Pembimbing
Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI, FINASIM
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii
ii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Klasifikasi respon alergi obat menurut Gell dan Coombs ........................... 8
Tabel 3. Obat-obatan dimana tes intradermal berguna untuk evaluasi alergi ............ 20
Tabel 1. Panduan rekomendasi untuk desensitisasi penisilin pada pasien alergi ....... 30
iii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4. Ruam vaskulitis yang diinduksi obat hipoglikemik oral. Salah satu contoh
reaksi tipe III.............................................................................................. 12
iv
DAFTAR SINGKATAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah utama yang dihadapi dan akan senantiasa ada dalam setiap
pemberian obat adalah efek samping obat (ESO). Efek ini, yang juga dikenal dengan
nama ‘reaksi simpang obat’ (adverse drug reaction), merupakan respon terhadap obat
yang berbahaya dan tidak diharapkan pada pemberian obat yang terjadi pada dosis
yang biasa digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi
penyakit atau untuk memodifikasi fungsi fisiologis. Perkembangan yang pesat dalam
penemuan, penelitian dan produksi obat untuk keperluan diagnosis, pengobatan,
maupun pencegahan secara tidak langsung akan menambah angka kejadian ESO.1,2,3
ESO secara umum dibagi menjadi reaksi yang dapat diprediksi (predictable)
dan tidak dapat diprediksi (unpredictable). Kejadian ESO yang dapat diprediksi
mencapai hampir 80% dari seluruh efek samping. Meskipun jumlahnya lebih banyak
tetapi kondisi demikian semestinya dapat diantisipasi berlandaskan kerja
farmakologis obat. Karena sifatnya bergantung pada dosis maka reaksi akan membaik
jika dosis obatnya diturunkan atau dihentikan. Berbeda dari yang predictable,
sebanyak 20% ESO tidak dapat diperkirakan akan muncul sebelum obat diberikan,
tidak bergantung dosis, dan meskipun biasanya membaik jika obat dihentikan namun
reaksi terkadang tetap berjalan.4,5,6
Reaksi alergi obat, mencakup 6-10% dari ESO, termasuk dalam kelompok
efek samping yang unpredictable. Suatu ESO baru dikatakan sebagai reaksi alergi
obat apabila didapati ada mekanisme imunologis yang melatarbelakanginya.
Mekanisme diperantarai imun ini sulit ditentukan secara jelas dengan hanya
bermodalkan anamnesis dan tanpa pemeriksaan penunjang lanjutan. Manifestasi kulit
menjadi manifestasi tersering namun masih banyak gambaran klinis alergi obat yang
perlu diketahui, berkisar dari gejala ringan sampai berat bahkan kematian apabila
tidak mendapat pertolongan segera.2,7
1
2
2.1 Definisi
WHO mendefinisikan ESO sebagai ‘respon terhadap satu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan dan terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada
manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis. ESO berbeda dengan ‘kejadian tidak diinginkan/KTD’ (adverse
drug events, ADEs) yang merupakan reaksi disebabkan peresepan yang salah
(misprescription) atau salah penggunaan (misuse) yang tidak diinginkan. KTD juga
mencakup kerugian yang berhubungan dengan kesalahan pengobatan (medication
error) dan interaksi obat/makanan.3,5,6
ESO secara umum dibagi menjadi predictable/dapat diduga (tipe A) dan
unpredictable/tidak dapat diduga (tipe B). ESO yang dapat diduga biasanya
bergantung dosis, berhubungan dengan kerja farmakologis obat yang diketahui, dan
terjadi pada individu yang sehat. ESO yang tidak dapat diduga umumnya tidak
bergantung dosis, tidak berhubungan dengan kerja farmakologis obat, dan terjadi
pada individu yang rentan. Reaksi yang tidak dapat diduga ini dibagi lagi lebih jauh
menjadi 4 kelompok yaitu intoleransi obat, idiosinkrasi obat, reaksi pseudoalergi, dan
alergi obat. Tiga kategori yang disebut di awal merupakan sensitivitas obat non-imun.
Intoleransi obat adalah efek farmakologis tidak diharapkan yang dapat muncul pada
dosis biasa atau rendah tanpa latar abnormalitas metabolisme, ekskresi, atau
bioavailabilitas obat. Mekanisme imun humoral atau seluler tidak terlibat disini.
