Anda di halaman 1dari 17

PROMOSI GIZI

“Model Promosi Gizi Perilaku PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak)
terhadap Kejadian Stunting di Kota Palangka Raya MengaplikasikanTeori
Rencana Prilaku (Theory Of Planned Behavior)

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Promosi Gizi
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Endang Sutisna Sulaeman, dr. M. Kes. FISPH, FISCM
Program Studi Ilmu Gizi : Human Nutrition

Disusun Oleh:
Muhammad Aldhi Ainul Yaqiin S531908037

PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur tak lupa kita panjatkan kepada Allah
SWT atas berkat dan rahmatnya Saya dapat menyusun makalah mengenai “Model
Promosi Gizi Perilaku PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak) terhadap Kejadian
Stunting di Kota Palangka Raya MengaplikasikanTeori Rencana Prilaku (Theory Of
Planned Behavior)” ini dapat terselesaikan.
Akhirnya apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan, baik dari segi isi
maupun penulisan. Jadi besar harapan saya pembaca dapat memberikan kritik dan saran-
saran yang konstruktif sehingga dapat menjadi masukan demi perbaikan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.

Surakarta, 28 April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................................3
BAB II..................................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................................4
A. Sejarah Theory Planned Behavior.............................................................................................4
B. Definisi Theory Planned Behavior............................................................................................5
C. Komponen Theory Planned Behavior........................................................................................5
D. Kelebihan dan Kelemahan Theory Planned Behavior...............................................................9
E. Aplikasi Theory Planned Behavior Kejadian Stunting..............................................................9
BAB II................................................................................................................................................11
PENUTUP..........................................................................................................................................11
A. Kesimpulan..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gizi merupakan kebutuhan dasar bagi seorang anak untuk berkembang secara
optimal. Penelitian terkini menunjukkan dengan pemberian gizi yang benar pada 1000
hari pertama kehidupan dapat menentukan kualitas hidup anak baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang. Seribu hari pertama kehidupan dimulai sejak masa selama
kehamilan 270 hari (9 bulan) dalam kandungan dan 730 hari (2 tahun pertama) pasca
lahir. Pemberian gizi yang tidak benar (malnutrisi) yang terjadi pada awal kehidupan
akan berdampak berat pada kehidupan selanjutnya (IDAI, 2015). World Health
Organization (WHO) (2016) memperlihatkan bahwa penurunan berat badan biasanya
mulai terjadi pada usia 6 bulan dimana akhir dari periode pemberian ASI Eksklusif.
Penemuan tersebut diperkuat dengan ditemukannya dua per tiga balita yang meninggal
mempunyai pola makan yang salah, yang penyebabnya antara lain tidak mendapatkan
ASI eksklusif, mendapatkan nutrisi yang terlalu dini dan atau terlambat disertai komposisi
zat gizi yang tidak lengkap, tidak seimbang dan tidak higienis (WHO, 2017).
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting terdiri dari lima pilar, yaitu: 1)
Komitmen dan visi kepemimpinan; 2) Kampanye nasional dan komunikasi perubahan
perilaku; 3) Konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi program pusat, daerah, dan desa; 4)
Gizi dan ketahanan pangan; dan 5) Pemantauan dan evaluasi. Strategi ini
diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan berbagai institusi
pemerintah yang terkait dan institusi non-pemerintah seperti swasta, masyarakat madani,
dan komunitas. Strategi ini digunakan untuk menyasar kelompok prioritas rumah tangga
1.000 HPK dan masyarakat umum di lokasi prioritas (TNP2K, 2018). Kemudian di
daerah provinsi Kalimantan Tengah Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 14
Tahun 2019 tentang “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat Melalui Aksi Ela Hindai Stunting
Tahun 2019 yang bertujuan terwujudnya konvergensi program di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dalam menanggulangi stunting dan meningkatkan mutu gizi
perseorangan, keluarga dan masyarakat dan meningkatkan kesadaran dan mengubah
perilaku masyarakat untuk mencegah stunting di periode 1000 HPK.
Stunting adalah salah satu hambatan paling signifikan terhadap perkembangan
manusia, yang secara global memengaruhi sekitar 162 juta anak di bawah usia 5 tahun.

