Anda di halaman 1dari 23

HEMATOLOGI

ANEMIA

Disusun oleh:
FALDI P.S 19334004
ELVARA AMIRA 20334002
I PUTU KUSUMA NEGARA 20334009

FAKLUTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


JAKARTA 2023
ABSTRAK

Anemia adalah keadaan yang ditandai dengan berkurangnya hemoglobin dalam


tubuh. Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang mengandung
zat besi di dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari
paru-paru ke seluruh tubuh. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang
disebabkan karena kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin
(Hb) Gejala dari anemia secara umum adalah lemah, tanda keadaan hiperdinamik
(denyut nadi kuat dan cepat, jantung berdebar, dan roaring in the ears). Banyak
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi yaitu kebutuhan
yang meningkat, asupan zat besi yang kurang, infeksi, dan perdarahan saluran
cerna dan juga terdapat faktor-faktor lainnya. Anemia defisiensi besi dapat di
diagnosis dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan pemberian zat
besi secara oral, secara intramuskular dan transfusi darah
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa


karana atas nikmat nya kami mampu menyelesaikan makalah
yang berjudul " ANEMIA ". makalah ini disusun sebagai salah
satu syarat pembelajaran dalam perkuliahan farmasi industri
mengenai pembangunan industri farmasi baik dari izin dan segala
aspek nya. Dalam kesempatan ini dengan segala kerendahan hati kami
menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada ;
1, Putu Rika Veryanti S.farm M.farm-Klin,Apt selaku dosen yang telah
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah penelitian ini dan
2. teman teman yang membantu selama proses penyusunan
Makalah hingga selesai pada waktunya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
Masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, untuk
Besar harapan kami agar makalah ini dapat diterima dengan
Baik. Demi mencapai perbaikan yang berkelanjutan segala saran
Dan kritik yang membangun sangat dibutuhkan untuk
Penyempurnaan makalah ini. Kami juga berharap makalah ini
Dapat bermanfaat bagi kami sendiri serta bagi pembaca.

Jakarta, Meil 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

Contents
ABSTRAK.............................................................................................................................3
KATA PENGANTAR...............................................................................................................4
DAFTAR ISI..........................................................................................................................5
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................6
I.1 Latar belakang....................................................................................................7
I.2 RUMUSAN MASALAH.........................................................................................8
I.3 TUJUAN PENELITIAN...........................................................................................8
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................9
II.1 DEFINISI ANEMIA................................................................................................9
II.2 PENYEBAB ANEMIA..........................................................................................10
II.3 PATOFISIOLOGI PADA ANEMIA..........................................................................11
II.3.1 TAHAP KEKURANGAN ZAT BESI.................................................................13
II.4 ETIOLOGI PADA ANEMIA...................................................................................14
II.5 DIAGNOSIS ANEMIA.........................................................................................15
II.6 TATALAKSANA TERAPI ANEMIA.........................................................................18
BAB III KESIMPULAN....................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien
tersering pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh
penderita. Diperkirakan 30% populasi dunia menderita anemia defisiensi besi,
kebanyakan dari jumlah tersebut ada di negara berkembang1 Secara epidemiologi,
prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan awal masa kanak-kanak
diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan dan percepatan tumbuh
masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari makanan, atau karena
penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu ADB juga banyak
ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan besi yang tidak
adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada remaja
puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%.
Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens
ADB pada bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar
61,3%, 64,8% dan 48,1%.1

Insidensi defisiensi besi terkait dengan aspek mendasar dari metabolisme


besi dan nutrisi. Tubuh dari neonatus cukup bulan mengandung 0,5 gram besi,
pada tubuh dewasa terkandung 5 gram besi. Perubahan kuantitas besi dari lahir ke
dewasa berarti bahwa sekitar 0,8 mg besi harus diabsorbsi tiap harinya selama 15
tahun kehidupan seorang anak. Sejumlah kecil besi dibutuhkan untuk
menggantikan jumlah yang hilang pada proses kerusakan sel. Sehingga perlu
untuk dilakukan absorbs kurang lebih 1 mg tiap harinya untuk menjaga jumlah
positif pada usia anak. Karena hanya kurang dari 10 % jumlah besi yang diserap
setiap harinya, asupan gizi 8-10 mg besi per hari dibutuhkan untuk menjaga
jumlah besi dalam tubuh. Selama usia bayi, ketika pertumbuhan paling pesat,
kurang lebih 1 mg/L besi dari susu sapi dan ASI menyebabkan sulitnya
mempertahankan kadar besi dalam tubuh. Bayi yang mendapatkan ASI memiliki
keuntungan karena jumlah besi yang diserap 2-3 kali lebih efisien
dibandingkan dari bayi yang mendapat asupan susu sapi.

Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem
saraf yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis
dan metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi
kognitif, tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan
sumber energi bagi otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan
bekerja terutama pada remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa
kehamilan maka akan meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.

I.1 Latar belakang

Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia yang tidak
hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penderita anemia
diperkirakan dua milyar dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika.
World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa anemia merupakan 10
masalah kesehatan terbesar di abad modern ini, dimana kelompok yang berisiko
tinggi anemia adalah wanita usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah, dan remaja.
Anemia adalah keadaan dengan kadar hemoglobin, hematokrit dan sel darah
merah yang lebih rendah dari nilai normal, yaitu hemoglobin <12g/DL untuk
remaja. Anemia menyebabkan darah tidak cukup mengikat dan mengangkut
oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Bila oksigen yang diperlukan tidak
cukup, maka akan berakibat pada sulitnya berkonsentrasi sehingga prestasi belajar
menurun. Kemudian daya tahan fisik rendah sehingga mudah lelah, aktivitas fisik
menurun dan mudah sakit karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jarang
masuk sekolah atau bekerja.

Anemia yang sering terjadi adalah anemia disebabkan oleh kekurangan


asupan zat besi. Kekurangan zat besi tidak terbatas pada remaja status sosial
ekonomi pedesaan yang rendah, tetapi juga menunjukkan peningkatan prevalensi
di masyarakat yang makmur dan berkembang. Prevalensi anemia remaja di
negara-negara berkembang sebesar 27%, sedangkan di negara maju sebesar 6%.
Anemia defisiensi zat besi lebih banyak terjadi pada remaja putri dibanding
remaja putra. Hal ini dikarenakan remaja putri mengalami menstruasi setiap
bulannya dan sedang dalam masa pertumbuhan, sehingga membutuhkan asupan
zat besi yang lebih banyak. Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik
kebiasaan makan tidak sehat, seperti tidak makan pagi, malas minum air putih,
dan makan makanan siap saji. Hal ini mengakibatkan remaja tidak mampu
memenuhi keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk
proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Bila hal ini terjadi dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus berkurang dan menimbulkan
anemia.

I.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Yang Dimaksud Dengan anemia?


2. Bagaimana Proses Patofisiologi Pada anemia?
3. Bagaimana Etiologi Pada anemia?
4. Bagaimana Cara Pemeriksaan Penyakit anemia?
5. Bagaimana Cara Intepretasi Hasil Laboratorium Penyakit anemia?
6. Bagaimana Tatalaksana Terapi Farmakologi anemia?
7. Bagaimana Tatalaksana Terapi Non Farmakologi anemia?
I.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan anemia


2. Mengetahui Proses Patofisiologi Pada anemia
3. Mengetahui Etiologi Pada anemia
4. Mengetahui Cara Pemeriksaan Penyakit anemia
5. Mengetahui Cara Intepretasi Hasil Laboratorium Penyakit anemia
6. Mengetahui Tatalaksana Terapi Farmakologi anemia
7. Mengetahui Tatalaksana Terapi Non Farmakologi anemia
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 DEFINISI ANEMIA

Anemia merupakan keadaan dimana seseorang memiliki kadar hemoglobin (Hb)


