DRUG ERUPTION
Pembimbing ;
Oleh:
Assalamu’alaikumWr. Wb
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang
dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang ber- judul,”
Drug Eruption”
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
tugas kepaniteraan klinik ilmu OBGYN di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk
Pakam juga agar makalah ini dapat membantu memberikan informasi pada pembaca di
lingkungan Rumah Sakit.
Penulis menyadari makalah ini masih belum sempurna karena itu diharapkan banyak
saran dan masukan. Penulis berharap makalah ini dapat menambahkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat.
Wassalamu’alaikumWr. Wb
Kaban jahe, 2018
penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
Obat merupakan suatu substansi kimia yang berpotensi untuk mencegah maupun mengobati
penyakit.1 Penggunaan obat tersebut dapat menimbulkan reaksi yang tidak kita inginkan, walaupun dengan
dosis dan indikasi yang sesuai. Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat
yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.4 Erupsi obat dapat terjadi
melalui 2 proses, yaitu secara imunologi dan nonimunologi. Erupsi obat yang terjadi karena proses
imunologi disebut dengan erupsi obat alergi.7 Bentuk erupsi obat alergi yang sering ditemui adalah
eksantema morbiliformis, urtikaria, eritroderma, fixed drug eruption (FDE) dan fotosensitifitas.4 Erupsi obat
dapat bermanifestasi dengan parah dan menjadi hal yang mengancam jiwa. Hal ini disebut dengan severe
cutaneous adverse drug reaction (SCAR). Beberapa bentuk erupsi yang timbul adalah Sindrom Steven
Johnson/Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ/NET), eritroderma, drug with eosinophilia and systemic
symptoms (DRESS), acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), angioudem, dan vaskulitis.3
Chatterjee et al, menyatakan insidens erupsi obat mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien
dermatologi selama setahun. Erupsi obat terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit,
tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara
1-3%. Di India, kasus erupsi obat mencapai 2-5%. Erupsi obat terjadi 2-3% dari seluruh reaksi
silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat.
Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari 50% kasus sindroma
Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan
obat.6,14,15
Faktor risiko terjadinya erupsi obat bermacam-macam, untuk menegakkan diagnosis erupsi obat,
harus ada riwayat menggunakan obat beberapa waktu sebelumnya. Satu bentuk erupsi dapat disebabkan oleh
beberapa jenis obat dan satu jenis obat dapat menyebabkan beberapa bentuk erupsi. 7 Penyakit penyerta dan
adanya riwayat alergi juga dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya erupsi obat alergi. Beberapa
penyakit dapat timbul bersamaan dengan terjadinya erupsi alergi. Contohnya adalah erupsi makulopapular
10
yang disebabkan oleh penggunaan ampisilin biasanya diikuti dengan adanya infeksi Ebstain Barr Virus.
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat. Erupsi
obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan
yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang
diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat
diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga
Reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga
sampai kematian.10-13
total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat terjadi pada 2-3%
pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens
erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara 1-3%. Di India, kasus erupsi
obat mencapai 2-5%. Erupsi obat terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat.
2
Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi
obat. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari
50% kasus sindroma Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal
dengan orang dewasa, akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat
2. Faktor genetik
3
4. Riwayat penyakit yang dimiliki
jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi
melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over
afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak
menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama
4
maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana
antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang
tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe
lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.21
5
Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis
Imunologis
Non imunologis
6
2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat
malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu
tetrasiklin.11,17,21,22
7
3. Eksantema Fikstum
eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah
fenilbutazon.11,17,21,22
8
5. Purpura
6. Vaskulitis
kontrasepsi oral.11,17,21,22
9
7. Reaksi fotoalergik
griseofulvin.11,17,21,22
yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan
epidermal toksik.11,17,21,22
10
keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa
generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis
berbeda.11,17,21,22
1. Biopsi kulit
erupsi.10,12,14,24
2. Pemeriksaan laboratorium
11
lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan
obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat
Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat
membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang
lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati
legalnya.10,12,14,24
Dasar diagnosis erupsi obat adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-
obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari
sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik
timbul.11,17,21,22
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.
12
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data
kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian
obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya
hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat
yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang
bersifat persisten.14
mungkin.14
sehari. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa
kortikosteroid.14
atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%
ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa
gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam
salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan
13
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat
dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat
Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat
penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa
bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindroma
akibat sepsis.14
erupsi obat adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti flurokuinolon sekitar
11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol sekitar
Menurut penelitian Young, Jong & Joo, jenis-jenis obat yang paling sering
menyebabkan erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 34,10%, lalu
diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti inflamasi non
14
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi mengemukakan jenis-jenis
obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah golongan antimikroba
yaitu sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar
21,90%. Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit jenis-jenis obat yang paling
golongan antimikroba yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi
non steroid sekitar 22,9%, dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian
Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan
erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan
anti epilepsi sekitar 25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik
sekitar 9%.23
sering menyebakan erupsi obat adalah kotrimoksazol yaitu sekitar 22,2%, lalu
diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &
Kumar, jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah
golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non
15
BAB 3
KESIMPULAN
Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat
yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Reaksi silang obat
adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk
pengobatan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah
sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen
sampai kematian. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari
50% kasus sindroma Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis
terkait dengan penggunaan obat. Faktor risiko terjadinya erupsi obat bermacam-macam, untuk
menegakkan diagnosis erupsi obat, harus ada riwayat menggunakan obat beberapa waktu sebelumnya.
