Anda di halaman 1dari 22

A.

Definisi
Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal. Salah satu studi menyatakan pasien yang
menghentikan terapi anti hipertensi maka lima kali lebih besar kemungkinannya
terkena stroke (Abdurrohman et al, 2014).
Hipertensi dianggap sebagai faktor risiko utama stroke, dimana stroke
merupakan penyakit yang sulit disembuhkan dan mempunyai dampak yang
sangat luas terhadap kelangsungan hidup penderita dan keluarganya. Hipertensi
sistolik dan distolik terbukti berpengaruh pada stroke. Dikemukakan bahwa
penderita dengan tekanan diastolik di atas 95 mmHg mempunyai risiko dua kali
lebih besar untuk terjadinya infark otak dibanding dengan tekanan diastolik
kurang dari 80 mmHg, sedangkan kenaikan sistolik lebih dari 180 mmHg
mempunyai risiko tiga kali terserang stroke iskemik dibandingkan dengan
dengan tekanan darah kurang 140 mmHg. Akan tetapi pada penderita usia lebih
65 tahun risiko stroke hanya 1,5 kali daripada normotensi (Agustina et al, 2014).
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang
dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang.
Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan
risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi
asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan,
dapat dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi (Abdurrohman et
al, 2014).

B. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan
persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai
hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun
eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi
pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Yogiantoro, 2014).
1. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial
merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang
mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi,
namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal
ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan
penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan
gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik
mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak
karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan
natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang
merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi
aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen (Klablunde, 2015).
2. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat
penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder
yang paling sering.7 Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1.1 Apabila
penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat
yang bersangkutan atau mengobati / mengoreksi kondisi komorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi
sekunder (Klablunde, 2015).
Penyakit Akibat Obat Obat
1. penyakit ginjal kronis 1. Kortikosteroid, ACTH
2. hiperaldosteronisme primer 2. Estrogen (biasanya pil KB dg
3. penyakit renovaskular kadar estrogen tinggi)
4. sindroma Cushing 3. NSAID, cox-2 inhibitor
5. pheochromocytoma 4. Fenilpropanolamine dan analog
6. koarktasi aorta 5. Cyclosporin dan tacrolimus
7. penyakit tiroid atau paratiroid 6. Eritropoetin
7. Sibutramin
8. Antidepresan (terutama
venlafaxine)
Tabel 1.1 Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Klablunde, 2015).

C. Klasifikasi Hipertensi
Ada beberapa klasifikasi dari hipertensi, diantaranya menurut The
Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection,
Eveluation, and Tretment of High Blood Pressure (JNC7) klasifikasi tekanan
darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi,
hipertensi derajat 1 dan derajat 2 (dilihat tabel 2), menurut World Health
Organization (WHO) dan International Society Of Hypertension Working Group
(ISHWG) (dilihat tabel 3) (Abdurrohman et al, 2014).

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7


Klasifikasi TDS (mmHg) TDD (mmHg)
Tekanan Darah
Normal < 120 Dan < 80
Prehipertensi 120 – 139 Atau 80 – 89
Hipertensi stadium 1 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi stadium 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

Tabel 3. Klasifikasi Tekanan Darah World Health Organization (WHO)


dan International Society Of Hypertension Working Group (ISHWG)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 Dan < 80
Normal < 130 Dan < 85
Normal tinggi / 130 – 139 Atau 85 – 89
pra hipertensi
Hipertensi derajat I 140 – 159 Atau 90 – 99
Hipertensi derajat II 160 – 179 Atau 100 – 109
Hipertensi derajat III ≥ 180 Atau ≥ 110

