggunakan catridge berdasarkan Nucleic Acid Amplification Test (NAAT) secara automatis
untuk mendeteksi kasus TB dan resistensi rifampisin dan memberikan hasil dalam waktu kurang
lebih 2 jam. Uji GeneXpert MTB/RIF berdasarkan prinsip multipleks, semi-nested quantitative
real-time PCR dengan amplifikasi gen target rpoB dan untuk meningkatkan sensitivitas,
GeneXpert MTB/RIF menggunakan molecular beacon (Boehme, 2009; Blakemore et al, 2010;
Calligaro et al, 2014). GeneXpert mendeteksi 81 bp core region dari gen rpoB yang dikode oleh
lokasi aktif enzim (Lawn dan Nicol, 2011; Marlow et al, 2011) yang terletak di samping M.
tuberculosis-urutan DNA spesifik, oleh karena itu sangat memungkinkan untuk mendeteksi M.
tuberculosis dan resistensi rifampisin secara bersamaan dengan menggunakan teknologi PCR
(Lawn dan Nicol, 2011).
Penelitian ini telah dilakukan Boehme pada tahun 2009, menunjukkan bahwa pemeriksaan
dengan GeneXpert MTB/RIF untuk mendiagnosa TB MDR mendapatkan sensitivitas yang tinggi
96,5% dan sensitivitas dalam mendeteksi resistensi rifampisin 96,1%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurlina dkk (2013), maka hasil pemeriksaankultur
didapatkan 54 sampel tumbuh, 34 sampel tidak tumbuh, dan 3 sampel merupakan Mycobacteria
laindari tuberkulosis. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa sebesar 97,5% sampel telah resisten
rifampisin dan isoniazid. Pemeriksaandengan teknik GeneXpert MTB/RIF menunjukkan
sensitivitas 92,3% dan spesifisitas 75% dengan akurasi 88,2%. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemeriksaan GeneXpertMTB/RIF memiliki validitas tinggi untuk mendiagnosis MDR-TB
terhadap baku emasuji kepekaan M. tuberculosis metode proporsi pada media Lowenstein Jensen.
Berdasarkana hasil penelitian Eva Susanty dkk (2015), didapatkan bahwa penderita TB MDR
di RSUP Haji Adam Malik Medan paling banyak pada usia 25-34 tahun, jenis kelamin laki-laki,
penderita yang menikah, pekerjaan buruh/karyawan, tempat berobat TB sebelumnya di
puskesmas, penyakit komorbid yang dijumpai diabetes melitus dan kriteria suspek TB MDR

18
keenam yaitu pasien TB kasus kambuh (relaps) kategori 1 dan kategori 2. Pada penelitian ini
GeneXpert MTB/RIF mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 92,86% oleh karena itu dapat
digunakan sebagai skrining untuk mendiagnosa TB MDR. Spesifisitas GeneXpert MTB/RIF
dalam mendiagnosa TB MDR dan mendeteksi resistensi rifampisin sebesar 59,09% dan 75%.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 87,5% penderita yang resisten terhadap rifampisin
juga resisten terhadap isoniazid dan ada 8,3% penderita yang resisten rifampisin pada pemeriksaan
GeneXpert MTB/RIF tetapi pada pemeriksaan uji baku metode proporsi dengan media LJ
menunjukkan sensitif rifampisin.

19
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. TEMPAT & WAKTU PENELITIAN


Penelitian ini akan dilakukan Penelitian di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Rumah Sakit Cisarua Bogor, yang akan dilaksanakan pada bulan
Mei sampai Oktober 2016.

B.Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan metode ekperimental


laboratorik dengan metode pewarnaan Zhiel Neelsen, PCR dan Genexpert dari sampel sputum
penderita tuberkulosis untuk uji resistensi kuman Mycobacterium tuberculosis ..

C.. Sampel Penelitian


Sampel sputum dari penderita tuberkulosis positif

Jumlah sampel sputum yang harus dipenuhi dalam penelitian ini :

n = Z2 p q

d2

p = proporsi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam populasi = 9,5% = 0,095

q = 1 - 0,095 = 0,905

Z = 1,96 (tingkat kemaknaan) dan  = 0,005

d = 10% = 0,1

Maka n = 33,028  33 sampel sputum

D. Alat dan Bahan Penelitian

1 Alat Penelitian :

 Rotary evaporator
 Tabung reaksi

20
 Pipet pengencer
 Vortex
 Objeck glass
 Penangas air
 Petri dish
 Pengukur waktu

2. Bahan Penelitian

 Aquades steril
 MediaLownstein Jensen
 Media Uji INH
 Pemeriksaan laboratorium untuk identifikasi Mycobacterium tuberculosis dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mikroskopis dan cara kultur.

E.Cara Kerja Penelitian

1. Pemeriksaan Mikroskopis

 Bahan pemeriksaan dibuat sediaan pada obyek glass yang baru dan bersih. Sediaan yang

sudah kering difiksasi dan dilakukan pengecatan Ziehl Neelsen atau Kinjoun Gabbet.

