Oleh:
SANDEA
Dosen pengampu:
RAHMAT ALIIMIN.S.Pd.,M.Pd
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang “ Stunting
Pada Balita”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak
akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena
itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami
dapat memperbaiki karya ilmiah ini. Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami
KATA
PENGANATAR…………………………………………………………………………………………………….
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………….
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………
1.1 Latar
belakang………………………………………………………………………………………………………
1.2 Rumusan masalah………………………………………………………………………………………………..
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………………………………………….
1.4 Manfaat……………………………………………………………………………………………………………….
BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………….
2.1 Pengertian
stunting………………………………………………………………………………………………
2.2 Faktor yang mempengaruhi terjadinya
stunting…………………………………………………….
2.3 Penyebab terjadinya
stunting……………………………………………………………………………….
2.4 Tanda dan gejala
stunting……………………………………………………………………………………..
2.5 Ciri-ciri stunting pada
balita………………………………………………………………………………….
2.6 Penanganan stunting pada
balita………………………………………………………………………….
2.7 Cara mencegah stunting pada
balita……………………………………………………………………..
BAB III KESIMPULAN DAN
SARAN……………………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………………………………………………….
3.2 Saran……………………………………………………………………………………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
tertentu. Beberapa tahun terakhir ini telah banyak penelitian mengenai dampak dari
kekurangan intake zat gizi, dimulai dari meningkatnya risiko terhadap penyakit
Standart, stunting didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U)
atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD.
terkena stunting hingga usia 5 tahun akan sulit untuk diperbaiki sehingga akan
berlanjut hingga dewasa dan dapat meningkatkan risiko keturunan dengan berat
Menurut WHO tahun 2016, prevalensi balita stunting di dunia sebesar 22,9% dan
keadaan gizi balita pendek menjadi penyebab 2,2 juta dari seluruh penyebab
kematian balita di seluruh dunia. Hampir setengah tingkat kematian pada anak-anak
di bawah lima tahun di Asia dan Afrika disebabkan oleh kekurangan gizi. Ini
Berdasarkan data WHO tahun 2016, di wilayah Asia Tenggara prevalensi balita
stunting mencapai 33,8%. Pada tahun 2011, Indonesia berada di peringkat lima dari
81 negara dengan jumlah anak stunting terbesar di dunia yang mencapai 7.547.000
anak. Indonesia dilaporkan memiliki jumlah anak stunting yang lebih besar daripada
Uganda, dan Sudan. Selama tahun 2007-2011, Indonesia dilaporkan memiliki anak-
anak dengan berat badan sedang, berat badan rendah, dan berat badan berlebih
yang masing-masing mencapai 13%, 18% dan 14%. Pada tahun 2012, angka
balita stunting di Indonesia masih fluktuatif sejak tahun 2007- 2017. Prevalensi
balita stunting di Indonesia pada tahun 2007 adalah 36,8%, tahun 2010 sebesar
35,6%, tahun 2013 sebesar 37,2%, dan tahun 2017 sebesar 29,6%.2,5 Menurut
gizi, terutama dalam hal asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan,
pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi
baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Kemampuan keluarga dalam
memenuhi kebutuhan pangan baik dalam jumlah maupun mutu gizinya sangat
berpengaruh bagi status gizi anak. Keluarga dengan penghasilan relatif tetap,
asupan zat gizi yang optimal menunjang tumbuh kembang balita baik secara fisik,
psikis, maupun motorik atau dengan kata lain, asupan zat gizi yang optimal pada
saat ini merupakan gambaran pertumbuhan dan perkembangan yang optimal pula
di hari depan. Tujuan dari review literatur ini adalah menganalisa efek dari
A. Tujuan umum
Bertujuan untuk mengkaji faktor resiko status ekonomi orang tua dan
B. Tujuan khusus
1.4 MANFAAT
stunting pada balita usia 24-59 bulan. khususnya mengenai status ekonomi orang
anak.
