Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU PENYAKIT ANAK


ANEMIA DEFISIENSI BESI

Pembimbing :
dr. Bing Rudyanto, Sp.A

Penyusun :
Firza Nurul Ziana
20190420084

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSPAL DR. RAMELAN SURABAYA
2020

2
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Referat “Anemia Defisiensi Besi telah diperiksa dan disetujui


sebagai salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan
Dokter Muda di bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Bing Rudyanto, Sp.A

3
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................3
BAB 1..........................................................................................................4
PENDAHULUAN..........................................................................................4
BAB 2..........................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................6
2.1 Definisi.............................................................................................6

2.2 Epidemiologi....................................................................................6

2.3 Etiologi.............................................................................................7

2.4 Patofisiologi.....................................................................................8

2.5 Klasifikasi.......................................................................................10

2.6 Manifestasi Klinis...........................................................................10

2.7 Diagnosis.......................................................................................13

2.8 Penatalaksanaan..........................................................................15

2.9 Diagnosa banding..........................................................................17

2.10 Prevensi.......................................................................................18

2.11 Edukasi........................................................................................20

2.12 Prognosis.....................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................22

4
BAB 1
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi
nutrien tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya
zat besi dalam tubuh penderita. Diperkirakan 30% populasi dunia
menderita anemia defisiensi besi, kebanyakan dari jumlah tersebut ada di
negara berkembang. (Ozdemir, N. 2015)
Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir
masa bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat
defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak
yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena
penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga
banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat
menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan
prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak
balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan,
bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut- turut sebesar 61,3%, 64,8% dan
48,1%. (Ozdemir, N. 2015)
Insidensi defisiensi besi terkait dengan aspek mendasar dari
metabolisme besi dan nutrisi. Tubuh dari neonatus cukup bulan
mengandung 0,5 gram besi, pada tubuh dewasa terkandung 5 gram besi.
Perubahan kuantitas besi dari lahir ke dewasa berarti bahwa sekitar 0,8
mg besi harus diabsorbsi tiap harinya selama 15 tahun kehidupan seorang
anak. Sejumlah kecil besi dibutuhkan untuk menggantikan jumlah yang
hilang pada proses kerusakan sel.
Sehingga perlu untuk dilakukan absorbs kurang lebih 1 mg tiap
harinya untuk menjaga jumlah positif pada usia anak. Karena hanya
kurang dari 10 % jumlah besi yang diserap setiap harinya, asupan gizi 8-
5
10 mg besi per hari dibutuhkan untuk menjaga jumlah besi dalam tubuh.
Selama usia bayi, ketika pertumbuhan paling pesat, kurang lebih 1 mg/L
besi dari susu sapi dan ASI menyebabkan sulitnya mempertahankan
kadar besi dalam tubuh. Bayi yang mendapatkan ASI memiliki keuntungan
karena jumlah besi yang diserap 2-3 kali lebih efisien dibandingkan dari
bayi yang mendapat asupan susu sapi. (Abdulsalam, M, dkk. 2002)
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan
sistem saraf yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter,
dendritogenesis dan metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat
mempengaruhi fungsi kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang
bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga
mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada
remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan
meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya
hemoglobin dalam tubuh. Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia
yang disebabkan oleh kekurangan zat besi yang dibutuhkan untuk sintesis
hemoglobin. Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang
terjadi cukup berat sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu dan
menyebabkan terbentuknya anemia. Keadaan ini akan menyebabkan
kelemahan sehingga menjadi halangan untuk beraktivitas dan juga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak (Amelia, A
,dkk. 2016).

2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa
bayi dan awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi
besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang
disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena penggunaan
susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak
ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi
yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat
menstruasi pada remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan
prevalens ADB. Angka kejadian anemia defisiensi besi (ADB) pada anak
balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada bayi 0-6 bulan,
bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar 61,3%, 64,8% dan
48,1% (IDAI, 2013).
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada
anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak

7
usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan
gadis remaja yang hamil 26%. Di Amerika serikat sekitar 6% anak berusia
1 – 2 tahun diketahui kekurangan besi, 3 % menderita anemia. Lebih
kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2%
menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan
besinya berkurang saat pubertas. (Fitriany, J,dkk .2018).

