Anda di halaman 1dari 19

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era globalisasi telah membawa transformasi di berbagai bidang kehidupan. Hal
tersebut sedikitnya telah menimbulkan berbagai permasalahan baru dalam dunia
internasional, terlebih kini interdepedensi dunia semakin terjalin maka masalah
yang timbul pun telah melintasi batas-batas nasional maupun regional. Sejumlah
persoalan internasional tersebut telah mempengaruhi masyarakat dunia sebagai
bagiannya, sehingga memerlukan solusi global dalam menyelesaikannya. Hal
tersebut diperlukan karena seringkali sumber daya nasional ataupun regional yang
ada tidak memadai untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi dalam skala
nasional maupun regional. Salah satu masalah tersebut adalah masalah pangan.
Masalah pangan bukanlah hal yang baru. Sejarah manusia hampir selalu
berkisar pada usaha mereka untuk memperoleh pangan. Bahkan kebutuhan
manusia terdahulu hanya dua, yaitu mempertahankan hidup dan mempertahankan
keturunan. Dalam kebutuhan mempertahankan hidup dilakukan dengan makan
sedangkan untuk mempertahankan keturunan, manusia melakukannya dengan
seks. Dalam hal pemenuhan kebutuhan, mempertahankan keturunan, manusia
tidak mengalami kesulitan sehingga dapat dengan mudah memperbanyak
spesiesnya. Berbanding terbalik dengan kebutuhan mempertahankan keturunan,
pemenuhan untuk mempertahankan hidup jauh lebih sulit. Hal tersebut
dikarenakan sumber daya alam yang tersedia tidak sebanding dengan pertambahan
jumlah spesies manusia tadi. Selain itu, bertambahnya jumlah manusia telah
mempercepat habisnya pangan yang tersedia (Soetriono : Pengantar Ilmu
Pertanian).
Pangan merupakan bahan yang dimakan guna memenuhi keperluan tubuh
untuk tumbuh, bekerja dan perbaikan jaringan. Manusia sebagai makhluk hidup
mempunyai tiga kebutuhan pokok, dimana pangan (makanan) salah satunya selain
sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal). Dengan kata lain pangan pada
manusia dapat digambarkan sebagai kebutuhan untuk terus tumbuh dan
berkembang demi kelangsungan hidup. Dari pemahaman pangan diatas maka

merupakan masalah besar bagi suatu Negara apabila dihadapkan pada krisis
pangan.
Krisis pangan terjadi akibat dari kurangnya ketahanan pangan yang dimiliki
oleh suatu negara. ketahanan pangan adalah akses bagi semua penduduk atas
makanan yang cukup untuk hidup sehat dan aktif. Kebalikan dari ketahanan
pangan adalah ketidaktahanan pangan, yaitu dimana setiap orang mengalami
kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan akan makanan yang diakibatkan oleh
kemiskinan, konflik dan pencemaran lingkungan (Suhardjo 2008 : Pangan, Gizi
dan Pertanian).
1.2 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui Definisi Pangan
2. Definisi Era Globalisasi
3. Memenuhi Kebutuhan Pangan Dalam Era Globalisasi
4. Pangan Dalam Era Globalisasi
5. Faktor Yang Menyebabkan Krisis Pangan
6. Masalah Pangan Dalam Era Globalisasi
7. Sejarah Pangan di Indonesia

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Pangan
Menurut UU RI No. 7 th.1996 tentang Pangan, Pangan adalah segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air , baik yang diolah maupun tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan
dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman.
Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang
terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, air dan mineral serta tanamannya
yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Bagi tumbuhan,
pangan disintesis sendiri dengan energi sinar matahari, mikro organisme hanya
memerlukan sumber energi yang sederhana. Untuk hewan memerlukan pangan
antara lain berupa tanaman dalam bentuk molekul yang komplek.
Pangan dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu :
1. Pangan segar
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan. Pangan segar
dapat dikonsumsi langsung atau tidak langsung, yakni dijadikan bahan baku
pengolahan pangan.
2. Pangan olahan
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses pengolahan dengan
cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Contoh : the
manis, nasi, pisang goreng dan sebagainya. Pangan olahan bisa dibedakan lagi
menjadi pangan olahan siap saji dan tidak saji. Pangan olahan siap saji adalah
makanan dan minuman yang sudah diolah dan siap disajikan di tempat usaha
atau di luar tempat usaha atau dasar pesanan. Sedangkan Pangan olahan tidak
siap saji adalah makanan atau minuman yang sudah mengalami proses
pengolahan, akan tetapi masih memerlukan tahapan pengolahan lanjutan untuk
dapat dimakan atau diminum.

