Anda di halaman 1dari 44

GIZI BALITA

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS K.T.K TAHUN 2021

Disusun Oleh:

Aina Aulia Safitri 1710070100119


Ulfah Suci Rachmadini 1710070100109

Pembimbing:
dr. Yuldawati, MKM

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
BAGIAN PUBLIC HEALTH RSUD SOLOK
2022

1
GIZI BALITA

DI WILAYAH PUSKESMAS K.T.K TAHUN 2021

Solok, Mei 2022

Telah disetujui oleh,

PEMBIMBING LAPANGAN

dr. Yuldawati, MKM

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada

penulis hingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang berjudul "GIZI BALITA ".

Makalah ini dibuat untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Public

Health Rumah Sakit Umum Daerah Muhammad Natsir Solok.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada dr. Yuldawati, MKM selaku

pembimbing Kepaniteraan Klinik Public Health di Puskesmas K.T.K Solok, yang telah

memberikan bimbingan dan nasehat dalam penyelesaian makalah ini.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang tidak terhingga kepada teman-teman

serta staf puskesmas K.T.K dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah

ini. Dengan menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kelemahan yang terdapat dalam

penulisan makalah ini, kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan penulisan

makalah selanjutnya. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Solok, Mei 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................……… …..iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7

BAB III MASALAH DAN PEMBAHASAN ............................................................. 31

BAB IV PENUTUPAN ............................................................................................... 42

BAB V DAFTAR PUSTAKA… ...................................................................................................44

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia dibawah satu

tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua

yaitu batita atau anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun dan anak usia lebih dari

tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal dengan usia prasekolah (Proverawati dan wati,

2011). Kekurangan Energi dan Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang

disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari

sehingga tidak memenuhi kecukupan yang dianjurkan (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

KEP dibagi menjadi tiga, yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-kwashiorkhor.

Balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita kekurangan gizi dan

gizi buruk (Notoatmodjo, 2010). Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk,

dimana manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian. Tercatat ratusan juta anak di

dunia menderita kekurangan gizi yang artinya permasalahan ini terjadi dalam populasi

dengan jumlah yang sangat besar (UNICEF, 2013). Tercatat 4,5% dari 22 juta balita atau

900 ribu balita di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk dan mengakibatkan

lebih dari 80% kematian anak. Prevalensi gizi kurang menjadi 17,9% dan gizi buruk

menjadi 4,9%. Artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar 15,0% untuk

gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai (Kemenkes, 2012).

Prevalensi balita Kurang Energi Protein (KEP) Daerah Istimewa Yogyakarta pada

tahun 2017, Kulon Progo 12,33, Bantul 8,04, Gunung Kidul 7,34, Sleman 7,33,

Yogyakarta 8,40, dan DIY 8,26. Pada tahun 2015, prevalensi balita Kurang Energi

5
Protein (Gizi Buruk dan Kurang) di DIY sebesar 8,04. Prevalensi KEP ini menurun

dibandingkan dengan tahun 2013 tetapi sedikit lebih tinggi dari tahun 2014. Pada tahun

2016 KEP di DIY sebesar 8,83 dan kembali turun menjadi 8,26 pada tahun 2017. Angka

prevalensi selama tiga tahun terakhir masih berkisar pada angka 8 yang menunjukkan

bahwa upaya yang dilakukan dalam rangka penurunan prevalensi KEP Balita di DIY

belum tercapai secara maksimal. Kondisi paling tinggi prevalensi balita KEP adalah

Kabupaten Kulon Progo sebesar 12,33 dan terendah di Sleman 7,33 (Dinkes DIY, 2017)

1.2. Tujuan Penulisan

Melengkapi syarat tugas Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) stase Public Health
di Puskesmas K.T.K Solok.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kurang Gizi pada Balita

2.1.1. Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara

normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan

pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mepertahankan kehidupan, pertumbuhan

dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. 1

2.1.2. Gizi Kurang pada Balita

Gizi kurang dapat dilihat sebagai suatu proses kurang makan yang terjadi pada balita

ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa nutrien tidak terpenuhi atau nutrien-

nutrien tersebut hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada yang didapat. 1 Gizi kurang

adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) yang

merupakan padanan istilah underweight. 1

2.2. Pemantauan dan Klasifikasi Gizi Kurang

Upaya penyediaan data dan informasi status gizi terutama kurang energi protein

(KEP) secara nasional telah dilakukan sejak pelita IV. Salah satu kegiatan sehubungan

dengan penyediaan data adalah Pemantauan Status Gizi (PSG). Kegiatan PSG dimulai

dengan suatu proyek panduan di tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Sumatra Barat dan

Sulawesi Selatan. Kegiatan ini dilakukan pada tahun 1985 dengan tujuan untuk mempelajari

cara memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kecamatan guna memantau

perkembangan status gizi.2 Pada tahun 1999, Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI,

melakukan pemantauan status gizi. Tujuan kegiatan ini adalah tersedianya informasi status

7
gizi balita secara berkala dan terus menerus, guna evaluasi perkembangan status gizi balita,

penetapan kerjasama dan perencanaan jangka pendek. 2

Dalam menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering disebut

reference. Baku antropometri yang sekarang digunakan Indonesia adalah WHO-NCHS

(World Health Organization – National Centre for Health Statistic. Pada Loka Karya

Antropometri tahun 1975 telah diperkenalkan baku Harvard. Berdasarkan Semi Loka

Antropometri di Ciloto tahun 1991, telah direkomendasikan penggunaan baku rujukan

WHO-NCHS.2

Berdasarkan baku Harvard, status gizi dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

1) Gizi lebih untuk over weight, termasuk kegemukan dan obesitas

2) Gizi baik untuk well nourished

3) Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan moderate PCM (Protein Calori

Malnutrition).

4) Gizi buruk untuk severe PCM , termasuk marasmus, kwashiorkor dan marasmus-

kwashiokor.

Klasifikasi status gizi masyarakat menurut Direktorat Bina Gizi Masyararat Depkes

RI tahun 1999 sebagai berikut:

Kategori Cut of point *)

Gizi lebih < 120 % median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Gizi baik 80 – 120% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Gizi sedang 70 – 79,9% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Gizi kurang 60 – 69,9% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Gizi buruk < 60% median BB/U baku WHO-NCHS, 1983

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Masyarakat 2


8
Cara lain untuk menentukan ambang batas selain persentase terhadap median adalah

persentil dann standar deviasi unit (SD). Persentil 50 sama dengan median atau nilai

tengah dari jumlah populasi yang berada diatasnya dan setengahnya berada dibawahnya.

NCHS merekomendasikan persentil ke 50 sebagai batas gizi baik dan kurang, serta

presentil 95 sebagai bataas gizi lebih dari gizi baik.2

Standar deviasi unit disebut Z-skor. WHO menyarankan cara ini untuk meneliti dan

untuk memantau pertumbuhan. Status gizi dapat diklasifikasikan dengan menggunakan

Z-skor sebagai batas ambang kategori. Rumus perhitungan Z-skor adalah sebagai berikut:
1

𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 (𝑠𝑢𝑏𝑗𝑒𝑘 ) − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛


𝑍 − 𝑠𝑘𝑜𝑟 =
𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛

Dibawah ini adalah kategori status gizi menurut indikator yang digunakan dan

batasan-batasannya.

