Anda di halaman 1dari 15

Referat

PICA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
Dimas Yudha Wahyu Setiyawan
212.12.100.29

Pembimbing

dr. Agustina Sjenny Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LAB. ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD BLAMBANGAN BANYUWANGI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pica adalah gangguan makan yang didefinisikan sebagai konsumsi zat-zat
yang tidak bergizi secara terus menerus selama kurang lebih satu bulan. Menurut
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi kelim (DSM-V),
ingesti zat tidak bergizi harus tidak sesuai untuk tingkat perkembangan anak. Pica
mungkin saja jinak namun bisa juga mengancam nyawa.1
Pica jauh lebih sering ditemukan pada anak kecil dibandingkan dengan
dewasa. Individu yang terdiagnosis pica dilaporkan menelan berbagai macam zat
non pangan termasuk tanah liat, kotoran, pasir, batu, kerikil, rambut, es, kuku,
kertas, kapur, kayu, bahkan batu bara. Pada orang dewasa, bentuk pica tertentu,
termasuk geofagia (makan tanah) dan amilofagia (makan kanji), telah dilaporkan
terjadi pada wanita hamil.
Walaupun pica diamati paling sering terjadi pada anak-anak, gangguan
makan ini adalah suatu hal yang paling umum terjadi pada individu dengan retardasi
mental. Dalam beberapa masyarakat, pica adalah suatu hal yang bersifat budaya
dan tidak dianggap patologis.1
Pica terjadi di seluruh dunia. Geofagia adalah bentuk paling umum dari pica
pada orang yang hidup dalam kemiskinan serta orang yang hidup di daerah tropis
dan bersuku-suku. Pica adalah hal yang lazim terjadi di bagian barat Kenya, Afrika
Selatan, dan India. Pica juga dilaporkan di Australia, Kanada, Israel, Iran, Uganda,
Wales, Turki, dan Jamaika. Di beberapa Negara, bahkan tanah dijual untuk tujuan
konsumsi. Di Indonesia sendiri belum ada data dan informasi yang jelas mengenai
gangguan makan jenis ini.2
Pica diperkirakan terjadi pada usia 10 sampai 32 persen anak-anak antara
usia 1 dan 6 tahun. Pada anak yang lebih dari 10 tahun, laporan pica menyatakan
angka kira-kira 10 persen dari populasi. Terjadi penurunan linier seiring dengan
bertambahnya usia. Pica kadang-kadang meluas ke golongan remaja namun jarang
ditemukan pada orang dewasa yang tidak cacat mental. Pada individu dengan
keterbelakangan mental, pica paling sering terjadi pada mereka yang berusia 10-20
tahun.2
Bayi dan anak sering menelan cat, plester, tali, rambut, dan kain. Anak-anak
lebih cenderung suka menelan kotoran hewan, pasir, serangga, daun, kerikil, dan
punting rokok. Sedangkan remaja dan orang dewasa paling sering menelan tanah
liat atau tanah. Pada wanita hamil muda, pica terjadi selama kehamilan pertama
pada masa remaja akhir atau dewasa awal. Meskipun pica biasanya berhenti pada
akhir kehamilan, namun bisa saja terus berlanjut hingga bertahun-tahun. Pica
biasanya terjadi dengan frekuensi yang sama antara laki-laki dan perempuan,
namun sangat jarang pada pria remaja dan dewasa.3

1.1 Rumusan Masalah


1. Apa definisi PICA?
2. Bagaimana cara penegakan diagnosa PICA?
3. Bagaimana penatalaksanaan PICA?

1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi PICA.
2. Mengetahui dan memahami cara penegakan diagnosa PICA.
3. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan PICA.