3. Pangan olahan tertentu


Pangan olahan tertentu adalah pangan olahan yang diperuntukkan bagi
kelompok tertentu dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas
kesehatan. Contoh ekstrak tanaman mahkota dewa untuk diabetes melitus, susu
rendah lemak untuk orang yang menjalankan diet rendah lemak, dan
sebagainya (Saprianto, 2006).
Ketahanan pangan sesuai PP No.68 tahun 2002 adalah kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya pangan baik jumlah
maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat
diartikan kemampuan mengakses secara cukup untuk mempertahankan kehidupan
yang sehat. Setelah produksi swasembada pangan terpenuhi, tetap juga harus
dijaga distribusi dan konsumsinya. Hal ini perlu agar distribusi pangan tetap
merata di seluruh Indonesia sehingga tidak ada satupun daerah yang kekurangan
stok pangan. Sisanya dikirim ke luar negeri.
2.2 Definisi Era Globalisasi
Secara etimologi, menurut kamus besar bahasa Indonesia era diartikan sejumlah
tahun dalam jangka waktu antara beberapa peristiwa penting dalam sejarah atau
masa. Menurut kamus ilmiah popular era berarti zaman, masa atau kurun waktu.
Sedangkan kata globalisasi berasal dari kata dasar global, yang artinya
menyeluruh, seluruhnya, garis besar, secara utuh, dan kesejagatan. Jadi globalisasi
dapat diartikan sebagai pengglobalan seluruh aspek kehidupan, perwujudan
(perubahan) secara menyeluruh aspek kehidupan.
Era globalisasi dalam arti terminologi adalah sebuah perubahan sosial,
berupa bertambahnya keterkaitan diantara masyarakat dan elemen-elemen yang
terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi dibidang transportasi
dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Globalisasi juga dimaknai dengan gerakan mendunia, yaitu suatu perkembangan
pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat global. Era globalisasi
memberikan perubahan besar pada tatanan dunia secara menyeluruh dan
perubahan itu dihadapi bersama sebagai suatu perubahan yang wajar. Sebab mau

tidak mau, siap tidak siap perubahan itu akan terjadi. Era ini di tandai dengan
proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama
dalam bidang tranformasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya.

2. 3 Memenuhi Kebutuhan Pangan Dalam Era Globalisasi


Pangan (nabati dan hewani) adalah produk sektor pertanian dalam arti luas,
merupakan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan mineral-mineral yang sangat
dibutuhkan oleh tubuh manusia agar dapat melangsungkan kehidupannya. Pangan
adalah kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat ditunda-tunda, harus tersedia
setiap saat, dan dalam jumlah yang cukup.
Kekurangan pangan atau rawan pangan menyebabkan kurang gizi,
selanjutnya menyebabkan seseorang akan sangat peka terhadap penyakit, lemah,
tidak bersemangat, bahkan tidak dapat berpikir baik, sehingga tidak dapat
mengikuti program-program pengembangan keahlian, keterampilan atau program
sekolah lainnya. Ujung dari semua ini adalah rendahnya produktivitas, rendahnya
pendapatan dan akhirnya semakin sulitnya suatu masyarakat menghilangkan
kemiskinan.
Sejak diratifikasinya kesepakatan umum tentang tariff dan perdagangan
(General Agreement on Tariffs and Trade, GATT) tahun 1994, merupakan babak
baru dalam memasuki era globalisasi perdagangan. GATT yang telah disetujui
negara penandatangan, menghendaki adanya liberalisasi perdagangan untuk
menuju kemakmuran umat secara optimal. Berdasarkan ketentuan GATT 1994,
tindakan non-tariff yang menghambat perdagangan antar negara saat ini
digantikan oleh tindakan tariff. Bagi negara berkembang penurunan tariff adalah
sebesar 24 persen dengan minimum 10 persen untuk setiap item produksi dengan
jangka waktu 10 tahun. Semua tariff bea masuk untuk produk pertanian akan
diikat (bound) dalam GATT. Jadi, berdasarkan ketentuan GATT 1994, Indonesia
harus membuka kran impor beras. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan
nasional yang terus meningkat, Indonesia
dapat melakukan usaha yaitu:
1). Mengimpor pangan dari luar negeri sesuai dengan kebutuhan

Untuk Memenuhi Kebutuhan Pangan Malalui Impor, walaupun dalam era


globalisasi perdagangan relatif gampang mengimpor beras untuk memenuhi
kebutuhan pangan nasional, namun ada beberapa faktor penting yang perlu
mendapat perhatian yaitu:
(1) Kondisi politik dunia
Kondisi politik dunia yang kacau, misalnya terjadi perang dunia, maka
produksi dan distribusi pangan dunia akan terganggu, akhirnya akan
menyulitkan negara-negara yang mengandalkan pangannya dari impor.
Bahkan perilaku politik dalam negeripun dapat menjadi ancaman embargo
oleh negara-negara produsen pangan. Misalnya, Irak, Yugoslavia dan
Libya menjadi sasaran embargo pangan negara-negara produsen pangan
dunia, seperti Amerika Serikat.
(2) Kondisi produksi pangan dunia
Kondisi produksi pangan dunia mempengaruhi pasokan pangan dunia dan
selanjutnya mempengaruhi perdagangan atau pasar pangan dunia. Jika
produksi pangan negara-negara produsen menurun, berarti perdagangan
pangan dunia tipis, selanjutnya akan mempengaruhi harga pangan dunia.
Bahkan ekstrimnya, jika terjadi kegagalan panen di 7 sebagian besar
negara-negara produsen pangan, maka persediaan pangan dunia menjadi
defisit, sehingga menyulitkan negara-negara importir pangan dunia.
Prabowo (1981) mengingatkan agar Indonesia tidak harus mempercayakan
sepenuhnya kebutuhan pangannya kepada pasar pangan dunia yang
memang penuh ketidak pastian, apalagi keadaan pangan dunia pada akhir
abad ke-20 ini semakin mengkhatirkan.
(3) Kondisi atau ketersediaan devisa dalam negeri
Kondisi atau ketersediaan devisa suatu

negara

importir

akan

mempengaruhi kuantitas impor pangan. Jika devisa dalam negeri tersedia


dalam jumlah yang cukup, maka impor pangan tidak menjadi masalah.
Namun sebaliknya, jika devisa dalam negeri langka, maka akan
menyulitkan negara-negara impotir pangan.
Pencapaian swasembada tentu saja merupakan keberhasilan suatu kebijakan
pangan. Namun pengurangan impor pangan tidak menjamin bahwa penduduk
miskin memiliki cukup pangan untuk dimakan, dan boleh jadi banyak yang
bertambah jelek atau kekurangan pangan (Timmer et al, 1983).
6

2). Memenuhi Kebutuhan Pangan Melalui Peningkatan Produksi


Dalam usaha meningkatkan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negeri, Heytens (1991) menganjurkan beberapa strategi yang perlu
diambil yaitu:
(1) Kebijakan investasi irigasi
Kebijakan investasi irigasi memungkinkan terkonversinya lahan-lahan
kurang produktif dan lahan telantar menjadi lahan produktivitas tinggi. Di
samping itu, perluasan jaringan irigasi memungkinkan pencetakan areal
sawah

baru

sehingga

meningkatkan

areal

tanam

dan

akhirnya

meningkatkan produksi padi.


(2)
Kebijakan regulasi
Kebijakan regulasi yaitu mengkonversi areal tebu menjadi areal padi.
Secara kasar sebanyak 150.000 ha sawah ditanami tebu di Jawa dalam
1988. Jika sawah seluas itu yang memiliki sistem irigasi teknis baik dan
sedang dikonversi menjadi padi, maka produksi padi di Jawa Tengah dan
Jawa Timur akan dapat ditingkatkan. Sebagai ilustrasi, jika areal padi
sawah yang dapat ditanami sekitar 330.000 ha karena multiple cropping
tahun 1994, dan jika hasil lahan dikonversi rata-rata 5,25 ton gabah per ha
dalam 1989 dan meningkat dengan 0,5 8 persen per tahun, maka akan
menghasilkan sekitar 1,8 juta ton tambahan produksi gabah per tahun
dalam 1994.
(3)
Kebijakan harga
Kebijakan harga dapat digunakan untuk mempengaruhi produksi padi. Jika
target produksi yang diperlukan tidak dapat dicapai dengan kebijakan
investasi atau regulasi, maka kebijakan harga adalah pilihan terakhir yang
tersedia untuk menawarkan tambahan insentif kepada para petani padi.
Dengan demikian kebijakan harga mempengaruhi areal yang ditanami padi
dan pada akhirnya mempengaruhi produksi.
2.4 Pangan Dalam Era Globalisasi
Saat ini tiada lagi batas geografis antara satu negara dengan negara lainnya. Setiap
negara memiliki ketergantungan yang besar satu sama lainnya. Globalisasi
mempengaruhi dunia pertanian termasuk didalamnya ketahanan pangan. Harga

produk pertanian akan dipengaruhi oleh kondisi yang berkembang pada negara
lain.
Pada umumnya tanaman dapat tumbuh subur pada temperatur 20 38 oC.
Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki temperatur pada kisaran tersebut.
Tanpa harus mengeluarkan dana yang besar untuk menjaga kondisi temperatur,
petani kita dapat memproduksi bahan pangan untuk kebutuhan ekspor. Letak
astronomis Indonesia yang berada tepat pada garis khatulistiwa juga memberi
keuntungan yang besar bagi negeri ini. Matahari yang bersinar sepanjang tahun
dengan curah hujan tinggi menjadikan Indonesia negeri subur dengan
keanekaragaman hayati yang melimpah. Potensi ini dapat digunakan seluas
luasnya untuk pengembangan produk pangan dan pertanian.
Adanya keterbukaan di era globalisasi akan menguntungkan petani apabila
peran dari berbagai pihak berjalan secara optimal. Selama ini yang terjadi adalah
ketika panen telah tiba harga produk pertanian menurun drastis disebabkan
minimnya pasar. Petani pada akhirnya hanya mengalami kerugian. Modal yang
dikeluarkan untuk pengolahan pertanian tidak sebanding dengan hasil yang
diperoleh. Tidak ada cara lain selain melakukan alih profesi dari petani menjadi
karyawan pabrik, jasa dan lainnya. Era globalisasi yang menuntut adanya
ketergantungan negara lain akan dapat menjawab persoalan ini. Tinggal
manajemen pemasarannya yang perlu diperbaiki. Harapannya walaupun pada
musim panen tiba, harga pangan tetap stabil agar petani memperoleh keuntungan
sesuai yang diinginkan. Perluasan lahan pertanian salah satu langkah yang harus
dilakukan. Seyogyanya lahan pertanian jangan lagi dibuat untuk pemukiman. Hal
ini sesuai dengan Undang Undang perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Melalui UU ini kawasan dan lahan pertanian ditetapkan (jangka
panjang, menengah, pendek) lewat perencanaan kabupaten/kota atau provinsi
(pasal 11). Sekarang banyak lahan subur ternyata banyak dibuat menjadi
pemukiman. Setiap tahun lahan pertanian semakin sempit sementara jumlah
pemukiman semakin meningkat. Tata kota dan pengembangan wilayah harus
dipertegas. Peraturan mengenai pengaturan lahan harus dioptimalkan. Izin
bangunan jangan dikeluarkan apabila daerah tersebut merupakan lahan subur
untuk pertanian. Deli serdang dalam menangani stok berasnya perlu dicontoh.

Pemerintah daerah menyiapkan lahan untuk produksi berasnya supaya harga beras
dan stok pangan dapat terjamin. Setiap daerah perlu memiliki lahan pertanian
supaya stok pangannya terpenuhi.
2.5 Faktor Yang Menyebabkan Krisis Pangan
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan krisis pangan terjadi, yaitu faktorfaktor seperti kebutuhan objektif, permintaan efektif dan kemungkinan produksi.
Kebutuhan objektif pangan dalam skala global adalah fungsi dari
kebutuhan pangan pokok. Akibat dari perbaikan kondisi kehidupan manusia,
penduduk dunia telah meningkat dengan cepat dan hal ini mendorong peningkatan
kebutuhan objektif akan bahan pangan secara
cepat pula.
Faktor yang kedua yang menyebabkan terjadinya krisis pangan adalah
permintaan efektif. Kebutuhan objektif harus diubah menjadi permintaan efektif
dalam pasar bahan bahan pangan dunia dan pasar diorganisasikan berdasar pada
daya beli dalam bentuk mata uang kuat terutama US dollar. Kebutuhan objektif
hanya hanya akan menjadi permintaan efektif jika seseorang mempunyai uang
yang dapat dipakai untuk membeli bahan pangan.
Selain faktor-faktor diatas, sejumlah kendala fisik maupun ekonomik
dalam upaya meningkatkan produksi pertanian menjadi faktor selanjutnya yang
telah menimbulkan masalah pangan dunia. Ketiga faktor tersebut telah
menciptakan masalah-masalah yang besar yakni kelangkaan bahan pangan kronis,
ketidakstabilan pasar, jaminan impor bahan pangan, produktivitas pertanian yang
rendah serta malnutrisi kronis (Wahidin, 2005:4).
2.6 Masalah Pangan Dalam Era Globalisasi
Pemenuhan pangan bagi manusia sangat krusial adanya, hal ini dikarenakan
masalah tersebut selalu berkaitan erat dengan hak asasi manusia, yaitu untuk
mendapatkan kehidupan yang layak, termasuk didalamnya untuk memiliki hidup
yang sejahtera, baik secara jasmani maupun rohani.
Bahkan jika berbicara dalam skala nasional, masalah pangan ini memiliki
dampak

