Disusun Oleh :
Arsilia, S.Ked
(18 21 777 14 457)
PEMBIMBING :
dr. A. Enda Yuliastini, M.Kes, Sp.A
i
HALAMAN PENGESAHAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah hemoglobin yang
mengakibatkan penurunan kapasitas pengangkutan oksigen. Anemia
defisiensi besi adalah anemia akibat kekurangan zat besi tubuh yang
dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin.1,2 Hal ini ditandai dengan
gambaran eritrosit yang hipokrom-mikrositer, penurunan kadar besi serum,
transferin dan cadangan besi, di sertai peningkatan kapasitas ikat besi /total
iron binding capacity (TIBC).3
Anemia defisiensi besi pada anak disebabkan karena kehilangan
darah secara kronis, asupan dan serapan zat besi yang tidak adekuat, dan
peningkatan kebutuhan zat gizi. Beberapa faktor saling terkait
seperti jumlah zat besi pada makanan yang tidak cukup karena rendahnya
konsumsi protein adalah salah satu penyebab adanya anemia pada anak.
Penyebab anemia gizi besi pada anak sekolah umumnya disebabkan
karena kekurangan asupan zat gizi khususnya besi dan zat-zat gizi lain
yang membantu penyerapan dan metabolisme besi.4
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan salah satu penyakit
hematologi yang sering ditemukan pada bayi, anak-anak dan perempuan
usia reproduksi. Anak-anak dengan ADB akan mengalami gangguan
dalam tumbuh-kembang, perubahan perilaku serta gangguan motorik,
sehingga dapat mengurangi kemampuan belajar dan menurunkan prestasi
belajar di sekolah. 3
2.2 Epidemiologi
Anemia merupakan permasalahan yang terjadi hampir di seluruh
dunia. Prevalensi Anemia secara global pada tahun 2019 adalah 22,8%,
dengan prevalensi tertinggi pada anak di bawah lima tahun 39,7%.5 Angka
defisiensi besi lebih tinggi di negara berkembang dibandingkan Amerika
4
Serikat, dimana prevalensi anemia defisiensi besi pada pria di bawah 50
tahun 1%. Pada wanita usia subur 10% karena menstruasi, anak usia 12-36
bulan 9%, dan sepertiga dari anak-anak ini mengalami anemia. Tingkat
anemia defisiensi besi di Amerika Serikat, sangat beresiko terjadi di
keluarga berpenghasilan rendah.6
Di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
pada tahun 2018 menyebutkan prevalensi anemia di Indonesia yaitu 48,9%
dengan proporsi anemia terbanyak adalah kelompok umur 15-24 dan 25-
34 tahun.5 Hasil survei kesehatan rumah tangga (SKRT) melaporkan
kejadian anemia defisiensi besi sebanyak 48,1% pada kelompok usia balita
dan 47,3% pada kelompok usia anak sekolah.2
Badan Kesehatan Dunia WHO memperediksi bahwa penyebab
terbesar dari Anemia adalah akibat dari defisiensi zat besi.5
5
a. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
1) Pertumbuhan
Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun pertama
dan masa remaja kebutuhan besi akan meningkat, sehingga pada
periode ini insiden ADB meningkat. Pada bayi umur 1 tahun, berat
badannya meningkat 3 kali dan massa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur dengan
pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya
dapat mencapai 6 kali dan masa hemoglobin dalam sirkulasi
mencapai 3 kali dibanding saat lahir.8
2) Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan
adalah kehilangan darah lewat menstruasi. 9
b. Kurangnya besi yang diserap
1) Masukan besi dan makanan yang tidak adekuat Seorang bayi pada
1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan makanan yang
banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan menyerap lebih
kurang 200 mg besi selama 1 tahun pertama (0,5 mg/hari) yang
terutama digunakan untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat
ASI eksklusif jarang menderita kekurangan besi pada 6 bulan
pertama. Hal ini disebabkan besi yang terkandung dalam ASI lebih
mudah diserap dibandingkan susu yang terkandung susu formula.
