Anda di halaman 1dari 41

Tinjauan Pustaka 1

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


ALERGI OBAT

Hari Prapto Suharto

Pembimbing
Dr. Nova Kurniati, SpPD, K-AI, FINASIM

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM FK UNSRI/RSMH
PALEMBANG
2016
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iii

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iv

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II REAKSI ALERGI OBAT ....................................................................... 3

2.1 Definisi .............................................................................................. 3

2.2 Faktor risiko ...................................................................................... 5

2.3 Klasifikasi ......................................................................................... 8

2.4 Patogenesis alergi obat ...................................................................... 13

BAB III DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN ALERGI OBAT ............. 15

3.1 Diagnosis .......................................................................................... 15

3.2 Penatalaksanaan ................................................................................ 25

BAB IV RINGKASAN ......................................................................................... 34

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 35

ii
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Klasifikasi respon alergi obat menurut Gell dan Coombs ........................... 8

Tabel 2. Obat-obat alergenik yang sering dipakai ..................................................... 18

Tabel 3. Obat-obatan dimana tes intradermal berguna untuk evaluasi alergi ............ 20

Tabel 4. Nilai prediktif tes kulit penisilin .................................................................. 21

Tabel 5. Tes untuk alergi obat .................................................................................... 22

Tabel 6. Protokol test dosing dengan anestesi local................................................... 23

Tabel 7. Tatalaksana akut anafilaksis pada pasien dewasa ........................................ 26

Tabel 1. Panduan rekomendasi untuk desensitisasi penisilin pada pasien alergi ....... 30

Tabel 9. Panduan prapengobatan untuk mencegah reaksi anafilaktoid terhadap


radiocontrast media (RCM) ........................................................................ 31

Tabel 10. Challenge aspirin oral ................................................................................ 31

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Faktor risiko alergi obat ........................................................................... 7

Gambar 2. Reaksi urtikaria dan angioedema akibat penisilin .................................... 9

Gambar 3. Pemphigus foliaceus imbas Penicillamine ............................................... 11

Gambar 4. Ruam vaskulitis yang diinduksi obat hipoglikemik oral. Salah satu contoh
reaksi tipe III.............................................................................................. 12

Gambar 5. Eritema multiforme disertai nekrolisis epidermal akibat antikonvulsan . 13

Gambar 6. Algoritme tatalaksana suspek reaksi simpang obat .................................. 21

Gambar 7 Epinefrin dalam sediaan syringe siap suntik ............................................. 32

iv
DAFTAR SINGKATAN

ACE : Angiotensin converting enzyme


ADEs : Adverse drug events
APC : Antigen presenting cell
BAT : Basophil activation test
CAST : Cellular allergen stimulation test
COX-1 : Cyclooxygenase
DHRs : Drug Hypersensitivity Reactions
EAACI : European Academy of Allergy and Clinical Immunology
ENDA : European Network on Drug Allergy
ESO : Efek Samping Obat
FACS : Fluorescence activated cell sorter
HIV : Human Immunodefficiency Virus
HLA : Human Leukocyte Antigen
IFN : Interferon
IL : Interleukine
KTD : Kejadian tidak diharapkan
MHC : Major histocompatibility complex
NET : Nekrolisis epidermal toksik
NMBA : Neuromuscular Blocking Agent
NSAID : Non-steroid anti-inflammatory drug
SSJ : Sindrom Steven Johnson
TNF-ɑ : Tumor necrosing factor - ɑ
WAO : World Allergy Organization

v
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah utama yang dihadapi dan akan senantiasa ada dalam setiap
pemberian obat adalah efek samping obat (ESO). Efek ini, yang juga dikenal dengan
nama ‘reaksi simpang obat’ (adverse drug reaction), merupakan respon terhadap obat
yang berbahaya dan tidak diharapkan pada pemberian obat yang terjadi pada dosis
yang biasa digunakan pada manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi
penyakit atau untuk memodifikasi fungsi fisiologis. Perkembangan yang pesat dalam
penemuan, penelitian dan produksi obat untuk keperluan diagnosis, pengobatan,
maupun pencegahan secara tidak langsung akan menambah angka kejadian ESO.1,2,3
ESO secara umum dibagi menjadi reaksi yang dapat diprediksi (predictable)
dan tidak dapat diprediksi (unpredictable). Kejadian ESO yang dapat diprediksi
mencapai hampir 80% dari seluruh efek samping. Meskipun jumlahnya lebih banyak
tetapi kondisi demikian semestinya dapat diantisipasi berlandaskan kerja
farmakologis obat. Karena sifatnya bergantung pada dosis maka reaksi akan membaik
jika dosis obatnya diturunkan atau dihentikan. Berbeda dari yang predictable,
sebanyak 20% ESO tidak dapat diperkirakan akan muncul sebelum obat diberikan,
tidak bergantung dosis, dan meskipun biasanya membaik jika obat dihentikan namun
reaksi terkadang tetap berjalan.4,5,6
Reaksi alergi obat, mencakup 6-10% dari ESO, termasuk dalam kelompok
efek samping yang unpredictable. Suatu ESO baru dikatakan sebagai reaksi alergi
obat apabila didapati ada mekanisme imunologis yang melatarbelakanginya.
Mekanisme diperantarai imun ini sulit ditentukan secara jelas dengan hanya
bermodalkan anamnesis dan tanpa pemeriksaan penunjang lanjutan. Manifestasi kulit
menjadi manifestasi tersering namun masih banyak gambaran klinis alergi obat yang
perlu diketahui, berkisar dari gejala ringan sampai berat bahkan kematian apabila
tidak mendapat pertolongan segera.2,7

1
2

Insiden sesungguhnya alergi obat tidak diketahui. Mayoritas penelitian


epidemiologis yang tersedia saat ini lebih menekankan pada ESO daripada alergi
obat. Penelitian di Perancis tahun 2003 menyebutkan prevalensi reaksi alergi kulit
sebesar 3.6 per 1000 pasien rawat inap sedangkan prevalensi di Mexico tahun 2006
lebih tinggi dengan angka 7 per 1000 pasien rawat inap. Insiden di luar rumah sakit
lebih kecil lagi dengan kisaran 1-3% dikarenakan kasus-kasus demikian tidak
dilaporkan jika sifatnya ringan. Angka ini bisa menjadi lebih kecil lagi mengingat
idiosinkrasi dan intoleransi obat sering dilaporkan sebagai alergi obat.1,2,7
Alergi obat adalah hal yang harus dipahami seorang dokter. Akibat yang
ditimbulkannya selain mempengaruhi kualitas hidup, tidak jarang berakhir dengan
kecacatan, kematian dan terkadang membuat dokter berurusan dengan aspek
medikolegal. Diagnosis yang salah berdasarkan riwayat semata dapat mempersempit
pilihan obat yang akan diberikan bahkan pemilihan obat yang lebih mahal atau
potensinya kurang. Satu kasus alergi obat dapat memunculkan konsep pemikiran
yang salah bahwa pasien yang alergi satu jenis obat akan alergi juga dengan seluruh
obat.2 Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai alergi obat terutama dari segi
diagnosis dan tatalaksana. Semoga tinjauan pustaka ini dapat menambah wawasan
kita mengenai alergi obat sehingga dapat diterapkan dalam praktek sehari-hari.
BAB II
REAKSI ALERGI OBAT

2.1 Definisi
WHO mendefinisikan ESO sebagai ‘respon terhadap satu obat yang
merugikan dan tidak diinginkan dan terjadi pada dosis yang biasanya digunakan pada
manusia untuk pencegahan, diagnosis, atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi
fungsi fisiologis. ESO berbeda dengan ‘kejadian tidak diinginkan/KTD’ (adverse
drug events, ADEs) yang merupakan reaksi disebabkan peresepan yang salah
(misprescription) atau salah penggunaan (misuse) yang tidak diinginkan. KTD juga
mencakup kerugian yang berhubungan dengan kesalahan pengobatan (medication
error) dan interaksi obat/makanan.3,5,6
ESO secara umum dibagi menjadi predictable/dapat diduga (tipe A) dan
unpredictable/tidak dapat diduga (tipe B). ESO yang dapat diduga biasanya
bergantung dosis, berhubungan dengan kerja farmakologis obat yang diketahui, dan
terjadi pada individu yang sehat. ESO yang tidak dapat diduga umumnya tidak
bergantung dosis, tidak berhubungan dengan kerja farmakologis obat, dan terjadi
pada individu yang rentan. Reaksi yang tidak dapat diduga ini dibagi lagi lebih jauh
menjadi 4 kelompok yaitu intoleransi obat, idiosinkrasi obat, reaksi pseudoalergi, dan
alergi obat. Tiga kategori yang disebut di awal merupakan sensitivitas obat non-imun.
Intoleransi obat adalah efek farmakologis tidak diharapkan yang dapat muncul pada
dosis biasa atau rendah tanpa latar abnormalitas metabolisme, ekskresi, atau
bioavailabilitas obat. Mekanisme imun humoral atau seluler tidak terlibat disini.
Contoh kasus yaitu tinnitus imbas–aspirin pada dosis rendah. Idiosinkrasi obat adalah
efek tidak normal dan tidak diharapkan yang tidak berhubungan dengan kerja
farmakologis yang diinginkan dari suatu obat dengan mekanisme yang tidak
diketahui. Serupa dengan intoleransi obat, kondisi ini juga tidak diperantarai respon
imun humoral atau seluler tetapi dapat dicetuskan kembali dengan cara pemberian