1
(WHO, 2014). Kemudian di Indonesia stunting mengalami penurunan yaitu pada tahun
2013 sebesar 37,2 persen mengalami penurunan menjadi 30,8 persen. Penurunan angka
stunting di Indonesia masih tinggi karena menurut WHO batas maksimal stunting adalah
sebesar 20 persen. Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan prevalensi stunting
(sangat pendek dan pendek) tertinggi ke lima di Indonesia. Persentase prevalensi balita
stunting di Kalimantan Tengah tersebut telah berada di atas rerata persentase prevalensi
nasional (30,8%) (Riskesdas, 2018). Prevalensi stunting pada balita yang tinggi harus
menjadi perhatian oleh berbagai pihak dan program. Hal ini dikarenakan stunting akan
menyebabkan dampak negatif pada berbagi aspek kehidupan manusia. Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menjelaskan bahwa balita atau baduta
stunting berisiko mengalami reduksi kecerdasan kognitif, resistensi berbagai penyakit dan
degradasi produktivitas kerja di masa depan. Ketiga dampak negatif ini akhirnya akan
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan serta memperlebar
kesenjangan status sosial sampai pada tingkat nasional (TNP2K, 2017).
Stunting merupakan masalah gizi pada anak yang paling umum mempengaruhi
jutaan anak di seluruh dunia. Stunting adalah indikator terbaik untuk mengukur
kesejahteraan anak-anak dan cerminan yang akurat dari kesenjangan sosial (De Onis &
Branca, 2016). Kesenjangan kaya dan miskin di negara-negara berpenghasilan menengah
lebih kecil prevalensi stuntingnya dibandingkan di negara-negara berpenghasilan rendah
(Da Silva et al., 2018). Berdasarkan kareksteristik sosial ekonomi, sebagian besar
kabupaten/kota di Indonesia memiliki PDRB/kapita yang rendah, sebagian
kabupaten/kota di Indonesia memiliki tingkat pendidikan rendah (Ulfani et al., 2011).
Sehingga masalah ini merupakan salah satu yang menyebabkan stunting masih tinggi di
Indonesia.
Kualitas pengasuhan, atau sejauh mana orang tua terlibat dalam merangsang dan
berinteraksi dengan anak-anak, memiliki dampak yang kuat, jangka panjang, dan
konsisten dalam perkembangan anak (Britto et al., 2017; Jeong, McCoy, & Fink, 2017).
Kualitas pengasuhan telah terbukti menjadi mediator utama dari hubungan antara
kemiskinan keluarga dan hasil negatif perkembangan dan pertumbuhan anak (Blair &
Raver, 2012; Hamadani et al., 2014). Kebiasaan anak balita/anak pra sekolah
mengonsumsi sayuran buah yang porsinya kurang, berkaitan dengan kurangnya dukungan
ibu (Febriana, & Ahmad., 2014). Ibu yang mengalami depresi dan gangguan mental
umum lainnya dalam dua tahun pertama setelah kelahiran anak akan menyebabkan anak
mengalami gizi kurang dan anak mengalami stunting (Nguyen et al., 2014).

2
Pada beberapa penelitian bahwa sikap ibu yang baik tidak menjamin status gizi
baduta juga baik. Hal ini tidak terlepas dari faktor-faktor lain yang mempengaruhi status
gizi pada bayi seperti faktor eksternal (Pendapatan, Pendidikan, Pekerjaan, Budaya) dan
faktor internal (Usia ibu, Kondisi fisik, Infeksi) (Sari F., & Evy E. 2018). Kemiskinan
keluarga juga dikaitkan dengan beberapa kondisi yang secara negatif mempengaruhi
perkembangan anak (Britto et al., 2017).
Pentingnya komunikasi perubahan perilaku, sebagaimana diindikasikan dalam
Pilar 2 (dua) Strategi Nasional Perubahan Perilaku, sudah banyak disebutkan dalam
berbagai kebijakan Pemerintah. Pilar 2 (dua) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
dan kesadaran publik sehingga memicu adopsi perilaku positif untuk mencegah stunting
di periode 1000 HPK. Pilar 2 (dua) berperan penting untuk meningkatkan efektifitas
intervensi gizi spesifik maupun sensitif (TNP2K, 2018). Sebagai upaya preventif masalah
gizi dan kesehatan maka diperlukan suatu promosi gizi. Promosi gizi yang dapat
dilakukan yaitu promosi gizi berbasis theory of planned behaviour (TPB). Pendidikan gizi
berbasis TPB efektif dalam merubah niat dan perilaku. Efektivitas pendidikan gizi
berbasis TPB dibuktikan oleh penelitian di Iran yang bertujuan meningkatkan konsumsi
susu pada anak usia sekolah, hasil penelitian tersebut menunjukkan edukasi dapat
meningkatkan sikap (p<0,001), norma subyektif (p<0,001), perceived behavioural control
(p<0,001), niat (p<0,001), dan konsumsi susu (p=0,03) (Baboli et al., 2017).

B. Tujuan
1. Mengetahui Teori Perilaku Yang Direncanakan (Theory of Planned Behaviour).
2. Mengetahui bagaimana aplikasi teori tersebut dalam kaitannya dengan prilaku PMBA
terhadap kejadian stunting.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Theory Planned Behavior


Pada awalnya banyak sekali penelitian tentang perilaku yang dihubungkan dengan
variabel sikap. Namun hasil penelitian itu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
cukup kuat antara sikap dengan perilaku aktual seseorang. Kemudian, hasil penelitian ini
dikaji kembali pada beberapa penelitian selanjutnya, dan didapatkan kesimpulan bahwa
terdapat faktor yang yang berperan sebagai penghubung antara sikap dan perilaku yaitu
niat. Niat merupakan pernyataan individu mengenai keinginannya untuk melakukan
perilaku tertentu (Aiken, 2002).
Hubungan antara niat dan perilaku ini kemudian dikaji oleh Fishbein dan Ajzen
(1975) dalam teori yang dinamakan Theory of Reasoned Action. Teori ini didasarkan
pada asumsi, bahwa manusia bertingkah laku cukup rasional dan menggunakan informasi
yang ada. Selain itu, juga terdapat asumsi lain yaitu perilaku sosial berada dalam kontrol
individu secara disadari dan yang menjadi determinan langsung dari tingkah laku adalah
niat individu untuk melakukan atau tidak melakukannya tingkah laku tersebut.
Menurut theory reasoned action, niat merupakan fungsi dari dua determinan, yaitu
determinan sikap terhadap suatu tingkah laku (attitude toward the behavior) dan
determinan norma subyektif (subjective norm). Attitude toward the behavior merupakan
penilaian seseorang bahwa melakukan sesuatu adalah positif atau negatif, setuju atau
tidak setuju terhadap tingkah laku tersebut dan subjective norm adalah persepsi seseorang
terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tingkah laku
tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975).
Banyak penelitian di bidang sosial yang membuktikan bahwa theory reasoned
action¸ merupakan teori yang cukup memadai dalam memprediksi tingkah laku. Hasil
meta analisis menyimpulkan bahwa theory reasoned action hanya berlaku bagi tingkah
laku yang dibawah kontrol individu, tetapi tidak sesuai untuk menjelaskan tingkah laku
yang tidak sepenuhnya dibawah kontrol individu, karena terdapat faktor yang
menghambat atau memfasilitasi realisasi niat ke dalam tingkah laku. Sehingga, Ajzen
menambahkan satu faktor anteseden bagi niat yang berkaitan dengan kontrol individu ini,
yaitu perceived behavior control. Penambahan satu faktor ini, mengubah theory reasoned
action menjadi theory planned behavior. (Fishbein & Ajzen, 1975) konstruk yang
ditambahkan pada theory planned behavior berguna untuk mengontrol perilaku individual
4
yang dibatasi oleh sekurang-kurangnya dan keterbatasan-keterbatasan dari kekurangan
sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilaku (Chau & Hu, 2002 dalam
Jogiyanto, 2007).

B. Definisi Theory Planned Behavior


Theory planned behavior menjelaskan bahwa perilaku yang dilakukan individu
timbul karena adanya minat untuk berperilaku. Theory planned behavior didasarkan pada
asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional yang memiliki dampak/akibat dari
tindakan dari mereka sendiri sebelum melakukan suatu tindakan/perilaku tertentu (Ajzen,
1991). Konsep mendasar dari TPB adalah intensi yang dijelaskan sebagai faktor utama
dalam TPB yang mencakup faktor motivasional yang memengaruhi perilaku. Intensi
menjadi indikator tentang sekuat atau sekeras apa orang-orang mau untuk mencoba,
tentang sebanyak apa usaha yang mereka rencanakan untuk dikerahkan, dalam rangka
untuk melakukan perilaku tertentu. Terdapat aturan utama dalam TPB, yaitu semakin kuat
intensinya untuk terlibat dalam sebuah perilaku, maka semakin besar kemungkinan
perilaku tersebut dilakukan (Ajzen, 1991). Terbentuknya intensi merupakan gabungan
dari attitude toward the behavior (hasil dari Behavioral belief), subjective norm (hasil dari
Normative belief), dan perception of behavioral control (hasil dari Control belief). Oleh
karena itu, untuk memprediksi intensi seseorang, mengetahui ketiga belief / keyakinan
tersebut menjadi sama pentingnya seperti untuk mengetahui sikap seseorang (Ajzen,
1991).

C. Komponen Theory Planned Behavior


Dalam Theory Planned Behavior, sebuah perilaku individu terjadi karena adanya
intensi, sedangkan intensi terbentuk dari 3 komponen. Komponen-komponen tersebut
meliputi attitude toward the behavior (hasil dari Behavioral belief), subjective norm (hasil
dari Normative belief), dan perception of behavioral control (hasil dari Control belief)

5
1. Behavior Belief
Behavior Belief adalah keyakinan individu bahwa perilaku akan menghasilkan
hasil yang diharapkan. Meskipun seseorang dapat memiliki banyak keyakinan tentang
perilaku apapun, namun hanya relatif kecil saja yang bisa digunakan pada saat
tertentu. Hal ini diasumsikan bahwa keyakinan digunakan dalam kombinasi dengan
nilai-nilai yang bersifat subjektif dari hasil yang diharapkan kemudian akan
menentukan sikap yang berlaku terhadap suatu perilaku (Ajzen, 2015a). Behavioral
Belief menghasilkan komponen yang disebut attitude toward the behavior.
Attitude toward the behavior (sikap) merupakan suatu kepercayaan yang
bersifat subjektif untuk menentukan positif atau negatifnya suatu perilaku.
Maksudnya, individu akan melakukan suatu perilaku tertentu apabila dia menilai
perilaku tersebut secara positif. Begitu pula sebaliknya, saat suatu perilaku tersebut
dinilai negatif maka individu tersebut tidak akan menampilkan perilaku itu (Ajzen,
2015b).
Sikap juga ditentukan oleh kepercayaan individu mengenai konsekuensi dari
perwujudan suatu perilaku (behavioral beliefs), “ditimbang” dengan hasil evaluasi
terhadap konsekuensinya (outcome evaluation). Sikap tersebut dianggap memiliki
pengaruh langsung terhadap intensi berperilaku. Kemudian dihubungkan dengan
subjective norm dan perceived behavioral control (Ajzen,1991).

Penjelasan rumus di atas adalah attitude toward the behavior (A) didapatkan
dari hasil kali keseluruhan antara belief dengan outcome (bi) dan evaluasi dengan
outcome (ei). Dapat disimpulkan bahwa seseorang yang percaya pada sebuah perilaku
akan mampu menghasilkan outcome yang positif. Akibatnya individu tersebut akan
memiliki sikap yang positif. Begitu pula sebaliknya, jika individu tersebut percaya
apabila dia melakukan sebuah tindakan akan menghasilkan outcome yang negatif.
Maka individu tersebut akan memunculkan sikap yang negatif terhadap tindakan atau
perilaku tersebut (Ajzen, 1991).

2. Normative Belief

6
Normative Belief adalah sejauh mana seseorang memiliki motivasi untuk
mengikuti pandangan orang terhadap perilaku yang akan dilakukannya. Jika individu
merasa itu adalah hak pribadinya untuk menentukan apa yang dia lakukan, bukan
ditentukan oleh orang lain di sekitarnya, maka dia akan mengabaikan pandangan
orang tentang perilaku yang akan dilakukannya (Ajzen, 2007). Normative belief
berkaitan dengan faktor lingkungan khususnya orang-orang yang significant others
dapat mempengaruhi individu dalam berperilaku. Selain itu, Normatif belief
menghasilkan komponen yang disebut subjective norm.
Menurut Baron & Byrne (2002, dalam Ajzen, 2005), Norma Subjektif adalah
persepsi individu tentang apakah orang lain akan mendukung atau tidak mendukung
perilaku yang dilakukannya. Selain itu subjective norm merupakan persepsi individu
terhadap tekanan sosial yang ada untuk menunjukkan terlibat atau ketidakterlibatan
orang lain dalam suatu perilaku. Artinya, norma yang didapatkan Individu terhadap
sejauh mana lingkungan sosial berpengaruh dalam perilaku individu tersebut (Ajzen,
2015c).

SN  ∑ ni mi
Penjelasan rumus diatas adalah Subjective Norm (SN) didapatkan dari hasil
kali keseluruhan antara normative belief tentang tingkah laku (ni) dengan motivation
to comply / motivasi untuk mengikutinya (mi). Dengan kata lain, individu percaya
bahwa orang-orang yang significant other cukup berpengaruh terhadapnya dalam
mendukung dia berperilaku, maka ini menjadi tekanan sosial bagi individu yang
melakukannya. Sebaliknya, jika individu tidak percaya bahwa orang lain yang
berpengaruh kepadanya tidak mendukung tingkah laku tersebut, maka ini ia memiliki
subjective norm untuk tidak melakukannya (Ajzen, 1991).

3. Control Belief
Menurut Ajzen (1991), perceived behavioral control merupakan persepsi
individu terhadap mudah atau tidaknya seseorang memunculkan suatu perilaku. Teori
Perceived Behavioral Control ini memiliki kemiripan dengan konsep Self-Efficacy
milik Albert Bandura, yang terhubung dengan penilaian terhadap kemampuan
seseorang untuk memunculkan suatu perilaku yang sesuai dengan situasi dan kondisi
yang sedang berlangsung. Sebagian besar pengetahuan yang kita miliki terhadap
perceived behavioral control ini berasal dari studi ilmiah milik Bandura dan

7
koleganya. Dari studi ilmiah yang mereka lakukan, diperoleh hasil bahwa perilaku
seseorang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan diri mereka untuk memunculkan
perilaku tersebut. (Ajzen, 1991).
Perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara control belief
dengan perceived power control. Control belief merupakan keprcayaan individu
mengenai faktor yang mendukung atau menghambat individu untuk melakukan
sebuah perilaku. Sedangkan, perceived power control merupakan kekuatan perasaan
individu akan setiap faktor pendukung atau penghambat tersebut (Ajzen, 1991).
Sehingga hubungan antara control belief dengan perceived power control dapat dilihat
pada rumus berikut :

PBC  ∑ ci pi
Rumus tersebut menjelaskan bahwa perceived behavioral control merupakan
hasil penjumlah dari hasil kali antara control belief tentang hadir tidaknya faktor (ci)
dengan perceived power control (pi). Sehingga semakin besar persepsi individu
mengenai kesempatan yang dimiliki dan semakin kecil hambatannya, maka semakin
besar persepsi control perilaku yang dimiliki individu tersebut.

Ketiga komponen tersebut membentuk intention. Menurut Ajzen (2005), intensi


adalah anteseden dari sebuah perilaku yang nampak, dan dapat meramalkan secara akurat
berbagai kecenderungan perilaku. Semakin besar intensi individu terhadap suatu perilaku,
maka semakin besar juga kemungkinan individu untuk memunculkan perilaku tersebut.
Artinya jika individu memiliki intensi untuk melakukan suatu perilaku maka individu
cenderung akan melakukan perilaku tersebut. Sebaliknya, jika individu tidak memiliki
intensi untuk melakukan suatu perilaku maka individu cenderung tidak akan melakukan
perilaku tersebut. (Fishbein & Ajzen, 1975). Namun intensi individu untuk berperilaku
memiliki keterbatasan waktu dalam perwujudannya ke arah perilaku nyata, maka dalam
melakukan suatu perilaku perlu diperhatikan empat elemen utama dari intensi, yaitu target
dari perilaku yang dituju (target), tindakan (action), situasi saat perilaku ditampilkan
(contex), dan waktu saat perilaku ditampilkan (time) (Fishbein & Ajzen, 1975)
Sesuai dengan kondisi pengendalian yang nyata di lapangan (actual behavioral
control), maka niat tersebut akan diwujudkan jika kesempatan itu muncul. Namun
sebaliknya, perilaku yang dimunculkan bias jadi bertentangan dengan niat individu
tersebut. Hal ini terjadi karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan memunculkan

8
perilaku yang telah diniatkan tersebut, sehingga dengan cepat akan mempengaruhi
perceived behavioral control individu tersebut. Perceived behavioral control yang telah
berubah akan mempengaruhi perilaku yang ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan
perilaku yang diniatkan sebelumnya (Fishbein & Ajzen, 1975).

D. Kelebihan dan Kelemahan Theory Planned Behavior


1. Kelebihan Theory Planned Behavior
a. Adanya Perceived Behavioral Control yang digunakan sebagai persepsi seseorang
terhadap kemudahan ataupun kesulitan membentuk suatu perilaku tertentu.
(Siregar, 2011).
b. TPB lebih detail menjelaskan variable sosial dibandingkan dengan TRA (Theory
of reasoned action) (Siregar, 2011).
c. Theory of planned behavior (TPB) mempertimbangkan bahwa subjective norms
memiliki pengaruh yang penting dan lebih berpengaruh kepada niat individu
dibandingkan dengan variabel yang lain (Ajzen, 1988).
d. Menjelaskan hubungan diantara niat perilaku dan perilaku (tindakan) dengan
bantuan dari pengendalian perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral control)
(Ajzen, 2002).

2. Kelemahan Theory Planned Behavior


a. TPB beranggapan bahwa kepercayaan pemakai bergantung pada situasi masing-
masing. Karena itu model TPB tidak berasumsi bahwa kepercayaan itu yang
berlaku pada satu konteks juga akan berlaku pada konteks yang lain (Siregar,
2011).
b. TPB memerlukan suatu studi untuk mengidentifikasi hasil relevan, kelompok
acuan, dan variabel kendali di dalam tiap-tiap konteks yang digunakan (Siregar,
2011).
c. Materi TPB memerlukan suatu alternatif perilaku eksplisit jika ingin memperoleh
hasil yang sama (Siregar, 2011).

E. Aplikasi Theory Planned Behavior Kejadian Stunting


Theory of Planned Behaviour menyatakan bahwa keyakinan perilaku individu,
keyakinan normatif dan keyakinan pengendalian masing-masing menentukan terhadap
perilaku. Sikap, norma subjektif dan persepsi kendali perilaku secara kolektif

9
memengaruhi niat perilaku dan perilaku aktual individu ketika keputusan dalam suatu
tindakan bersifat sukarela dan di bawah control individu. Menurut TPB perilaku adalah
fungsi dari niat untuk melakukan perilaku (Ajzen, 1991).
Penerapan teori perilaku terencana (TPB) untuk pemberian makan anak dapat
menjelaskan perbedaan antara niat orang tua memberi makan anak dan perilaku aktual.
Dengan mengidentifikasi sikap orangtua, norma subyektif, dan kontrol pemberian makan
anak yang dirasakan memengaruhi praktik pemberian makan anak oleh orang tua.
(Duncanson et al, 2013). Menurut Zhang et al (2009) menunjukkan bahwa TPB adalah
teori yang tepat untuk menjelaskan pengaruh faktor-faktor psikososial seperti
pengetahuan, sikap, self-efficacy, norma subjektif, dan niat pada perilaku pemberian
makan bayi, dan pedoman yang berguna untuk merancang target dan pendekatan kunci
untuk intervensi pemberian makan bayi.
Norma subyektif yang dimiliki ibu terhadap PMBA memiliki peran dalam
mencegah anak mengalami stunting. Persepsi ibu berperan dalam perilaku pemberian
makan pada anak. Oleh karena itu, anak-anak ini harus dipandang sebagai kelompok
berisiko tinggi. (Sadeh et al, 2015). Selain itu juga faktor-faktor tidak langsung yang
mempengaruhi orang tua terhadap pemberian makan pada bayi dan anak meliputi
ketersediaan makanan, pengasuhan anak, layanan kesehatan, dan sanitasi lingkungan.
Pemberian makanan yang tidak tepat merupakan salah satu alasan tingginya masalah gizi,
dari hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sumenep responden menyatakan
bahwa mereka tidak pernah menggunakan teknologi kesehatan, 90% tidak mengerti
metode pengobatan, 60% negatif Persepsi, 20% memiliki kebiasaan memberikan prioritas
makan orang tua, 90% masih mempertahankan budaya dan 60% kadang-kadang sampai
mereka tidak pernah mengubah budaya walaupun bertentangan dengan kesehatan
(Hidayat, 2013).
Menurut Karacam Z (2008) banyak dimensi yang berhubungan dengan pemberian
makanan bayi, termasuk beberapa karakteristik ibu dan bayi, rekomendasi dari
professional kesehatan dan rekomendasi dari individu lain dalam tatanan sosial keluarga.
Pada umumnya status sosial ekonomi, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, dan
pegetahuan orang tua yang rendah dapat mempengaruhi pemberian makan anak dan bayi
(Scaglioni et al, 2018).