1.3 Manfaat
Penyusunan referat ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Sebagai tambahan pengetahuan dan sumber pustaka praktis tentang
PICA dengan demikian dapat memperluas wawasan kita di bidang
psikiatri.
2. Sebagai dasar untuk melakukan manajemen pasien PICA dengan baik
dalam praktek klinis sehari-hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu
makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,
misalnya tanah, pasir, rumput, bulu,selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat
kering, dinding tembok, dan sebagainya.4
Beberapa subtipe pica yang dinamakan sesuai dengan substansi yang
dimakan misalnya:
Amylophagia (konsumsi pati)
Coprophagy (konsumsi tinja)
Geophagy (konsumsi tanah, tanah liat, atau kapur)
Hyalophagia (konsumsi kaca)
Konsumsi debu atau pasir
Lithophagia (subset dari geophagia, konsumsi kerikil atau batu)
Mucophagia (konsumsi lendir)
Odowa (batu lembut dimakan oleh ibu hamil di Kenya)
Konsumsi cat
Pagophagia (konsumsi patologis es)
Self-kanibalisme (kondisi langka di mana bagian tubuh dapat
dikonsumsi)
Trichophagia (konsumsi rambut, bulu atau wol)
Urophagia (konsumsi urin)
Xylophagia (konsumsi kayu atau kertas)

2.2 Epidemiologi
Insiden pica lebih sering pada anak yang berusia lebih tua dan remaja. Pica
lebih lazim pada anak dan remaja dengan retardasi mental. Pica dilaporkan hingga
15% individu dengan retardasi mental berat. Pica dapat dijumpai pada kedua jenis
kelamin dengan angka kejadian sama besar.3
2.3 Etiologi
Insiden pica yang lebih tinggi dari perkiraan tampak terdapat pada kerabat
orang dengan gejala ini. Defisiensi gizi didalilkan sebagai penyebab pica, pada
keadaan tertentu, perasaan “nagih” zat-zat yang tidak dapat dimakan diakibatkan
oleh insufisiensi diet. Contohnya, perasaan “nagih” debu dan es kadang-kadang
disebabkan oleh defisiensi besi dan seng, yang dihilangkan dengan pemberiannya.
Insiden pengabaian dan deprivasi orang tua juga dikaitkan dengan kasus pica. Teori
yang menghubungkan deprivasi psikologis dan konsumsi zat yang tidak dapat
dimakan diajukan sebagai mekanisme kompensasi untuk memenuhi kebutuhan
oral.
Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat meningkatkan faktor
risiko terjadinya pica, yaitu:
Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1
tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar
bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.4
Diet. Orang yang diet mungkin mencoba untuk meringankan kelaparan
dengan makan zat non-pangan untuk mendapatkan perasaan kenyang,
Malnutrisi dan Penderita defisiensi gizi. Terutama di negara-negara
terbelakang, di mana orang-orang dengan pica paling sering makan tanah
atau tanah liat.
Faktor budaya. Dalam keluarga, agama, atau kelompok yang makan zat non-
pangan, digunakan untuk praktek pembelajaran.
Kelalaian orang tua, kurangnya pengawasan, atau kekurangan makanan
sering terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.
Masalah perkembangan, seperti keterbelakangan mental, autisme, cacat
perkembangan lainnya, atau kelainan otak.
Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan
skizofrenia.
Kehamilan. Pica selama kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang
selama masa kecil mereka atau sebelum kehamilan, memiliki riwayat pica
baik dirinysa sendiri, maupun dalam keluarga.5
2.4 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pica6
a. Retardasi Mental
b. Pervasive Developmental Disorder
c. Skizofrenia
d. Autis
e. Kleine-Levin syndrome