3
4

ulang obat yang bersangkutan. Contoh kasus yaitu demam obat imbas-quinidin).
Reaksi pseudoalergi (anafilaktoid) adalah reaksi sistemik cepat/segera yang
menyerupai anafilaksis tetapi disebabkan lepasnya mediator dari sel mast dan basofil
tanpa diperantarai IgE (non-IgE-mediated).4,6
Istilah alergi pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 yang
berasal dari ‘alol’ (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang dewasa.8
Referensi lain menyebutkan alergi berasal dari kata ‘allos’ yang dalam bahasa Yunani
berarti ‘lain’ dan ‘ergon’ yang berarti kerja, tugas, tujuan (atau ‘ergein’, bekerja).
World Allergy Organization (WAO) mendefinisikan ‘alergi’ sebagai ‘suatu reaksi
hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis yang spesifik’. Untuk
terminologi alergi obat, Joint Task Force on Practice Parameters pada tahun 2010
mengajukan batasan alergi obat sebagai ‘respon yang diperantarai secara imunologis
terhadap bahan obat (pharmaceutical) dan/atau formulasi (eksipien) obat pada
seseorang yang sudah tersensitisasi.’4 Batasan lain dan lebih terbaru dikeluarkan oleh
International Consensus on drug allergy di tahun 2014 yang menggunakan
terminologi drug hypersensitivity reactions (DHRs)/reaksi hipersensitivitas obat
untuk menjelaskan efek samping dari formulasi obat (termasuk bahan aktif dan
eksipiennya) yang secara klinis menyerupai alergi. Terminologi alergi obat baru bisa
dipakai hanya jika sudah dibuktikan ada mekanisme imunologis yang jelas (baik
ditemukan antibodi spesifik obat ataupun sel T). Demi kepentingan komunikasi umum,
apabila ada kecurigaan telah terjadi suatu reaksi alergi obat maka sebaiknya dipakai
istilah DHR sampai dapat dibuktikan adanya mekanisme imunologis. Hal ini disebabkan
alergi obat sebenarnya dan DHR non-alergi sulit dibedakan semata berdasarkan
gambaran klinis khususnya kasus DHR yang berat dan akut.9 Pada makalah ini
selanjutnya akan digunakan istilah alergi obat.
Sesuai dengan definisi alergi yang memiliki dasar imun, reaksi alergi terhadap
obat diperantarai oleh antibodi atau sel sistem imun. Sehingga, reaksi cepat tipe I
diperantarai antibodi IgE dan reaksi lambat tipe IV diperantarai sel T terhadap obat
adalah alergi obat yang sesungguhnya. Reaksi tipe II sitotoksik diperantarai antibodi
5

(umumnya IgG dan IgM) dengan keterlibatan komplemen terhadap obat serta reaksi
tipe III diperantarai kompleks imun dengan antibodi terutama kelas IgG terhadap obat
dianggap sebagai hipersensitivitas obat murni. Sedangkan untuk reaksi terhadap obat
tanpa dapat diidentifikasi adanya perantara imun seperti pada kasus non-steroid
antiinflammatory drug (NSAID) dan media radio kontras/radio-contrast media
(RCM) serta pada obat pelepas histamin langsung seperti opioid dan muscle
relaxant/neuromuscular blocking agent (NMBA), maka respon demikian dipandang
sebagai sensitivitas atau intoleransi, bukan sebagai hipersensitivitas sehingga bukan
merupakan respon alergi murni.6

2.2 Faktor Risiko


Faktor risiko untuk kebanyakan pasien dan untuk kebanyakan obat tidak
selalu dapat teridentifikasi. Pada kebanyakan kasus, dipertimbangkan beberapa faktor
risiko yang berhubungan dengan pasien dan obat (Gambar 1). Reaksi hipersensitivitas
agaknya kurang sering terjadi pada anak-anak dibandingkan orang dewasa dan pada
beberapa survei juga kurang sering terjadi pada usia lanjut. Data epidemiologis
sepertinya menunjukkan bahwa jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko
ESO khususnya reaksi kulit, akan tetapi beberapa survei yang lain membantah hali
ini. Asma berhubungan dengan peningkatan risiko alergi obat tetapi klaim bahwa
hipersensitivitas lebih sering terjadi pada lupus eritematosus sistemik masih belum
dikonfirmasi. Beberapa obat khususnya ß-laktam seperti ampisilin dan amoksisilin
dan khususnya pada anak-anak, memperlihatkan hubungan sementara antara paparan
obat dan timbul ruam. Namun, pada kebanyakan kasus, reaksi demikian sepertinya
dihasilkan oleh agen infeksi (misal pada mononukleosis infeksiosa) atau oleh
interaksi antara obat dan agen infeksius. Respon demikian tampaknya tidak
diperantarai secara imunologis. Peningkatan risiko reaksi juga terlihat pada pasien
yang terinfeksi virus herpes dan HIV, contoh yang baik yaitu reaksi terhadap
kotrimoksazol, abacavir, atau nevirapine pada pasien terinfeksi HIV. Pasien atopi
tidak memperlihatkan tingkat sensitisasi yang lebih tinggi terhadap obat tetapi sekali
6

reaksi terjadi, pasien ini berisiko tinggi mengalami reaksi berat dan kondisi demikian
juga berlaku untuk pasien asma yang tidak terkontrol dan pasien alergi makanan.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa genetik dan etnisitas memiliki nilai
penting pada beberapa alergi obat tetapi situasi ini tentunya sangatlah rumit
ditentukan mengingat keterlibatan banyak gen serta faktor lingkungan. Penelitian
untuk mencari hubungan antara alergi obat dan human leukocyte antigen (HLA) dan
major histocompatibility complex (MHC) pada kromosom 6 masih menjadi ladang
penelitian aktif. Terpisah dari hubungan HLA dengan alergi obat, beberapa hubungan
genetik telah dilaporkan untuk kasus:5,6
• Alergi penisilin diperantarai IgE: E237G varian gen FcɛR1ß, polimorfisme IL-
4RɑQ576R, dan polimorfisme IL-4 II-13-SNP pada orang Cina.
• Reaksi alergi cepat terhadap ß-laktam: II-13 (R130Q dan -1055C > T variant) dan
polimorfisme IL-4RA (150V, S478P dan Q551R variant) pada orang Italia.
• Hepatitis imbas obat antituberkulosis: CYP2E1 pada orang Cina (tetapi tidak pada
orang Korea dan Inggris), NAT2 (N-acetyltransferase) pada orang Korea dan
genotipe GST (glutathione S-transferase) pada orang Kaukasia.
Seperti yang sering ditemukan pada respon imun, paparan obat sebelumnya
dapat menginduksi sensitivitas yang semakin bertambah. Namun, ada banyak contoh
reaksi yang terjadi pada paparan pertama kali seperti yang dijumpai pada reaksi
terhadap kotrimoksazol, quinolon, muscle relaxant, media kontras, dan sebagainya.6
Ketika memeriksa risiko terkait obat, sifat obat itu sendiri harus menjadi
pertimbangan pertama. Sifat kimiawi obat yang berhubungan khususnya berat
molekul, kompleksitas struktur, dan reaktivitas kimiawi. Reaktivitas protein suatu
kandungan obat menjadi perhatian khusus dan obat-obat yang sendirinya merupakan
protein seperti insulin, vaksin, antibodi monoklonal, interferon, etanercept,
streptokinase, dan obat antikanker L-asparginase memiliki potensi sebagai imunogen
dan alergen.6
7

FAKTOR RISIKO
ALERGI OBAT

TERKAIT PASIEN TERKAIT OBAT

Jenis Penyakit Faktor Paparan Sifat sensitivitas/ Derajat Cara


Usia
kelamin penyerta genetik terdahulu obat reaktivitas paparan pemberian
silang