10
BAB II
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aplikasi teori ini adalah pada perilaku PMBA terhadap kejadian stunting di kota
Palangka Raya. Langkah pertama adalah memunculkan sikap orang tua mengenai PMBA
yang baik kemudian membentuk lingkungan normatif yang bisa memberikan efek positif
terhadap orang tua mengenai PMBA. Setelah dua hal tersebut, Orang tua balita akan
melakukan kontrol sikap terhadap dirinya mengenai mampu atau tidak menerapkan
PMBA yang baik dan benar. Jika mereka merasa mampu dan tidak ada hal yang menjadi
penghambat, maka akan muncul dalam diri mereka kemauan untuk menerapkan PMBA
yang baik dan akhirnya akan terealisasi dalam perilaku mereka, sehingga kejadian
stunting akan menurun.

11
DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R. (2002). Attitude and Related Psychological Constructs. London : Sage
Publication.
Ajzen, I. (1988). Attitudes, personality, and behavior. Milton-Keynes, England: Open
University Press & Chicago, IL: Dorsey Press.
Ajzen, I. (1991). The Theory of Planned Behavior. Amherst : University of massachuseuts.
Organizational Behavior and Human Decision Process 50, 179-211.  Retrieved April
21, 2020. Dari URL http://www.nottingham.ac.uk/~ntzcl1/literature/tpb/azjen2.pdf
Ajzen, I. (2002). Perceived Behavioral Control, Self-Efficacy, Locus of Control, and the
Theory of Planned Behavior. Journal of Applied Social Psychology, 32, 665-683.
Ajzen, I. (2005) Attitude, Personality, and Behavior (Second Edition). New York : McGraw
Hill.
Ajzen, I. (2007). Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior. Englewood Cliffs,
NJ: Prentice Hall.
Ajzen, I. (2015a). Behavioral Beliefs. Retrieved April 27, 2020 from
http://people.umass.edu/aizen/bb.html.
Ajzen, I. (2015b). Attitude Toward the Behavior. Retrieved April 27, 2020 from
http://people.umass.edu/aizen/att.html.
Ajzen, I. (2015c). Subjective Norm. Retrieved April 25, 2020 from
http://people.umass.edu/aizen/sn.html.
Baboli G. A., Toranjinejad A., Gilasi R. H., Moravejy S. A., Gharlipour Z., & Ramezani T.
2017. Effect of Educational Program on Milk Consumption based on the Theory of
Planned Behavior among Girls Students. International Journal Pediatric, 5(40):4793-
4802.
Blair, C., & Raver, C. C. 2012. Child development in the context of ad‐versity: Experiential
canalization of brain and behavior. American Psychologist, 67(4), 309.
https://doi.org/10.1037/a002749.
Britto, P. R., et al. 2017. Nurturing care: Promoting early childhood development. The
Lancet, 389(10064), 91–102. https ://doi.org/10.1016/S0140‐6736(16)31390‐3.
Duncanson, K., Burrows, T., Holman, B., & Collins, C. 2013. Parents’ Perceptions of Child
Feeding. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 34(4), 227–236.
doi:10.1097/dbp.0b013e31828b2ccf.