Contoh kasus yaitu tinnitus imbas–aspirin pada dosis rendah. Idiosinkrasi obat adalah
efek tidak normal dan tidak diharapkan yang tidak berhubungan dengan kerja
farmakologis yang diinginkan dari suatu obat dengan mekanisme yang tidak
diketahui. Serupa dengan intoleransi obat, kondisi ini juga tidak diperantarai respon
imun humoral atau seluler tetapi dapat dicetuskan kembali dengan cara pemberian
3
4
ulang obat yang bersangkutan. Contoh kasus yaitu demam obat imbas-quinidin).
Reaksi pseudoalergi (anafilaktoid) adalah reaksi sistemik cepat/segera yang
menyerupai anafilaksis tetapi disebabkan lepasnya mediator dari sel mast dan basofil
tanpa diperantarai IgE (non-IgE-mediated).4,6
Istilah alergi pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang
berasal dari ‘alol’ (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa.8
Referensi lain menyebutkan alergi berasal dari kata ‘allos’ yang dalam bahasa Yunani
berarti ‘lain’ dan ‘ergon’ yang berarti kerja, tugas, tujuan (atau ‘ergein’, bekerja).
World Allergy Organization (WAO) mendefinisikan ‘alergi’ sebagai ‘suatu reaksi
hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis yang spesifik’. Untuk
terminologi alergi obat, Joint Task Force on Practice Parameters pada tahun 2010
mengajukan batasan alergi obat sebagai ‘respon yang diperantarai secara imunologis
terhadap bahan obat (pharmaceutical) dan/atau formulasi (eksipien) obat pada
seseorang yang sudah tersensitisasi.’4 Batasan lain dan lebih terbaru dikeluarkan oleh
International Consensus on drug allergy di tahun 2014 yang menggunakan
terminologi drug hypersensitivity reactions (DHRs)/reaksi hipersensitivitas obat
untuk menjelaskan efek samping dari formulasi obat (termasuk bahan aktif dan
eksipiennya) yang secara klinis menyerupai alergi. Terminologi alergi obat baru bisa
dipakai hanya jika sudah dibuktikan ada mekanisme imunologis yang jelas (baik
ditemukan antibodi spesifik obat ataupun sel T). Demi kepentingan komunikasi umum,
apabila ada kecurigaan telah terjadi suatu reaksi alergi obat maka sebaiknya dipakai
istilah DHR sampai dapat dibuktikan adanya mekanisme imunologis. Hal ini disebabkan
alergi obat sebenarnya dan DHR non-alergi sulit dibedakan semata berdasarkan
gambaran klinis khususnya kasus DHR yang berat dan akut.9 Pada makalah ini
selanjutnya akan digunakan istilah alergi obat.
Sesuai dengan definisi alergi yang memiliki dasar imun, reaksi alergi terhadap
obat diperantarai oleh antibodi atau sel sistem imun. Sehingga, reaksi cepat tipe I
diperantarai antibodi IgE dan reaksi lambat tipe IV diperantarai sel T terhadap obat
adalah alergi obat yang sesungguhnya. Reaksi tipe II sitotoksik diperantarai antibodi
5
(umumnya IgG dan IgM) dengan keterlibatan komplemen terhadap obat serta reaksi
tipe III diperantarai kompleks imun dengan antibodi terutama kelas IgG terhadap obat
dianggap sebagai hipersensitivitas obat murni. Sedangkan untuk reaksi terhadap obat
tanpa dapat diidentifikasi adanya perantara imun seperti pada kasus non-steroid
antiinflammatory drug (NSAID) dan media radio kontras/radio-contrast media
(RCM) serta pada obat pelepas histamin langsung seperti opioid dan muscle
relaxant/neuromuscular blocking agent (NMBA), maka respon demikian dipandang
sebagai sensitivitas atau intoleransi, bukan sebagai hipersensitivitas sehingga bukan
merupakan respon alergi murni.6
reaksi terjadi, pasien ini berisiko tinggi mengalami reaksi berat dan kondisi demikian
juga berlaku untuk pasien asma yang tidak terkontrol dan pasien alergi makanan.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa genetik dan etnisitas memiliki nilai
penting pada beberapa alergi obat tetapi situasi ini tentunya sangatlah rumit
ditentukan mengingat keterlibatan banyak gen serta faktor lingkungan. Penelitian
untuk mencari hubungan antara alergi obat dan human leukocyte antigen (HLA) dan
major histocompatibility complex (MHC) pada kromosom 6 masih menjadi ladang
penelitian aktif. Terpisah dari hubungan HLA dengan alergi obat, beberapa hubungan
genetik telah dilaporkan untuk kasus:5,6
• Alergi penisilin diperantarai IgE: E237G varian gen FcɛR1ß, polimorfisme IL-
4RɑQ576R, dan polimorfisme IL-4 II-13-SNP pada orang Cina.
• Reaksi alergi cepat terhadap ß-laktam: II-13 (R130Q dan -1055C > T variant) dan
polimorfisme IL-4RA (150V, S478P dan Q551R variant) pada orang Italia.
• Hepatitis imbas obat antituberkulosis: CYP2E1 pada orang Cina (tetapi tidak pada
orang Korea dan Inggris), NAT2 (N-acetyltransferase) pada orang Korea dan
genotipe GST (glutathione S-transferase) pada orang Kaukasia.
Seperti yang sering ditemukan pada respon imun, paparan obat sebelumnya
dapat menginduksi sensitivitas yang semakin bertambah. Namun, ada banyak contoh
reaksi yang terjadi pada paparan pertama kali seperti yang dijumpai pada reaksi
terhadap kotrimoksazol, quinolon, muscle relaxant, media kontras, dan sebagainya.6
Ketika memeriksa risiko terkait obat, sifat obat itu sendiri harus menjadi
pertimbangan pertama. Sifat kimiawi obat yang berhubungan khususnya berat
molekul, kompleksitas struktur, dan reaktivitas kimiawi. Reaktivitas protein suatu
kandungan obat menjadi perhatian khusus dan obat-obat yang sendirinya merupakan
protein seperti insulin, vaksin, antibodi monoklonal, interferon, etanercept,
streptokinase, dan obat antikanker L-asparginase memiliki potensi sebagai imunogen
dan alergen.6
7
FAKTOR RISIKO
ALERGI OBAT
Dosis obat, durasi dan frekuensi pemberian obat dapat mempengaruhi risiko
reaksi. Dosis tinggi dan pemberian jangka lama memberi risiko lebih tinggi terjadinya
alergi obat. Cara pemberian suatu obat dapat memiliki efek bermakna terkait reaksi
alergi obat sebagaimana dicontohkan dengan tingginya kejadian anafilaksis terhadap
obat tertentu jika diberikan secara intravena. Pemberian intramuskuler juga
memberikan risiko lebih tinggi dibandingkan injeksi subkutis. Cara pemberian per
oral adalah yang paling aman dibanding cara yang lain. Namun, sensitisasi dan reaksi
yang berat masih dapat terjadi pada pemberian per oral. Pemberian secara topikal
berhubungan dengan kejadian sensitisasi yang tinggi dan sebaiknya dihindari untuk
beberapa obat seperti antibiotik kloramfenikol, penisilin, dan neomisin serta
sulfonamid. Yang terakhir, reaktivitas silang umumnya memiliki dasar struktural dan
tidaklah bijak meresepkan obat atau mengganti obat tanpa disertai setidaknya
pengetahuan dasar mengenai struktur kimia obat. Ini khususnya penting untuk obat-
obatan neuromuscular blocking agent (NMBA), ß-laktam, sulfonamid, dan pirazolon
dimana ada kemiripan atau pengelompokan struktural yang identik telah
disangkutkan sebagai penentu alergenik. Sensitisasi silang juga penting tidak hanya
dari dasar imunokimia tetapi juga dari kerja farmakologis obat seperti contohnya
NSAID dimana obat-obat yang berbeda secara struktur seperti aspirin dan oxicam
8
2.3 Klasifikasi
Beberapa reaksi alergi obat dapat diklasifikasikan dengan klasifikasi Gell-
Coombs (Tabel 1) untuk hipersensitivitas sementara beberapa reaksi tidak dapat
diklasifikasikan dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai imunopatogenesisnya
atau mekanismenya bercampur. Reaksi alergi obat juga dapat diklasifikasikan
menurut sistem organ dominan yang terlibat (misal kulit, ginjal, hati) atau menurut
hubungan sementara dengan onset gejala (cepat/segera, akselerasi, dan lambat). Dari
sudut klinis, metode paling praktis untuk mengklasifikasikan reaksi obat yaitu
berdasarkan predileksi untuk berbagai jaringan dan sistem organ. Namun, dengan
kategori berdasarkan mekanisme, klasifikasi Gell dan Coombs masih menjadi cara