Hopkins et al menggunakan definisi anemia yang ditetapkan oleh


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (hemoglobin <11 g/dL), menunjukkan
bahwa prevalensi anemia adalah 23% pada usia 8 bulan, dan 18% pada
usia 12 bulan.Prevalensi kekurangan zat besi non-anemia mungkin
setinggi sebagai 30% pada balita dari negara-negara maju. Menurut
kriteria WHO, prevalensi anemia diperkirakan 15% pada anak-anak
prasekolah Korea (6-59 mo), dan sampai saat ini, anemia tetap menjadi
masalah kesehatan yang penting. Selain itu, tuntutan dan biaya untuk
rumah sakit anak-anak yang terkena dampak IDA telah meningkat dari
tahun 2006 hingga 2014.

2.3 Etiologi
Menurut Abdulsalam M, dkk pada tahun 2002, terdapat beberapa faktor
penyebab anemia pada anak, yaitu :

8
2.4 Patofisiologi
Besi adalah mikronutrien penting dalam tubuh manusia. Ini
memainkan peran penting dalam banyak proses metabolisme, seperti
transportasi oksigen, transportasi elektron, dan sintesis DNA. Besi adalah
komponen banyak protein dan enzim seluler. Heme protein, hemoglobin
dan myoglobin, mengandung sekitar 3/4 dari total besi tubuh. Sisa besi
tubuh disimpan dalam ferritin dan hemosiderin, dan sekitar 3% adalah
bagian dari sistem enzim, seperti katamatis dan sitokrom. Besi sebagian
besar didaur ulang dari RBCs senescent oleh makrofag. Hanya sebagian
kecil dari total besi tubuh masuk dan meninggalkan tubuh setiap hari.
Akibatnya, mekanisme yang mempengaruhi penyerapan usus dan
transportasi besi antarseluler memiliki dampak besar pada keseimbangan
besi. Konsentrasi zat besi serum diatur oleh sel penyerapan di usus kecil
proksimal, yang dapat mengatur penyerapan zat besi untuk
mengkompensasi kehilangan tubuh besi.
Ada tiga berbeda jalur penyerapan besi di usus kecil: jalur heme
dan dua jalur tertentu untuk ferric dan besi besi, masing-masing.
Enterocytes menyerap heme besi dan besi nonheme noncompetitively.
Mengandung zat besi makanan kedua bentuk kimia besi. Besi heme
terutama ditemukan sebagai besi besi besi (Fe2+), sedangkan sebagian
besar besi makanan nonheme adalah besi feri (Fe3+). (Dan apabila ia
memasuki) di dalamnya (masuk ke dalamnya) di dalamnya (dan apa yang
ada di dalamnya) apa yang telah di itu terdegradasi oleh heme oxygenase
dengan pelepasan besi. Melewati membran basolateral enterocyte dan
bersaing dengan besi nonheme untuk mengikat transferrin dalam plasma.
Cara transportasi besi nonheme dalam tubuh masih belum diketahui.
Konsentrasi zat besi di enterokit tergantung pada kebutuhan tubuh untuk
besi. Individu yang kekurangan zat besimemiliki sejumlah kecil besi dalam
enterocytes, sementara mereka yang memiliki cukup besi tubuh memiliki
jumlah zat besi dalam sel usus penyerapan yang lebih tinggi.

9
Besi dalam enterocyte mengatur penyerapan baik dengan up-
peraturan reseptor atau saturasi protein pengikat besi. Besi yang dikirim
ke sel-sel nonintestinal lain dalam tubuh terikat untuk transferrin. Ada dua
jalur di mana besi transferrin dapat dikirim ke nonintestinal sel: jalur
reseptor transferrin klasik dan jalur independen dari reseptor transferrin.
Pada orang dewasa, hanya 5% dari total kebutuhan besi tubuh adalah
dari sumber makanan yang berbeda. Jumlah ini sama dengan kehilangan
zat besi, yang terutama dari saluran pencernaan. Mayoritas (95%) dari
besi berasal dari pemecahan RBCs lama. Pada anak-anak, sekitar 30%
besi dating dari diet, mungkin karena pertumbuhan cepat di usia pediatrik.
Ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi penyerapan zat
besi usus: besi di ferritin dan transferrin, tingkat eritropoietik, dan
bioavailabilitas zat besi dalam makanan. Ketika absorbsi besi penurunan,
reseptor dalam peningkatan mukosa usus untuk meningkatkan
penyerapan zat besi. Penyerapan zat besi juga meningkat ketika ada
peningkatan atau tidak efektif eritropoiesis (Roganovic J, et all. 2018).
a. Tahap pertama : Tahap ini disebut iron depletion atau store iron
deficiency, ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau
tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein
besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi
peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun
sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.
b. Tahap kedua : Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron
deficient erythropoietin atau iron limited erythropoiesis
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai
besi serum menurun dan saturasi transferin menurun,
sedangkan TIBC meningkat dan free erythrocyte porphrin (FEP)
meningkat

