Anda di halaman 1dari 21

REFARAT

DRUG ERUPTION

Pembimbing ;

dr. Masjuanda Sp.OG

Oleh:

Mumun Muniroh 17360276

Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Obgyn


RSUD Deli Serdang Lubuk Pakam
2018
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikumWr. Wb
Dengan mengucap puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang
dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang ber- judul,”
Drug Eruption”
Adapun tujuan penulis membuat makalah ini adalah sebagai salah satu syarat untuk
tugas kepaniteraan klinik ilmu OBGYN di Rumah Sakit Umum Daerah Deli Serdang Lubuk
Pakam juga agar makalah ini dapat membantu memberikan informasi pada pembaca di
lingkungan Rumah Sakit.
Penulis menyadari makalah ini masih belum sempurna karena itu diharapkan banyak
saran dan masukan. Penulis berharap makalah ini dapat menambahkan ilmu pengetahuan
yang bermanfaat.

Wassalamu’alaikumWr. Wb
Kaban jahe, 2018

penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………...................................... i


DAFTAR ISI ……………………...................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ……………………...................................... 1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Letaak Sungsang .........……….…………...…………………… 4
2.1.1 Definisi Letaak Sungsang …………...…………………… 4
2.1.2 Epidemiologi Letak Sungsang ..……………...……………… 5
2.1.3 Etiologi Letak Sungsang ............……..………………… 5
2.1.4 Patofisiologi Letak Sungsang ………....……………………… 6
2.1.5 Klasifikasi Letak Sungsang ………………………………… 7
2.1.6 Gambaran Klinis Dan Permeriksaan ......……………….……. 8
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Letak Sungsang ………………………… 9
2.1.8 Diagnosis Letak Sungsang ………………………………… 9
2.1.9 Diagnosis Banding Letak Sungsang …….…….……………… 10
2.1.10 Penatalaksanaan Letak Sungsang ….………………....…… 11
2.1.11 Komplikasai .................……………………………………… 24
2.1.12 Prognosis ................................…………………………. 24
BAB III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan ………………………………………………….............. 44
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

Obat merupakan suatu substansi kimia yang berpotensi untuk mencegah maupun mengobati
penyakit.1 Penggunaan obat tersebut dapat menimbulkan reaksi yang tidak kita inginkan, walaupun dengan
dosis dan indikasi yang sesuai. Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat
yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.4 Erupsi obat dapat terjadi
melalui 2 proses, yaitu secara imunologi dan nonimunologi. Erupsi obat yang terjadi karena proses
imunologi disebut dengan erupsi obat alergi.7 Bentuk erupsi obat alergi yang sering ditemui adalah
eksantema morbiliformis, urtikaria, eritroderma, fixed drug eruption (FDE) dan fotosensitifitas.4 Erupsi obat
dapat bermanifestasi dengan parah dan menjadi hal yang mengancam jiwa. Hal ini disebut dengan severe
cutaneous adverse drug reaction (SCAR). Beberapa bentuk erupsi yang timbul adalah Sindrom Steven
Johnson/Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ/NET), eritroderma, drug with eosinophilia and systemic
symptoms (DRESS), acute generalized exanthematous pustulosis (AGEP), angioudem, dan vaskulitis.3
Chatterjee et al, menyatakan insidens erupsi obat mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien
dermatologi selama setahun. Erupsi obat terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit,
tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara
1-3%. Di India, kasus erupsi obat mencapai 2-5%. Erupsi obat terjadi 2-3% dari seluruh reaksi
silang obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat.
Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari 50% kasus sindroma
Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait dengan penggunaan
obat.6,14,15
Faktor risiko terjadinya erupsi obat bermacam-macam, untuk menegakkan diagnosis erupsi obat,
harus ada riwayat menggunakan obat beberapa waktu sebelumnya. Satu bentuk erupsi dapat disebabkan oleh
beberapa jenis obat dan satu jenis obat dapat menyebabkan beberapa bentuk erupsi. 7 Penyakit penyerta dan
adanya riwayat alergi juga dapat menjadi salah satu faktor risiko terjadinya erupsi obat alergi. Beberapa
penyakit dapat timbul bersamaan dengan terjadinya erupsi alergi. Contohnya adalah erupsi makulopapular
10
yang disebabkan oleh penggunaan ampisilin biasanya diikuti dengan adanya infeksi Ebstain Barr Virus.

