Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

ILMU KESEHATAN ANAK

“ANEMIA DEFISIENSI BESI”

PEMBIMBING :

DR. SASONGKO, SP.A

OLEH :

GEDE ANGGA DHARMADIPUTRA (20190420270)

GRASIA YANRIKO (20190420275)

SMF ANAK

RSU HAJI SURABAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HANG TUAH

SURABAYA

2020
LEMBAR PERSETUJUAN

“ANEMIA DEFISIENSI BESI”

Oleh :
Gede Angga Dharmadiputra (20190420270)
Grasia Yanriko (20190420275)

Menyetujui :

dr. Sasongko, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa


karena berkat rahmatnya lah penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Anemia Defisiensi Besi” yang merupuakan tipe anemia paling
sering ditemukan pada bayi.

Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis sampaikan kepada dr.
Sasongko, Sp.A selaku pembimbing kami dibagian ilmu kesehatan anak
RSU Haji Surabaya dan rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam
pembuatan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih


sangat banyak terdapat kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan guna perbaikan dalam
pembuatan referat selanjutnya.

Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi
para pembaca dan rekan-rekan sejawat.

Surabaya, 11 Juli 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.....................................................................................................iii
DAFTAR ISI....................................................................................................................iv
DAFTAR SINGKATAN...................................................................................................v
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................3
2.1 Definisi.............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi...................................................................................................3
2.3 Etiologi.............................................................................................................4
2.4 Faktor Resiko.................................................................................................5
2.5 Klasifikasi........................................................................................................7
2.6 Patogenesis....................................................................................................7
2.7 Manifestasi Klinis...............................................................................................8
2.8 Diagnosis..............................................................................................................9
2.9 Diagnosis Banding...........................................................................................11
2.10 Tatalaksana......................................................................................................13
2.11 Komplikasi.......................................................................................................15
2.12 Pencegahan.....................................................................................................15
2.13 Prognosis.........................................................................................................17
BAB III............................................................................................................................18
KESIMPULAN...............................................................................................................18
3.1 Kesimpulan...................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

iv
DAFTAR SINGKATAN

ADB = Anemia Defisiensi Besi


ASI = Air Susu Ibu
Hb = Hemoglobin
Ht = Hematokrit
L = Liter
Mg = Miligram
SKRT = Survei Kesehatan Rumah Tangga
TIBC = Total Iron Binding Capacity
VER = Volume Eritrosit Rata-Rata
MCV = Mean Corpuscular Volume
MCH = Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC = Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Anemia
defisiensi besi ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan hasil
laboratorium yang menunjukan cadangan besi kosong. Hal ini
disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk
menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi
yang berlebihan yang diakibatkan perdarahan.(Pradiyadnya &
Suryani, 2018)
Batasan anemia yang ditetapkan World Health Organization
untuk bayi usia 6 bulan sampai 6 tahun ialah apabila kadar Hb
<11g/dL, nilai ini sesuai dengan kadar hematokrit (Ht) 32% dan nilai
volume eritrosit rata-rata (VER) sebesar 72fL.
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan
lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi.
Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang.
Di Amerika Serikat anemia defisiensi besi terdapat pada 25% bayi
dan 6% anak.4 Di Asia Tenggara prevalensi pada kelompok
prasekolah dan wanita hamil diperkirakan antara 50% dan 70%.
(Irsa, 2016)
Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan
lebih kurang 500-600 juta menderita anemia defisiensi besi.
Prevalensi yang tinggi terjadi di negara yang sedang berkembang.
Tubuh dari neonatus cukup bulan mengandung 0,5 gram besi,
pada tubuh dewasa terkandung 5 gram besi. Perubahan kuantitas

