Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN

Latar belakang
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan
kesehatan di suatu negara. Kematian ibu dapat terjadi karena beberapa sebab,
diantaranya karena anemia. Penelitian Chi, dkk menunjukkan bahwa angka
kematian ibu adalah 70% untuk ibu-ibu yang anemia dan 19,7% untuk mereka
yang non anemia. Kematian ibu 15-20% secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan anemia. Anemia pada kehamilan juga berhubungan dengan
meningkatnya kesakitan ibu.1Anemia karena defisiensi zat besi merupakan
penyebab utama anemia pada ibu hamil dibandingkan dengan defisiensi zat gizi
lain. Oleh karena itu anemia gizi pada masa kehamilan sering diidentikkan
dengan anemia gizi besi Hal ini juga diungkapkan oleh Simanjuntak tahun 1992,
bahwa sekitar 70 % ibu hamil di Indonesia menderita anemia gizi.2Anemia
defisiensi zat besi merupakan masalah gizi yang paling lazim di dunia dan
menjangkiti lebih dari 600 juta manusia. Dengan frekuensi yang masih cukup
tinggi, berkisar antara 10% dan 20% (Prawirohardjo,2002). Badan kesehatan
dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa prevalensi ibu-ibu
hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75%, serta semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia kehamilan.1,4Anemia defisiensi zat besi lebih
cenderung berlangsung di negara yang sedang berkembang daripada negara yang
sudah maju. Tiga puluh enam persen (atau sekitar 1400 juta orang) dari perkiraan
populasi 3800 juta orang di negara yang sedang berkembang menderita anemia
jenis ini, sedangkan prevalensi di negara maju hanya sekitar 8% (atau kira-kira
100 juta orang) dari perkiraan populasi 1200 juta orang. 3Di Indonesia prevalensi
anemia pada kehamilan masih tinggi yaitu sekitar 40,1% (SKRT 2001). Lautan J
dkk (2001) melaporkan dari 31 orang wanita hamil pada trimester II didapati 23
(74%) menderita anemia, dan 13 (42%) menderita kekurangan besi.4Mengingat
besarnya dampak buruk dari anemia defisiensi zat besi pada wanita hamil dan
janin, oleh karena itu perlu kiranya perhatian yang cukup terhadap masalah ini.
Rumusan masalah
1. Bagaimanakah gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat besi
diIndonesia?
2. Program apakah yang diterapkan dalam menanggulangi masalah anemia
defisiensi zat besi di Indonesia?
3. Apa isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi?

C. Tujuan

1. Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran epidemiologi, program penanggulangan,
dan isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran epidemiologi kejadian anemia defisiensi zat
besi di Indonesia.
b. Untuk mengetahui program yang diterapkan dalam menanggulangi masalah
anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
c. Untuk mengetahui isu terbaru tentang anemia defisiensi zat besi.

D. Manfaat penulisan
1. Manfaat praktis
Makalah ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi lembaga
terkait dalam merumuskan program penanggulangan masalah anemia defisiensi
zat besi di Indonesia.

2. Manfaat keilmuan
Makalah ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu pengetahuan
serta menjadi salah satu bacaan yang bermanfaat.
3

3. Manfaat bagi penulis


Memperluas wawasan dan pengetahuan tentang kesehatan masyarakat
khususnya masalah anemia defisiensi zat besi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan umum tentang anemia defisiensi zat besi

Anemia adalah suatu keadaan adanya penurunan kadar hemoglobin, hematokrit


dan jumlah eritrosit dibawah nilai normal. Pada penderita anemia, lebih sering
disebut kurang darah, kadar sel darah merah (hemoglobin atau Hb) di bawah
nilai normal. Penyebabnya bisa karena kurangnya zat gizi untuk pembentukan
darah, misalnya zat besi, asam folat, dan vitamin B12. Tetapi yang sering
terjadi adalah anemia karena kekurangan zat besi.Anemia defisiensi besi adalah
anemia yang disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh, sehingga
kebutuhan zat besi (Fe) untuk eritropoesis tidak cukup, yang ditandai dengan
gambaran sel darah merah hipokrom-mikrositer, kadar besi serum (Serum Iron
= SI) dan jenuh transferin menurun, kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding
Capacity/TIBC) meninggi dan cadangan besi dalam sumsum tulang serta
ditempat yang lain sangat kurang atau tidak ada sama sekali.4Banyak faktor
yang dapat menyebabkan timbulnya anemia defisiensi besi, antara lain,
kurangnya asupan zat besi dan protein dari makanan, adanya gangguan absorbsi
diusus, perdarahan akut maupun kronis, dan meningkatnya kebutuhan zat besi
seperti pada wanita hamil, masa pertumbuhan, dan masa penyembuhan dari
penyakit.

Anemia defisiensi zat besi pada kehamilan

Anemia defisiensi besi pada wanita hamil merupakan problema kesehatan yang
dialami oleh wanita diseluruh dunia terutama dinegara berkembang. Badan
5

kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) melaporkan bahwa


prevalensi ibu-ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% serta
semakin meningkat seiring dengan pertambah usia kehamilan. Menurut WHO
40% kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada
kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi
besi dan perdarahan akut, bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.4

Patofisiologi anemia pada kehamilan.

Perubahan hematologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena


perubahan sirkulasi yang makin meningkat terhadap plasenta dari
pertumbuhan payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada
trimester ke II kehamilan, dan maksimum terjadi pada bulan ke 9 dan
meningkatnya sekitar 1000 ml, menurun sedikit menjelang aterem serta
kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang meningkatkan
volume plasma seperti laktogen plasenta, yang menyebabkan peningkatan
sekresi aldesteron.

Etiologi

Etiologi anemia defisiensi besi pada kehamilan, yaitu :a. Hipervolemia,


menyebabkan terjadinya pengenceran darah, b. Pertambahan darah tidak
sebanding dengan pertambahan plasma, c. Kurangnya zat besi dalam
makanan, d. Kebutuhan zat besi meningkat, e. Gangguan pencernaan dan
absorbsi.

Gejala klinis

Wintrobe mengemukakan bahwa manifestasi klinis dari anemia defisiensi


besi sangat bervariasi, bisa hampir tanpa gejala, bisa juga gejala-gejala
penyakit dasarnya yang menonjol, ataupun bisa ditemukan gejala anemia
bersama-sama dengan gejala penyakit dasarnya. Gejala-gejala dapat berupa
kepala pusing, palpitasi, berkunang-kunang, perubahan jaringan epitel
kuku, gangguan sistem neurumuskular, lesu, lemah, lelah, disphagia dan
pembesaran kelenjar limpa. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila
kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia
akan jelas.4Nilai ambang batas yang digunakan untuk menentukan status
anemia ibu hamil, didasarkan pada criteria WHO tahun 1972 yang
ditetapkan dalam 3 kategori, yaitu normal (≥11 gr/dl), anemia ringan (8-11
g/dl), dan anemia berat (kurang dari 8 g/dl). Berdasarkan hasil pemeriksaan
darah ternyata rata-rata kadar hemoglobin ibu hamil adalah sebesar 11.28
mg/dl, kadar hemoglobin terendah 7.63 mg/dl dan tertinggi 14.00 mg/dl.3

Dampak anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil

Anemia pada ibu hamil bukan tanpa risiko. Menurut penelitian, tingginya
angka kematian ibu berkaitan erat dengan anemia. Anemia juga
menyebabkan rendahnya kemampuan jasmani karena sel-sel tubuh tidak
cukup mendapat pasokan oksigen. Pada wanita hamil, anemia
meningkatkan frekuensi komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko
kematian maternal, angka prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan
angka kematian perinatal meningkat. Di samping itu, perdarahan
antepartum dan postpartum lebih sering dijumpai pada wanita yang anemis
dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita yang anemis tidak dapat
mentolerir kehilangan darah. Soeprono menyebutkan bahwa dampak
anemia pada kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga
terjadinya gangguan kelangsungan kehamilan abortus, partus
7

imatur/prematur), gangguan proses persalinan (inertia, atonia, partus lama,


perdarahan atonis), gangguan pada masa nifas (subinvolusi rahim, daya
tahan terhadap infeksi dan stress kurang, produksi ASI rendah), dan
gangguan pada janin (abortus, dismaturitas, mikrosomi, BBLR, kematian
perinatal, dan lain-lain).
BAB III
PEMBAHASAN

A. Epidemiologi anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di Indonesia

Frekuensi

Prevalensi 10 Kelompok Penyakit Terbanyak di Indonesia Tahun 2001


5 Sumber: Studi morbiditas Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil
Surkesnas 2001 menunjukkan bahwa di Indonesia, secara umum anemia merupakan
penyakit ke-4 yang prevalensinya terbanyak setelah gilut, refraksi penglihatan, dan
ISPA, dengan prevalensi sebesar 20%. Prevalensi Anemia Menurut SKRT 1995
dan 2001Di Indonesia 6 Sumber: SKRT 1995 dan 2001 Grafik 2 menunjukkan
bahwa ibu hamil merupakan salah satu kelompok penderita anemia dengan prevalensi
50,9% pada tahun 1995, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2001 menjadi
40,1%. Hal ini disebabkan karena penanggulangan anemia yang difokuskan pada ibu
hamil berupa suplementasi zat besi.Jadi, berdasarkan kedua grafik diatas dapat
diperoleh informasi bahwa dari 20% prevalensi anemia di Indonesia pada tahun 2001,
sebanyak 40,1% diantaranya adalah ibu hamil. Jenis anemia yang dominan adalah
anemia karena kekurangan zat besi.