yang mudah, paling valid, dan paling logis untuk membedakan sensitivitas imun
pejamu.4,6,8, 12
dengan sel mast dan basofil dan menyebabkan lepasnya mediator yang sudah
dibentuk/preformed (seperti histamin) serta produksi mediator yang baru
dibentuk/newly generated (seperti leukotrien). Anafilaksis sistemik, angioedema,
bronkospasme, atau urtikaria akibat alergen penisilin adalah bentuk-bentuk respon
yang paling baik dipahami dalam kategori ini (Gambar 2).8,12
Gambar 2 Reaksi urtikaria dan angioedema akibat penisilin, contoh dari reaksi tipe I
Reaksi tipe I, yang juga dikenal dengan reaksi cepat, reaksi anafilaksis, atau
reaksi alergi, muncul segera sesudah tubuh terpapar alergen. Reaksi tipe I fase cepat
biasanya muncul dalam 30-60 menit sejak paparan tetapi bisa lebih cepat lagi
(hitungan beberapa menit) seperti pada kasus anafilaksis dengan puncaknya terjadi
dalam 10-15 menit. Pada beberapa kasus, awitan bisa lebih lambat berkisar 3-4 jam
sejak paparan alergen. Reaksi tipe I fase lambat ini umumnya memuncak pada
kisaran 6-12 jam dan mereda dalam waktu 24 jam. Reaksi cepat dapat mengenai satu
organ tunggal seperti kulit (urtika, eczema), mata (konjungtivitis), nasofaring (rhinitis
10
Gambar 3 Pemphigus foliaceus imbas Penicillamine, salah satu contoh reaksi tipe II12
Gambar 4 Ruam vaskulitis yang diinduksi obat hipoglikemik oral. Ini adalah satu contoh reaksi tipe
III dan lebih sering mengenai tungkai.12
Contoh lain reaksi tipe III akibat obat antara lain erythema nodosum leprosum
pada kulit pasien lepra yang minum obat dapson, reaksi Jarisch-Herxheimer pada
pasien sifilis yang diobati dengan penisilin, dan serum sickness-like reaction yang
disebabkan obat-obat seperti penisilin, sefalosporin, sulfonamid, ciprofloxacin,
tetrasiklin, NSAID, carbamazepin, fenitoin, allopurinol, propranolol, griseofulvin,
captopril, barbiturat, dan antibodi monoklonal.6,8
pembentukan vesikel, dan edema. Paparan obat sistemik dapat menimbulkan erupsi
kulit makulopapuler, ekzema atau dermatosis eksfoliativa atau erythema multiforme
baik disertai maupun tanpa keterlibatan mukosa (sindrom Stevens-Johnson/SSJ)
(gambar 5) atau nekrolisis epidermal toksik (TEN).6,8,12
Gambar 5 Eritema multiforme disertai nekrolisis epidermal akibat antikonvulsan. Reaksi ini
merupakan contoh reaksi tipe IV.12
multivalen dan relatif alergenik, mampu menimbulkan respon humoral atau seluler
atau bahkan keduanya. Anafilaksis bersifat IgE dependent sedangkan banyak reaksi
kulit diperantarai limfosit. Respon imun dapat diarahkan untuk melawan berbagai
epitop termasuk obat (hapten), kompleks hapten-carrier (neoantigen), atau protein
carrier (self antigen). Protein-protein lain seperti enzim hati juga dapat berfungsi
sebagai carrier bagi hapten obat. Sebagai contoh, reaksi hipersensitivitas terhadap
antikonvulsan tampaknya muncul melalui antibodi yang diarahkan melawan epitop
obat yang antigenik baru dan berikatan kovalen dengan protein sitokrom P450.12
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
3.1 Diagnosis
Dalam mendiagnosis alergi obat, ada 4 tulang punggung prosedur
pemeriksaan yaitu anamnesis riwayat pasien, tes kulit, beberapa pemeriksaan in vitro
laboratorium, dan tes challenge. Berhasilnya diagnosis alergi obat dapat sulit
dilakukan karena masing-masing pilar ini memiliki keterbatasan dan kelemahan.