1
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Erupsi Obat

2.1.1. Definisi Erupsi Obat

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat. Erupsi

obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau daerah mukokutan

yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat

yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan.4

Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang

diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan dan dari reaksi tersebut dapat

diprediksikan bahaya penggunaan produk itu di masa yang akan datang sehingga

dilakukan tindakan penggantian maupun penarikan produk.9-12

Reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga

memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit,

pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen

sampai kematian.10-13

2.1.2. Epidemiologi Erupsi Obat

Chatterjee et al, menyatakan insidens erupsi obat mencapai 2,66% dari

total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat terjadi pada 2-3%

pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens

erupsi obat pada negara berkembang berkisar antara 1-3%. Di India, kasus erupsi

obat mencapai 2-5%. Erupsi obat terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat.

2
Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit merupakan kasus erupsi

obat. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari

50% kasus sindroma Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal

necrolysis terkait dengan penggunaan obat.6,14,15

2.1.3. Faktor Risiko Timbulnya Erupsi Obat

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:

1. Jenis kelamin dan usia

Anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan

dengan orang dewasa, akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat

alergi memiliki prognosis buruk. Pada anak – anak, ruam merah

yang timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis

erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita lebih

sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.10-12,16,17

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan

lingkungan. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte


antigen.10-12,16,17

3. Pajanan obat sebelumnya

Dapat terjadi pada pajanan obat yang sebelumnya menimbulkan

alergi ataupun obat-obatan lain yang memiliki struktur kimia yang

sama. Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten. Setelah

pajanan, imunnoglobulin E dapat bertahan dari 55 hingga 2000


hari.10-12,16,17

3
4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Seperti pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah


menderita dermatitis atopi.10-12,16,17
5. Bentuk obat

Seperti beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan

sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh.10-12,16,17

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih

menyebabkan erupsi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida

jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi

pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi obat.10-12,16,17

2.1.4. Patogenesis Erupsi Obat

Terdapat dua mekanisme yang dikenal yaitu mekanisme imunologis dan

mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat timbul karena reaksi

hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi

melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over

dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.11,17-20

Terdapat empat mekanisme imunologis. Reaksi pertama yaitu reaksi tipe I

(reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak ditemukan. Pada

tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin E yang mempunyai

afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak

menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama

4
maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang

pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, dan

heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek

misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya

syok. Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat

ikatan antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang

melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi

yang berakhir dengan lisis.11,17-20

Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks imun) dimana

antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen

antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam

jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen

merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan

terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat adalah reaksi tipe IV (reaksi

alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang

tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe

lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.21

5
Tabel 2.1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis

Tipe Contoh Kasus

Imunologis

Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta


laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat
penisillin
Serum sickness akibat anti-thymocyte
Reaksi Tipe 3
globulin

Dermatitis kontak akibat antihistamin


Reaksi Tipe 4
topikal

Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rash akibat


sulfonamid
Sindroma Stevens-Johnson
Fas/Fas ligand-induced apoptosis
Nekrolisis epidermal toksik

Non imunologis

Efek samping Bibir kering akibat


farmakologis antihistamin
Efek samping farmakologis Thrush akibat pemakaian
sekunder antibiotik
Toksisitas Hepatotoksisitas akibat
obat metotreksat
Kejang akibat kelebihan pemakaian
Overdosis
obat lidokain

Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin * Dikutip sesuai aslinya dari


kepustakaan nomor 18

6
2.1.5. Gambaran Klinis Erupsi Obat

Erupsi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan dengan gangguan

kulit lain pada umumnya, yaitu:

1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis

Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi

eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat. Seringkali

terdapat erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema

dan selalu ada gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam,

malaise, dan nyeri sendi. Lesi biasanya timbul dalam 1-2 minggu

setelah dimulainya terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh

ampisilin, obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan

tetrasiklin.11,17,21,22

2. Urtikaria dan angioedema

Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria, kadang-

kadang disertai angioedema. Pada angioedema yang berbahaya

ialah terjadinya asfiksia bila menyerang glotis. Keluhannya

umumnya gatal dan panas pada tempat lesi. Biasanya timbul

mendadak dan hilang perlahan-lahan dalam 24 jam. Urtikaria dapat

disertai demam, dan gejala-gejala umum, misalnya malese, nyeri

kepala dan vertigo. Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir,

kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus

angioedema pada lidah dan laring harus mendapat pertolongan

segera. Penyebab paling sering ialah penisilin, asam asetilsalisilat,

dan obat anti inflamasi non steroid.11,17,21,22

7
3. Eksantema Fikstum

Eksantema fikstum disebabkan khusus obat atau bahan kimia.

