Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

“ANALISIS GIZI KESEHATAN MASYARAKAT : STUNTING “

DOSEN PENGAJAR:
dr. Nancy SH Malonda, MPH
Prof.dr. Nova H. Kapantow , DAN, MSc, , SpGK
Maureen I. Punuh, SKM, MSi
Dr. Marsella D. Amisi, M.Gizi
Dr. Ester C. Musa, M.Gizi, SpGK
Yulianty Sanggelorang, SKM, MPH
Dr. Jansje H.V Ticoalu, MPH

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

Febriyanti L Tuwaidan 19111101066


Reynata Makasair 19111101093
Desy Merlian Sumerah 19111101101
Graserio M.T Barahamin 19111101105
Shintya Adelina Sinaga 19111101114

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2021
PENGANTAR

Segala pujian bagi Tuhan Yang Maha Esa karena berkat kasih karuniaNya sehingga kami
bisa menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolonganNya pasti saya tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah mata kuliah “Analisis Gizi Kesehatan Masyarakat”
ini dengan baik.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan bagi para
pembaca dan juga bagi saya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Akhir kata , kami berharap agar makalah ini bisa memberikan manfaat bagi para
pembaca, terima kasih.

Manado, 16 Agustus 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

PENGANTAR .................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................. 3

1.3. Tujuan Penulisan........................................................................................ 3


BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4

2.1. Pengertian Stunting ................................................................................ 4

2.2. Penyebab Stunting.................................................................................. 5

2.3. Prevalensi Stunting................................................................................ 11

2.4. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Stunting ............................. 13


2.4.1 Upaya Pencegahan............................................................................... 13
2.4.2 Upaya Penanggulangan....................................................................... 18
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 19

3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan di negara berkembang,


termasuk Indonesia. Menurut United Nations International Children’s Emergency Fund
(UNICEF) satu dari tiga anak mengala mistunting. Sekitar 40% anak di daerah pedesaan
mengalami pertumbuhan yang terhambat. Oleh sebab itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiasi
untuk menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi melalui peluncuran Gerakan
Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition –SUN) di mana program ini mencangkup pencegahan
stunting. Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh yangpendek dan sangatpendek hingga
melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan. Stunting juga sering disebut
sebagai Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang muncul pada dua sampai tiga tahun awal
kehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau pengaruh dari asupan energi dan zat gizi yang
kurang serta pengaruh dari penyakit infeksi,karena dalam keadaan normal, berat badan seseorang
akan berbanding lurus atau linier dengan tinggi badannya.Ada 178 juta anak didunia yang terlalu
pendek berdasarkan usia dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO. Prevalensi anak
stunting di seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang sebesar 31,2%.
Prevalensi anak stunting dibenua Asia sebesar 30,6% dan di Asia Tenggara sebesar
29,4%.Permasalahan stunting di Indonesia menurut laporan yang dikeluarkan oleh UNICEF
yaitudiperkirakan sebanyak 7,8 juta anak mengalami stunting, sehingga UNICEF memposisikan
Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting tinggi.
Data Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2013 diketahui bahwa prevalensi kejadian stunting secara
nasional adalah 37,2 %, dimana terdiri dari 18,0 % sangat pendek dan 19,2% pendek, yang berarti
telah terjadi peningkatan sebanyak 1,6 % pada tahun 2010 (35,6 %) dan tahun 2007 (36,8 %).

Stunting merupakan indikator keberhasilan kesejahteraan,pendidikan dan pendapatan


masyarakat. Dampaknya sangat luas mulai dari dimensiekonomi, kecerdasan, kualitas, dan
dimensi bangsa yang berefek pada masa depan anak.Anak usia 3 tahun yang stunting severe (-3 <
z ≤ 2) pada laki-laki memiliki kemampuan membaca lebih rendah 15 poin dan perempuan 11 poin
dibanding yang stunting mild (z > -2). Hal ini mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ),

