Anda di halaman 1dari 32

T MAKALAH GIZI MASYARAKAT DAN STUNTING

OLEH:

NAMA-NAMA KELOMPOK 5
1. Romario Atolo
2. Rudi Faah
3. Sefrianti Ninef
4. Suorpi H. Otu
5. Toni Natonis

KELAS : A / V

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmatserta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah komunitas judul gizi
masyarakat dan stunting.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat membantu menambah wawasan kita
menjadi lebih luas lagi.
kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini.
Atas perhatian dan waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.

Kupang 08 januari 2021

Penulis
Daftar isi
Judul: TMAKALAH PENYAKIT KUSTA

Kata pengantar…………………………………………………………………II

Daftar isi………………………………………………………………………..II

BAB I

PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Tujuan...........................................................................................................2

1. Tujuan Umum............................................................................................2

2. Tujuan Khusus...........................................................................................2

BAB II

PEMBAHASAN.....................................................................................................3

A. Stunting.........................................................................................................3

1. Pengertian stunting....................................................................................3

2. Penyebab stunting......................................................................................4

a. faktor langsung………………………………………………………………………………………………4

1. Asupan gizi balita……………………………………………………………………………..4

2. Penyakit infeksi………………………………………………………………..……………….4

b. faktor tidak langsung…………………………………………………………………………………….5

1. kesediaan pangan………………………………………………………………………………5

2. status gizi ibu saat hamil…………………………………………………………………….6

3. berat badan lahir………………………………………………………………………………9

4. panjang badan lahi…………………………………………………………………………….10

5. ASI ekslusif………………………………………………………………………………………..11

6.MP-ASI………………………………………………………………………………………………12

3. Penilaian stunting secara antropometri....................................................13


4. Dampak stunting......................................................................................14

5. Upaya pencegahan stunting pada balita..................................................15

B. Status Gizi...................................................................................................17

1. Pengertian Status Gizi.............................................................................17

2. Penilaian Status Gizi...............................................................................19

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita...............................19

4. Asupan nutrisi..........................................................................................23

5. Sanitasi lingkungan.................................................................................25

BAB III

PENUTUP.............................................................................................................27

A. Kesimpulan.................................................................................................27

B. Saran............................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................28
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Stunting adalah keadaan paling umum dari bentuk kekurangan gizi


(PE/ mikronutrien), yang mempengaruhi bayi sebelum lahir dan awal
setelah lahir, terkait dengan ukuran ibu, gizi selama ibu hamil, dan
pertumbuhan janin. Menurut Sudiman dalam Ngaisyah, stunting pada anak
balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang dapat
memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara
keseluruhan di masa lampau dan pada 2 tahun awal kehidupan anak dapat
memberikan dampak yang sulit diperbaiki. Salah satu faktor sosial
ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan
ketahanan pangan keluarga.

Status ekonomi orang tua dapat dilihat berdasarkan pendapatan


orang tua. Pendapatan keluarga merupakan pendapatan total keluarga yang
diperoleh dari berbagai sumber, yaitu hasil kepala keluarga, hasil istri,
hasil pemberian, hasil pinjaman, dan hasil usaha sampingan per bulan.3
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ngaisyah pada tahun 2015
menunjukkan bahwa pada kelompok stunting lebih banyak pendapatannya
adalah dibawah UMR yakni sebanyak 67 responden (35,8%) , sedangkan
yang memiliki pendapatan diatas UMR hanya sedikit yakni sebanyak 45
orang (22%). Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Lestari et all. tahun
2014 menunjukkan bahwa pendapatan keluarga yang rendah merupakan
faktor resiko kejadian stunting pada balita 6- 24 bulan. Anak dengan
pendapatan keluarga yang rendah memiliki resikomenjadi stunting sebesar
8,5 kali dibandingkan pada anak dengan pendapatan tinggi. Rendahnya
tingkat pendapatan secara tidak langsung akan menyebabkan terjadinya
stunting hal ini dikarenankan menurunnya daya beli pangan baik secara
kuantitas maupun kualitas atau terjadinya ketidaktahanan pangan dalam
keluarga.
Menurut Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 2002 dan UU Pangan
No 18 Tahun 2012 tentang Ketahanan Pangan, maka ketahanan pangan
merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah, maupun
mutunya, aman, merata, dan konsumsi pangan yang cukup merupakan
syarat mutlak terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga.
Ketidaktahanan pangan dapat digambarkan dari perubahan konsumsi
pangan yang mengarah pada penurunan kuantitas dan kualitas termasuk
perubahan frekuensi konsumsi makanan pokok. Ketahanan pangan
keluarga erat hubungannya dengan ketersediaan pangan yang merupakan
salah satu faktor atau penyebab tidak langsung yang berpengaruh pada
status gizi anak. Gizi buruk menyebabkan terhambatnya pertumbuhan
pada balita, sehingga tinggi badan anak tidak sesuai dengan umurnya atau
disebut dengan balita pendek atau stunting.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami tentang stunting dan status gizi pada
masyarakat
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu:
a. Menjelaskan tentang stunting
b. Menjelaskan tentang status gizi
BAB II

PEMBAHASAN
A. Stunting
1. Pengertian stunting

Stunting adalah keadaan tubuh yang pendek hingga melampaui


defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan populasi yang
menjadi refrensi internasional. Tinggi badan berdasarkan umur rendah,
atau tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-anak lain
seumurnya merupakan definisi stunting yang ditandai dengan
terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam
mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai dengan umur
anak (WHO, 2006).