D. Faktor Risiko Hipertensi


1. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
a. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang
semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun
mempunyai risiko terkena hipertensi. Dengan bertambahnya umur, risiko
terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan
usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 %
diatas umur 60 tahun. Arteri kehilangan elastisitasnya atau kelenturannya
dan tekanan darah seiring bertambahnya usia, kebanyakan orang
hipertensinya meningkat ketika 50an dan 60an (Agustina et al, 2014).
Dengan bertambahnya umur, risiko terjadinya hipertensi
meningkat. Meskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun
paling sering dijumpai pada orang berusia 35 tahun atau lebih. Sebenarnya
wajar bila tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur.
Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah
dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain
maka bisa memicu terjadinya hipertensi (Agustina et al, 2014).
b. Jenis Kelamin
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi dari pada
wanita. Hipertensi berdasarkan jenis kelamin ini dapat pula dipengaruhi
oleh faktor psikologis. Pada pria seringkali dipicu oleh perilaku tidak sehat
(merokok, kelebihan berat badan), depresi dan rendahnya status pekerjaan.
Sedangkan pada wanita lebih berhubungan dengan pekerjaan yang
mempengaruhi faktor psikis (Agustina et al, 2014).
c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang
mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga
dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi
risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang
memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi
2-5 kali lipat. Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi,
kemungkunan kita mendapatkan penyakit tersebut 60% (Agustina et al,
2014).
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar
monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang
penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial)
apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama
lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam
waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Abdurrohman et
al, 2015).

2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol


a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara
rokok dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan.
Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah
rokok yang dihisap perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari
menjadi 2 kali lebih rentan hipertensi dari pada mereka yang tidak
merokok (Deaver et al, 2015).
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang
diisap melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses
aterosklerosis dan hipertensi (Deaver et al, 2015).
b. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram
tiap hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika
asupan garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat
menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi
melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah
(Siswanto et al, 2014).
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena
menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3
gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi.
Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara
dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari. Asupan natrium yang
meningkat menyebabkan tubuh meretensi cairan yang meningkatkan
volume darah (Jolly et al, 2015).
c. Konsumsi Lemak Jenuh
Kebiasaan konsumsi lemak jenuh erat kaitannya dengan
peningkatan berat badan yang berisiko terjadinya hipertensi. Konsumsi
lemak jenuh juga meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan
dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh,
terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan
peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari
minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari
tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Siswanto et al, 2014).
d. Penggunaan Jelantah
Jelantah adalah minyak goreng yang sudah lebih dari satu kali
dipakai untuk menggoreng, dan minyak goreng ini merupakan minyak
yang telah rusak. Bahan dasar minyak goreng bisa bermacam-macam
seperti kelapa, sawit, kedelai, jagung dan lain-lain. Meskipun beragam,
secara kimia isi kendungannya sebetulnya tidak jauh berbeda, yakni terdiri
dari beraneka ) dan asam lemak tidak jenuh (ALTJ). Dalam jumlah kecil
terdapat lesitin, cephalin, fosfatida, sterol, asam lemak bebas, lilin, pigmen
larut lemak, karbohidrat dan protein. Hal yang menyebabkan berbeda
adalah komposisinya, minyak sawit mengandung sekitar 45,5% ALJ yang
didominasi oleh lemak palmitat dan 54,1% ALTJ yang didominasi asam
lemak oleat sering juga disebut omega-9. minyak kelapa mengadung 80%
ALJ dan 20% ALTJ, sementara minyak zaitun dan minyak biji bunga
matahari hampir 90% komposisinya adalah ALTJ (Siswanto et al, 2014).
e. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol
berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi
belum diketahui secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu
sering atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari
pada individu yang tidak minum atau minum sedikit (Siswanto et al,
2014).
Konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan
bahwa 10 % kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol.
Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas.
Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel
darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan
tekanan darah (Abdurrohman et al, 2014).
f. Obesitas
Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh,
makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan
makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui
pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar
pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi
denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin
menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Siswanto et al, 2014).
Berat badan dan indeks Massa Tubuh (IMT) berkorelasi langsung
dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk
menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi
ditemukan sekitar 20-30 % memiliki berat badan lebih (Yogiantoro, 2015).
g. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi
karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif
juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi
sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan
yang dibebankan pada arteri (Mozzaffarian et al, 2016).
h. Stres
Stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu
dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal kembali. Peristiwa
mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan tekanan darah, namun
akibat stress berkelanjutan yang dapat menimbulkan hipertensi belum
dapat dipastikan
i. Penggunaan Estrogen
Estrogen meningkatkan risiko hipertensi tetapi secara epidemiologi
belum ada data apakah peningkatan tekanan darah tersebut disebabkan
karena estrogen dari dalam tubuh atau dari penggunaan kontrasepsi
hormonal estrogen. MN Bustan menyatakan bahwa dengan lamanya
pemakaian kontrasepsi estrogen (± 12 tahun berturut-turut), akan
meningkatkan tekanan darah perempuan (Mozzaffarian et al, 2016).