Eksantema fikstum merupakan salah satu erupsi kulit yang sering

dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa eritema dan vesikel

berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular. Kemudian

meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang,

bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan

bahwa kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.

Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah

penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin

karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai

eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah

sulfonamid, barbiturat, trimetoprim dan analgesik.23

4. Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)

Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya

disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-

macam penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya

psoriasis, penyakit sistemik temasuk keganasan pada sistem

limforetikular (penyakit Hodgkin, leukemia). Pada eritroderma

karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru

timbul pada stadium penyembuhan. Obat-obat yang biasa

menyebabkannya ialah sulfonamid, penisilin, dan

fenilbutazon.11,17,21,22

8
5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan yang

tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai

ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta muncul di

sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai bawah. Erupsi

berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan dan disertai


rasa gatal.11,17,21,22

6. Vaskulitis

Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat

berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya

distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum.

Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan anoreksia. Obat

penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti inflamasi non

steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika vaskulitis terjadi pada

pembuluh darah sedang berbentuk eritema nodosum. Kelainan

kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri dengan eritema di

atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malese. Tempat

predileksinya di daerah ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum

dapat pula disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya

tuberkulosis, infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap

sering menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan

kontrasepsi oral.11,17,21,22

9
7. Reaksi fotoalergik

Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis kontak

alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari.

Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah tidak terpajan

matahari. Obat yang dapat menyebabkan fotoalergi ialah

fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi non steroid, dan

griseofulvin.11,17,21,22

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut

Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang

terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut

oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis

kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-pustul miliar nonfolikular

yang timbul pada kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan

lesi menyerupai lesi target. Kelainan kulit timbul pada waktu

demam tinggi, dan pustul pustul tersebut cepat menghilang

sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa


hari.11,17,21,22

9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi kelainan berupa

eritema multiforme, sindroma Stevens-Johnson, dan nekrolisis

epidermal toksik.11,17,21,22

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustul intraepidermal atau

subkorneal yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrat

polimorfonuklear perivaskuler dengan eosinofil atau nekrosis fokal sel-sel

10
keratinosit. Terdapat 2 perbedaan utama antara Pustulosis eksantematosa

generalisata akut dan psoriasis pustulosa, yaitu Pustulosis eksantematosa

generalisata akut terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada Pustulosis

eksantematosa generalisata akut pustul-pustul pada kulit yang eritematosa dan

demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik juga

berbeda.11,17,21,22

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang Erupsi Obat

Pemeriksaan diagnostik untuk kasus erupsi obat adalah dengan

mengkonfirmasi marker biokemikal atau marker imunologi yang menyatakan

aktivasi jalur imunopatologi reaksi obat. Pemilihan pemeriksaan penunjang

didasarkan atas mekanisme imunologis yang mendasari erupsi obat. Pemeriksaan

penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

adalah sebagai berikut:

1. Biopsi kulit

Pemeriksaan histopatologi dan imunofloresensi direk dapat

membantu menegakkan diagnosis erupsi obat alergi. Hal ini dapat

dilihat dari adanya eosinofil dan edema jaringan. Akan tetapi

pemeriksaan ini tidak dapat menentukan obat penyebab

erupsi.10,12,14,24

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium digunakan untuk mengevaluasi dan

menegakkan diagnosis serta melihat kemungkinan etiologi

penyebab erupsi. Pemeriksaan ini mencakup perhitungan darah

11
lengkap (atypical lymphocytosis, neutrophilia, eosinophilia, dan

lain-lain) serta fungsi kerja hati dan ginjal. Peningkatan jumlah

eosinofil dapat menunjukkan erupsi obat alergi dimana bila

perhitungan eosinofil lebih dari 1000 sel/mm3 menunjukkan erupsi

obat alergi yang serius. Level obat dapat terdeteksi apabila terdapat

overdosis dari obat tersebut.10,12,14,24

3. Pemeriksaan uji tempel dan uji provokasi

Uji tempel (patch test) memberikan hasil yang masih belum dapat

dipercaya. Uji provokasi (exposure test) dengan melakukan

pemaparan kembali obat yang dicurigai adalah yang paling

membantu untuk saat ini, tetapi risiko dari timbulnya reaksi yang

lebih berat membuat cara ini harus dilakukan dengan cara hati-hati

dan harus sesuai dengan etika maupun alasan mediko

legalnya.10,12,14,24

2.1.7. Diagnosis Erupsi Obat

Dasar diagnosis erupsi obat adalah anamnesis yang teliti mengenai obat-

obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa hari

sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang

biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik

distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang

timbul.11,17,21,22

Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari

jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya.