<13g/dl Pada laki – laki atau <12g/dl pada perempuan. ADB merupakan anemia
yang timbul akibat berkurangnya cadangan besi dalam tubuh (depleted iron store)
yang akan menyebabkan penyediaan besi dalam eritropoesis atau pembentukan
sosial dan ekonomi. Penyakit ini relatif lebih tinggi pada jenis kelamin wanita
(23,90%) dibandingkan laki-laki (18,40%), rentan pada anak-anak balita – remaja,
dan memiliki persentase angka kejadian yang lebih tinggi pada masyarakat yang
tinggal di pedesaan (22,80%) dibanding perkotaan (20,60%) Prevalensi ADB di
Afrika Selatan bedasarkan kelompok berisiko yaitu sebanyak 61,3% pada balita,
9,7 – 10,5% pada wanita dewasa, 60,6% pada wanita hamil dan 71,3% pada
wanita hamil yang terinfeksi HIV. Di Indonesia, ABD merupakan salah satu
masalah kesehatan yang cukup serius, dimana prevalensinya pada laki-laki yaitu
sekitar 16 – 50%, perempuan dewasa non-hamil sekitar 25 – 48%, dan pada
perempuan hamil sekitar 46 – 92%. Data lainnya menunjukkan bahwa pada ibu
hamil memiliki prevalensi sebesar 45%, anak usia remaja sebesar 5,8%.dan
remaja putri usia 12 – 15 tahun dengan status sosioekonomi rendah adalah sebesar
15,8%. Melihat dari data yang telah disajikan diatas, maka penting bagi kita untuk
mengenali dan melakukan tatalaksana yang tepat terkait penyakit ADB. eritrosit
berkurang sehingga produksi hemoglobin berkurang Penyakit ini akan
menghasilkan sel darah merah yang hipokromik mikrositer pada apusan
perifer3,6. Penyebab dari ADB bervariasi tergantung atas usia, jenis kelamin, dan
status sosial ekonomi. Defisiensi zat besi dapat terjadi jika asupan zat besi yang
tidak mencukupi, peningkatan kebutuhan zat besi, penurunan penyerapan zat besi,
atau kehilangan banyak darah.
II.2 PENYEBAB ANEMIA

Penyebab paling sering terjadinya ADB adalah kehilangan darah secara menahun.
Perdarahan ini dapat disebabkan oleh gangguan saluran cerna (ulkus peptikum, ca
gaster, ca kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, divertikulosis, hematemesis
melena), saluran genitalia pada wanita (menorrhagia, metrorhagia), saluran kemih
(hematuria), saluran napas (hemoptoe). Menstruasi pada wanita memiliki rata-rata
kehilangan darah 35mL yang setara dengan 16 mg darah, dimana rata-rata wanita
membutuhkan 1-3 mg zat besi setiap harinya, dan bisa lebih tinggi tergantung oleh
karena periode perdarahan yang lebih hebat. Peningkatan kebutuhan zat besi
secara sistemik seperti pada pada kehamilan, prematuritas, dan anak dalam masa
pertumbuhan (1 – 18 tahun) juga dapat menyebabkan ADB oleh karena asupan zat
besi yang tidak mencukupi. Selain itu, ADB juga dapat terjadi oleh karena faktor
nutrisi yaitu jumlah zat besi total pada makanan yang sedikit atau non-adekuat,
kualitas zat besi (bioavaibilitas) yang tidak baik seperti makanan banyak serat,
rendah vitamin C, dan rendah daging. ADB juga dapat disebabkan oleh karena
penurunan atau gangguan absorpsi zat besi seperti pada celiac diseas post
gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronis. Pemberian ASI pada neonatus
memiliki efek protektif terhadap defisiensi besi oleh karena bioavailabilitas besi
yang lebih tinggi dibandingkan dengan susu formula. Diperkirakan sekitar 40%
besi diabsorpsi oleh bayi jika menggunakan ASI, sedangkan untuk susu formula
hanya 10% besi yang terabsorpsi. Terakhir, ADB juga dapat disebabkan oleh
kondisi tertentu seperti infeksi lewat parasit yang biasanya terjadi pada negara
berkembang, atau latihan olahraga dengan intensitas berat yang akan
menyebabkan perdarahan pada saluran cerna yang terjadi pada sekitar 50% atlet
pelari

Anemia terjadi karena berabagai penyebab yang berbeda disetiap wilayah atau
negara. Terdapat enam faktor yang mempengaruhi terjadinya anemia;

1) Rendahnya asupan besi dan zat gizi lainya yang disebabkan rendahnya
konsumsi makanan sumber zat besi. Zat gizi lain yang menyebabkan
2) anemia adalah kekurangan vitamin A vitamin C asam folat, riboflavin, dan
vitamin b12.
3) Penyerapan zat besi yang rendah, disebabkan komponen pemnghambat
didalam makanan seperti fitat. Rendahnya zat besi pada bahan makanan
nabati menyebabkan zat besi tidak dapat diserap dan digunakan oleh
tubuh.
4) Malaria, terutama pada anak – anak dan wanita hamil
5) Parasi sepeerti cacing (hookworm) dan lainya (skistosomiasis).
6) Infeksi akibat penyakit kronis maupun sistemik (misal HIV/AIDS)
7) Gangguan genetik seperti hemoglobinopati dan sickle cell trait.