E. Patogenesis Hipertensi
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem
sirkulasi dilakukan oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan
dukungan dari arteri (peripheral resistance/PR). Fungsi kerja masing-masing
penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh interaksi dari berbagai faktor yang
kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan abnormalitas dari faktor-faktor
tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan atau ketahanan
peripheral (Mozzaffarian et al, 2016).

F. Gejala Klinis Hipertensi


Gejala klinis yang di alami oleh para penderita hipertensi biasanya
berupa pusing, mudah marah, telinga berdengung, sukar tidur, sesak nafas, rasa
berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang, dan mimisan. Individu
yang menderita hipertensi kadang tidak menampakkan gejala sampai bertahun-
tahun, bila ada gejala menunjukkan adanya kerusakan vaskuler, dengan
manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh
darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi
sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari). Keterlibatan pembuluh
darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi, atau gangguan tajam
pengelihatan. Sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi
bertahun-tahun berupa nyeri kepala, kadang-kadang disertai mual dan muntah,
akibat peningkatan tekanan darah intrakranial. Pada pemeriksaan fisik, tidak di
jumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula
ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, adanya eksudat (kumpulan
cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil
(Mozaffarian et al, 2016).
G. Diagnosis Hipertensi
1. Anamnesis
Anamnesis yang perlu ditanyakan kepada seorang penderita hipertensi
meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
 Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
 Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih hematuri,
pemakaian oba-obatan analgesic dan obat/ bahan lain.
 Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan palpitasi
(feokromositoma).
c. Faktor-faktor resiko (riwayat hipertensi/ kardiovaskular pada pasien
atau keluarga pasien, riwayat hiperlipidemia, riwayat diabetes
mellitus, kebiasaan merokok, pola makan, kegemukan, insentitas
olahraga)
d. Gejala kerusakan organ
 Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attacks, defisit neurologis
 Jantung: Palpitasi,nyeri dada, sesak, bengkak di kaki
 Ginjal: Poliuria, nokturia, hematuria
e. Riwayat pengobatan antihipertensi sebelumnya
2. Pemeriksaan Fisik
a. Memeriksa tekanan darah
 Pengukuran rutin di kamar periksa
- Pasien diminta duduk dikursi setelah beristirahat selam 5
menit, kaki di lantai dan lengan setinggi jantung
- Pemilihan manset sesuai ukuran lengan pasien (dewasa:
panjang 12-13, lebar 35 cm)
- Stetoskop diletakkan di tempat yang tepat (fossa cubiti tepat
diatas arteri brachialis)
- Lakukan penngukuran sistolik dan diastolic dengan
menggunakan suara Korotkoff fase I dan V
- Pengukuran dilakukan 2x dengan jarak 1-5 menit, boleh
diulang kalau pemeriksaan pertama dan kedua bedanya
terlalu jauh.
 Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-
ABPM)
- Hipertensi borderline atau yang bersifat episodic
- Hipertensi office atau white coat
- Hipertensi sekunder
- Sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan
antihipertensi
 Pengukuran sendiri oleh pasien
b. Evaluasi penyakit penyerta kerusakan organ target serta
kemungkinan hipertensi sekunder
Umumnya untuk penegakkan diagnosis hipertensi diperlukan
pengukuran tekanan darah minimal 2 kali dengan jarak 1 minggu bila
tekanan darah < 160/100 mmHg.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari:
 Tes darah rutin (hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit)
 Urinalisis terutama untuk deteksi adanya darah, protein, gula
 Profil lipid (total kolesterol (kolesterol total serum, HDL serum, LDL
serum, trigliserida serum)
 Elektrolit (kalium)
 Fungsi ginjal (Ureum dan kreatinin)
 Asam urat (serum)
 Gula darah (sewaktu/ puasa dengan 2 jam PP)
 Elektrokardiografi (EKG)
Beberapa anjurantest lainnya seperti:
 Ekokardiografi jika diduga adanya kerusakan organ sasaran seperti
adanya LVH
 Plasma rennin activity (PRA), aldosteron, katekolamin urin
 Ultrasonografi pembuluh darah besar (karotis dan femoral)
 Ultrasonografi ginjal jika diduga adanya kelainan ginjal
 Pemeriksaaan neurologis untuk mengetahui kerusakan pada otak
 Funduskopi untuk mengetahui kerusakan pada mata
 Mikroalbuminuria atau perbandingan albumin/kreatinin urin
 Foto thorax (Yogiantoro, 2016).