Riwayat pasien biasanya diperoleh dari uraian atau ingatan pasien yang kurang
memadai karena mengkonsumsi obat yang berbeda-beda dalam waktu bersamaan,
zat/bahan untuk tes kulit tidak selalu ideal dan biasanya tidak terstandarisasi,
pemeriksaan labor yang sesuai tidak selalu tersedia dan tidak cukup sensitif untuk
menguji reaksi yang berbasis imun diperantarai humoral atau sel; serta tes challenge
obat memiliki risiko bahaya dilakukan pada beberapa pasien dan tidak selalu cukup
sensitif. Meskipun demikian, diagnosis yang akurat biasanya dapat dicapai dengan
menerapkan lebih dari satu pilar pemeriksaan dasar ini dan terkadang dengan
melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih terspesialisasi. Pemeriksaan penunjang
diagnostik pada dasarnya dibedakan menjadi in vitro dan in vivo.6,115 Algoritme untuk
tatalaksana suatu ESO diperlihatkan di gambar 6.
15
16
Tidak-cepat, Cepat,
1. Obat alternatif ATAU
menyerupai T cell mediated menyerupai IgE mediated
2. Kurangi dosis ATAU
3. Challenge ATAU
4. Desensitisasi (pada kasus Pertimbangkan
terpilih) Tes tempel / obat bereaksi Tes tusuk +/-
tes intradermal lambat silang Tes intradermal
1. Daftar seluruh obat pasien yang sedang maupun sudah dipakai termasuk obat
yang dibeli sendiri tanpa resep dokter.
2. Berapa banyak jumlah obat yang sudah atau sedang dipakai dan sudah berapa
lama?
3. Obat mana yang menjadi tersangka utama yang menimbulkan reaksi dan apa
alasannya?
4. Kapan reaksi muncul dan berapa lama ia berlangsung?
17
Penisilin Antitoksin
Sefalosporin Obat antituberkulosis
Insulin Antikonvulsan
Anestesi lokal Quinidin
Muscle relaxant Cis-Platinum
Tiopental Penicillamine
Vaksin
3.1.2.1Tes tusuk
Metodologi tes kulit dimulai dengan tes tusuk (prick/puncture test). Jika tes
ini hasilnya negatif maka pemeriksaan dilanjutkan dengan tes intradermal. Tes kulit
harus selalu menyertakan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (cairan salin).
Pasien yang sakit berat, hipertensi, atau menjalani terapi antihistamin H1 atau obat-
obat tertentu terkadang gagal bereaksi terhadacairan kontrol positif dan dapat
memperlihatkan tes kulit reaksi tipe I yang negatif palsu. Respon positif ditandai khas
dengan respon wheal dan flare yang cepat. Hasil tes hanya memberikan informasi
mengenai keadaan saat ini dari hipersensitivitas tipe I karena alergi obat dapat
berkurang seiring bertambahnya waktu dan pengulangan tes pada waktu berikutnya
dapat memberikan hasil negatif.6,12
21
Penisilin sendiri adalah reagen yang tidak efisien untuk tes kulit karena ia
harus berkonjugasi dengan protein jaringan untuk membentuk kompleks multivalen
sehingga bisa mencetuskan degranulasi sel mast yang bergantung IgE. Untuk
menghasilkan determinan mayor aktif untuk tes kulit maka penisilin dipasangkan
(coupled) dengan polykysine untuk membentuk penicilloyl-polylysine (PPL) yang
sudah tersedia secara komersiil). Jika digunakan secara terpisah, PPL
mengidentifikasi 80-90% pasien yang berisiko alergi penisilin diperantarai IgE.12
Penelitian terakhir memberikan informasi penting mengenai nilai prediktif tes
kulit (Tabel 4). Sekitar 1% pasien dengan riwayat positif alergi tetapi dengan hasil tes
kulit negatif mengalami urtikaria transien disertai atau tanpa disertai gatal setelah
pemberian ß-laktam. Belum ada laporan anafilaksis penisilin pada individu dengan
hasil tes kulit negatif. Ketika benzylpenicillin G (10.000 U/mL) digunakan untuk tes
kulit bersamaan dengan PPL, nilai sensitivitas mendekati 90-95%. Pada kasus
demikian, challenge provokatif secara bertingkat dapat berguna untuk menegakkan
apakah ada suatu sensitivitas.6, 12
Terdapat tes imunologi alternatif untuk evaluasi alergi obat. Tetapi tes-tes
demikian kurang dapat diandalkan, menghabiskan banyak waktu, dan sering lebih
mahal. Antibodi IgE spesifik penicilloyl dapat diukur dengan cara
radioallergosorbent testing (RAST) yang mendeteksi antibodi serum. RAST kurang
sensitif dibandingkan tes intradermal. Meskipun belum divalidasi untuk pemakaian
rutin secara klinis namun tes RAST juga telah dikembangkan untuk antibiotik ß-
laktam lainnya, sulfonamid, trimethoprim, isoniazid, dan determinan obat lainnya
22
(Tabel 5). Tes leukocyte histamine release juga dapat mendeteksi antibodi IgE
spesifik terhadap obat hapten. Tes seluler lain seperti lymphocyte proliferation test
serta tes untuk menilai produksi sitokin dapat berguna untuk menegakkan respon
imun diperantarai sel T spesifik tetapi hanya sedikit obat yang dapat digunakan dalam
tes demikian.12
dikerjakan dengan informed consent dan dipantau dengan hati-hati oleh dokter yang
berpengalaman.12
mengkonfirmasi temuan tes kulit. Pemeriksaan antibodi IgE serum berguna pada
kasus tes kulit yang negatif atau bereaksi samar atau jika tes kulit tidak dapat
diandalkan atau tidak tersedia. Contoh terbaik nilai guna tes ini yaitu pada kasus
dimana pasien memiliki riwayat kuat alergi tipe cepat terhadap ß-laktam tetapi hasil
tes kulitnya negatif. Tes ini juga berguna pada pasien yang tengah memakai obat-
obatan yang jumlahnya harus dikurangi untuk tes kulit, pada pasien dengan penyakit
kulit yang luas seperti eczema dan psoriasis, pasien yang serumnya diambil saat
reaksi terjadi (misal pada reaksi anafilaktik selama anestesi berlangsung), sebelum
tindakan bedah, dan serum yang diambil setelah pasien meninggal.6
Ditemukannya IgE spesifik obat belum dapat menegakkan diagnosis alergi
obat. Tetapi, jika berhubungan dengan temuan klinis (misalkan ada gejala berat yang
khas dengan awitan cepat) maka hasil IgE yang positif dapat memperkirakan
terjadinya mekanisme imun yang bergantung IgE, apalagi dengan hasil tes kulit yang
positif. EAACI-DAIG/ENDA menyarankan pada reaksi yang cepat dan berat, tes
kulit untuk antibiotik dikerjakan setelah dilakukannya tes IgE serum.9
Pemberian cepat epinefrin adalah pengobatan paling penting karena obat ini
bekerja menghambat sel mast melepas mediator, menyebabkan bronkodilasi,
merangsang sistem kardiovaskuler, dan mengurangi kebocoran venula. Epinefrin
diabsorpsi optimal jika diberikan secara intramuskuler. Dalam satu penelitian, pasien-
pasien yang diberikan epinefrin di awal terjadinya anafilaksis ternyata bertahan hidup
sedangkan pasien-pasien dimana pemberian epinefrinnya ditunda beberapa jam sejak
awitan gejala anafilaksis meninggal.12
Injeksi intramuskuler cepat (di sisi lateral paha) penting untuk keluaran
(outcome) yang berhasil. Dosis awal dapat diulangi setiap 5-10 menit sesuai
kebutuhan kecuali terjadi takikardia atau hipertensi. Karena dapat berbahaya dan
dapat menginduksi iskemia, infark miokard, atau aritmia maka pemberian epinefrin
melalui intravena sebaiknya dicadangkan bagi pasien dengan hipotensi berat disertai
kolaps sirkulasi yang mengancam nyawa. Pada kondisi demikian, epinefrin dapat
diberikan dengan infus lambat (1-10 mL diencerkan menjadi 1/10.000 diberikan habis
dalam 10 menit) dengan monitoring jantung secara ketat, lebih dipilih dilakukan di
cardiac care unit.12
Pemberian antihistamin H1 seperti difenhidramin 25-50 mg atau
klorfeniramin 10 mg intravena dapat bermanfaat. Meskipun belum didokumentasikan
sebagai berguna, pemberian tambahan antagonis H2 tampaknya diperlukan karena
hipotensi dan aritmia jantung sepertinya merupakan dampak sekunder yang
diperantarai baik oleh reseptor histamin H1 dan H2.12
Pemberian terapi agonis ß (albuterol) melalui nebulisasi sebaiknya segera
diberikan jika menemui episode serangan asma akut yang berhubungan dengan
anafilaksis.12
Hidrokortison, 0.5-1.0 mg/kg injeksi intramuskuler atau intravena dapat
diberikan kepada semua pasien dengan anafilaksis berat untuk mengurangi
munculnya respon berkepanjangan (bifasik). Adsopsi antigen dapat dikurangi dengan
memasang torniquet proksimal dari lokasi suntikan.12
Hipotensi dan syok yang tidak merespon dengan injeksi epinefrin
intramuskuler harus diterapi dengan pemberian cairan intravaskuler dengan kristaloid
atau koloid dikarenakan sangat besarnya vasopermeabilitas akibat kebocoran
postcapillary venule terkait anafilaksis. Hipotensi persisten mungkin memerlukan
pemberian obat ß-adrenergik. Timbulnya bradikardia terkait hipotensi berat harus
membuat dokter waspada akan terjadinya blokade ß-adrenergik. Pemberian glukagon
secara dini untuk mengatasi efek ini selalu direkomendasikan.12
28
3.2.3 Desensitisasi
Pada kondisi jarang, beberapa kondisi medis tertentu tidak berhasil
ditatalaksana menggunakan obat pengganti. Sebagai contoh, belum ada obat
pengganti penisilin yang dapat diterima untuk pasien sifilis yang hamil. Pada kondisi
seperti ini perlu dilakukan desensitisasi obat. Protokol standar telah dirancang untuk
desensitisasi obat penisilin, kotrimoksazol, dapson, sulfasalazin, dan insulin yang,
meskipun berisiko menimbulkan reaksi sistemik ringan, biasanya efektif mencapai
toleransi klinis. Prosedur ini memerlukan informed consent dan pengawasan ketat
oleh dokter. Setting perawatan intensif harus digunakan jika memungkinkan dan obat-
29
dengan baik pada kebanyakan individu dengan sensitivitas terhadap NSAID namun
beberapa kasus urtikaria dan angioedema telah pernah dilaporkan pada penggunaan
obat ini. 12,13,14
Tabel 3 Panduan prapengobatan untuk mencegah reaksi anafilaktoid terhadap radiocontrast media
(RCM) untuk prosedur elektif. Pada situasi darurat, hidrokortison dan difenhidramin diberikan secara
intravena12
Panduan prapengobatan untuk pencegahan reaksi anafilaktoid RCM
Obat (dosis) Rute Instruksi
Prednison (50 mg) Oral atau i.m. Berikan 13, 7, dan 1 jam sebelum prosedur
RCM
Difenhidramin (50 mg) Oral atau i.m. Berikan 1 jam sebelum prosedur RCM
Efedrin sulfat (25 mg)* Oral Berikan 1 jam sebelum prosedur RCM
*Tunda jika ada riwayat penyakit arteri koroner atau aritmia
3.2.4 Pencegahan
Siapapun yang pernah mengalami kejadian anafilaksis harus dirujuk ke dokter
spesialis ahli alergi untuk penentuan penyebab dan advis mengenai tatalaksana dan
tindakan untuk mencegah reaksi anafilaksis di masa depan. Dokter pelayanan primer
harus diberitahu mengenai sensitivitas yang mungkin ada termasuk nasehat dan obat-
obatan yang diberikan ke pasien oleh konsulen alergi. Pasien demikian harus
diedukasi untuk mengenali manifestasi paling awal anafilaksis dan memulai
pemberian obat yang sesuai. Rencana kegawatdaruratan (emergency plan), yang
harus ditulis dalam format yang dapat dimengerti secara mudah dan disesuaikan
untuk pasien per individual, harus dapat mengantisipasi reaksi yang bisa terjadi di
masa akan datang dan tindakan yang sesuai dilakukan untuk membalikkan gejala.
Idealnya, rencana demikian dapat menentukan pilihan pengobatan berdasarkan
beratnya reaksi anafilaktik. Misal, rencana tersebut mungkin perlu menyebutkan
32
manifestasi seperti gejala kulit, derajat sedang dengan sedikit mengi, atau derajat
berat dengan gangguan pernapasan bermakna serta mungkin hipotensi. Rencana
demikian juga mencantumkan instruksi tentang kapan dan bagaimana mencari
pertolongan medis.12,O
Seluruh pasien yang pernah mengalami anafilaksis, yang mungkin akan
kambuh kembali, harus dibekali dengan epinefrin dalam sediaan preloaded syringe
untuk injeksi intramuskuler (misal merk EpiPen, yang tersedia dalam dosis untuk
dewasa dan anak-anak). Pasien harus dilatih sampai mengerti cara memakainya pada
kejadian yang berulang, dan diingatkan bahwa ada tanggal kadaluwarsa yang tercetak
di syringe obat. Edukasi juga harus diberikan kepada teman/kerabat terdekat pasien
atau, pada kasus anak-anak, kepada saudara kandung atau orang tua. Khusus pasien
anak, obat darurat ini harus tersedia bagi petugas terlatih di sekolah sang anak.12,O
Alergi obat adalah salah satu ESO yang dilatarbelakangi oleh mekanisme
imunologis. Prevalensinya berkisar 3.6-7 per 1000 pasien rawat inap dan 1-3% di
masyarakat. Faktor risiko alergi obat seringkali tidak dapat teridentifikasi namun
secara umum dipertimbangkan faktor pasien yang mencakup usia, jenis kelamin,
penyakit komorbid, genetik dan paparan sebelumnya serta faktor obat yang mencakup
sifat obat, reaktivitas silang, derajat paparan dan cara pemberian.
Klasifikasi Gell dan Coombs masih menjadi cara yang mudah, paling valid,
dan logis untuk membedakan reaksi alergi obat menurut sensitivitas imun. Respons
antibodi IgE tidak bersifat menetap selamanya. Kadar antibodi yang menurun dapat
terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun setelah kejadian alergi obat
Dalam mendiagnosis alergi obat ada 4 tulang punggung prosedur pemeriksaan
yaitu anamnesis, tes kulit, pemeriksaan in vitro laboratorium, dan tes challenge.
Anamnesis dan tes kulit tetap menjadi inti pemeriksaan diagnosis dengan tes
provokasi sebagai Gold standard diagnosis alergi obat. Beberapa pemeriksaan in
vitro antara lain pengukuran mediator, pengukuran kadar IgE spesifik alergen, flow
cytometry–based basophil activation assays, dan lymphocyte transformation test.
Namun, beberapa tes ini masih perlu dievaluasi secara cukup untuk bisa
direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar.
Tindakan pencegahan reaksi alergi obat adalah penting. Cara efektif untuk
mencegah atau mengurangi reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya jika ada
indikasi serta dengan penyuluhan. Di samping kewaspadaan pengenalan tanda dini
reaksi anafilaktik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk
menanggulangi keadaan darurat alergik. Pada pasien dengan riwayat alergi obat atau
dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh
maka dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
36
11. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guidelines for the
management of drug allergy. In: Clinical and Experimental Allergy. Blackwell
Publishing Ltd. 2009;39: 43-61.
12. Adkinson NF, Friedmann PS, Pongracic JA. Drug Allergy. In: Holgate ST,
Church MK, Lichtenstein LM. Allergy, 3rd ed. United Kingdom, Elsevier
2007. 157-178.
13. Scherer K, Brockow K, Aberer W, et al. Desensitization in delayed drug
hypersensitivity reactions – an EAACI position paper of the Drug Allergy
Interest Group. Allergy 2013; 68: 844–852.
14. Scherer K, Brockow K, Aberer W, et al. Skin test concentrations for
systemically administered drugs – an ENDA/EAACI Drug Allergy Interest
Group position paper. Allergy 2013; 68: 702–712.
15. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug Allergy. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology 2011, 7(Suppl 1):S10.