1
besi dari lahir ke dewasa berarti bahwa sekitar 0,8 mg besi harus
diabsorbsi tiap harinya selama 15

tahun kehidupan seorang anak. Sejumlah kecil besi dibutuhkan


untuk menggantikan jumlah yang hilang pada proses kerusakan
sel. Sehingga perlu untuk dilakukan absorbs kurang lebih 1 mg tiap
harinya untuk menjaga jumlah positif pada usia anak. Karena
hanya kurang dari 10 % jumlah besi yang diserap setiap harinya,
asupan gizi 8-10 mg besi per hari dibutuhkan untuk menjaga jumlah
besi dalam tubuh. Selama usia bayi, ketika pertumbuhan paling
pesat, kurang lebih 1 mg/L besi dari susu sapi dan ASI
menyebabkan sulitnya mempertahankan kadar besi dalam tubuh.
Bayi yang mendapatkan ASI memiliki keuntungan karena jumlah
besi yang diserap 2-3 kali lebih efisien dibandingkan dari bayi yang
mendapat asupan susu sapi. (Fitriany & Saputri, 2018)
Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk
menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk
pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari umur, jenis kelamin.
Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui
serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat
mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi
yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam
jangka panjang.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering dijumpai, terutama di negara-negara tropik atau negara
dunia ketiga. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk
dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat
merugikan serta dampak sosial yang cukup serius. (Pradiyadnya &
Suryani, 2018)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan
karena kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin
(Hb). (Rahmatunnisa, 2016)
Anemia defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang
terjadi cukup berat sehingga menyebabkan eritropoesis terganggu
dan menyebabkan terbentuknya anemia. Keadaan ini akan
menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan untuk
beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan pada anak. (Fitriany & Saputri, 2018)

2.2 Epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga
dijumpai pada anak usia sekolah dan anak praremaja. Angka
kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun) di kota sekitar
5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di
Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1 – 2 tahun diketahui
kekurangan besi, 3 % menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis
remaja di Amerika serikat kekurangan besi dan 2% menderita
anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan
besinya berkurang saat pubertas.
Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam dibanding
kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di indonesia
prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992 prevalensi ADB pada
anak balita di indonesia adalah 55,5%. Hasil survei rumah tangga

3
tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia
sekolah menderita ADB. (Fitriany & Saputri, 2018)

2.3 Etiologi
Faktor utama penyebab anemia adalah asupan zat besi
yang kurang. (Amalia & Tjiptaningrum, 2016). Pada periode
intrauterine, satu-satunya sumber zat besi adalah besi yang
dialirkan melalui plasenta. Pada periode akhir kehamilan, jumlah
total besi pada janin adalah 75 mg / kg. Anemia fisiologis terjadi
pada periode postnatal dan simpanan besi yang tersedia cukup
untuk melakukan eritropoiesis dalam 6 bulan pertama kehidupan
jika tidak ada kehilangan darah yang signifikan. Pada bayi berat
lahir rendah dan pada bayi dengan kehilangan darah sebelum
kelahiran, cadangan besi habis lebih awal, karena cadangan
tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi dalam ASI berada pada tingkat
tertinggi pada bulan pertama, tetapi menurun secara bertahap
dalam periode berikutnya dan berkurang hingga 0,3 mg / L kira-kira
pada bulan kelima. Meskipun jumlah zat besi yang diterima dari ASI
biasanya rendah, penyerapannya cukup tinggi (50%). Dengan
demikian, bayi menggunakan besi dari cadangan besi yang ada
dalam 6 bulan pertama sampai jumlah zat besi yang diterima dari
makanan meningkat. (Rahmatunnisa, 2016)
Penyebab anemia defisiensi besi jika dilahat dari umur, yaitu
: (Abdulsalam & Daniel, 2016)
1. Bayi dibawah umur 1 tahun.
 Persediaan besi yang kurang karena berat
badan lahir rendah dan bayi kembar.
2. Anak umur 1-2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena
tidak mendapat makanan tambahan (hanya
minum susu).