2.5 Penegakan Diagnosis


Presentasi klinis pica sangat bervariasi dan berhubungan dengan sifat
spesifik dari kondisi medis yang dihasilkan dan zat tertelan. Pada keracunan atau
paparan agen infeksi, gejala dilaporkan sangat bervariasi dan berhubungan dengan
jenis toksin atau agen infeksi tertelan. Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI)
seperti sembelit, sakit perut kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus,
mual dan muntah, distensi perut, dan kehilangan nafsu makan.1,4,5
Penilaian pica dapat menjadi tindakan yang sulit untuk diselesaikan,
sebagian besar karena individu tidak jujur dengan para profesional mengenai
perilaku pica (Young et al., 2010). Karena pica menjadi penyakit yang sulit
didiagnosis, profesional kesehatan harus melanjutkan dengan hati-hati dalam hal
penilaian. Ketika mempersiapkan untuk menetapkan diagnosis pika kepada pasien,
tenaga kesehatan profesional harus terlebih dahulu menentukan apakah seseorang
telah terlibat dalam pica pada lebih dari satu kali dan jika situasinya mengancam
jiwa (Williams & McAdam, 2012; Matson, Belva, Hattier, & Matson, 2011). Ini
diperlukan untuk penilaian yang tepat untuk memastikan diagnosis diberikan
dengan tepat. Williams dan McAdam (2012) mencatat bahwa seorang klinisi juga
harus mengidentifikasi pemicu apa pun yang memungkinkan seseorang untuk
melanjutkan perilaku yang melibatkan pica. Jika melakukan penilaian dalam
pengaturan aman, prosedur umpan aman dapat dimanfaatkan. Aman umpan
melibatkan penempatan item non-makanan yang dapat menarik individu yang
dicurigai dengan pica untuk mengkonsumsi barang-barang non-makanan dan
diamati terlibat dalam tindakan oleh dokter atau pengasuh (Fisher, Piazza,
Bowman, Kurtz, & Lachman, 1994). Langkah-langkah penilaian lain dapat
mencakup tindakan fisiologis untuk memeriksa penyimpangan dari langkah-
langkah normal di berbagai bidang seperti pemeriksaan tinja, penilaian darah
biokimia, dan pemeriksaan gigi.1,4,5,12

Tabel 1-1 Kriteria Diagnostik DSM-V -TR untuk Pica


A. Makan zat tanpa gizi yang menetap untuk periode sedikitnya 1 bulan.
B. Makan zat tanpa gizi tidak sesuai dengan tingkat perkembangan.
C. Perilaku makan bukan bagian dari praktik yang disetujui budaya.
D. Jika perilaku makan ini terjadi hanya selama perjalanan gangguan jiwa lain
(misalnya retardasi mental, gangguan perkembangan pervasif, skizofrenia),
gangguan ini cukup berat sehingga memerlukan perhatian klinis tersendiri.

Dari American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual


of Mental Disorder. 5th ed. Text rev, Washington, DC: American Psychiatric
Association; copyright 2012, dengan izin

2.5.1 Pemeriksaan fisik


Temuan fisik yang terkait dengan pica sangat bervariasi dan berhubungan
langsung dengan bahan yang tertelan dan konsekuensi medis selanjutnya. Temuan
ini seperti berikut:
a. Tanda keracunan
b. Tanda infeksi atau infestasi dari parasit
c. Manifestasi pada Gastrointestinal (GI)
d. Manifestasi pada gigi
Toksisitas adalah keracunan yang paling umum yang terkait dengan pica.
Tanda fisiknya tidak spesifik dan tak terlihat, dan kebanyakan anak dengan
keracunan timah tidak menunjukkan gejala. Manifestasi fisik dari keracunan dapat
seperti gejala neurologis (misalnya, mudah tersinggung, lesu, ataksia, inkoordinasi,
sakit kepala, kelumpuhan saraf, papil edema , ensefalopati, kejang, koma, atau
kematian) dan gejala pada saluran GI (misalnya, sembelit, sakit perut, kolik ,
muntah, anoreksia, atau diare). 1,4,5
Toxocariasis (termasuk larva migrans visceral dan ocular larva migrans) dan
ascariasis merupakan infeksi parasit paling sering yang terkait dengan pica. Gejala
Toxocariasis beragam dan tampaknya terkait dengan jumlah larva yang tertelan dan
organ mana tempat larva bermigrasi. Temuan fisik yang terkait dengan migrans
larva visceral adalah demam, hepatomegali, malaise, batuk, miokarditis, dan
encephalitis. Ocular larva migrans dapat menyebabkan lesi retina dan kehilangan
penglihatan. 1,4,5
Manifestasi pada saluran cerna berupa kelainan mekanik usus, sembelit,
ulserasi, perforasi, dan pengahalang usus yang disebabkan oleh pembentukan
bezoar dan konsumsi bahan yang dicerna ke dalam saluran pencernaan. Kelainan
gigi dapat terlihat pada pemeriksaan fisik, termasuk abrasi gigi yang parah,
abfraksi, dan kehilangan permukaan gigi. 1,4,5

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada tes laboratorium tunggal yang mengkonfirmasi atau
menyingkirkan diagnosis pika, tetapi beberapa tes laboratorium berguna karena
pika sering disertai dengan indeks yang abnormal misalnya kadar serum besi dan
seng. 1,4,5