yang

sangat

besar

terhadap

kualitas

hidup

seseorang

dalam

memaksimalkan perannya sebagai bagian dari masyarakat yang mana hal ini
sangat berpengaruh terhadap kualitas suatu negara tersebut. Maka dari itu masalah
pangan telah menjadi perhatian dunia bahkan menjadi isu keamanan nontradisional dalam hubungan internasional. Isu keamanan non-tradisional tersebut
mulai mengemuka pada akhir dekade 1990-an yang dimana mencoba memasukan
aspek-aspek diluar hirauan tradisional kajian keamanan, seperti masalah
kerawanan pangan, kemiskinan, kesehatan, lingkungan hidup, perdagangan
manusia, terorisme dan bencana alam.
Berangkat dari hal tersebut maka konsep keamanan pun tidak lagi berbicara
mengenai keamanan negara namun juga mengenai keamanan manusia yang
menyangkut juga dengan keamanan pangan (Hermawan, 2007:13).
Kepedulian terhadap keamanan manusia pun semakin meningkat, terutama
setelah laporan tahunan UNDP, Human Development Report 1994 yang mencoba
mengetengahkan tujuh dimensi untuk menciptakan ketahanan manusia yang
mencakup keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan,
keamanan lingkungan, keamanan individu, keamanan komunitas dan keamanan
politik. Sejak saat itu penanganan masalah kemanusiaan seperti masalah pangan
yang terjadi di berbagai belahan dunia gencar dilaksanakan oleh berbagai pihak,
diantaranya oleh organisasi internasional.
Salah satu organisasi internasional yang menaruh perhatian besar terhadap
masalah kemanusiaan dalam hal pangan adalah Food and Agriculture
Organization (FAO). Organisasi internasional ini berada dibawah naungan
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Awalnya organisasi ini dibentuk atas dasar
adanya kepedulian dari PBB terhadap kualitas masyarakat desa yang semakin
mengalami penurunan sebagai akibat dari terkonsentrasinya investasi dan
perhatian dunia terhadap industrialisasi, sementara bidang pertanian yang
merupakan sektor penting masyarakat pedesaan semakin tersisihkan dan kurang
mendapat perhatian.
Semenjak berdiri pada tahun 1945 FAO telah memberikan kontribusi yang
berarti dalam upaya peningkatan produksi makanan agar sejalan dengan
peningkatan populasi jumlah penduduk dunia yang terjadi. Tercatat pada tahun

10

1960, jumlah penduduk dunia yang menderita kelaparan di negara-negara


berkembang mengalami penurunan dari sekitar 50% menjadi kurang lebih 20%.
Yang menjadi prioritas utama dari FAO adalah mendorong terjadinya
sustainable agriculture and rural development. Ini merupakan strategi jangka
panjang untuk meningkatkan produksi makanan dan keamanan pangan atau food
security dengan memelihara dan mengolah sumber daya alam. Tujuannya adalah
untuk memenuhi kebutuhan baik di masa sekarang ataupun di masa yang akan
datang, dengan mendorong dilakukannya pembangunan yang tidak merusak
lingkungan, dengan teknik yang tepat dan cocok, secara ekonomi dapat dijalankan
dan secara sosial dapat diterima.
Salah satu bentuk perhatian FAO terhadap masalah pangan dunia adalah
dengan mengadakan World Food Summit pada tahun 1974. Dalam kesempatan
tersebut negara-negara di dunia dan masyarakat internasional secara keseluruhan
berupaya untuk menghapuskan kelaparan dan kekurangan gizi dalam waktu satu
dekade. Namun tampaknya hal tersebut belum terwujud karena adanya masalah
ketidakseimbangan distribusi, daya beli dan pertumbuhan penduduk.
Dalam kesempatan lain, FAO kembali mengadakan World Food Summit pada
tahun 1996 untuk membahas tentang ketahanan pangan bagi setiap individu dan
untuk melanjutkan upaya menghapus kelaparan di semua negara anggota dengan
mengurangi separuh jumlah penderita kekurangan pangan pada tahun 2015. Dari
World Food Summit 1996 dihasilkan komitmen bersama yang tertuang dalam
Declaration of Rome Plan of Action yang berisi komitmen dari negara-negara
anggota FAO untuk meningkatkan ketahanan pangan di negaranya. Selain itu
World Food Summit tersebut pun menghasilkan rencana kerja mengenai
pembangunan ketahanan pangan yang dianjurkan untuk dilaksanakan oleh seluruh
negara anggota. Diantara rencana kerja
tersebut adalah terdapat resolusi nomor 176 tahun 1996 yang menjadi acuan
dalam menjalankan konsep keamanan pangan atau Food Security. Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam konsep resolusi 176 adalah bahwa FAO memiliki
keyakinan akan kemampuan manusia dalam mengatasi bahaya kelaparan, yaitu
dengan cara meningkatkan kemampuan teknologi pertanian untuk meningkatkan
produksi pangan (Hayati & Yani, 2007:94).