Setelah dicuci dan kering diperiksa di bawah mikroskop 1000 X dengan bantuan minyak

imersi. Basil Tahan Asam (BTA) akan tampak bentuk batang, lurus atau bengkok, sendiri-

sendiri atau bergerombol, berwarna merah diatas dasar biru, kemudian dibaca menurut

skala IUAT (International Unit Againt Tuberculosis).

2. Pemeriksaan secara Kultur Media

 Untuk kultur bakteri Mycobacterium tuberculosis biasanya menggunakan media

Louwenstein – Jensen. Cara kultur merupakan cara yang paling sensitif untuk

mendiagnosis tuberkulosis terutama untuk dahak yang sedikit bakterinya dan sulit

ditemukan dengan cara mikroskopis. Pembiakan juga penting untuk dapat melakukan tes

21
kepekaan bakteri terhadap obat-obatan. Hambatannya adalah waktu yag cukup lama untuk

menunggu pertumbuhan yaitu mencapai 6 minggu. Sebelum dilakukan kultur harus

dihomogenisasi dahulu dengan H2SO4 4 % atau NaOH 4 %.Tujuannya homogenisasi

adalah untuk mencernakan sputum sehingga BTA yang terperangkap dapat lepas dari

jaringan pada sputum. Kultur dianggap negatif apabila tidak ada pertumbuhan sampai akhir

pengamatan yaitu 8 minggu dan jika ada pertmbuhan koloni yang berwarna kuning susu

atau krem, bergerombol seperti bunga kol berarti kultur dianggap positif (Departemen

Mikrobiologi FKUI, 2009 )

3.Identifikasi Fenotipe

 Identifikasi fenotipMycobacterium sp.didasarkan pada karakteristik bakteri secara

biokimia, dan terdiri dari berbagai macam tes, beberapa di antaranya adalah dilakukan

dalam rangka untuk mencari mikroorganisme ke dalam dua kelompok besar :

1. Spesies yang terdiri dari kompleks Mycobacterium tuberculosis.

2. Spesies non tuberculosis mycobacterium

 Tes dan pengamatan fenotipik mengidentifikasi kompleks ini : kecepatan pertumbuhan,

morfologi koloni , produksi pigmen , uji niasin , reduksi nitrat , uji katalase, uji urease , uji

pyrazinamidase , pertumbuhan adanya asam p - nitrobenzoic , dan , pertumbuhan di

hadapan hydrazide tiofena - Asam 2 - karboksilat . ( Depart Mikrobiologi FKUI, 2009 )

4. Kecepatan Pertumbuhan

 Mycobacterium sp. dikelompokkan berdasarkan kecepatan pertumbuhan baik lambat atau

cepat . Mycobacterium yang mengembangkan koloni, terlihat dengan penglihatan , dalam

medium kultur dalam waktu kurang dari 7 hari diklasifikasikan sebagai pertumbuhan yang

22
cepat, yang memerlukan lebih dari 7 hari untuk membentuk koloni terlihat ditetapkan

sebagai pertumbuhan yang lambat. (Depart Mikrobiologi FKUI, 2009 ).

 Mycobacterium umumnya muncul sebagai dua jenis koloni : kasar atau halus , dan
dengan aspek mengkilap atau buram. (Jawetz et al, 2011)

F.Pengujian Biokimia

1. Uji Sauton picric dan Sauton agar dengan 0,2 % asam picric.

Uji ini merupakan hal mendasar untuk membedakan Mycobacteriumdari pertumbuhan yang

lambat dan cepat. Mycobacterium dari pertumbuhan yang cepat, dengan pengecualian M. chelonae

, memiliki kapasitas untuk tumbuh dalam media ini . Di antara Mycobacterium dari pertumbuhan

yang lambat, M. simie tidak dapat tumbuh dalam media. ( Departemen Mikrobiologi, 2009)

2. Uji Niacin

Niacin adalah bagian dari metabolisme energi Mycobacterium dalam reaksi redoks . Semua

Mycobacterium menghasilkan niacin , tetapi M. tuberculosis terakumulasi sebagai hasil dari

aktivitas utama Nicotinamide Adenin Dinucleotide dan ketidakmampuan untuk memproses

Niacine yang dihasilkan. Tes ini menunjukkan adanya sianogen klorida terbentuk melalui reaksi

chloramine T dan kalium tiosianat dengan adanya asam sitrat, membentuk

gammacarboxyglutamate aldehida yang mengikat dengan amina aromatik menghasilkan warna

kuning . ( Departemen mikrobiologi, 2005 )

3.Uji Reduksi Nitrat

Nitrat reduktase adalah enzim yang mampu mengurangi nitrat untuk nitri, terdapat di membrane

selMycobacterium, bakteri dapat memanfaatkan enzim ini sebagai sumber nitrogen. Tes ini

mendeteksi adanya nitrat reduktase dalam medium yang mengandung natrium nitrat. Enzim

mengurangi nitrat menjadi nitrit yang muncul melalui penambahan sulfalinamide dan

23
dihidroklorida - N - naphtyl ethylendiamine, membentuk kompleks diazonium klorida dengan

warna fuchsia. (Departemen Mikrobiologi, 2005).

4.Uji Asam Fosfatase

- Asam fosfatase dari beberapa Mycobacterium memisahkan fenolftalein bebas dari

fenolftaleindifosfat menggunakan sebagai substrat dari reaksi garam magnesium thymophthalein

monofosfatMunculnya warna merah adalah positif untuk asam fosfatase. (Bernardelli et al 2007).