Diperkirakan sekitar 40% besi dalam ASI diabsropsi bayi,
sedangkan dari PASI hanya 10% besi yang dapat diabsropsi.8 Pada
bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak daripada ASI
lebih berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi.9
2) Malabsorpsi besi Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang
mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan
fungsional. Pada orang yang telah mengalami gastrektomi
parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita
mendapat makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan
6
berkurangnya jumlah asam lambung dan makanan lebih cepat
melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan besi
heme dan non heme.9
c. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting
terjadinya ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan
status besi. Kehilangan darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan
besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari (1,5 – 2 mg) dapat
mengakibatkan keseimbangan negatif besi. Perdarahan dapat berupa
perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy, ulkus
peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid,
indometasin, obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) yang menyerang
usus halus bagian proksimal dan menghisap darah dari pembuluh
darah
submukosa usus.9
d. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan
ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.9
e. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung
buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan
besi melaui urin rata-rata 1,8 – 7,8 mg/hari.9
f. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak bisa diambil darah vena untuk pemeriksaan
laboratorium berisiko untuk menderita ADB.9
g. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit ini jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan perdarahan
paru yang hebat dan berulang serta adanya infiltrat pada paru yang
hilang timbul. Keadaan ini dapat menyebabkan kadar Hb menurun
drastis hingga 1,5 – 3 g/dl dalam 24 jam.9
7
h. Latihan yang berlebihan
Pada atlit yang berolaraga berat seperti olahraga lintas alam, sekitar
40% remaja perempuan dan 17% remaja laki-laki kadar feritin
serumnya < 10 ug/dl. Perdarahan saluran cerna yang tidak tampak
sebagai akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama Latihan
berat terjadi pada 50% pelari.9
2.4 Patofisiologi
Zat besi sangat penting untuk produksi hemoglobin. Penipisan
simpanan besi dapat terjadi akibat kehilangan darah, penurunan asupan,
gangguan penyerapan, atau peningkatan permintaan. Anemia defisiensi
besi dapat timbul dari perdarahan gastrointestinal yang tersembunyi.6
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan
negatif besi yang berlangsung lama. Bila kemudian keseimbangan besi
yang negatif ini menetap akan menyebabkan cadangan besi terus
berkurang. Pada tabel berikut 3 tahap defisiensi besi, yaitu:9
a. Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion (deplesi besi), ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi.
Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada
keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi non heme. Feritin serum
8
menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal.9
b. Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan Eritropoesis defisiensi besi
didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum
menurun dan saturasi transferin menurun, sedangkan TIBC meningkat
dan free erythrocyte porphrin (FEP) meningkat.9
c. Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai anemia defisiensi besi. Keadaan ini
terjadi bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup
sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb, MCV, MCH, dan
MCHC, yang disertai penurunan kadar status besi meliputi feritin dan
serum besi Dari gambaran tepi darah didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progesif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel
terutama pada ADB yang lebih lanjut.9
9
Gejala khas dari ADB antara lain koilonikia (kuku sendok) atau kuku
dengan permukaan kasar, mudah rapuh atau terkelupas, bergaris-garis
vertikal, dan jadi cekung mirip sendok; atrofi papil lidah yaitu
permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah
menghilang; stomatitis angularis yaitu radang di sudut mulut sehingga
tampak seperti bercak pucat keputihan; disfagia atau sulit menelan oleh
karena kerusakan epitel orofaring; dan atrofi mukosa gaster yang akan
menyebabkan akhloridia (tak ada HCl pada lambung) serta pica (suka
makan makanan yang aneh) akibat adanya rasa kurang nyaman pada
mulut oleh karena enzim sitokrom oksidase pada mukosa mulut yang
mengandung besi berkurang.
c. Gejala lainnya
Dapat disebabkan oleh faktor penyebab ADB seperti pada ADB oleh
karena infestasi cacing tambang yang dapat menyebabkan gejala
seperti dispepsia, parotis membengkak, kulit telapak tangan berwarna
kuning seperti Jerami.
10
5) nfeksi malaria, infestasi parasit seperti ankylostoma dan
schistosoma.
b. Pemeriksaan fisis
1) Gejala klinis ADB sering terjadi perlahan dan tidak begitu
diperhatikan oleh keluarga. Bila kadar Hb <5 g/dL ditemukan
gejala iritabel dan anoreksia
2) Pucat ditemukan bila kadar Hb <7 g/dL
3) Tanpa organomegaly
4) Dapat ditemukan koilonikia, glositis, stomatitis angularis,
takikardia, gagal jantung, protein-losing enteropathy Rentan
terhadap infeksi
5) Gangguan pertumbuhan
6) Penurunan aktivitas kerja
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan darah lengkap
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia
mikrositer dengan peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal,
dan jumlah platelet yang meningkat atau normal.9 Kadar hemoglobin
serta kadar Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) dan Mean
Corpuscular Volume (MCV) yang menurun menunjukkan anemia
hipokromik mikrositik, sehingga seseorang kemungkinan terkena
ADB walau pemeriksaan ini tidak sensitif dan spesifik karena hasil
ini dapat juga ditemukan pada masalah medis lainnya seperti
anemia karena penyakit hati kronis, thalasemia, dan anemia
sideroblastik.7 Nilai RDW tinggi >14.5% pada defisiensi besi, bila
RDW normal (<13%) pada talasemia trait. Ratio MCV/RBC (Mentzer
index) » 13 dan bila RDW index (MCV/RBC xRDW) 220, merupakan
tanda anemia defisiensi besi, sedangkan jika kurang dari 220 merupakan
tanda talasemia trait.10
2) Pemeriksaan apusan darah tepi
11
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dimana pada ADB akan
ditemukan gambaran hipokromik mikrositik, sel target, sel pensil,
dan poikilositosis. Pada pemeriksaan status besi, akan terjadi
penurunan dari kadar serum feritin, serum besi, dan saturasiferitin.7
3) Total Iron Binding Capacity (TIBC)
Total iron binding capacity (TIBC) meningkat dan menjadi sebuah
pemeriksaan yang memiliki spesifisitas tinggi terhadap ADB,
namun memiliki sensitivitas yang rendah karena kadarnya dapat
menurun pada situasi seperti inflamasi, lansia, dan nutrisi yang
buruk.7
4) Pemeriksaan pada feses
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak.
Trombositopenia terkadang muncul pada defisiensi besi yang sangat
berat, sehingga akan menimbulkan sebuah kerancuan dengan gangguan
pada sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses untuk melihat perdarahan
pada sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk eksklusi
perdarahan sebagai penyebab defisiensi besi.9
Jika pada suatu kondisi tidak bisa dilakukan pemeriksaan
status besi, diagnosis ADB dapat ditegakkan dengan cara
pemberian suplementasi zat besi sebanyak 3mg/kgBB/hari ataupun
sulfas ferosus 3x200mg PO pada pasien anemia. Jika terjadi
peningkatan Hb >1-2g/dL dalam 2-4 minggu yang berarti adanya
respon yang baik terhadap pemberian senyawa besi sehingga
diagnosis ADB dapat ditegakkan.7
12
b. Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
1) Anemia hipokrom mikrositik
2) Saturasi transferin <16%
3) Nilai FEP >100 ug/dl
4) Kadar feritin serum <12 ug/dl
2.6 Tatalaksana
a. Pemberian suplemen zat besi
Pemberian suplementasi zat besi dapat digunakan untuk menganti
kekurangan zat besi dalam tubuh bisa dengan sulfas ferous yang
relatif murah dan efektif.7 Mengkonsumsi suplemen zat besi oral
selama beberapa bulan untuk meningkatkan kadar zat besi dalam
darah. Ini harus diberikan dengan perut kosong atau dengan jus jeruk
13
untuk meningkatkan penyerapan. (Pada beberapa anak, mungkin
mengiritasi perut dan mengubah warna buang air besar.)11
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan
garam feri. Preparat tersedia berupa ferous glukonat, fumarat, dan
suksinat. Yang sering dipakai adalah ferrous sulfat karena harganya
yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat, dan ferous
suksinat harganya realtif mahal namun efektifitas dan efek samping
hampir sama. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).9
Untuk mendapat respon pengobatan dosis yang dipakai 4 – 6 mg
besi elemental/kgBB/hari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan
besi elemental yang ada dalam garam ferous. Garam ferous sulfat
mengandung besi elemental sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu
besar akan menimbulkan efek samping efek samping yang dapat
terjadi berupa mual, muntah, konstipasi dan tidak memberikan efek
penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah
pada saat lambung kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi
dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna. Untuk mengatasi
hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau
segera setelah makan meskipun akan mengurangi absropsi obat sekitar
40 – 50%. Obat diberikan dalam 2 – 3 dosis sehari. Tindakan tersebut
lebih penting karena dapat diterima tubuh dan akan meningkatkan
kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia pada penderita teratasi.9
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara
klinis dan dari pemeriksaan laboratorium, seperti tampak pada tabel
dibawah ini:9
Waktu setelah
Respon
pemberian besi
14
bertambah
15
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan
pada keadaan anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang
dapat mempengaruhi respon terapi. Koreksi anemia berat dengan
transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan karena
dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC
dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan
kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi.
Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl
hanya diberi PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian
disertai pemberian diuretik seperti furosemide. Jika terdapat gagal
jantung yang nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar
menggunakan PRC.9
2.7 Komplikasi
Komplikasi anemia defisiensi besi meliputi:6
a. Peningkatan risiko infeksi
b. Kondisi jantung
c. Keterlambatan perkembangan pada anak
d. Komplikasi kehamilan
e. Depresi
2.8 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn
besi saja dan diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan
yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik
dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan,
perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:9
a. Diagnosis salah
b. Dosis obat tidak adekuat
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak
berlangsung menetap
16
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi
(seperti : infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit
tiroid, penyakit karena defisiensi vitamin B12, asam folat)
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang
berlebihan pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan
terhadap besi).