10
c. Tahap ketiga Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency
anemia. Keadaan ini terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan
kadar Hb. Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis
dan hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi
perubahan epitel terutama pada ADB yang lebih lanjut.
2.5 Klasifikasi
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka
defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan : (Bakta, IM. 2007)

1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun


tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) :
cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis
terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia.

2.6 Manifestasi Klinis


Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan
gejala dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12
bulan.
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7 gr/dl,
maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala khas Anemia Defisiensi Besi

11
a. Koilonychias (spoon nail) kuku sendok: kuku berubah menjadi
rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga
mirip dengan sendok.

b. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah


tampak licin dan mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya
papil lidah

c. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut


sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

12
d. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.
Endang, W. (2013).
Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang
paling mengkhawatirkan adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu
menurunnya fungsi intelektual, terganggunya fungsi motorik dapat muncul
lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah banyak penelitian
dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji
kognitif. di Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan
bahwa terdapat perbedaan skor mental dan skor motoric antara kelompok
anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan anak normal.
Penelitian juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris
yang menunjukkan bahwa anak dengan anemia defisiensi besi
menunjukkan skor yang lebih rendah terhadap uji oddity learning jika
dibandingkan kelompok kontrol. Terdapat bukti bahwa perubahan-
perubahan tersebut dapat menetap walaupun dengan penanganan,
sehingga pencegahan menjadi sangat penting. Pica, keinginan untuk
mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak dapat dicerna, atau pagofagia,
keinginan untuk mengkonsumsi es batu merupakan gejala sistemik lain
dari defisiensi besi. Pica dapat menyebabkan pengkonsumsian bahan-
bahan mengandung timah sehingga akan menyebabkan plumbisme
(Fitriany, J,dkk .2018).

2.7 Diagnosis
Anamnesis
13
Anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi, antara
lain: bayi berat lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan, bayi yang baru
lahir dari ibu anemia, bayi yang mendapat susu sapi sebelum usia 1
tahun, dan lain-lain sebagainya (Raspati H, dkk. 2005)
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
 Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa
pertumbuhan yang cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
 Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan
tidak adekuat malabsorpsi besi
 Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung,
penyakit Crohn, colitis ulserativa)
2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika

2. Pemeriksaan fisik
a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c. Ditemukan takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa
pembesaran jantung

3. Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
c. Kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat , saturasi
menurun
d. Kadar feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte Porphyrin (FEP)
meningkat
e. sumsum tulang : aktifitas eritropoitik meningkat (Masrizal ,2007).

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:


1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
14
2. Kosentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N : 32-35%)

3. Kadar Fe serum <50 ug/dl (N : 80 – 180 ug/dl)

4. Saturasi transferin<15% (N ; 20 – 50%)

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:


1. Anemia hipokrom mikrositik

2. Saturasi transferin <16%

3. Nilai FEP >100 ug/dl

4. Kadar feritin serum <12 ug/dl

Untuk kepentingan diagnosis minimal 2 atau 3 kriteria (ST, feritin serum,


dan FEP harus dipenuhi)
Lanzkowsky menyimpulakn ADB dapat diketahui melalui:

1. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang


dikonfirmasi dengan MCV, MCH, dan MCHC yang menurun.
2. Red cell distribution width (RDW) > 17%

3. FEP meningkat

4. Feritin serum menurun

5. Fe serum menurun, TIBC meningkat, ST < 10%

6. Respon terhadap pemberian preparat besi

a. Retikulositosis mencapai pundak pada hari ke 5 – 10


setelah pemberian besi

b. Kadar hemolobin meninkat rata-rata 0,25 – 0,4 g/dl/ hari


atau PCV mengkat 1% / hari.
7. Sumsum tulang

a. Tertundanya maturasi sitoplasma

b. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi

15
atau besi berkurang (Ozdemir, N. 2015)