4
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang.
 Malabsorbsi.
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan
antara lain karena infeksi parasit dan
divertikulum Meckeli.
3. Anak berumur 2-5 tahun
 Masukan besi berkurang karena jenis makanan
kurang mengandung Fe- heme.
 Kebutuhan meningkat karena infeksi
berulang/menahun.
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan
antara lain karena infestasi parasit dan
divertikulum Meckeli.
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan
antara lain karena infestasi parasit dan
polyposis.
5. Usia remaja – dewasa.
 Pada wanita antara lain karena menstruasi
berlebihan.

Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur


ini penting untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan
skala prioritas dengan tujuan menghemat biaya dan waktu.
(Rahmatunnisa, 2016)

2.4 Faktor Resiko


Faktor-faktor yang berperan pada terjadinya defisiensi besi :
(Amalia & Tjiptaningrum, 2016)
1. Kebutuhan yang meningkat. Pertumbuhan cepat yaitu
pada umur 1 tahun pertama dan masa remaja, pada saat
itu berat badan bayi bertambah dengan cepat, dapat

5
mencapai 6 kali lipat dari berat badan lahir. Pada remaja
terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan
terjadinya menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap. Makanan bayi banyak
yang tidak mengandung daging oleh karena itu sebagian
besar zat besi dalam makanannya berbentuk non-heme
sehingga absorpsinya sangat Dipengaruhi faktor dalam
makanan. Pada anak kurang gizi didapatkan mukosa
usus yang mengalami perubahan secara histologis dan
fungsional sehingga terjadi sindrom malabsorpsi, enteritis
dan atrofi vili usus, hal ini dapat mengganggu
penyerapan besi.
3. Infeksi. Infeksi mudah dan sering terjadi pada bayi dan
anak, terutama di Negara sedang berkembang, misalnya
infeksi kronis akibat tuberculosis, infeksi parasit, infeksi
saluran nafas, diare dan lain sebagainya. Pada infeksi
zat besi banyak digunakan oleh sistem kekebalan tubuh
yaitu pada aktivitas fagositik netrofil dan proliferasi sel
limfosit.
4. Pendarahan saluran cerna. Perdarahan saluran cerna
pada anak paling sering disebabkan oleh infestasi cacing
tambang atau parasit lain. Pada bayi pendarahan saluran
cerna dapat disebabkan oleh alergi protein susu sapi,
diverticulum meckel, duplikasi usus, teleangiektasi
hemoragika dan polip usus.
5. Faktor lain yang berperan pada terjadinya ADB adalah
transfuse fero maternal, hemoglobinuria, dan iatrogenic
bloodloss akibat pengambilan darah vena berulang-
ulang.

2.5 Klasifikasi

6
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka
defisiensi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan : (Pradiyadnya &
Suryani, 2018)
1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi
menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum
terganggu.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) :
cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk
eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia
secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai
anemia.

2.6 Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi
atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh
sehingga cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi
menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif,
yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi
dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit
tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut
sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan
pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi
transferrin menurun dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding
Capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferrin
dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka
eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai

7
menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut
sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat
ini juga terjadi kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa
enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan
faring serta berbagai gelaja lainnya. (Pradiyadnya & Suryani, 2018)

2.7 Manifestasi Klinis


Kebanyakan anak-anak dengan defisiensi besi tidak menunjukkan
gejala dan baru terdeteksi dengan skrining laboratorium pada usia 12
bulan. Gejala khas dari anemia defisiensi besi adalah:

1. Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi


rapuh dan bergaris-garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip
dengan sendok.

2. Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah


tampak licin dan mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil
lidah.

3. Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut


sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.

4. Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring.