Stunting dapat diartikan sebagai kekurangan gizi kronis atau


kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator
jangka panjang untuk gizi kurang pada anak. Administrative
Committee on Coordination/Sub Committee on Nutrition (ACC/SCN)
tahun 2000, diagnosis stunting dapat diketahui melalui indeks
antopometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan
pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan
indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai atau kesehatan. Stunting yaitu pertumbuhan linier yang gagal
untuk mencapai potensi genetik sebagai akibat dari pola makan yang
buruk dan penyakit.

Stunting diartikan sebagai indicator status gizi TB/U sama


dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah
rata-rata standar atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek
dibandingkan dengan ana-anak lain seumurnya, ini merupakan
indikator kesehatan anak yang kekurangan gizi kronis yang
memberikan gambaran gizi pada masa lalu dan yang dipengaruhi
lingkungan dan sosial ekonomi (UNICEF II, 2009; WHO, 2006).
2. Penyebab stunting

Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif


menurut beberapa penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa
kanak-kanak dan sepanjang siklus kehidupan. Proses terjadinya
stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi dalam 2
tahun pertama kehidupan.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting


pada anak. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor
langsung maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian
stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan
penyebab tidak langsungnya adalah pola asuh, pelayanan kesehatan,
ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi
faktor lainnya (UNICEF, 2008; Bappenas, 2013).

a) Faktor langsung
1) Asupan gizi balita

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk


pertumbuhan dan perkembangan tubuh balita. Masa kritis ini
merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang
dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi
sebelumnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik
sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai dengan
perkembangannya. Namun apabila intervensinya terlambat
balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan
pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita
yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila
asupan yang diterima tidak mencukupi. Penelitian yang
menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi
energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek,
selain itu pada level rumah tangga konsumsi energi rumah
tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya anak
balita pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).

2) Penyakit infeksi

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab


langsung stunting, Kaitan antara penyakit infeksi dengan
pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya
penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi
kekurangan asupan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan
lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan
terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan
membantu perbaikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan
asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.

Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti


cacingan, Infeksi saluran pernafasan Atas (ISPA), diare dan
infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu
pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas
lingkungan hidup dan perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada
beberapa penelitian yang meneliti tentang hubungan penyakit
infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare
merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak
umur dibawah 5 tahun (Paudel et al, 2012).

b) Faktor tidak langsung


1.) Ketersediaan pangan

Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada


kurangnya pemenuhan asupan nutrisi dalam keluarga itu
sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di
Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang
dapat mengakibatkan balita perempuan dan balita laki-laki
Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7
cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pada standar rujukan WHO
2005 (Bappenas, 2011). Oleh karena itu penanganan masalah
gizi ini tidak hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun
juga melibatkan lintas sektor lainnya.

Ketersediaan pangan merupakan faktor penyebab


kejadian stunting, ketersediaan pangan di rumah tangga
dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga
yang lebih rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran
pangan yang lebih rendah merupakan beberapa ciri rumah
tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa
pendapatan perkapita yang rendah merupakan factor risiko
kejadian stunting (Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang
dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa
stunting dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah
faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam keluarga
(Paudel et al, 2012).

2.) Status gizi ibu saat hamil

Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak


faktor, faktor tersebut dapat terjadi sebelum kehamilan maupun
selama kehamilan. Beberapa indicator pengukuran seperti

1. kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar


Hb dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak
2. Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan
gizi masa lalu dari ibu untuk menentukanKEK atau tidak
3. hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan
berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT
ibu sebelum hamil (Yongky, 2012; Fikawati, 2010).
a. Pengukuran LILA

Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk


mengetahui status KEK ibu tersebut. KEK merupakan suatu
keadaan yang menunjukkan kekurangan energi dan protein
dalam jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013).
Faktor predisposisi yang menyebabkan KEK adalah asupan
nutrisi yang kurang dan adanya faktor medis seperti
terdapatnya penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat
berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko pada saat
prsalinan dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat
hamil sering dialami oleh ibu yang mengalami KEK
(Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012)

Penelitian di Sulawesi Barat menyatakan bahwa


faktor yang berhubungan dengan kejadian KEK adalah
pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan status
anemia (Rahmaniar dkk, 2013). Kekurangan energi secara
kronis menyebabkan cadangan zat gizi yang dibutuhkan
oleh janin dalam kandungan tidak adekuat sehingga dapat
menyebabkan terjadinya gangguan baik pertumbuhan
maupun perkembangannya. Status KEK ini dapat
memprediksi hasil luaran nantinya, ibu yang mengalami
KEK mengakibatkan masalah kekurangan gizi pada bayi
saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan bayi
dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013). Selain itu,
ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir
rendah dan BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan
gizi tidak adekuat. Hubungan antara stunting dan KEK
telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat
hamil dapat meningkatkan risiko kejadian stunting pada
anak balita umur 6-2bulan (Sartono, 2013).

b. Kadar Hemoglobin

Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu


kondisi terjadinya kekurangan sel darah merah atau
hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor
predisposisi dari anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi,
vitamin B12, dan asam folat, adanya penyakit
gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun
adanya riwayat dari keluarga sendiri (Moegni dan
Ocviyanti, 2013).

Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena


pada saat kehamilan keperluan akan zat makanan
bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah
dan sumsum tulang (Wiknjosastro, 2009). Nilai cut-off
anemia ibu hamil adalah bila hasil pemeriksaan Hb <11,0
g/dl (Kemenkes R.I, 2013). Akibat anemia bagi janin
adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi lahir
prematur, bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan
cadangan zat besi kurang sedangkan akibat dari anemia
bagi ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi, gangguan
pada saat persalinan dan dapat membahayakan kondisi ibu
seperti pingsan, bahkan sampai pada kematian (Direktorat
Bina Gizi dan KIA, 2012). Kadar hemoglobin saat ibu
hamil berhubungan dengan panjang bayi yang nantinya
akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb semakin panjang
ukuran bayi yang akan dilahirkan (Ruchayati, 2012).
Prematuritas, dan BBLR juga merupakan faktor risiko
kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia
pada ibu hamil dapat menyebabkan kejadian stunting pada
balita
c. Kenaikan berat badan ibu saat hamil

Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan


dengan IMT saat sebelum ibu hamil. Apabila IMT ibu
sebelum hamil dalam status kurang gizi maka penambahan
berat badan seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan
ibu yang status gizinya normal atau status gizi lebih.
Penambahan berat badan ibu selama kehamilan berbeda
pada masing–masing trimester. Pada trimester pertama
berat badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg
dan trimester ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total
kenaikan berat badan ibu selama hamil sekitar 9-12 Kg
(Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

Pertambahan berat badan saat hamil merupakan


salah satu faktor yang mempengaruhi status kelahiran bayi
(Yongky, 2012). Penambahan berat badan saat hamil perlu
dikontrol karena apabila berlebih dapat menyebabkan
obesitas pada bayi sebaliknya apabila kurang dapat
menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah,
prematur yang merupakan faktor risiko kejadian stunting
pada anak balita.

3) Berat badan lahir

Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan


dan perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian
yang dilakukan oleh Anisa (2012) menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan
kejadian stunting pada balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang
lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu bayi yang
lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan
berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi
kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan
terkena infeksi dan terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan
KIA, 2012).

Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan


antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu
penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta menyatakan hal
yang sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir
dengan kejadian stunting (Sartono, 2013). Selain itu, penelitian
yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat
kejadian stunting adalah BBLR (Milman, 2005).

4) Panjang badan lahir

Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa


kehamilan menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin
sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan
lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan
lahir normal bila panjang badan lahir bayi tersebut berada pada
panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010). Panjang badan lahir
pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat
masih dalam kandungan. Penentuan asupan yang baik sangat
penting untuk mengejar panjang badan yang seharusnya. Berat
badan lahir, panjang badan lahir, umur kehamilan dan pola
asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian
stunting. Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor
risiko kejadian stunting pada balita (Anugraheni, 2012;
Meilyasari, 2014).

5) ASI Eksklusif

ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik


Indonesia Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI
Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa menambahkan dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan
kepada bayi sejak baru dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes
R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan telah dapat
terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga
penting karena pada umur ini, makanan selain ASI belum
mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di dalam usus
selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa
dilakukan dengan baik karena ginjal belum sempurna
(Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri
sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh,
pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis
serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu
dan anak.

Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh


menyatakan bahwa kejadian stunting disebabkan oleh
rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak
Eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi
yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan
pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak Eksklusif (Al-
Rahmad dkk, 2013). Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin
pada tahun 2012 dengan hasil penelitian yang menyatakan
bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat
lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit
infeksi, pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak
antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah
pemberian ASI (Arifin dkk, 2012). Berarti dengan pemberian
ASI Eksklusif kepada bayi dapat menurunkan kemungkinan
kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan
1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik
Indonesia.
6) MP-ASI

Pengertian dari MP-ASI menurut WHO adalah


makanan/minuman selain ASI yang mengandung zat gizi yang
diberikan selama pemberian makanan peralihan yaitu pada saat
makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan
pemberian ASI kepada bayi (Muhilal dkk, 2009). Makanan
pendamping ASI adalah makanan tambahan yang diberikan
pada bayi setelah umur 6 bulan. Jika makanan pendamping ASI
diberikan terlalu dini (sebelum umur 6 bulan) akan
menurunkan konsumsi ASI dan bayi bisa mengalami gangguan
pencernaan.

Namun sebaliknya jika makanan pendamping ASI


diberikan terlambat akan mengakibatkan bayi kurang gizi, bila
terjadi dalam waktu panjang (Al-Rahmad, 2013). Standar
makanan pendamping ASI harus memperhatikan angka
kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan
tekstur makanan sesuai perkembangan umur bayi (Azrul,
2004). Penelitian yang dilakukan di Purwokerto, menyatakan
bahwa umur makan pertama merupakan faktor resiko terhadap
kejadian stunting pada balita (Meilyasari, 2014). Pemberian
MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi
seperti diare hal ini terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak
sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat gizi seperti zink
dan tembaga serta air yang hilang selama diare jika tidak
diganti akan terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang
dapat menimbulkan dehidrasi parah, malnutrisi, gagal tumbuh
bahkan kematian (Meilyasari, 2014).
3. Penilaian stunting secara antropometri

Untuk menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara


pengukuran. Pengukuran tinggi bada menurut umur dilakukan pada
anak umur diatas dua tahun. Antropometri merupakan ukuran dari
tubuh sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari
beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan
tingkatan gizi, yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan
energi dan protein. Antropometri dilakukan untuk pengukuran
pertumbuhan tinggi badan dan berat badan (Gibson, 2005).

Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan


rekomendasi National Canter of Health Statistics (NCHS) dan WHO.
Standarisasi pengukuran ini membandingkan pengukuran anak dengan
median, dan standar deviasi atau Z-score adalah unit standar deviasi
untuk mengetahui perbedaan Antara nilai individu dan nilai tengah
(median) populasi referent untuk umur/tinggi yang sama, dibagi
dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa
keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengidentifikasi
nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan peredaan umur,
juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistic
dari pengakuan antropometri.

Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur


adalah penting dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-
anak pada wilayah dengan banyak masalah gizi buruk. Dalam
menentukan klasifikasi gizi kurang dengan stunting sesuai dengan
“Cut off point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak
balita berdasarkan tinggi badan menurut umur (TB/U) standar baku
WHO-NCHS (WHO 2006).

Berikut Klasifikasi status gizi stunting berdasarkan indikator TB/U:

a. Sangat pendek : Z-score < -3,0


b. Pendek : Z-score < -2,0 s.d Z-score ≥ -3,0

c. Normal : Z-score ≥ -2,0

4. Dampak stunting

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada


periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya
perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang
akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan
kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes,
kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan
disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif
yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemenkes R.I,
2016) Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat
perkembangan anak muda, dengan dampak negatif yang akan
berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi menunjukkan bahwa
anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang
buruk, lama pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah
sebagai orang dewasa. Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan
yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang
berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap
penyakit tidak menular. Oleh karena itu, anak pendek merupakan
prediktor buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara
luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu
bangsa di masa yang akan datang (UNICEF, 2012).

Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk


laki-laki dan perempuan di tingkat individu, rumah tangga dan
masyarakat. Bukti yang menunjukkan hubungan antara perawakan
orang dewasa yang lebih pendek dan hasil pasar tenaga kerja seperti
penghasilan yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih buruk
(Hoddinott et al, 2013). Anak-anak stunting memiliki gangguan
perkembangan perilaku di awal kehidupan, cenderung untuk mendaftar
di sekolah atau mendaftar terlambat, cenderung untuk mencapai nilai
yang lebih rendah, dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk
daripada anak-anak yang normal (Hoddinott et al, 2013; Prendergast
dan Humphrey 2014). Efek merusak ini diperparah oleh interaksi yang
gagal terjadi. Anak yang terhambat sering menunjukkan
perkembangan keterampilan motorik yang terlambat seperti
merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi
kurang, yang semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan
lingkungan (Brown dan Pollitt 1996).

5. Upaya pencegahan stunting pada balita

Upaya pencegahan stunting sudah banyak dilakukan di negara-


negara berkembang berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga.
Upaya tersebut oleh WHO (2010) dijabarkan sebagai berikut:

a. Zero Hunger Strategy


Stategi yang mengkoordinasikan program dari sebelas kemeterian
yang berfokus pada yang termiskin dari kelompok miskin
b. Dewan Nasional Pangan dan Keamanan Gizi
Memonitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur
umum dan strategi untuk meningkatkan makanan sekolah dan
promosi kebiasaan makanan sehat
c. Bolsa Familia Program
Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta keluarga
miskin. Tujuannya adalah untuk memecahkan siklus kemiskinan
antar generasi
d. Sitem Surveilans Pangan dan Gizi
Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi dan yang
determinan
e. Strategi Kesehatan Keluarga
Menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas melalui
strategi perawatan primer. Upaya penanggulangan stunting
menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop (2010)
diantaranya:
Edukasi kesadaran ibu tentang ASI Eksklusif (selama 6 bulan)
Edukasi tentang MP-ASI yang beragam (umur 6 bulan- 2
tahun)
Intervensi mikronutrien melalui fortifikasi dan pemberiam
suplemen
Iodisasi garam secara umum
Intervensi untuk pengobatan malnutrisi akut yang parah
Intervensi tentang kebersihan dan sanitasi

Di Indonesia upaya penanggulangan stunting diungkapkan


oleh Bappenas(2011) yang disebut strategi lima pilar, yang terdiri
dari:

Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu


hamil dan anak
Penguatan kelembagaan pangan dan gizi
Peningkatan aksebilitas pangan yang beragam
Peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat
Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan

Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak


janin dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan
zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan
makanan yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet
Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir
hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan (Eksklusif) dan setelah
umur 6 bulan diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup
jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup
gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya
dapat dipantau dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita
dilaksanakan secara rutin dan benar. Memantau pertumbuhan balita di
posyandu merupakan upaya yang sangat strategis untuk mendeteksi
dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat dilakukan
pencegahan terjadinya balita stunting (Kemenkes R.I, 2013).

B. Status Gizi
1. Pengertian Status Gizi

Status gizi yang merupakan gambaran keseimbangan dan


kecukupan zat-zat gizi dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor
baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut kepustakaan
bahwa asupan nutrisi dan penyakit infeksi merupakan faktor langsung
yang mempengaruhi status gizi balita (Almatsier, 2004).