Gambar 1 Faktor risiko alergi obat6

Dosis obat, durasi dan frekuensi pemberian obat dapat mempengaruhi risiko
reaksi. Dosis tinggi dan pemberian jangka lama memberi risiko lebih tinggi terjadinya
alergi obat. Cara pemberian suatu obat dapat memiliki efek bermakna terkait reaksi
alergi obat sebagaimana dicontohkan dengan tingginya kejadian anafilaksis terhadap
obat tertentu jika diberikan secara intravena. Pemberian intramuskuler juga
memberikan risiko lebih tinggi dibandingkan injeksi subkutis. Cara pemberian per
oral adalah yang paling aman dibanding cara yang lain. Namun, sensitisasi dan reaksi
yang berat masih dapat terjadi pada pemberian per oral. Pemberian secara topikal
berhubungan dengan kejadian sensitisasi yang tinggi dan sebaiknya dihindari untuk
beberapa obat seperti antibiotik kloramfenikol, penisilin, dan neomisin serta
sulfonamid. Yang terakhir, reaktivitas silang umumnya memiliki dasar struktural dan
tidaklah bijak meresepkan obat atau mengganti obat tanpa disertai setidaknya
pengetahuan dasar mengenai struktur kimia obat. Ini khususnya penting untuk obat-
obatan neuromuscular blocking agent (NMBA), ß-laktam, sulfonamid, dan pirazolon
dimana ada kemiripan atau pengelompokan struktural yang identik telah
disangkutkan sebagai penentu alergenik. Sensitisasi silang juga penting tidak hanya
dari dasar imunokimia tetapi juga dari kerja farmakologis obat seperti contohnya
NSAID dimana obat-obat yang berbeda secara struktur seperti aspirin dan oxicam
8

memprovokasi sensitivitas terhadap COX-1 inhibitor meskipun struktur kimianya


berbeda secara bermakna.6

2.3 Klasifikasi
Beberapa reaksi alergi obat dapat diklasifikasikan dengan klasifikasi Gell-
Coombs (Tabel 1) untuk hipersensitivitas sementara beberapa reaksi tidak dapat
diklasifikasikan dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai imunopatogenesisnya
atau mekanismenya bercampur. Reaksi alergi obat juga dapat diklasifikasikan
menurut sistem organ dominan yang terlibat (misal kulit, ginjal, hati) atau menurut
hubungan sementara dengan onset gejala (cepat/segera, akselerasi, dan lambat). Dari
sudut klinis, metode paling praktis untuk mengklasifikasikan reaksi obat yaitu
berdasarkan predileksi untuk berbagai jaringan dan sistem organ. Namun, dengan
kategori berdasarkan mekanisme, klasifikasi Gell dan Coombs masih menjadi cara
yang mudah, paling valid, dan paling logis untuk membedakan sensitivitas imun
pejamu.4,6,8, 12

Tabel 1 Klasifikasi respon alergi obat menurut Gell dan Coombs12

Tipe Mekanisme Manifestasi


I IgE-dependent Anafilaksis, urtikaria
II Antigen permukaan sel – sitotoksisitas Sitopenia, kerusakan sel lain
III Deposisi kompleks imun Vaskulitis, nefritis, demam obat
IV Hipersensitivitas tipe lambat Dermatitis atau hepatitis

2.3.1 Hipersensitivitas tipe I


Reaksi tipe I merupakan hasil suatu respons antibodi IgE yang menginduksi
reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Setelah satu periode sensitisasi, pada paparan
berikutnya dari obat maka kompleks antigen-hapten multivalen akan berikatan silang
9

dengan sel mast dan basofil dan menyebabkan lepasnya mediator yang sudah
dibentuk/preformed (seperti histamin) serta produksi mediator yang baru
dibentuk/newly generated (seperti leukotrien). Anafilaksis sistemik, angioedema,
bronkospasme, atau urtikaria akibat alergen penisilin adalah bentuk-bentuk respon
yang paling baik dipahami dalam kategori ini (Gambar 2).8,12

Gambar 2 Reaksi urtikaria dan angioedema akibat penisilin, contoh dari reaksi tipe I

Reaksi tipe I, yang juga dikenal dengan reaksi cepat, reaksi anafilaksis, atau
reaksi alergi, muncul segera sesudah tubuh terpapar alergen. Reaksi tipe I fase cepat
biasanya muncul dalam 30-60 menit sejak paparan tetapi bisa lebih cepat lagi
(hitungan beberapa menit) seperti pada kasus anafilaksis dengan puncaknya terjadi
dalam 10-15 menit. Pada beberapa kasus, awitan bisa lebih lambat berkisar 3-4 jam
sejak paparan alergen. Reaksi tipe I fase lambat ini umumnya memuncak pada
kisaran 6-12 jam dan mereda dalam waktu 24 jam. Reaksi cepat dapat mengenai satu
organ tunggal seperti kulit (urtika, eczema), mata (konjungtivitis), nasofaring (rhinitis
10

alergi), mukosa mulut/tenggorokan/lidah (angioedema), jaringan bronkopulmoner


(asma), dan traktus gastrointestinal (gastroenteritis) atau mengenai banyak organ
(anafilaksis) dan menyebabkan gejala berkisar dari gatal dan inflamasi ringan sampai
kematian.6
Obat-obat yang dikenal menyebabkan reaksi alergi tipe I yaitu penisilin,
sefalosporin, quinolon, klorheksidin, NMBA, beberapa NSAID seperti pyrazolone
(metamizole, metampyrone), trimethoprim, sulfamethoxazole, proton pump
inhibitors, heparin, insulin, L-asparginase, etanercept, dan chimeric human-animal
monoclonal antibodies.6

2.3.2 Hipersensitivitas tipe II


Reaksi tipe II diperantarai oleh IgG atau mungkin IgM yang diarahkan pada
antigen permukaan sel yang sudah dimodifikasi obat yang mencetuskan sitotoksisitas
diperantarai komplemen. Respon demikian menyebabkan sitopenia, seperti anemia
hemolitik dengan Coomb tes positif dimana obat atau metabolitnya berikatan dengan
membran sel darah merah. Antibodi, yang diarahkan pada obat atau antigen membran
sel yang mengalami perubahan, akan berikatan dengan targetnya yang menimbulkan
fiksasi komplemen dan kemudian lisis dari sel. Reaksi serupa dapat terjadi pada
banyak jaringan termasuk kulit (gambar 3). Pilihan lain yaitu terbentuknya kompleks
imun obat-antibodi yang menempel ke membran sel yang kemudian memfiksasi
komplemen dan kembali menimbulkan lisis dari sel. Anemia hemolitik imbas obat
dengan keterlibatan antibodi IgG dan sitotoksisitas diperantarai komplemen (atau
autoantibodi) dapat terjadi setelah pengobatan dengan penisilin, quinidin, metildopa,
dan beberapa sefalosporin. Beberapa dokumentasi menyebut adanya kompleks imun
teradsorpsi di membran trombosit pada kasus trombosiopenia imbas obat akibat
quinin, quinidin, propiltiourasil, asetaminofen, vankomisin, dan sulfonamid.6,8,12
11

Gambar 3 Pemphigus foliaceus imbas Penicillamine, salah satu contoh reaksi tipe II12

2.3.3 Hipersensitivitas tipe III


Reaksi tipe III terjadi melalui pembentukan kompleks imun larut antara
antigen dan antibodi yang kebanyakan berasal dari kelas IgG. Deposisi kompleks
imun di jaringan menimbulkan reaksi jaringan yang diawali aktivasi komplemen yang
melepas anafilatoksin (C3a-C5a) dan kemudian menyebabkan degranulasi sel
mast/basofil, kemotaksis leukosit, dan inflamasi akibat influks sel. Ukuran kompleks
imun menentukan lokasi deposisinya di jaringan dan cedera imun yang terjadi
selanjutnya. Deposisi kompleks imun lebih mudah terjadi di tempat-tempat dengan
tekanan darah yang meninggi disertai turbulensi misalnya di kapiler glomerulus,
bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid, dan korpus silier mata. Setelah paparan,
reaksi bisa muncul dalam kisaran waktu 3-10 jam terhadap antigen yang bisa endogen
(seperti pada deposit komplemen/DNA/anti-DNA di ginjal pasien lupus eritematosus
sistemik) atau yang lebih sering eksogen. Contoh klasik reaksi ini yaitu serum
sickness yang mengenai kulit, sendi, dan sistem limfoid, meskipun demam obat (drug
fever) juga sering dijumpai. Contoh ruam vaskulitis dari reaksi tipe III diperlihatkan
di gambar 4. Vaskulitis hipersensitivitas juga dapat diimbas oleh obat seperti ß-
laktam, kotrimoksazol, NSAID, dan beberapa antibodi monoklonal.6,12
12

Gambar 4 Ruam vaskulitis yang diinduksi obat hipoglikemik oral. Ini adalah satu contoh reaksi tipe
III dan lebih sering mengenai tungkai.12

Contoh lain reaksi tipe III akibat obat antara lain erythema nodosum leprosum
pada kulit pasien lepra yang minum obat dapson, reaksi Jarisch-Herxheimer pada
pasien sifilis yang diobati dengan penisilin, dan serum sickness-like reaction yang
disebabkan obat-obat seperti penisilin, sefalosporin, sulfonamid, ciprofloxacin,
tetrasiklin, NSAID, carbamazepin, fenitoin, allopurinol, propranolol, griseofulvin,
captopril, barbiturat, dan antibodi monoklonal.6,8