5.Uji Pyrazinamidase

 Enzim intraseluler dikodifikasikan oleh gen pncA yang mampu menghidrolisis

pirazinamid ( PZA ) dalam asam pyrazinoic . Beberapa strain menyajikan mutasi pada gen

pncAyang menghasilkan resistensi terhadap PZA , mekanisme utama resistensi

Mycobacterium tuberkulosis untuk obat ini. Metode transportasi PZA ke Mycobacterium

tuberkulosis adalah dengan difusi pasif , di mana ia diubah menjadi asam pyrazinoic

melalui aksi enzim pyrazinamidase kegunaan sebagai uji identifikasi didasarkan pada

diferensiasi Mycobacterium tuberculosis (pyrazinamidase) dari spesies lain dari

tuberculosis (negatif pyrazinamidase) ,dengan pengecualian Mycobacteriumcanetti yang

juga positif (Departemen Mikrobiologi, 2009 ).

G.Uji Diagnostik Sampel sputum dengan metode PCR

1. Homogenisasi dan Ekstraksi DNA Sputum

 Isolat klinis yang tumbuh dalam media Lowenstein Jensen diekstraksi DNAnya dengan

memanen isolat bakteri terse but dengan cara menambahkan larutan NaCl 0,9%. Ekstraksi

DNA dilakukan dengan cara sebelumnya (171.yaitu dengan melisis sel bakteri yang

telahdipanen dengan larutan TE (Tris-EDTA) 1 x ,SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) dan

proteinase-K.kemudian ditambahkan larutan fenol-kloroformisoamil alkohol (24: 1) untuk

24
mengekstraksi DNA. Presipitasi DNA dilaksanakan dengan menambahkan etanol dan

sentrifugasi dengan kecepatan tinggi. Untuk proses PCR, pelet DNA yang diperoleh

kemudian dilarutkan dengan larutan buffer TE 1x.

 Proses homogenisasi dan dekontaminasi dilakukan untuk spesimen klinis (sputum) dengan

tujuan untuk memekatkan sampel sehingga memperbanyak jumlah bakteri khususnya M.

tuberculosis yang terkandung dalam sampel sputum dan untuk mengeliminasi mikroba lain

selain mycobacteria. Sputum dihomogenisasi dan di-dekontaminasi dengan larutan asetil-

L-sistein , NaOH dan Na- sitrat, kemudian disenrtifugasi. Metode untuk ekstraksi DNA

sputum adalah metode Boom (18). Sel dilisis dengan larutan Tris-HCl, guanidin tiosianat

sebagai chao tropic agent, EDTA, dan triton X-lOO. Larutan diatom (pengikat DNA),

aseton, etanol 70% serta sentrifugasi dengan kecepatan tinggidigunakan untuk ekstraksi

dan presipitasi DNA.Untuk proses PCR, DNA hasil ekstraksi dielusi dengan buffer TE 1 x

2.Persiapan Sampel & Ekstrasi DNA


 Sampel sputum sebanyak 1000 ul dipindahkan kedalam tabung sentrifuge sebanyak 1,5 ml,
disentrifuge dengan kecepatan 12.000 rpm selama 5 menit, kemudian di ambil
supernatannya sebagai template DNA.
 Dilakukan ekstrasi DNA dengan QIAamp DNA (kode DNApurQBB).

3. Persiapan Mix PCR


 Amplifikasi PCR enzim HotStar DNA Polymerase. Konsentrasi reagen untuk reaksi PCR
sebanyak 20 ul (setiap tabung) terdiri dari 10 x PCR Buffer HotStar sebanyak 2 ul, 25mM
MgCl2 sebanyak 0,8 ul. 10 mM dNTP Mix sebanyak 0,40 ul, 5xQ solution sebanyak 4 ul,
10 uM Primer PCRTB, HoStar DNA Polymerase sebanyak 0,12 ul, Dnae-free water
sebanyak 8,10 ul. Kemudian didiamkan beberapa menit sampai beberapa jam. Lalu di
tambahkan PCR mix menjadi 0,2 mL, kemudian ditambahkan sampel DNA dan di vortex
selama 15 detik.

25
 Sampel DNA dimasukkan ke dalam mesin PCR, dengan kondisi reaksi PCR adalah
denaturasi awal pada suhu 95⁰C selama 15 menit; denaturasi 94⁰C selama 30 detik,; 40
siklus, annealing pada suhu 60⁰C selama 30 detik; elongasi pada suhu 72⁰C selama 30
detik; sebanyak 40 siklus, dan elongasi akhir pada suhu 72⁰C selama 5 menit. Kemudian
sampael yang didapat dielektroforesis dan disimpan pada suhu -15⁰C sampai -20⁰C.