Terdapat tiga tahapan dalam defisiensi besi yaitu Stadium I (Deplesi besi) yaitu
cadangan besi menurun namun penyediaan besi dalam eritropoesis masih dapat
tercukupi serta kadar besi dalam serum dan hemoglobin normal, stadium II darah
masih normal. Terakhir yakni stadium III (Anemia defisiensi besi) yaitu cadangan
besi kosong dengan gambaran anemia defisiensi secara laboratorik yang mana
ditemukan adanya penurunan kadar (Eritropoesis defisiensi besi) dimana
cadangan besi mulai kosong dan eritropoesis terganggu. Selain itu kadar besi
dalam serum mulai menurun namun belum muncul tanda anemia secara
laboratorik atau kadar hemoglobin dalam hemoglobin, MCV, MCH, dan MCHC,
yang disertai penurunan kadar status besi meliputi feritin dan serum besi.

II.3 PATOFISIOLOGI PADA ANEMIA

Anemia gizi besi terjadi ketika pasokan zat besi tidak mencukupi untuk
pembentukan sel darah merah optimal, sehingga sel sel darah merah yang
terbentuk berukuran lebih kecil (mikrositik), warna lebih muda (hipokromik).
Simpanan besi dalam tubuh termasuk besi plasma akan habis terpakai lalu
konsentrasi transferin serum mengikat besi untuk transportasinya akan menurun.
Simpanan zat besi yang kurang akan menyebabkan deplesi zat massa sel darah
merah dengan hemoglobin yang di bawah normal, setelah itu pengangkutan darah
ke sel-sel di berbagai bagian tubuh juga berada di bawah kondisi normal.
Patofisiologi anemia defisiensi besi (ADB) disebabkan karena gangguan
homeostasis zat besi dalam tubuh. Homeostasis zat besi dalam tubuh diatur oleh
absropsi besi yang dipengaruhi asupan besi dan hilangnya zat besi/iron loss.
Kurangnya asupan zat besi/iron intake, penurunan absropsi, dan peningkatan
hilangnya zat besi dapat menyebabkan ketidakseimbangan zat besi dalam tubuh
sehingga menimbulkan anemia karena defisiensi besi. Zat besi yang diserap di
bagian proksimal usus halus dan dapat dialirkan dalam darah bersama
hemoglobin, masuk ke dalam enterosit, atau disimpan dalam bentuk ferritin dan
transferin. Terdapat 3 jalur yang berperan dalam absropsi besi, yaitu: (1) jalur
heme, (2) jalur fero (Fe2+), dan (3) jalur feri (Fe3+). Zat besi tersedia dalam
bentuk ion fero dan dan ion feri. Ion feri akan memasuki sel melalui jalur integrin-
mobili ferrin (IMP), sedangkan ion fero memasuki sel dengan bantuan transporter
metal divalent/divalent metal transporter (DMT)-1. Zat besi yang berhasil masuk
ke dalam enterosit akan berinteraksi dengan paraferitin untuk kemudian diabsropsi
dan digunakan dalam proses eritropioesis. Sebagain lainnya dialirkan ke dalam
plasma darah untuk reutilisasi atau disimpan dalam bentuk ferritin maupun
berikatan dengan transferin. Kompleks besi-transferrin disimpan di dalam sel
diluar sistem pencernaan atau berada di dalam darah. Transport transferrin dalam
tubuh masih belum diketahui dengan pasti. Kapisitas dan afinitias transferin
terhadap zat besi dipengaruhi oleh homeostasis dan kebutuhan zat besi dalam
tubuh. Kelebihan zat besi lainnya kemudian dikeluarkan melalui keringat ataupun
dihancurkan bersama sel darah. Perdarahan baik makro ataupun mikro adalah
penyebab utama hilangnya zat besi. Sering kali perdarahan yang bersifat mikro
atau okulta tidak disadari dan berlangsung kronis, sehingga menyebabkan zat besi
ikut terbuang dalam darah dan lama-kelamaan menyebabkan cadangan zat besi
dalam tubuh ikut terbuang. Keadan-keadaan seperti penyakit Celiac, post-operasi
gastrointestinal yang mengganggu mukosa dan vili pada usus, sehingga
penyerapan besi terganggu dan menyebabkan homeostasis zat besi juga terganggu.
II.3.1 TAHAP KEKURANGAN ZAT BESI