2.3.4 Hipersensitivitas tipe IV


Reaksi tipe IV, juga dikenal dengan nama hipersensitivitas tipe lambat
(delayed-type hypersensitivity), diperantarai sel melalui respon sel T spesifik terhadap
antigen obat. Istilah “delayed” (lambat/tertunda) merujuk kepada respon seluler yang
umumnya baru kelihatan jelas 48-72 jam sejak paparan antigen. Reaksi ini dapat
berbentuk baik sebagai dermatitis kontak akibat obat oles atau sebagai salah satu dari
berbagai pola reaksi paparan obat sistemik. Pada sensitisasi kontak, obat membentuk
satu hapten dan bergabung dengan protein diri (self protein) membentuk kompleks
antigenik. Sel Langerhans menginternalisasi kompleks tersebut dan berpindah
melalui saluran limfe menuju kelenjar getah bening regional dimana ‘antigen’
dipresentasikan ke sel limfosit T. Setelah perbanyakan klon sel T, sel T mengalami
pendistribusian di kulit. Sekali paparan ulang dengan antigen terjadi maka sel T akan
diaktivasikan dan menimbulkan lepasnya sitokin dan rekrutmen sel mononuklear,
13

pembentukan vesikel, dan edema. Paparan obat sistemik dapat menimbulkan erupsi
kulit makulopapuler, ekzema atau dermatosis eksfoliativa atau erythema multiforme
baik disertai maupun tanpa keterlibatan mukosa (sindrom Stevens-Johnson/SSJ)
(gambar 5) atau nekrolisis epidermal toksik (TEN).6,8,12

Gambar 5 Eritema multiforme disertai nekrolisis epidermal akibat antikonvulsan. Reaksi ini
merupakan contoh reaksi tipe IV.12

Reaksi hipersensitivitas lambat terhadap obat biasanya dimulai dari kisaran 7-


21 hari pascapaparan obat. Reaksi berikutnya dapat muncul 1-2 hari sejak paparan
ulang. Identifikasi dan spesifisitas obat penyebab ditegakkan dari penelitian challenge
oral, tes tempel, dan tes intradermal yang dibaca setelah penundaan waktu selama 48
jam.6

2.4 Patogenesis alergi obat


Beberapa obat, seperti insulin, adalah protein molekul besar yang mampu
mencetuskan respon imun dengan sendirinya. Antigen ‘komplit’ ini dikenali sebagai
benda asing dan diambil dan diproses oleh antigen-presenting cell (APC). Namun,
kebanyakan obat, adalah molekul kecil yang tidak dikenali secara langsung oleh
sistem imun. Agar bisa menjadi imunogenik maka obat-obat demikian atau metabolit
reaktifnya mula-mula harus mengalami proses haptenisasi melalui pengikatan secara
kovalen dengan pembawa (carrier) bermolekul besar yaitu biasanya protein serum
atau protein permukaan sel. Kompleks hapten-carrier yang terbentuk bersifat
14

multivalen dan relatif alergenik, mampu menimbulkan respon humoral atau seluler
atau bahkan keduanya. Anafilaksis bersifat IgE dependent sedangkan banyak reaksi
kulit diperantarai limfosit. Respon imun dapat diarahkan untuk melawan berbagai
epitop termasuk obat (hapten), kompleks hapten-carrier (neoantigen), atau protein
carrier (self antigen). Protein-protein lain seperti enzim hati juga dapat berfungsi
sebagai carrier bagi hapten obat. Sebagai contoh, reaksi hipersensitivitas terhadap
antikonvulsan tampaknya muncul melalui antibodi yang diarahkan melawan epitop
obat yang antigenik baru dan berikatan kovalen dengan protein sitokrom P450.12
BAB III
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN

3.1 Diagnosis
Dalam mendiagnosis alergi obat, ada 4 tulang punggung prosedur
pemeriksaan yaitu anamnesis riwayat pasien, tes kulit, beberapa pemeriksaan in vitro
laboratorium, dan tes challenge. Berhasilnya diagnosis alergi obat dapat sulit
dilakukan karena masing-masing pilar ini memiliki keterbatasan dan kelemahan.
Riwayat pasien biasanya diperoleh dari uraian atau ingatan pasien yang kurang
memadai karena mengkonsumsi obat yang berbeda-beda dalam waktu bersamaan,
zat/bahan untuk tes kulit tidak selalu ideal dan biasanya tidak terstandarisasi,
pemeriksaan labor yang sesuai tidak selalu tersedia dan tidak cukup sensitif untuk
menguji reaksi yang berbasis imun diperantarai humoral atau sel; serta tes challenge
obat memiliki risiko bahaya dilakukan pada beberapa pasien dan tidak selalu cukup
sensitif. Meskipun demikian, diagnosis yang akurat biasanya dapat dicapai dengan
menerapkan lebih dari satu pilar pemeriksaan dasar ini dan terkadang dengan
melakukan pemeriksaan penunjang yang lebih terspesialisasi. Pemeriksaan penunjang
diagnostik pada dasarnya dibedakan menjadi in vitro dan in vivo.6,115 Algoritme untuk
tatalaksana suatu ESO diperlihatkan di gambar 6.

3.1.1 Evaluasi klinis


3.1.1.1 Anamnesis
Dalam menilai satu kasus alergi obat, riwayat klinis pasien adalah bagian
terpenting dari proses diagnostik. Informasi-informasi di bawah ini perlu ditanyakan
untuk mendapatkan jawaban yang akan membantu diagnosis, pemilihan langkah yang
diperlukan untuk pengobatan segera, dan perancangan strategi pencegahan untuk
masa yang akan datang.6

15
16

Reaksi simpang obat

Penyebab cenderung non-imun Penyebab kemungkinan imunologis

Tidak-cepat, Cepat,
1. Obat alternatif ATAU
menyerupai T cell mediated menyerupai IgE mediated
2. Kurangi dosis ATAU
3. Challenge ATAU
4. Desensitisasi (pada kasus Pertimbangkan
terpilih) Tes tempel / obat bereaksi Tes tusuk +/-
tes intradermal lambat silang Tes intradermal

Negatif Positif Positif Negatif

Pertimbang Obat Obat


Challenge
kan alternatif alternatif
obat
challenge tersedia tidak ada

Pertimbangkan challenge Pertimbangkan challenge untuk


dengan obat alternatif jika memastikan diagnosis atau
sesuai desensitisasi jika sesuai

Gambar 6 Algoritme tatalaksana suspek reaksi simpang obat11

1. Daftar seluruh obat pasien yang sedang maupun sudah dipakai termasuk obat
yang dibeli sendiri tanpa resep dokter.
2. Berapa banyak jumlah obat yang sudah atau sedang dipakai dan sudah berapa
lama?
3. Obat mana yang menjadi tersangka utama yang menimbulkan reaksi dan apa
alasannya?
4. Kapan reaksi muncul dan berapa lama ia berlangsung?
17

5. Apa urutan kejadian/peristiwa sesaat yang terjadi di antara awal mula


pemakaian obat dan onset gejala?
6. Apakah reaksi terjadi pada paparan pertama suatu obat?
7. Apa manifestasi reaksinya? Misal, jika ada suatu reaksi kulit, jabarkan secara
rinci. Apakah ada pembengkakan, tersedak, sesak, atau gatal? Buat satu daftar
yang berisi seluruh gejala tersebut.
8. Apakah pasien belakangan ini menjalani prosedur/tindakan medis atau dokter
gigi seperti operasi besar atau kecil, pemeriksaan radiografi, imunisasi, atau
tambal atau cabut gigi?
9. Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami reaksi terhadap obat yang
dicurigai atau terhadap obat mana saja dan adakah riwayat alergi obat
sebelumnya?
10. Apakah pasien menderita atopi dan adakah riwayat alergi obat atau alergi
secara umum dalam keluarga?
11. Apakah pasien sedang atau baru saja mengalami penyakit infeksi viral?
12. Apakah pasien memiliki penyakit lain khususnya asma, cystic fibrosis,
diabetes, dan sebagainya?
13. Pertanyaan mengenai lingkungan rumah, hewan peliharaan, hobi, dan
sebagainya.
Pertanyaan poin nomor 4 dan 5 memberikan informasi penting yang
membantu menentukan mekanisme reaksi yang terjadi. Reaksi diperantarai IgE yang
segera dapat berbentuk ruam sederhana sampai anafilaksis yang umumnya muncul
dalam hitungan beberapa menit sampai 1 jam pascapemakaian obat. Reaksi yang
lambat atau tertunda dapat terjadi dari kisaran lebih dari 1 jam sampai beberapa hari
pascapemakaian obat. Reaksinya dapat berupa ruam makulopapuler, fixed drug
eruption, dan eksantem yang mengesankan mekanisme diperantarai sel T yang
spesifik obat. Pertanyaan poin nomor 7 akan sangat informatif jika dibarengi dengan
deskripsi gejala yang baik atau melihat langsung lesi atau foto dari manifestasi klinis
dari reaksi obat. Gejala-gejala yang berasal dari aktivasi sel mast seperti anafilaksis,
18

bronkospasme, angioedema, dan urtikaria menunjukkan mekanisme imun


diperantarai antibodi IgE. Namun perlu dicatat bahwa beberapa obat, seperti
vankomisin dan media radio kontras/radiocontrast media (RCM), dapat
menimbulkan efek langsung non-imun pada sel mast.6 Pengetahuan tentang
kemungkinan sensitisasi dari obat yang sering digunakan akan sangat membantu
dalam diagnosis (Tabel 2).12
Kesulitan mengidentifikasi obat penyebab dan urutan kejadian sebelum dan
setelah reaksi terjadi dapat ditemukan pada kasus pemakaian banyak obat khususnya
saat tindakan bedah, pada pasien bayi atau anak, bisu atau afasia, sesak, atau tidak
sadar, kondisi dimana pigmen kulit dapat menutupi beberapa reaksi kulit, selama
proses persalinan, serta hemodialisis.6