Teori yang digunakan sebagai acuan penelitian ini adalah


Framework Mosley and Chen (1983).Mosley dan Chen (1983)
mendefinisikan beberapa penyebab langsung yang mempengaruhi
status gizi balita yaitu sosial ekonomi. Sosial ekonomi sebagai dasar
penentuan status gizi balita juga dipengaruhi oleh faktor maternal,
kontaminasi lingkungan, kekurangan nutrisi dan kecelakan.Faktor
maternal dilihat dari segi umur, paritas dan jarak kelahiran.
Kontaminasi lingkungan dilihat dari air, kulit, tanah, insektisida dan
lain-lain. Kekurangan zat gizi dari kebutuhan kalori, vitamin, protein
dan mineral.Adapun kontrol individu dalam menghadapi suatu
penyakit dapat melalui pencegahan maupun pengobatan. Status gizi
menunjukkan keseimbangan tubuh dalam mengkonsumsi makanan
dengan kebutuhan zat gizi dibedakan menjadi buruk, kurang, baik dan
lebih. Status gizi secara langsung dipengaruhi oleh umur, tinggi
pertumbuhan, kondisi kesehatan, kebiasaan makan, cara pengolahan
makanan dan faktor sosial budaya (Supariasa, 2002).
Kebiasaan makan, cara pengolahan makanan dan lain-lain akan
secara langsung mempengaruhi asupan nutrisi yang diterima balita.
Hal ini karena keadaan gizi masyarakat dapat dilihat dari
keseimbangan antara kebutuhan dan asupan zat gizi yang dikonsumsi.
Keseimbangan tersebut akan terjaga dengan baik apabila pola
konsumsi makan yang seimbang dapat diterapkan dalam keluarga
(Depkes RI, 2007). Masalah status gizi masih belum dapat teratasi
dengan baik di nasional maupun internasional, terlihat dari 101 juta
anak balita di dunia menderita gizi kurang yang mempunyai risiko
meninggal lebih tinggi dibandingkan balita dengan gizi baik (UNICEF,
2013). Setiap tahun sekitar 11 juta balita diseluruh dunia meninggal
karena penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, campak dan lain-
lain (WHO, 2011). Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi kurang
maupun gizi lebih yang disebabkan karena aspek kemiskinan,
kurangnya persediaan pangan, kurang baiknya sanitasi lingkungan,
kurangnya pengetahuan masyarakat terkait gizi, menu seimbang dan
kesehatan. Namun sebaliknya, gizi lebih yang diderita pada lapisan
masyarakat tertentu akibat dari kemajuan ekonomiSelain itu, Indonesia
juga termasuk dalam lima besar negara di dunia untuk jumlah pendek
pada anakanak (Almatsier, 2004).

Menurut Almatsier (2004) faktor internal yang mempengaruhi


status gizi dapat dilihat dari asupan zat gizi dan penyakit infeksi.
Penentuan klasifikasi status gizi mempunyai ukuran baku yaitu World
Health Organization-National Centre For Health Statistik (WHO-
NCHS). Kegiatan penilaian status gizi dilakukan dengan indikator
BB/U, TB/U dan BB/TB(Supariasa, 2002). Kebutuhan gizi balita yang
tidak dapat terpenuhi dengan baik akan berpengaruh pada
pertumbuhan di masa depan. Indikator keberhasilan pembangungan
daerah berupa usia harapan hidup, biasa disebut indeks pembangunan
manusia. Malnutrisi sebagai dampak dari penyimpangan status gizi
juga dapat meningkatkan kesakitan dan kematian balita. Penurunan
produktivitas kerja juga dapat diperoleh akibat dari pertumbuhan fisik
yang terganggu, kemampuan berfikir yang lemah serta adanya
gangguan mental (Liansyah, 2015).

2. Penilaian Status Gizi

Status gizi dapat dinilai secara langsung melalui pemeriksaan


ukuran tubuh manusia, metode klinis dengan melihat perubahan yang
terjadi secara fisik pada tubuh seseorang, metode biokimia dengan
pemeriksaan specimen yang diuji menggunakan laboratorium dan
secara biofisik dengan melihat kemampuan fungsi jaringan.Adapun
secara tidak langsung dapat dinilai melalui survey konsumsi makanan
(supariasa, 2001).

Penilaian status gizi didasarkan pada tiga kategori BB/U, TB/U


dan BB/TB dengan mengkonversikan nilai berat badan dan tinggi
badan kedalam Z-Score, menggunakan baku antropometri WHO
(2006) . Dikatakan gizi kurang, pendek ataupun kurus jika nilai Z-
Score (≥ 3,0 s.d <-2,0) dan gizi baik (≥ -2,0 s.d ≤2,0). Kebutuhan zat
gizi tidak sama bagi setiap orang, tergantung banyak hal salah satunya
adalah usia. Balita membutuhkan zat gizi didasarkan pada kecukupan
gizi (AKG) asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat sesuai
kelompok umur dan rata-rata perhari diantaranya yaitu pada usia 0-6
bulan (550 kkal, 12 gr, 34gr dan 58 gr), usia 7-11 bulan (725 kkal,
18gr, 36gr dan 82gr), usia 1-3 tah (1125kkal, 26gr, 44gr dan 155gr)
dan pada usia 4-6 tahun (1600kkal, 35gr, 62gr dan 220gr) (Permenkes
RI, 2013).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita


a.) Karakteristik Ibu
1.) Umur

Umur bagi ibu hamil berkisar antara 20-35 tahun karena


akan berdampak pada kondisi bayi yang akan dilahirkan.
Apabila kurang dari 20 tahun keadaan ibu masih belum siap
secara biologis berkaitan dengan makanan yang dikonsumsi,
sehingga lebih banyak untuk kebutuhan diri sendiri. Kondisi
rahim maupun organ lainnya juga belum terbentuk secara
sempurna.Hal ini dapat menjadi penghambat perkembangan
janin. Adapun secara psikologis ibu dengan usia kurang dari 20
tahun memiliki emosi yang labil, sedangkan ibu dengan usia
lebih dari 35 tahun memiliki kondisi kesehatan yang rentan
terhadap penyakit sehingga berakibat terhambatnya
pertumbuhan balita tersebut (UNICEF, 2002).