12
Da Silva, I. C. M., França, G. V., Barros, A. J., Amouzou, A., Krasevec, J., & Victora, C. G.
2018. Socioeconomic Inequalities Persist Despite Declining Stunting Prevalence in
Low- and Middle-Income Countries. The Journal of Nutrition, 148(2), 254–258.
doi:10.1093/jn/nxx050.
De Onis, M., & Branca, F. 2016. Childhood stunting: a global perspective. Maternal & Child
Nutrition, 12, 12–26. doi:10.1111/mcn.12231 .
Febriana, R., & Ahmad S. 2014. Kebiasaan makan sayur dan buah ibu saat kehamilan
kaitannya dengan konsumsi sayur dan buah anak usia pra sekolah. Jgp, Volume 9,
Nomor 2, Juli 2014).
Fishbein, M & Ajzen, I. (1975). Belif, Attitude, Intention and Behavior : an Introduction to
Theory Research. Massachusetts : Addison-Wesley Publishing Company.
Godin, Gaston; Valois, Pierre dan Lepage, Linda. (2004). The Pattern of Influence of
Perceived Behavioral Control upon Exercising Behavior: An Application of Ajzen's
Theory of Planned Behavior. Journal of Behavioral Medicine, Vol. 16, N0. 1, 181 –
102.
Hamadani, J. D., et al. 2014. Cognitive deficit and poverty in the first 5 years of
childhood in bangladesh. Pediatrics, 134(4), e1001–e1008. https
://doi.org/10.1542/peds.2014‐0694.
Hidayat. 2013. Pengembangan Model Keperawatan Berbasis Budaya ( Etnonursing ) pada
Keluarga Etnis Madura dengan Masalah Balita Gizi Kurang di Kabupetan Sumenep,”
in Prosiding Konferensi Nasional Ppni Jawa Tengah, pp. 233–239.
IDAI. 2015. Rekomendasi praktik pemberian makan berbasis bukti pada bayi dan batita di
Indonesia untuk mencegah Malnutrisi. Unit Kerja Koordinasi Gizi dan Penyakit
Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jeong, J., McCoy, D. C., & Fink, G. 2017. Pathways between paternal and maternal
education, caregivers’ support for learning, and early child development in 44
low‐ and middle‐income countries. Early Childhood Research Quarterly, 41, 136–
148. https ://doi.org/10.1016/j.ecresq.2017.07.001.
Jogiyanto, N.M. (2007). Sistem Informasi Keperilakuan. Yogyakarta : CV Andi Offset.
Karacam Z. 2008. Factors affecting exclusive breastfeeding of healthy babies aged zero to
four months: a community-based study of Turkish women. Journal of Clinical
Nursing. Journal compilation. Blackwell Publishing Ltd.. 17; 341-349.

13
Nguyen, P. H., et al. 2014. Maternal mental health is associated with child
undernutrition and illness in Bangladesh. Vietnam and Ethiopia. Public Health
Nutrition, 17(6), 1318–1327. https ://doi.org/10.1017/S1368 980013001043.
Riskesdas. 2018. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Sadeh-Sharvit, S. et al. 2015. Child feeding perceptions among mothers with eating disorders.
Appetite, 95, 67–73. doi:10.1016/j.appet.2015.06.017.
Sari F., & Evy E. 2018. Hubungan Sikap Ibu Tentang Pemberian Makanan Bayi Dan Anak
(PMBA) Dengan Status Gizi Bayi Bawah Dua Tahun (Baduta). Journal of Health,
p77. Vol. 5. No. 2).
Scaglioni, S., De Cosmi, V., Ciappolino, V., Parazzini, F., Brambilla, P., & Agostoni, C.
(2018). Factors Influencing Children’s Eating Behaviours. Nutrients, 10(6), 706.
doi:10.3390/nu10060706.
Siregar, Khairani R. (2011). Kajian Mengenai Penerimaan Teknologi dan Informasi
Menggunakan Technology Accaptance Model (TAM). Journal Rekayasa Vol. 4, No.
1.
TNP2K. 2018. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak Kerdil (Stunting) Periode
2018-2024. Jakarta.
Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K). 2017. 100 Kabupaten/Kota
Prioritas Untuk Intervensi Stunting. Jakarta.
Ulfani, D. H., Drajat M., dan Yayuk F. B. 2011. Faktor-Faktor Sosial Ekonomi dan
Kesehatan Masyarakat Kaitannya Dengan Masalah Gizi Underweight, Stunted, dan
Wasted Di Indonesia: Pendekatan Ekologi Gizi. Journal of Nutrition and Food,
2011,6(1): 59–65. DOI: http://dx.doi.org/10.25182/jgp.2011.6.1.59-65.
WHO. 2014. Global Nutrition Targets 2025 Stunting Policy Brief.
WHO. 2016. Infant and young child feeding. Who.inf/medicastrol.
WHO. 2017. Complementary Feeding. Who.Inf/nutrition topic/Complementary Feeding.
Zhang, J., Shi, L., Chen, D., Wang, J., & Wang, Y. 2009. Using the Theory of Planned
Behavior to examine effectiveness of an educational intervention on infant feeding in
China. Preventive Medicine, 49(6), 529–534. doi:10.1016/j.ypmed.2009.10.002.

14

Anda mungkin juga menyukai