Kekurangan zat besi ini berlangsung dalam 4 tahap, yaitu:

1. Kadar Besi Normal


Pada stadium awal kehilangan besi, masih dapat dikompensasi dengan
cadangan ferritin dalam tubuh, sehingga kadar Hb masih terdeteksi
normal.
2. Penurunan Besi Progresif
Bila kehilangan besi terus berlanjut, akan terjadi balans negatif dari
homeostasis zat besi. Cadangan zat besi akan semakin menurun tanpa
menyebabkan anemia. Ketika cadangan ini terus dipakai dan semakin
berkurang, masih terdapat zat besi di dalam tubuh dalam bentuk besi tidak
stabil yang didapat dari sisa-sisa metabolisme dan penyerapan besi. Bila
defisiensi besi terus progresif, besi tidak stabil ini pun akan terpakai dan
tubuh akan mengalami gejala-gejala anemia yang awalnya masih
berbentuk normositik dan jumlah retikulosit masih normal.
3. Respon sumsum tulang dan eritropoietin (EPO)

Defisiensi yang lebih parah dan terus berlanjut akan menimbulkan respon
sumsum tulang dan EPO. Sumsum tulang dan eritropoietin memegang
peranan yang sangat penting dalam pembentukan sel darah. Sintesis heme
dan globin juga diatur oleh protein kinase yang disebut dengan
penghambat translasi diatur /heme-regulated translational inhibitor (HRI).
Pada keadaan defisiensi besi yang terus berlanjut akan terjadi defisiensi
heme, sehingga merangsang HRI akan memfosforilasi subunit alfa dari
faktor translasi eIF2. Faktor eIF2 berfungsi untuk memproduksi globin,
pada saat terfosforilasi fungsi sistensi globin akan terganggu sehingga
konsentrasi hemoglobin dalam darah menurun (hipokromik). Eritropoietin
akan berusaha untuk meningkatkan produksi sel darah, tetapi karena
adanya defisiensi zat besi, respon ini tidak sempurna. Konsentrasi EPO
akan meningkat tanpa adanya peningkatan
retikulosit, sehingga membatasi proses eritopoiesis yang menyebabkan sel
darah merah yang terbentuk berukuran kecil (mikrositik).
4. Perubahan Metabolisme
Defisiensi besi yang berlangsung kronis kemudian menyebabkan cadangan
besi sama sekali tidak ada, sehingga produksi hepsidin terhenti. Hepsidin
adalah protein dalam liver yang mengatur keseimbangan zat besi. Tidak
adanya hepsidin akan membuat absorpsi besi gastroinsteinal meningkat
sehingga semakin mengganggu homeostasis zat besi dan pembentukan sel
darah.

II.4 ETIOLOGI PADA ANEMIA

Etiologi anemia defisiensi besi (ADB) cukup beragam. Penyakit ini bisa
dipengaruhi asupan zat besi yang kurang, keadaan perdarahan yang kronik,
ataupun malabsorpsi zat besi

Asupan Zat Besi


Daging merah menyediakan asupan zat besi dalam bentuk heme iron yang
bioavailabilitasnya lebih tidak dipengaruhi oleh konstituen diet. Prevalensi
ADB dilaporkan lebih rendah pada area dimana daging merah menjadi
bagian penting diet setempat.
Perdarahan Kronik

Pada perdarahan kronik, misalnya di traktus gastrointestinal ataupun


reproduksi, ketika kehilangan darah sudah mencapai titik tertentu,
cadangan besi akan dipakai untuk menstimulasi produksi hemoglobin di

sumsum tulang. Ketika cadangan zat besi telah sangat berkurang, sel darah
menjadi mikrositik hipokromik.
Malabsorpsi Zat Besi
Malabsorpsi zat besi dapat terjadi pada pasien yang menjalani gastric
bypass surgery ataupun memiliki penyakit kronik seperti Celiac disease.
Keadaan achlorydria dalam jangka waktu yang lama juga akan
mengganggu absorpsi zat besi.
Faktor Risiko
Resiko anemia defisiensi besi (ADB) meningkat pada pasien dengan:

 Wanita dan wanita hamil


 Usia tua
 Perdarahan
 Infeksi cacing tambang/hookworm
 Kebiasaan merokok
 Obesitas
 Diet vegetarian
 Malabsorpsi besi
 Menometrohagia
 Kanker gastrointestinal
 Pengobatan aspirin dan antasida

II.5 DIAGNOSIS ANEMIA

Dalam mendiagnosis ADB diperlukan pemeriksaan laboratorium berupa


darah lengkap dan status besi pasien. Melalui pemeriksaan darah lengkap
dengan kadar hemoglobin serta kadar Mean Corpuscular Hemoglobin
(MCH) dan Mean Corpuscular Volume (MCV) yang menurun
menunjukkan anemia hipokromik mikrositik, sehingga seseorang
kemungkinan terkena ADB walau pemeriksaan ini tidak sensitif dan
spesifik karena hasil ini dapat juga ditemukan pada masalah medis lainnya
seperti anemia karena penyakit hati kronis, thalasemia, dan anemia
sideroblastik. Pemeriksaan apusan darah tepi juga dapat dilakukan dimana
pada ADB akan ditemukan gambaran hipokromik mikrositik, sel target, sel
pensil, dan poikilositosis. Pada pemeriksaan status besi, akan terjadi
penurunan dari kadar serum feritin, serum besi, dan saturasi feritin.
Sedangkan pada Total Iron Binding Capacity (TIBC) terjadi peningkatan
dan dapat menjadi sebuah pemeriksaan yang memiliki spesifisitas tinggi
terhadap ADB, namun memiliki sensitivitas yang rendah karena kadarnya
dapat menurun pada situasi seperti inflamasi, lansia, dan nutrisi yang
buruk8. Jika pada suatu kondisi tidak bisa dilakukan pemeriksaan status
besi, diagnosis ADB dapat ditegakkan dengan cara pemberian
suplementasi zat besi sebanyak 3mg/kgBB/hari ataupun sulfas ferosus
3x200mg PO pada pasien anemia. Jika terjadi peningkatan Hb >1- 2g/dL
dalam 2-4 minggu yang berarti adanya respon yang baik terhadap
pemberian senyawa besi sehingga diagnosis ADB dapat ditegakkan. Selain
itu, riwayat faktor predisposisi, faktor etiologi, gejala pucat tanpa
perdarahan atau organomegali, anemia hipokromik mikrositer juga dapat
dievaluasi apabila memiliki fasilitas laboratorium yang terbatas. Zinc
protoporfiria bebas akan dihasilkan oleh molekul heme jika zat besi yang
dikirim ke sel darah merah yang berkembang tidak cukup, sehingga kadar
ini akan meningkat (>100µg/dL) dan digunakan sebagai salah satu
penegakkan diagnosis ADB6. Namun peningkatan zinc protoporfiria juga
dapat menimbulkan bias oleh karena peningkatan kadar ini dapat terjadi
juga pada penyakit lain seperti inflamasi pada anemia ataupun pada pasien
dengan keracunan timbal, sehingga kecurigaan lainnya perlu dievaluasi.
Sisanya dapat dilakukan

pemeriksaan sesuai dengan indikasi tertentu seperti melakukan


pemeriksaan feses lengkap pada kecurigaan adanya ADB oleh karena
infeksi cacing tambang, pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi,
barium intake atau barium inloop tergantung dari penyebab dari ADB
tersebut. Adapun untuk gold standar dari ADB adalah melalui bone
marrow iron stain dengan pengecatan biru prusia (perl’s stain) yang
hasilnya yaitu tidak ditemukan adanya cadangan besi (butir-butir
hemosiderin) pada sumsum tulang. Namun pemeriksaan ini merupakan
prosedur yang invasif dan relatif mahal sehingga jarang untuk dilakukan

Diagnosis dapat dilakukan melalui pemeriksaan darah lengkap, apusan


darah tepi, dan status besi pada pasien. Prinsip utama dalam penanganan
ADB yaitu suplementasi zat besi dan atasi penyebab terjadinya ADB, serta
pemberian transfusi darah dengan indikasi tertentu. Apabila ADB tidak
ditangani dengan baik, penyakit ini dapat menyebabkan gangguan pada
kognitif, penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku pada pasien.