Distribusi

a. Distribusi Menurut Orang

Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
mempunyai risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan
kesehatan dan keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami
pendarahan dan dapat menyebabkan ibu mengalami anemia. Wintrobe (1987)
menyatakan bahwa usia ibu dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu
9

semakin rendah usia ibu hamil maka semakin rendah kadar hemoglobinnya.
Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat
kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka presentasi anemia semakin
besar.
Hal ini ditegaskan kembali dalam suatu penelitian oleh Ridwan Amiruddin di
wilayah kerja Puskesmas Bantimurung Maros, yang memperoleh hasil sebagai
berikut :
Tabel 1
Distribusi Kejadian Anemia Pada Ibu Hamil Berdasarkan Umur Ibu
di Wilayah Kerja Puskesmas Bantimurung, MarosTahun 2004 2

Umur ibu OR (Lower/Upper


Anemia Total Limit)
(thn)

Ya Tidak

< 20, >35 20 (74,1%) 7 (25,9%) 27 2,801

20-35 51 (50,5%) 50 (49,5%) 101 (1,089/7,207)

Total 71 (55,5%) 57(44,5%) 128

Sumber : Ridwan Amiruddin dalam Jurnal Medika Unhas, dipublikasikan


tahun 2007Berdasarkan Tabel 1, ibu hamil yang berumur kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun lebih berisiko menderita anemia dari pada
ibu hamil usia 20-35 tahun.

b. Distribusi Menurut Tempat

Tabel 2
Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Ibu Hamil (Bumil) di 27 Propinsi
di Indonesia Tahun 1992

No. Propinsi Prevalensi (%)

1 DI Aceh 56,5
2 Sumatera Utara 77,9

3 Sumatera Barat 82,6

4 Riau 65,6

5 Jambi 74,2

6 Sumatera Selatan 58,3

7 Bengkulu 46,8

8 Lampung 60,7

9 DKI Jakarta 67,6

10 Jawa Barat 71,5

11 Jawa Tengah 62,3

12 DI Yogyakarta 73,9

13 Jawa Timur 57,8

14 Bali 71,1

15 NTB 71,3

16 NTT 59,7

17 Kalimantan Barat 55,2

18 Kalimantan Tengah 73,9

19 Kalimantan Selatan 64,9

20 Kalimantan Timur 70

21 Sulawesi Utara 48,7

22 Sulawesi Tengah 45,5

23 Sulawesi Selatan 50,5

24 Sulawesi Tenggara 71,2


11

25 Maluku 69,8

26 Irian Jaya 71,4

27 Timor Timur 48

Berdasarkan Tabel 2, provinsi dengan prevalensi anemia terbesar


adalah Sumatera Barat (82,6%), dan yang terendah adalah Sulawesi
Tengah.

c. Distribusi Menurut Waktu

Prevalensi Anemia Pada Bumil di Indonesia Berdasarkan Data SKRT 1992-


2001 menunjukan

penurunan angka penderita anemia dari tahun 1992-2001. Hal ini menunjukkan
keberhasilan program pemerintah dalam hal penanggulangan anemia pada ibu
hamil.Pada suatu penelitian yang diadakan di beberapa praktek bidan swasta
dalam kotamadya Medan, ditemukan bahwa terjadi peningkatan penderita
anemia dengan makin tuanya usia kehamilan. Besarnya angka kejadia anemia
ibu hamil pada trimester I kehamilan adalah 20%, trimester II sebesar 70%,
dan trimester III sebesar 70%. 4Hal ini disebabkan karena pada trimester
pertama kehamilan, zat besi yang dibutuhkan sedikit karena tidak terjadi
menstruasi dan pertumbuhan janin masih lambat. Menginjak trimester kedua
hingga ketiga, volume darah dalam tubuh wanita akan meningkat sampai
35%, ini ekuivalen dengan 450 mg zat besi untuk memproduksi sel-sel darah
merah. Sel darah merah harus mengangkut oksigen lebih banyak untuk janin.
Sedangkan saat melahirkan, perlu tambahan besi 300 – 350 mg akibat
kehilangan darah. Sampai saat melahirkan, wanita hamil butuh zat besi sekitar
40 mg per hari atau dua kali lipat kebutuhan kondisi tidak hamil.