1
sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan sekolah. Bila mencari
pekerjaan, peluang gagal teswawancara pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan
yang baik, yangberakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya
pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya
kelak setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara.Efek jangka panjang stunting
berakibat pada gangguan metabolik seperti penyakit yang terkait dengan obesitas,hipertensi dan
diabetes mellitus. Remaja stunting berisiko obesitas dua kali lebih tinggi daripada remaja yang
tinggi badannya normal (Riskesdas 2010).Oktarina tahun 2013mengatakan hal sama bahwa anak
yang mengalami stunting pada dua tahun kehidupanpertama dan mengalami kenaikan berat badan
yang cepat, berisiko tinggi terhadappenyakit kronis, seperti obesitas.Obesitas merupakan suatu
kelainan atau penyakit yangditandai oleh penimbunan jaringan lemak dalam tubuh secara
berlebihan.Obesitas terjadikarena adanya ketidakseimbangan antara energi yang masuk dengan
energi yang keluar.Obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor genetik
meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan
prevalensiobesitas.Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui ketidakseimbangan
antarapola makan, perilaku makan dan aktivitas fisik. Hal ini terutama berkaitan denganperubahan
gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style. Banyak sekali resikogangguan kesehatan
yang dapat terjadi pada anak atau remaja yang mengalamiobesitas.Anak dengan obesitas dapat
mengalami masalah dengan sistem jantung dan pembuluh darah(kardiovaskuler) yaitu hipertensi
dan dislipidmedia (kelainan pada kolesterol).Anak juga bisa mengalami gangguan fungsi hati
dimana terjadi peningkatan SGOT dan SGPT serta hati yang membesar. Bisa juga terbentuk hati
empedu dan penyakitkencing manis (diabetes mellitus). Pada sistem pernafasan dapat terjadi
gangguan fungsi paru, mengorok saat tidur, dan sering mengalami tersumbatnya jalan nafas
(obstructivesleep apnea). Anak yang stunting berisiko dua kali untuk menderita
obesitasdibandingkan anak yang tidak stunting.

2
Strategi untuk mencegah terjadinya obesitas padaremaja stuntingsalah satunya adalah dengan
memberikan penyuluhan kepada remajamenyangkut obesitas dan upaya pencegahan yang harus
dilakukan, sehingga dapatmeningkatkan pengetahuan remaja tentang upaya pencegahan obesitas.
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu,dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadapsuatu objektertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni indra
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh melalui mata dan telinga.Karena itu penting bagi kita untuk mengenal apa itu stunting
dalam, serta bagaimana upaya mengatasinya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Stunting ?

2. Apa Penyebab Stunting?


3.Bagaimana Prevalinsi Stunting ?
4.Bagaimana Upaya Pencegahan & Penanggulangan Stunting?

1.3 Tujuan

Tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai :

1 Pengertian Stunting

2 Penyebab Stunting

3 Prevalensi Stunting
4. Upaya Pencegahan & Penanggulangan Stunting

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Stunting


Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang
jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih
dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting
termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi,
gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di
masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan
kognitif yang optimal. Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar
usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita
dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD
(severelystunted). Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang lebih pendek dibanding tinggi
badan orang lain pada umunya (yang seusia). Stunted (shortstature) atau tinggi/panjang badan
terhadap umur yang rendah digunakan sebagai indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan
riwayat kurang gizi balita dalam jangka waktu lama (Sudargo,
2010). Menurut Dekkeretal (2010), bahwa stunting pada balita atau rendahnya tinggi/panjang
badan menurut umur merupakan indikator kronis malnutrisi (Dekkar, 2010). Menurut CDC (2000)
shortstature ditetapkan apabila panjang/tinggi badan menurut umur sesuai dengan jenis kelamin
balita <5 percentile standar pengukuran antropometri gizi untuk memantau pertumbuhan dan
perkembangan balita umur 6-24 bulan menggunakan indeks PB/U menurut baku rujukan WHO
2007 sebagai langkah mendeteksi status stunting (Sudargo, 2010).

Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis
sehingga anak menjadi terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2

4
tahun, di mana keadaan gizi ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak.
Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga
disebut dengan periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang
ditimbulkan terhadap bayi masa ini bersifat permanen, tidak dapat dikoreksi. Diperlukan
pemenuhan gizi adekuat usia ini. Mengingat dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam
jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik,
dan gangguan metabolisme dalam tubuh.

Pertumbuhan dapat dilihat dengan beberapa indikator status gizi. Secara umum terdapat 3
indikator yang bisa digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak, yaitu indikator berat
badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Stunting merupakan salah satu masalah gizi yang diakibatkan oleh kekurangan zat
gizi secara kronis. Hal ini ditunjukkan dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Z- score) di
bawah minus 2.

Stunting didefinisikan sebagai kondisi anak usia 0 – 59 bulan, dimana tinggi badan menurut
umur berada di bawah minus 2 Standar Deviasi (<-2SD) dari standar median WHO. Lebih lanjut
dikatakan bahwa stunting akan berdampak dan dikaitkan dengan proses kembang otak yang
terganggu, dimana dalam jangka pendek berpengaruh pada kemampuan kognitif. Jangka panjang
mengurangi kapasitas untuk berpendidikan lebih baik dan hilangnya kesempatan untuk peluang
kerja dengan pendapatan lebih baik.

2.2 Penyebab Stunting


Stunting terjadi mulai dari pra-konsepsi ketika seorang remaja menjadi ibu yang kurang gizi
dan anemia. Menjadi parah ketika hamil dengan asupan gizi yang tidak mencukupi kebutuhan,
ditambah lagi ketika ibu hidup di lingkungan dengan sanitasi kurang memadai.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor gizi
buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan untuk
dapat mengurangi pervalensistunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut :

5
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.
Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan
tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). MPASI diberikan/mulai
diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan
jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi
yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan
kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang
berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007
menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi.
Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsisumplemen zat besi yang
memadai serta masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru
1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini dikarenakan
harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.Menurut beberapa sumber
(RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih
mahal dibanding dengan di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih
mahal daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga
dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan
bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka,
serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Menurut WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori
besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi.

1. Faktor keluarga dan rumah tangga

Faktor maternal, dapat disebabkan karena nutrisi yang buruk selama prekonsepsi,
6
kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi,
kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan prematur, jarak persalinan yang
dekat, dan hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan aktivitas
yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk, ketidakamanan pangan, alokasi pangan
yang tidak tepat, rendahnya edukasi pengasuh.
2. Complementary feeding yang tidak adekuat

Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan makanan lunak yang bergizi sering disebut
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Pengenalan dan pemberian MP- ASI harus
dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlahnya, sesuai dengan kemampuan
pencernaan bayi/anak. Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat MP-
ASI untuk mencegah kekurangan gizi. Untuk memperolehnya perlu ditambahkan vitamin
dan mineral (variasi bahan makanan) karena tidak ada makanan yang cukup untuk
kebutuhan bayi.

Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas micronutrient yang buruk, kurangnya
keragaman dan asupan pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan tidak
bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada complementaryfoods. Praktik pemberian
makanan yang tidak memadai, meliputi pemberian makan yang jarang, pemberian makan
yang tidak adekuat selama dan setelah sakit, konsistensi pangan yang terlalu ringan,
kuantitas pangan yang tidak mencukupi, pemberian makan yang tidak berespon. Makanan
tambahan yang diberikan berupa makan lumat yang bisa dibuat sendiri berupa bubur
tepung atau bubur beras ditambah lauk pauk, sayur, dan buah, sehingga perlu pengetahuan
gizi yang baik (Dekkar, 2010). Konsumsi makanan bagi setiap orang terutama balita umur
1-2 tahun harus selalu memenuhi kebutuhan. Konsumsi makanan yang kurang akan
menyebabkan ketidakseimbangan proses metabolisme di dalam tubuh, bila hal ini terjadi
terus menerus akan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan. Bukti menunjukkan
keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani terkait
dengan perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru menunjukkan bahwa rumah tangga
yang menerapkan diet yang beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi pelengkap, akan
meningkatkan asupan gizi dan mengurangi risiko stunting. Menurut Persagi (2009),
pemberian tambahan pemulihan (PMT-P) diberikan setiap hari kepada anak selama 3 bulan

7
(90 hari). Sedangkan bentuk makanan PMT-P makanan yang diberikan berupa:
a. Kudapan (makanan kecil) yang dibuat dari bahan makanan
setempat/lokal.

b. Bahan makanan mentah berupa tepung beras,atau tepung lainnya, tepung susu, gula
minyak, kacang- kacangan, sayuran, telur dan lauk pauk lainnya.

Cara pemberian/pendistribusian PMT-P pada sasaran dilakukan di Posyandu atau tempat


yang sudah disepakati,kader dibantu oleh PKK desa akan memasak sesuai menu yang telah
ditentukan dan etiap hari selama 3 bulan ibu balita akan membawa balita untuk mengambil
PMT-P yang sudah disediakan.

3. Beberapa masalah dalam pemberian ASI

Rendahnya kesadaran Ibu akan pentingnya memberikan ASI pada balitanya dipengaruhi
oleh pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-kultural, terbatasnya petugas kesehatan
dalam memberikan penyuluhan, tradisi daerah berpengaruh terhadap pemberian makanan
pendamping ASI yang terlalu dini, dan tidak lancarnya ASI setelah melahirkan (BPS
Ketapang, 2016). Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
delayedinitiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI.
Sebuah penelitian membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (delayedinitiation) akan
meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa
suplementasi makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus, ataupun susu
selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama
untuk mencapai tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi mendapat makanan
pendamping yang adekuat sedangkan ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui
yang berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi signifikan terhadap asupan
nutrisi penting pada bayi. Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan mengonsumsi
obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas saran dokter. Selama 6 bulan pertama
pemberian ASI eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain (susu formula,
jeruk, madu, air, teh, dan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi,
biskuit, nasi tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI kepada bayi, tetapi
pernah memberikan sedikit air atau minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/
minuman prelakteal sebelum ASI keluar. Bayi yang sudah berumur 6 bulan, kebutuhan

8
gizinya akan meningkat, sehingga bayi memerlukan makanan tambahan yang tidak
sepenuhnya dapat dipenuhi oleh ASI saja (Kemenkes, 2010). Pemberian ASI memiliki
berbagai manfaat terhadap kesehatan, terutama dalam hal perkembangan anak. Komposisi
ASI banyak mengandung asam lemak tak jenuh dengan rantai karbon panjang (LCPUFA,
long-chainpolyunsaturatedfattyacid) yang tidak hanya sebagai sumber energi tapi juga
penting untuk perkembangan otak karena molekul yang dominan ditemukan dalam
selubung myelin. ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas anak
terhadap penyakit, berdasarkan penilitian pemberian ASI dapat menurunkan frekuensi
diare, konstipasi kronis, penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta infeksi
telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan efek terhadap perkembangan
psikomotor anak, karena anak yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari
sekitarnya. Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan ikatan yang lebih kuat dalam
interaksi ibu dan anak, sehingga berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak
(Henningham dan McGregor, 2008). Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada
balita yang tidak diberi ASI eksklusif (pemberian ASI.

Selain itu, durasi pemberian ASI yang berkepanjangan merupakan faktor risiko untuk
stunting (Teshome, 2009). Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara
signifikan berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi pernafasan dan insiden yang lebih
tinggi mordibitas malaria dan infesksi mata. Penelitian di Peru, menunjukkan prevalensi
diare secara signifikan lebih tinggi pada anak yang disapih. Hal ini dapat disebabkan
karena hilangnya kekebalan tubuh dari konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga
pengenalan makanan tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap penyakit infeksi.
Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa menyusui dapat mengurangi kejadian
pneumonia dan gastroenteritis (Kalanda, Verhoeff dan Brabin, 2006). Di Indonesia,
perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang bermakna dengan
indeks PB/U, dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI eksklusif (Oktavia,
2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur
pertama pemberian MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi PB/U pada
baduta.
4. Infeksi

9
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan penyakit. Manifestasi
malnutrisi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang diserap dari makanan
dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi dari
terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang meningkatkan
kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan
zat gizi di usus. Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada saat bersamaan.
Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan
malnutrisi yang mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan
terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga
mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini disebut juga
infectionmalnutrition (Maxwell, 2011).

Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA)
pada balita. Diare adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan konsistensi
tinja yang lebih lunak dan cair yang berlangsung dalam kurun waktu minimal 2 hari dan
frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri penyebab utama diare pada bayi dan anak-anak
adalah enteropathogenicescherichia coli (EPEC). Menurut Levine dan Edelman, Bakteri
EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian ratusan ribu anak di negara berkembang
setiap tahunnya. Hal ini juga diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi
dan anak penderita diare terinfeksi EPEC. Oleh karena itu, penyakit diare merupakan salah
satu masalah kesehatan utama dibanyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Hasil
penelitian Astari, etal (2005) menemukan bahwa praktek sanitasi pangan mempengaruhi
kejadian stunting melalui peningkatan kerawatan terhadap penyakit diare, sementara
praktek sanitasi lingkungan mempengaruhi kejadian stunting melalui peningkatan
kerawanan terhadap penyakit ISPA (Astari, L.D., Nasoetion, A., dan Dwiriani, C.M.,
2005).

Sanitasi di daerah kumuh biasanya kurang baik dan keadaan tersebut dapat menyebabkan
meningkatnya penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang penyakit infeksi pada
anak merupakan masalah yang kesehatan yang penting dan diketahui dapat mempengaruhi
pertumbuhan anak. Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu infeksi enterik

10
seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat juga disebabkan oleh infeksi pernafasan (ISPA),
malaria, berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan inflamasi (Masithah,
Soekirman, dan Martianto, 2005).

Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi pada masih tingginya
pervalensistunting di Indonesia dan oleh karenanya diperlukan rencana intervensi yang
komprehensif untuk dapat mengurangi pervalensistunting di Indonesia.

2.3 Prevalensi
Prevalensi Stunting di Indonesia kejadian stunting menurut Riset Kesehatan dasar (Riskesdas)
terjadi peningkatan prevalensi stunting di Indonesia dari 36,8 % pada tahun 2007 menjadi 37,2 %
pada tahun 2013, maka artinya 1 dari 3 anak Indonesia tergolong pendek(Cobhametal., 2013).
Prevalensi kejadin anak stunting di Indonesia sangat beragam dari prevalensi menengah sampai
sangat tinggi. Dilihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2019 prevalensi terendah berada
di Kepulauan Riau dan yang tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan. terdapat 5
provinsi yang mempunyai prevalensi kurang dari 30 persen yaitu Yogyakarta, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Kalimantan Timur

dan (Gambar 1) (Cobhametal., 2013)

11
Berdasarkan kelompok umur pada balita, semakin bertambah umur prevalensi kejadian
stunting semakin meningkat. Prevalensi stunting paling tinggi pada usia 24-35 bulan yaitu sebesar
42,0% dan menurun pada usia 36-47 bulan (Gambar 2). Stunting lebih banyak terjadi pada anak
laki-laki (38,1%) dibandingkan dengan anak perempuan (36,2%). Daerah perdesaan (42,1%)
mempunyai prevalensi stunting yang lebih tinggi dibandingkan daerah perkotaan (32,5%). Menurut
tingkat kepemilikan atau ekonomi penduduk, stunting lebih banyak terjadi pada mereka yang
berada pada pada tingkat terbawah (Gambar 3).

Prevalensi kejadian stunting lebih tinggi dibandingkan dengan permasalahan gizi lainnya

12
seperti gizi kurang (19,6%), kurus (6,8%) dan kegemukan (11,9%)(Cobhametal., 2013).
Dibandingkan dengan negara ASEAN, prevalensi stunting di Indonesia berada pada kelompok
highprevalence, sama halnya dengan negara Kamboja dan Myanmar (MuchaN, 2012). Dari 556
juta balita di negara berkembang 178 juta anak (32%) bertubuh pendek dan 19 juta anak sangat
kurus (<-3SD) dan 3.5 juta anak meninggal setiap tahun (Bloemetal., 2013).

