Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

CARA PENANGAN MASALAH STUNTING DIWILAYAH KERJA


PUSKESMAS BINUANG
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Cara
Penanganan Stunting Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Binuang”.

Makalah ini kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih ada kekurangan baik dari segi isi
maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan
kritik yang konstruktif dari pembaca demi penyempurnaan makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah tersebut dapat memberikan manfaat maupun inpirasi
terhadap pembaca.

i
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................................................ 3
1.4. Manfaat Penulisan.......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................. 4
2.1. Stunting ...........................................................................Error! Bookmark not defined.
A. Pengertian stunting......................................................................................................... 4
B. Penyebab stunting ........................................................................................................... 5
C. Dampak stunting ........................................................................................................... 18
D. Upaya pencegahan stunting pada balita ..................................................................... 19
E. Program Penanganan Stunting ................................................................................... 20
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 23
3.1 KESIMPULAN ............................................................................................................. 23
3.2 SARAN .......................................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Stunting (pendek) merupakan salah satu masalah gizi yang dihadapi di dunia khususnya
di negara berkembang seperti Indonesia. Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan
dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan, kematian, daya tahan tubuh yang rendah,
kurangnya kecerdasan, produktivitas yang rendah dan perkembangan otak suboptimal
sehingga perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental. Stunting
merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi
ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Dampak stunting tidak hanya dirasakan oleh individu yang mengalaminya, tetapi juga
berdampak terhadap roda perekonomian dan pembangunan bangsa. Hal ini karena sumber
daya manusia stunting memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan sumber daya
manusia normal.
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh faktor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Beberapa faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting antara lain faktor maternal, faktor lingkungan rumah,
kualitas makanan yang rendah, pemberian makan yang kurang, keamanan makanan dan
minuman, pemberian ASI (fase menyusui), infeksi, ekonomi politik, kesehatan dan
pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya, system pertanian dan pangan, air,
sanitasi dan lingkungan.
Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi
stunting.4 Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya
berada di bawah rata-rata.6 Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi
stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 yaitu sebesar 35,6% dan
2007 sebesar 36,8%. Artinya, pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak
Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar sebesar 35%, Vietnam
sebesar 23%, dan Thailand sebesar 16%.

1
2

Berdasarkan data PSG Kabupaten Sleman di wilayah Puskesmas Moyudan tahun 2017,
kejadian stunting sebesar 18,4 %, kejadian tertinggi berada di Desa Sumber Arum yaitu
sebesar 14,7 %.8
Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada anak
karena kebiasaan pemberian MP-ASI yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara
pemberian makanan pada anak serta adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara
langsung dan tidak langsung menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada
anak, khususnya pada anak usia di bawah 2 tahun.
Usia 6-24 bulan merupakan usia yang sangat rawan karena pada usia ini merupakan masa
peralihan dari ASI ke pengganti ASI atau ke makanan sapihan. Jika anak usia 6-24 bulan
tidak cukup gizi dari MP-ASI, maka akan mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan kurang
gizi, oleh sebab itu dalam mengatasi masalah kurang gizi maka diperlukan perbaikan
kuantitas dan kualitas MP-ASI. Untuk memperoleh MP-ASI yang baik secara kuantitas dan
kualitas maka diperlukan peranan petugas kesehatan untuk memberikan informasi tentang
praktek pemberian makanan yang baik dan tepat untuk anak di bawah usia 2 tahun kepada
ibu, pengasuh, dan keluarga.9 Untuk meningkatakn pengetahuan dan pemahaman maka
dilakukanlah penyuluhan.
Menurut suharjo (2013) penyuluhan adalah pendekatan edukatif yang menghasilkan
perilaku individua tau masyarakat yang diperlukan dalam peningkatan pengetahuan. Dengan
adanya penyuluhan diharapkan tingkat pengetahuan ibu meningkat sehingga mampu
memberikan MP-ASI pada bayinya. Menurut penelitian dari Eka Fitriana (2017) yang
berjudul “Pengaruh Penyuluhan MP-ASI Terhadap Tingkat Pengetahuan Ibu Dalam
Pemberian MP-ASI Di Puskesmas Samigaluh 1” mendapatkan hasil dari analisis bivariat
diketahui bahwa besarnya p value 0,000 dimana nilai p value < 0,05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima karena nilai probabilitas <0,05 sehingga ada
pengaruh penyuluhan MP-ASI terhadap tingkat pengetahuan ibu dalam melakukan
pemberian MP-ASI.
3