Determinan
Pada ibu hamil, beberapa faktor risiko yang berperan dalam meningkatkan prevalensi
anemia defisiensi zat besi, antara lain :a. Umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun.
Wanita yang berumur kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, mempunyai
risiko yang tinggi untuk hamil. Karena akan membahayakan kesehatan dan
keselamatan ibu hamil maupun janinnya, berisiko mengalami pendarahan dan dapat
menyebabkan ibu mengalami anemia.Wintrobe (1987) menyatakan bahwa usia ibu
dapat mempengaruhi timbulnya anemia, yaitu semakin rendah usia ibu hamil maka
semakin rendah kadar hemoglobinnya. Muhilal et al (1991) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa terdapat kecendrungan semakin tua umur ibu hamil maka
presentasi anemia semakin besar.b. Pendarahan akutc. Pendidikan rendahd.
Pekerja berate. Konsumsi tablet tambah darah < 90 butirf. Makan < 3 kali dan
kurang mengandung zat besi.

B. Program penanggulangan anemia defisiensi zat besi pada ibu hamil di


Indonesia.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Departemen Kesehatan antara lain:71.


Pemberian tablet besi pada ibu hamil secara rutin selama jangka waktu tertentu untuk
meningkatkan kadar hemoglobin secara tepat. Tablet besi untuk ibu hamil sudah
tersedia dan telah didistribusikan ke seluruh provinsi dan pemberiannya dapat melalui
Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu dan Bidan di Desa.2. Buku
pedoman pemberian zat besi bagi petugas tahun 1995, dan poster-poster mengenai
tablet besi sudah dibagikan.3. Buku Pedoman Operasional Penanggulangan
Anemia Gizi bagi petugas tahun 1996.4. Sejak tahun 1993 sampai sekarang,
kemasan Fe yang tadinya menimbulkan bau kurang sedap sekarang sudah mengalami
perbaikan yaitu tablet salut yang dikemas sebanyak 30 tablet per bungkus aluminium
dengan komposisi yang sama. Namun program di lapangan menunjukkan bahwa
belum semua ibu hamil mendapatkan tablet besi sesuai yang diharapkan program
yaitu 90 tablet. Cakupan distribusi tablet tambah darah ibu hamil pada tahun 2001
(Fe1: 67,49% dan Fe3: 63,08%) (SKRT 2001).
13

C. Isu Terbaru KURANG ASAM FOLAT BISA SEBABKAN BAYI CACAT

Kekurangan asam folat pada ibu hamil, berdasarkan penelitian, bisa


menyebabkan terjadinya kecacatan pada bayi yang dilahirkan. Bayi mengalami cacat
pada otak dan sumsum tulang belakang.
Menurut dr Noroyono Wibowo SpOG, Kepala Subbagian Fetomaternal
Departemen Obestetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
(FK-UI), dalam semiloka manfaat asam folat yang diselenggarakan di Jakarta,
beberapa waktu lalu, asam folat merupakan enzim untuk memproduksi DNA
(Deoxyribose Nucleic Acid).
”Asam folat juga penting dalam membantu pembelahan sel. Asam folat juga
bisa mencegah anemia dan menurunkan risiko terjadinya NTD (Neural Tube Defects)
dan sebagai antidepresan,” kata Bowo.Sering kali para ibu tidak mengetahui dirinya
kekurangan asam folat karena sebagian besar kehamilan terjadi tanpa direncanakan.
”Kebanyakan pasutri (pasangan suami istri) tidak pernah merencanakan kehamilan.
Tahu-tahu ibu langsung hamil setelah telat datang bulan. Mereka baru datang ke
dokter setelah positif hamil beberapa minggu.”Karena itu, ibu pun sering tidak
membekali diri dengan gizi yang mencukupi ketika sebelum dan sesudah kehamilan.
”Kalau kehamilan direncanakan, maka ia akan mempersiapkan gizi yang baik
sebelum hamil. Padahal, kebutuhan asam folat untuk ibu hamil harus disiapkan sejak
sebelum kehamilan.”Di Indonesia sendiri belum ada data pasti berapa besarnya
prevalensi adanya penyakit kelainan sumsum tulang belakang. ”Jumlah angka
kematian bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Kematian bayi ini belum
diidentifikasi penyebabnya apa, karena belum ada data. Salah satu penyebab
kematian bayi adalah kekurangan asam folat,” ujar Bowo.Kekurangan asam folat
menyebabkan bayi lahir dengan bibir sumbing, bayi dengan berat badan rendah,
Down’s Syndrome, dan keguguran. ”Bayi mengalami kelainan pembuluh darah.
Rusaknya endotel pipa yang melapisi pembuluh darah, menyebabkan lepasnya
plasenta sebelum waktunya.”Kelainan lainnya adalah bayi mengalami gangguan
buang air besar dan kecil, anak tidak bisa berjalan tegak dan emosi tinggi. Pada anak
perempuan saat dewasa tidak mengalami menstruasi.Pada ibu hamil kekurangan folat
menyebabkan meningkatnya risiko anemia, sehingga ibu mudah lelah, letih, lesu, dan
pucat.Sumber makanan yang mengandung asam folat adalah hati sapi (liver), brokoli,
jeruk, bayam, dan sebagainya. ”Roti dan susu juga mengandung asam folat tinggi,
sebab kini susu dan tepung terigu telah difortifikasi mengandung asam folat,” jelas Dr
Tim Green PhD dari Department of Human Nutrition University of Otago New
ZealandHanya saja hati sapi mengandung vitamin A cukup tinggi. Pemberian vitamin
A pada ibu hamil sangat tidak dianjurkan karena menyebabkan gangguan kehamilan.
Oleh sebab itu, pengganti hati sapi adalah susu.Kebutuhan asam folat untuk ibu hamil
dan usia subur sebanyak 400 mikrogram/hari atau sama dengan dua gelas susu.
”Mengonsumsi folat tidak hanya ketika hamil, tetapi sebelum hamil sangat
dianjurkan. Banyak negara telah melakukan kebijakan dalam pengurangan NTD
dengan mewajibkan ibu mengonsumsi asam folat,” tuturnya.
15