11

Peran serta organisasi internasional dalam mengatasi masalah pangan,


menegaskan bahwa masalah tersebut telah menimpa negara manapun di dunia,
tidak hanya negara berkembang yang sebagian besar hasil pangannya dijadikan
komoditas ekspor, namun dapat juga menimpa negara maju. Hal tersebut terjadi
karena dimana pada suatu waktu terjadi kelangkaan bahan pangan di pasar
internasional, yang menyebabkan adanya pembatasan bagi suatu negara untuk
mengimpor bahan pangan.
2.7 Sejarah Pangan di Indonesia
Manusia selalu dihadapkan akan masalah produksi dan pengadaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya yang paling dasar. Ketika terjadi krisis pangan,
doktrin Malthus diungkit-ungkit kembali. Malthus tahun 1798 mengajukan teori
yang berjudul Essay on the Principle of Population, intinya bahwa pertumbuhan
penduduk akan mengungguli pertumbuhan produksi pangan, kecuali ada perang,
wabah penyakit atau bahaya kelaparan. Malthus menulis teorinya pada waktu
Inggris dilanda krisis pangan yang serius, yakni sebelum terjadinya revolusi
pertanian yang memungkinkan intensifikasi dalam usahatani. Tetapi pada edisi
berikutnya Malthus mengungkapkan bahwa pertumbuhan penduduk yang
melebihi pertumbuhan produksi pangan adalah suatu tantangan bagi manusia
untuk melakukan eksperimentasi dan inovasi di bidang produksi pertanian.
Peningkatan produksi pangan memang telah terjadi terutama di negara
maju, tetapi negara-negara sedang berkembang dan miskin justru sebaliknya.
Tampaknya sudah ada konsensus umum bahwa meskipun dunia telah surplus
pangan saat ini, kelaparan masih terjadi di negara-negara miskin, dan pangan akan
tetap masih menjadi masalah yang merisaukan di masa-masa mendatang
(Prabowo 1981).
Masalah pangan di Indonesia telah muncul sejak 1655 yang merupakan
tahun yang sangat kering, hingga 1645-1677 saat itu terjadi larangan mengekspor
beras (Sunan Amangkurat). Pada masa pemerintahan penjajah Belanda juga kerap
terjadi krisis pangan yang ditandai oleh fluktuasi produksi dan harus melakukan
impor beras dari Saigon. Untuk mengatasi masalah pangan, pemerintah Belanda
saat itu mendirikan Sticking het Voedings Middelen Fonds (VMF) yang bertugas

12

membeli, menjual dan mengadakan persediaan bahan makanan (dalam hal ini
beras) dan lahirlah stock policy pertama.
Jadi, suatu hal yang biasa jika sewaktu-waktu Indonesia dihadapkan dengan
kekurangan pangan, karena sejak dulu Indonesia menghadapi masalah pangan.
Bahkan, di masa mendatang Indonesia akan lebih serius menghadapi masalah
pangan jika sektor pertanian tidak digarap secara sungguh-sungguh (Mulyono
1981).
Penguasa Orde Baru (Orba) sangat menyadari bahwa pangan memiliki
posisi strategis dan politis. Karenanya, usaha-usaha peningkatan produksi beras
yang dilakukan sejak tahun 1959 terus digenjot melalui revolusi hijau dan telah
menunjukkan keberhasilan sangat menakjubkan yakni dicapainya swasembada
beras tahun 1984, sehingga merubah status Indonesia dari sebuah negara importir
beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an ke negara swasembada. Dalam
rentang waktu 1969 sampai 1988, produksi beras meningkat rata-rata 4,5 persen
per tahun. Keberhasilan ini akibat dari kebijakan yang menekankan penggunaan
teknologi baru, investasi infrastruktur, dan harga-harga yang menguntungkan para
petani. Penggunaan varietas unggul hasil tinggi, penggunaan pupuk, penyuluhan
kepada petani dan perbaikan pengelolaan air irgasi adalah faktor-faktor kunci
dalam meningkatkan produksi beras. Namun, pemerintah Orde baru tampaknya
terlena oleh kemajuan yang dijanjikan industri substitusi impor dan industri
teknologi tinggi yang menyedot devisa banyak, sehingga swasembada beras yang
telah dicapai dengan susah payah ternyata ditinggalkan begitu saja. Pemerintah
dalam hal ini presiden terkesan lengah pada pentingnya memperkukuh sektor
pertanian. Ini ditunjukkan oleh alokasi dana riset dan pengembangan pertanian
sangat kecil, sementara dana amat besar dialokasikan ke riset-riset dan
pengembangan industri teknologi tinggi. Bahkan Pearson et al. (1991)
mengingatkan agar para elit pengambil keputusan tidak boleh lengah karena
permasalahan pangan masih menghadang di depan kita yakni laju konsumsi beras
yang terus meningkat. Proyeksi konsumsi ini mensinyalkan bahwa produksi beras
memerlukan pertumbuhan 2,5 persen per tahun agar Indonesia tetap mampu
mempertahankan self-sufficiency on trend. Walaupun laju ini hanya separuh dari
pertumbuhan produksi selama dua dekade lampau, tetapi pertumbuhan mantap

13

produksi padi 2,5 persen per tahun bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Impor
beras sebanyak 5,8 juta ton yang dilakukan Bulog tahun 1998 adalah impor beras
tertinggi selama sejarah bangsa Indonesia. Impor beras tertinggi sebelumnya yang
pernah dilakukan Indonesia terjadi sebelum swasembada beras yakni tahun 1980
sebanyak 2,01 juta ton. Harga yang harus dibayar oleh pemerintah Orba yaitu
melemahnya kinerja sektor pertanian, sehingga produksi beras nasional mulai
menunjukkan gejala leveling-off. Jadi dengan ungkapan lain, sejak menurunnya
perhatian terhadap sektor pertanian, tampak sistem ketahanan pangan nasional
semakin melemah.
Menurunnya kegairahan petani berusaha tani padi yang disebabkan oleh
meningkatnya harga input dan menurunnya harga produk mereka, belum
memasyarakatnya program diversifikasi pangan, dan ketergantungan bahan
pangan utama pada impor akan memperlemah tingkat ketahanan pangan nasional
maupun rumahtangga. Di pihak lain pemerintah lewat Bulog tampaknya kurang
bergairah membeli beras petani dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah
karena terjerembab oleh membanjirnya beras impor dengan harga di bawah harga
dasar gabah petani.
Kondisi tersebut secara komprehensif akan semakin mengarah pada rapuhnya
sistem pangan secara keseluruhan. Mengantisipasi kondisi yang diuraikan
sebelumnya, dalam jangka menengah, ada dua
tujuan yang perlu dicapai pemerintahan yakni:
Pertama, Ketahanan pangan yang tinggi, di mana beras merupakan jenis makanan
pokok paling penting.
Kedua, Peningkatan kesejahteraan petani, baik karena tingkat kesejahteraan petani
saat ini relatif rendah, juga untuk memberikan insentif produksi yang lebih besar
dan untuk lebih menstimulasi pertumbuhan ekonomi.
Namun, seperti masalah ekonomi lainnya, pencapaian satu tujuan sering
bertentangan dengan tujuan lainnya, atau trade-off antara satu tujuan dengan
tujuan lainnya. Misalnya, di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan
kesejahteraan petani dengan menetapkan harga dasar (ceiling price) yang tinggi,
tetapi di sisi lain beberapa lapisan masyarakat tidak mampu menjangkau harga
pangan yang lebih tinggi karena pendapatan mereka relatif rendah. Ini berarti

14

ketahanan pangan mereka sangat lemah. Namun jika pemerintah mengutamakan


ketahanan pangan yang tinggi dengan memenuhi kebutuhan pangan murah dari
impor, maka petani akan frustrasi dan kurang bergairah untuk berproduksi. Jadi
pemerintah sering berada dalam posisi dilematis. Selama kebutuhan pangan
Indonesia masih bertumpu pada satu jenis pangan yakni beras adalah sangat riskan
dan rawan. Jika sewaktu-waktu terjadi kegagalan panen, maka kelaparan akan
mengancam. Untuk mengantisipasi kondisi seperti disebutkan di atas, maka
GBHN 1999-2004. mengarahkan agar Indonesia mengembangkan sistem
ketahanan pangan yang berbasis pada Keragaman sumberdaya bahan pangan,
kelembagaan dan budaya lokal dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan
nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan pada tingkat harga yang
terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani dan nelayan,
serta peningkatan produksi yang diatur dengan undang-undang.
Sedangkan menurut Bappeda (2000), visi pembangunan pangan adalah
terbangunnya Sistem ketahanan pangan yang andal bertumpu pada optimalisasi
pemanfaatan potensi keragaman sumber daya pangan yang dimiliki untuk
mendukung secara berkelanjutan proses pembentukan sumber daya manusia yang
berkualitas dan mendukung peningkatan ketahanan ekonomi. Ketahanan pangan
suatu negara dapat diartikan sebagai kemampuan negara memenuhi kecukupan
pangan seluruh penduduk meliputi Aksesibilitas (keterjangkauan), Stabilitas serta
Kontinuitas pengadaan dan distribusi.
Menurut Deptan (2000), tujuan Program KP adalah meningkatkan
ketersediaan komoditas pangan pokok dalam jumlah yang cukup, kualitas yang
memadai, terjangkau oleh daya beli dan tersedia sepanjang waktu. Suatu strategi
pembangunan pertanian dalam suatu kerangka kebijakan pangan adalah lebih luas
dari pada peningkatan produksi usahatani, meliputi juga penciptaan kesempatan
kerja, pertumbuhan dan distribusi pendapatan, akses penduduk miskin terhadap
pangan, dan Keamanan pangan rumah tangga dan nasional (Timmer, et al, 1983).

15

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Dari makalah yang telah dibahas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

Definisi Pangan menurut UU RI No. 7 th.1996 tentang Pangan, Pangan adalah


segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air , baik yang diolah
maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan
bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau

pembuatan makanan atau minuman.


Era globalisasi dalam arti terminologi adalah sebuah perubahan sosial, berupa
bertambahnya keterkaitan diantara masyarakat dan elemen-elemen yang terjadi
akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi dibidang transportasi dan
komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.
Globalisasi

juga

dimaknai

dengan

gerakan

mendunia,

yaitu

suatu

perkembangan pembentukan sistem dan nilai-nilai kehidupan yang bersifat

global.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional yang terus meningkat,

Indonesia dapat melakukan usaha yaitu:


1). Mengimpor pangan dari luar negeri sesuai dengan kebutuhan
2). Memenuhi Kebutuhan Pangan Melalui Peningkatan Produksi.
Adanya keterbukaan di era globalisasi akan menguntungkan petani apabila
peran dari berbagai pihak berjalan secara optimal. Selama ini yang terjadi
adalah ketika panen telah tiba harga produk pertanian menurun drastis
disebabkan minimnya pasar. Petani pada akhirnya hanya mengalami kerugian.
Modal yang dikeluarkan untuk pengolahan pertanian tidak sebanding dengan
hasil yang diperoleh. Tidak ada cara lain selain melakukan alih profesi dari
petani menjadi karyawan pabrik, jasa dan lainnya. Era globalisasi yang
menuntut adanya ketergantungan negara lain akan dapat menjawab persoalan

ini. Tinggal manajemen pemasarannya yang perlu diperbaiki.


Faktor yang menyebabkan krisis pangan terjadi, yaitu faktor-faktor seperti

kebutuhan objektif, permintaan efektif dan kemungkinan produksi.


Masalah pangan dalam era globalisasi yaitu untuk pemenuhan pangan bagi
manusia sangat krusial adanya, hal ini dikarenakan masalah tersebut selalu

16

berkaitan erat dengan hak asasi manusia, yaitu untuk mendapatkan kehidupan
yang layak, termasuk didalamnya untuk memiliki hidup yang sejahtera, baik
secara jasmani maupun rohani.
3.2 Saran
Pentingnya penciptaan ketahanan pangan dalam era globalisasi sebagai wahana
penguatan stabilitas ekonomi dan politik, jaminan ketersediaan pangan dengan
harga yang terjangkau dan menjanjikan untuk mendorong peningkatan produksi.
Oleh karena itu, dibutuhkan kerjasama masyarakat dan kemampuan pemerintah
untuk menjaga stabilisasi penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian.

17

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Achmad Djeani Sediaoetama, M.Sc. 2010. Ilmu Gizi Jilid 1. Jakarta : PT
Dian Rakyat
Prof. Dr. Achmad Djeani Sediaoetama, M.Sc. 2010. Ilmu Gizi Jilid 2. Jakarta : PT
Dian Rakyat
Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan. 2004. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta : PT
Rajagrafindo Persada
Suharjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara
Sunita Almatsier. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Made Antara. Orientasi Penelitian Pertanian: Memenuhi Kebutuhan Pangan
Dalam Era Globalisasi. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana, Denpasar-Bali. (online) diakses pada 15 Februari 2012
jam 13:09
Masyhuri (Staf pengjar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta) 2001. Revitalisasi
Kebijakan Pangan Nasional Dalam Era Globalisasi Dan Otonomi Daerah.
diakses pada 15 Februari 2012 jam 13:05
Ginandjar Kartasasmita (Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /
Ketua Bappenas) 2005. Membangun Kemandirian Pangan Menghadapi Era
Globalisas. diakses pada 15 Februari 2012 jam 13:00
Ginandjar Kartasasmita. 2005. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa.
(online) diakses pada 15 Februari 2012 jam 13:00

18

Sri Widodo (Universitas Gajah Mada dan Universitas Janabadra Yogyakarta).


Ketahanan Pangan Pada Era Globalisasi dan Otonomisasi. (online) diakses pada
15 Februari 2012 jam 13:03

19

Anda mungkin juga menyukai