H. Pengukuran Tekanan Darah


Tekanan darah diukur berdasarkan berat kolum air raksa yang harus
ditanggungnya. Tingginya dinyatakan dalam millimeter. Tekanan darah arteri
yang normal adalah 110-120 (sistolik) dan 65-80 mm (diastolik). Alat untuk
mengukur tekanan darah disebut spigmomanometer. Ada beberapa jenis
spigmomanometer, tetapi yang paling umum terdiri dari sebuah manset karet,
yang dibalut dengan bahan yang difiksasi disekitarnya secara merata tanpa
menimbulkan konstriksi. Sebuah tangan kecil dihubungkan dengan manset karet
ini. Dengan alat ini, udara dapat dipompakan kedalamnya, mengembangkan
manset karet tersebut dan menekan akstremita dan pembuluh darah yang ada
didalamnya. Bantalan ini juga dihubungkan juga dengan sebuah manometer
yang mengandung air raksa sehingga tekanan udara didalamnya dapat dibaca
sesuai skala yang ada (Mozzaffarian et al, 2016)
Untuk mengukur tekanan darah, manset karet difiksasi melingkari lengan
dan denyut pada pergelangan tangan diraba dengan satu tangan, sementara
tangan yang lain digunakan untuk mengembangkan manset sampai suatu
tekanan, dimana denyut arteri radialis tidak lagi teraba. Sebuah stetoskop
diletakkan diatas denyut arteri brakialis pada fosa kubiti dan tekanan pada
manset karet diturunkan perlahan dengan melonggarkan katupnya. Ketika
tekanan diturunkan, mula-mula tidak terdengar suara, namun ketika mencapai
tekanan darah sistolik terdengar suara ketukan (tapping sound) pada stetoskop
(Korotkoff fase I). Pada saat itu tinggi air raksa didalam namometer harus dicatat.
Ketika tekanan didalam manset diturunkan, suara semakin keras sampai saat
tekanan darah diastolik tercapai, karakter bunyi tersebut berubah dan meredup
(Korotkoff fase IV). Penurunan tekanan manset lebih lanjut akan menyebabkan
bunyi menghilang sama sekali (Korotkoff fase V). Tekanan diastolik dicatat pada
saat menghilangnya karakter bunyi tersebut (Mozzaffarian et al, 2016)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengukuran tekanan darah,
yaitu:
1. Pengukuran tekanan darah boleh dilaksanakan pada posisi duduk ataupun
berbaring. Namun yang penting, lengan tangan harus dapat diletakkan dengan
santai.
2. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka yang
agak lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun selisihnya
relatif kecil.
3. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang yang
bangun tidur, akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan darah
yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain akan memberi angka
yang lebih tinggi. Di samping itu, juga tidak boleh merokok atau minum kopi
karena merokok atau minum kopi akan menyebabkan tekanan darah sedikit
naik.
4. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali
berturut-turut, dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai
dihitung. Jika hasilnya berbeda maka nilai yang dipakai adalah nilai yang
terendah.
5. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang
mengembang harus melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari
panjang lengan atas (Abdurrohman et al, 2014)

