PICA
Oleh :
Dimas Yudha Wahyu Setiyawan
212.12.100.29
Pembimbing
1.2 Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi PICA.
2. Mengetahui dan memahami cara penegakan diagnosa PICA.
3. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan PICA.
1.3 Manfaat
Penyusunan referat ini dapat bermanfaat sebagai berikut:
1. Sebagai tambahan pengetahuan dan sumber pustaka praktis tentang
PICA dengan demikian dapat memperluas wawasan kita di bidang
psikiatri.
2. Sebagai dasar untuk melakukan manajemen pasien PICA dengan baik
dalam praktek klinis sehari-hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pica ialah nafsu makan yang aneh, yaitu penderita menunjukkan nafsu
makan terhadap berbagai atau salah satu obyek yang bukan tergolong makan,
misalnya tanah, pasir, rumput, bulu,selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat
kering, dinding tembok, dan sebagainya.4
Beberapa subtipe pica yang dinamakan sesuai dengan substansi yang
dimakan misalnya:
Amylophagia (konsumsi pati)
Coprophagy (konsumsi tinja)
Geophagy (konsumsi tanah, tanah liat, atau kapur)
Hyalophagia (konsumsi kaca)
Konsumsi debu atau pasir
Lithophagia (subset dari geophagia, konsumsi kerikil atau batu)
Mucophagia (konsumsi lendir)
Odowa (batu lembut dimakan oleh ibu hamil di Kenya)
Konsumsi cat
Pagophagia (konsumsi patologis es)
Self-kanibalisme (kondisi langka di mana bagian tubuh dapat
dikonsumsi)
Trichophagia (konsumsi rambut, bulu atau wol)
Urophagia (konsumsi urin)
Xylophagia (konsumsi kayu atau kertas)
2.2 Epidemiologi
Insiden pica lebih sering pada anak yang berusia lebih tua dan remaja. Pica
lebih lazim pada anak dan remaja dengan retardasi mental. Pica dilaporkan hingga
15% individu dengan retardasi mental berat. Pica dapat dijumpai pada kedua jenis
kelamin dengan angka kejadian sama besar.3
2.3 Etiologi
Insiden pica yang lebih tinggi dari perkiraan tampak terdapat pada kerabat
orang dengan gejala ini. Defisiensi gizi didalilkan sebagai penyebab pica, pada
keadaan tertentu, perasaan “nagih” zat-zat yang tidak dapat dimakan diakibatkan
oleh insufisiensi diet. Contohnya, perasaan “nagih” debu dan es kadang-kadang
disebabkan oleh defisiensi besi dan seng, yang dihilangkan dengan pemberiannya.
Insiden pengabaian dan deprivasi orang tua juga dikaitkan dengan kasus pica. Teori
yang menghubungkan deprivasi psikologis dan konsumsi zat yang tidak dapat
dimakan diajukan sebagai mekanisme kompensasi untuk memenuhi kebutuhan
oral.
Selain itu terdapat kondisi-kondisi tertentu yang dapat meningkatkan faktor
risiko terjadinya pica, yaitu:
Terdapat pada golongan anak di bawah umur 3 tahun, biasanya di atas 1
tahun, sebab bayi yang sedang belajar merangkak dan anak sapihan wajar
bila suka memasukkan benda-benda yang dipegangnya ke dalam mulutnya.4
Diet. Orang yang diet mungkin mencoba untuk meringankan kelaparan
dengan makan zat non-pangan untuk mendapatkan perasaan kenyang,
Malnutrisi dan Penderita defisiensi gizi. Terutama di negara-negara
terbelakang, di mana orang-orang dengan pica paling sering makan tanah
atau tanah liat.
Faktor budaya. Dalam keluarga, agama, atau kelompok yang makan zat non-
pangan, digunakan untuk praktek pembelajaran.
Kelalaian orang tua, kurangnya pengawasan, atau kekurangan makanan
sering terlihat pada anak-anak yang hidup dalam kemiskinan.
Masalah perkembangan, seperti keterbelakangan mental, autisme, cacat
perkembangan lainnya, atau kelainan otak.