Tabel 2 Obat-obat alergenik dalam pemakaian sehari-hari12

Obat haptenik Antigen komplit


Penisilin Insulin dan protein rekombinan lainnya
Sefalosporin Enzim
Antimikroba sulfonamid Antitoksin asing
NMBA Ekstrak organ (hormon)
Obat antituberkulosis Vaksin
Antikonvulsan
Tiopental
Quinidin
Cis-Platinum

3.1.1.2 Pemeriksaan fisik


Gambaran klinis termasuk gambaran gejala, pemeriksaan fisik dibarengi
kelainan hasil laboratorium dapat membantu diagnosis alergi obat. Awitan cepat
gejala seperti urtikaria, angioedema, bronkospasme, atau hipotensi adalah ciri khas
19

reaksi hipersensitivitas tipe I. Karena reaksi tipe II berhubungan dengan sitotoksisitas


maka dapat ditemukan kelainan hematologik termasuk trombositopenia diperantarai
imun, anemia hemolitik Coomb’s positive dan granulositopenia.12
Meskipun demam adalah manifestasi yang sering dari hipersensitivitas tipe III
namun masih dapat terjadi limfadenopati, ruam, purpura, artralgia, bengkak sendi,
hepatitis, dan nefritis interstisial. Hipersensitivitas tipe IV sering mengenai kulit dan
membran mukosa dengan manifestasi berupa ‘toxic erythema’ seperti ruam ampisilin,
ekzema atau dermatitis eksfoliativa dan erythema multiforme. Reaksi lebih berat
seperti SSJ atau NET biasanya memiliki gejala demam dan keterlibatan multisistem
yang dicerminkan oleh adanya leukopenia, trombositopenia, kenaikan enzim hati, dan
terkadang penurunan fungsi ginjal.12
Dengan memperhitungkan adanya spektrum manifestasi maka pemeriksaan
fisik pasien dengan kecurigaan alergi obat harus mencakup pemeriksaan tanda vital
pasien sejalan dengan pemeriksaan kulit, sendi, membran mukosa, saluran napas, dan
sistem kardiovaskuler dan limfoid.12

3.1.1.3 Tes tambahan


Pertimbangan laboratorium mencakup pemeriksaan darah lengkap disertai
hitung jenis, Coombs test, assay untuk mendeteksi kompleks imun di sirkulasi,
transaminase hati, dan urinalisis untuk menilai proteinuria. Dikarenakan waktu
paruhnya yang lebih panjang, pengukuran triptase serum lebih dipilih daripada
penghitungan histamin serum dalam evaluasi anafilaksis.12

3.1.2 Tes untuk mengetahui ada tidaknya alergi


Berbagai tes imunologis untuk mendiagnosis alergi obat telah tersedia tetapi
hanya tes kulit intradermal untuk antibodi IgE yang sudah dibuktikan mempunyai
nilai prediktif yang kuat. Tes kulit telah berperan penting untuk menilai reaksi tipe I
alergi penisilin. Karena kebanyakan pasien mengalami penurunan kadar IgE spesifik
obat sejalan waktu maka identifikasi individu dengan tes kulit negatif memungkinkan
20

pemberian ulang penisilin apabila memang diperlukan pemberian antibiotik ß-


laktam.12
Jika dilakukan secara hati-hati maka tes kulit cukup aman dan memberikan
informasi berharga secara relatif cepat. Untuk penisilin, efek samping cukup langka
pada tes kulit yang dilakukan secara benar (kurang dari 1%) dan kebanyakan reaksi
ini sifatnya ringan dan sembuh sendiri. Tes kulit juga dapat dikerjakan untuk menilai
alergi terhadap obat lain yang diperantarai IgE (Tabel 3).12

Tabel 3 Obat-obatan dimana tes intradermal berguna untuk evaluasi alergi12

Penisilin Antitoksin
Sefalosporin Obat antituberkulosis
Insulin Antikonvulsan
Anestesi lokal Quinidin
Muscle relaxant Cis-Platinum
Tiopental Penicillamine
Vaksin

3.1.2.1Tes tusuk
Metodologi tes kulit dimulai dengan tes tusuk (prick/puncture test). Jika tes
ini hasilnya negatif maka pemeriksaan dilanjutkan dengan tes intradermal. Tes kulit
harus selalu menyertakan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (cairan salin).
Pasien yang sakit berat, hipertensi, atau menjalani terapi antihistamin H1 atau obat-
obat tertentu terkadang gagal bereaksi terhadacairan kontrol positif dan dapat
memperlihatkan tes kulit reaksi tipe I yang negatif palsu. Respon positif ditandai khas
dengan respon wheal dan flare yang cepat. Hasil tes hanya memberikan informasi
mengenai keadaan saat ini dari hipersensitivitas tipe I karena alergi obat dapat
berkurang seiring bertambahnya waktu dan pengulangan tes pada waktu berikutnya
dapat memberikan hasil negatif.6,12
21

Penisilin sendiri adalah reagen yang tidak efisien untuk tes kulit karena ia
harus berkonjugasi dengan protein jaringan untuk membentuk kompleks multivalen
sehingga bisa mencetuskan degranulasi sel mast yang bergantung IgE. Untuk
menghasilkan determinan mayor aktif untuk tes kulit maka penisilin dipasangkan
(coupled) dengan polykysine untuk membentuk penicilloyl-polylysine (PPL) yang
sudah tersedia secara komersiil). Jika digunakan secara terpisah, PPL
mengidentifikasi 80-90% pasien yang berisiko alergi penisilin diperantarai IgE.12
Penelitian terakhir memberikan informasi penting mengenai nilai prediktif tes
kulit (Tabel 4). Sekitar 1% pasien dengan riwayat positif alergi tetapi dengan hasil tes
kulit negatif mengalami urtikaria transien disertai atau tanpa disertai gatal setelah
pemberian ß-laktam. Belum ada laporan anafilaksis penisilin pada individu dengan
hasil tes kulit negatif. Ketika benzylpenicillin G (10.000 U/mL) digunakan untuk tes
kulit bersamaan dengan PPL, nilai sensitivitas mendekati 90-95%. Pada kasus
demikian, challenge provokatif secara bertingkat dapat berguna untuk menegakkan
apakah ada suatu sensitivitas.6, 12

Tabel 4 Nilai prediktif tes kulit penisilin12

Riwayat alergi penisilin + -


Status tes kulit penisilin + - + -
Frekuensi reaksi alergi
50-70% 1-3% 10% 0.5%
terkait pemberian penisilin

Terdapat tes imunologi alternatif untuk evaluasi alergi obat. Tetapi tes-tes
demikian kurang dapat diandalkan, menghabiskan banyak waktu, dan sering lebih
mahal. Antibodi IgE spesifik penicilloyl dapat diukur dengan cara
radioallergosorbent testing (RAST) yang mendeteksi antibodi serum. RAST kurang
sensitif dibandingkan tes intradermal. Meskipun belum divalidasi untuk pemakaian
rutin secara klinis namun tes RAST juga telah dikembangkan untuk antibiotik ß-
laktam lainnya, sulfonamid, trimethoprim, isoniazid, dan determinan obat lainnya
22

(Tabel 5). Tes leukocyte histamine release juga dapat mendeteksi antibodi IgE
spesifik terhadap obat hapten. Tes seluler lain seperti lymphocyte proliferation test
serta tes untuk menilai produksi sitokin dapat berguna untuk menegakkan respon
imun diperantarai sel T spesifik tetapi hanya sedikit obat yang dapat digunakan dalam
tes demikian.12

Tabel 5 Tes untuk evaluasi alergi obat12

In vivo Penilaian pada Gell dan Coombs


Prick test, intradermal test IgE terhadap agen Tipe I
Provocation test Toleransi Seluruh
Patch testing Hipersensitivitas tipe lambat Tipe IV
Biopsi Imunohistopatologi Tipe III, IV
In vitro Penilaian pada Gell dan Coombs
RAST IgE dalam serum Tipe I
Leukocyte histamine release IgE Tipe I
Lymphocyte proliferation Respon sel T Tipe IV
Lymphocyte cytokine production Respon sel T Tipe IV
Lymphocyte cytotoxicity Respon sel T Tipe IV

3.1.2.2 Tes provokasi


Jika tes kulit atau RAST tidak dapat dikerjakan maka challenge provokatif
atau test dosing mungkin dapat berguna. Pada prosedur ini, obat diberikan awalnya
dengan dosis rendah yang secara serial dosis dinaikkan sampai tercapai dosis terapi
penuh (Tabel 6). Interval waktu antara kenaikan dosis bergantung pada sifat reaksi
yang dicurigai: 20-30 menit biasanya dianggap cukup jika mempertimbangkan reaksi
diperantarai IgE sedangkan 24-48 jam mungkin diperlukan untuk reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Test dosing berguna jika kemungkinan alergi obat
diduga kecil. Karena risiko yang dikandungnya, challenge provokatif harus
23

dikerjakan dengan informed consent dan dipantau dengan hati-hati oleh dokter yang
berpengalaman.12

3.1.2.3 Tes tempel


Tes tempel (patch testing) adalah modalitas diagnostik dimana kulit di-
challenge secara langsung dengan alergen obat yang dicurigai. Tes ini dapat
dilakukan jika diduga terjadi hipersensitivitas tipe lambat terhadap obat-obatan yang
dioles, pengawet, atau bahan kontak industri. Untuk reaksi obat sistemik, tes tempel
dapat menjadi bentuk tes challenge in vivo yang dapat diandalkan. Titik kuncinya
yaitu tes ini bekerja untuk pola reaksi tipe IV seperti erythema multiforme atau
ekzema tetapi tidak bekerja untuk reaksi yang tidak diperantarai oleh limfosit. Kadar
yang non-iritasi dari sensitizer kontak yang dicurigai atau sebanyak 1% dan 5% kadar
dari obat sistemik ditempelkan di kulit. Respon dilihat dan dinilai 48-72 jam
kemudian untuk dicari ada tidaknya vesikel atau dermatitis lokal.