4. Proses Elektroforesis dan Dokumentasi


 Teknik elektroforesis gel agarosa digunakan untuk menganalisis DNA hasil amplifikasi
dengan konsentrasi agarosa 1,5% (b/v). SebelumnyaDitambahkan 3 ul 6x loading buffer
(LB) ke dalam tabung mix PCR.
 Lalu di vortex selama 15 detik, Di sentrifugasi selama 15 detik . Proses ini dilaksanakan
dalam larutan penyangga 1xTAE buffer selama 5 menit.
 Pewarnaan DNA hasil elektroforesis dilakukan dengan menggunakan larutan etidium
bromida dengan konsentrasi 0,5 mg/ml selama 5 menit.
 Setelah diwarnai, gel kemudian divisualisasi melalui ultraviolet transilluminator. Untuk
menentukan ukuran fragmen DNA, digunakan penanda berat molekul DNA ladder yang
terletak 2/3 yang mengandung 8% polyacrilamida dengan marker DNA sebesar 100bp.
 Hasil positif ditunjukkan dengan adanya pita fragmen DNA padagel agarosa setelah
diwarnai dan divisualisasi

H. Metode GeneXpert MTB/RIF


 Metode GeneXpert MTB/RIF menggunakan tabel 2x2 untuk mengetahui GeneXpert
MTB/RIF yang dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan resistensi dengan
mempergunakan metode proporsi pada media Lowenstein Jensen.
 Sampel dari pasien yang positif MDR TB dengan kategori 1 di tambahkan Kit genexpert,
kemudian di masukkan ke dalam mesin genexpert, selanjutnya akan terlihat hasilnya di
layar komputer.

26
I.Alur Penelitian
A. Sampel dengan Kultur Media Lowenstein Jensen
Kultur Tersangka (Sputum)

SubKultur

Ada Pertumbuhan < 4 hari Ada Pertumbuhan < 4 hari

Rapid Grower

Ada Pertumbuhan dlm 28 hari Tidak ada Pertumbuhan Dlm 28 hari

Slow Grower
Gagal Ulangi subKultur
Uji Identifikasi

Mycobacterium tuberculosis Biakan Mycobacterium tuberculosis

Uji Resistensi
Kirim Ke Lab Rujukan

Biakan TB-MDR MDR

27
J. Alur Penelitian

Suspek MDR-TB
secara klinis

Pengambilan data karakteristik


dasar, riwayat pengobatan, dan
gejala klinis

Pemeriksaan BTA dgn pewarnaan ZN

Pemeriksaan kultur dan uji kepekaan Pemeriksaan PCR&GeneXpert MTB/RIF

Tidak Tumbuh Tumbuh Positif MTB Negatif MTB

MOTT MDR-TB Non MDR-TB Resisten Sensitif

28
K. HASIL YANG DIHARAPKAN

1. Hasil pemeriksaan PCR dengan metode PCR lebih spesifik dari kultur dalammendeteksi M.
tuberculosis.PCR lebihsensitif dan spesifik dibanding denganpemeriksaan mikroskopik untuk
mendeteksi M.tuberculosis, PCR dengan mengunakanprimer yang dirancang dari bagian gen
rpoM.tuberculosis merupakan metode yang cepat,sensitif dan spesifik untuk mendeteksi
M.tuberculosis dan resistensinya terhadaprifampisin pada isolat klinis maupun spesimen klinis
seperti sputum, tetapi metode ini memerlukan tenaga ahli khusus dan biaya yang cukup mahal.

2. Metode/Teknik GeneXpert MTB/RIF, mengintegrasikan sampel yang akan diolah dalam


cartridge plastik sekali pakai. Cartridge ini berisi semua reagen yang diperlukan untuk dapat
melisiskan bakteri, ekstraksi asam nukleat, amplifikasi, dan deteksi gen yang sudah diamplifikasi.
Hasil pemeriksaan dengan metode/ teknik Genexpert dapat diperoleh dalam waktu 2 jam,
pemeriksaan ini bersifat automatis dan tidakperlu tenaga ahli khusus, makanya dapat digunakan
untuk skrining pasien MDR TB.di Rumah Sakit.
3.Untuk mengetahui persentase sampel penderita yang resisten dan sensitif terhadap antibiotika
Rifampisin dan Isoniazid dengan teknik GeneXpert
4.Untuk mengetahui persentase sampel penderita tuberculosis yang bersifat positif dengan teknik
PCR.

29
Tabel 1. Rencana Pelaksanaan Penelitian

NO TANGGAL KEGIATAN TEMPAT HASIL

1 Januari – 26 Pembuatan Proposal Di Puslitpen UIN Selesai Proposal


Pebruari 2016 Penelitian Sayarif Penelitian
Hidayatullah Jakarta

2 Maret - Mei 2016 Pengumpulan sputum Di Laboratorium Pengumpulan


dari RS dan Mikrobiologi FKIK sampel sputum.
Puskesmas UIN Syarif
Hidayatullah

3 1 Juni – Pewarnaan BTA, Di Laboratorium Jumlah sampel


Oktober2016 PCR, Kultur media Mikrobiologi FKIK sputum yang positif
MTBC denan media UIN Syarif dan Negatif terkena
LJ Hidayatullah TBC.