Kondisi kesehatan mental, seperti gangguan obsesif-kompulsif (OCD) dan
skizofrenia.
Kehamilan. Pica selama kehamilan lebih sering terjadi pada wanita yang
selama masa kecil mereka atau sebelum kehamilan, memiliki riwayat pica
baik dirinysa sendiri, maupun dalam keluarga.5
2.4 Diagnosis Banding
Diagnosis banding pica6
a. Retardasi Mental
b. Pervasive Developmental Disorder
c. Skizofrenia
d. Autis
e. Kleine-Levin syndrome
2.6 Terapi
Langkah pertama di dalam terapi pika adalah untuk menentukan
penyebabnya jika memungkinkan. Jika pika disebabkan oleh situasi pengabaian
atau penganiayaan, tentu saja keadaan ini perlu diubah. Pajanan pada zat toksik,
seperti timah, harus dihilangkan. Tidak ada terapi definitif untuk pika; sebagian
besar terapi ditujukan pada edukasi dan modifikasi perilaku. Terapi menekankan
pendekatan psikososial, lingkungan, perilaku, dan pedoman keluarga. Upaya harus
dilakukan untuk mengurangi stresor psikososial yang signifikan.
A. Terapi lama
Menurut ADAManual Clinical Dietetics tahun 2000, Pica didefinisikan
sebagai kelainan psikobehavioral yang melibatkan keinginan-keinginan yang
abnormal untuk memakan sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan makanan
yang lazim dikonsumsi seperti tanah, kapur, dan sebagainya. Pica menjadi sebuah
perhatian karena substansi-substansi yang bukan merupakan makanan itu
dikhawatirkan dapat menggantikan nutrisi-nutrisi dari makanan yang
sesungguhnya dan hal ini bisa menjadi berbahaya. Menurut Andrews, 1998
sebenarnya tidak ada suatu panduan yang spesifik mengenai rencana terapi pada
pica, tetapi pendekatan personal dan pemberian edukasi serta saran-saran yang baik
mengenai nutrisi yang seimbang pada pasien pica menjadi suatu hal penting untuk
upaya mengurangi keinginan-keinginan mengkonsumsi benda-benda yang aneh
sehingga dapat tercipta keseimbangan nutrisi dalam tubuh. Rose, 2000 menyatakan
bahwa penatalaksanaan pasien pica dengan cara yang sama belum tentu
mendapatkan hasil yang sama, kesadaran dari praktisi kesehatan adalah hal yang
paling penting dalam manajemen pasien pica.7
B. Terapi Baru
a. Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (Farmakologis)
Terapi baru yang kemungkinan dapat digunakan dan telah
direkomendasikan karena hasil yang memuaskan saat diuji coba pada pasien pica
adalah terapi farmakologis dengan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRi)
dan neuroleptic atipical lain. Terapi baru ini bekerja dengan memblok reuptake atau
reabsorpsi serotonin oleh sel-sel saraf di otak. Beberapa jenis SSRi ini antara lain
adalah fluvoxamin, zimelidin, paroxetin, fluoxetin, dan citalopram.8
b. Bupropion (Farmakologis)
Bupropion merupakan golongan obat dari aminoketone norepinephrine and
dopamine reuptake inhibitor yang terbukti dapat digunakan sebagai terapi pada
gangguan pica yang persisten, kronik, dan mengalami ketergantungan nikotin yang
parah.9
Intervensi perilaku pada pasien pica dengan tujuan untuk mengalihkan
perhatian, seperti menyusun ulang lingkungannya, konseling, dan terapi-terapi
perilaku yang lain tidak berhasil, maka terapi farmakologis merupakan opsi
selanjutnya seperti bupropion.9
Pada juli 2003, bupropion dikeluarkan dengan regimen 100 mg dua kali
sehari ditambah dengan lamotrigin 200 mg tiga kali sehari, gabapentin 600 mg tiga
kali sehari, topiramat 200 mg tiga kali sehari, zonisamide 300 mg, loratadin 10
mg/hari, naltrexon 50 mg/hari, propanolol 60 mg dua kali sehari, paroxetin 40
mg/hari, risperidone 3 mg dua kali sehari, multivitamin setiap hari, dan vitamin E
800 IU dua kali sehari. Pada penelitian yang telah dikakukan, pemberian bupropion
selama 12 bulan, pasien mengalami penurunan episode pica menjadi 6.25 kali setiap
bulan.9
d. Response Blocking
Response Blocking merupakan usaha yang dilakukan oleh individu yang
merawat atau menjaga pasien pica agar tidak mengambil benda (bukan makanan)
untuk dimakan. McCord dan Grosser (2005) melakukan penelitian tentang response
blocking pada pasien pica yang dilakukan selama 10 menit selama 3 sampai dengan
5 hari setiap minggu. Pada penelitian ini, pasien ditempatkan di ruangan tertutup
yang di dalamnya terdapat kertas segi empat yang dilekatkan ke lantai dan di atas
kertas tersebut disimpan benda-benda (bukan makanan) yang bisa dimakan oleh
pasien pica. Lalu ada seorang terapis yang ada di ujung ruangan berjarak 3.1 m dari
benda yang ada di atas lantai. Pada percobaan pertama, terapis tidak bereaksi apa-
apa (tidak mencegah/mem-block) pasien saat akan mengambil benda di atas kertas.