I. Penatalaksanaan Hipertensi
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis
Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum
penambahan obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh
seorang yang sedang dalam terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang
terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini dapat membantu pengurangan
dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu, modifikasi gaya hidup
merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi (Klablunde, 2015).
Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan hipertensi
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan
mengurangi asupan alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental,
sampai pengurangan sekitar 10 kg berat badan berhubungan langsung
dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3 mmHg per kg berat badan
(Klablunde, 2015).
Restriksi garam. Ion natrium mengakibatkan retensi air, sehingga
volume darah bertambahdan menyebabkan daya tahan pembuluh
meningkat. Juga memperkuat efek vasokonstriksi noradrenalin. Secara
statistika, ternyata bahwa pada kelompok penduduk yang mengkonsumsi
terlalu banyak garam terdapat lebih banyak hipertensi daripada orang-
orang yang memakan hanya sedikit garam (Klablunde, 2015).
Berhenti merokok. Nikotin dalam tembakau adalah penyebab
tekanan darah meningkat. Hal ini karena nikotin terserap oleh pembuluh
darah yang kecil dalam paru – paru dan disebarkan keseluruh aliran darah.
Hanya dibutuhkan waktu 10 detik bagi nikotin untuk sampai ke otak. Otak
bereaksi terhadap nikotin dengan memberikan sinyal kepada kelenjer
adrenal untuk melepaskan efinephrine (adrenalin). Hormon yang sangat
kuat ini menyempitkan pembuluh darah, sehingga memaksa jantung
untuk memompa lebih keras dibawah tekanan yang lebih tinggi. Selain itu
juga terdapat kandungan tar yang dapat mengakibatkan kerusakan sel paru
(Klablunde, 2015).
2. Olahraga dan aktifitas fisik
Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan
aktifitas fisik teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan
menjaga kebugaran tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang baik
dilakukan untuk penderita hipertensi. Dianjurkan untuk olahraga teratur,
minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan
darah walaupun berat badan belum tentu turun.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan
perifer sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat
menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat
menurunkan tekanan darah. Yang perlu diingat adalah bahwa olahraga saja
tidak dapat digunakan sebagai pengobatan hipertensi (Agustina et al,
2014).
Beberapa patokan berikut ini perlu dipenuhi sebelum memutuskan
berolahraga, antara lain:
a. Penderita hipertensi sebaiknya dikontrol atau dikendalikan tanpa atau
dengan obat terlebih dahulu tekanan darahnya, sehingga tekanan darah
sistolik tidak melebihi 160 mmHg dan tekanan darah diastolik tidak
melebihi 100 mmHg.
b. Alangkah tepat jika sebelum berolahraga terlebih dahulu mendapat
informasi mengenai penyebab hipertensi yang sedang diderita.
c. Sebelum melakukan latihan sebaiknya telah dilakukan uji latih jantung
dengan beban (treadmill/ergometer) agar dapat dinilai reaksi tekanan
darah serta perubahan aktifitas listrik jantung (EKG), sekaligus menilai
tingkat kapasitas fisik.
d. Pada saat uji latih sebaiknya obat yang sedang diminum tetap
diteruskan sehingga dapat diketahui efektifitas obat terhadap kenaikan
beban.
e. Latihan yang diberikan ditujukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh
dan tidak menambah peningkatan darah.
f. Olahraga yang bersifat kompetisi tidak diperbolehkan.
g. Olahraga peningkatan kekuatan tidak diperbolehkan.
h. Secara teratur memeriksakan tekanan darah sebelum dan sesudah
latihan.
i. Salah satu dari olahraga hipertensi adalah timbulnya penurunan tekanan
darah sehingga olahraga dapat menjadi salah satu obat hipertensi.