2.6 Terapi
Langkah pertama di dalam terapi pika adalah untuk menentukan
penyebabnya jika memungkinkan. Jika pika disebabkan oleh situasi pengabaian
atau penganiayaan, tentu saja keadaan ini perlu diubah. Pajanan pada zat toksik,
seperti timah, harus dihilangkan. Tidak ada terapi definitif untuk pika; sebagian
besar terapi ditujukan pada edukasi dan modifikasi perilaku. Terapi menekankan
pendekatan psikososial, lingkungan, perilaku, dan pedoman keluarga. Upaya harus
dilakukan untuk mengurangi stresor psikososial yang signifikan.
A. Terapi lama
Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica didefinisikan
sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan keinginan-keinginan yang
abnormal untuk memakan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan makanan
yang lazim dikonsumsi seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah
perhatian karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu
dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang
sesungguhnya dan hal ini bisa menjadi berbahaya. Menurut Andrews, 1998
sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai rencana terapi pada
pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian edukasi serta saran-saran yang baik
mengenai nutrisi yang seimbang pada pasien pica menjadi suatu hal penting untuk
upaya mengurangi keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh
sehingga dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan
bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu
mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah hal yang
paling penting dalam manajemen pasien pica.7

B. Terapi Baru
a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis)
Terapi baru yang kemungkinan dapat digunakan dan telah
direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada pasien pica
adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRi)
dan neuroleptic atipical lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau
reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain
adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram.8

b. Bupropion (Farmakologis)
Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone norepinephrine and
dopamine reuptake inhibitor yang terbukti dapat digunakan sebagai terapi pada
gangguan pica yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang
parah.9
Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian, seperti menyusun ulang lingkungannya, konseling, dan terapi-terapi
perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi
selanjutnya seperti bupropion.9
Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100 mg dua kali
sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali sehari, gabapentin 600 mg tiga
kali sehari, topiramat 200 mg tiga kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10
mg/hari, naltrexon 50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40
mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap hari, dan vitamin E
800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion
selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap
bulan.9

c. Response Effort (Pendekatan perilaku)


Response effort merupakan salah satu terapi pada pica dengan pendekatan
metode perilaku. Pada terapi ini, yang dinilai adalah usaha pasien untuk berusaha
memakan sesuatu yang menjadi objek pica dan yang bukan objek pica. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Piazza et al (2002), penelitian ini menggunakan tiga
orang yang mengalami gangguan kejiwaan dan dibawa ke klinik Neurobehavioral
di Kennedy Krieger Institute. Pasien pertama memiliki riwayat memakan kunci
mobil, batu, tongkat penunjuk, kotoran, sarung tangan, dan baterai. Pasien kedua
memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, plastic, dan kotoran. Pasien
ketiga memiliki riwayat memakan batu, tongkat penunjuk, kotoran, pakaian, sabun,
dan feces.10, 12
Penelitian dilakukan di ruang tertutup yang terbuat dari bahan yang aman
jika dimakan, lalu disimpan benda objek yang biasa dimakan (seperti kunci mobil,
kotoran, dll) dan benda lain yang menjadi pengalih perhatian, dari kedua benda
tersebut akan diletakkan sedemikian caranya sehingga pasien akan menggunakan
low effort atau high effort untuk menjangkau benda-benda tersebut. Penelitian
dilakukan dengan mengamati response effort pada pica dan benda-benda pengalih
perhatian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada usaha untuk
mendapatkan benda-benda pengalih perhatian tinggi (high effort) sedangkan usaha
untuk mendapatkan objek pica mudah (low effort) maka pasien akan menjangkau
objek pica dan memakannya. Sehingga, jika kita menurunkan usaha untuk
menjangkau benda yang dapat dimakan akan menurunkan frekuensi kejadian pica.
Pada keadaan objek pica mudah dijangkau (low effort) misalnya benda-benda yang
didapat bebas ketika sedang bermain; dan benda-benda pengalih perhatian disimpan
susah untuk dijangkau (misalnya di saku seseorang di sekitar anak) maka akan
menurunkan kejadian pica. Sehingga kesimpulannya, para orang tua atau yang
merawat pasien pica harus menyimpan benda-benda yang berbahaya untuk
dimakan di tempat-tempat yang aman, dan meletakkan benda-benda pengalih
perhatian di tempat-tempat yang menarik untuk pasien sehingga dapat mengurangi
frekuensi pica pada pasien.10,12