2.4 Upaya Pencegahan & Penanggulangan Stunting


2.4.1 Upaya Pencegahan

Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang
termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan
segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang
ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk
mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program
prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya
yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin

a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;

b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;

c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;

d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan


mikronutrien (TKPM);
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);

f. Pemberantasan kecacingan;

g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku

KIA;

h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif;


dan

13
i. Penyuluhan dan pelayanan KB.

2. Balita

a. Pemantauan pertumbuhan balita;

b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk


balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan

d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.

3. Anak Usia Sekolah

a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;

c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan

d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

4. Remaja

a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola
gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.

5. Dewasa Muda

a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);

b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan

c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak


merokok/mengonsumsi narkoba.

Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan Scaling-UpNutrition (SUN)


diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua penduduk berhak untuk memperoleh akses
ke makanan yang cukup dan bergizi. Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam
gerakan tersebut melalui perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting.

14
Kerangka Intervensi Stunting tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai
macam program yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait. Kerangka
Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif.
Kerangka pertama adalah Intervensi Gizi Spesifik. Ini merupakan intervensi yang
ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada
30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan
pada sektor kesehatan. Intervensi ini juga bersifat jangka pendek dimana hasilnya dapat
dicatat dalam waktu relatif pendek. Kegiatan yang idealnya dilakukan untuk melaksanakan
Intervensi Gizi Spesifik dapat dibagi menjadi beberapa intervensi utama yang dimulai dari
masa kehamilan ibu hingga melahirkan balita:

1. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Hamil. Intervensi ini meliputi kegiatan
memberikan makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan
energi dan protein kronis, mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat, mengatasi
kekurangan iodium, menanggulangi kecacingan pada ibu hamil serta melindungi ibu
hamil dari Malaria
2. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan.
Intervensi ini dilakukan melalui beberapa kegiatan yang mendorong inisiasi
menyusui dini/IMD terutama melalui pemberian ASI jolong/colostrum serta
mendorong pemberian ASI Eksklusif
3. Intervensi Gizi Spesifik dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan.
Intervensi ini meliputi kegiatan untuk mendorong penerusan pemberian ASI hingga
anak/bayi berusia 23 bulan. Kemudian, setelah bayi berusia diatas 6 bulan
didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan obat cacing, menyediakan
suplementasi zink, melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan, memberikan
perlindungan terhadap malaria, memberikan imunisasi lengkap, serta melakukan
pencegahan dan pengobatan diare.

Kerangka Intervensi Stunting yang direncanakan oleh Pemerintah yang kedua adalah
Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting.
Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu
15
hamil dan balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan/HPK. Kegiatan terkait Intervensi Gizi
Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan
dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat
berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik sebagai berikut:

1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.

2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.

3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.

4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).

5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).

7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.

8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.

9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.

10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.

11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Kedua kerangka Intervensi Stunting diatas sudah direncanakan dan dilaksanakan oleh
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari upaya nasional untuk mencegah dan mengurangi
pervalensistunting. Pencegahan stunting menurur Kementerian Kesehatan RI sebagai
berikut:

1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak lahir

Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah
selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan
MilleniumChallengeAccount Indonesia menyarankan agar ibu yang sedang

16
mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan bergizi maupun suplemen atas
anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga
sebaiknya rutin memeriksakan kesehatannya ke dokter atau bidan.
2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan


ASI ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan
gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI
Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum
yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan
tubuh bayi yang terbilang rentan.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat

Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan
makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang
dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari
ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau
penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat
akan menentukan produk tambahan tersebut.
Konsultasikan dulu dengan dokter.

4. Terus memantau tumbuh kembang anak

Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi
dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik
khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui gejala
awal gangguan dan penanganannya.
5. Selalu jaga kebersihan lingkungan

Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama
kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung
meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan School
menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan
tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang
masuk ke dalam tubuh manusia. Semoga informasi ini membantu para ibu

17
mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan anak.

2.4.2 Penanggulangan Stunting


Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani pervalensistunting, pemerintah di
tingkat nasional kemudian mengeluarkan berbagai kebijakan serta regulasi yang diharapkan
dapat berkontribusi pada pengurangan pervalensistunting, termasuk diantaranya:

1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 (Pemerintah


melalui program pembangunan nasional ‘Akses Universal Air Minum dan Sanitasi
Tahun 2019’, menetapkan bahwa pada tahun 2019, Indonesia dapat menyediakan
layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat Indonesia).