BAB II
PEMBAHASAN
tinggi yang pendek dibanding dengan umur. Panjang atau tinggi badannya lebih kecil
dari standar pertumbuhan anak dari WHO (Kemenkes, 2018). Stunting adalah
kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis sehingga anak
lebih pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan
pada masa awal kehidupan setelah lahir, tetapi baru tampak setelah anak bersusia 2
Stunting adalah anak balita (bayi di bawah lima tahun) yang gagal tumbuh akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek
(stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan
(PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar
nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD
dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Kemenkes, 2018).
Pada tahun 2015, hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) prevalensi stunting di Jawa
Timur 27,1% dan di Surabaya adalah 20,3% (Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Kelurahan Medokan Semampir Sebagai wilayah mitra program ini merupakan salah
satu wilayah kerja Puskesmas Keputih Surabaya. Di sana stunting masih menjadi
Kelurahan Medokan Semampir. Salah satu faktor yang berpengaruh pada kejadian
stunting adalah makanan pengganti asi (MP-ASI) yang kurang tepat dan sehat. Pola
makan ibu dapat berkontribusi dalam meningkatkan angka kejadian stunring. Ibu
sebagai upaya penyelesaian masalah gizi anak stunting. Luaran yang diharapkan
melalui program ini adalah modul pembuatan menu modifikasi makanan sehat,
Dengan upaya perbaikan gizi berbasis modifikasi makanan pengganti asi (MP-ASI)
kesehatan anak diharapkan angka stunting dapat dikurangi dan masyarakat juga bisa
Pola pemberian makanan oleh orang tua pada anak balita merupakan gambaran
kuantitas dan waktu makan dalam pemenuhan nutrisi. Setiap jenjang usia memiliki
pola pemberian makan yang berbeda dan masing-masing daerah memiliki cara yang
berbeda-beda pula menurut budaya yang ada di masyarakat. Seperti halnya pada
Mardihani, Fadly Husai Solidarity 10 (2) (2021) ditentukan oleh budaya. Salah
satunya pola makan pada anak balita, yang mana masyarakat Suku Sasak dalam
pemberian makan pada balita hanya mementingkan adanya bumbu yang terdapat
dalam makanan dibandingkan dengan kandungan zat gizinya (Nurbaiti, 2014). Hal
tersebut tentunya tidak sesuai dengan konsep gizi seimbang yang dibutuhkan oleh
dilakukan melalui pendekatan gizi dan non gizi, pentingnya perbaikan gizi dan
kesehatan pada wanita usia subur seperti remaja, calon pengantin, bumil, dan
bunifas. Apabila masalah ini tidak diatasi maka pada masa yang akan datang dapat
Jumlah kasus balita stunting di Asia sebanyak 55% dan 39% balita stunting lainnya
berada di Afrika pada tahun 2017. Indonesia menjadi negara penyumbang kasus
balita stunting tertinggi di Asia Tenggara yaitu sebesar 36,4% pada tahun 2017.
masalah gizi pada balita dibandingkan gizi kurang, obesitas, dan kurus dalam kurun
tiga tahun terakhir.(Efendi et al., 2021)(Laili & Andriani, 2019) Jumlah kasus balita
stunting meningkat dari 27,5% pada tahun 2016 menjadi 29,6% pada tahun 2017
(Kemenkes RI, 2018). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018,
terdapat 17,6% kasus balita kurus, 30,8% kasus balita stunting, dan 9,3% kasus balita
balita stunting sebesar 20% dimana Indonesia melaporkan sebesar 30% balita
stunting. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa jumlah kasus stunting
Rahayu, S.KM. et al., 2018) Provinsi Jawa Tengah melaporkan sebesar 3,7% kasus
balita gizi buruk dan 13,68% kasus balita gizi kurang. Berdasarkan data profil
kesehatan kabupaten/kota, prevalensi balita gizi kurang sebesar 5,4% kasus, balita
sangat pendek sebesar 31,15% kasus, balita Jurnal Abdimas Indonesia Volume 4
Nomor 2 (2022) 100-103 | 101 kurus sebesar 2,69% kasus, dan balita pendek
sebesar. 20,06% kasus pada tahun 2019. Kabupaten Kudus mencatat sebesar 3,6%
kasus balita gizi kurang, 4,7% kasus balita pendek, dan 2.9% kasus balita kurus.
Balita stunting di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Kudus sebanyak 2.871 kasus
2017).
A. Status Gizi
Stunting (kerdil) merupakan kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. kondisi ini diukur dengan
menghitung panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus 2 standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kementerian Kesehatan RI, 2018).
Hasil penelitian diketahui bahwa status gizi balita dengan p value = 0,022 < 0,05, OR
= 0,009, hal ini berarti bahwa status gizi balita mempengaruhi terjadinya stunting
dan menjadi ting pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Mugiyati, dkk (2018) bahwa asupan konsumsi energi berhubungan
Asupan gizi yang tidak adekuat akan mempengaruhi pertumbuhan fisik pada
anak (Mugianti, Mulyadi, Khoirul, & Najah, 2018) .Status gizi pada anak sebagai
salah satu tolak ukur dalam penilaian kecukupan asupan gizi harian dan Variabel B
SE p Value OR 95,00% Status gizi -4.677 2.041 0,022 0,009 0,000 – 0,508 Tinggi
badan ibu -3.303 1.334 0,013 0,037 0,003 – 0,502 Riwayat Konsumsi Fe 4.589 2.803
0,102 98.444 0,405-23934 Riwayat penyakit penyerta kehamilan -0.925 1.683 0,583
0,397 0,015-10,749 Pemberian ASI Ekslusif -3.562 1.961 0,069 0,028 0,001 – 1,326
Masalah kesehatan pada Anak -1.000 1.455 0,492 0,368 0,021-6,370 Kebiasaan
Makan makanan Instan -2.964 1.391 0,033 0,052 0,003-0789 Ekonomi Keluarga -
1.070 1.441 0,458 0,343 0,020-5781 80 penggunaan zat gizi untuk kebutuhan tubuh.
jika asupan nutrisi anak terpenuhi dan dapat digunakan seoptimal mungkin maka
apabila status gizi anak bermasalah maka akan mempengaruhi pertumbuhan dan
Hasil analisis bivariat diketahui bahwa masalah kesehatan pada anak diketahui
nilai p value =0,004 < 0,05 dapat diketahui bahwa masalah kesehatan pada anak
analisis multivariat masalah kesehatan pada anak bukan sebagai faktor resiko
terjadinya stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Aridiyah, dkk ( 2015) bahwa penyakit infeksi berhubungan dengan kejadian
(Aridiyah et al., 2015). Masalah kesehatan pada anak yang paling sering terjadi
adalah masalah infeksi seperti diare, infeksi saluran pernafasan atas, kecacingan dan
penyakit
lain yang berhubungan dengan gangguan kesehatan kronik. Masalah kesehatan anak
demikian apabila terjadi secara terus menerus maka dapat menyebabkan gangguan
C. Pantang Makan
dilakukan hal ini karena tidak semua makanan baik dan sehat untuk anak. Beberapa
makanan yang dikonsumsi anak dapat menyebabkan alergi,muntah, atau
makanan yang bersoda yang apabila dikonsumsi dalam jangka waktu lama dapat
dan kadar gula gula tinggi juga dapat meningkatkan berbagai resiko kesehatan pada
anak, hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Laili, dkk (2008)
kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun (Ayik Nikmatul Lailli, Al Munawar,
2018).
balita, selain itu hasil analisis multivariat diketahui bahwa nilai p value = 0,033
dengan OR = 0,052 dengan demikian kebiasan makan makanan instan pada anak
beresiko pada kejadian stunting 0,052 lebih besar dibandingkan dengan anak yang
makanan yang mudah dalam hal pengolahan, namun demikian makanan instan
mengandung kalori yang tinggi, serta mengandung kadar gula, lemak dan garam
yang tinggi. Makanan instan apabila dikonsumsi dalam waktu yang lama akan
kandungan kalori dan lemak tinggi yang mampu meningkatkan lonjakan gula darah
dalam tubuh. Anak yang sering mengkonsumsi makanan instan dapat meningkatkan
kerusakan gigi, serta gangguan pada pernafasan akibat obesitas, dan resiko kanker.
Meskipun makanan instan justru meningkatkan obesitas, tetapi bukan berarti bahwa
asupan gizi mikro dan makro bagi pertumbuhan dan perkembangan pada anak,
sehingga pertumbuhannya tidak sesuai dengan usia. Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Payab, dkk (2015) bahwa konsumsi junk food
meningkatkan dan beresiko secara umum pada kejadian obesitas (Payab et al.,
2015).
Amin dan Julia (2014) bahwa tinggi badan orang tua berkaitan dengan kejadian
stunting pada anak, terutama pada ibu yang memiliki tinggi badan <150, dimana ibu
yang pendek beresiko melahirkan anak yang stunting 1,98 kali lebih besar
dibandingkan dengan tinggi badan yang normal. (Nur Afia Amin, 2014)
riwayat konsumsi tablet besi diketahui nilai p value = 0,166 dengan demikian
riwayat konsumsi tablet besi selama kehamilan tidak berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Meskipun demikian perbaikan gizi pada ibu hamil dengan
pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama kehamilan sangat penting diberikan
selain untuk memelihara kesehatan ibu juga digunakan untuk kebutuhan kecukupan
janin. Pemberian tablet besi juga merupakan salah satu program pemerintah dalam
Riwayat antenatal care dalam penelitian ini tidak berhubungan dengan kejadian
stunting, hal ini diketahui dari hasil analisis bivariat dimana p value = 0,554. Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Najanah, dkk
mempunyai balita stunting 2,4 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang
melakukan ANC standar (Najahah, Adhi, Ngurah, & Pinatih, 2013).. Pelayanan
kesehatan masa hamil bertujuan untuk memenuhi hak setiap ibu hamil memperoleh
sehat, bersalin, dengan selamat dan melahirkan bayi yang sehat dan
Value = 0,000 < 0,05 berarti bahwa pemberian Asi ekslusif berhubungan dengan
kejadian stunting pada balita, meskipun demikian ternyata ASI ekslusif bukan
penelitian sejalan dengan Ni’mah dan Nadhiroh tahun 2015 dimana balita yang
tidak
mendapatkan ASI Ekslusif selama 6 bulan pertama lebih tinggi pada kelompok balita
stunting dibandingkan dengan kelompok balita normal, dan diketahui terdapat
hubungan antara pemberian Asi ekslusif dengan kejadian stunting (Ni’mah &
Nadhiroh, 2015). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Rahmad dan
Miko (2016) bahwa tidak memberikan ASI ekslusif menyebabkan terjadinya stunting
pada balita di Banda Aceh, sekaligus bahwa tidak memberikan ASI Ekslusif menjadi
faktor dominan sebagai penyebab resiko anak mengalami stunting (Rahmad & Miko,
2016).
Diketahui bahwa pada kondisi ekonomi analisis bivariat nilai p value = 0.06 <
0,05, pada analisis multivariat diketahui bahwa kondisi ekonomi dengan nilai p value
=0,458 OR = 0,343, hal ini berarti bahwa kondisi ekonomi tidak berhubungan dan
bukan sebagai faktor resiko terjadinya stunting pada balita. pendapatan atau
kondisi ekonomi keluarga yang kurang biasanya akan berdampak kepada hal akses
terhadap bahan makanan yang terkait dengan daya beli yang rendah, selain itu
apabila daya beli rendah maka mungkin bisa terjadi kerawanan pangan di tingkat
rumah tangga. (Kementerian Kesehatan RI, 2018). Hasil berbeda didapatkan dari
keluarga yang rendah berhubungan dengan stunting pada balita di Banda Aceh.
Sejak di dalam kandungan, nutrisi yang ibu konsumsi turut mendukung tumbuh
makanan bergizi supaya nutrisi harian ibu dan janin tercukupi dengan baik.
Begitu pula setelah Si Kecil lahir, 1.000 hari pertama kehidupan (0–2 tahun)
adalah waktu yang sangat krusial untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Pada
masa ini, bayi membutuhkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan tambahan makanan
pendamping ASI (MPASI) yang berkualitas setelahnya. Oleh karena itu, ibu harus
Faktor lainnya yang juga dapat memicu stunting adalah jika anak terlahir dengan
kondisi sindrom alkohol janin (fetus alcohol syndrome). Kondisi ini bisa terjadi ketika
ibu tidak mengetahui bahwa mengonsumsi alkohol saat hamil bisa membahayakan
Penyakit infeksi berulang yang dialami sejak bayi menyebabkan tubuh anak
selalu membutuhkan energi lebih untuk melawan penyakit. Jika kebutuhan ini tidak
diimbangi dengan asupan yang cukup, anak pun akan mengalami kekurangan gizi
Terjadinya infeksi sangat erat kaitannya dengan pengetahuan ibu dalam cara
menyiapkan makan untuk anak. Sebab, tidak semua ibu memahami makanan apa
saja yang baik untuk tumbuh kembang buah hati dan seberapa banyak porsi yag
Sulitnya sumber air bersih dan sanitasi yang buruk menyebabkan stunting pada
anak. Penggunaan air sumur yang tidak bersih untuk masak atau minum, disertai
Kedua hal ini bisa meningkatkan risiko anak berulang-ulang menderita diare dan
Hingga saat ini, di Indonesia masih terdapat daerah yang kekurangan layanan
kesehatan. Padahal, selain untuk memberikan perawatan pada anak atau ibu hamil
mengenai gizi untuk ibu hamil dan anak di masa awal kehidupannya.
dari ia kecil hingga dewasa. Dalam jangka pendek, stunting pada anak menyebabkan
Menurut Kemenkes RI (2010), balita pendek atau stunting bisa diketahui bila
seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan
dengan standar dan hasil pengukurannya ini berada pada kisaran normal, dengan
1) Pertumbuhan melambat
2) Wajah tampak lebih mudah dari balita seusianya
4) Usia 8-10 tahun nanti anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan
a) Pertumbuhan melambat
e) Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan kontak
anak perempuan
I) Bertumbuh pendek
j) Menurunnya kemampuan kognitif
k) Bertambah gemuk
Pada umumnya penanganan stunting pada anak dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Salah satu penanganan pertama yang bisa dilakukan untuk anak dengan
kaya vitamin A.
Adapun kegiatan yang dilakukan utntuk penanganan stunting ini diawali dengan
penggalian informasi kepada pihak pihak terkait mengenai kasus stunting seperti:
a. Kader posyandu
b. Forum Kesehatan Desa (FKD)
c. Bidan desa
maupun suplemen atas anjuran dokter. Selain itu, perempuan yang sedang
Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI
ternyata berpotensi mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro
dan makro. Oleh karena itu, ibu disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama
enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey dan kolostrum yang terdapat pada susu
ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi yang terbilang rentan.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat
Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan
makanan pendamping atau MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang
dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang sebelumnya selalu berasal dari ASI
penambahan nutrisi ke dalam makanan. Di sisi lain, sebaiknya ibu berhati-hati saat
Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari
tinggi dan berat badan anak. Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun
klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi ibu untuk mengetahui
terutama kalau lingkungan sekitar mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak
kesehatan tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan
kotoran yang masuk ke dalam tubuh manusia.Semoga informasi ini membantu para
3.1 KESIMPULAN
Stunting adalah anak balita (bayi di bawah lima tahun) yang gagal tumbuh akibat
dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan
gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan
batita ,yaitu pemberian zat gizi tunggal, kombinasi 2–3 zat gizi, multi-zat-gizi-mikro,
dan zat gizi plus penambahan energi (zat gizi makro). Intervensi pada bayi dengan
memberikan zat gizi tunggal, kombinasi 2-3 zat gizi atau multi-zat-gizi-mikro
3.2 SARAN
Intervensi zat gizi tetap harus memper-timbangkan dosis, frekuensi pemberian
serta prioritas terhadap kelompok rawan, seperti batita yang mempunyai masalah
defisiensi, baik zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Upaya penanggulanga stunting
DAFTAR PUSTAKA
Losong NHF, Adriani M. Perbedaan kadar hemoglobin,asupan zat besi,dan zinc pada
301(5), 1163-1178.
International journal of Child Health and Nutrition. Volume 7. Number 4. Page 139-
145.
163-170