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat
besi. Sekitar 80 – 85% penyebab ADB dapat diketahui dengan
penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe
dapat dilakukan secara oral atau parenteral. Pemberian peroral lebih
aman, murah, dan sama efektifnya dengan pemberian secara parenteral.
Pemberian secara parenteral dilakukan pada penderita yang tidak dapat
memakan obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat dipenuhi
secara peroral karena ada gangguan pencernaan.
a. Pemberian preparat besi Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih
baik dibandingkan garam feri. Preparat terseda berupa ferous glukonat,
fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat karena
harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous
suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi
berupa tetes (drop). Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang
dipakai 4 – 6 mg besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung
berdasarkan kandungan besi elemental yang ada dalam garam ferous.
Garam ferous sulfat mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis
obat yang terlalu besar akan meninmbulkan efek samping pada saluran
pencernaan dan tidak memberikan efek penyembuhan yang lebih cepat.
Absropsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara
dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada
saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat
dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan
mengurangi absropsi obat sekitar 40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3
dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat diterima tubuh
dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus
terus diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi.
16
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan
dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel dibawah ini :
Waktu
setelah
pemberia Respons
n
besi
Penggantian enzim besi intraselular, keluhan subyektif
12-24 jam
berkurang, nafsu makan bertambah
36 – 48
Respon awal dari sumsum tulang, hiperplasia eritroid
jam
48 – 72
Retikulosis, puncaknya pada hari ke 5 – 7
jam
4 – 30 hari Adar Hb meningkat
1 – 3 bulan Penambahan cadangan besi

Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada
orang dewasa diabndingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat
sementara dapat dihindari dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian
belakang lidah dengan :

Pemberian preparat besi parenteral Pemberian besi parenteral


intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat
menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk
menaikkan kadar Hb tidak lebih baik dibandingkan peroral.1 Preparat
yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml. Dosis dihitung berdasarkan : Dosis besi 9mg = BB (9kg) x kadar
Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5 Transfusi darah Transfusi darah jarang
diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia yang
sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon
terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya,

17
malah akan membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia
dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam
jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita
anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2
– 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik seperti
furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat
dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang
segar (Fitriany, J,dkk .2018).

2.9 Diagnosa banding


Penyebab alternatif paling sering dari anemia mikrositer adalah
thalassemia α atau β dan hemoglobinopati, yaitu hemoglobin E dan
C. Karakteristik talasemia yang paling sering muncul adalah
menurunnya jumlah sel darah merah namun dengan jumlah RDW
normal atau meningkat sedikit. Keracunan timbal dapat
menyebabkan anemia mikrositer namun lebih sering terjadi anemia
defisiensi besi menyebabkan pica yang kemudian menyebabkan
keracunan timbal (Fitriany, J,dkk .2018).

18
2.10 Prevensi
Selama Kehamilan dan Persalinan. Hingga 42% wanita hamil di
seluruh dunia akan memiliki anemia, dengan prevalensi 6% di
Amerika Serikat Utara. Kebutuhan besi meningkat dengan setiap
trimester dan harus didukung asupan zat besi ibu yang lebih tinggi.
Antara 60% dan 80% dari penyimpanan besi pada bayi yang baru
lahir terjadi selama trimester ketiga, tetapi tidak jelas apakah
pengobatan anemia ibu mencegah anemia pada bayi baru lahir dan
bayi. USPSTF menemukan cukup bukti untuk merekomendasikan