Usia ibu berhubungan secara signifikan dengan status


gizi menurut hasil penelitian Khotimah, dkk (2013). Namun
Himawan (2006) berkata lain dalam penelitiannya, bahwaumur
ibu tidak berhubungan dengan status gizi balita.

2.) Pendidikan

Pendidikan ibu merupakan factor utama dalam hal


menyusun makan keluarga, pengasuhan maupun perawatan
anak (Suhardjo, 2003). Peningkatan pendidikan wanita dapat
menimbulkan kesadaran akan pengembangan diri dalam
melakukan kegiatan sosial. Tuntutan kebutuhan akan ekonomi
yang meningkat menimbulkan keharusan ibu akan pekerjaan
terkait pendapatan dalam keluarga (Engle, 2000).

Hasil penelitian Kristianti (2013), menjelaskan bahwa


pendidikan ibu tidak ada kaitannya dengan status gizi, karena
sebagian besar ibu memiliki tingkat pendidikan tinggi sehingga
cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan mudah dalam
menangkap informasi yang diterima. Namun, dalam penelitian
Khaidir (2015) dengan menganalisis data Riskesdas 2010
menjelaskan bahwa status pekerjaan dapat berhubungan dengan
status gizi balita.
c.) Pekerjaan

Pekerjaan erat kaitannya dengan pendapatan yang


diperoleh. Hal yang muncul selain memperoleh materi yaitu
penelantaran anak akibat dari kegiatan ibu di luar rumah.
Pengasuhan dan keadaan gizi sejak bayiakan mempengaruhi
masa-masa penting di usia 5 tahun kebawah. Penurunan berat
badan tidak jarang terjadi pada balita karena perilaku ibu yang
kurang mempersiapkan makan anak. Pekerjaan diluar rumah
maupun didalam rumah akan berpengaruh terhadap kurangnya
pemantauan ibu dalam konsumsi makan anaknya. Kristianti
dalam penelitianya di Salomo Pontianak menyatakan
jikapekerjaan ibu tidak berhubungan secara signifikan dengan
status gizi anak.Berbeda halnya dengan penelitian yang
dilakukan Himawan (2006) yakni ada kaitanpekerjaan dengan
status gizi balita.

d.) Jumlah balita

Jumlah balita yang dilimili dalam keluarga akan


mempengaruhi ketersediaan pangan. Ketersediaan pangan
dalam keluarga akan berbeda antara keluarga yang satu dengan
yang lain, dikarenakan perbedaan penghasilan. Status ekonomi
yang rendah didukung oleh jumlah anak dalam keluarga yang
besar akan memberikan peluang kepada anak tersebut untuk
menderita gizi kurang maupun gizi buruk. Anak yang tumbuh
dalam keluarga miskin berpeluang besar untuk mengalami
gangguan status gizi. Sama halnya dengan anak yang paling
kecil akan berpengaruh terhadap kekurangan pangan. Apabila
anggota keluarga bertambah khususnya balita, maka pangan
yang akan diterima oleh balita lainnya akan berkurang. Asupan
nutrisi yang tidak seimbang mempengaruhi terjadinya
penurunan berat badan. Oleh sebab itu, jumlah anak akan
menentukan status gizi balita (Faradevi, 2011).
Hasil penelitian Karundeng dkk (2015) menyatakan
bahwa status gizi balita tidak dipengaruhi oleh jumlah anak
dalam keluarga.Hal ini dikarenakan sebagian besar ibu sudah
mempunyai pengalaman dalam merawat anak.Namun
fenomena yang terjadi dalam penelitian ini, yaitu masih
ditemukannya jumlah anak yang kurang dari 3 tahun berstatus
gizi kurang.

e.) Jarak kelahiran

Jarak kelahiran tidak dapat dipisahkan dari paritas atau


jumlah kelahiran. Paritas yang tinggi akan secara langsung
berpengaruh pada jarak kelahiran yang semakin
pendek.Seorang ibu paling tidak memerlukan sedikitnya 24
bulan untuk pemulihan setelah melahirkan.Adapun
kemungkinan yang dapat terjadi adalah lahir premature atau
bayi yang lahir dengan berat badan rendah (UNICEF, 2002).

Berdasarkan hasil analisis penelitian Karundeng (2015),


membuktikan adanya hubungan jarak kelahiran dengan status
gizi balita. Namun penelitian ini menjelaskan ada faktor lain
yang mempengaruhi terjadinya status gizi baik pada jarak
kelahiran kurang dari 3 tahun.

f.) Status Perkawinan

Perkawinan menurut Soekanto (2000) merupakan


ikatan yang sah antara seorang laki-laki dengan perempuan,
sehingga timbul hak-hak dan kewajiban antara mereka.Ikatan
lahir dan batin sebagai suami istri menjadi dasar dari status
perkawinan.

g.) Tingkat pengetahuan

Kurang gizi yang banyak didirita oleh balita dikatakan


sebagai golongan rawan pada anak. Masa peralihan antara
penyapihan dengan waktu pertama makan akan dipengaruhi
oleh pola pengasuhan ibu terkait asupan nutrisinya.
Pengetahuan ibu terkait status gizi sangat berperan dalam
menyiapkan bahan makanan yang akan dberikan, maupun
kebiasaan pemberina makanan pada balita (Suhardjo, 2003).