Satu bentuk erupsi dapat disebabkan oleh beberapa jenis obat dan satu jenis obat dapat menyebabkan
beberapa bentuk erupsi. pengobatan erupsi obat sendiri dengan menetralkan atau mengeluarkan
obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. United Nation Office on Drugs (UNODC). Information About Drugs [homepage on the
internet]. c.2015-[cited 2015 Jul 8]. Available from:
http://www.unodc.org/unodc/en/illicitdrugs/definitions/
2. Schatz S, Weber R. Adverse Drug Reactions. PSAP. 2015: 6-9.
3. Verma R, Vasudevan B, Pragasam V. Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions. Med J
Armed Forces India. 2013;69(4): 375.
4. Sanmartin O. Reactive Erythemas. In: Kerdel F, Acosta F, eds. Dermatology. Singapore:
McGraw Hill; 2003. p. 25-40.
5. Susilawati A, Akib AAP, Satari HI. Gambaran Klinis Fixed Drug Eruption pada Anak di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. 2014;15(5): 269-273.
6. Lihite RJ, Lahkar M. A Study on Cutaneous Adverse Drug Reactions in ADR Monitoring
Centre of Tertiary Care Hospital, Guwahati. J Appl Pharm Sci. 2013; 3(3): 78-81.
7. Yogya Y. Erupsi Obat pada Pasien HIV / AIDS. 2014; 41(5): 347-51.
8. Choon SE, Lai NM. An Epidemiological and Clinical Analysis of Cutaneous Adverse Drug
Reactions Seen in a Tertiary Hospital in Johor, Malaysia. Indian J Dermatology, Venereol
Leprol. 2012; 78(6):734-9.
9. Mokhtari F, Nikyar Z, Naeni BA, Esfahani AA, Rahmani S. Adverse Cutaneous Drug
Reactions: Eight Year Assessment in Hospitalized Patients. J Res Med Sci. 2014; 19(8): 720-
5.
10. Thong B, Vervloet D. Drug Allergies [homepage on the internet]. Singapore: World Allergy
Organization; c.2015 [updated 2014; cited 2015 Jul 31]. Available from:
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_dis eases_center/drugallergy/.
11. Patel TK, Thakkar SH, Sharma D. Cutaneous Adverse Drug Reaction in Indian Population: A
Systematic Review. Indian Dermatol Online J. 2014;5(2):1-9.
12. Farage MA, Miller KW, Maibach HI. Effect of Menopause on Autoimmune Diseases. Expert
Rev Obs Gynecol. 2012;7(6):557-60.
13. Yang S, Khang Y, Chun H, Harper S, Lynch J. The Changing Gender Differences in Life
Expectancy in Korea 1970-2005. Sos Sci Med. 2012;75(7):1280.
14. Aung AK, Haas DW, Hulgan T, Phillips EJ. Pharmacogenomics of Antimicrobial Agents.
Pharmacogenomics. 2014; 15(15): 1903-4.
15. Farshchian M, Ansar A, Zamanian A, Rahmatpour-Rokni G, Kimyai-Asadi A, Farshchian M.
Drug-Induced Skin Reactions : A 2-Year Study. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015:53-6.
17
16. Saleh PA, Amir MY, Palutturi S. Hubungan Faktor Sosial dan Psikologis dengan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di RS Bhayangkara Makasar.2013:5
17. Lancet. Europe PMC Funders Group Worldwide trends in diabetes since 1980 : a pooled
analysis of 751 population-based studies with 4 · 4 million participants. 2016;387(10027):31.
18. Ahmed RH, Huri HZ, Al-hamodi Z, Salem SD, Muniandy S. Serum Levels of Soluble CD26 /
Dipeptidyl PeptidaseIV in Type 2 Diabetes Mellitus and Its Association with Metabolic
Syndrome and Therapy with Antidiabetic Agents in Malaysian Subjects. PLoS One.
2015;10(10):1- 12.
19. Kim SC, Schneeweiss S, Glynn RJ, Doherty M, Goldfine AB, Solomon DH. Dipeptidyl
peptidase-4 inhibitors in Type 2 Diabetes May Reduce the Risk of Autoimmune Diseases: A
Population-based Cohort Study. 2016;74(11):1975.
20. Umar SH, Kelly AP, Vinson RP, Elenitsas R, Elston DM, Patterson JW. Erythroderma
(Generalized Exfoliative Dermatitis) Treatment & Management [homepage on the internet].
c.2016-[cited 2016 Okt 27]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1106906-
treatment.
21. Banerjee S, Ghosh S, Mandal RK. A Study of Correlation Between Clinical and
Histopathological Findings of Erythroderma in North Bengal Population. Indian Dermatol
Online J. 2015;60(6):549-555.
22. Yuliastuti F, Purnomo A, Sidjaswadi R. Analisis Penggunaan Obat pada Pasien Rawat Jalan
di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Yogyakarta Periode April 2009. Media Farmasi.
2013; 10(2):104-113.
23. Han J, Yi Y, Li C, et al. Involvement of Histamine and RhoA / ROCK in Penicillin
Immediate Hypersensitivity Reactions. Nat Publ Gr. 2016:1-2
24. Maharani W, Setyowati M. Tinjauan Faktor Penyebab Ketidaklengkapan Dokumen Rekam
Medis Rawat Jalan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang Tahun 2015.
2015;7-10
18