ANEMIA
Disusun oleh:
FALDI P.S 19334004
ELVARA AMIRA 20334002
I PUTU KUSUMA NEGARA 20334009
FAKLUTAS FARMASI
Penyusun
DAFTAR ISI
Contents
ABSTRAK.............................................................................................................................3
KATA PENGANTAR...............................................................................................................4
DAFTAR ISI..........................................................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................6
I.1 Latar belakang....................................................................................................7
I.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................8
I.3 TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................9
II.1 DEFINISI ANEMIA................................................................................................9
II.2 PENYEBAB ANEMIA..........................................................................................10
II.3 PATOFISIOLOGI PADA ANEMIA..........................................................................11
II.3.1 TAHAP KEKURANGAN ZAT BESI.................................................................13
II.4 ETIOLOGI PADA ANEMIA...................................................................................14
II.5 DIAGNOSIS ANEMIA.........................................................................................15
II.6 TATALAKSANA TERAPI ANEMIA.........................................................................18
BAB III KESIMPULAN....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien
tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh
penderita. Diperkirakan 30% populasi dunia menderita anemia defisiensi besi,
kebanyakan dari jumlah tersebut ada di negara berkembang1 Secara epidemiologi,
prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak
diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh
masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena
penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak
ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak
adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja
puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens
ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar
61,3%, 64,8% dan 48,1%.1
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem
saraf yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis
dan metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi
kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan
sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan
bekerja terutama pada remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa
kehamilan maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.
Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak
hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia
diperkirakan dua milyar dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika.
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa anemia merupakan 10
masalah kesehatan terbesar di abad modern ini, dimana kelompok yang berisiko
tinggi anemia adalah wanita usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah, dan remaja.
Anemia adalah keadaan dengan kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah
merah yang lebih rendah dari nilai normal, yaitu hemoglobin <12g/DL untuk
remaja. Anemia menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak
cukup, maka akan berakibat pada sulitnya berkonsentrasi sehingga prestasi belajar
menurun. Kemudian daya tahan fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik
menurun dan mudah sakit karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jarang
masuk sekolah atau bekerja.
Penyebab paling sering terjadinya ADB adalah kehilangan darah secara menahun.
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh gangguan saluran cerna (ulkus peptikum, ca
gaster, ca kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, divertikulosis, hematemesis
melena), saluran genitalia pada wanita (menorrhagia, metrorhagia), saluran kemih
(hematuria), saluran napas (hemoptoe). Menstruasi pada wanita memiliki rata-rata
kehilangan darah 35mL yang setara dengan 16 mg darah, dimana rata-rata wanita
membutuhkan 1-3 mg zat besi setiap harinya, dan bisa lebih tinggi tergantung oleh
karena periode perdarahan yang lebih hebat. Peningkatan kebutuhan zat besi
secara sistemik seperti pada pada kehamilan, prematuritas, dan anak dalam masa
pertumbuhan (1 – 18 tahun) juga dapat menyebabkan ADB oleh karena asupan zat
besi yang tidak mencukupi. Selain itu, ADB juga dapat terjadi oleh karena faktor
nutrisi yaitu jumlah zat besi total pada makanan yang sedikit atau non-adekuat,
kualitas zat besi (bioavaibilitas) yang tidak baik seperti makanan banyak serat,
rendah vitamin C, dan rendah daging. ADB juga dapat disebabkan oleh karena
penurunan atau gangguan absorpsi zat besi seperti pada celiac diseas post
gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronis. Pemberian ASI pada neonatus
memiliki efek protektif terhadap defisiensi besi oleh karena bioavailabilitas besi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula. Diperkirakan sekitar 40%
besi diabsorpsi oleh bayi jika menggunakan ASI, sedangkan untuk susu formula
hanya 10% besi yang terabsorpsi. Terakhir, ADB juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu seperti infeksi lewat parasit yang biasanya terjadi pada negara
berkembang, atau latihan olahraga dengan intensitas berat yang akan
menyebabkan perdarahan pada saluran cerna yang terjadi pada sekitar 50% atlet
pelari
Anemia terjadi karena berabagai penyebab yang berbeda disetiap wilayah atau
negara. Terdapat enam faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia;
1) Rendahnya asupan besi dan zat gizi lainya yang disebabkan rendahnya
konsumsi makanan sumber zat besi. Zat gizi lain yang menyebabkan
2) anemia adalah kekurangan vitamin A vitamin C asam folat, riboflavin, dan
vitamin b12.