Hilmawan (2006) dalam hasil analisinya menyatakan


jika pengetahuan ibu berhubungan dengan status gizi
balit.Walaupun demikian, usaha untuk meningkatkan
pengetahuan terkait status gizi tetap dilakukan melalui
penyuluhan maupun kunjungan rumah yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan dan petugas gizi ke masyarakat.

4. Asupan nutrisi

Asupan nutrisi berkaitan dengan ketidakcukupan zat gizi yang


diperoleh, apabila hal ini berlangsung lama makan terjadi penurunan
berat badan. Terjadinya perubahan fungsi ditandai dengan ciri yang
khas akan merubah struktur anatomi dengan munculnya tanda yang
klasik (Supariasa, 2002).

Masa balita sebagai masa yang paling penting dan memerlukan


perhatian khusus dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Pemantauan dapat dilakukan melalui proses pengaturan pola makan
yang baik. hal ini akan mempengaruhi kecukupan nutrisinya. Kurang
gizi yang merupakan gangguan akibat kesalahan dalam memenuhi
kebutuhan pangan secara kualitas maupun kuantitasnya. Penyediaan
pangan yang kurang, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan dan
ketidakpahaman akan kebutuhan zat gizi juga mempengaruhi status
gizi seseorang khususnya balita. Pola makan anak 1-5 tahun terbentuk
dan dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan lingkungan luar.
Kebiasaan makan yang dipelajari lebih awal dalam keluarga akan lebih
bertahan dibandingkan dengan lingkungan luar. Oleh sebab itu, masa
balita merupakan waktu yang tepat untuk membentuk kebiasaan atau
pola makan yang baik (Waladouw dkk, 2013). Kebiasaan makan
antara satu keluarga berbeda dengan keluarga yang lain akibat dari
perbedaan tempat tinggal, ketersediaan pangan, kondisi kesehatan
anak, selera makan, kemampuan daya beli dan kebiasaan makan
keluarga (Walalangi, dkk, 2015).

Menurut Almatseir (2009), ikatan kimia yang membentuk zat


gizi diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya dalam membentuk
energi, memelihara jaringan dan mengatur metabolisme tubuh. Tubuh
memerlukan zat-zat yang penting bagi tubuh. Karbohidrat sebagai
sumber energi dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang dapat
diperoleh dari golongan tepung seperti beras, kentang, dan kelompok
gula. Kekurangan protein adalah KEP (Kurang Energi Protein)
merupakan akibat yang dapat ditimbulkan apabila kekurangan
protein.Zat makanan yang berupa protein juga dapat diperoleh melalui
tumbuh-tumbuhan ataupun hewan.Kedua jenis protein tersebut
berfungsi dalam me-regenerasi sel yang rusak, pembentukan enzim
dan hormon. Satu gram protein akan menghasilkan sekitar 4,1 kalori.
Tubuh yang kekurangan protein akan terserang penyakit busung lapar.
Protein dapat ditemukan pada ikan, daging, telur, kedelai, dll. Selain
itu, lemak juga merupakan sumber tenaga yang berfungsi dalam
menghasilkan kalori.Zat makanan vitamin dan mineral juga
diklasifikasikan menjadi larut dan tidak larut.Zat besi sebagai salah
satu jenis dari mineral diperlukan tubuh dalam jumlah yang sangat
sedikit. Pembentukan jaringan, tulang, hormone, enzim, keseimbangan
cairan dan proses pembekuan darah merupakan beberapa fungsi dari
zat besi dalam tubuh. Selain itu, zat besi juga sebagai komponen
penting dalam pernafasan yakni terbentuknya hemoglobin dalam
mengikat oksigen pada sel darah merah. Asupan nutrisi balita yang
disesuaikan dengan umur dan bentuk makanan yang dimakan menurut
DepKes RI (2002), yaitu asi eksklusif pada umur 0-4 bulan, makanan
lumat usia 4-6 bulan, makanan lembek usia 6-12 bulan dan makanan
keluarga yaitusatu sampai satu setengah piring nasi/pengganti, dua
sampai tiga potong lauk hewani, satu sampai dua potong lauk nabati,
setengah mangkuk sayur, dua sampai tiga potong buah dan satu gelas
susu usia 12-24 bulan. Adapun bentuk makanan yang dikonsumsi satu
sampai tiga piring nasi/pengganti, dua sampai tiga potong lauk hewani,
satu sampai dua potong lauk nabati, satu sampai satu setengah
mangkuk sayur, dua sampai tiga potong buah-buahan dan satu sampai
dua gelas susu usia 24 bulan keatas. Makanan lumat yang dimaksud
berupa makanan yang dihancurkan dan dibuat dari tepung, sedangkan
makanan lunak yaitu dimasak dengan air yang lebih banyak dan
tampak berair.

