Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Menurut Dewi Andarina dan Sri Sumarmi dalam The Indonesian

Journal of Public Health, Vol. 3, No. 1, Juli 2006: 19-23, anak usia di

bawah lima tahun (Balita) adalah golongan anak yang rentan terhadap

masalah kesehatan dan gizi di antaranya adalah masalah kurang energi

protein (KEP). Keadaan KEP disebabkan oleh masukan (intake) energi

dan protein yang kurang dalam waktu yang cukup lama. Bila kekurangan

intake protein berlanjut akan menyebabkan terjadinya anemia gizi besi.

Anemia gizi besi ini terjadi karena kandungan zat besi makanan yang

dikonsumsi tidak mencukupi kebutuhan.

Menurut Siti Helmyati, dkk pada tahun 2007, prevalensi anemia

gizi besi di Indonesia untuk anak usia 6 bulan-5 tahun sekitar 24% (dari

kalangan ekonomi mampu) dan sekitar 38%-73% berasal dari kalangan

ekonomi kurang mampu.

Menurut Anonim tahun 2012, prevalensi anemia defisiensi besi

(ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. (7) Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada

bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar

61,3%, 64,8% dan 48,1%.(8) Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0

bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan insidens ADB sebesar

1
40,8% dan 47,4%.(9) Pada usia balita, prevalens tertinggi DB umumnya

terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui

diet dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama.

Keadaan anemia gizi besi pada balita disebabkan oleh beberapa

faktor yang saling terkait antara lain adalah jumlah zat besi dalam

makanan tidak cukup karena rendahnya konsumsi sumber protein hewani,

adanya zat penghambat absorbsi, kebutuhan naik karena pertumbuhan

fisik, dan kehilangan darah disebabkan perdarahan kronis, penyakit parasit

dan infeksi. Keadaan anemia gizi besi pada balita diketahui melalui

pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kadar Hemoglobin (Hb)

darah. Hubungan antara Karakteristik Balita dengan Kadar Hemoglobin

Balita Balita kelompok umur 13–24 bulan sebagian besar tidak mengalami

anemia (Hb > 11 gr/dl). Namun proporsi balita yang menderita anemia

sebagian besar berada pada kelompok umur 13–24 bulan karena pada

masa ini merupakan masa peralihan. Hasil pemeriksaan kadar Hb

menunjukkan bahwa kelompok balita dengan status gizi kurang persentase

kejadian anemia lebih tinggi dibandingkan pada kelompok balita dengan

status gizi baik. Pada balita anemia maupun tidak anemia sebagian besar

sama-sama mengalami sakit dalam satu bulan terakhir dan sakit yang

paling sering diderita adalah batuk dan demam. Batuk dan demam adalah

salah satu dari penyakit infeksi yang dapat menyebabkan gangguan gizi.

Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi masih difokuskan

pada sasaran ibu hamil, sedangkan kelompok lainnya seperti anak balita

2
belum ditangani. Kelompok usia yang paling tinggi mengalami Defisiensi

Besi (DB) adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga kelompok usia ini

menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan atau tanpa

anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2 tahun

dapat berdampak negatif yang serius sehingga mengganggu tumbuh

kembang anak, antara lain menimbulkan defek pada mekanisme

pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan dan kecerdasan otak .

Mengingat mereka adalah penentu dari tinggi rendahnya kualitas pemuda

dan bangsa kelak. Penganganan sedini mungkin sangatlah berarti bagi

kelangsungan pembangunan.

B. RUMUSAN MASALAH

a. Apa yang dimaksud Anemia pada Balita?

b. Apa saja penyebab dari Anemia?

c. Bagaimana hasil jurnal-jurnal penelitian yang dilakukan mengenai Anemia

pada Balita?

d. Apa pencegahan dan penanganan yang dapat dilakukan?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui pengertian dari Anemia pada Balita

2. Untuk mengetahui hasil jurnal penelitian mengenai Anemia pada Balita

3. Untuk mengetahui penyabab terjadinya Anemia

4. Untuk mengetahui pencegahan dan penanganan yang dapat dilakukan

3
D. MANFAAT

Makalah ini ditujukan agar para pembaca dapat lebih memahami Anemia

pada Balita. Sehingga para pembaca dapat mengerti dengan jelas bahwa

anemia merupakan kadar hemoglobin(Hb) dalam sel darah merah kurang dari

normal yang kurang baik bagi kesehatan.

4
BAB II

PEMBAHASAN

MENURUT REFERENSI

A. JURNAL: PENYEBAB ANEMIA GIZI PADA BALITA

1. Pengaruh Anemia pada Balita

Terhadap kekebalan tubuh (imunitas seluler dan humoral). Kekurangan

zat besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap

penyakit infeksi. Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama

balita) lebih mudah terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi

berhubungan erat dengan kerusakan kemampuan fungsional dari

mekanisme kekebalan tubuh yang penting untuk menahan masuknya

penyakit infeksi. Fungsi kekebalan tubuh telah banyak diselidiki pada

hewan maupun manusia. Meskipun telah banyak publikasi yang

mengatakan bahwa kekurangan besi menimbulkan konsekwensi fungsional

pada sistem kekebalan tubuh, tetapi tidak semua peneliti mencapai

kesepakatan tentang kesimpulan terhadap abnormalitas pada fungsi

kekebalan spesifik bayi-bayi dari keluarga-keluarga miskin di London

yang menderita bronchitis dan gastroenteritis menjadi berkurang setelah

mereka mendapat terapi zat besi. Lebih lanjut di Alaska, penyakit diare

dan saluran pernafasan lebih umum ditemui pada orang-orang eskimo dan

orang-orang asli yang menderita defisiensi besi. Meningitis lebih sering

berakibat fatal pada anak-anak dengan kadar hemoglobin di atas 10,1 g/dl,

5
imunitas humoral. Peranan sirkulasi antibodi sampai sekarang dianggap

merupakan pertahanan utama terhadap infeksi, dan hal ini dapat

didemonstrasikan pada manusia. Pada manusia kemampuan pertahanan

tubuh ini berkurang pada orang-orang yang menderita defisiensi besi.

Nalder dkk mempelajari pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa antibodi

pada tikus-tikus dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat besi dalam

diit. Ditemukan bahwa jumlah produksi antibodi menurun sesudah

imunisasi dengan tetanus toksoid, dan penurunan ini secara proporsional

sesuai dengan penurunan jumlah, zat besi dalam diit. Penurunan fifer

antibodi tampak lebih erat hubungannya dengan indikator konsumsi zat

besi, daripada dengan pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar besi dalam

serum atau feritin, atau berat badan. Imunitas sel mediated

Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi dari pasien defisiensi

besi terhadap berbagai mitogen dan antigen merupakan topik hangat yang

saling kontraversial. Bhaskaram dan Reddy menemukan bahwa terdapat

reduksi yang nyata jumlah sel T pada 9 anak yang menderita defisiensi

besi. Sesudah pemberian Suplemen besi selama empat minggu, jumlah sel

T naik bermakna. Srikanti dkk membagi 88 anak menjadi empat kelompok

menurut kadar hemoglobin yaitu defisiensi besi berat (Hb<8,0 g/dl). Pada

anak yang defisiensi besi sedang (Hb antara 8,0 - 10,0 g/dl), defisiensi

ringaan (Hb antara 10,1 - 12,0 g/dl), dan normal (Hb > 12 g/dl). Pada anak

yang defisiensi berat dan sedang terjadi depresi respons terhadap PHA

6
oleh limfosit, sedangkan pada kelompok defisiensi ringan dan normal tidak

menunjukkan hal serupa. Keadaan ini diperbaiki dengan terapi besi.

2. Fagositosis pada Anemia

Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi adalah aktivitas

fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi dapat mengganggu

sintesa asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan metaloenzim

yang mengandung Fe. sel-sel sumsum tulang dari penderita kurang besi

mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju inkorporasi (3H) thymidin

menjadi DNA menurun.

Kerusakan ini dapat dinormalkan dengan terapi besi. Sebagai

tambahan, kurang tersedianya zat besi untuk enzim nyeloperoksidase

menyebabkan kemampuan sel ini membunuh bakteri menurun. Anak-anak

yang menderita defisiensi besi menyebabkan persentase limfosit T

menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan suplementasi besi.

Menurunnya produksi makrofag juga dilaporkan oleh beberapa peneliti.

Secara umum sel T, dimana limfosit berasal, berkurang pada hewan dan

orang yang menderita defisiensi besi. Terjadi penurunan produksi limfosit

dalam respons terhadap mitogen, dan ribonucleotide reductase juga

menurun. Semuanya ini dapat kembali normal setelah diberikan suplemen

besi. Terhadap kemampuan intelektual Telah banyak penelitian dilakukan

mengenai hubungan antara keadaan kurang besi dan dengan uji kognitif.

Walaupun ada beberapa penelitian mengemukakan bahwa defisiensi

besi kurang nyata hubungannya dengan kemunduran intelektual tetapi

7
banyak penelitian membuktikan bahwa defisiensi besi mempengaruhi

pemusnahan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ) , dan prestasi belajar di

sekolah. Dengan memberikan intervensi besi maka nilai kognitif tersebut

naik secara nyata. Salah satu penelitian di Guatemala terhadap bayi

berumur 6-24 bulan. Hasil, penelitian tsb menyatakan bahwa ada

perbedaan skor mental (p<0,05) dan skor motorik (p<0, 05) antara

kelompok anemia kurang besi dengan kelompok normal. Pollit, dkk

melakukan penelitian di Cambridge terhadap 15 orang anak usia 3-6 tahun

yang menderita defisiensi besi dan 15 orang anak yang normal, status

besinya sebagai kontrol. Pada awal penelitian anak yang menderita

defisiensi besi menunjukkan skor yang lebih rendah daripada anak yang

normal terhadap uji oddity learning. Setelah 12 minggu diberikan preparat

besi dengan skor rendah pada awal penelitian, menjadi normal status

besinya diikuti dengan kenaikan skor kognitif yang nyata sehingga

menyamai skor kognitif anak yang normal yang dalam hal ini sebagai

kelompok kontrol.

3. Keluhan dan Gejala Anemia Gizi

Rasa lemah, letih, hilang nafsu makan, menurunya daya konsentras

dan sakit kepala atau pening adalah gejala awal anemia. Pada kasus yang

lebih parah, sesak nafas disertai gejala lemah jantung dapat terjadi. Untuk

memastikan, diagnosa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium,

diantaranya dilakukan penentuan kadar hemoglobin atau hematokrit dalam

darah.

8
4. Strategi Penanggulangan Anemia Gizi pada Balita

Strategi penanggulangan anemia gizi secara tuntas hanya mungkin kalu

intervensi dilakukan terhadap sebab langsung, tidak langsung maupun

mendasar. Secara pokok strategi itu adalah sebagai berikut :

1. Terhadap penyebab langsung Penanggulangan anemia gizi perlu

diarahkan agar :

a. Keluarga dan anggota keluarga yang resiko menderita anemia

mendapat

makanan yang cukup bergizi dengan biovailabilita yang cukup.

b. Pengobatan penyakit infeksi yang memperbesar resiko anemia

c. Penyediaan pelayanan yang mudah dijangkau oleh keluarga yang

memerlukan, dan tersedianya tablet tambah darah dalam jumlah yang

sesuai.

2. Terhadap penyebab tidak langsung

Perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan perhatian dan kasih sayang

di dalam keluarga terhadap wanita, terutama terhadap ibu yang

perhatian itu misalnya dapat tercermin dalam:

a. Penyediaan makanan yang sesuai dengan kebutuhannya terutama bila

hamil.

b. Mendahulukan ibu hamil pada waktu makan

c. Perhatian agar pekerjaan fisik disesuaikan dengan kondisi wanita/ibu

hamil

9
3. Terhadap penyebab mendasar :

Dalam jangka panjang, penanggulangan anemia gizi hanya dapat

berlangsung secara tuntas bila penyebab mendasar terjadinya anemia

juga ditanggulang, misalnya melalui:

a. Usaha untuk meningkatkan tingkat pendidikan, terutama pendidikan

wanita.

b. Usaha untuk memperbaiki upah, terutama karyawan rendah.

c. Usaha untuk meningkatkan status wanita di masyarakat

d. Usaha untuk memperbaiki lingkungan fisik dan biologis, sehingga

mendukung status kesehatan gizi masyarakat.

B. JURNAL: KEJADIAN ANEMIA PADA BAYI USIA 6 BULAN YANG

BERHUBUNGAN DENGAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DAN

USIA PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI

Pada pemeriksaan kadar hemoglobin ibu, peneliti menggunakan

metode cyanmethemoglobin, sedangkan pada bayinya peneliti menggunakan

metode azidimethemoglobin dengan alat yang disebut HemoCue. Untuk

mengetahui sensitifitas dan spesifisitas HemoCue terhadap metode

cyanmethemoglobin peneliti melakukan pengukuran kadar hemoglobin darah

dengan memakai alat HemoCue (metode azidimethemoglobin) dan juga

metode cyanmethemoglobin pada beberapa volunteer dengan pada waktu

yang sama.Validasi hasil pengukuran dengan metode cyanmethemoglobin

dan HemoCue dilakukan pada pengunjung laboratorium RSUD Bantul

10
(RSUD Bantul melakukan analisis kadar Hb menggunakan metode

cyanmethemoglobin) yang melakukan pemeriksaan darah (jika salah satu

jenis pemeriksaan yang akan dilakukan pengunjung adalah pemeriksaan

kadar hemoglobin darah), kemudian pengujung diminta kesediaannya untuk

dilakukan pemeriksaan darah kembali menggunakan HemoCue (metode

azidimethhemoglobin), dari kegiatan ini diperoleh volunteer sebanyak 28

orang.

Hasil analisis statistik menggunakan uji korelasi diperoleh nilai

r=0.99. Untuk mengetahui sensitifitas (Se) dan spesifisitas (Sp) HemoCue,

peneliti menjadikan metode cyanmethemoglobin sebagai gold standar

terhadap metode azidimethhemoglobin, dengan hasil secara berturut: Se =

100% dan Sp 94,4% .

Asupan kalori dan zat gizi ibu jika dibandingkan dengan angka

kecukupan gizi untuk ibu menyusui 6 bulan pertama berada di atas 80%

(Tabel 3), artinya konsumsi ibu sudah dapat memenuhi kebutuhan minimal

ibu menyusui.

Asupan tanin masa menyusui subjek pada penelitian ini meningkat

jika dibandingkan dengan masa kehamilan mereka, yang sebelumnya telah

diteliti oleh Susilo pada tahun 20019 yaitu dari 10.52 ± 4.61 menjadi 11.29 ±

2.07, demikian pula asupan fitat terjadi peningkatan dari 0.33 ± 0.13 menjadi

0.35 ± 0.17. Berbeda dengan tanin dan fitat, asupan oksalat mengalami

penurunan dari 6.01 ± 7.15 menjadi 5.79 ± 2.07. Ketiga zat tersebut bersama

dengan kalsium merupakan zat yang menghambat penyerapan zat besi,

11
karena jika bersenyawa dengan zat besi akan membentuk senyawa tidak larut

dalam air yang akan menghambat penyerapan zat besi.

C. JURNAL: ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI PADA BALITA

1. Zat Besi dalam Tubuh

Zat besi merupakan unsur kelumit (trace element) terpenting bagi

manusia. besi dengan konsentrasi tinggi terdapat dalam sel darah merah,

yaitu sebagai bagian dari molekul hemoglobin yang menyangkut oksigen

dari paru–paru. Hemoglobin akan mengangkut oksigen ke sel–sel yang

membutuhkannya untuk metabolisme glukosa, lemak dan protein

menjadi energi (ATP). Besi juga merupakan bagian dari sistem enzim

dan mioglobin, yaitu molekul yang mirip Hemoglobin yang terdapat di

dalam sel–sel otot. Mioglobin akan berkaitan dengan oksigen dan

mengangkutnya melalui darah ke sel–sel otot. Mioglobin yang berkaitan

dengan oksigen inilah menyebabkan daging dan otot–otot menjadi

berwarna merah. Di samping sebagai komponen Hemoglobin dan

mioglobin, besi juga merupakan komponen dari enzim oksidase

pemindah energi, yaitu : sitokrom paksidase, xanthine oksidase, suksinat

dan dehidrogenase, katalase dan peroksidase.

Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagin, yaitu yang fungsional

dan yang reserve (simpanan). Zat besi yang fungsional sebagian besar

dalam bentuk Hemoglobin (Hb), sebagian kecil dalam bentuk myoglobin,

dan jumlah yang sangat kecil tetapi vitl adalah hem enzim dan non hem

12
enzim. Zat besi yang ada dalam bentuk reserve tidak mempunyai fungsi

fisiologi selain daripada sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi kalau

dibutuhkan untuk kompartmen fungsional. Apabila zat besi cukup dalam

bentuk simpanan, maka kebutuhan kan eritropoiesis (pembentukan sel

darah merah) dalam sumsum tulang akan selalu terpenuhi. Dalam

keadaan normal, jumlah zat besi dalam bentuk reserve ini adalah kurang

lebih seperempat dari total zat besi yang ada dalam tubuh. Zat besi yang

disimpan sebagai reserve ini, berbentuk feritin dan hemosiderin, terdapat

dalam hati, limpa, dan sumsum tulang. Pada keadaan tubuh memerlukan

zat besi dalam jumlah banyak,misalnya pada anak yang sedang tumbuh

(balita), wanita menstruasi dan wanita hamil, jumlah reserve biasanya

rendah.

Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan,

maka kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan perlu ditambahkan kepada

jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal. Dalam memenuhi

kebutuhan akan zat gizi, dikenal dua istilah kecukupan (allowance) dan

kebutuhan gizi (requirement). Kecukupan menunjukkan kecukupan rata –

rata zat gizi setiap hari bagi hampir semua orang menurut golongan

umur, jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktifitas untuk mencapai derajat

kesehatan yang optimal. Sedangkan kebutuhan gizi menunjukkan

banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan masing – masing individu

untuk hidup sehat. Dalam kecukupan sudah dihitung faktor variasi

kebutuhan antar individu, sehingga kecukupan kecuali energi, setingkat

13
dengan kebutuhan ditambah dua kali simpangan baku. Dengan demikian

kecukupan sudah mencakup lebih dari 97,5% populasi (Muhilal et al,

1993). Pada bayi, anak dan remaja yang mengalami masa pertumbuhan

perlu ditambahkan kepada jumlah zat besi yang dikeluarkan lewat basal.

Kebutuhan zat besi relatif lebih tinggi pada bayi dan anak daripada orang

dewasa apabila dihitung berdasarkan per kg berat badan. Bayi yang

berumur dibawah 1 tahun, dan anak berumur 6 – 16 tahun membutuhkan

jumlah zat besi sama banyaknya dengan laki – laki dewasa. Tetapi berat

badannya dan kebutuhan energi lebih rendah daripada laki – laki dewasa.

Untuk dapat memenuhi jumlah zat besi yang dibutuhkan ini, maka bayi

dan remaja harus dapat mengabsorbsi zat besi yang lebih banyak per

1000 kcal yang dikonsumsi.

2. Batasan Anemia

Anemia didefinisikan sebagai suatu keadaan kadar hemoglobin

(Hb) di dalam darah lebih rendah daripada nili normal untuk kelompok

orang yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur dan jenis

kelamin, seperti yang terlihat di dalam

tabel di bawah ini: Batas normal Kadar Hemoglobin

Kelompok Umur Hemoglobin


Anak 6 bulan s/d 6 tahun 11
Dewasa 6 tahun s/d 14 tahun 12
Laki-laki 13
Wanita 12
Wanita hamil 11

14
3. Patofisiologi Anemia

Zat besi diperlukan untuk hemopoesis (pembentukan darah) dan

juga diperlukan oleh berbagai enzim sebagai faktor penggiat. Zat besi

yang terdapat dalam enzim juga diperlukan untuk mengangkut elektro

(sitokrom), untuk mengaktifkan oksigen (oksidase dan oksigenase).

Defisiensi zat besi tidak menunjukkan gejala yang khas (asymptomatik)

sehingga anemia pada balita sukar untuk dideteksi.

Tanda-tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya

simpanan zat besi (feritin) dan bertambahnya absorbsi zat besi yang

digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikatan besi. Pada tahap

yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi, berkurangnya

kejenuhan transferin, berkurangnya jumlah protoporpirin yang diubah

menjadi heme, dan akan diikuti dengan menurunya kadar feritin serum.

Akhirnya terjadi anemia dengan cirinya yang khas yaitu rendahnya kadar

Rb (Gutrie, 186 :303)

4. Penyebab Anemia Gizi pada Balita

Penelitian di negara berkembang mengemukakan bahwa bayi lahir

dari ibu yang menderita anemia kemungkinan akan menderita anemia

gizi, mempunyai berat badan lahir rendah, prematur dan meningkatnya

mortalitas (Academi of Sciences, 1990).

Penyebab anemia gizi pada bayi dan anak (Soemantri, 1982):

a. Pengadaan zat besi yang tidak cukup

1) Cadangan zat besi pada waktu lahir tidak cukup.

15
a) Berat lahir rendah, lahir kurang bulan, lahir kembar

b) Ibu waktu mengandung menderita anemia kekurangan zat besi

yang berat

c) Pada masa fetus kehilangan darah pada saat atau sebelum

persalinan seperti adanya sirkulasi fetus ibu dan perdarahan

retroplasesta

2) Asupan zat besi kurang cukup

b. Absorbsi kurang

1) Diare menahun

2) Sindrom malabsorbsi

3) Kelainan saluran pencernaan

c. Kebutuhan akan zat besi meningkat untuk pertumbuhan, terutama pada

lahir kurang bulan dan pada saat akil balik.

d. Kehilangan darah

1) Perdarahan yang bersifat akut maupun menahun, misalnya pada

poliposis rektum, divertkel Meckel

2) Infestasi parasit, misalnya cacing tambang.

D. JURNAL: ANEMIA PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU

ANAK DENGAN BERBAGAI STATUS GIZI DAN ASUPAN ZAT GIZI

1. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Anak

Terdapat sejumlah 30 penderita tuberkulosis anak yang ikut dalam

penelitian, sebagian besar anak berusia di bawah 59 bulan (63,3%) dan

16
yang berusia 5 – 11 tahun sebanyak 36,7%. Rerata usia anak adalah 57,23

± 40,74 bulan, dengan rentang usia 1 tahun (14 – 21 bulan) merupakan

usia terbanyak di antara 30 anak (33,3%). Usia 1 tahun merupakan usia

anak balita, dimana anak balita merupakan usia paling rentan terinfeksi

tuberkulosis.1 Hal ini dibuktikan juga oleh penelitian epidemiologi tahun

1993-2001 pada anak tuberkulosis di Amerika yang menunjukkan bahwa

kasus tuberkulosis lebih banyak ditemukan pada anak usia di bawah 5

tahun dibandingkan anak usia 10 – 14 tahun. Sistem imunitas yang belum

siap menyebabkan anak balita mudah tertular tuberkulosis.Sehingga anak

balita dengan kondisi seperti gizi buruk, terinfeksi HIV, atau Kontak

dengan dewasa penderita tuberkulosis akan meningkatkan faktor risiko

terinfeksi tuberkulosis.

2. Frekuensi Status dan Jenis Anemia pada Penderita Tuberkulosis

Paru Anak

Rendahnya konsentrasi hemoglobin biasa ditemukan pada anak-

anak dengan tuberkulosis.9 Penyakit infeksi diketahui sebagai salah satu

faktor penyebab anemia pada anak di negara berkembang.12 Penelitian

di Afrika Selatan menunjukkan abnormalitas hematologi yang umunya

terjadi pada anak dengan tuberkulosis antara lain adalah anemia,

neutrophilia, dan monocytosis. Namun, abnormalitas tersebut ditemukan

dengan frekuensi yang sama pada kelompok kontrol. Anak dengan

tuberkulosis umunya mengalami abnormalitas hematologi, namun di

negara berkembang abnormalitas tersebut juga dapat muncul pada anak

17
dengan infeksi lain.23 Diperkirakan prevalensi anemia pada anak usia

prasekolah di Afrika sebesar 64,6% dan di Asia sebesar 47,7% dimana

faktor gizi (defisiensi vitamin dan mineral) dan faktor non-gizi seperti

infeksi berperan terhadap terjadinya anemia.

Pada penelitian ini anemia ditemukan pada 43,4% penderita (13

anak), dimana 84,6% (11 anak) di antaranya terjadi pada anak usia balita.

Jika ditelaah lebih jauh, 8 anak dari 11 anak tersebut berusia ≤ 2 tahun.

Anak berusia ≤ 2 tahun merupakan kategori usia yang berisiko tinggi

terinfeksi tuberkulosis, selain itu merupakan kategori usia dengan risiko

terbesar mengalami defisiensi besi.1,25 Rendahnya Hb pada anak berusia

≤ 2 tahun dapat disebabkan oleh gabungan dari tingginya kebutuhan zat

besi untuk kebutuhan pertumbuhan dan rendahnya asupan makanan yan

mengandung zat besi baik secara kuantitas maupun bioavailabilitas.11

Hal ini didukung dengan data hasil penyelidikan terhadap 11negara yang

berpartisipasi dalam Demographics and Health Research, ditemukan

bahwa setiap bulannya sekitar 50% dari anak pada rentang usia ini

mengalami anemia.26 Penelitian di Brazil pada anak usia ≤ 2 tahun

menunjukkan bahwa usia menjadi faktor risiko penting yang berkaitan

dengan kejadian anemia.11,25.

Jenis anemia pada penelitian ini yang paling banyak ditemukan

adalah anemia penyakit kronis sebanyak 61,5% (8 anak) dan diikuti oleh

anemia defisiensi besi sebanyak 38,5% (5 anak). Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa anemia penyakit kronis lebih banyak ditemukan

18
pada penderita tuberkulosis dibanding dengan anemia defisiensi besi.

Anemia penyakit kronis terjadi karena adanya penekanan eritropoeisis

oleh mediator inflamasi.10 Sitokin inflamasi seperti Tumor necrosis

faktor (TNF-α), Interleukin-1 (IL-1), dan Interferon gamma (IFN-γ)

terlibat dalam terjadinya anemia penyakit kronik karena mengganggu

proses eritropoeisis, serta TNF- α dan IFN-γ menimbulkan

hypoferremia dan meningkatkan produksi feritin.9 Hypoferremia

(kekurangan zat besi dalam darah) yang dipicu oleh perubahan besi dari

bentuk transferrin-bound available menjadi bentuk ferritin-incorporated

storage dianggap sebagai hal utama dalam patogenesis anemia penyakit

kronik. Upaya penahanan besi dari kuman ini juga akan melenyapkan

suplai prekursor besi untuk eritropoesis. Maka dari itu, keadaan defisiensi

besi dapat muncul sebagai respon dalam melawan serbuan kuman.9

Ditambah dengan usia anak yang rawan defisiensi asupan zat besi,

anemia defisiensi besi dapat muncul pada tuberkulosis paru. Anemia

penyakit kronis pada umumnya normositik normokromik,16,21 tetapi ada

juga penderita yang menunjukkan sel mikrositik atau hipokromik.21

Pada penelitian ini dari 8 anak yang mengalami anemia penyakit kronis,

50% (4 anak) di antaranya merupakan anemia normositik normokromik,

dan 50% (4 anak) lainnya merupakan anemia mikrositik normokromik.

Anak-anak yang mengalami anemia defisiensi besi (hipokromik

mikrositik) sebanyak 38,5% dan semuanya berusia ≤ 2 tahun.

19
3. Frekuensi Status dan Jenis Anemia Berdasarkan Status Gizi

Berdasarkan indikator BB/U, sebanyak 70% (21 anak) tergolong

dalam status gizi baik dan sebanyak 26,7% (8 anak) di antaranya

mengalami anemia. Ditemukannya anak dengan status gizi baik yang

mengalami anemia dapat disebabkan oleh infeksi tuberkulosis dan faktor

usia sampel penelitian. Tuberkulosis diketahui dapat menyebabkan

anemia dan umumnya anemia penyakit kronis.10 Sebanyak 8 anak yang

anemia, 4 di antaranya mengalami anemia penyakit kronis. Sebagian

besar anak yang ikut dalam penelitian ini berusia balita. Sebanyak 7 dari 8

anak yang anemia tersebut termasuk usia balita, dan dari 7 anak tersebut 4

di antaranya mengalami anemia defisiensi besi. Selain rentan terinfeksi

tuberkulosis, balita merupakan usia rawan mengalami defisiensi

mikronutrien, terutama defisiensi zat besi. Dimana anemia defisiensi besi

terjadi pada lebih dari 40% anak usia balita.11 Sedangkan penderita yang

tergolong dalam status gizi kurang sebanyak 30% (9 anak) dan 16,7% (5

anak) di antaranya mengalami anemia. Jika ditelaah, 4 dari 5 anak yang

anemia tersebut mengalami anemia penyakit kronis. Penelitian pada

penderita tuberkulosis dewasa menunjukkan bahwa penderita yang

malnutrisi umunya memiliki kadar Hb yang lebih rendah dibanding

dengan penderita berstatus gizi baik.2 Anemia pada malnutrisi dapat

diakibatkan oleh defisiensi besi dan zat gizi lain serta berhubungan

dengan penyakit infeksi.16 Malnutrisi diketahui dapat menimbulkan

immunodeficiency yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap

20
infeksi,7 dan seiring dengan parahnya penyakit infeksi maka anemia yang

terjadi juga akan semakin berat karena berat ringannya anemia berbanding

lurus dengan keparahan penyakit.

4. Asupan Makan Penderita Tuberkulosis Anak

Prevalensi anemia pada anak di negara berkembang tergolong

tinggi, penyebabnya multifaktorial. Anemia sering kali dihubungkan

dengan malnutrisi, gangguan produksi sel darah merah karena peradangan

dan penyakit infeksi, serta defisiensi zat gizi seperti zat besi, asam folat,

vitamin A, B12, C, dan tembaga.Pada penelitian ini didapatkan 43,3% (13

anak) yang mengalami anemia. Terdapat beberapa zat gizi yang

pemenuhannya tergolong baik (80 – 100%) dan lebih ( > 100%) pada

sebagian besar anak yang anemia tersebut: protein pada 36,7% anak;

vitamin A pada 43,3% anak; dan vitamin C pada 26,7% anak. Namun,

pada anak yang anemia 26,7% memiliki asupan besi yang kurang dan

43,3% memiliki asupan seng < 100%. Selain karena adanya infeksi

tuberkulosis yang dapat menyebabkan anemia, diketahui pula bahwa

defisiensi besi dan seng dapat menimbulkan anemia karena 2 zat gizi

tersebut berperan penting dalam mencegah terjadinya anemia. Zat besi

diperlukan untuk mengatur proses hemopoesis dalam tubuh sehingga

tubuh memerlukan masukan zat besi dari makanan. Sedangkan seng

diketahui berperan sebagai kofaktor dalam reaksi oksidasi retinol, apabila

metabolisme retinol terganggu dapat berpengaruh pada metabolisme besi

meskipun asupan vitamin A mencukupi.

21
Sebagian besar tidak anemia (53,3%) memiliki asupan send

<100%. Anak tidak anemia dengan asupan besi kurang jumlahnya lebih

banyak (36,7%) dibanding dengan anak anemia dengan asupan besi

kurang (26,7%). Meskipun asupan seng dan besi tergolong kurang, anak-

anak tersebut tidak mengalami anemia. Hal ini bisa disebabkan oleh

simpanan besi tubuh yang cukup baik. Namun, keadaan defisiensi asupan

besi jika terjadi terus menerus dapat menyebabkan anemia. Secara

berurutan perubahan laboratoris pada defisiensi besi sebagai berikut: (1)

penurunan simpanan besi, (2) penurunan ferritin serum, (3) penurunan

besi serum disertai meningkatnya transferrin serum, (4) peningkatan Red

cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan Mean Cell Corpuscular

Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.

Terdapat perbedaan bermakna pada asupan protein, seng dan serat

antara anak tuberkulosis paru yang anemia dan tidak anemia. Rerata

asupan protein anak anemia (30,67 g) lebih kecil dibanding anak yang

tidak anemia (39,4 g). Rerata asupan seng anak anemia (3,66 mg) lebih

kecil dibanding anak yang tidak anemia (4,86 mg). Namun, rerata asupan

serat anak tidak anemia (12,28 mg) lebih besar dibanding anak yang

anemia (8,62 mg). Serat merupakan zat gizi yang menghambat

penyerapan besi dan seng karena komponen fitat dan oksalat dalam serat

dapat menurunkan bioavailabilitas besi dan seng.32 Berdasarkan

wawancara asupan saat pengambilan data, pada umumnya anak-anak

yang anemia merupakan tipe pemilih dalam hal makanan dan memiliki

22
nafsu makan yang rendah dibandingkan dengan anak yang tidak anemia.

Salah satu penyebab anemia pada penderita tuberkulosis adalah

rendahnya nafsu makan yang mengakibatkan ketidakcukupan zat gizi.9

Hal ini mengakibatkan asupan zat-zat gizi anak yang anemia lebih sedikit

dibanding anak yang tidak anemia, termasuk asupan serat. Makanan

sumber serat adalah sayur dan buah. Anak-anak dengan anemia yang ikut

dalam penelitian umunya hanya menyukai jajanan yang miskin zat gizi

dan sedikit makan sayur dan buah. Rendahnya nafsu makan

mengakibatkan asupan makanan kaya besi dan seng tergolong rendah.

Meskipun asupan serat tergolong kurang, asupan zat gizi yang dapat

mencegah anemia juga kurang sehingga mengganggu pembentukan Hb.

E. JURNAL: EVALUATION OF ANEMIA IN INFANTS AND CHILDREN

Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin di

bawah batas bawah normal dengan mengacu pada usia dan jenis kelamin.

Anemia bukan diagnosis tetapi sebuah temuan yang memerlukan investigasi

lebih lanjut. Ini memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan

beberapa faktor penentu yang membentuk dasar penyelidikan. Cut-off nilai

untuk konsentrasi hemoglobin bervariasi pada usia yang berbeda sehingga

sangat penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai. Sementara menyelidiki

anemia, terlepas dari kadar hemoglobin rendah parameter tertentu lainnya

perlu dipertimbangkan. Indeks sel darah merah, jumlah sel darah merah, dan

pemeriksaan morfologi film darah perifer adalah tes dasar memberikan garis

23
penyelidikan untuk pasien. Retikulosit jumlah dan tingkat LDH adalah tes

yang sangat berguna untuk membedakan cacat kegagalan produksi dari

anemia hemolitik.

Namun terkadang hitung retikulosit tinggi (bahkan dalam adanya

hemolisis) jika pasien pendarahan atau pada hematinik. Rinci dan teliti

sejarah akan membantu untuk menyingkirkan penyebab tersebut. Lebar

distribusi sel darah merah (RDW) adalah parameter lain yang membantu

dalam menyelidiki pasien ini. Rendah RDW adalah sel darah merah

menunjukkan ukuran seragam (seperti terlihat dalam sifat talasemia atau

kegagalan sumsum tulang) sedangkan peningkatan RDW merupakan indikasi

dari sel darah merah berukuran variabel (seperti yang terlihat dengan

defisiensi besi, talasemia anemia hemolitik utama dan lainnya). Tingkat

bilirubin serum juga membedakan apakah anemia karena cacat produksi atau

kerusakan meningkat (Biasanya kenaikan kadar bilirubin dilihat dengan).

Klinis adanya penyakit kuning bersama dengan pucat, usia penampilan pucat,

hepatosplenomegali, sejarah diet, riwayat asupan obat dan sosial ekonomi

kondisi semua bantuan dalam diagnosis dan anak-anak di bawah 5 tahun

merupakan salah satu dari kelompok populasi risiko tertinggi, meskipun

beberapa penelitian menunjukkan penurunan prevalensi anemia.1. Laporan

terbaru menunjukkan peningkatan frekuensi antara kelompok berpenghasilan

rendah dan lebih terbelakang countries. Penyebab anemia bervariasi oleh

anemia umum age.In dapat disebabkan oleh penurunan production5 (seperti

yang terlihat dengan kekurangan gizi, kegagalan sumsum tulang, murni

24
aplasia sel darah merah, anemia sideroblastic, bawaan dyserythropoietic

anemia dll) atau bisa disebabkan oleh penghancuran meningkat (seperti yang

terlihat dengan anemia hemolitik kongenital, Animas hemolitik autoimun,

obat-obatan atau microangiopathies).

1. Penurunan Produksi

a) Kekurangan Nutrisi

a. Defisiensi Zat Besi

b. Defisiensi Folate (B12)

Defisiensi folat dan B12 merupakan salah satu kekurangan gizi

utama setelah kekurangan zat besi. Kekurangan gizi adalah jauh lebih

umum pada vegetarian (kebanyakan karena kemiskinan) daripada non

vegetarian. B12 terlihat pada bayi dan anak-anak telah sangat terkait

dengan defisiensi ibu yang menghasilkan toko tubuh yang buruk pada

saat kelahiran. Infeksi Giardia bertahan untuk waktu yang lama juga

telah didokumentasikan menyebabkan kekurangan folat.

b) Bone Marrow Failure Syndromes

a. Aplastic Anemia

Sumsum tulang mewarisi sindrom kegagalan terdiri

minimal 1/4th anak dengan anemia aplastik dan paling umum ini

adalah anemia Fanconi. Fanconi anemia adalah yang paling

umum sumsum tulang sindrom kegagalan dengan pola warisan

resesif autosomal. Anak-anak ini mungkin memiliki kelainan

tulang atau ginjal. Namun usia rata-rata presentasi adalah 8-9

25
tahun dan sangat sedikit kasus yang diidentifikasi dalam infancy.

Pengakuan anemia FA dengan pola warisan autosomal, fenotip

klinis dan analisis DNA untuk pecah kromosom penting karena

pasien ini mungkin merespon androgen tetapi transplantasi

sumsum tulang adalah satu-satunya pengobatan kuratif.

b. Pure Red Cell Aplasia

Murni aplasia sel darah merah ditandai oleh anemia, nyata

penurunan jumlah sel darah merah (dengan leukosit normal dan

jumlah trombosit), reticulocytopenia dan tidak adanya hampir

lengkap dari prekursor sel darah merah di sumsum tulang namun

granulopoiesis dasarnya normal dan megakaryopoiesis.18 klinis

anak-anak tersebut hadir dengan gejala anemia tanpa pendarahan

manifestasi atau organomegali dan tergantung pada penyebabnya

dapat akut dan membatasi diri atau kronis dengan remisi spontan

langka. Ada beberapa penyebab untuk aplasia sel darah merah

yang mungkin herediter (Diamond Blackfan sindrom) atau

diperoleh (virus Parvo infeksi B19, penyakit autoimun, infeksi

virus lainnya, obat-obatan atau racun).

c. Diamon Blackfan Anemia (DBA)

Anemia Diamond-Blackfan biasanya terlihat infancy19and

anak usia dini. Sekitar tiga perempat dari kasus sporadic20but

pola pewarisan dominan atau resesif telah dilaporkan dalam

keluarga yang berbeda dan beberapa pasien memiliki kelainan

26
kromosom. Pada sekitar 30% pasien, anemia dikaitkan dengan

kelainan fisik yang meliputi perawakan pendek, atrium atau

ventrikel cacat, kelainan urogenital, mikrosefali, sumbing,

micrognathia, macroglossia dan cacat thumb.21 Jadi ketika

seorang anak dirujuk untuk evaluasi anemia, selain dari kelainan

hematologi, usia pasien dan temuan fisik harus diperhatikan

dengan seksama. Kriteria diagnostik untuk anemia Diamond-

Blackfan termasuk normokromik, pada waktu anemia makrositik

muncul pada masa bayi atau anak usia dini, sumsum tulang

normocellular dengan defisiensi selektif prekursor sel darah

merah,, peningkatan kadar HbF dan peningkatan kadar

erythropoietin.22 remisi spontan telah diamati pada 20-30% anak

dengan DBA. 60-70% anak merespon dengan baik untuk terapi

steroid (erythropoietin tidak memiliki peran) dan transplantasi

sumsum tulang adalah pengobatan utama.

2. Peningkatan Destruction

1. Hemoglobin disorder (Thalassemia and Hemoglobinopathies)

Thalassemia dan gangguan hemoglobin keturunan lainnya

yang berhubungan dengan morbiditas dan mortality28and

memerlukan perawatan seumur hidup. 29Thalassemia adalah salah

satu kelainan genetik yang paling umum di seluruh dunia. 4.83% dari

populasi dunia membawa varian gen globin yang meliputi 1,67% dari

heterozigot populasi thalassemia α dan β Dengan prevalensi tinggi di

27
Asia termasuk Pakistan yang terdiri dari sembilan juta operator

menghasilkan lebih dari 5000 anak tergantung transfusi per year.30In

Selain 1,92% membawa sabit Hb, 0,95% membawa Hb E dan 0,29%

Hb C.31Carrier tingkat Thalassemia di Pakistan adalah sekitar 6% .

Thalassemia secara klinis heterogen karena berbagai lesi

genetik. Disparitas antara genotipe dan fenotipe terutama ditandai

thalassemia. Hemolisis dan tidak efektif eritropoiesis bersama-sama

menyebabkan anemia.33It telah mengamati bahwa sumsum tulang

pasien dengan thalassemia mengandung 5-6 kali jumlah prekursor

erythroid dengan 15 kali jumlah sel apoptosis pada tahap polikromatik

atau orthochromatic.

Di antara hemoglobinopathies penyakit sel sabit adalah yang

paling signifikan (meskipun tidak banyak umum di Pakistan). Bayi

tampak normal saat lahir namun gejala dikembangkan dalam beberapa

bulan pertama. Anemia biasanya sedang sampai parah dan gejala yang

disebabkan vasoocclusion, krisis nyeri, penyerapan limpa, kerusakan

organ dan sepsis. Diagnosa dibuat dengan identifikasi sel sabit pada

darah perifer, tes sickling positif, Hb elektroforesis, HPLC, dan jika

diminta oleh PCR. Kasus HBc, D dan E biasanya jinak bahkan dalam

keadaan homozigot memproduksi hemolisis ringan. Pembesaran limpa

ringan juga dapat dilihat. Pada Hb elektroforesis band HBC dan E

terlihat pada titik yang sama seperti yang dari HbA. Kehadiran banyak

sel target pada penyakit Hb C, studi orangtua dan PCR akan

28
mengkonfirmasi diagnosis. Demikian pula band penyakit HBD terlihat

pada titik yang sama seperti yang HbS. Tidak adanya sel sabit pada

darah perifer, tes sickling negatif, studi orangtua dan PCR akan

mengkonfirmasi diagnosis.

2. Enzymopathies

Di antara enzymopathies defisiensi G6PD adalah yang paling

umum yang mempengaruhi lebih dari 400 juta orang worldwide.44It

tidak begitu langka di Pakistan (bukan di bawah didiagnosis karena

kurangnya fasilitas di banyak pusat dan juga karena variabel

presentasi) dan berbagai studi berbasis populasi telah menunjukkan

prevalensi yang berkisar 2-3,8% .45, 46 penyakit ini memiliki variabel

presentasi tergantung pada aktivitas enzim sisa mulai dari sepenuhnya

orang tanpa gejala hemolisis kronis seumur hidup. Manifestasi paling

signifikan adalah infeksi atau obat diinduksi hemolisis,

hiperbilirubinemia neonatal Pada anak-anak gejala anemia sering

sedang sampai sangat parah, terutama karena hemolisis intravaskular

(sehingga dapat dikaitkan dengan hemoglobinuria dan

hemoglobinemia). Limpa mungkin cukup diperbesar pada anak-anak

kecil. Pemeriksaan apus darah perifer menunjukkan normokromik

normositik gambar kadang makrositik karena retikulositosis. Tes

Coomb adalah negatif. Sel darah merah Beraturan dikontrak atau

hemighost merupakan ciri khas penyakit. Badan Heinz dapat

ditunjukkan. Diagnosis memerlukan tingkat enzim (beberapa setelah

29
fase akut telah mereda) atau PCR. Uji reduksi Dye atau tes Monospot

neon biasanya digunakan untuk screening.47 Diagnosis defisiensi

G6PD pada wanita heterozigot (10% kasus) mungkin sulit. Studi

keluarga dan tes DNA membentuk cara yang paling efektif untuk

mendiagnosa heterozigot.

3. Congenital Dyserythorpoietic Anemias

Anemia kongenital dyserythropoietic terdiri sekelompok

gangguan herediter langka yang ditandai dengan eritropoiesis tidak

efektif dan kelainan morfologi yang berbeda eritroblast di sumsum

tulang. Ada tiga jenis utama (I, II dan III), namun beberapa subtipe

minor telah identified.56 Para pasien CDA dapat hadir setiap saat dari

periode neonatal untuk anak usia dini atau bahkan di adolescence.57,

58 Gejala mungkin sangat bervariasi dan kasus-kasus ringan mungkin

tetap tidak terdeteksi. Kebanyakan kasus menunjukkan anemia seumur

hidup dengan konsentrasi hemoglobin antara 8-10 gram / dl. Transfusi

sel darah merah sering diperlukan untuk bayi yang baru lahir dan bayi

tetapi mungkin diperlukan di kemudian hari juga.

4. Autoimmune Hemolitic Anemia (AIHA)

AIHA adalah sekelompok heterogen anemia hemolitik yang

diperoleh ditandai dengan adanya autoantibodi mengikat membran sel

darah merah dan menyebabkan kerusakan dini mereka. Berdasarkan

perbedaan karakter termal antibodi ini, AIHA harus diklasifikasikan

menjadi hangat, dingin atau jenis biphasic. Jenis hangat (di mana

30
antibodi mengikat pada 370C adalah yang paling umum pada anak-

anak diikuti oleh PCH (Paroxysmal cold hemoglobinuria) di mana

antibodi biphasic yang mengikat dengan sel darah merah pada suhu di

bawah 200C, di hadapan melengkapi perbaikan sendiri tegas RBC tapi

hemolisis terjadi hanya saat suhu kembali ke 370C. PCH ditandai

dengan akut, hemolisis besar intermiten dengan hemoglobinuria,

sebagian besar terjadi setelah infeksi virus seperti campak, gondok

atau influenza. Jarang hal ini terkait dengan sifilis kongenital.

5. Infections and Drugs

Infeksi (bawaan atau diperoleh) biasanya menyebabkan

penekanan eythropoiesis. Infeksi yang paling umum yang

menyebabkan erythroid hipoplasia adalah infeksi infeksi Parvovirus

B19. Sebuah infeksi virus parvo primer membawa risiko penularan

transplasenta sekitar 33% .73 Virus mengikat antigen permukaan sel

prekursor erythroid dan menghasilkan gangguan infeksi

diffrentiation.74Other seluler termasuk rubella, herpes simpleks,

sifilis, cytomegalovirus, toksoplasmosis, malaria dan HIV . Demikian

pula infeksi diakuisisi (bakteri atau virus) pada setiap tahap dapat

mengakibatkan baik erythroid hipoplasia (dengan penurunan jumlah

sel darah merah dan reticulocytopenia) atau hemolisis. Terutama

kasus dengan anemia dengan demam atau infeksi berikut dengan bukti

hemolisis (misalnya retikulositosis) harus cermat mencari malaria,

G6PD dan anemia hemolitik autoimun.

31
F. BUKU: TROPICAL ANEMIA

Anemia in Children

Mirip dengan anemia dewasa, ada beberapa etiologi anemia pada

anak. Namun, beberapa etiologi lebih sering pada Chilhood. Mereka

etiologies termasuk beberapa inchilhood infeksi umum dan beberapa penyakit

warisan yang berat, dimana anak-anak yang terkena meninggal sebelum

menjadi dewasa. Selain itu, beberapa gangguan anemia karena kekurangan

beberapa nutrisi spesifik dan efek samping imunisasi yang direkomendasikan

di masa kecil, bisa dilihat. Mengenai anemia infeksi yang disebabkan,

beberapa infeksi yang umum di masa kanak-kanak, infeksi terutama CMV.

Mengenai kelainan bawaan, gangguan anemia umum, yang biasanya terbuka

di masa kecil, termasuk thalassemia hemoglobinopathies utama dan beberapa.

Gangguan ini biasanya parah dan anak-anak yang terkena biasanya mati

muda. The kelebihan zat besi adalah yang paling commoncause kematian di

antara subyek yang bergantung pada transfusi terkena anemia bawaan

talasemia mayor dan lainnya. Energi, protein, vitamin A, zat besi dan seng

sampel persyaratan dasar dalam nutrisi Chilhood sehari-hari. Nutrisi spesifik

yang diperlukan untuk eritropoiesis. Tarini et al. Disarankan bahwa skor diet

yang relevan tetapi bahwa keragaman makanan yang dimakan mungkin

menjadi penentu baik status pertumbuhan jika asupan energi dekat untuk

memenuhi kebutuhan makanan dan beberapa kekurangan makanan yang

sering di antara anak-anak dari negara berkembang sehingga skor kualitas

32
makanan secara keseluruhan mungkin akan lebih indikator yang tepat dari

asupan nutrisi tertentu. Akhirnya beberapa vaksinasi untu anak-anak,

terutama vaksin DPT telah disebutkan untuk efek samping mereka sebgai

induksi anemia.

Prinsip-prinsip pengobatan untuk anemia anak yang mirip dengan

anemia pada kelompok usia lainnya. Obat baru, baru-baru ini tersedia untuk

pengobatan berbagai bentuk anemia, memiliki beberapa bagaimana

mengubah skenario terapeutik pada hematologi anak. Erythropoietin, faktor

pertumbuhan spesifik prekursor sel darah merah, untuk mendapatkan sintetis

oksigen pembawa yang dapat menggantikan transfusi darah. Akhirnya obat

yang mampu meningkatkan produksi hemoglobin F telah digunakan dalam

thalassemia dan hemoglobinopathies. Untuk pasien dengan penyakit sel sabit,

HU terbukti efektif dalam hal perbaikan klinis dan hematologi.

G. BUKU: MANUAL OF PEDIATRIC HEMATOLOGY & ONCOLOGY

Anemia dapat didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin,

hematokrit, atau jumlah sel darah merah per milimeter kubik. Batas bawah

kisaran normal ditetapkan pada dua standar deviasi di bawah rata-rata untuk

usia dan jenis kelamin untuk populasi normal. Ketika seorang pasien

menyajikan dengan anemia, penting untuk menentukan apakah kelainan

isolatedto garis sel tunggal (sel darah merah saja) atau apakah itu adalah

bagian dari beberapa sel baris kelainan (sel darah merah, sel darah putih, dan

trombosit). Kelainan dua atau tiga sel lineusually menunjukkan salah satu dari

33
berikut;

1. Keterlibatan tulang sumsum (misalnya, anemia aplastik, leukemia) atau

2. Sebuah imunologi thrombocytopenic purpura (ITP) atau anemia hemolitik

kekebalan secara tunggal atau kombinasi, atau

3. Penyerapan sel (misalnya hipersplenisme)

Preparat itu sangat membantu dalam diagnosis anemia. Ini

menetapkan apakah anemia hipokromik, mikrositik, normositik, atau

makrositik dan juga menunjukkan kelainan morfologi spesifik sugestif

gangguan membran sel darah merah (misalnya, penyakit sel sabit, talasemia).

Rata-rata volume corpuscular (MCV) mengkonfirmasi temuan pada smear

dengan mengacu pada ukuran sel darah merah, misalnya, mikrositik (<70 fL),

makrositik (> 85 fL), atau normositik (72-79 fL). Rata-rata hemoglobin

corpuscular (MCH) dan rata-rata kadar hemoglobin corpuscular (MCHC)

dihitung nilai dan umumnya kurang bernilai diagnostik.

KIA biasanya sejajar dengan MCV. MCHC adalah ukuran status

hidrasi seluler. Nilai yang tinggi (> 35g/dL) adalah karakteristik dari

spherocytosis dan nilai yang rendah umumnya terkait dengan kekurangan zat

besi. MCV dan jumlah retikulosit sangat membantu dalam diferensial

diagnosis anemia. Sebuah jumlah retikulosit tinggi menunjukkan kehilangan

darah kronis atau hemolisis, hitungan normal atau depresi menunjukkan

pembentukan sel darah merah terganggu.

34
H. BUKU : ILMU PENYAKIT DALAM EDISI V JILID II

a. Etiologi

Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan

besi,gangguan absorbs besi, serta kehilangan zat besi akibat pendarahan

menahun.

b. Gejala-gejala pada anemia defisiensi besi

Dapat digolongkan menjadi 3 golongan besar, yaitu

 Gejala Umum Anemia

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia

dijumpai pada anemia defisensi besi apabila kadar hemoglobin turun

di bawah 7-8 gr/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu,cepat lelah,

mata berkunang-kunang,serta telinga mendenging.

 Gejala khas defisiensi besi

Gejala khas yang dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpa

pada anemia jenis lain adalah

 Koilonychias : kuku mirip seperti sendok

 Atrophy papil lidah : permukaan lidah menjadi licin dan

mengkilap karena papil lidah menghilang.

 Stomatitis angularis (cheilosis) : adanya keradangan pada sudut

mulut sehingga tampak bercak seperti bercak berwarna pucat

keputihan.

 Disphagia : nyeri menelan karena kerusakan epitel hypopharing

 Atrophy mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia

35
 Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim,seperti

tanah liat,es lem,dll.

 Gejala penyakit dasar

Pada anemia defisensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit

yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya

pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dyspepsia,

parotis membengkak dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti

jerami. Pada anemia akibat pendarahan kronik akibat kanker kolon

dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain

tergantung dari lokasi kanker tersebut.

c. Pencegahan

Dapat berupa :

 Pendidikan kesehatan :

 Kesehatan lingkungan : pemakaian jamban, perbaikan

lingkungan kerja,dll

 Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang

membantu absorbs besi.

 Suplementasi besi yaitu pemberian besi profilaksis pada segmen

penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak balita, dengan

member pil besi dan folat.

 Fortifikasi bahan makanan dengan besi yaitu mencampurkan zat besi

pada bahan makanan.

36
I. JURNAL : SARI PEDIATRI, VOL. 11, NO. 3,

Diagnosis

Diagnosis anemia defisiensi besi ditegakkan berdasarkan hasil temuan dari

anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang dapat mendukung

sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak khas.2 Pada pemeriksaan

fisik hanya ditemukan pucat tanpa tanda-tanda perdarahan (petekie, ekimosis,

atau hematoma) maupun hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium

menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah. Jumlah leukosit, hitung jenis,

dan trombosit normal, kecuali apabila disertai infeksi.2,5 Diagnosis pasti

ditegakkan melalui pemeriksaan kadar besi atau feritin serum yang rendah

dan pewarnaan besi jaringan sumsum tulang.1,5 Kriteria diagnosis anemia

defisiensi besi menurut WHO adalah (1) Kadar hemoglobin kurang dari

normal sesuai usia, (2) Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai

normal:32%-35%), (3) Kadar Fe serum <50 µg/dL (nilai normal:80-

180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin <15% (nilai normal:20%-25% ).Cara

lain untuk menentukan anemia defisiensi besi dapat juga dilakukan uji

percobaan pemberian preparat besi. Bila dengan pemberian preparat besi

dosis 3-6 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar

hemoglobin 1-2 g/dL maka dapat dipastikan bahwa yang bersangkutan

menderita anemia defisiensi besi.

37
Terapi

Prinsip tata laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor

penyebab dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan

preparat besi.

Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Pemberian

per oral lebih aman, murah, dan sama khasiatnya dengan pemberian secara

parenteral.2 Garam ferro di dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga kali

lebih baik dibandingkan garam ferri, maka preparat yang tersedia berupa ferro

sulfat, ferro glukonat, ferro fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan

dosis besi yang dianjurkan 3-6 mg besi elemental/kgBB/hari diberikan dalam

2-3 dosis sehari. Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi elemental

yang ada dalam garam ferro. Garam ferro sulfat mengandung besi elemental

20%, sementara ferro fumarat mengandung 33%, dan ferro glukonat 12% besi

elemental.

Pada studi lainnya, Harahap dkk, meneliti dampak pemberian

suplemen besi 12 mg besi per hari selama enam bulan pada bayi umur 12

bulan yang menderita anemia dibandingkan dengan bayi tidak anemia yang

diberi susu skim. Enam bulan setelah intervensi semua indikator besi pada

kelompok anemia meningkat secara bermakna. Perkembangan motorik dan

mental serta aktivitas motorik juga meningkat secara bermakna, namun tidak

lebih baik dibanding bayi yang tidak anemia.

38
J. BUKU: HEMATOLOGI DAN ONKOLOGI ANAK

1. Etiologi

Kekurangan besi dapat disebabkan:

a. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis

 Pertumbuhan

Pada periode pertumbuhan cepat yaitu pada umur 1 tahun

pertama dan masa remaja kebutuhan besi akan menignkat

sehingga pada periode ini insiden ADB meningkat.

 Menstruasi

b. Kurangnya besi yang diserap

 Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat

Seorang bayi pada 1 tahun pertama kehidupannya membutuhkan

makanan yang banyak mengandung besi. Bayi cukup bulan akan

menyerap lebih kurang 200mg besi selama 1 tahun pertama (0,5

mg/hari) yang terutama digunakan untuk pertumbuhannya.

 Malabsorpsi besi

Keadaan ini sering dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa

ususnya mengalami perubahan secara histology dan fungsional.

c. Pendarahan

d. Transfusi feto-maternal

Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu dapat

menyebabkan ADB pada akhir masa fetus dan pada awal masa

neonates.

39
e. Hemoglobinuria

Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memakai katup

jantung buatan sehingga kehilangan besi melalui urin rata-rata 1,8-

7,8 mg/hari.

f. Iatrogenic blood loss

Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan

labolatorium berisiko untuk menderita ADB.

g. Idiopathic pulmonary hemosiderosis

h. Latihan yang berlebihan

2. Patofisiologi

Hb Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 menurun jelas

normal sedikir (mikrositik/hipokromik)

menurun

Cadangan besi (mg) < 100 0 0

Fe serum (ug/dl) normal < 60 < 40

TIBC (ug/dl) 360-390 > 390 > 410

Saturasi tranferin (%) 20 – 30 < 15 < 10

Feritin serum (ug/dl) < 20 < 12 < 12

Sideroblas (%) 40 – 60 < 10 < 10

FEP (ug/dl eritrosit) > 30 > 100 > 200

MCV Normal Normal Menurun

40
3. Diagnosis Banding

Diagnosis banding ADb adalah semua keadaan yang memberikan

gamabaran anemia hipokrom mikrositik line. Keadaan yang sering

memberikan gamabaran klinis dan labolatorium yang hampir sama

dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia penyakit kronis.

Keadaan lainnya adalah lead poisoning / keracunan timbal dan anemia

sidoroblastik. Untuk membedakannya diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan labolatorium.

Pemeriksann Lab. ADB Talasemia Minor

MCV Turun Turun

Fe Serum Turun Normal

TIBC Naik Normal

Saturasi Transferin Turun Normal

FEP Naik Normal

Feritin Serum Turun Normal


1.

4. Pencegahan

a. Meningkatkan penggunaan ASI ekslusif.

b. Menunda pemakaian susu sapi sampai setahun sehubungan

dengan resiko pendarahan saluran cerna yang tersamar pada

beberapa bayi.

41
c. Memberikan makanan bayi yang mengandung besi serta makanan

yang kaya akan asam askorbat (jus buah) pada saat

memperkenalkan makanan padat (usia 4-6 bulan).

d. Memberikan suplementasi Fe kepada bayi kurang bulan.

e. Pemakaian PASI (susu formula) yang mengandung besi.

5. Prognosis

Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekurangan besi

saja dan diketahui penyebabnya serta dilakukan penaganannya yang

adekuat. Gejala anemi dan manifestasi klinik lainnya akan membaik

dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam

pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan.

K. BUKU: FARMAKOLOGI DAN TERAPI

Penatalaksanaan

1. Besi (Fe) dan Garam-Garamnya

Sediaan Oral: Fero sulfat, fero glukonat dan fero fumarat.

Sedian Parenteral: dekstran besi (imferon) mengandung 50 mg Fe

setiap ml. Dosis dihitung berdasarkan:

Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x2,5

2. Vitamin B12

Vitamin B12 tersedia dalam bentuk tablet untuk pemberian oral dan

larutan untuk suntikan. Dikenal tiga jenis suntikan vitamin B12: (1)

42
larutan sianokobalamin yang berkekuatan 10-1000 µg/ml; (2) larutan

ekstrak hati dalam air dan (3) suntikan depot vitamin B12.

3. Asam Folat

Asam folat tersedia dalam bentuk tablet yang mengandung 0,4; 0,8; 1

mg asam pteroilglutamat dan dalam larutan injeksi asam folat 5 mg/ml.

4. Obat Lainnya

a. Riboflavin

Vitamin B2 sebagai koenzim dalam metabolisme flavo-protein

dalam pernapasan sel. Dosis yang digunakan cukup 10 mg sehari

per oral atau IM.

b. Piridoksin

Vitamin B6 ini mungkin berfungsi sebagai koenzim yang

merangsang pertumbuhan heme dan sintesis hemoglobin.

c. Kobal

Kobal sering terdapat dalam campuran sediaan Fe karena ternyata

kobal dapat meningkatkan absorpsi Fe melalui usus.

d. Tembaga

Seperti telah diketahui kedua unsur ini terdapat dalam sitokrom

oksidase maka ada sangkut paut antara metabolism tembaga (Cu)

dan Fe.

43
L. WEBSITE : IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia)

Adapun suplementasi Besi untuk Bayi dan Anak

1. Suplementasi besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas usia

balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun.

2. Dosis dan lama pemberian suplementasi, untuk :

o Bayi BBLR (<2500 g): 3 mg/kgBB/hari untuk usia 1 bulan sampai

2 tahun (dosis maksimum 15 mg/hari, diberikan dosis tunggal).

o Bayi cukup bulan: 2 mg/kgBB/hari untuk usia 4 bulan sampai 2

tahun.

o Usia 2-5 tahun (balita): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu selama 3

bulan berturut-turut setiap tahun.

o Usia >5-12 tahun (usia sekolah): 1 mg/kgBB/hari, 2x/minggu

selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun.

o Usia 12-18 tahun (remaja): 60 mg/hari atau 1 mg/kgBB/hari,

2x/minggu selama 3 bulan berturut-turut setiap tahun (khusus

remaja perempuan, ditambah 400 µg asam folat).

3. Saat ini belum perlu dilakukan uji tapis (skrining) defisiensi besi secara

massal.

4. Pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan mulai usia 2 tahun dan

selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila pada hasil pemeriksaan

ditemukan anemia, dicari penyebab anemia dan bila perlu dirujuk.

5. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan preparat besi

dan alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi.

44
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Anemia defisiensi besi (Anemia Gizi) adalah suatu keadaan kadar

hemoglobin di dalam darah lebih rendah daripada nilai normal. Untuk

balita kadar Hb Normal adalah 12 g/dl. Adapun kebutuhan zat besi pada

anak adalah sekitar 5 – 9mmg/hari. Menurut SKRT 1995 prevalensi

Anemia Gizi pada Balita yaitu 40,1% hal ini tergolong tingkat yang perlu

mendapat perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat.

2. Penyebab anemia gizi pada balita sangat banyak diantaranya: Pengadaan

zat besi yang tidak cukup seperti cadangan besi yang tidak cukup. Selain

itu absorbsi yang kurang karena diare ataupun infestasi cacing yang

memperberat anemia. Faktor-faktor lain turut pula mempengaruhi seperti

faktor sosial ekonomi, pendidikan, pola makan, fasilitas kesehatan dan

faktor budaya. Hal ini mengakibatkan balita mudah terkena infeksi.

Terhadap fungsi kognitif terjadi pula penurunan sehingga kecerdasan anak

berkurang, kurang atensi (perhatian) dan prestasi belajar terganggu.

3. Adapun cara menanggulangi masalah anemia pada balita dapat dilakukan

dengan pemberian suplementasi zat besi, uji tapis (skrining) defisiensi

besi secara massal, pemeriksaan kadar hemoglobin dilakukan mulai usia 2

tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai usia remaja. Bila pada hasil

pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebb anemia dan bila perlu

45
dirujuk.. Pemerintah harus membuat kebijakan mengenai penyediaan

preparat besi dan alat laboratorium untuk pemeriksaan status besi.

4. Penatalaksanaan anemia antara lain dengan pemberian besi, asam folat,

vitamin B12 dan obat lainnya seperti Riboflavin, Piridoksin, Kobal, dan

Tembaga.

B. SARAN

1. Pengetahuan seorang ibu sebaiknya harus luas mengenai pemahaman

tentang anak.

2. Sebaiknya seorang ibu harus bisa mengatur / memilah-milah makanan

untuk balita.

3. Berikan anak makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna karena

sangat baik untuk pertumbuhan anak.

4. Jangan lupa pemberian makanan yang sehat serta suplemen yang teratur

untuk pertumbuhan dan kecerdasannya.

46
DAFTAR PUSTAKA

Andarina , Dewi , dan Sri Sumarmi. 2006. “Hubungan Konsumsi Protein Hewani
dan Zat Besi dengan Kadar Hemoglobin pada Balita Usia 13–36 Bulan.”
The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 3, No. 1,Hal: 19-23

Andi. 2010. Penyebab Anemia Gizi pada Balita. Jurnal: UMM

Anonim,2012, Rekomendasi suplementasi zat besi untuk anak, [online],


(http://www.anakku.net/rekomendasi-suplementasi-zat-besi-untuk-
anak.html diakses tanggal 21 Agustus 2013)

Asif, Naghmi et all. 2011. Evaluation of Anemia in Infants and Children.


Department of Pathology: Rawalpindi Medical College Rawalpindi

Gunadi,Dedy, dkk:2009. “Terapi dan suplementasi besi pada anak.”.Sari Pediatri,


Vol. 11, No. 3

Gunawan, Sulistia Gan, dkk. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta :
Badan Penerbit FKUI

Helmyati, Siti dkk. 2007. Kejadian Anemia pada Bayi Usia 6 Bulan yang
Berhubungan dengan Sosial Ekonomi Keluarga dan Usia Pemberian
Makanan Pendamping ASI. Jurnal Kesehatan: Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta

IDAI( Ikatan Dokter Anak Indonesia), 2013, Rekomendasi Suplementasi Besi


untuk Bayi dan Anak, [online],( http://idai.or.id/professional-
resources/rekomendasi/suplementasi-besi-untuk-bayi-dan-anak.html
diakses tanggal 22 Agustus 2013)

Lanzkowsky, Philip. 2005. Manual of Pediatric Hematology & Oncology Fourth


Edition. San Diego, California: Elsevier Academic Press

Permono, Bambang, dkk. 2010. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta :


Badan Penerbit IDAI

Purnasari, Galih. 2011. Anemia pada Penderita Tuberkulosis Paru Anak dengan
berbagai Status Gizi dan Asupan Zat Gizi. Artikel Penelitian: Universitas
Diponegoro

47
Sudoyo, Aru W.,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II.
Jakarta : Interna Publishing

Wahyuni, Arlinda Sari. 2004. Anemia Defisiensi Zat Besi pada Balita. Jurnal
Kesehatan: Fakultas Kedokteran USU

Wiwanitkit, Vijoc. 2006. Tropical Anemia. New York: Nova Science Publishers.

48

Anda mungkin juga menyukai