Defisiensi besi memiliki efek sistemik non-hematologis. Efek yang paling


mengkhawatirkan adalah efek terhadap bayi dan remaja yaitu
menurunnya fungsi intelektual, terganggunya fungsi motorik dapat muncul
lebih dahulu sebelum anemia terbentuk. Telah banyak penelitian
dilakukan mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan uji
kognitif, di Guatemala terhadap bayi berumur 6-24 bulan, ditemukan
bahwa terdapat perbedaan skor mental dan skor motoric antara kelompok
anak dengan anemia defisiensi besi dan dengan anak normal. Penelitian
juga dilakukan terhadap anak usia 3-6 tahun di Inggris yang menunjukkan
bahwa anak dengan anemia defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih
rendah terhadap uji oddity learning jika dibandingkan kelompok kontrol.
Terdapat bukti bahwa perubahan-perubahan tersebut dapat menetap

8
walaupun dengan penanganan, sehingga pencegahan menjadi sangat
penting. Pica, keinginan untuk mengkonsumsi bahan-bahan yang tidak
dapat dicerna, atau pagofagia, keinginan untuk mengkonsumsi es batu
merupakan gejala sistemik lain dari defisiensi besi. Pica dapat
menyebabkan pengkonsumsian bahan-bahan mengandung timah
sehingga akan menyebabkan plumbisme. (Julia, 2018)

2.8 Diagnosis
1. Anamnesis, meliputi:

 Pucat yang berlangsung lama tanpa manifestasi


pendarahan.
 Mudah lelah, lemas, mudah marah, tidak ada nafsu
makan, daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun,
serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.
 Gemar memakan makanan yang tidak biasa (pica)
seperti es batu, kertas, tanah dan rambut.
 Memakan bahan makanan yang kurang mengandung
zat besi seperti kalsium dan fifat (beras, gandum),
serta konsumsi susu sebagai sumber energy utama
sejak bayi sampai usia 2 tahun (milkaholics).
 Infeksi malaria, infestasi parasite seperti ankylostoma
dan schistosoma.

2. Pemeriksaan Fisik

 Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak


begitu diperhatikan oleh keluarga.

Bila kadar Hb < 5 g/dL ditemukan gejala iritabel dan


anoreksia.
 Pucat ditemukan bila kadar Hb < 7 g/dL.
 Tanpa organomegali.

9
 Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis
angularis, takikardi, gagal jantung, protein-losing
entropathy.
 Rentan terhadap infeksi.
 Gangguan pertumbuhan.
 Penurunan aktivitas kerja.

3. Pemeriksaan Penunjang

 Darah lengkap yang terdiri dari: hemoglobin rendah;


MCV, MCH, dan MCHC rendah. Red cell distribution
width (RDW) yang lebar dan MCV yang rendah
merupakan salah satu skrining defisiensi besi.
1. Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila
RDW normal (<13%) pada talasemia trait.
2. Ratio MCV/RBC (Mentzer index) » 13 dan bila
RDW index (MCV/RBC xRDW) 220, merupakan
tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang
dari 220 merupakan tanda talasemia trait.
3. Apusan darah tepi: mikrositik, hipokromik,
anisositosis, dan poikilositosis.
 Kadar besi serum yang rendah, TIBC, serum ferritin
<12 ng/mL dipertimbangkan sebagai diagnostik
defisiensi besi
 Nilai retikulosit: normal atau menurun, menunjukkan
produksi sel darah merah yang tidak adekuat
 Serum transferrin receptor (STfR): sensitif untuk
menentukan defisiensi besi, mempunyai nilai tinggi
untuk membedakan anemia defisiensi besi dan
anemia akibat penyakit kronik.
 Kadar zinc protoporphyrin (ZPP) akan meningkat
 Terapi besi (therapeutic trial): respons pemberian
preparat besi dengan dosis 3 mg/ kgBB/hari, ditandai
dengan kenaikan jumlah retikulosit antara 5–10 hari