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu “
1. Apa yang dimaksud dengan Stunting
2. Bagaimana cara penanganan kasus Stunting khususya diwilayah kerja Puskesmas
Binuang.

1.3.Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut
1. Untuk mengetahui Stunting
2. Untuk mengetahui Bagaimana cara penanganan kasus Stunting

1.4.Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut
1. Sebagai bahan referensi bagi pembaca untuk mengetahui kasus Stunting dan dampaknya
2. Sebagai sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali informasi lebih
baik lagi tentang kasus stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Stunting

A. Pengertian stunting

Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui defisit 2 SD


dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi refrensi
internasional. Tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau tubuh anak lebih pendek
dibandingkan dengan anak-anak lain seumurnya merupakan definisi stunting yang
ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan
dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai dengan umur anak
(WHO, 2006). Stunting dapat diartikan sebagai kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk gizi
kurang pada anak.
Administrative Committee on Coordination/Sub Committee on Nutrition
(ACC/SCN) tahun 2000, diagnosis stunting dapat diketahui melalui indeks
antopometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang
dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka
panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai atau kesehatan. Stunting yaitu
pertumbuhan linier yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari
pola makan yang buruk dan penyakit.
Stunting diartikan sebagai indicator status gizi TB/U sama dengan atau kurang
dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-rata standar atau keadaan dimana
tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan ana-anak lain seumurnya, ini
merupakan indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang memberikan
gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi lingkungan dan sosial ekonomi
(UNICEF II, 2009; WHO, 2006).

4
5

B. Penyebab stunting
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut
beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang
siklus kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan
stunting terjadi dalam 2 tahun pertama kehidupan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor
penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit
infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan
kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor
lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).

a. Faktor langsung

a) Asupan gizi balita

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan


perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan
mengalami tumbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami
kekurangan gizi sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik
sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya.
Namun apabila intervensinya terlambat balita tidak akan dapat mengejar
keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita
yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang
diterima tidak mencukupi. Penelitian yang menganalisis hasil Riskesdas
menyatakan bahwa konsumsi energi balita berpengaruh terhadap kejadian
balita pendek, selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah
tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak balita pendek
(Sihadi dan Djaiman, 2011).
6

b) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung
stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak
dapat dipisahkan. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila
terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih
mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan terhadap penyakit
infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi dengan
diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya
dengan status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas
lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa
penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting
yang menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian
stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).

a. Faktor tidak langsung

a) Ketersediaan pangan

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya


pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan
kalori dan protein anak balita di Indonesia masih di bawah Angka
Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita perempuan dan
balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-
masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO
2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak
hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas
sektor lainnya.
Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab kejadian
stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga dipengaruhi oleh
7

pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih rendah dan biaya


yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah merupakan
beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman,
2011). Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan
perkapita yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting
(Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang dilakukan di Maluku Utara
dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh banyak faktor
salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam
keluarga (Paudel et al, 2012).

b) Status gizi ibu saat hamil


Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor
tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan.
Beberapa indikator pengukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang
menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk menentukan anemia
atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan
gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil
pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan selama
hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil (Yongky, 2012;
Fikawati, 2010).
 Pengukuran LILA

Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk


mengetahui status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu
keadaan yang menunjukkan kekurangan energi dan protein
dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor
predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan nutrisi
yang kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya
penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat berbahaya baik
bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat prsalinan dan keadaan
8

yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami oleh ibu
yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012)
Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa faktor
yang berhubungan dengan kejadian KEK adalah pengetahuan,
pola makan, makanan pantangan dan status anemia (Rahmaniar
dkk, 2013). Kekurangan energi secara kronis menyebabkan
cadangan zat gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan
tidak adekuat sehingga dapat menyebabkan terjadinya
gangguan baik pertumbuhan maupun perkembangannya. Status
KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu yang
mengalami KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada
bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi
dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013). Selain itu, ibu
hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir rendah dan
BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak
adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK telah diteliti di
Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan
risiko kejadian stunting pada anak balita umur 6-24 bulan
(Sartono, 2013).

 Kadar Hemoglobin

Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi


terjadinya kekurangan sel darah merah atau hemoglobin (Hb)
pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari
anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan
asam folat, adanya penyakit gastrointestinal, serta adanya
penyakit kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri
(Moegni dan Ocviyanti, 2013).
9

Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada


saat kehamilan keperluan akan zat makanan bertambah dan
terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang
(Wiknjosastro, 2009). Nilai cut-off anemia ibu hamil adalah
bila hasil pemeriksaan Hb <11,0 g/dl (Kemenkes R.I, 2013).
Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada
pertumbuhan janin, bayi lahir prematur, bayi lahir dengan
BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi kurang sedangkan
akibat dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan
komplikasi, gangguan pada saat persalinan dan dapat
membahayakan kondisi ibu seperti pingsan, bahkan sampai
pada kematian (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Kadar
hemoglobin saat ibu hamil berhubungan dengan panjang bayi
yang nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb
semakin panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan (Ruchayati,
2012). Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko
kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada
ibu hamil dapat menyebabkan kejadian stunting pada balita.

 Kenaikan berat badan ibu saat hamil

Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan


dengan IMT saat sebelum ibu hamil. Apabila IMT ibu sebelum
hamil dalam status kurang gizi maka penambahan berat badan
seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang status
gizinya normal atau status gizi lebih. Penambahan berat badan
ibu selama kehamilan berbeda pada masing–masing trimester.
Pada trimester pertama berat badan bertambah 1,5-2 Kg,
trimester kedua 4-6 Kg dan trimester ketiga berat badan
bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu selama
hamil sekitar 9-12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
10

Pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah


satu faktor yang mempengaruhi status kelahiran bayi (Yongky,
2012). Penambahan berat badan saat hamil perlu dikontrol
karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi
sebaliknya apabila kurang dapat menyebabkan bayi lahir
dengan berat badan rendah, prematur yang merupakan faktor
risiko kejadian stunting pada anak balita.
c) Berat badan lahir
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan
oleh Anisa (2012) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di
Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram,
bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi
kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena
infeksi dan terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara
BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung
dan di Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada hubungan antara
berat badan lahir dengan kejadian stunting (Sartono, 2013). Selain itu,
penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat
kejadian stunting adalah BBLR (Milman, 2005).

d) Panjang badan lahir


Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang
dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir
bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010).
11

Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi


tersebut saat masih dalam kandungan.
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang
badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, umur
kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting. Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor risiko
kejadian stunting pada balita (Anugraheni, 2012; Meilyasari, 2014).

e) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian
ASI tanpa menambahkan dan atau mengganti dengan makanan atau
minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6
bulan (Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah
dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga
penting karena pada umur ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna
oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus selain itu pengeluaran sisa
pembakaran makanan belum bisa dilakukan dengan baik karena ginjal
belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari ASI Eksklusif ini
sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh,
pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat
meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu dan anak.
Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa
kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga,
pemberian ASI yang tidak Eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang
baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan
pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak Eksklusif (Al-Rahmad
dkk, 2013). Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012
dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting
dipengaruhi oleh berat badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI,
riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga,
12

jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah pemberian
ASI (Arifin dkk, 2012). Berarti dengan pemberian ASI Eksklusif kepada
bayi dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini
juga tertuang pada gerakan 1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah
Republik Indonesia.

