Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Cara
Penanganan Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Binuang”.
Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi isi
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik yang konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tersebut dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.
i
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Stunting (pendek) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi di dunia khususnya
di negara berkembang seperti Indonesia. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan
dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, daya tahan tubuh yang rendah,
kurangnya kecerdasan, produktivitas yang rendah dan perkembangan otak suboptimal
sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting
merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu yang mengalaminya, tetapi juga
berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal ini karena sumber
daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya
manusia normal.
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting antara lain faktor maternal, faktor lingkungan rumah,
kualitas makanan yang rendah, pemberian makan yang kurang, keamanan makanan dan
minuman, pemberian ASI (fase menyusui), infeksi, ekonomi politik, kesehatan dan
pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya, system pertanian dan pangan, air,
sanitasi dan lingkungan.
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting.4 Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya
berada di bawah rata-rata.6 Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi
stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 35,6% dan
2007 sebesar 36,8%. Artinya, pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak
Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam
sebesar 23%, dan Thailand sebesar 16%.
1
2
Berdasarkan data PSG Kabupaten Sleman di wilayah Puskesmas Moyudan tahun 2017,
kejadian stunting sebesar 18,4 %, kejadian tertinggi berada di Desa Sumber Arum yaitu
sebesar 14,7 %.8
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada anak
karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara
pemberian makanan pada anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara
langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada
anak, khususnya pada anak usia di bawah 2 tahun.
Usia 6-24 bulan merupakan usia yang sangat rawan karena pada usia ini merupakan masa
peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau ke makanan sapihan. Jika anak usia 6-24 bulan
tidak cukup gizi dari MP-ASI, maka akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kurang
gizi, oleh sebab itu dalam mengatasi masalah kurang gizi maka diperlukan perbaikan
kuantitas dan kualitas MP-ASI. Untuk memperoleh MP-ASI yang baik secara kuantitas dan
kualitas maka diperlukan peranan petugas kesehatan untuk memberikan informasi tentang
praktek pemberian makanan yang baik dan tepat untuk anak di bawah usia 2 tahun kepada
ibu, pengasuh, dan keluarga.9 Untuk meningkatakn pengetahuan dan pemahaman maka
dilakukanlah penyuluhan.
Menurut suharjo (2013) penyuluhan adalah pendekatan edukatif yang menghasilkan
perilaku individua tau masyarakat yang diperlukan dalam peningkatan pengetahuan. Dengan
adanya penyuluhan diharapkan tingkat pengetahuan ibu meningkat sehingga mampu
memberikan MP-ASI pada bayinya. Menurut penelitian dari Eka Fitriana (2017) yang
berjudul “Pengaruh Penyuluhan MP-ASI Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam
Pemberian MP-ASI Di Puskesmas Samigaluh 1” mendapatkan hasil dari analisis bivariat
diketahui bahwa besarnya p value 0,000 dimana nilai p value < 0,05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima karena nilai probabilitas <0,05 sehingga ada
pengaruh penyuluhan MP-ASI terhadap tingkat pengetahuan ibu dalam melakukan
pemberian MP-ASI.
3
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu “
1. Apa yang dimaksud dengan Stunting
2. Bagaimana cara penanganan kasus Stunting khususya diwilayah kerja Puskesmas
Binuang.
1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui Stunting
2. Untuk mengetahui Bagaimana cara penanganan kasus Stunting
1.4.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Sebagai bahan referensi bagi pembaca untuk mengetahui kasus Stunting dan dampaknya
2. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali informasi lebih
baik lagi tentang kasus stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Stunting
A. Pengertian stunting
4
5
B. Penyebab stunting
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut
beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan
stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor
penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit
infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor
lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).
a. Faktor langsung
b) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak
dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila
terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih
mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit
infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan
diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya
dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas
lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa
penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting
yang menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian
stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).
a) Ketersediaan pangan
yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu
yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012)
Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor
yang berhubungan dengan kejadian KEK adalah pengetahuan,
pola makan, makanan pantangan dan status anemia (Rahmaniar
dkk, 2013). Kekurangan energi secara kronis menyebabkan
cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan
tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan terjadinya
gangguan baik pertumbuhan maupun perkembangannya. Status
KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu yang
mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada
bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi
dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013). Selain itu, ibu
hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan
BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak
adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di
Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan
risiko kejadian stunting pada anak balita umur 6-24 bulan
(Sartono, 2013).
Kadar Hemoglobin
e) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian
ASI tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6
bulan (Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah
dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga
penting karena pada umur ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna
oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain itu pengeluaran sisa
pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena ginjal
belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari ASI Eksklusif ini
sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh,
pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat
meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak.
Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa
kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga,
pemberian ASI yang tidak Eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang
baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan
pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak Eksklusif (Al-Rahmad
dkk, 2013). Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting
dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI,
riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga,
12
jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian
ASI (Arifin dkk, 2012). Berarti dengan pemberian ASI Eksklusif kepada
bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini
juga tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia.
f) MP-ASI
Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman
selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian
makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang diberikan
bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi (Muhilal dkk, 2009).
Makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan pada
bayi setelah umur 6 bulan. Jika makanan pendamping ASI diberikan
terlalu dini (sebelum umur 6 bulan) akan menurunkan konsumsi ASI dan
bayi bisa mengalami gangguan pencernaan. Namun sebaliknya jika
makanan pendamping ASI diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi
kurang gizi, bila terjadi dalam waktu panjang (Al-Rahmad, 2013). Standar
makanan pendamping ASI harus memperhatikan angka kecukupan gizi
(AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan tekstur makanan sesuai
perkembangan umur bayi (Azrul, 2004). Penelitian yang dilakukan di
Purwokerto, menyatakan bahwa umur makan pertama merupakan faktor
resiko terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari, 2014).
Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit
infeksi seperti diare hal ini terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak
sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga
serta air yang hilang selama diare jika tidak diganti akan terjadi
malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan dehidrasi
parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Meilyasari, 2014).
Gagal tumbuh (Growth Faltering) merupakan suatukejadian yang ditemui
pada hampir setiap anak di Indonesia.Gagal tumbuh pada dasarnya merupakan
ketidakmampuananak untuk mencapai berat badan atau tinggi badan sesuaidengan
13
panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm. Inilah alasan mengapa setiap
bayi yang baru saja lahir akan diukur berat dan panjang tubuhnya, dan
dipantau terus menerus terutama di periode emas pertumbuhannya, yaitu 0
sampai 2 tahun (Kemenkes RI, 2017). Teori Thrifty Phenotype (Barker dan
Hales) menyatakan bahwa, bayi yang mengalami kekurangan gizi di dalam
kandungan dan
telah melakukan adaptasi metabolik dan endokrin secara permanen, akan
mengalami kesulitan untuk beradaptasi pada lingkungan kaya gizi pasca lahir,
sehingga menyebabkan obesitas dan mengalami gangguan toleransi terhadap
glukosa. Sebaliknya, risiko obesitas lebih kecilmapabila pasca lahir bayi tetap
mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang tidak berlebihan (Barker dan Hales). Kenyataannya di
Indonesia masih banyak ibu-ibu yang saat hamil mempunyai status gizi
kurang, misalnya kurus dan menderita Anemia. Hal ini dapat disebabkan
karena asupan makanannyaselama kehamilan tidak
mencukupi untuk kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya. Selain itu kondisi ini
dapat diperburuk oleh beban kerja ibu hamil yang biasanya sama atau lebih
berat dibandingakan
dengan saat sebelum hamil. Akibatnya, bayi tidak mendapatkan zat gizi yang
dibutuhkan, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
(Kemenkes RI, 2014).
2. Periode 0 – 6 bulan (180 hari)
Ada dua hal penting dalam periode ini yaitu melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
Inisiasi menyusu dini
adalah memberikan kesempatan kepada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri
pada ibunya dalam satu jam pertama kelahirannya. Dalam 1 jam kehidupan
pertamanya setelah dilahirkan ke dunia, pastikan mendapatkan kesempatan
untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
16
IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir pada dada atau perut sang ibu
agar bayi secara alami dapat mencari sendiri sumber air susu ibu (ASI) dan
menyusu. Sangat bermanfaat karena bayi akan mendapatkan kolostrum yang
terdapat pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan tubuh.
Tidak hanya bagi bayi, IMD juga sangat bermanfaat bagi Ibu karena
membantum mempercepat proses pemulihan pasca persalinan. Meskipun
manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak berhasil mendapatkan
kesempatan IMD, karena kurangnya pengetahuan dan dukungan dari
lingkungan(Kemenkes RI, 2017).
Dengan dilakukannya IMD maka kesempatan bayiuntuk mendapat kolostrum
semakin besar. Kolustrum merupakan ASI terbaik yang keluar pada hari ke 0-
5 setelah bayi lahir yang mengandung antibodi (zat kekebalan) yang
melindungi bayi dari zat yang dapat
menimbulkan alergi atau infeksi (Handy, 2010). ASI eksklusif adalah
pemberian ASI setelah lahir sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian
makanan lain. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan
pemberian ASI Eksklusif antara lain adalah karena kondisi bayi yaitu BBLR,
kelainan kongenital, terjadi infeksi, dan lain-lain; serta karena faktor dari
kondisi ibu yaitu pembengkakan/abses payudara, cemas dan kurang percaya
diri, ibu kurang gizi, dan ibu ingin bekerja. Selain itu, kegagalan menyusui
dapat disebabkan oleh ibu yang belum berpengalaman, paritas, umur, status
perkawinan, merokok, pengalaman menyusui yang gagal, tidak ada dukungan
keluarga, kurang pengetahuan, sikap, dan keterampilan, faktor sosial budaya
dan petugas kesehatan,rendahnya pendidikan laktasi pada saat prenatal dan
kebijakan rumah sakit yang tidak mendukung laktasi atau pemberian ASI
Eksklusif. WHO merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan
pertama dan pemberian ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun untuk
meningkatkan daya tahan tubuh anak dan mengurangi risiko kontaminasi dari
makanan/minuman selain ASI Pemberian ASI Eksklusif menurunkan risiko
infeksi saluran cerna, otitis media, alergi, kematian bayi, infeksi usus besar
dan usus halus (inflammatory bowel disease), penyakit celiac, leukemia,
17
limfoma, obesitas, dan DM pada masa yang akan datang. Pemberian ASI
Eksklusif dan meneruskan pemberian ASI hingga 2 tahun juga dapat
mempercepat pengembalian status gizi ibau, menurunkan risiko obesitas,
hipertensi, rematoid artritis, kanker payudara ibu
3. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)
Mulai usia 6 bulan ke atas, anak mulai diberikan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) karena sejak usia ini, ASI saja tidak mencukupi kebutuhan anak.