j. Umumnya penderita hipertensi mempunyai kecenderungan ada
kaitannya dengan beban emosi (stres). Oleh karena itu disamping
olahraga yang bersifat fisik dilakukan pula olahraga pengendalian
emosi, artinya berusaha mengatasi ketegangan emosional yang ada.
k. Jika hasil latihan menunjukkan penurunan tekanan darah, maka
dosis/takaran obat yang sedang digunakan sebaiknya dilakukan
penyesuaian (pengurangan) (Yogiantoro, 2014).
3. Perubahan pola makan
a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya
penurunan berat badan dapat digunakan sebagai langkah awal
pengobatan hipertensi. Nasihat pengurangan asupan garam harus
memperhatikan kebiasaan makan pasien, dengan memperhitungkan
jenis makanan tertentu yang banyak mengandung garam. Pembatasan
asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak menambahkan
garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas
garam. Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan
mengurangi asupan garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan
makan pasien secara drastic (Klablunde, 2015).
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis
yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi
lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari
hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang
berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang
bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Siswanto et
al, 2014).
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah
lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral
bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya
dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko
terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium
bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayur-
sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri,
kol, jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak
mengandung magnesium). Sedangkan susu dan produk susu
mengandung banyak kalsium (Siswanto et al, 2014).
4. Menghilangkan stress
Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau
bahkan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk
menghilangkan stres yaitu perubahan pola hidup dengan membuat
perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban
stres. Perubahan-perubahan itu ialah:
a. Rencanakan semua dengan baik. Buatlah jadwal tertulis untuk kegiatan
setiap hari sehingga tidak akan terjadi bentrokan acara atau kita
terpaksa harus terburu-buru untuk tepat waktu memenuhi suatu janji
atau aktifitas.
b. Sederhanakan jadwal. Cobalah bekerja dengan lebih santai.
c. Bebaskan diri dari stres yang berhubungan dengan pekerjaan.
d. Siapkan cadangan untuk keuangan
e. Berolahraga.
f. Makanlah yang benar.
g. Tidur yang cukup.
h. Ubahlah gaya. Amati sikap tubuh dan perilaku saat sedang dilanda
stres.
i. Sediakan waktu untuk keluar dari kegiatan rutin.
j. Binalah hubungan sosial yang baik.
k. Ubalah pola pikir. Perhatikan pola pikir agar dapat menekan perasaan
kritis atau negatif terhadap diri sendiri.
l. Sediakan waktu untuk hal-hal yang memerlukan perhatian khusus.
m. Carilah humor.
n. Berserah diri pada Yang Maha Kuasa (Siswanto et al, 2014).
2. Penatalaksanaan Farmakologis
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi
yang dianjurkan oleh JNC 7:
a. Diuretic, terutama jenis Thiazide (Thiaz) Aldosteron Antagonist (Ald Ant)
b. Beta Blocker (BB)
c. Calcium channel blocker atau Calcium antagonist (CCB)
d. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
e. Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 Receptor angiotensint/ blocker
(ARB).
Adapun Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7 dapat dilihat
pada tebel 5 dibawah ini :
Tabel 5. Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7
Klasifikasi TDS TDD Perbaikan Tanpa Dengan
Tekanan (mmHg) (mmHg) Pola Hidup indikasi yang indikasi yang
Darah memaksa memaksa
Normal < 120 Dan <80 Dianjurkan