d. Response Blocking
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang
merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda (bukan makanan)
untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response
blocking pada pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan
5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup
yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas
kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang bisa dimakan oleh
pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari
benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-
apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas.
Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari mulut
pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas
kertas.11
Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka
pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan tersebut,
walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka efeknya
tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari
pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien
mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga,
kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah pasien
mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah
pasien menjangkau bendabenda berbahaya untuk dimakan tersebut.11
2.7 Prognosis
Prognosis untuk pika beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi
normal, gangguan ini paling sering bersifat pulih spontan. Pada anak, pika biasanya
pulih seiring dengan meningkatnya usia; pada perempuan hamil, pika biasanya
terbatas pada masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada beberapa orang
dewasa, terutama mereka yang mengalami retardasi mental, pika dapat berlanjut
hingga bertahun-tahun. Data pemantauan lanjutan pada populasi ini terlalu terbatas
untuk memberikan suatu kesimpulan. Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi,
sebagian besar kasus pica berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan
sendirinya, tapi ada beberapa kasus yang berlanjut kemasa remaja dan dewasa
terutama ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan.

2.8 Komplikasi
Komplikasi pica dapat berupa11 :
a. Infeksi
b. Obstruksi usus
c. Menyebabkan keracunan
d. Malnutrisi
e. Diare
f. Anemia
g. Konstipasi
h. Kecacingan
BAB III
KESIMPULAN

Pica ialah nafsu makan penderita yang menunjukkan terhadap berbagai atau
salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu,
selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan
sebagainya Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut
kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi
perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya
dengan farmakologis yaituSelective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion,
serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychiatric Association. DSM-V: Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorders, Text Revision. American Psychiatric Press; 2012:103-
105.
2. Hagopian, L. P; Rooker, G. W; Rolider, N. U. Identifying Empirically
Supported Treatments for Pica in Individuals with Intellectual Disabilities. Res Dev
Disabil. Nov-Dec 2011;32(6):2114-20.
3. Young, S. L. Pica in Pregnancy: New Ideas About an Old Condition.
Annu Rev Nutr. Aug 21 2010;30:403-22.
4. Hassan, Rusepno., Alatas, Husein. 2008. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5. Hope Interprises Inc. Pica. Available from URL:
http://www.heionline.org/docs/training/pica.pdf
6. Cunningham, Eleese dan Wendy Marcason. 2001. Question of the month:
How do I help patients with pica?. Jurnal of the Academy of Nutrition and
Dietettics. 101(3): 318
7. Morrow, Alina. 2010. Condition & Disease: Eating & Weight Disorder.
Online. Diunduh dari http://www.omnimedicalsearch.com/conditionsdiseases/
pica-disorder-treatment-options.html.
8. Ginsberg, David L. 2006. Bupropion SR for Nicotine-Craving Pica in a
Developmentally Disabled Adult: Primary Psychiatry. Vol 13(12):28-30
9. Piazza, Cathleen., Henry S. Roanne., Kris M. Keeney et al. Varying
Response Effort in The Treatment of Pica Maintained by Automatic Reinforcment:
Journal Of Applied Behavior Analysis. Vol (35): 233-46
10.McCord, Brandon dan Jason W. Grosser. 2005. An Analysis Of
Response-Blocking Parameters In The Prevention Of Pica: Journal Of Applied
Behavior Analysis. Vol (38): 391-4
11.Johnson, C.D., Shynett, B., Dosch, R., Paulson, R. 2007. An Unusual
Case Of Tooth Loss, Abrasion, and Erosion Associated with A Culturally Accepted
Habit. Gen Dent. Vol. 55(5):445-8.
12. Chalker , Annette E. The Psychopathology of Pica: Etiology,
Assessment, and Treatment, 2017, VOL. 9

Anda mungkin juga menyukai