Pengetahuan dalam pemberian MP ASI menjadi sangat penting mengingat
banyak terjadi kesalahan dalam praktek pemberiannya, seperti pemberian MP
ASI yang terlalu dini pada bayi yang usianya kurang dari 6 bulan. Hal ini
dapat menyebabkan gangguan pencernaan atau diare. Teori tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fahrini (2013) yang menunjukkan
bahwa waktu memulai pemberian MP-ASI mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kejadian stunting dengan nilai p=0,038 dan OR = 1,71
(95% CI 1,02-2,85), hal ini berarti anak yang mendapatkan MP-ASI pada usia
kurang dari 6 bulan berisiko untuk mengalami kejadian stunting 1,71 kali
lebih besar dibandingkan anak yang mendapatkan MP-ASI ≥ 6 bulan (Fahrini,
2013). Sebaliknya, penundaan pemberian MP ASI (tidak memberikan MP-
ASI sesuai waktunya) akan menghambat pertumbuhan bayi karena alergi dan
zat-zat gizi yang dihasilkan dari ASI tidak mencukupi kebutuhan lagi
sehingga akan menyebabkan kurang gizi (Pudjiadi, 2005).
C. Dampak stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,
serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi (Kemenkes R.I, 2016)
Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda,
dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi
menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan
yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai
orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk
tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan
lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek
merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara
luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang
akan datang (UNICEF, 2012).
Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan
perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang
menunjukkan hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan
hasil pasar tenaga kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas
yang lebih buruk (Hoddinott et al, 2013). Anak-anak stunting memiliki gangguan
perkembangan perilaku di awal kehidupan, cenderung untuk mendaftar di sekolah
atau mendaftar terlambat, cenderung untuk mencapai nilai yang lebih rendah, dan
memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk daripada anak-anak yang normal
19
(Hoddinott et al, 2013; Prendergast dan Humphrey 2014). Efek merusak ini
diperparah oleh interaksi yang gagal terjadi. Anak yang terhambat sering
menunjukkan perkembangan keterampilan motorik yang terlambat seperti
merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi kurang,
yang semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan lingkungan (Brown dan
Pollitt 1996).
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
1. Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI.
2. Menyediakan obat cacing,
3. Menyediakan suplementasi zink,
4. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,
5. Memberikan perlindungan terhadap malaria,
6. Memberikan imunisasi lengkap,
7. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar anak stunting berusia diantara 12 – 23 bulan dengan jeniskelamin
lebih banyak laki-laki, umur ibu yang tergolong risiko rendah lebih banyak dimiliki
dibanding umur yang berisiko tinggi, sebagian besar pendidikan rendah dimiliki oleh
ibu yang memiliki anak stunting sedangkan persentase ibu yang tidak bekerja maupun
yang bekerja pada anak stunting memiiki jumlah yang sama besar.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting.
Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan
kejadian stunting.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan kejadian stunting.
5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan
kejadian stunting.
6. Riwayat penyakit infeksi merupakan faktor yang paling dominan dalam
3.2 SARAN
Dinas Kesehatan Pasaman Barat Diharapkan untuk lebih meningkatkan promosi
kesehatan berupa penyuluhan terkait penyebab dan pencegahan stunting guna
peningkatan pengetahuan ibu mengenai stunting serta pencegahan yang terkait dengan
penyakit infeksi dalam menurunkan angka morbiditas yang dapat berdampak menjadi
stunting. Puskesmas dan Tenaga Kesehatan Memberikan edukasi, penyuluhan atau leaflet
kepada ibu hamil, ibu yang memiliki anak baduta dan balita mengenai stunting secara
menyeluhan. Membina kader-kader Posyandu/gizi untuk memberikan edukasi atau
penyuluhan mengenai stunting, pengetahuan gizi, pola asuh ibu, dan kebersihan
lingkungan. Melakukan pengukuran tinggi badan secara rutin pada kegiatan posyandu
tiap bulannya guna memantau status gizi TB/U anak secara teratur.
24
DAFTAR PUSTAKA