Prehipertensi 120-139 atau Ya Tidak indikasi Obat-obatan


80-89 obat untuk indikasi
yang memaksa
Hipertensi 140-159 Atau Ya Diuretic jenis Obat-obatan
derajat 1 90-99 Thiazide untuk untuk indikasi
sebagian besar yang memaksa
kasus, dapat Obat
dipertimbangka antihipertensi
n ACEI, ARB, lain (diuretika,
BB, CCB, atau ACEI, ARB,
kombinasi BB, CCB)
sesuai
kebutuhan
Hipertensi ≥160 Atau Ya Kombinasi 2
derajat 2 ≥100 obat untuk
sebagian besar
kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACEI atau
ARB atau BB
atau CCB
Tatalaksana hipertensi menurut menurut JNC7.
Masing-masing obat antihipertensi memliki efektivitas dan keamanan
dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga
dipengaruhi beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor sosio ekonomi
b. Profil factor resiko kardiovaskular
c. Ada tidaknya kerusakan organ target
d. Ada tidaknya penyakit penyerta
e. Variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi
f. Kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk
penyakit lain
g. Bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam
menurunkan resiko kardiovasskular (Abdurrohman et al, 2014)
Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan
hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah
penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat
antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang
menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi tertentu memiliki kelebihan
untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada
pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus
(special considerations), yaitu kelompok indikasi yang memaksa (compelling
indication) dan keadaan khusus lainnya (special situations).
Indikasi yang memaksa meliputi:
a. Gagal jantung
b. Pasca infark miokardium
c. Resiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi
d. Diabetes
e. Penyakit ginjal kronis
f. Pencegahan strok berulang.2
Keadaan khusus lainnya meliputi :
a. Populasi minoritas
b. Obesitas dan sindrom metabolic
c. Hipertrofi ventrikel kanan
d. Penyakit arteri perifer
e. Hipertensi pada usia lanjut
f. Hipotensi postural
g. Demensia
h. Hipertensi pada perempuan
i. Hipertensi pada anak dan dewasa muda
j. Hipertensi urgensi dan emergensi (Yogiantoro, 2015).
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara
bertahap, dan target tekanan darah dicapai secara progresif dalam beberapa
minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa
kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali
sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi
atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis
rendah, dan kemudian darah belum mencapai target, maka langkah
selanjutnya adalah meningkatnya dosis obat tertentu, atau berpindah ke
antihipertensi lain dengan rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari
dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi.
Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk
mencapai target tekanan darah, tetapi kombinasi dapat meningkatkan biaya
pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus
diminum bertambah (Abdurrohman et al, 2014).

Parmer dkk. Study Of Knowledge, Attitude and Practice of General Population of


Gandhinagar Toward Hypertension. 2014. 13.

Abdurrohman dkk. Effect of education on health behavior and adult


hypertension prevention of age 20-45 years 2014.

Klabunde, R., 2015. Konsep Fisiologi Kardiovaskular, Edisi 2. Jakarta : Penerbit


Buku Kedokteran EGC

Mozzaffarian, D, Benjamin, Emelia J., Go, Alan S., Arnett, Doma K., Blaha,
Michael J., Chrusman, M., Das, Sandeep R., Ferranti, Sarah de, et al, 2016. Executive
Summary : Heart Disease and Stroke Statistic – 2016 Update. Greenville Avenue Dallas :
American Heart Association
Siswanto, dkk, 2014. Suvei Konsumsi Makanan Individu Studi Diet Total. Cetakan
Pertama. Jakarta : Lembaga Penerbitan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.

Agustina S., dkk. (2014). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi


Pada Lansia di Atas Umur 65 Tahun. Jurnal Kesehatan Komunitas. Vol. 2, No. 4, Mei 2014

Deaver, U.J, Samuel, A.J, Rai, K. 2015. Hypertension: contributing risk factors and
lifestyle modification among hypertensive clients. Maharishi Markandeshwar University,
Ambala, Haryana,India

Jolly, Stacey E. 2015. Prevalence of hypertension and associated risk factors in


Western Alaska native people: the Western Alaska Tribal Collaborative for Health
(WATCH) study. Public Health Focus. The Journal of Clinical Hypertension University of
Washington.

Yogiantoro M, 2014, Pendekatan Klinis Hipertensi: Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam, Edisi Keenam Jilid II, Interna Publishing, Jakarta

Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta : Buku


Kedokteran EGC ; 2014. 408.

Anda mungkin juga menyukai