3) Penyerapan zat besi yang rendah, disebabkan komponen pemnghambat
didalam makanan seperti fitat. Rendahnya zat besi pada bahan makanan
nabati menyebabkan zat besi tidak dapat diserap dan digunakan oleh
tubuh.
4) Malaria, terutama pada anak – anak dan wanita hamil
5) Parasi sepeerti cacing (hookworm) dan lainya (skistosomiasis).
6) Infeksi akibat penyakit kronis maupun sistemik (misal HIV/AIDS)
7) Gangguan genetik seperti hemoglobinopati dan sickle cell trait.
Terdapat tiga tahapan dalam defisiensi besi yaitu Stadium I (Deplesi besi) yaitu
cadangan besi menurun namun penyediaan besi dalam eritropoesis masih dapat
tercukupi serta kadar besi dalam serum dan hemoglobin normal, stadium II darah
masih normal. Terakhir yakni stadium III (Anemia defisiensi besi) yaitu cadangan
besi kosong dengan gambaran anemia defisiensi secara laboratorik yang mana
ditemukan adanya penurunan kadar (Eritropoesis defisiensi besi) dimana
cadangan besi mulai kosong dan eritropoesis terganggu. Selain itu kadar besi
dalam serum mulai menurun namun belum muncul tanda anemia secara
laboratorik atau kadar hemoglobin dalam hemoglobin, MCV, MCH, dan MCHC,
yang disertai penurunan kadar status besi meliputi feritin dan serum besi.
Anemia gizi besi terjadi ketika pasokan zat besi tidak mencukupi untuk
pembentukan sel darah merah optimal, sehingga sel sel darah merah yang
terbentuk berukuran lebih kecil (mikrositik), warna lebih muda (hipokromik).
Simpanan besi dalam tubuh termasuk besi plasma akan habis terpakai lalu
konsentrasi transferin serum mengikat besi untuk transportasinya akan menurun.
Simpanan zat besi yang kurang akan menyebabkan deplesi zat massa sel darah
merah dengan hemoglobin yang di bawah normal, setelah itu pengangkutan darah
ke sel-sel di berbagai bagian tubuh juga berada di bawah kondisi normal.
Patofisiologi anemia defisiensi besi (ADB) disebabkan karena gangguan
homeostasis zat besi dalam tubuh. Homeostasis zat besi dalam tubuh diatur oleh
absropsi besi yang dipengaruhi asupan besi dan hilangnya zat besi/iron loss.
Kurangnya asupan zat besi/iron intake, penurunan absropsi, dan peningkatan
hilangnya zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh
sehingga menimbulkan anemia karena defisiensi besi. Zat besi yang diserap di
bagian proksimal usus halus dan dapat dialirkan dalam darah bersama
hemoglobin, masuk ke dalam enterosit, atau disimpan dalam bentuk ferritin dan
transferin. Terdapat 3 jalur yang berperan dalam absropsi besi, yaitu: (1) jalur
heme, (2) jalur fero (Fe2+), dan (3) jalur feri (Fe3+). Zat besi tersedia dalam
bentuk ion fero dan dan ion feri. Ion feri akan memasuki sel melalui jalur integrin-
mobili ferrin (IMP), sedangkan ion fero memasuki sel dengan bantuan transporter
metal divalent/divalent metal transporter (DMT)-1. Zat besi yang berhasil masuk
ke dalam enterosit akan berinteraksi dengan paraferitin untuk kemudian diabsropsi
dan digunakan dalam proses eritropioesis. Sebagain lainnya dialirkan ke dalam
plasma darah untuk reutilisasi atau disimpan dalam bentuk ferritin maupun
berikatan dengan transferin. Kompleks besi-transferrin disimpan di dalam sel
diluar sistem pencernaan atau berada di dalam darah. Transport transferrin dalam
tubuh masih belum diketahui dengan pasti. Kapisitas dan afinitias transferin
terhadap zat besi dipengaruhi oleh homeostasis dan kebutuhan zat besi dalam
tubuh. Kelebihan zat besi lainnya kemudian dikeluarkan melalui keringat ataupun
dihancurkan bersama sel darah. Perdarahan baik makro ataupun mikro adalah
penyebab utama hilangnya zat besi. Sering kali perdarahan yang bersifat mikro
atau okulta tidak disadari dan berlangsung kronis, sehingga menyebabkan zat besi
ikut terbuang dalam darah dan lama-kelamaan menyebabkan cadangan zat besi
dalam tubuh ikut terbuang. Keadan-keadaan seperti penyakit Celiac, post-operasi
gastrointestinal yang mengganggu mukosa dan vili pada usus, sehingga
penyerapan besi terganggu dan menyebabkan homeostasis zat besi juga terganggu.
II.3.1 TAHAP KEKURANGAN ZAT BESI
Defisiensi yang lebih parah dan terus berlanjut akan menimbulkan respon
sumsum tulang dan EPO. Sumsum tulang dan eritropoietin memegang
peranan yang sangat penting dalam pembentukan sel darah. Sintesis heme
dan globin juga diatur oleh protein kinase yang disebut dengan
penghambat translasi diatur /heme-regulated translational inhibitor (HRI).
Pada keadaan defisiensi besi yang terus berlanjut akan terjadi defisiensi
heme, sehingga merangsang HRI akan memfosforilasi subunit alfa dari
faktor translasi eIF2. Faktor eIF2 berfungsi untuk memproduksi globin,
pada saat terfosforilasi fungsi sistensi globin akan terganggu sehingga
konsentrasi hemoglobin dalam darah menurun (hipokromik). Eritropoietin
akan berusaha untuk meningkatkan produksi sel darah, tetapi karena
adanya defisiensi zat besi, respon ini tidak sempurna. Konsentrasi EPO
akan meningkat tanpa adanya peningkatan
retikulosit, sehingga membatasi proses eritopoiesis yang menyebabkan sel
darah merah yang terbentuk berukuran kecil (mikrositik).
4. Perubahan Metabolisme
Defisiensi besi yang berlangsung kronis kemudian menyebabkan cadangan
besi sama sekali tidak ada, sehingga produksi hepsidin terhenti. Hepsidin
adalah protein dalam liver yang mengatur keseimbangan zat besi. Tidak
adanya hepsidin akan membuat absorpsi besi gastroinsteinal meningkat
sehingga semakin mengganggu homeostasis zat besi dan pembentukan sel
darah.
Etiologi anemia defisiensi besi (ADB) cukup beragam. Penyakit ini bisa
dipengaruhi asupan zat besi yang kurang, keadaan perdarahan yang kronik,
ataupun malabsorpsi zat besi
sumsum tulang. Ketika cadangan zat besi telah sangat berkurang, sel darah
menjadi mikrositik hipokromik.
Malabsorpsi Zat Besi
Malabsorpsi zat besi dapat terjadi pada pasien yang menjalani gastric
bypass surgery ataupun memiliki penyakit kronik seperti Celiac disease.
Keadaan achlorydria dalam jangka waktu yang lama juga akan
mengganggu absorpsi zat besi.
Faktor Risiko
Resiko anemia defisiensi besi (ADB) meningkat pada pasien dengan:
1) Terapi zat besi oral: pada bayi dan anak terapi besi elemental diberikan
dibagi dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis, 30
menit sebelum sarapan pagi dan makan malam. Terapi zat besi diberikan
selama 1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5 bulan. Enam bulan
setelah pengobatan selesai harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb
untuk memantau keberhasilan terapi.
2) Terapi zat besi intramuscular atau intravena dapat dipertimbangkan bila
respon pengobatan oral tidak berjalan baik, efek samping dapat berupa
demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artragia,
bronkospasme sampai relaksi anafilaktik.
3) Transfusi darah diberikan apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya
gagal jantung yaitu pada kadar Hb 5-8g/dL. Komponen darah yang
diberikan berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial dengan
tetesan lambat.
Prinsip utama dalam penanganan ADB adalah memberikan suplementasi zat besi
dan atasi penyebab terjadinya ADB seperti perbaiki diet, pengobatan infeksi
cacing tambang, hemoroid, menoragia, sehingga ADB tidak kambuh kembali di
masa mendatang6,8. Pemberian suplementasi zat besi dapat digunakan untuk
menganti kekurangan zat besi dalam tubuh, bisa dengan sulfas ferous 3x200mg
yang relatif murah dan efektif, sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tidak
dikonsumsi bersamaan dengan konsumsi susu ataupun makanan. Selain itu
terdapat suplementasi besi lainnya seperti ferous gluconate, ferous furamat, ferous
laktat, dan ferous succinate yang harganya relatif mahal namun efektifitas dan
efek samping hampir sama. Efek samping yang dapat terjadi berupa mual,
muntah, dan konstipasi. Pengobatan diberikan sampai dengan 6 bulan setelah
kadar hemoglobin normal untuk mencegah terjadinya kekambuhan6. Rute
pemberian obat yang utama adalah peroral, karena pemberian secara parenteral
memiliki efek samping lebih berbahaya seperti reaksi anafilaksis, flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, sinkop, dengan harganya relatif lebih
mahal. Indikasi pemberian parenteral antara lain intoleransi besi oral, kepatuhan
minum obat rendah, gangguan pencernaan kambuh jika besi diberi secara oral,
penyerapan besi terganggu, perdarahan banyak, kebutuhan besi berjumlah tinggi
dalam waktu cepat, defisiensi besi fungsional relatif (pemberian eritropoeitin pada
px penyakit ginjal kronis), kolitis ulserativa. Obat yang tersedia antara lain iron
dextran complex, iron sorbitol citric acid complex, dapat diberikan baik secara
intramuskular ataupun intravena pelan. Pengobatan lainnya yang dapat diberikan
antara lain dari perbaikan diet menjadi tinggi protein, vitamin C dengan dosis 2-
3x50-100mg/hari untuk meningkatan penyerapan besi. Transfusi darah jarang
diberikan dan hanya diberikan jika pasien menderita infeksi berat, dehidrasi berat,
ancaman payah jantung, gejala pusing yang mencolok, perlu peningkatan kadar
Hb dengan cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau pre-operasi, dan
anemia berat (Hb ≤6g/dL). Transfusi darah dapat menggunakan Packed Red Cell
(PRC) dan diberikan secara perlahan dalam jumlah yang cukup sesuai target. Hb
untuk mencegah hipervolemia dan dilatasi jantung dengan dosis 2-3mg/KgBB
disertai dengan furosemide sebagai obat diuretika. Respon terapi yang diharapkan
setelah pemberian suplementasi besi adalah retikulositosis darah tepi naik dalam 1
minggu pertama dan kembali normal dalam 10-14 hari, diikuti Hb 0,15/hari
sampai 2 g/hari setelah 3-4 minggu, dan kembali normal setelah 4-10 minggu.
Prognosis pada ADB dapat mengarah ke baik jika penyebab ADB hanya karena
kekurangan zat besi maupun penyebab utama terjadinya ADB sudah diketahui dan
dapat dilakukan penanganan secara adekuat. Jika terapi yang dilakukan tidak
ditemukan respon yang baik maka perlu dievaluasi apakah pasien patuh dalam
minum obat, dosis besi yang diberikan tidak adekuat, terdapat perdarahan yang
belum teratasi, preprarat besi tidak tepat atau kadarluasa, peradangan kronis, dan
riwayat penyakit gangguan absorpsi dan penggunaan besi (penyakit hati, ginjal,
tiroid, infeksi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12)
BAB III
KESIMPULAN
Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling sering
ditemui pada masyarakat. Pengenalan tanda dan gejala, penggunaan metode
diagnostik, serta pemilihan terapi dan pencegahan yang tepat dan adekuat
tentunya sangat penting untuk diketahui sebagai tenaga kesehatan. Prinsip dari
terapi ADB adalah membantu dalam pemenuhan asupan zat besi yang kurang dan
mencari penyebab terjadinya ADB yang dapat disebabkan oleh perdarahan
menahun, gangguan absorpsi besi, maupun intake besi yang tidak adekuat, serta
penyebab lainnya seperti infestasi cacing, sehingga dengan penanganan ADB
secara etiologis diharapkan dapat mencegah terjadinya kekambuhan dari penyakit
ADB di masa mendatang
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2016). Diagnosis dan tatalaksana anemia defisiensi
besi. Jurnal Majority, 5(5), 166-169.
Sari, N. L., Srikartika, V. M., & Intannia, D. (2015). Profil dan evaluasi terapi anemia pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di BLUD RS Ratu
Zalecha Martapura periode Juli-Oktober 2014. Jurnal Pharmascience, 2(1), 65-
71.