12
Data mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data

kronologis mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian

obat dengan onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya

hal ini sulit untuk dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat

yang mempunyai waktu paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang

bersifat persisten.14

2.1.8. Penatalaksanaan Erupsi Obat

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan erupsi obat adalah

dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.

Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dihentikan secepat

mungkin.14

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria,

eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, dan eksantema

fikstum dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4 x 10 mg

sehari. Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan

kortikosteroid.14

Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering

atau basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2%

ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol ½-1% untuk mengurangi rasa

gatal. Jika dalam keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam

salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan

13
pengobatan topikal. Pada eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat

diberikan krim kortikosteroid, misalnya hidrokortison 1-2,5%. Pada eritroderma

dengan kelainan berupa eritema yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat

diberikan salep lanolin 10% yang dioleskan sebagian-sebagian.10-12,17,19,20

2.1.9. Prognosis Erupsi Obat

Pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuh bila obat

penyebabnya dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa

bentuk, misalnya eritroderma dan kelainan berupa sindrom Lyell dan sindroma

Stevens-Johnson, prognosis sangat tergantung pada luas kulit yang terkena.

Sindroma Stevens-Johnson memiliki angka mortalitas dibawah 5 % sedangkan

nekrosis epidermal toksik mencapai 20-30% dan kebanyakan pasien meninggal

akibat sepsis.14

2.2 Obat yang Sering Menyebabkan Erupsi Obat

Saha et al melaporkan jenis-jenis obat yang paling sering menyebabkan

erupsi obat adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti flurokuinolon sekitar

11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol sekitar

7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.8

Menurut penelitian Young, Jong & Joo, jenis-jenis obat yang paling sering

menyebabkan erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 34,10%, lalu

diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti inflamasi non

steroid sekitar 21,51%.24

14
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi mengemukakan jenis-jenis

obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah golongan antimikroba

yaitu sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar

21,90%. Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu kotrimoksazol

sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%.7,23

Jenis-jenis obat yang paling sering menyebabkan erupsi obat adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi

non steroid sekitar 22,9%, dan obat anti epilepsi sekitar 10%. Menurut penelitian

Ghosh, Acharya & Rao (2006), jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan

erupsi obat adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 30%, lalu diikuti golongan

anti epilepsi sekitar 25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%, dan obat anti piretik

sekitar 9%.23

Menurut penelitian Pudukadan & Thappa, jenis-jenis obat yang paling

sering menyebakan erupsi obat adalah kotrimoksazol yaitu sekitar 22,2%, lalu

diikuti dapson sekitar 17,7% dan menurut penelitian Sharma, Sethuraman &

Kumar, jenis-jenis obat yang paling sering menyebakan erupsi obat adalah

golongan antimikroba yaitu sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non