Tabel 6 Protokol test dosing dengan anestesi lokal12

Lakukan sesuai urutan, lanjutkan ke langkah berikutnya setiap 15 menit


1. Tes tusuk kulit dengan cairan obat anestesi yang tidak diencerkan (jangan memakai obat
mengandung epinefrin)
2. Jika hasilnya negatif, injeksikan 0.1 mL dari obat yang diencerkan 1:100 secara subkutis
3. Jika tidak ada reaksi, injeksikan 0.1 mL dari obat yang diencerkan 1:10 secara subkutis
4. Jika tidak ada reaksi, injeksikan 1 mL dari obat anestesi tidak diencerkan
5. Jika tidak ada reaksi, injeksikan 2 mL dari obat anestesi tidak diencerkan

3.1.2.4 Tes Antibodi IgE Serum


Sementara anamnesis dan tes kulit membentuk inti dari prosedur pemeriksaan
untuk mendiagnosis hipersensitivitas terhadap obat, tes untuk mendeteksi antibodi
IgE spesifik untuk obat dapat menjadi bantuan diagnostik berharga untuk
24

mengkonfirmasi temuan tes kulit. Pemeriksaan antibodi IgE serum berguna pada
kasus tes kulit yang negatif atau bereaksi samar atau jika tes kulit tidak dapat
diandalkan atau tidak tersedia. Contoh terbaik nilai guna tes ini yaitu pada kasus
dimana pasien memiliki riwayat kuat alergi tipe cepat terhadap ß-laktam tetapi hasil
tes kulitnya negatif. Tes ini juga berguna pada pasien yang tengah memakai obat-
obatan yang jumlahnya harus dikurangi untuk tes kulit, pada pasien dengan penyakit
kulit yang luas seperti eczema dan psoriasis, pasien yang serumnya diambil saat
reaksi terjadi (misal pada reaksi anafilaktik selama anestesi berlangsung), sebelum
tindakan bedah, dan serum yang diambil setelah pasien meninggal.6
Ditemukannya IgE spesifik obat belum dapat menegakkan diagnosis alergi
obat. Tetapi, jika berhubungan dengan temuan klinis (misalkan ada gejala berat yang
khas dengan awitan cepat) maka hasil IgE yang positif dapat memperkirakan
terjadinya mekanisme imun yang bergantung IgE, apalagi dengan hasil tes kulit yang
positif. EAACI-DAIG/ENDA menyarankan pada reaksi yang cepat dan berat, tes
kulit untuk antibiotik dikerjakan setelah dilakukannya tes IgE serum.9

3.1.2.5 Tes in vitro lainnya


Sejumlah tes in vitro lainnya telah diajukan untuk pemeriksaan reaksi alergi
obat. Diantaranya adalah cellular allergen stimulation test (CAST) untuk mengukur
leukotrien setelah dilakukan stimulasi leukosit darah perifer, basophil histamine
release test dan tes aktivasi basofil (basophil activation test, BAT). CAST belum
dievaluasi secara cukup untuk menjadi direkomendasikan sebagai pemeriksaan
standar selain untuk penelitian. Marker aktivasi basofil yang dianalisis menggunakan
fluorescence activated cell sorter (FACS) saat ini masih dievaluasi untuk beberapa
jenis alergi obat tetapi belum ada bukti yang memperlihatkan manfaat tes ini lebih
unggul dari tes kulit. Tes transformasi limfosit (lymphocyte transformation test) dan
tes sitotoksisitas limfosit (lymphocyte cytotoxicity test) masih belum distandarisasi
agar berguna dalam pemakaian klinis dan saat ini hanya dipakai untuk kepentingan
riset.11
25

3.2 Penatalaksanaan alergi obat


3.2.1 Pengobatan
Penilaian dan tatalaksana yang cepat pada kasus hipersensitivitas obat bernilai
penting tidak hanya karena bersangkutan dengan morbiditas dan mortalitas tetapi juga
karena menyempitnya pilihan obat bagi pasien. Pada satu kasus reaksi akut obat, obat
yang bersangkutan harus segera dihentikan pemberiannya. Jika pasien tengah
memakai banyak obat maka obat-obatan yang diketahui paling mensensitisasi dan
paling kurang diperlukan bagi pasien harus segera distop sampai reaksi menghilang.
Terapi simtomatik boleh saja diberikan bergantung pada sifat reaksinya. Adalah
sangat penting untuk memberikan pengobatan/tatalaksana yang berhubungan dengan
reaksi imunologis yang terjadi pada hipersensitivitas tersebut. Sehingga, terapi
antihistamin sangat membantu untuk mengurangi gatal dan ruam yang terjadi pada
reaksi tipe I. Namun, histamin tidak terlibat pada erupsi kulit yang diperantarai
limfosit sehingga antihistamin tidak banyak membantu pada kasus ekzema atau
erythema multiforme. Untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, serum
sickness, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-lain diperlukan
kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala
terkendali dan selanjutnya dosis tersebut diturunkan secara bertahap selama satu
sampai dua minggu. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada SSJ, pasiennya harus
dirawat karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah
pemasukan kalori dan cairan terjaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu
berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder
sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.1.12
Tatalaksana akut pada anafilaksis sistemik memerlukan pengenalan cepat
gejalanya yang paling awal karena keberhasilan pengobatan bergantung pada
pemberian pengobatan secara cepat dan agresif. Terapi awal diarahkan untuk menjaga
fungsi jalan napas, pembalikan bronkospasme, dan menjaga tekanan darah serta
oksigenasi. Program tatalaksana seperti ini diperlihatkan di tabel 7.12
26

Pemberian cepat epinefrin adalah pengobatan paling penting karena obat ini
bekerja menghambat sel mast melepas mediator, menyebabkan bronkodilasi,
merangsang sistem kardiovaskuler, dan mengurangi kebocoran venula. Epinefrin
diabsorpsi optimal jika diberikan secara intramuskuler. Dalam satu penelitian, pasien-
pasien yang diberikan epinefrin di awal terjadinya anafilaksis ternyata bertahan hidup
sedangkan pasien-pasien dimana pemberian epinefrinnya ditunda beberapa jam sejak
awitan gejala anafilaksis meninggal.12

Tabel 1 Tatalaksana akut anafilaksis pada pasien dewasa12

1. Periksa tanda vital


2. Berikan resusitasi kardiopulmoner jika dibutuhkan
3. Berikan epinefrin 0.3-0.5 mL konsentrasi 1/1000 injeksi intramuskuler
4. Jika terjadi syok kardiovaskuler, pasang infus dan masukkan epinefrin 10 mL dengan
konsentrasi 1/100.000 habis dalam 10 menit
5. Pertahankan fungsi jalan napas: intubasi endotrakheal atau trakheostomi serta pernapasan
buatan jika diperlukan
6. Jaga volume sirkulasi: berikan cairan dextrose 5% 500-2000 mL, tambahkan plasma
expander jika diperlukan
7. Pertahankan tekanan darah: mula-mula berikan infus dopamin (2-20 μg/kg/menit) atau
norepinefrin (4-8 μg/menit) lalu titrasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat
8. Berikan antihistamin (opsional):
- antagonis H1 misal difenhidramin 25-50 mg intravena habis dalam 5-10 menit
- antagonis H2 misal simetidin intramuskuler setelah diberikan antagonis H1
9. Atasi bronkospasme jika ada: agonis ß2 inhalasi atau nebulisasi misal dengan albuterol.
Teofilin 4-7 mg/kg melalui infus intravena
10. Kurangi adsorpsi alergen dengan pemberian oral arang aktif (charcoal).
11. Jika diduga terjadi ß blockade, berikan glukagon 5-15 μg/menit intravena dengan infus
kontinu
12. Observasi minimal 4-5 jam
13. Saat memulangkan pasien, berikan edukasi untuk menghindari pencetus di kemudian hari
27