10
diikuti kenaikan kadar hemoglobin 1 g/dL atau
hematokrit 3% setelah 1 bulan menyokong diagnosis
anemia defisiensi besi. Kira-kira 6 bulan setelah
terapi, hemoglobin dan hematokrit dinilai kembali
untuk menilai keberhasilan terapi.
 Pemeriksaan penunjang tersebut dilakukan sesuai
dengan fasilitas yang ada.
 Kriteria diagnosis ADB menurut WHO:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 µg/dL (N: 80-180 µg/dL)
4. Saturasi transferin <15% (N: 20-50%)
Kriteria ini harus dipenuhi, paling sedikit kriteria nomor
1, 3, dan 4. Tes yang paling efisien untuk mengukur
cadangan besi tubuh yaitu ferritin serum. Bila sarana
terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anemia tanpa perdarahan.
2. Tanpa organomegali.
3. Gambaran darah tepi: mikrositik, hipokromik,
anisositosis, sel target.
4. Respons terhadap pemberian terapi besi. (Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2009)

2.9 Diagnosis Banding

11
Penyebab alternatif paling sering dari anemia mikrositer adalah
thalassemia α atau β dan hemoglobinopati, yaitu hemoglobin E dan C.
Karakteristik talasemia yang paling sering muncul adalah menurunnya
jumlah sel darah merah namun dengan jumlah RDW normal atau
meningkat sedikit. Keracunan timbal dapat menyebabkan anemia

mikrositer namun lebih sering terjadi anemia defisiensi besi menyebabkan


pica yang kemudian menyebabkan keracunan timbal. (Julia, 2018)

Perbandingan nilai laboratorium

12
2.10 Tatalaksana
Setelah diagnosis maka dibuat rencana pemberian terapi. Terapi
terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal : tergantung penyebab, misalnya ; pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia.
Terapi kausal harus dilakukan kalau tidak maka anemia akan
kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi
dalam tubuh (iron replacemen theraphy).
a. Terapi besi per oral : merupakan obat pilihan pertama
(efektif, murah, dan aman). Preparat yang tersedia : ferrosus
sulphat (sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200 mg. Setiap 200 mg
sulfas fenosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian
sulfas fenosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari
dapat meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal.
Preparat yang lain : ferrosus gluconate, ferrosus fumarat, ferrosus
lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal,
tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan sulfas
fenosus.
b. Terapi besi parenteral
Terapi ini sangat efektif tapi mempunyai efek samping lebih
berbahaya, dan lebih mahal. Indikasi :
 Intoleransi terhadap pemberian oral.
 Kepatuhan terhadap berobat rendah.
 Gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh
jika diberikan besi.
 Penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada
gastrektomi.

13
 Keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga
tidak cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral.

 Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti


pada kehamilan trisemester tiga atau sebelum operasi.
 Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian
eritropoetin pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia
akibat penyakit kronik.
Preparat yang tersedia : iron dextran complex (mengandung 50 mg
besi/ml) iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah
iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi
parental dapat diberikan secara intramuskular dalam atau
intravena. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut
dan sinkop. Terapi besi parental bertujuan untuk mengembalikan
kadar hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg.
Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus berikut :

Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa


kali pemberian.
c. Pengobatan lain
 Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani.
 Vitamin c : vitamin c diberikan 3 x 100 mg/hari untuk
meningkatkan absorpsi besi.
3. Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan
transfuse darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada anemia
defisiensi besi adalah :
 Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah
jantung.

14
 Anemia yang sangat simpomatik, misalnya anemia dengan
gejala pusing yang sangat menyolok.
 Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang
cepat seperti pada kehamilan trisemester akhir atau
preoperasi.
4. Respon terhadap terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita
dinyatakan memberikan respon baik bila :
 Retikulosit naik pada minggu pertama, menjadi normal
setelah hari 10-14 diikuti kenaikan Hb 0,15 g/hari.
 Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10 minggu.
Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan :
 Dosis besi kurang.
 Masih ada pendarahan cukup banyak.
 Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum.
 Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik,
peradangan menahun, atau pada saat yang sama ada
defisiensi asam folat.
 Diagnosis defisiensi besi salah
Jika dijumpai keadaan diatas maka, lakukan evaluasi kembali dan
ambil tindakan yang tepat. (I Wayan, 2017)

2.11 Komplikasi
 Penyakit jantung anemia.
 Gangguan pertumbuhan dan perkembangan. (Ketut, 2017)

2.12 Pencegahan
1. Pencegahan primer

 Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan.


 Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun.
 Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat
pada waktunya, yaitu sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun.
 Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan
minum preparat besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta

15
menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh,
fosfat, dan fitat pada makanan.
 Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan
makanan yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani.
 Pendidikan kebersihan lingkungan

2. Pencegahan sekunder

 Skrining ADB
Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht, waktunya
disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi. Waktu yang
tepat masih kontroversial. American Academy of Pediatrics (AAP)
menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6 bulan kemudian, dan usia
24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi dilakukan tiap tahun
sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun.
Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW, feritin
serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai usia remaja.
 Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan salah
satu alat skrining ADB.
 Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu
protoporphyrin zinc erythrocyte (ZEP).
 Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan
berlebihan sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk deteksi
ADB dan segera memberi terapi.

3. Suplementasi besi

Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di daerah


dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang dianjurkan:

 Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1


mg/kg BB/hari
 Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
 Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu

16
 Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu

4. Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk bayi
dan makanan pendamping ASI seperti sereal. (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2009)

2.13 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena
kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya serta kemudian
dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi
klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi. (Ketut,
2017)

17
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan
karena kekurangan besi yang digunakan untuk sintesis
hemoglobin. Penyebab anemia defisiensi besi ini dibagi
berdasarkan usia untuk mencari penyebab berdasarkan skala
prioritas dengan tujuan untuk menghemat biaya dan waktu. Faktor
yang berperan pada terjadinya anemia defisiensi besi yaitu
kebutuhan meningkat, kurangnya besi yang diserap, infeksi,
pendarahan saluran cerna dll.
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena
cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.
Tatalaksana pengobatan anemia defisiensi besi adalah
dengan memperbaiki etiologi yang menjadi dasar terjadinya
anemia. Apabila terjadi anemia defisiensi besi maka segera obati
dengan menggunakan preparat besi dan dicari kausanya serta
pengobatan terhadap kausa ini harus juga dilakukan.
Dengan pengobatan yang tepat dan adekuat maka anemia
defisiensi besi ini dapat disembuhkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2016). Diagnosis, Pengobatan dan


Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 74.
https://doi.org/10.14238/sp4.2.2002.74-7

Amalia, A., & Tjiptaningrum, A. (2016). Diagnosis dan Tatalaksana


Anemia Defisiensi Besi Diagnosis and Management of Iron Deficiency
Anemia. Diagnosis Dan Tatalaksana Anemia Defisiensi Besi, 5, 166–
169.

Fitriany, J., & Saputri, A. I. (2018). Anemia Defisiensi Besi. Jurnal.


Kesehatan Masyarakat, 4(1202005126), 1–30.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (2009) ‘Pedoman pelayanan


medis’,Pedoman pelayanan medis.

Irsa, L. (2016). Gangguan Kognitif pada Anemia Defisiensi Besi. Sari


Pediatri, 4(3), 114. https://doi.org/10.14238/sp4.3.2002.114-8

Julia, Fitriany (2018). Anemia Defesiensi Besi. Jurnal. Averrous, 4(2),


file:///C:/Users/PU%20PROV/Documents/manifes%20anemi.pdf

Ketut, dewi dkk (2017) Ilmu Kesehatan Anak. Universitas Udayana.

Pradiyadnya, I. W. R., & Suryani, I. A. M. (2018). Anemia Defisiensi Besi.


AVERROUS: Jurnal Kedokteran Dan Kesehatan Malikussaleh, 4(2),
1. https://doi.org/10.29103/averrous.v4i2.1033

Rahmatunnisa, N. (2016). Anemia Defisiensi Besi. Jurnal. Kesehatan


Masyarakat, 2, 140–145.

Wayan, I dkk (2017) Anemia Defisiensi Besi. Universitas Udayana.


https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/ce7919b071e
e191d4d7d71822dcc3098.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai