Anda di halaman 1dari 29

STUNTING PADA BALITA

Oleh:
SANDEA
Dosen pengampu:
RAHMAT ALIIMIN.S.Pd.,M.Pd

PROGRAM S-1 ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS UBUDIYAH INDONESIA
2022/2023

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat

dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang “ Stunting

Pada Balita”.

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak

akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari

penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena

itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami

dapat memperbaiki karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami

susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.


DAFTAR ISI

KATA
PENGANATAR…………………………………………………………………………………………………….
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………
1.1 Latar
belakang………………………………………………………………………………………………………
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………………………………………..
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………………………………….
1.4 Manfaat……………………………………………………………………………………………………………….
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………….
2.1 Pengertian
stunting………………………………………………………………………………………………
2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting…………………………………………………….
2.3 Penyebab terjadinya
stunting……………………………………………………………………………….
2.4 Tanda dan gejala
stunting……………………………………………………………………………………..
2.5 Ciri-ciri stunting pada
balita………………………………………………………………………………….
2.6 Penanganan stunting pada
balita………………………………………………………………………….
2.7 Cara mencegah stunting pada
balita……………………………………………………………………..
BAB III KESIMPULAN DAN
SARAN……………………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………….
3.2 Saran……………………………………………………………………………………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Kekurangan gizi masa anak-anak selalu dihubungkan dengan kekurangan vitamin

mineral yang spesifik dan berhubungan dengan mikronutrien maupun makronutrien

tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari

kekurangan intake zat gizi, dimulai dari meningkatnya risiko terhadap penyakit

infeksi dan kematian yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan

mental.1 Stunting merupakan gangguan pertumbuhan fisik yang ditandai dengan

penurunan kecepatan pertumbuhan dan merupakan dampak dari

ketidakseimbangan gizi.2 Menurut World Health Organization (WHO) Child Growth

Standart, stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)

atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD.

Stunting masih merupakan satu masalah gizi di Indonesia yang belum

terselesaikan. Stunting akan menyebabkan dampak jangka panjang yaitu

terganggunya perkembangan fisik, mental, intelektual, serta kognitif. Anak yang

terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk diperbaiki sehingga akan

berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko keturunan dengan berat

badan lahir yang rendah (BBLR).

Menurut WHO tahun 2016, prevalensi balita stunting di dunia sebesar 22,9% dan

keadaan gizi balita pendek menjadi penyebab 2,2 juta dari seluruh penyebab

kematian balita di seluruh dunia. Hampir setengah tingkat kematian pada anak-anak
di bawah lima tahun di Asia dan Afrika disebabkan oleh kekurangan gizi. Ini

menyebabkan kematian tiga juta anak per tahun.

Berdasarkan data WHO tahun 2016, di wilayah Asia Tenggara prevalensi balita

stunting mencapai 33,8%. Pada tahun 2011, Indonesia berada di peringkat lima dari

81 negara dengan jumlah anak stunting terbesar di dunia yang mencapai 7.547.000

anak. Indonesia dilaporkan memiliki jumlah anak stunting yang lebih besar daripada

beberapa negara Afrika, seperti Ethiopia, Republik Demokratik Kongo, Kenya,

Uganda, dan Sudan. Selama tahun 2007-2011, Indonesia dilaporkan memiliki anak-

anak dengan berat badan sedang, berat badan rendah, dan berat badan berlebih

yang masing-masing mencapai 13%, 18% dan 14%. Pada tahun 2012, angka

kematian anak di bawah lima tahun di Indonesia mencapai 152.000.4 Prevalensi

balita stunting di Indonesia masih fluktuatif sejak tahun 2007- 2017. Prevalensi

balita stunting di Indonesia pada tahun 2007 adalah 36,8%, tahun 2010 sebesar

35,6%, tahun 2013 sebesar 37,2%, dan tahun 2017 sebesar 29,6%.2,5 Menurut

WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika

prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia

masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi.

Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga

tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand

(16%), dan Singapura (4%).

Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah

gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan,

pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi
baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam

memenuhi kebutuhan pangan baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat

berpengaruh bagi status gizi anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap,

prevalensi berat kurang dan prevalensi kependekan lebih rendah dibandingkan

dengan keluarga yang berpenghasilan tidak tetap. Sebagaimana diketahui bahwa

asupan zat gizi yang optimal menunjang tumbuh kembang balita baik secara fisik,

psikis, maupun motorik atau dengan kata lain, asupan zat gizi yang optimal pada

saat ini merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pula

di hari depan. Tujuan dari review literatur ini adalah menganalisa efek dari

faktorfaktor risiko terhadap kejadian stunting pada balita di negara berkembang.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa penjelasan tentang stunting?

2. Apa penyebab terjadinya stunting pada balita?

3. Apa saja ciri-ciri stunting?

4. Apa saja dampak stunting:

4. Bagaimana cara mencegah stunting?


1.3 TUJUAN

A. Tujuan umum

Bertujuan untuk mengkaji faktor resiko status ekonomi orang tua dan

ketahanan pangan keluarga terhadap kejadian stunting pada balita.

B. Tujuan khusus

a. Mengetahui kasus stunting pada balita.

b. Mengetahui status ekonomi orang tua.

c. Mengetahui ketahanan pangan keluarga.

d. Menganalisis faktor resiko status ekonomi orang tua terhadap kejadian

stunting pada balita.

e. Menganalisis faktor resiko ketahanan pangan keluarga terhadap kejadian

stunting pada balita.

1.4 MANFAAT

Menambah pengetahuan dan wawasan tentang faktor resiko yang mepengaruhi

stunting pada balita usia 24-59 bulan. khususnya mengenai status ekonomi orang

tua dan ketahanan pangan keluarga.Dapat mengetahui penyebab terjadinya

stunting pada balita,Dan cara mencegah stunting pada balita. Meningkatkan


pengetahuan tentang resiko tinggi dan pengenalan tanda kelahiran pada kehamilan.

Stunting sendiri sebenarnya merupakan keadaan berhentinya pertumbuhan pada

anak.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN STUNTING

Stunting merupakan kondisi dimana balita dinyatakan memiliki panjang atau

tinggi yang pendek dibanding dengan umur. Panjang atau tinggi badannya lebih kecil

dari standar pertumbuhan anak dari WHO (Kemenkes, 2018). Stunting adalah

kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak

lebih pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan

pada masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru tampak setelah anak bersusia 2

tahun (Izwardy, 2019).

Stunting adalah anak balita (bayi di bawah lima tahun) yang gagal tumbuh akibat

dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan

gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan

tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek

(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan

(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar

baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi

stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan

nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD

(severely stunted) (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017).


Stunting merupakan permasalahan yang semakin banyak ditemukan di negara

berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan

dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Kemenkes, 2018).

Pada tahun 2015, hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi stunting di Jawa

Timur 27,1% dan di Surabaya adalah 20,3% (Kementerian Kesehatan RI, 2016).

Kelurahan Medokan Semampir Sebagai wilayah mitra program ini merupakan salah

satu wilayah kerja Puskesmas Keputih Surabaya. Di sana stunting masih menjadi

masalah serius. Berbasarkan data di 2017 prevalensi stunting sebesar 30,48% di

Kelurahan Medokan Semampir. Salah satu faktor yang berpengaruh pada kejadian

stunting adalah makanan pengganti asi (MP-ASI) yang kurang tepat dan sehat. Pola

makan ibu dapat berkontribusi dalam meningkatkan angka kejadian stunring. Ibu

memiliki tanggung jawab utama untuk memilih, menyiapkan, dan menyajikan

makanan bergizi untuk anak-anak mereka. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan

sebagai upaya penyelesaian masalah gizi anak stunting. Luaran yang diharapkan

melalui program ini adalah modul pembuatan menu modifikasi makanan sehat,

produk makanan dan meningkatkan status kesehatan keluarga terutama anak.

Dengan upaya perbaikan gizi berbasis modifikasi makanan pengganti asi (MP-ASI)

yang ekonomis serta menarik yang memiliki manfaat meningkatkan status

kesehatan anak diharapkan angka stunting dapat dikurangi dan masyarakat juga bisa

memperoleh keuntungan dari program tersebut.

Pola pemberian makanan oleh orang tua pada anak balita merupakan gambaran

mengenai kecukupan asupan gizinya yang meliputi kualitas varian makanan,

kuantitas dan waktu makan dalam pemenuhan nutrisi. Setiap jenjang usia memiliki
pola pemberian makan yang berbeda dan masing-masing daerah memiliki cara yang

berbeda-beda pula menurut budaya yang ada di masyarakat. Seperti halnya pada

masyarakat Suku Sasak di Nusa Tenggara Barat (NTB),dimana dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat menerapkan kebiasaan pola makan yang Putri Wahyu

Mardihani, Fadly Husai Solidarity 10 (2) (2021) ditentukan oleh budaya. Salah

satunya pola makan pada anak balita, yang mana masyarakat Suku Sasak dalam

pemberian makan pada balita hanya mementingkan adanya bumbu yang terdapat

dalam makanan dibandingkan dengan kandungan zat gizinya (Nurbaiti, 2014). Hal

tersebut tentunya tidak sesuai dengan konsep gizi seimbang yang dibutuhkan oleh

anak sehingga dapat menghambat pertumbuhannya.

Banyak faktor penyebab terjadinya stunting sehingga menunjukkan bahwa

stunting merupakan masalah gizi yang kompleks. Pencegahan stunting dapat

dilakukan melalui pendekatan gizi dan non gizi, pentingnya perbaikan gizi dan

kesehatan pada wanita usia subur seperti remaja, calon pengantin, bumil, dan

bunifas. Apabila masalah ini tidak diatasi maka pada masa yang akan datang dapat

terjadi hilangannya generasi yang dapat mengganggu kelangsungan pembangunan

dimasa yang akan dating.

Jumlah kasus balita stunting di Asia sebanyak 55% dan 39% balita stunting lainnya

berada di Afrika pada tahun 2017. Indonesia menjadi negara penyumbang kasus

balita stunting tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar 36,4% pada tahun 2017.

Berdasarkan Data Pemantauan Status Gizi, stunting menempati urutan pertama

masalah gizi pada balita dibandingkan gizi kurang, obesitas, dan kurus dalam kurun

tiga tahun terakhir.(Efendi et al., 2021)(Laili & Andriani, 2019) Jumlah kasus balita
stunting meningkat dari 27,5% pada tahun 2016 menjadi 29,6% pada tahun 2017

(Kemenkes RI, 2018). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018,

terdapat 17,6% kasus balita kurus, 30,8% kasus balita stunting, dan 9,3% kasus balita

wasting. World Health Organization (WHO) menetapkan toleransi jumlah kasus

balita stunting sebesar 20% dimana Indonesia melaporkan sebesar 30% balita

stunting. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kasus stunting

di Indonesia melebihi angka toleransi yang ditetapkan WHO.(Rilyani, 2021)(Atikah

Rahayu, S.KM. et al., 2018) Provinsi Jawa Tengah melaporkan sebesar 3,7% kasus

balita gizi buruk dan 13,68% kasus balita gizi kurang. Berdasarkan data profil

kesehatan kabupaten/kota, prevalensi balita gizi kurang sebesar 5,4% kasus, balita

sangat pendek sebesar 31,15% kasus, balita Jurnal Abdimas Indonesia Volume 4

Nomor 2 (2022) 100-103 | 101 kurus sebesar 2,69% kasus, dan balita pendek

sebesar. 20,06% kasus pada tahun 2019. Kabupaten Kudus mencatat sebesar 3,6%

kasus balita gizi kurang, 4,7% kasus balita pendek, dan 2.9% kasus balita kurus.

Balita stunting di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Kudus sebanyak 2.871 kasus

(4,7%).(Kemenkes RI., 2021)(Ministry of Rural Development and Transmigration,

2017).

2.2 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA STUNTING

A. Status Gizi

Stunting (kerdil) merupakan kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi

badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. kondisi ini diukur dengan
menghitung panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus 2 standar deviasi

median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kementerian Kesehatan RI, 2018).

Hasil penelitian diketahui bahwa status gizi balita dengan p value = 0,022 < 0,05, OR

= 0,009, hal ini berarti bahwa status gizi balita mempengaruhi terjadinya stunting

dan menjadi ting pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Mugiyati, dkk (2018) bahwa asupan konsumsi energi berhubungan

dengan kejadian stunting.

Asupan gizi yang tidak adekuat akan mempengaruhi pertumbuhan fisik pada

anak (Mugianti, Mulyadi, Khoirul, & Najah, 2018) .Status gizi pada anak sebagai

salah satu tolak ukur dalam penilaian kecukupan asupan gizi harian dan Variabel B

SE p Value OR 95,00% Status gizi -4.677 2.041 0,022 0,009 0,000 – 0,508 Tinggi

badan ibu -3.303 1.334 0,013 0,037 0,003 – 0,502 Riwayat Konsumsi Fe 4.589 2.803

0,102 98.444 0,405-23934 Riwayat penyakit penyerta kehamilan -0.925 1.683 0,583

0,397 0,015-10,749 Pemberian ASI Ekslusif -3.562 1.961 0,069 0,028 0,001 – 1,326

Masalah kesehatan pada Anak -1.000 1.455 0,492 0,368 0,021-6,370 Kebiasaan

Makan makanan Instan -2.964 1.391 0,033 0,052 0,003-0789 Ekonomi Keluarga -

1.070 1.441 0,458 0,343 0,020-5781 80 penggunaan zat gizi untuk kebutuhan tubuh.

jika asupan nutrisi anak terpenuhi dan dapat digunakan seoptimal mungkin maka

pertumbuhan dan perkembangan anak akan menjadi optimal, dan sebaliknya

apabila status gizi anak bermasalah maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak hingga dewasa.


B. Masalah kesehatan anak

Hasil analisis bivariat diketahui bahwa masalah kesehatan pada anak diketahui

nilai p value =0,004 < 0,05 dapat diketahui bahwa masalah kesehatan pada anak

berhubungan dengan kejadian stunting pada balita, meskipun demikian dalam

analisis multivariat masalah kesehatan pada anak bukan sebagai faktor resiko

terjadinya stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Aridiyah, dkk ( 2015) bahwa penyakit infeksi berhubungan dengan kejadian

stunting pada anak balita yang berada di pedesaan maupun perkotaan

(Aridiyah et al., 2015). Masalah kesehatan pada anak yang paling sering terjadi

adalah masalah infeksi seperti diare, infeksi saluran pernafasan atas, kecacingan dan

penyakit

lain yang berhubungan dengan gangguan kesehatan kronik. Masalah kesehatan anak

dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan dikarenakan intake makanan

menurun,menurunnya absorbsi zat gizi oleh tubuh yang menyebabkan tubuh

kehilalangan zat gizi yang dibutuhakan untuk pertumbuhan dan perkembangan.

Masalah kesehatan yang berlanjut menyebabkan imunitas tubuh mengalami

penurunan, sehingga mempermudah terjadinya penyakit atau infeksi. Kondisi yang

demikian apabila terjadi secara terus menerus maka dapat menyebabkan gangguan

gizi kronik yang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan seperti stunting.

C. Pantang Makan

Tarak / pantang makanan tertentu yang dikonsumsi anak memang seharusnya

dilakukan hal ini karena tidak semua makanan baik dan sehat untuk anak. Beberapa
makanan yang dikonsumsi anak dapat menyebabkan alergi,muntah, atau

tersedak.Beberapa makanan yang tidak diajurkan untuk dikonsumsi seperti

makanan yang bersoda yang apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat

menyebabkan masalah kesehatan, makanan yang mengandung bahan pengawet

dan kadar gula gula tinggi juga dapat meningkatkan berbagai resiko kesehatan pada

anak, hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Laili, dkk (2008)

bahwa intake makanan dan ketahanan pangan dalam keluarga mempengaruhi

kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun (Ayik Nikmatul Lailli, Al Munawar,

2018).

D.Kebiasaan Makan Makanan Instan

kebiasaan makan makanan instan berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita, selain itu hasil analisis multivariat diketahui bahwa nilai p value = 0,033

dengan OR = 0,052 dengan demikian kebiasan makan makanan instan pada anak

beresiko pada kejadian stunting 0,052 lebih besar dibandingkan dengan anak yang

tidak memiliki kebiasan makan makanan instan. Makanan instan merupakan

makanan yang mudah dalam hal pengolahan, namun demikian makanan instan

mengandung kalori yang tinggi, serta mengandung kadar gula, lemak dan garam

yang tinggi. Makanan instan apabila dikonsumsi dalam waktu yang lama akan

meningkatkan berat badan yang mengarah kepada obesitas pada

anak, makanan instan juga meningkatkan resiko diabetes tipe 2 dikarenakan

kandungan kalori dan lemak tinggi yang mampu meningkatkan lonjakan gula darah

dalam tubuh. Anak yang sering mengkonsumsi makanan instan dapat meningkatkan
kerusakan gigi, serta gangguan pada pernafasan akibat obesitas, dan resiko kanker.

Meskipun makanan instan justru meningkatkan obesitas, tetapi bukan berarti bahwa

asupan gizi mikro dan makro bagi pertumbuhan dan perkembangan pada anak,

sehingga pertumbuhannya tidak sesuai dengan usia. Hal ini diperkuat dengan

penelitian yang dilakukan oleh Payab, dkk (2015) bahwa konsumsi junk food

meningkatkan dan beresiko secara umum pada kejadian obesitas (Payab et al.,

2015).

E. Tinggi badan ibu

Amin dan Julia (2014) bahwa tinggi badan orang tua berkaitan dengan kejadian

stunting pada anak, terutama pada ibu yang memiliki tinggi badan <150, dimana ibu

yang pendek beresiko melahirkan anak yang stunting 1,98 kali lebih besar

dibandingkan dengan tinggi badan yang normal. (Nur Afia Amin, 2014)

F. Konsumsi Tablet besi

riwayat konsumsi tablet besi diketahui nilai p value = 0,166 dengan demikian

riwayat konsumsi tablet besi selama kehamilan tidak berhubungan dengan kejadian

stunting pada balita. Meskipun demikian perbaikan gizi pada ibu hamil dengan

pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama kehamilan sangat penting diberikan

selain untuk memelihara kesehatan ibu juga digunakan untuk kebutuhan kecukupan

besi selama kehamilan yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan

janin. Pemberian tablet besi juga merupakan salah satu program pemerintah dalam

upaya menurunkan angka stunting yang diprogramkan oleh Kementerian desa,

pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi (Kemendesa, 2017).


G. Riwayat Antenatal

Riwayat antenatal care dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan kejadian

stunting, hal ini diketahui dari hasil analisis bivariat dimana p value = 0,554. Hasil

penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Najanah, dkk

(2013) bahwa kunjungan antenatal tidak standar berhubungan dan beresiko

mempunyai balita stunting 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang

melakukan ANC standar (Najahah, Adhi, Ngurah, & Pinatih, 2013).. Pelayanan

kesehatan masa hamil bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh

pelayanan kesehatan yang berkualitas sehingga mampu menjalani kehamilan yang

sehat, bersalin, dengan selamat dan melahirkan bayi yang sehat dan

berkualitas. Pelaynan antenatal dilakukan semasa konsepsi hingga mulainya proses

persalinan, dan dilaksanakan sekurang – kurangnya 4 kali selama masa kehamilan

(Kementrian Kesehatan RI, 2014).

H. Pemberian ASI ekslusif

Diketahui bahwa pemberian ASI Ekslusif dengan kejadian stunting dengan p

Value = 0,000 < 0,05 berarti bahwa pemberian Asi ekslusif berhubungan dengan

kejadian stunting pada balita, meskipun demikian ternyata ASI ekslusif bukan

sebagai factor resiko terjadinya stunting berdasarkan analisis data multivariat p

value = 0,069. Hasil

penelitian sejalan dengan Ni’mah dan Nadhiroh tahun 2015 dimana balita yang

tidak

mendapatkan ASI Ekslusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok balita
stunting dibandingkan dengan kelompok balita normal, dan diketahui terdapat

hubungan antara pemberian Asi ekslusif dengan kejadian stunting (Ni’mah &

Nadhiroh, 2015). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rahmad dan

Miko (2016) bahwa tidak memberikan ASI ekslusif menyebabkan terjadinya stunting

pada balita di Banda Aceh, sekaligus bahwa tidak memberikan ASI Ekslusif menjadi

faktor dominan sebagai penyebab resiko anak mengalami stunting (Rahmad & Miko,

2016).

I. Kondisi ekonomi keluarga

Diketahui bahwa pada kondisi ekonomi analisis bivariat nilai p value = 0.06 <

0,05, pada analisis multivariat diketahui bahwa kondisi ekonomi dengan nilai p value

=0,458 OR = 0,343, hal ini berarti bahwa kondisi ekonomi tidak berhubungan dan

bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting pada balita. pendapatan atau

kondisi ekonomi keluarga yang kurang biasanya akan berdampak kepada hal akses

terhadap bahan makanan yang terkait dengan daya beli yang rendah, selain itu

apabila daya beli rendah maka mungkin bisa terjadi kerawanan pangan di tingkat

rumah tangga. (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Hasil berbeda didapatkan dari

penelitian Rahmad dan Miko ( 2016) yang menyimpulkan bahwa pendapatan

keluarga yang rendah berhubungan dengan stunting pada balita di Banda Aceh.

(Rahmad &Miko, 2016).

2.3 Penyebab Terjadinya Stunting


Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya stunting, di antaranya:
1. Pengetahuan ibu yang kurang memadai

Sejak di dalam kandungan, nutrisi yang ibu konsumsi turut mendukung tumbuh

kembang janin. Makanya, seorang ibu perlu memiliki pengetahuan tentang

makanan bergizi supaya nutrisi harian ibu dan janin tercukupi dengan baik.

Begitu pula setelah Si Kecil lahir, 1.000 hari pertama kehidupan (0–2 tahun)

adalah waktu yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada

masa ini, bayi membutuhkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan tambahan makanan

pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas setelahnya. Oleh karena itu, ibu harus

memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gizi anak.

Faktor lainnya yang juga dapat memicu stunting adalah jika anak terlahir dengan

kondisi sindrom alkohol janin (fetus alcohol syndrome). Kondisi ini bisa terjadi ketika

ibu tidak mengetahui bahwa mengonsumsi alkohol saat hamil bisa membahayakan

kesehatan buah hati.

2. Infeksi berulang atau kronis

Penyakit infeksi berulang yang dialami sejak bayi menyebabkan tubuh anak

selalu membutuhkan energi lebih untuk melawan penyakit. Jika kebutuhan ini tidak

diimbangi dengan asupan yang cukup, anak pun akan mengalami kekurangan gizi

dan akhirnya berujung dengan stunting.

Terjadinya infeksi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan ibu dalam cara

menyiapkan makan untuk anak. Sebab, tidak semua ibu memahami makanan apa

saja yang baik untuk tumbuh kembang buah hati dan seberapa banyak porsi yag

harus diberikan kepada anak sesuai usianya.


3. Sanitasi yang buruk

Sulitnya sumber air bersih dan sanitasi yang buruk menyebabkan stunting pada

anak. Penggunaan air sumur yang tidak bersih untuk masak atau minum, disertai

kurangnya ketersediaan kakus merupakan penyebab terbanyak terjadinya infeksi.

Kedua hal ini bisa meningkatkan risiko anak berulang-ulang menderita diare dan

infeksi cacing usus (cacingan).

4. Terbatasnya layanan kesehatan

Hingga saat ini, di Indonesia masih terdapat daerah yang kekurangan layanan

kesehatan. Padahal, selain untuk memberikan perawatan pada anak atau ibu hamil

yang sakit, tenaga kesehatan juga dibutuhkan untuk memberi pengetahuan

mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak di masa awal kehidupannya.

Stunting pada anak dapat memengaruhi kesehatan serta tumbuh kembangnya

dari ia kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek, stunting pada anak menyebabkan

terganggunya perkembangan otak, metabolisme tubuh, dan pertumbuhan fisik.

2.4 TANDA DAN GEJALA STUNTING

Menurut Kemenkes RI (2010), balita pendek atau stunting bisa diketahui bila

seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan

dengan standar dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran normal, dengan

ciri-ciri lain seperti:

1) Pertumbuhan melambat
2) Wajah tampak lebih mudah dari balita seusianya

3) Pertumbuha gigi terlambat

4) Usia 8-10 tahun nanti anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan

kontak mata terhadap orang di sekitarnya.

2.5 CIRI-CIRI STUNTING PADA BALITA

Ciri-ciri stunting pada balita yaitu:

a) Pertumbuhan melambat

b) Wajah tampak lebih muda dari anak seusianya

c) Pertumbuhan gigi terlambat

d) Performa buruk pada kemampuan fokus dan memori belajarnya

e) Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak

mata terhadap orang disekitarnya

f) Berat badan balita tidak naik bahkan cenderung menurun

g) Perkembangan tubuh anak terhambat, seperti telah menstruasi pertama pada

anak perempuan

h) Anak mudah teserang berbagai penyakit infeks

I) Bertumbuh pendek
j) Menurunnya kemampuan kognitif

k) Bertambah gemuk

l) Pertumbuhan gigi terlambat

m) Anak cenderung lebih pendiam

2.6 PENANGANAN STUNTING PADA BALITA

Pada umumnya penanganan stunting pada anak dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

a. Salah satu penanganan pertama yang bisa dilakukan untuk anak dengan

tinggi tinggi badan dibawah normal yang didiagnosis stunting,yaitu dengan

memberikannya pola asuh yang tepat.

b. Pemberian ASI ekslusif sampai usia 6 bulan,serta pemberian ASI bersamaan

dengan MP-ASI samapai anak berusia 6 tahun.

c. Ketentuan pemberian tersebut sebaiknya mengandung minimal 4 atau lebih

dari tujuh jenis makanan meliputi serelis atau umbi-umbian,kacang-

kacangan,produk olahan susu,telur atau sumber protein lain,dan asupan

kaya vitamin A.

Adapun kegiatan yang dilakukan utntuk penanganan stunting ini diawali dengan

penggalian informasi kepada pihak pihak terkait mengenai kasus stunting seperti:

a. Kader posyandu
b. Forum Kesehatan Desa (FKD)

c. Bidan desa

2.7 CARA MENCEGAH STUNTING PADA BALITA

1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil

Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada

anak adalah selalu memenuhi gizi sejak masa kehamilan. Lembaga

kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu

yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat nan bergizi

maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang

menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan

kesehatannya ke dokter atau bidan.

2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI

ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro

dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama

enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu

ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat

Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan

makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang

dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI

untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau

penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat

akan menentukan produk tambahan tersebut. Konsultasikan dulu dengan dokter.

4. Terus memantau tumbuh kembang anak

Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari

tinggi dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun

klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui

gejala awal gangguan dan penanganannya.

5. Selalu jaga kebersihan lingkungan

Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit,

terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak

langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan di Harvard Chan

School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan

kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan

kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.Semoga informasi ini membantu para

ibu mencegah stunting dan meningkatkan kualitas kesehatan anak.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Stunting adalah anak balita (bayi di bawah lima tahun) yang gagal tumbuh akibat

dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan

gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan

tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun.

Ada 4 jenis intervensi dalam upaya penanggulangan stunting pada anak

batita ,yaitu pemberian zat gizi tunggal, kombinasi 2–3 zat gizi, multi-zat-gizi-mikro,

dan zat gizi plus penambahan energi (zat gizi makro). Intervensi pada bayi dengan

memberikan zat gizi tunggal, kombinasi 2-3 zat gizi atau multi-zat-gizi-mikro

mempunyai hasil yang tidak konklusif bervariasi terhadap peningkatan panjang

badan atau pertumbuhan bayi atau anak.

3.2 SARAN
Intervensi zat gizi tetap harus memper-timbangkan dosis, frekuensi pemberian

serta prioritas terhadap kelompok rawan, seperti batita yang mempunyai masalah

defisiensi, baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Upaya penanggulanga stunting

harus dimulai sejak masa periode ibu hamil.

DAFTAR PUSTAKA

Losong NHF, Adriani M. Perbedaan kadar hemoglobin,asupan zat besi,dan zinc pada

balita stunting dan non stunting.Amerta Nurt.2017;1(2):117-223.

Kemenkes. (2018). Buletin stunting. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

301(5), 1163-1178.

Hall, Cougar et al. 2018. Maternal Knowledge of Stunting in Rural Indonesia.

International journal of Child Health and Nutrition. Volume 7. Number 4. Page 139-

145.

Tampubolon, Joyakin, dkk. (2021). Modul Pencegahan dan Penanganan Stunting,

Jakarta:Tanoto Foundation, hal. 1.

Stunting on Toddlers in Rural and Urban Areas. e-Jurnal Pustaka Kesehatan.3(1).

163-170

Anda mungkin juga menyukai