Diagnosis anemia defisiensi ditegakkan berdasarkan;


1) Anamnesis untuk mencari faktor predisposisi dan etiologi, antara lain: bayi
berat lahir rendah (BBLR), bayi kurang bulan, bayi yang baru lahir dari
ibu anemia, bayi yang mendapat susu sapi sebelum usia 1 tahun,
danlainlain sebagainya.
2) Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukanadanya gejalapucat menahun
tanpa disertai adanya organomegali, seperti hepatomegaly dan
splenomegaly
3) Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah rutin seperti Hb,
PCV (PackedCell Volume), leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan
indeks eritrosit, retikulosit, saturasi morfologi darah tepi dan pemeriksaan
status besi (Fe serum, TIBC, transferrin, Free Erythrocyte
Protoporphyrin(FEP), ferritin). Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV,
MCH akan menurun, MCHC akan menurun pada keadan berat, dan RDW
akan meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan
hipokrom, mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi pada ADB,
infeksi kronis dan thalassemia.

Kriteria diagnosis ADB menurut WHO.

(1). Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia.

(2). Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata

(3) kadar fe serum <5 μg/dl

Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:

1) Anemia hipokrom mikrositik (3) Nilai FEP 100 μg/dl eritrosit


2) Kadar ferritin serum <12 μg/dl. (4) Kadar ferritin serum <12 μg/dl.
II.6 TATALAKSANA TERAPI ANEMIA

Pengobatan anemia defisiensi besi terdiri dari atas:

1) Terapi zat besi oral: pada bayi dan anak terapi besi elemental diberikan
dibagi dengan dosis 3-6 mg/kgBB/hari diberikan dalam dua dosis, 30
menit sebelum sarapan pagi dan makan malam. Terapi zat besi diberikan
selama 1 sampai 3 bulan dengan lama maksimal 5 bulan. Enam bulan
setelah pengobatan selesai harus dilakukan kembali pemeriksaan kadar Hb
untuk memantau keberhasilan terapi.
2) Terapi zat besi intramuscular atau intravena dapat dipertimbangkan bila
respon pengobatan oral tidak berjalan baik, efek samping dapat berupa
demam, mual, urtikaria, hipotensi, nyeri kepala, lemas, artragia,
bronkospasme sampai relaksi anafilaktik.
3) Transfusi darah diberikan apabila gejala anemia disertai risiko terjadinya
gagal jantung yaitu pada kadar Hb 5-8g/dL. Komponen darah yang
diberikan berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara serial dengan
tetesan lambat.

Prinsip utama dalam penanganan ADB adalah memberikan suplementasi zat besi
dan atasi penyebab terjadinya ADB seperti perbaiki diet, pengobatan infeksi
cacing tambang, hemoroid, menoragia, sehingga ADB tidak kambuh kembali di
masa mendatang6,8. Pemberian suplementasi zat besi dapat digunakan untuk
menganti kekurangan zat besi dalam tubuh, bisa dengan sulfas ferous 3x200mg
yang relatif murah dan efektif, sebaiknya diberikan saat lambung kosong, tidak
dikonsumsi bersamaan dengan konsumsi susu ataupun makanan. Selain itu
terdapat suplementasi besi lainnya seperti ferous gluconate, ferous furamat, ferous
laktat, dan ferous succinate yang harganya relatif mahal namun efektifitas dan
efek samping hampir sama. Efek samping yang dapat terjadi berupa mual,
muntah, dan konstipasi. Pengobatan diberikan sampai dengan 6 bulan setelah
kadar hemoglobin normal untuk mencegah terjadinya kekambuhan6. Rute
pemberian obat yang utama adalah peroral, karena pemberian secara parenteral
memiliki efek samping lebih berbahaya seperti reaksi anafilaksis, flebitis, sakit
kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut, sinkop, dengan harganya relatif lebih
mahal. Indikasi pemberian parenteral antara lain intoleransi besi oral, kepatuhan
minum obat rendah, gangguan pencernaan kambuh jika besi diberi secara oral,
penyerapan besi terganggu, perdarahan banyak, kebutuhan besi berjumlah tinggi
dalam waktu cepat, defisiensi besi fungsional relatif (pemberian eritropoeitin pada
px penyakit ginjal kronis), kolitis ulserativa. Obat yang tersedia antara lain iron
dextran complex, iron sorbitol citric acid complex, dapat diberikan baik secara
intramuskular ataupun intravena pelan. Pengobatan lainnya yang dapat diberikan
antara lain dari perbaikan diet menjadi tinggi protein, vitamin C dengan dosis 2-
3x50-100mg/hari untuk meningkatan penyerapan besi. Transfusi darah jarang
diberikan dan hanya diberikan jika pasien menderita infeksi berat, dehidrasi berat,
ancaman payah jantung, gejala pusing yang mencolok, perlu peningkatan kadar
Hb dengan cepat seperti pada kehamilan trimester akhir atau pre-operasi, dan
anemia berat (Hb ≤6g/dL). Transfusi darah dapat menggunakan Packed Red Cell
(PRC) dan diberikan secara perlahan dalam jumlah yang cukup sesuai target. Hb
untuk mencegah hipervolemia dan dilatasi jantung dengan dosis 2-3mg/KgBB
disertai dengan furosemide sebagai obat diuretika. Respon terapi yang diharapkan
setelah pemberian suplementasi besi adalah retikulositosis darah tepi naik dalam 1
minggu pertama dan kembali normal dalam 10-14 hari, diikuti Hb 0,15/hari
sampai 2 g/hari setelah 3-4 minggu, dan kembali normal setelah 4-10 minggu.