f) MP-ASI
Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah makanan/minuman
selain ASI yang mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian
makanan peralihan yaitu pada saat makanan/ minuman lain yang diberikan
bersamaan dengan pemberian ASI kepada bayi (Muhilal dkk, 2009).
Makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan pada
bayi setelah umur 6 bulan. Jika makanan pendamping ASI diberikan
terlalu dini (sebelum umur 6 bulan) akan menurunkan konsumsi ASI dan
bayi bisa mengalami gangguan pencernaan. Namun sebaliknya jika
makanan pendamping ASI diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi
kurang gizi, bila terjadi dalam waktu panjang (Al-Rahmad, 2013). Standar
makanan pendamping ASI harus memperhatikan angka kecukupan gizi
(AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan tekstur makanan sesuai
perkembangan umur bayi (Azrul, 2004). Penelitian yang dilakukan di
Purwokerto, menyatakan bahwa umur makan pertama merupakan faktor
resiko terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari, 2014).
Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit
infeksi seperti diare hal ini terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak
sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink dan tembaga
serta air yang hilang selama diare jika tidak diganti akan terjadi
malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan dehidrasi
parah, malnutrisi, gagal tumbuh bahkan kematian (Meilyasari, 2014).
Gagal tumbuh (Growth Faltering) merupakan suatukejadian yang ditemui
pada hampir setiap anak di Indonesia.Gagal tumbuh pada dasarnya merupakan
ketidakmampuananak untuk mencapai berat badan atau tinggi badan sesuaidengan
13

jalur pertumbuhan normal. Kegagalan pertumbuhanyang nyata biasanya mulai terlihat


pada usia 4 bulan yangberlanjut sampai anak usia 2 tahun, dengan puncaknya pada
usia 12 bulan.
a. Titik Kritis
Adapun titik kritis yang harus diperhatikan selama periode emas (0-2 tahun)
adalah sebagai berikut:
1. Periode dalam kandungan (280 hari)
Wanita hamil merupakan kelompok yang rawan gizi.Oleh sebab itu
penting untuk menyediakan kebutuhan giziyang baik selama kehamilan agar
ibu hamil dapat memperoleh dan mempertahankan status gizi yangoptimal
sehingga dapat menjalani kehamilan dengan amandan melahirkan bayi dengan
potensi fisik dan mental yang baik, serta memperoleh energi yang cukup
untukmenyusui kelak (Arisman, 2004). Ibu hamil dengan statusgizi kurang
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, penyebab utama terjadinya
bayi pendek (stunting)dan meningkatkan risiko obesitas dan penyakit
degeneratif pada masa dewasa (The Lancet, 2013).
Kondisi status gizi kurang pada awal kehamilan dan risiko KEK pada
masa kehamilan, diikuti oleh penambahan berat badan yang kurang selama
kehamilan dapat menyebabkan ibu hamil tersebut dapat
menyebabkanpeningkatan risiko keguguran, bayi lahir mati,
kematianneonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, serta bayi lahir dengan
BBLR (Sandjaja, 2009). Penelitian ini menunjukkanbahwa %tase bayi dengan
BBLR sebanyak 6,7%. Meskipunangka BBLR dalam penelitian ini lebih
rendah dibandingkan dengan prevalensi BBLR pada tingkatNasional pada
2007 (11,5%), namun kondisi BBLR akanmeningkatkan risiko penyakit
infeksi dan kurus (wasting), serta peningkatan risiko kesakitan dan kematian
bayi barulahir, gangguan perkembangan mental, risiko penyakit tidak menular
seperti DM dan PJK (Joyce C dkk, 2016).
Janin tumbuh dengan mengambil zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi
oleh ibunya dan dari simpanan zat gizi yang berada di dalam tubuh ibunya.
Selama hamil atau menyusui seorang ibu harus menambah jumlah dan jenis
14

makanan yang dimakan untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan bayi dan


kebutuhan ibu yang sedang mengandung bayinya serta untuk memproduksi
ASI. Bila makanan ibu sehari-hari tidak cukup mengandung zat gizi yang
dibutuhkan, maka janin atau bayi akan mengambil
persediaan yang ada didalam tubuh ibunya, seperti sel lemak ibu sebagai
sumber kalori; zat besi dari simpanan di dalam tubuh ibu sebagai sumber zat
besi janin/bayi. Demikian juga beberapa zat gizi tertentu tidak disimpan di
dalam tubuh seperti vitamin C dan vitamin B yang banyak terdapat di dalam
sayuran dan buahbuahan. Sehubungan dengan hal itu, ibu harus mempunyai
status gizi yang baik
sebelum hamil dan mengonsumsi makanan yang beranekaragam baik proporsi
maupun jumlahnya (Kemenkes RI, 2014).

Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan nutrisinya agar


pembentukan, pertumbuhan danperkembangan janinnya optimal. Idealnya,
berat badan bayi saat dilahirkan adalah tidak kurang dari 2500 gram, dan
panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm. Inilah alasan mengapa setiap
bayi yang baru saja lahir akan diukur berat dan panjang tubuhnya, dan
dipantau terus menerus terutama di periode emas pertumbuhannya, yaitu 0
sampai 2 tahun (Kemenkes RI, 2017). Teori Thrifty Phenotype (Barker dan
Hales) menyatakan bahwa, bayi yang mengalami kekurangan gizi di dalam
kandungan dan telah melakukan adaptasi metabolik dan endokrin secara
permanen, akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi pada lingkungan kaya
gizi pasca lahir, sehingga menyebabkan obesitas dan mengalami gangguan
toleransi terhadap glukosa. Sebaliknya, risiko obesitas lebih kecil apabila
pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang tidak
berlebihan (Barker dan Hales).

Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupannutrisinya agar


pembentukan, pertumbuhan dan perkembangan janinnya optimal. Idealnya,
berat badan bayi saat dilahirkan adalah tidak kurang dari 2500 gram, dan
15

panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm. Inilah alasan mengapa setiap
bayi yang baru saja lahir akan diukur berat dan panjang tubuhnya, dan
dipantau terus menerus terutama di periode emas pertumbuhannya, yaitu 0
sampai 2 tahun (Kemenkes RI, 2017). Teori Thrifty Phenotype (Barker dan
Hales) menyatakan bahwa, bayi yang mengalami kekurangan gizi di dalam
kandungan dan
telah melakukan adaptasi metabolik dan endokrin secara permanen, akan
mengalami kesulitan untuk beradaptasi pada lingkungan kaya gizi pasca lahir,
sehingga menyebabkan obesitas dan mengalami gangguan toleransi terhadap
glukosa. Sebaliknya, risiko obesitas lebih kecilmapabila pasca lahir bayi tetap
mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang tidak berlebihan (Barker dan Hales). Kenyataannya di
Indonesia masih banyak ibu-ibu yang saat hamil mempunyai status gizi
kurang, misalnya kurus dan menderita Anemia. Hal ini dapat disebabkan
karena asupan makanannyaselama kehamilan tidak
mencukupi untuk kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya. Selain itu kondisi ini
dapat diperburuk oleh beban kerja ibu hamil yang biasanya sama atau lebih
berat dibandingakan
dengan saat sebelum hamil. Akibatnya, bayi tidak mendapatkan zat gizi yang
dibutuhkan, sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
(Kemenkes RI, 2014).
2. Periode 0 – 6 bulan (180 hari)

Ada dua hal penting dalam periode ini yaitu melakukan inisiasi
menyusu dini (IMD) dan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
Inisiasi menyusu dini
adalah memberikan kesempatan kepada bayi baru lahir untuk menyusu sendiri
pada ibunya dalam satu jam pertama kelahirannya. Dalam 1 jam kehidupan
pertamanya setelah dilahirkan ke dunia, pastikan mendapatkan kesempatan
untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
16

IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir pada dada atau perut sang ibu
agar bayi secara alami dapat mencari sendiri sumber air susu ibu (ASI) dan
menyusu. Sangat bermanfaat karena bayi akan mendapatkan kolostrum yang
terdapat pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan zat kekebalan tubuh.
Tidak hanya bagi bayi, IMD juga sangat bermanfaat bagi Ibu karena
membantum mempercepat proses pemulihan pasca persalinan. Meskipun
manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak berhasil mendapatkan
kesempatan IMD, karena kurangnya pengetahuan dan dukungan dari
lingkungan(Kemenkes RI, 2017).
Dengan dilakukannya IMD maka kesempatan bayiuntuk mendapat kolostrum
semakin besar. Kolustrum merupakan ASI terbaik yang keluar pada hari ke 0-
5 setelah bayi lahir yang mengandung antibodi (zat kekebalan) yang
melindungi bayi dari zat yang dapat
menimbulkan alergi atau infeksi (Handy, 2010). ASI eksklusif adalah
pemberian ASI setelah lahir sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian
makanan lain. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan
pemberian ASI Eksklusif antara lain adalah karena kondisi bayi yaitu BBLR,
kelainan kongenital, terjadi infeksi, dan lain-lain; serta karena faktor dari
kondisi ibu yaitu pembengkakan/abses payudara, cemas dan kurang percaya
diri, ibu kurang gizi, dan ibu ingin bekerja. Selain itu, kegagalan menyusui
dapat disebabkan oleh ibu yang belum berpengalaman, paritas, umur, status
perkawinan, merokok, pengalaman menyusui yang gagal, tidak ada dukungan
keluarga, kurang pengetahuan, sikap, dan keterampilan, faktor sosial budaya
dan petugas kesehatan,rendahnya pendidikan laktasi pada saat prenatal dan
kebijakan rumah sakit yang tidak mendukung laktasi atau pemberian ASI
Eksklusif. WHO merekomendasikan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan
pertama dan pemberian ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun untuk
meningkatkan daya tahan tubuh anak dan mengurangi risiko kontaminasi dari
makanan/minuman selain ASI Pemberian ASI Eksklusif menurunkan risiko
infeksi saluran cerna, otitis media, alergi, kematian bayi, infeksi usus besar
dan usus halus (inflammatory bowel disease), penyakit celiac, leukemia,
17

limfoma, obesitas, dan DM pada masa yang akan datang. Pemberian ASI
Eksklusif dan meneruskan pemberian ASI hingga 2 tahun juga dapat
mempercepat pengembalian status gizi ibau, menurunkan risiko obesitas,
hipertensi, rematoid artritis, kanker payudara ibu
3. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)
Mulai usia 6 bulan ke atas, anak mulai diberikan makanan pendamping ASI
(MP-ASI) karena sejak usia ini, ASI saja tidak mencukupi kebutuhan anak.
Pengetahuan dalam pemberian MP ASI menjadi sangat penting mengingat
banyak terjadi kesalahan dalam praktek pemberiannya, seperti pemberian MP
ASI yang terlalu dini pada bayi yang usianya kurang dari 6 bulan. Hal ini
dapat menyebabkan gangguan pencernaan atau diare. Teori tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Fahrini (2013) yang menunjukkan
bahwa waktu memulai pemberian MP-ASI mempunyai hubungan yang
signifikan terhadap kejadian stunting dengan nilai p=0,038 dan OR = 1,71
(95% CI 1,02-2,85), hal ini berarti anak yang mendapatkan MP-ASI pada usia
kurang dari 6 bulan berisiko untuk mengalami kejadian stunting 1,71 kali
lebih besar dibandingkan anak yang mendapatkan MP-ASI ≥ 6 bulan (Fahrini,
2013). Sebaliknya, penundaan pemberian MP ASI (tidak memberikan MP-
ASI sesuai waktunya) akan menghambat pertumbuhan bayi karena alergi dan
zat-zat gizi yang dihasilkan dari ASI tidak mencukupi kebutuhan lagi
sehingga akan menyebabkan kurang gizi (Pudjiadi, 2005).

b. Ciri-ciri Anak Stunting


Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anak maka perlu diketahui ciri-ciri
anak yang mengalami stunting sehingga jika anak mengalami stunting dapat
ditangani sesegera mungkin.
1. Tanda pubertas terlambat
2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak banyak melakukan eye
contact
3. Pertumbuhan terhambat
4. Wajah tampak lebih muda dari usianya
18

5. Pertumbuhan gigi terlambat


6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

C. Dampak stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode
tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua,
serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi (Kemenkes R.I, 2016)
Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda,
dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi
menunjukkan bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan
yang buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai
orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk
tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan
lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek
merupakan prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara
luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang
akan datang (UNICEF, 2012).
Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan
perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang
menunjukkan hubungan antara perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan
hasil pasar tenaga kerja seperti penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas
yang lebih buruk (Hoddinott et al, 2013). Anak-anak stunting memiliki gangguan
perkembangan perilaku di awal kehidupan, cenderung untuk mendaftar di sekolah
atau mendaftar terlambat, cenderung untuk mencapai nilai yang lebih rendah, dan
memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk daripada anak-anak yang normal
19

(Hoddinott et al, 2013; Prendergast dan Humphrey 2014). Efek merusak ini
diperparah oleh interaksi yang gagal terjadi. Anak yang terhambat sering
menunjukkan perkembangan keterampilan motorik yang terlambat seperti
merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi kurang,
yang semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan lingkungan (Brown dan
Pollitt 1996).

D. Upaya pencegahan stunting pada balita


Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-negara berkembang
berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya tersebut oleh WHO (2010)
dijabarkan sebagai berikut:

a. Zero Hunger Strategy


Stategi yang mengkoordinasikan program dari sebelas kemeterian yang berfokus pada
yang termiskin dari kelompok miskin
b. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi
Memonitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur umum dan strategi
untuk meningkatkan makanan sekolah dan promosi kebiasaan makanan sehat
c. Bolsa Familia Program
Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta keluarga miskin. Tujuannya
adalah untuk memecahkan siklus kemiskinan antar generasi
d. Sitem Surveilans Pangan dan Gizi
Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan yang determinan
e. Strategi Kesehatan Keluarga

Menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas melalui strategi perawatan primer.


Upaya penanggulangan stunting menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop
(2010) diantaranya:
a. Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)

b. Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan- 2 tahun)


20

c. Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberiam suplemen

d. Iodisasi garam secara umum \

e. Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah

f. Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi

Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan oleh Bappenas (2011) yang


disebut strategi lima pilar, yang terdiri dari:
a. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak

b. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi

c. Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam

d. Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat

e. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan


Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan
dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu
hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi
(tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat
ASI saja sampai umur 6 bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi Makanan
Pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat
makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A. Kejadian
stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan dicegah apabila
pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau
pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk
mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan pencegahan
terjadinya balita stunting (Kemenkes R.I, 2013).