17
2.10 Pencegahan
a. Pencegahan primer
1) Mempertahankan ASI eksklusif hingga 6 bulan
2) Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
3) Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi tepat
pada waktunya, yaitu- sejak usia 6 bulan sampai 1 tahun
4) Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel pada waktu makan dan
minum preparat- besi untuk meningkatkan absorbsi besi, serta
menghindari bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh,
fosfat, dan fitat pada makanan.
5) Menghindari minum susu yang berlebihan dan meningkatkan
makanan yang mengandung kadar besi yang berasal dari hewani
6) Pendidikan kebersihan lingkungan
b. Pencegahan sekunder
1) Skrining ADB
a) Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht,
waktunya disesuaikan dengan berat badan lahir dan usia bayi.
Waktu yang tepat masih kontroversial. American Academy of
Pediatrics (AAP) menganjurkan antara usia 9–12 bulan, 6
bulan
kemudian, dan usia 24 bulan. Pada daerah dengan risiko tinggi
dilakukan tiap tahun sejak usia 1 tahun sampai 5 tahun.
b) Skrining dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan MCV, RDW,
feritin serum, dan trial terapi besi. Skrining dilakukan sampai
usia remaja.
c) Nilai MCV yang rendah dengan RDW yang lebar merupakan
salah satu alat skrining ADB
d) Skrining yang paling sensitif, mudah dan dianjurkan yaitu- zinc
erythrocyte protoporphyrin (ZEP).
18
e) Bila bayi dan anak diberi susu sapi sebagai menu utama dan
berlebihan sebaiknya dipikirkan melakukan skrining untuk
deteksi ADB dan segera memberi terapi.
2) Suplementasi besi
Merupakan cara paling tepat untuk mencegah terjadinya ADB di
daerah dengan prevalens tinggi. Dosis besi elemental yang
dianjurkan:
a) Bayi berat lahir normal dimulai sejak usia 6 bulan dianjurkan 1
mg/kg BB/hari
b) Bayi 1,5-2,0 kg: 2 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu
c) Bayi 1,0-1,5 kg: 3 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2
minggu
d) Bayi <1 kg: 4 mg/kgBB/hari, diberikan sejak usia 2 minggu
3) Bahan makanan yang sudah difortifikasi seperti susu formula untuk
bayi dan makanan pendamping ASI seperti sereal.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Sembiring K, Lubis B, Rosdiana N, Nafianti S, Siregar OR. Status Imunitas
Anak dengan Anemia Defisiensi Besi. Cermin Dunia Kedokt.
2018;45(9):653-655.
2. Purnamasari R. Anemia Kekurangan Zat Besi. Idai. Published online
2016:1-6.
3. Kurniati I. Anemia Defisiensi Zat Besi ( Fe ). J Kedokt Univ Lampung.
2020;4(1):18-33.
4. Ningsih DDR, Panunggal B, Pramono A, Fitranti DY. Hubungan Asupan
Protein Dan Kebiasaan Makan Pagi Terhadap Kadar Hemoglobin Pada
Anak Usia 9–12 Tahun Di Tambaklorok Semarang Utara. J Nutr Coll.
2018;7(2):71. doi:10.14710/jnc.v7i2.20825
5. Aurora WID, Hubaybah, Meinarisa, Dewi H, Raudhah S. Skrining Anemia
Defisiensi Besi, Pemberian Tablet Fe, dan Pengenalan Bahan Baku
Makanan Tinggi Besi kepada Masyarakat di Desa Muara Jambi,
Kecamatan Maro Rebo, Kabupaten Muaro Jambi. Med Dedication.
2021;4(2):299-303.
6. Kalavar M, Singh A, Goldberg M. Iron deficiency anemia. Adv Heal Dis.
2021;35:37-75. doi:10.29309/tpmj/2018.25.05.304
7. Amalia A, Tjiptaningrum A. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi
Besi. J Major. 2022;2(1):49-56.
8. Özdemir N. Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
20
Turk Pediatr Ars. 2015;50(1):11-19. doi:10.5152/tpa.2015.2337
9. Fitriany J, Saputri AI. Anemia Defisiensi Besi. AVERROUS J Kedokt dan
Kesehat Malikussaleh. 2018;4(2):1. doi:10.29103/averrous.v4i2.1033
10. Pudjiadi A, Hegar B, Handyastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E.
Penurunan Kesadaran dalam Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Published online 2011.
11. Dharmayuda T, Bakta IM, Suega K. Anemia Defisiensi Besi. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Published 2014. https://www-
childrenshospital-org.translate.goog/conditions/iron-deficiency-anemia?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
21