Dalam melakukan tindakan pencegahan terhadap ADB, diperlukan tindakan


pencegahan yang terpadu mengingat tingginya prevalensi ADB di Indonesia.
Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain

1) Pendidikan kesehatan, kebersihan, dan penyuluhan gizi


2) Pemberantasan infeksi cacing tambang
3) Cek kadar Hb rutin tiap tahun pada usia 2 – 18 tahun
4) Pertahankan ASI eksklusif, diperkuat dengan konsumsi bahan makanan
mengandung zat besi pada bayi
5) Suplementasi besi pada kelompok berisiko seperti ibu hamil dengan target
6 mg/hari
6) Pada prevalensi ADB>40% balita dan anak usia sekolah diberi
suplementasi besi 2mg/kgBB/hari (maksimal 30mg/hari) selama 3 bulan

Prognosis pada ADB dapat mengarah ke baik jika penyebab ADB hanya karena
kekurangan zat besi maupun penyebab utama terjadinya ADB sudah diketahui dan
dapat dilakukan penanganan secara adekuat. Jika terapi yang dilakukan tidak
ditemukan respon yang baik maka perlu dievaluasi apakah pasien patuh dalam
minum obat, dosis besi yang diberikan tidak adekuat, terdapat perdarahan yang
belum teratasi, preprarat besi tidak tepat atau kadarluasa, peradangan kronis, dan
riwayat penyakit gangguan absorpsi dan penggunaan besi (penyakit hati, ginjal,
tiroid, infeksi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12)
BAB III
KESIMPULAN

Anemia Defisiensi Besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling sering
ditemui pada masyarakat. Pengenalan tanda dan gejala, penggunaan metode
diagnostik, serta pemilihan terapi dan pencegahan yang tepat dan adekuat
tentunya sangat penting untuk diketahui sebagai tenaga kesehatan. Prinsip dari
terapi ADB adalah membantu dalam pemenuhan asupan zat besi yang kurang dan
mencari penyebab terjadinya ADB yang dapat disebabkan oleh perdarahan
menahun, gangguan absorpsi besi, maupun intake besi yang tidak adekuat, serta
penyebab lainnya seperti infestasi cacing, sehingga dengan penanganan ADB
secara etiologis diharapkan dapat mencegah terjadinya kekambuhan dari penyakit
ADB di masa mendatang
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2016). Diagnosis dan tatalaksana anemia defisiensi
besi. Jurnal Majority, 5(5), 166-169.

Nurbadriyah, W. D. (2019). Anemia Defisiensi Besi. Deepublish.

Khaidir, M. (2007). Anemia defisiensi besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2(1),


140-145.

Sari, N. L., Srikartika, V. M., & Intannia, D. (2015). Profil dan evaluasi terapi anemia pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di BLUD RS Ratu
Zalecha Martapura periode Juli-Oktober 2014. Jurnal Pharmascience, 2(1), 65-
71.

Anda mungkin juga menyukai