8 Nopember 2016 Pembuatan Final Puslitpen LP2M Final Report


Report UIN Syarif diserahkan ke
Hidayatullah Puslitpen LP2M

30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pewarnaan BTA dengan Teknik Zhiel Neelsen

Berdasarkan hasil pewarnan BTA, sampel yang berasal dari Puskesmas Bojonggede sebanyak

25 pengambilandengan 68 sampel, hasilnya menunjukkan 14 orang positif dan 11 orang negatif

BTA, terdiri dari 8 orang perempuan dan 6 orang laki-laki. Ini artinya lebih banyak perempuan

yang menderita tuberkulosis daripada laki-laki.Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin pada

penderita hasil positif Tb Paru tertinggi pada penelitian ini adalah perempuan dibandingkan laki-

laki. Hasil ini berbeda dengan penelitian dr. Leli Saptawati dkk tahun 2012 menyatakan bahwa

infeksi TB Paru memang cenderung lebih sering diderita laki-laki

Gambar 4. Hasil Pewarnaan Bakteri Tahan Asam dengan Metode Zhiel-Neelsen pada pasien Dcy

dibandingkan perempuan. Hal ini antara lain disebabkan karena faktor kebiasaan merokok yang

dapat meningkatkan risiko infeksi TB paru sebanyak 2,2 kali( Zainul, 2009).

Kebiasaan merokok akan merusak mekanisme pertahanan paru yang disebut mucociliary

clearance. Bulu-bulu getar dan bahan lain di paru tidak mudah membuang infeksi yang sudah

masuk karena bulu getar dan alat lain di paru rusak akibat asap rokok. Selain itu, asap rokok

meningkatkan tahanan jalan nafas (airway resistance) dan menyebabkan mudah bocornya

pembuluh darah di paru-paru, juga akan merusak makrofag yang merupakan sel yang dapat

memfagosit bakteri pathogen(Widyasari dkk, 2012).Merokok dapat menggangu efektifitas

sebagian mekanisme pertahanan respirasi. Hasil dari asap rokok dapat merangsang pembentukan

mucus dan menurunkan pergerakan silia. Dengan demikian terjadi penimbunan mukosa dan

peningkatan risiko pertumbuhan bakteri termasuk kuman TB Paru sehingga dapat menimbulkan

infeksi (Pertiwi, dkk. 2012).

31
Gambar 5. Hasil Pewarnaan Bakteri Tahan Asam dengan Metode Zhiel-Neelsen pada pasien
Ay

Pada hasil penelitian yang diperoleh, menunjukkan bahwa penderita dengan positif Tb Paru pada

laki-laki dan perempuan sering terjadi pada kelompok umur di atas 54 tahun. Hasil penelitian ini

sesuai dengan data riskesdas 2007 didapatkan pada prevalensi TB Paru di Provinsi Sulawesi Utara

cenderung meningkat sesuai bertambahnya umur dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65
6
tahun. Pada penelitian ini berbanding terbalik pada penelitiannya Rikha Nurul Pertiwi dkk alumnus

Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP tahun 2011 dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa

umur responden tidak mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru dan umur 15-55

tahun mempunyai risiko terkena TB Paru dengan risiko 0,667 kali lebih besar dibandingkan umur >

55 tahun (Lumentut, 2008). Hal tersebut dikarenakan ketahanan tubuh mulai menurun setelah umur 45

tahun sehingga rentan terkena penyakit (Susanto AD, 2010)

Gambar 6. Hasil Pewarnaan Bakteri Tahan Asam dengan Teknik Zhiel Neelsenpada pasien Cdr

Hasil pemeriksaan BTA yangberjumlah 68 sampel sputum berasal daru Puskesmas

Bojonggede, yang menghasilkan BTA positif berjumlah 14 orang, terdiri dari 8 orang perempuan

dan 6 orang laki-laki. Ternyata hasil BTA berjumlah sedikit, hal ini disebabkanpada penelitian

banyak sputum yang terdapat air liur (saliva) dibandingkan dahak. Hasil ini tidak sesuai dengan

penelitian Hendra Wijaya di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi tahun 2011 yang

menyatakan bahwa BTA positif jumlah terbanyak pada penderita suspek TBC ada 670 sampel

dibandingkan BTA negatif hanya 220 sampel.

B. Hasil Pemeriksaan Sputum Dengan Teknik PCR dan BTA

32
Berdasarkan hasil uji dari 19 sampel ternyata 9 sampel yang bersifat negatif yang berasal dari

Puskesmas Bojonggede, sedangkan hasil uji PCR yang positif sebesar 11 sampel dan prosentasinya

adalah 58% yang positif menderita Tuberkulosis, dan orang yang tidak menderita tuberkulosis

sebesar 42 %.Menurut Diana Krisanti J (2005) menyatakan bahwa pemeriksaan

Tabel 1. Perbandingan Hasil pemeriksaan Sputum dengan uji BTA dan PCR

NO NAMA PASIEN USIA (tahun) Hasil Uji BTA Hasil Uji PCR

1 Awr 50 th - -
2 Cdr 32 th - -
3 Dla 15 th - -
4 Kml 30 th + +
5 Sdm 45th + +
6 Mst 25 th - +
7 Ik 33 th - +
8 Els 43 th - +
9 Nlw 27 th + +
10 Ay 34 th + +
11 Nrl 38 th + +
12 Ed 23 th + -
13 Mld 39 th - -
14 Wnr 42 th - -
15 Ars 39 th + +
16 Rk 22 th + -
17 Hry 46 th - +
18 Elz 50 th - -
19 Gsr 32 th + +

dengan teknik PCR dibandingkan dengan BTA dan kultur memiliki sensitivitas 30%, spesifisitas

80% dan akurasi 47%.Selanjutnya dilakukan uji kemaknaan dengan Mc Nemar memberikan hasil

adanya perbedaan yang bermakna (p< 0,01). Apabila dibandingkan dengan metode kultur bakteri

Tuberkulosis, deteksi Mycobacterium tuberculosis dengan teknik PCR memiliki Sensitivitas 65%,

spesifisitas 40% dan akurasi 57%. Uji Kemaknaan Mc Nemar memberikan hasil tidak adanya

perbedaan yang bermakna (Diana K, 2005)

33
Dibandingkan dengan pemeriksaan BTA secara mikroskopik deteksi Mycobacterium

tuberculosis dengan metode kultur bakteri Tuberculosis memiliki sensitivitas 31,6%, spesifisitas

81,8%, dan akurasi 50%. Uji Kemaknaan dengan Mc Nemar memberikan hasil adanya perbedaan

yang bermakna (p<0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa deteksi Mycobacterium

tuberculosis dengan teknik PCR sama baiknya dengan kultur bakteri tuberculosis (Diana K, 2005).

Berdasarkan hasil penelitianAndiny dan Meizy (2012)dari seluruh 36 sampel sputum penderita

Tb paru BTA negatif dari 25 orang laki-laki dan 11 orang perempuan, usia 17-78 tahun

didapatkan hasil pemeriksaan PCR positif adalah 13 sampel (36,11%) dan hasil pemeriksaan

PCR negatif 23 sampel (63,88%). Pemeriksaan PCR dapat dipergunakan untuk menunjang

diagnosis apabila klinis, radiologis mendukung Tb paru dengan sputum mikroskopis BTA

negatif, sehingga tidak perlu menunggu hasil biakan selama dua bulan.PCR juga merupakan

pemeriksaan yang sangat berguna, cepat dan efektif untuk monitoring pengobatan anti Tb pada

pasien serta konfirmasi kepastian bebas M. tuberculosis. Kelemahan dari uji PCR adalah dapat

memberikan hasil positif walaupun hanya terdapat 1-10 kuman dalam spesimen pemeriksaan

ataupun kuman mati/dormant dan kontaminasi dari spesimen lain. Namun dalam penelitian ini

telah dilakukan tindakan – tindakan pencegahan untuk menghindari false positif seperti penataan

dan sterilisasi ruangan, kedisiplinan dalam prosedur kerja, pemilihan dan sterilisasi alat/bahan

serta metode yang digunakan.

Hasil penelitian lain yaitu Basundari dkk (2012), sebanyak 70 sampel sputum diambil dari

tersangka penderita tuberkulosis, diperiksa menggunakan 3 jenis pemeriksaan: mikroskopis

bakteri tahan asam (BTA), uji PCR dan metode biakan yang berfungsi sebagai baku emas (gold

standard). Validitas diagnosis ditentukan dengan menghitung sensitifitas, spesifisitas, nilai duga

34
positif dan negatif, rasio kecenderungan positif dan negatif, akurasi dari masing masing hasil

diagnosis (mikroskopis BTA dan PCR).Sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopis BTA

adalah 77,2% (CI = 95%; 0,7837- 0,7603) dan 95,8% (CI = 95%; 0,96361- 0,9523) dengan nilai

duga positif dan negatif 89,4% dan 90,1% dengan rasio kecenderungan (LR +) = 18,8 dan (LR -)

= 0,23. Hasil uji PCR menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan sebesar 90% (CI =

95%; 0,90705 - 0,89295) dan 79% (CI = 95%; 0,7995 - 0,78043) dengan nilai duga positif dan

negatif 66% dan 95% dengan rasio kecenderungan (LR +) = 3,18 dan (LR -) = 0,11. Sebagai

perangkat diagnosis TB paru, PCR valid dapat membedakan penderita TB paru dan bukan

penderita TB paru, akan tetapi kurang reliabel dibanding hasil pemeriksaan mikroskopis BTA.

(Basundari dkk, 2002).

Menurut Kox (1996) Keuntungan dari PCR antara lain : Kecepatan pemeriksaan sama dengan

mikroskopis, tetap dapat untuk identifikasi spesies, untuk diagnosis dini, untuk diagnosis

Mycobacterium yang sulit dibiakkan: untuk identifikasi Mycobacterium pada sampel-sampel

seperti urin, kulit, atau jaringan lain, cairan cerebrospinal dimana jumlah Mycobacterium sangat

sedikit (meskipun terdapat 1 Mycobacterium dalam sediaan), keuntungan yang lain yaitu PCR

dapat dipakai sebagai konfirmasi hasil pengobatan.

Meskipun sensitifitas dari diagnosis PCR lebih tinggi dibanding mikroskopis BTA, akan tetapi

jumlah positif palsu PCR lebih banyak. Kox menyatakan bahwa permasalahan dalam teknik PCR

adalah kesalahan dalam teknik PCR kesalahan positif palsu, hal ini disebabkan kontaminasi pada

tahap amplifikasi dalam proses pemeriksaan PCR. Kelemahan yang lain adalah pemeriksaan PCR

sangat mahal.

35
Hasil-hasil penggunaan PCR di laboratorium yang telah di laporkan menunjukkan bahwa PCR

tidak reliabel dipakai sebagai perangkat diagnosis lapangan, akan tetapi lebuh reliabel dipakai di

dalam laboratorium dengan fasilitas yang tinggi dengan peralatan yang memadai dan dilakukan

oleh seoran teknisi yang berpengalaman, hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini. Dari hasil

penelitian ini dapat dikemukakan bahwa penggunaan PCR dalam diagnosis TB tidak diperlukan

apabila pada pemeriksaan mikroskopis positif deangan gambaran klinis penderita yang menunjang

kearah infeksi tuberkulosis terutama di daerah endemis. Diagnosis PCR sangat diperlukan pada

keadaan khusus di mana hasil pemeriksaan mikroskopis negatif tetapi gambaran klinis

menunjukkan kearah infeksi tuberkuloisis paru atau pada dugaan kasus tuberkulosisekstra

pulmonum (Kox, 1996).

D. Keterbatasan Penelitian

1. Waktu untuk penelitian yang sangat terbatas, karena dilakukan diantarakegiatan belajar

mengajar dan praktikum.

2. Pengambilan sampel hanya bisa dilakukan pada hari rabu dan jumat sekitar pukul 11.00,

makanya sampai di Laboratorium sudah sore hari.

3. Untuk menumbuhkan kultur bakteri ini membutuhkan waktu yang lama sekitar 8 – 14 minggu.

36
BAB V
KESIMPULAN

1. Hasil pewarnaan BTA yang berasal dari Puskesmas Bojonggede berjumlah 68 sampel

sampel, ternyata BTA positifnya berjumlah 13 sampel dan persentase BTA positifnya

sebesar 19%, Sedangkan BTA negatifnya berjumlah 55 dan persentasenya sebesar 81%

2. Hasil uji PCR dari 19 sampel ternyata 8 sampel yang bersifat negatif yang berasal dari
Puskesmas Bojonggede, sedangkan hasil uji PCR yang positif sebesar 11 sampel dan

presentasinya adalah 58% yang positif menderita Tuberkulosis, dan orang yang tidak

menderita tuberkulosis sebesar 42 %.

37
DAFTAR PUSTAKA

 Aditama TY, Tuberkulosis, 2005: Diagnosis, Terapi & Masalahnya, edisi V, Yayasan
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
 Boehme CC, Nabeta P, Hillemann D, Nicol MP, Shenai S, Krapp F, dkk. Rapid molecular
detection of tuberculosis and rifampin resistance. N Engl J Med. 2010;363:1005–15.
TM
 Boehme C. Study protocol-Xpert MTB/RIF demonstration-feasibility, impact and cost-
efficiency of decentralizing molecular testing for detection of tuberculosis and rifampicin
TM
rsistance using Xper MTB/RIF. FIND, 2009.
 Blakemore R, Story E, Helb D, Kop J, et al. Evaluation of the analytical performance of
the Xpert MTB/RIF assay. J Clin Microbiol. 2010;48(7):2495-2501.
 Calligaro GL, Moodley L, Symons G, Dheda K. The medical and surgical treatment of
drug resistant tuberculosis. J Thorac Dis. 2014;6(3):186-195.
 Chiang CY, Centis R, Migliori GB. Drugresistant tuberculosis: past, present, future.
Respirology. 2010;15(3):413–32.
 Staf Pengajar Departemen Mikrobiologi FKUI, Penuntun Praktikum Mikrobiologi
Kedokteran, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2009.
 Depkes RI, 2008. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Dirjen P2M
dan PLP, Jakarta.
 Diana Krisanti Jasaputra, Philips Onggowidjaja, Sylvia Soeng. 2005 :Akurasi Deteksi
Mycobacterium tuberculosis dengan Teknik PCR menggunakan “Primer X” dibandingkan
dengan Pemeriksaan Mikroskopik (BTA) dan Kultur Sputum Penderita dengan Gejala
Tuberkulosis Paru, Jurnal Kedokteran Maranatha,
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/issue/view/11, vol 1. No. 1,
diakses pada hari Minggu 4 Mei 2014).
 Elva Susanty, Zainuddin Amir, Parluhutan Siagian, Rina Yunita, putri Chairani Eyanoer:
Uji Diagnostik Genexpert MTB/RIF di RS Umum Pusat haji Adam Malik Medan, Jurnal
Biosains, Volume 1, No.2, Agustus 2015.
 http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 19500/4/ Chapter% 20II.pdf, diakses
hari Minggu, tanggal 16 Maret 2014).

38
 http://www.slideshare.net/elkaesimbolon/penanganan-sputum, diakses hari minggu
tanggal 16 Maret 2014.
 Hillemann D, Weizenegger M, Kubica T, Richter E, Niemann S. Use of the genotype
MTB DR assay for rapid detection of rifampin and isoniazid resistance in Mycobacterium
tuberculosis complex isolates. J Clin Microbiol. 2005;43(8):3699–703.
 Indah Widyaningsih, 2010 : Studi Komparasi Media Nutrien Agar Dengan Suplemen
Filtrat Ikan Gabus Untuk Deteksi Mycobacterium tuberculosis Dibanding Media
Lowenstein – Jensen,Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, diakses
pada hari Minggu 4 Mei 2014)
 Jawetz, Melnick, Adelberg. 2005 :Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medika Jakarta.
 Jawetz, Melnick, Adelberg. 2011 :Mikrobiologi Kedokteran, Salemba Medika Jakarta
 Kolmodin LA, & Williams JF, 1989: PCR Cloning Protocols..BA White Humana Press
Inc.Totowa.vol 67:3-15.
 Kusnindar, 1990. Masalah Penyakit tuberkulosis dan pemberantasannya di Indonesia.
CerminDunia Kedokteran, No. 63 hal. 8 –12.
 Lawn SD, Nicol MP. Xpert® MTB/RIF assay:development, evaluation and
implementation of a new rapid molecular diagnostic fortuberculosis and rifampicin
resistance. Future Microbiol. 2011;6(9):1067–82..
 Li J, Xin J, Zhang L, Jiang L, Cao H, Li L.Rapid detection of rpoB mutations in rifampin
resistant M. tuberculosis from sputum samples by denaturing gradient gel
electrophoresis.Int J Med Sci. 2012;9(2):148–56.
 Maria Lina R, Pratiwi S, Fera Ibrahim, 2002 : Metode PCR dalam mendeteksi Isolat Klinis
M.tuberculosis, J. Kedokteran Trisakti, Vol. 21 No.1 (Jan-April).
 Maria Lina R, 2006 : DeteksiMycobacterium tuberculosis Dan Resistensinya Terhadap
Rifampsin Dengan Metode Nested Polymerase Chain Reaction, (PCR) Dan Sekwensing,
Risalah Seminar Ilmiah Aplikasi lsotop dan Radiasi,
 Maria Lina R, 2007: Deteksi M. tuberculosis dan resistensinya Terhadap Rofampisin
dengan Metode Polymerase Chain reaction (PCR) dan Sekuensing, Universa Medicina,
Vol 26 No.7 (Jan-Maret).

39
 Marlowe EM, Novan-Weekley SM, Cumpio J, et al. Evaluation of the Cepheid Xpert
MTB/RIF assay for direct detection of Mycobacterium tuberculosis complex in respiratory
specimens. J. Clin. Microbiol.2011;49(4):1621.
 Nurlina Sirait, Ida Parwati, Nina Susana, dan Nida Suraya: Validitas Pemeriksaan Metode
Polymerase Chain reaction Genexpert MTB/RIF, Majalah Kesehatan Bandung (MKB),
Volume 45 No.4, Desember 2013.
 Nofriyanda,2010:http://www.academia.edu/3146474/MEKANISME_RESISTENSI_OB
AT_ANTI_TUBERKULOSIS, diakses hr minggu tanggal 16 Maret 2014.
 O’Grady J, Maeurer M, Mwaba P, Kapata N, Bates M, Hoelscher M, dkk. New and
improved diagnostics for detection of drugresistantpulmonary tuberculosis. Curr Opin
Pulm Med. 2011;17(3):134–41.
 Pietzka AT, Indra A, Stoger A, Zeinzinger J, Konrad M, Hasenberger P, dkk. Rapid
identification of multidrug-resistant Mycobacterium tuberculosis isolates byrpoB gene
scanning using high-resolutionmelting curve PCR analysis. J AntimicrobChemother.
2009;63(6):1121–7.
 Snustad DP, Simmon MJ, Jenkins JB, 1997 : Principles of Genetiks. Jhon Wiley & Sons
Inc.:490-491.
 Staf Pengajar Departemen Mikrobiologi FKUI, 2005 :Penuntun Praktikum Mikrobiologi
Kedokteran, Pt Medical Multimedia Indonesia.
 Tjandra JA, Priyanti ZS. 2000 : Tuberkulosis. Diagnosis, Terapi, dan Masalahnya. Edisi
III Jakarta: Lab. Mikobakteriologi RSUP Persahabatan/WHO Collaborating Center for
Tuberculosis;
 Tortora, GJ, Fune BR, and Case CL., 2010 :Microbiology, Benjamin Cummings, Newyork,
p 683-690.
 WHO. Rapid implementation of the XpertMTB/RIF diagnostic test. Geneva: WHO;2011.
 WHO. Multidrug and extensively drugresistant TB (M/XDR-TB) 2010 Global report on
surveillance and response. Geneva: WHO; 2010.
 WHO. Molecular line probe assay for rapid screening of patients at risk of multidrug
resistant tuberculosis (MDR-TB). Geneva: WHO; 2008.
 World Health Organization. Global tuberculosis report 2013. Geneva,2013
(WHO/HTM/TB/2013.11):6-67.

40
 Widoyono, 2002 : Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga, Semarang..
 Zhang M, Yue J, Yang YP, Zhang HM, Lei JQ, Jin RL, et al. Detection of mutations
associated with isoniazid resistance in Mycobacterium tuberculosis isolates from China. J
Clin Microbiol 2005; 43: 5477-82.

41
42

Anda mungkin juga menyukai