E. Program Penanganan Stunting


21

Penangan stunting dilakukan melalui Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif


pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai berusia 6 tahun.
Peraturan Presiden No. 42 tahun 2013 menyatakan bahwa Gerakan 1000 HPK terdiri dari
intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi spesifik, adalah tindakan
atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK.
Sedangkan intervensi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor
kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK. Salah
satu sasaran untuk intervensi gizi sensitive adalah remaja.
Remaja merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian serius mengingat
masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke dewasa dan belum mencapai tahap
kematangan fisiologis dan psikososial. Menurut Heriana yang dikutip oleh Rosa (2012)
remaja mempunyai sifat yang selalu ingin tahu dan mempunyai kecenderungan untuk
mencoba hal-hal baru. Sehingga, apabila tidak dipersiapkan dengan baik remaja sangat
beresiko terhadap kehidupan seksual pranikah. Di berbagai daerah kira-kira separuh dari
remaja telah menikah (Anas, 2013).

a) Intervensi Gizi Spesifik


Intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi
gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan.
Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:
1. Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan
energi dan protein kronis.
2. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat,
3. Mengatasi kekurangan iodium,
4. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil,
5. Melindungi ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan: 1) Mendorong
inisiasi menyusui dini
1. (pemberian ASI jolong/colostrum),
2. Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
22

Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
1. Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI.
2. Menyediakan obat cacing,
3. Menyediakan suplementasi zink,
4. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan,
5. Memberikan perlindungan terhadap malaria,
6. Memberikan imunisasi lengkap,
7. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

b) Intervensi Gizi Sensitif


Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sector kesehatan
dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik
adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000
Hari PertamaKehidupan (HPK).
1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih, \
2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi,
3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan,
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana (KB),
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN),
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.,
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
9. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
10. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada Remaja.
11. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
12. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.
23

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebagian besar anak stunting berusia diantara 12 – 23 bulan dengan jeniskelamin
lebih banyak laki-laki, umur ibu yang tergolong risiko rendah lebih banyak dimiliki
dibanding umur yang berisiko tinggi, sebagian besar pendidikan rendah dimiliki oleh
ibu yang memiliki anak stunting sedangkan persentase ibu yang tidak bekerja maupun
yang bekerja pada anak stunting memiiki jumlah yang sama besar.
2. Terdapat hubungan yang signifikan antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting.
Terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit infeksi dengan kejadian
stunting.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan
kejadian stunting.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan kejadian stunting.
5. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga dengan
kejadian stunting.
6. Riwayat penyakit infeksi merupakan faktor yang paling dominan dalam
3.2 SARAN
Dinas Kesehatan Pasaman Barat Diharapkan untuk lebih meningkatkan promosi
kesehatan berupa penyuluhan terkait penyebab dan pencegahan stunting guna
peningkatan pengetahuan ibu mengenai stunting serta pencegahan yang terkait dengan
penyakit infeksi dalam menurunkan angka morbiditas yang dapat berdampak menjadi
stunting. Puskesmas dan Tenaga Kesehatan Memberikan edukasi, penyuluhan atau leaflet
kepada ibu hamil, ibu yang memiliki anak baduta dan balita mengenai stunting secara
menyeluhan. Membina kader-kader Posyandu/gizi untuk memberikan edukasi atau
penyuluhan mengenai stunting, pengetahuan gizi, pola asuh ibu, dan kebersihan
lingkungan. Melakukan pengukuran tinggi badan secara rutin pada kegiatan posyandu
tiap bulannya guna memantau status gizi TB/U anak secara teratur.
24

DAFTAR PUSTAKA

KEMENKES RI. (2018). ini penyebab Stunting pada anak. Retrieved


fromhttp://www.depkes.go.id/article/view/18052800006/ini-penyebabstunting-
pada-anak.html
. Dalgleish, T., Williams, J. M. G. ., Golden, A.-M. J., Perkins, N., Barrett, L. F., Barnard, P.
J., Watkins, E. (2015). PENDEK (STUNTING ) DI INDONESIA, MASALAH DAN SOLUSINYA.
Journal of Experimental Psychology
. PERSATUAN GIZI INDONESIA (PERSAGI), Ramayulis, R., Kresnawan, T., Iwaningsih, S., &
Rochani, nur’aini susilo. (2018). STOP Stunting dengan konseling gizi. (M. Dr. atmarita,
Ed.) (cetakan I). jakarta.

Anda mungkin juga menyukai