steroid sekitar 18%.15,22

15
BAB 3
KESIMPULAN

Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau daerah
mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat
yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. Reaksi silang obat
adalah reaksi berbahaya atau tidak diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk
pengobatan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah
sakit, pengobatan tambahan, dan menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen
sampai kematian. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Lebih dari
50% kasus sindroma Stevens-Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis
terkait dengan penggunaan obat. Faktor risiko terjadinya erupsi obat bermacam-macam, untuk
menegakkan diagnosis erupsi obat, harus ada riwayat menggunakan obat beberapa waktu sebelumnya.
Satu bentuk erupsi dapat disebabkan oleh beberapa jenis obat dan satu jenis obat dapat menyebabkan
beberapa bentuk erupsi. pengobatan erupsi obat sendiri dengan menetralkan atau mengeluarkan
obat tersebut dari dalam tubuh. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus
dihentikan secepat mungkin.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. United Nation Office on Drugs (UNODC). Information About Drugs [homepage on the
internet]. c.2015-[cited 2015 Jul 8]. Available from:
http://www.unodc.org/unodc/en/illicitdrugs/definitions/
2. Schatz S, Weber R. Adverse Drug Reactions. PSAP. 2015: 6-9.
3. Verma R, Vasudevan B, Pragasam V. Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions. Med J
Armed Forces India. 2013;69(4): 375.
4. Sanmartin O. Reactive Erythemas. In: Kerdel F, Acosta F, eds. Dermatology. Singapore:
McGraw Hill; 2003. p. 25-40.
5. Susilawati A, Akib AAP, Satari HI. Gambaran Klinis Fixed Drug Eruption pada Anak di
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. 2014;15(5): 269-273.
6. Lihite RJ, Lahkar M. A Study on Cutaneous Adverse Drug Reactions in ADR Monitoring
Centre of Tertiary Care Hospital, Guwahati. J Appl Pharm Sci. 2013; 3(3): 78-81.
7. Yogya Y. Erupsi Obat pada Pasien HIV / AIDS. 2014; 41(5): 347-51.
8. Choon SE, Lai NM. An Epidemiological and Clinical Analysis of Cutaneous Adverse Drug
Reactions Seen in a Tertiary Hospital in Johor, Malaysia. Indian J Dermatology, Venereol
Leprol. 2012; 78(6):734-9.
9. Mokhtari F, Nikyar Z, Naeni BA, Esfahani AA, Rahmani S. Adverse Cutaneous Drug
Reactions: Eight Year Assessment in Hospitalized Patients. J Res Med Sci. 2014; 19(8): 720-
5.
10. Thong B, Vervloet D. Drug Allergies [homepage on the internet]. Singapore: World Allergy
Organization; c.2015 [updated 2014; cited 2015 Jul 31]. Available from:
http://www.worldallergy.org/professional/allergic_dis eases_center/drugallergy/.
11. Patel TK, Thakkar SH, Sharma D. Cutaneous Adverse Drug Reaction in Indian Population: A
Systematic Review. Indian Dermatol Online J. 2014;5(2):1-9.
12. Farage MA, Miller KW, Maibach HI. Effect of Menopause on Autoimmune Diseases. Expert
Rev Obs Gynecol. 2012;7(6):557-60.
13. Yang S, Khang Y, Chun H, Harper S, Lynch J. The Changing Gender Differences in Life
Expectancy in Korea 1970-2005. Sos Sci Med. 2012;75(7):1280.
14. Aung AK, Haas DW, Hulgan T, Phillips EJ. Pharmacogenomics of Antimicrobial Agents.
Pharmacogenomics. 2014; 15(15): 1903-4.
15. Farshchian M, Ansar A, Zamanian A, Rahmatpour-Rokni G, Kimyai-Asadi A, Farshchian M.
Drug-Induced Skin Reactions : A 2-Year Study. Clin Cosmet Investig Dermatol. 2015:53-6.

17
16. Saleh PA, Amir MY, Palutturi S. Hubungan Faktor Sosial dan Psikologis dengan
Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan di RS Bhayangkara Makasar.2013:5
17. Lancet. Europe PMC Funders Group Worldwide trends in diabetes since 1980 : a pooled
analysis of 751 population-based studies with 4 · 4 million participants. 2016;387(10027):31.
18. Ahmed RH, Huri HZ, Al-hamodi Z, Salem SD, Muniandy S. Serum Levels of Soluble CD26 /
Dipeptidyl PeptidaseIV in Type 2 Diabetes Mellitus and Its Association with Metabolic
Syndrome and Therapy with Antidiabetic Agents in Malaysian Subjects. PLoS One.
2015;10(10):1- 12.
19. Kim SC, Schneeweiss S, Glynn RJ, Doherty M, Goldfine AB, Solomon DH. Dipeptidyl
peptidase-4 inhibitors in Type 2 Diabetes May Reduce the Risk of Autoimmune Diseases: A
Population-based Cohort Study. 2016;74(11):1975.
20. Umar SH, Kelly AP, Vinson RP, Elenitsas R, Elston DM, Patterson JW. Erythroderma
(Generalized Exfoliative Dermatitis) Treatment & Management [homepage on the internet].
c.2016-[cited 2016 Okt 27]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1106906-
treatment.
21. Banerjee S, Ghosh S, Mandal RK. A Study of Correlation Between Clinical and
Histopathological Findings of Erythroderma in North Bengal Population. Indian Dermatol
Online J. 2015;60(6):549-555.
22. Yuliastuti F, Purnomo A, Sidjaswadi R. Analisis Penggunaan Obat pada Pasien Rawat Jalan
di Rumah Sakit Umum Daerah Sleman Yogyakarta Periode April 2009. Media Farmasi.
2013; 10(2):104-113.
23. Han J, Yi Y, Li C, et al. Involvement of Histamine and RhoA / ROCK in Penicillin
Immediate Hypersensitivity Reactions. Nat Publ Gr. 2016:1-2
24. Maharani W, Setyowati M. Tinjauan Faktor Penyebab Ketidaklengkapan Dokumen Rekam
Medis Rawat Jalan di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang Tahun 2015.
2015;7-10

18

Anda mungkin juga menyukai