Injeksi intramuskuler cepat (di sisi lateral paha) penting untuk keluaran
(outcome) yang berhasil. Dosis awal dapat diulangi setiap 5-10 menit sesuai
kebutuhan kecuali terjadi takikardia atau hipertensi. Karena dapat berbahaya dan
dapat menginduksi iskemia, infark miokard, atau aritmia maka pemberian epinefrin
melalui intravena sebaiknya dicadangkan bagi pasien dengan hipotensi berat disertai
kolaps sirkulasi yang mengancam nyawa. Pada kondisi demikian, epinefrin dapat
diberikan dengan infus lambat (1-10 mL diencerkan menjadi 1/10.000 diberikan habis
dalam 10 menit) dengan monitoring jantung secara ketat, lebih dipilih dilakukan di
cardiac care unit.12
Pemberian antihistamin H1 seperti difenhidramin 25-50 mg atau
klorfeniramin 10 mg intravena dapat bermanfaat. Meskipun belum didokumentasikan
sebagai berguna, pemberian tambahan antagonis H2 tampaknya diperlukan karena
hipotensi dan aritmia jantung sepertinya merupakan dampak sekunder yang
diperantarai baik oleh reseptor histamin H1 dan H2.12
Pemberian terapi agonis ß (albuterol) melalui nebulisasi sebaiknya segera
diberikan jika menemui episode serangan asma akut yang berhubungan dengan
anafilaksis.12
Hidrokortison, 0.5-1.0 mg/kg injeksi intramuskuler atau intravena dapat
diberikan kepada semua pasien dengan anafilaksis berat untuk mengurangi
munculnya respon berkepanjangan (bifasik). Adsopsi antigen dapat dikurangi dengan
memasang torniquet proksimal dari lokasi suntikan.12
Hipotensi dan syok yang tidak merespon dengan injeksi epinefrin
intramuskuler harus diterapi dengan pemberian cairan intravaskuler dengan kristaloid
atau koloid dikarenakan sangat besarnya vasopermeabilitas akibat kebocoran
postcapillary venule terkait anafilaksis. Hipotensi persisten mungkin memerlukan
pemberian obat ß-adrenergik. Timbulnya bradikardia terkait hipotensi berat harus
membuat dokter waspada akan terjadinya blokade ß-adrenergik. Pemberian glukagon
secara dini untuk mengatasi efek ini selalu direkomendasikan.12
28

3.2.2 Penghindaran alergen


Penghindaran alergen merupakan komponen integral dari tatalaksana alergi
obat untuk jangka panjang. Pada mayoritas situasi klinis, obat pengganti (alternatif)
yang sesuai tersedia dan dapat digunakan tanpa perlu takut terjadi efek samping.
Sebagai contoh, untuk pasien alergi penisilin, satu atau lebih antibiotik non-beta
laktam sering dapat diterima untuk diberikan pada kebanyakan penyakit infeksi.
Obat-obatan dengan struktur mirip mungkin akan sering bereaksi silang secara
imunologis dan klinis. Namun, reaksi silang obat demikian bersifat tidak lengkap.
Contohnya pada alergi insulin, insulin yang didapat dari sumber hewani sering dapat
diganti dengan insulin rekombinan manusia meskipun terjadi reaktivitas silang.
Secara serupa, banyak subyek yang alergi penisilin akan mentoleransi sefalosporin
meskipun penisilin dan sefalosporin memiliki struktur inti ß-laktam yang sama.
Reakstivitas silang imunologis antara penisilin dan sefalosporin sebanyak 15-25%
untuk sefalosporin generasi pertama tetapi tampaknya menjadi lebih rendah bagi
sefalosporin geneasi ketiga yaitu sebesar 1-2%. Meskipun demikian, reaksi silang
berat yang mengancam nyawa (misal anafilaksis) telah dilaporkan. Sebaliknya,
riwayat pernah terjadi ruam makulopapuler akibat pemakaian amoksisilin atau
ampisilin tidak berhubungan dengan kenaikan risiko terjadinya risiko mengancam
nyawa terhadap penisilin.12

3.2.3 Desensitisasi
Pada kondisi jarang, beberapa kondisi medis tertentu tidak berhasil
ditatalaksana menggunakan obat pengganti. Sebagai contoh, belum ada obat
pengganti penisilin yang dapat diterima untuk pasien sifilis yang hamil. Pada kondisi
seperti ini perlu dilakukan desensitisasi obat. Protokol standar telah dirancang untuk
desensitisasi obat penisilin, kotrimoksazol, dapson, sulfasalazin, dan insulin yang,
meskipun berisiko menimbulkan reaksi sistemik ringan, biasanya efektif mencapai
toleransi klinis. Prosedur ini memerlukan informed consent dan pengawasan ketat
oleh dokter. Setting perawatan intensif harus digunakan jika memungkinkan dan obat-
29

obat penyelamat darurat seperti epinefrin harus sudah tersedia. Desensitisasi


didasarkan pada prinsip pemberian secara bertahap, peningkatan dosis obat yang
dimulai dengan dosis sangat kecil dan ditargetkan sampai dosis terapeutik penuh.
Penambahan dosis dapat diberikan sesering mungkin setiap 15-30 menit sehingga
dosis terapeutik lengkap biasanya tercapai dalam 24 jam (tabel 8).12,13,14
Mekanisme dimana desensitisasi menginduksi toleransi umumnya disebabkan
induksi keadaan desensitisasi pada sel-sel yang dilengkapi-IgE (IgE-primed cell) oleh
antigen dosis rendah. Hasilnya, dibutuhkan ambang antigen yang lebih tinggi agar
mediator bisa dilepaskan. Tanpa menghiraukan mekanismenya, keadaan toleransi
bersifat sementara dan sekali ia tercapai maka harus dipertahankan secara aktif
melalui pemberian obat secara terus-menerus. Jika pasien membutuhkan pemberian
obat pencetus di masa akan datang dan hasil tes kulit ulang masih positif maka
prosedur desensitisasi perlu diulang kembali.12
Protokol terapi tambahan telah dikembangkan untuk beberapa reaksi
anafilaktoid imbas obat. Pasien dengan riwayat reaksi terhadap radiocontrast media
(RCM) berisiko tinggi mengalami reaksi jika terpapar ulang. Karena reaksi ini tidak
diperantarai IgE maka tes kulit tidaklah berguna untuk identifikasi pasien yang
berisiko tinggi. Strategi pencegahan telah dibuat dan mengurangi tingkat reaksi
menjadi 10% untuk media kontras hipertonik dan 1% untuk bahan non-ionik.
Rekomendasinya mencakup pemakaian media kontras non-ionik dan premedikasi
menggunakan kortikosteroid dan antihistamin seperti yang diperlihatkan di tabel 9. 12
Untuk pasien yang memiliki sensitivitas dengan aspirin atau NSAID, obat
pengganti yang umumnya tidak bereaksi-silang seperti asetaminofen mungkin efektif.
Jika tidak maka desensitisasi oral dapat dipertimbangkan dilakukan dimana diberikan
dosis awal yang kecil dan dinaikkan secara bertahap mengikuti protokol yang
diperlihatkan di tabel 10. Pendekatan demikian agak mirip dengan protokol
desensitisasi dan harus dilakukan dengan informed consent serta supervisi dokter.
Sekali dosis terapeutik tercapai, pemberian obat setiap hari diperlukan untuk
mempertahankan keadaan toleransi. Meskipun COX-2 inhibitor sepertinya ditoleransi
30

dengan baik pada kebanyakan individu dengan sensitivitas terhadap NSAID namun
beberapa kasus urtikaria dan angioedema telah pernah dilaporkan pada penggunaan
obat ini. 12,13,14

Tabel 2 Panduan rekomendasi untuk desensitisasi penisilin pada pasien alergi12

Protokol Desensitisasi Penisilin


Oral: penisilin V setiap 15 menit Parenteral: penisilin G setiap 20 menit
Langkah Dosis (unit) Dosis (unit/mL) Volum (mL) Rute
1 100 100 0.1 i.d.
2 200 100 0.2 s.c.
3 400 100 0.4 s.c.
4 800 100 0.8 s.c.
5 1600 1000 0.1 i.d.
6 3200 1000 0.3 s.c.
7 6400 1000 0.6 s.c.
8 12.000 10.000 0.1 i.d.
9 24.000 10.000 0.2 s.c.
10 48.000 10.000 0.4 s.c.
11 80.000 10.000 0.8 s.c.
12 160.000 100.000 0.1 i.d.
13 320.000 100.000 0.3 s.c.
14 640.000 100.000 0.6 s.c.
Ganti menjadi penisilin G i.v.
15 125.000 1.000.000 0.1 i.d.
16 250.000 1.000.000 0.2 s.c.
17 500.000 1.000.000 0.2 i.m.
18 1.125.000 1.000.000 0.4 i.m.
19 1.000.000 Infus i.v. kontinu
31

Tabel 3 Panduan prapengobatan untuk mencegah reaksi anafilaktoid terhadap radiocontrast media
(RCM) untuk prosedur elektif. Pada situasi darurat, hidrokortison dan difenhidramin diberikan secara
intravena12
Panduan prapengobatan untuk pencegahan reaksi anafilaktoid RCM
Obat (dosis) Rute Instruksi
Prednison (50 mg) Oral atau i.m. Berikan 13, 7, dan 1 jam sebelum prosedur
RCM
Difenhidramin (50 mg) Oral atau i.m. Berikan 1 jam sebelum prosedur RCM
Efedrin sulfat (25 mg)* Oral Berikan 1 jam sebelum prosedur RCM
*Tunda jika ada riwayat penyakit arteri koroner atau aritmia