19
penyaringan untuk atau mengobati anemia defisiensi besi pada wanita
hamil untuk meningkatkan hasil ibu atau neonatal. Meskipun dua
Cochrane ulasan menemukan bahwa hemoglobin ibu tingkat
meningkatkan dengan suplementasi besi antepartum, studi belum
menunjukkan manfaat yang signifikan secara statistik dalam klinis
hasil (misalnya, berat lahir rendah, premature kelahiran, infeksi,
perdarahan postpartum) untuk ibu atau bayi baru lahir. Penjepitan tali
pusar tertunda (sekitar 120 hingga 180 detik setelah pengiriman)
terkait dengan status besi yang ditingkatkan (tingkat ferritin) pada usia
dua hingga enam bulan. Manfaat ini mungkin sangat penting pada
mereka yang rentan terhadap kekurangan zat besi, seperti sebagai
bayi yang prematur atau kecil untuk usia kehamilan. Ulasan A
Cochrane mencari pada efek dari waktu penjepitan tali selama
kelahiran prematur menunjukkan pengurangan transfusi darah ketika
menjepit tertunda (24% vs. 36%). Efek dari penjepitan tali pusar
tertunda tampaknya tidak bertahan di luar 12 bulan pertama.
Suplementasi Besi Selama Masa Kanak-kanak. Besi adalah
kekurangan nutrisi tunggal yang paling umum. Bayi prematur (lahir
kurang dari 37 minggu kehamilan) yang secara eksklusif menyusui
harus menerima 2 mg per kg per hari suplementasi zat besi unsur dari
satu untuk 12 bulan usia, (Kecuali bagi orang-orang yang telah
memiliki beberapa transfusi darah. Dalam sehat bayi jangka penuh,
penyimpanan besi dari dalam Rahim cukup untuk empat sampai enam
bulan pertama kehidupan. AAP merekomendasikan bahwa jangka
penuh, bayi menyusui secara eksklusif mulai 1 mg per kg per hari
suplementasi zat besi unsur pada usia empat bulan sampai makanan
yang mengandung zat besi yang sesuai diperkenalkan.Tabel 3
termasuk suplementasi besi harian dan persyaratan untuk anak-anak.
Berbagai formulasi besi oral dan dosis untuk suplementasi dan
pengobatan anemia terdaftar di Tabel 4. Bayi yang diberi makan
formula sering menerima jumlah zat besi yang memadai (rumus rata-
20
rata mengandung 10 untuk 12 mg per L besi) dan dengan demikian
jarang memerlukan suplementasi lebih lanjut. Idealnya, diperkirakan
7-mg besi harian persyaratan untuk anak-anak satu sampai tiga tahun
usia harus dipenuhi melalui konsumsi makanan kaya zat besi.
Konsumsi sejumlah besar susu sapi non-besi-dibentengi
meningkatkan risiko kekurangan zat besi (Wang, M, et al. 2016).

2.11 Edukasi
1. Memberikan pengertian kepada pasien dan keluarga tentang
perjalanan penyakit dan tata laksananya, sehingga meningkatkan
kesadaran dan kepatuhan dalam berobat serta meningkatkan
kualitas hidup pasien.
2. Menginformasikan efek samping obat seperti mual, muntah,
konstipasi, diare, serta BAB kehitaman → Bila ada segera ke
pelayanan kesehatan.
3. Pencegahan
- ASI sampai 6 bulan, tunda pemberian susu formula sampai
usia 1 tahun sehubungan dengan resiko perdarahan saluran
cerna
- Hindari minum susu yang berlebihan, meningkatkan makanan
yang mengandung zat besi (hati, daging, bayang, kacang)
- Pemberian suplementasi Fe kepada bayi prematur
2.12 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi
saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang
adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam
pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai
berikut :
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
21
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlansgung menetap
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(seperti : infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid,
penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap
besi) (Fitriany, J,dkk .2018).

22
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Ajeng, dkk. 2016. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi


Besi In: Journal

https://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/viewFile/944/7
77

https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-
besi-pada-bayi-dan-anak

Bakta, IM. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta. Penerbit Buku


Kedokteran EGC.

Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN


ANAK. Retrieved September 07, 2020, from
http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan- anak/anemia-defisiensi-besi-
pada-bayi-dan-anak

Fitriany, J, dkk. 2018. ANEMIA DEFISIENSI BESI. In: Jurnal Averrous


Vol.4 No.2

Janus, J, et al. 2010. Evaluation of Anemia in Children. In: American


Family Physician Vol: 81, No: 12

Masrizal. 2007. ANEMIA DEFISIENSI BESI. In: Jurnal Kesehatan


Masyarakat
Ozdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337

Roganovic J, et all. 2018. Iron Deficiency Anemia In Children. In: World's


largest Science, Technology & Medicine Open Access book publisher

Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia defisiensi besi. Dalam:


Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdul salam
23
M, penyunting. Buku ajar hematologi Onkologi Anak.
Jakarta:BPIDAI;2005.hal.30-43.

Wang, M, et al. 2016. Iron Deficiency and Other Types of Anemia in


Infants and Children. In: American Family Physician Vol. 93, No. 4

24

Anda mungkin juga menyukai