2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target penurunan


prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Bappenas, 2011.

4. Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan.

5. Peraturan Pemerintah (PP) No.33/2012 tentang Air Susu Ibu Eksklusif.

6. Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan


Perbaikan Gizi.

7. Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 450/Menkes/SK/IV/2004 tentang


Pemberian Ais Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia.

8. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No.15/2013 tentang Tata Cara


Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
9. Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).

10. Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.

11. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam Rangka Seribu Hari
Pertama Kehidupan (Gerakan 1.000 HPK), 2013.
12. Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK), 2013.

18
BAB III
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan
dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN,
2009).Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai dengan
terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi badan
yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada
anak.
Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan menurut umur yang
mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi
kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai dan atau kesehatan.Faktor
gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak langsung yang memberikan
kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan
menyebabkan janin mengalami intrauterinegrowthretardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir
dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.Beberapa faktor
yang terkait dengan kejadian stunted antara lain kekurangan energi dan protein, sering mengalami
penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan.Kejadian balita
stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan dengan cara melakukan
pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan
makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau
kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan
(eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI) yang cukup
jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi
zat gizi berupa kapsul vitamin A.

19
Daftar Pustaka

Amelia, Revina Rifda. 2019. Prevalensi dan Zat Gizi Mikro dalam Penanganan Stunting. Jurnal
Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. Vol 6 (2) 140-141.
Kemenkes, 2018. Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. URL :
file:///C:/Users/user/Downloads/Buletin-Stunting-2018.pdf . Diakses pada tanggal 10
Agustus 2021.

Rahayu, A, F. Yulidasari, dkk. 2018. BUKU REFERENSI: Study Gueid-Stunting dan Upaya
Pencegahannya Bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat. CV. Mine. Yogyakarta.

Sutarto, D. M dan R. Indriyani. 2018. Stunting, Faktor Resiko dan Pencegahan. Vol 5 (1):543.

http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Buku%20Ringkasan%20Stunting.p df .
Diakses pada tanggal 10 Agustus 2021.

https://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting . Diakses pada tanggal 10 Agustus 2021.

20
Pertanyaan Pilihan Ganda!
1. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan
untuk menurunkan prevalensi stunting Ibu Hamil dan Bersalin adalah….
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
d. Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien
(TKPM);
e. Semua Benar
2. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan
untuk menurunkan prevalensi stunting Anak Usia Sekolah kecuali…
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
e. Pendidikan kesehatan reproduksi
3. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan
untuk menurunkan prevalensi stunting Balita adalah…
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
e. Semua Benar
4. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan
untuk menurunkan prevalensi stunting Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi
4
narkoba.
d. 1, 2, dan 3
e. 1 dan 2
5. Lima pilar pencegahan stunting, kecuali?
a. Komitmen dan visi kepemimpinan tertinggi Negara
b. Kampanye nasional dan komunikasi perubahan perilaku
c. Konvergensi, koordinasi, konsolidaso program pusar, daerah ,dan desa
d. Gizi dan ketahanan pangan
e. Fertilisasi
6. Stunting ditentukan oleh indeks antropometri yang menggunakan data?
a. Berat badan berdasarkan umur
b. Panjang badan berdasarkan umur
c. Panjang kaki berdasarkan umur
d. Tinggi badan per berat badan
e. IMT/U
7. Berikut adalah gejala stunting
a. Anak berbadan lebih pendek untuk anak seusianya
b. Proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/ kecil untuk seusianya
c. Berat badan rendah untuk anak seusianya
d. Pertumbuhan tulang tertunda
e. Semua benar

8. Berikut adalah penyebab stunting


a. Kurang gizi kronis dalam waktu lama
b. Retardasi pertumbuhan intrauterine
c. Tidak cukup protein dalam proporsi total asupan kalori
d. Perubahan hormon yang dipicu oleh stress.
e. Benar semua

9. Masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup
lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih
rendah atau pendek ,merupakan pengertian dari...
5
a. GAKY
b. Stunting
c. Obesitas
d. Anemia
e. KEK
10. Upaya apa yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting pada Balita..
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
e. Semua Benar
11. Kegiatan apa yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Spesifik...
a. Melakukan fortifikasi bahan pangan
b. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
c. Terus memantau tumbuh kembang anak
d. Menjaga kebersihan lingkungan
e. Semua Benar
12. Berikut ini yang merupakan cara pencegahan stunting pada anak, kecuali..
a. Memenuhi Kebutuhan gizi sejak hamil
b. Memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
c. Cukupi Waktu tidur
d. Terus menerus memantau perkembangan anak
e. Selalu menjaga kebersihan lingkungan
13. Indikator program gizi masyarakat salah satunya adalah Bayidengan BBLR. Berikut peryataan
yang kurang tepat terkait indicator bayi BBLR adalah:
a. Bayi yang berat lahir kurangdari 2.500g
b. Bayi lahir tidak cukup bulan (prematur)
c. Target RPJMN 2015-2019 adalah 8%
d. Bayi lahir cukup bulan Semakin tinggi % BBLR maka semakin buruk derajat kesehatan di
wilayah tersebut
e. Bayi dengan berat 2.100g

6
14. Salah satu indikator kinerja program gizi adalah balita kurus mendapat makanan tambahan. Balita
kurus adalah anak usia 6 bulan 0 hari sampai dengan 59 bulan 29 hari dengan status gizi kurus
BB/PB atau BB/TB dengan nilai z-score:
a. ≥-2SD
b. ≤ -2SD
c. -2SD sampai dengan -1SD
d. -3SD sampai dengan -2SD
e. ≤-3SD
15. Semua balita diharapkan ditimbang untuk memantau pertumbuhannya setiap bulan. Harapannya
semua balita yang ditimbang naik berat-badannya. Namun demikian karena asupan yng kurang dan
atau penyakit berat-badan balita tidak naik atau turun (T). Balita 2T adalah balita tidak naik berat
badannya
a. dua kali berturut-turut dalam 1 bulan
b. dua kali berturut-turut dalam2 bulan
c. dua kali berturut-turut dalam 3 bulan
d. dua kali berturut-turut dalam 4 bulan
e. dua kali berturut-turut dalam 5 bulan
16. Manakah pernyataan yang benar tentang dampak jangka pendek dari stunting, kecuali!
a. gangguan pertumbuhan tubuh,
b. gangguan metabolisme
c. gangguan perkembangan otak
d. memengaruhi kecerdasan anak
e. mempengaruhi ekonomi

17. Dibawah ini yang bukan menjadi penyebab dari stunting ialah..

a. Kurang gizi kronis dalam waktu lama

b. Sering menderita infeksi di awal kehidupan seorang anak

c. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi


d. Kurangnya asupan air mineral

e. Kurangnya pengetahuan ibu hamil mengenai asupan gizi

18. Mendorong kebijakan yang memastikan akses pangan bergizi khususnya di daerah kasus stunting
7
tinggi, melaksanakan rencana fortifikasi bio-energi, makanan dan pupuk yang kompeherensif,
pengurangan kontaminasi pangan. Merupakan penjelasan dari pilar penanganan stunting ke-..

a. 5

b. 4

c. 3

d. 2

e. 1

19. Program intervensi yang tepat dengan sasaran ibu hamil dalam pencegahan stunting, kecuali…

a. Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat/ibu hamil

b. Mengatasi kekurangan iodium

c. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat

d. Pemberian obat cacing untuk penanggulangan kecacingan pada ibu hamil

e. Program untuk melidungi dari malaria

20. Menurut WHO 2013 membagi penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar
yaitu…

a. Faktor pendapatan, Keluarga, Lingkungan, Infeksi.

b. Faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/komplementer yang tidak


adekuat, menyusui, dan infeksi.

c. Faktor pekerjaan, MPASI, ibu hamil, Sanitasi

d. Faktor makanan, Ibu hamil, Infeksi, Pertemanan

e. Faktor pernikahan dini, pelayanan kesehatan, sanitasi air, MPASI

Anda mungkin juga menyukai