Tabel 4 Challenge aspirin oral12


Challenge Aspirin Oral
Hari Jam 8 pagi Jam 11 siang Jam 2 siang
1 Plasebo Plasebo Plasebo
2 30 mg 60 mg 100 mg
3 150 mg 325 mg 650 mg

3.2.4 Pencegahan
Siapapun yang pernah mengalami kejadian anafilaksis harus dirujuk ke dokter
spesialis ahli alergi untuk penentuan penyebab dan advis mengenai tatalaksana dan
tindakan untuk mencegah reaksi anafilaksis di masa depan. Dokter pelayanan primer
harus diberitahu mengenai sensitivitas yang mungkin ada termasuk nasehat dan obat-
obatan yang diberikan ke pasien oleh konsulen alergi. Pasien demikian harus
diedukasi untuk mengenali manifestasi paling awal anafilaksis dan memulai
pemberian obat yang sesuai. Rencana kegawatdaruratan (emergency plan), yang
harus ditulis dalam format yang dapat dimengerti secara mudah dan disesuaikan
untuk pasien per individual, harus dapat mengantisipasi reaksi yang bisa terjadi di
masa akan datang dan tindakan yang sesuai dilakukan untuk membalikkan gejala.
Idealnya, rencana demikian dapat menentukan pilihan pengobatan berdasarkan
beratnya reaksi anafilaktik. Misal, rencana tersebut mungkin perlu menyebutkan
32

manifestasi seperti gejala kulit, derajat sedang dengan sedikit mengi, atau derajat
berat dengan gangguan pernapasan bermakna serta mungkin hipotensi. Rencana
demikian juga mencantumkan instruksi tentang kapan dan bagaimana mencari
pertolongan medis.12,O
Seluruh pasien yang pernah mengalami anafilaksis, yang mungkin akan
kambuh kembali, harus dibekali dengan epinefrin dalam sediaan preloaded syringe
untuk injeksi intramuskuler (misal merk EpiPen, yang tersedia dalam dosis untuk
dewasa dan anak-anak). Pasien harus dilatih sampai mengerti cara memakainya pada
kejadian yang berulang, dan diingatkan bahwa ada tanggal kadaluwarsa yang tercetak
di syringe obat. Edukasi juga harus diberikan kepada teman/kerabat terdekat pasien
atau, pada kasus anak-anak, kepada saudara kandung atau orang tua. Khusus pasien
anak, obat darurat ini harus tersedia bagi petugas terlatih di sekolah sang anak.12,O

Gambar 7 Epinefrin dalam sediaan syringe siap suntik


33

Di samping kewaspadaan untuk mengenal tanda dini reaksi anafilaktik,


sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk menanggulangi
keadaan darurat alergik. Obat-obat tersebut adalah epinefrin, antihistamin,
kortikosteroid, aminofilin, dan diazepam yang semuanya dalam bentuk suntikan.
Begitu pula setelah disuntik, pasien diminta menunggu paling tidak 20 menit sebelum
diperbolehkan pulang. Selain perawat dan petugas kesehatan yang membantu dokter;
pasien juga sebaiknya diberitahu mengenai tanda-tanda dini reaksi anafilaktik,
sehingga bila terjadi reaksi, mereka dapat segera memberitahukan kepada kita.1
Tindakan pencegahan reaksi alergi obat adalah penting dan sering terlupakan
dalam tatalaksana pasien. Pasien harus diberikan informasi tertulis mengenai obat-
obat mana yang harus dihindari. Obat penyebab harus di-highlight dalam catatan
rekam medis pasien baik tertulis maupun yang versi elektronik (jika tersedia). Gelang
penanda alergi dengan tulisan diukir (engraved) khususnya berguna jika terdapat
risiko pemberian obat secara intravena pada kondisi darurat. Dokter spesialis harus
menentukan kata-kata yang perlu diukir tersebut. Idealnya, setiap reaksi alergi harus
dilaporkan seperti di Inggris dimana baik pasien maupun praktisi kesehatan dapat
melaporkan setiap kasus alergi obat secara langsung (online) melalui internet.
Indonesia sebenarnya juga mempunyai mekanisme pelaporan sebagaimana yang
diterbitkan oleh Badan POM RI di tahun 2012 melalui buku Pedoman Monitoring
Efek Samping Obat (MESO) bagi Tenaga Kesehatan dan dapat dilaporkan secara
online melalui situs e-meso.pom.go.id.3,11
BAB IV
RINGKASAN

Alergi obat adalah salah satu ESO yang dilatarbelakangi oleh mekanisme
imunologis. Prevalensinya berkisar 3.6-7 per 1000 pasien rawat inap dan 1-3% di
masyarakat. Faktor risiko alergi obat seringkali tidak dapat teridentifikasi namun
secara umum dipertimbangkan faktor pasien yang mencakup usia, jenis kelamin,
penyakit komorbid, genetik dan paparan sebelumnya serta faktor obat yang mencakup
sifat obat, reaktivitas silang, derajat paparan dan cara pemberian.
Klasifikasi Gell dan Coombs masih menjadi cara yang mudah, paling valid,
dan logis untuk membedakan reaksi alergi obat menurut sensitivitas imun. Respons
antibodi IgE tidak bersifat menetap selamanya. Kadar antibodi yang menurun dapat
terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun setelah kejadian alergi obat
Dalam mendiagnosis alergi obat ada 4 tulang punggung prosedur pemeriksaan
yaitu anamnesis, tes kulit, pemeriksaan in vitro laboratorium, dan tes challenge.
Anamnesis dan tes kulit tetap menjadi inti pemeriksaan diagnosis dengan tes
provokasi sebagai Gold standard diagnosis alergi obat. Beberapa pemeriksaan in
vitro antara lain pengukuran mediator, pengukuran kadar IgE spesifik alergen, flow
cytometry–based basophil activation assays, dan lymphocyte transformation test.
Namun, beberapa tes ini masih perlu dievaluasi secara cukup untuk bisa
direkomendasikan sebagai pemeriksaan standar.
Tindakan pencegahan reaksi alergi obat adalah penting. Cara efektif untuk
mencegah atau mengurangi reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya jika ada
indikasi serta dengan penyuluhan. Di samping kewaspadaan pengenalan tanda dini
reaksi anafilaktik, sebelum menyuntik sebaiknya disediakan dulu obat-obat untuk
menanggulangi keadaan darurat alergik. Pada pasien dengan riwayat alergi obat atau
dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh
maka dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, dkk. Alergi obat. Dalam: Sudoyo AW,


Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi VI.
Jakarta, Balai Pustaka FK UI 2014;513-517.
2. Cahyanur R, Koesnoe S, Sukmana N. Sindrom Hipersensivitas Obat. J Indon
Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 4, April 2011.
3. Pedoman Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Bagi Tenaga Kesehatan.
Badan POM RI Jakarta 2012.
4. Solensky R, Khan DA, et al. Drug Allergy: An Updated Practice Parameter.
Annals of Allergy, Asthma & Immunology volume 105, October 2010.
5. Thong BYH, Tan TC. Epidemiology and risk factors for drug allergy. Br J Clin
Pharmacol :71:5; 684–700.
6. Baldo BA, Pham NH. Drug Allergy: Clinical Aspects, Diagnosis, Mechanisms,
Structure-Activity Relationships. New York: Springer; 2013.
7. National Institute for Health and Care Excellence (2014) Drug allergy:
diagnosis and management of drug allergy in adults, children and young people.
NICE guideline (CG183)
8. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar, ed 10. Badan Penerbit FKUI
Jakarta 2012.
9. Demoy P, Adkinson NF, Brockow K, et al. International Consensus on drug
allergy. European Journal of Allergy and Clinical Immunology. 2014;69: 420-
437.
10. Thong B. Drug allergies [internet]. Singapore: World Allergy Organization;
2007[updated 2014; cited 2016 March 5th]. Available
from:http://www.worldallergy.org/professional/allergic_diseases_center/drugall
ergy/

35
36

11. Mirakian R, Ewan PW, Durham SR, et al. BSACI guidelines for the
management of drug allergy. In: Clinical and Experimental Allergy. Blackwell
Publishing Ltd. 2009;39: 43-61.
12. Adkinson NF, Friedmann PS, Pongracic JA. Drug Allergy. In: Holgate ST,
Church MK, Lichtenstein LM. Allergy, 3rd ed. United Kingdom, Elsevier
2007. 157-178.
13. Scherer K, Brockow K, Aberer W, et al. Desensitization in delayed drug
hypersensitivity reactions – an EAACI position paper of the Drug Allergy
Interest Group. Allergy 2013; 68: 844–852.
14. Scherer K, Brockow K, Aberer W, et al. Skin test concentrations for
systemically administered drugs – an ENDA/EAACI Drug Allergy Interest
Group position paper. Allergy 2013; 68: 702–712.
15. Warrington R, Silviu-Dan F. Drug Allergy. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology 2011, 7(Suppl 1):S10.

Anda mungkin juga menyukai