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Secara umum di Indonesia, anemia merupakan penyakit ke-4 yang
prevalensinya terbanyak dengan prevalensi sebesar 20% (Studi morbiditas
Susenas 2001, Badan Litbangkes; publikasi hasil Surkesnas 2001). Sebanyak
40,1% diantaranya adalah ibu hamil dengan jenis anemia yang dominan
adalah anemia karena kekurangan zat besi (SKRT 1995 dan 2001).
2. Ibu hamil yang berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun lebih
berisiko menderita anemia dari pada ibu hamil usia 20-35 tahun (Ridwan
Amiruddin, 2004).
3. Provinsi dengan prevalensi anemia terbesar adalah Sumatera Barat (82,6%),
dan yang terendah adalah Sulawesi Tengah (SKRT 1992).
4. Terjadi penurunan angka penderita anemia dari tahun 1992-2001, yaitu 63,5%
pada tahun 1992, 50,9% pada tahun 1995, dan menjadi 40,1% pada tahun
2001 (SKRT 1992,1995,dan 2001).5. Determinan kejadian anemia
defisiensi zat besi adalah umur ibu < 20 tahun dan > 35 tahun. Pendarahan
akut, pendidikan rendah, pekerja berat, konsumsi tablet tambah darah < 90
butir, makan < 3 kali dan kurang mengandung zat besi.

B. Saran

1. Diperlukan upaya yang lebih baik lagi oleh pemerintah dalam hal menekan
angka penderita anemia defisiensi zat besi di Indonesia.
2. Perlu adanya penyuluhan yang lebih responsible tentang pentingnya
suplemen zat besi dan bahaya anemia bagi ibu hamil.
3. Perlu adanya pendistribusian tablet besi yang lebih merata di seluruh pelosok
tanah air.
17

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.bppsdmk.depkes.go.id. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Ibu


Hamil. Akses 17 September 2007.

2. http://ridwanamiruddin.wordpress.com. Studi Kasus Kontrol Faktor Biomedis


Terhadap Kejadian Anemia Ibu Hamil Di Puskesmas Bantimurung. Akses 17
September 2007.

3. Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi. Jakarta :
EGC.

4. http://library.usu.ac.id. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa


Praktek Bidan Swasta Dalam Kota Madya Medan. Akses 17 September 2007.5.
http://bankdata.depkes.go.id. Profil Kesehatan Indonesia : Pencapaian Indonesia
Sehat di Tahun 2001. Akses 23 September 2007.6. Atmarita, Tatang S. Fallah.
2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Widyakarya
Nasional Pangan dan Gizi VIII.7. http://www.skripsi-tesis.com. Faktor-faktor
yang Berhubungan Dengan Rendahnya Cakupan Fe Ibu Hamil di Kabupaten
Bengkulu Selatan Propinsi Bengkulu Tahun 2003. Akses 17 September 2007.

Anda mungkin juga menyukai