Balita sebagai salah satu anggota keluarga yang sangat


membutuhkan perhatian khusus setidaknya cukup makan perharinya
untuk memenuhi kebutuhan dalam pertumbuhannya. Oleh sebab itu,
keluarga membutuhkan pengetahuan lebih terkait penyediaan gizi yang
baik di rumah.Pemerataan pembagian makanan dalam keluarga juga
sangat diperlukan sehingga setiap anggota keluarga tercukupi
kebutuhannya dan keanekaragaman makanan yang dikonsumsi juga
perlu menjadi perhatian khusus (Indarti, 2016). Hasil penelitian Erni
dkk (2008) terkait asupan zat gizi di suku anak dalam Provinsi Jambi
menunjukkan hubungan yang erat asupan energy dan protein dengan
status gizi balita dilihat dari BB/U, TB/U dan BB/TB.Hal ini berarti
balita dengan asupan energy dan protein yang cukup, mempunyai
status gizi yang baik.

5. Sanitasi lingkungan

Menurut Behrman dan Deolalikar (1989), serta Strauss and


Thomos (1995), rumah tangga merupakan fungsi pengguna yang
menentukan dalam hal kesehatan dan status gizi masing-masing
anggota keluarga. Teori lain yang ada saat ini menyatakan status gizi
yang baik untuk usia pra sekolah bergantung pada keamanan rumah
tangga, lingkungan yang cukup sehat dan perawatan kelahiran dan
jumlah anak (ACC/SCN , 1992). Sekalipun demikian, status gizi
tersebut tidak hanya hasil dari keiga faktor tersebut, tetapi juga
interaksi antara ketiganya (Blau et al, 1996; Haddad et al, 1996; Smit
and Haddad, 1999; ACC/ SCN/ IFPRI, 2000).

Lingkungan dapat dikatakan sebagai suatu benda maupun


suasana yang terbentuk akibat dari interaksi yang ada dialam tersebut.
Lingkungan memiliki cakrawala yang sangat luas, sehingga untuk
memudahkan pemahaman tentang lingkungan, seringkali
diklasifikasikan sesuai kebutuhan.

Lingkungan air, udara dan tanah merupakan lingkungan yang


sangat dibutuhkan oleh manusia.Lingkungan biologis yang terdiri dari
flora dan fauna juga merupakan lingkungan yang diperlukan manusia,
meski memiliki efek positif dan negative untuk kesehatan manusia.
Jika manusia tidak mampu memelihara lingkungan tersebut, maka
akan dapat menimbulkan masalah kesehtan yang dapat bersifat
langsung maupun tak langsung.

Pengaruh langsung oleh karena lingkungan banyak


mengandung bakteri atau kandungan lain yang tak sesuai dengan
standar bagi kesehatan manusia. Sedangkan pengaruh tidak langsung
dapat muncul sebagai dampak pendayagunaan, misalnya air industri
yang menimbulkan pencemaran sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Penyakit dapat disebabkan oleh berbagai unsur fisis
maupun biologis. Namun, sebagian besar penyakit dapat timbul dari
perilaku dan adat kebiasaan yang menyimpang dari standar sehat. Hal
tersebut dikarenakan ketidak tahuan atau ketidak pedulian masyarakat
terhadap kesehatan, dan hasil akhirnya adalah pencemaran lingkungan,
kesehatan yang terganggu sehingga muncul gangguan status gizi.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Stunting adalah keadaan paling umum dari bentuk kekurangan gizi


(PE/ mikronutrien), yang mempengaruhi bayi sebelum lahir dan awal
setelah lahir, terkait dengan ukuran ibu, gizi selama ibu hamil, dan
pertumbuhan janin. Menurut Sudiman dalam Ngaisyah, stunting pada anak
balita merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang dapat
memberikan gambaran gangguan keadaan sosial ekonomi secara
keseluruhan di masa lampau dan pada 2 tahun awal kehidupan anak dapat
memberikan dampak yang sulit diperbaiki. Salah satu faktor sosial
ekonomi yang mempengaruhi stunting yaitu status ekonomi orang tua dan
ketahanan pangan keluarga.

Status gizi yang merupakan gambaran keseimbangan dan


kecukupan zat-zat gizi dalam tubuh dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
secara langsung maupun tidak langsung. Menurut kepustakaan bahwa
asupan nutrisi dan penyakit infeksi merupakan faktor langsung yang
mempengaruhi status gizi balita.

B. Saran

Stunting harus dicegah sedini mungkin dengan


meningkatkan pelayanan kesehatan kepada ibu sejak kehamilan 3
bulan berupa ANC berupagizi ibu hamil, imunisasi TT, dan pemeriksaan
kehamilan secara teratur. Bayiharus di berikan ASI sampai umur 6 bulan.
Setelah 6 bulan bayi harusdiberikan makan pendamping ASI(M-ASI).
Anak harus di bawa ke posyandusecara rutin untuk mendapat pelayanan
secara lengkap. Bagi balita stuntingsegera di berikan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Laporan Tahuna Unicef Indonesia. 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Unicef


Indonesia.Oktober 2012.

UNICEF (2018). Undernutrition contributes to nearly half of all deaths in children


under 5 and is widespread in Asia and Africa.
https://data.unicef.org/topic/nutrition/malnutrition/ - Diakses Januari 2018.

Trihono, et al. Pendek (stunting) di Indonesia, masalah dan solusinya. Jakarta:


Lembaga Penerbit Balitbangkes; 2015.

Anda mungkin juga menyukai