Percobaan kedua, terapis mencegah ketika benda sudah berjarak 0.3 m dari mulut
pasien, pada percobaan ketiga, terapis mencegah pasien mengambil benda di atas
kertas.11
Pada penelitian ini menunjukan bahwa jika pasien tidak dicegah maka
pasien akan dengan leluasa memakan benda-benda bukan makanan tersebut,
walaupun dicegah, tetapi jika dicegah saat makanan sudah diambil maka efeknya
tidak efektif, pasien tetap tidak mau menjatuhkan makanan tersebut. Hasil dari
pencegahan ini akan efektif jika perawat atau seseorang yang menjaga pasien
mencegah pasien mengambil benda-benda berbahaya untuk dimakan. Sehingga,
kesimpulannya adalah pencegahan tidak efektif jika dilakukan setelah pasien
mengambil benda untuk dimakan, tetapi harus dilakukan usaha untuk mencegah
pasien menjangkau bendabenda berbahaya untuk dimakan tersebut.11
2.7 Prognosis
Prognosis untuk pika beragam, meskipun pada anak dengan intelegensi
normal, gangguan ini paling sering bersifat pulih spontan. Pada anak, pika biasanya
pulih seiring dengan meningkatnya usia; pada perempuan hamil, pika biasanya
terbatas pada masa kehamilan saja. Meskipun demikian, pada beberapa orang
dewasa, terutama mereka yang mengalami retardasi mental, pika dapat berlanjut
hingga bertahun-tahun. Data pemantauan lanjutan pada populasi ini terlalu terbatas
untuk memberikan suatu kesimpulan. Keberhasilan dalam pengobatan bervariasi,
sebagian besar kasus pica berlasung beberapa bulan dan akan sembuh dengan
sendirinya, tapi ada beberapa kasus yang berlanjut kemasa remaja dan dewasa
terutama ketika terjadi bersamaan dengan gangguan perkembangan.
2.8 Komplikasi
Komplikasi pica dapat berupa11 :
a. Infeksi
b. Obstruksi usus
c. Menyebabkan keracunan
d. Malnutrisi
e. Diare
f. Anemia
g. Konstipasi
h. Kecacingan
BAB III
KESIMPULAN
Pica ialah nafsu makan penderita yang menunjukkan terhadap berbagai atau
salah satu obyek yang bukan tergolong makan, misalnya tanah, pasir, rumput, bulu,
selimut wol, pecahan kaca, kotoran hewan, cat kering, dinding tembok, dan
sebagainya Gejala pada saluran Gastrointestinal (GI) seperti sembelit, sakit perut
kronis atau akut yang mungkin menyebar atau terfokus, mual dan muntah, distensi
perut, dan kehilangan nafsu makan. Terapi yang dapat diberikan diantaranya
dengan farmakologis yaituSelective Serotonin Reuptake Inhibitors dan Bupropion,
serta non farmakologis dengan respons effort dan respons blocking.
DAFTAR PUSTAKA