Indikator Status Gizi Keterangan

Berat Badan Gizi lebih >2 SD

menurut Gizi baik - 2 SD s/d 2 SD

Umur (BB/U), Gizi kurang < - 2 SD s/d – 3

anak umur 0 – Gizi buruk SD

60 bulan < - 3 SD

Tinggi Badan Sangat pendek < - 3 SD

menurut Pendek >= -3 SD s/d < - 2

Umur (TB/U), Normal SD

9
anak umur 0 – Tinggi >= - 2 SD

60 bulan > 2 SD

Berat badan Sangat kurus < - 3 SD

Menurut Kurus >= - 3 SD s/d < -

Tinggi Badan Normal 2 SD

(BB/TB), anak Gemuk >= - 2 SD s/d <=

umur 0 – 60 2 SD

bulan > 2 SD

Indeks Massa Sangat kurus < - 3 SD

Tubuh Kurus -3 SD s/d < -2 SD

menurut Normal -2 SD s/d 2 SD

Umur Gemuk > 2 SD

(IMT/U), anak

umur 0 – 60

bulan

Indeks Massa Sangat kurus < - 3 SD

Tubuh Kurus -3 SD s/d < -2 SD

menurut Normal -2 SD s/d 1 SD

Umur Gemuk > 1 SD s/d 2 SD

(IMT/U), anak Obesitas > 2 SD

umur 5-18

tahun

Tabel 2.2 Baku Antropometri Menurut Standar WHO – NCHS.1

10
Berikut beberapa tipe keadaan gizi kurang yaitu:

1) Berat badan kurang (underweight)

Underweight merupakan situasi seseorang yang berat badannya lebih rendah daripada

berat yang adekuat menurut usianya. Berat badan kurang dapat diidentifikassi jika berat

badan menurut usia (weight-for-age) < 2 SD di bawah standar internasional.

2) Marasmus

Suatu kondisi dimana berat badan menurut usia (weight-for-age) < 60% dari standar

internasional.

3) Kwashiokor

Ditandai dengan adanya edema dan berat badan menurut usia (weight-for-age) < 80%

dari standar internasional.

4) Kwashiokor marasmus

Gejala yang tampak berupa edema dan berat badan menurut usia (weight-for-age) < 60%

dari standar internasional.

5) Perlisutan tubuh (wasting)

Ditandai dengan berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height) < 2 SD di bawah

standar internasional.

6) Tubuh pendek (stunting)

Tinggi badan menurut usia (height-for-age) < 2 SD di bawah standar internasional.

7) Defisiensi energi yang kronis

Indeks massa tubuh (berat badan (kilogram) / tinggi badan (meter 2)) < 18,5.

11
2.3. Mekanisme Fisiologi yang Menyebabkan Gizi Kurang 1

Ada lima mekanisme yang dapat mengakibatkan defisiensi nutrien yaitu mekanisme

yang bekerja sendiri atau berupa gabungan yang dapat mengurangi status gizi, sebagai

berikut:

2.3.1. Penurunan asupan nutrien

Biasanya terjadi pada bencana kelaparan atau anoreksia akibat sakit kronis seperti

anoreksia nevrosa.

2.3.2. Penurunan absorpsi nutrien

Misalnya malabsorpsi karbohidrat dan asam amino yang menyeluruh pada penyakit

kolera sebagai akibat dari waktu transit intestinal yang cepat dan malabsorpsi gula

setelah terjadi defisiensi laktase yang ditimbulkan oleh diare.

2.3.3. Penurunan pemakaian nutrien dalam tubuh

Misalnya pada penggunaan obat antimalaria yang menganggu metabolisme folat dan

defisiensi enzim kongenital yang sebagian membatasi lintasan metabolik nutrien

seperti yang terjadi pada fenilketonuria.

2.3.4. Peningkatan kehilangan nutrien

Hal ini sering terjadi melalui traktus gastrointestinal dan dapat juga melalui kulit dan

urin, misalnya protein-losing-enteropathy pada penyakit inflamasi usus dan

kehilangan nutrien melalui kulit yang terbakar serta terkelupas.

2.3.5. Peningkatan kebutuhan nutrien

Keadaan patologis ini terjadi seperti pada kasus inflamasi kronis, misalnya

peningkatan laju metabolik pada keadaan demam atau hipertiroidisme.

Dalam pengertian fisiologi, kelima mekanisme tersebut menjelaskan mengapa

keseimbangan nutrien dapat menjadi negatif.

12
2.4. Sindrom Klinis Gizi Kurang

Ada dua sindrom klinis gizi kurang yang parah (dikenal dengan istilah kekurangan

energi protein) yaitu marasmus dan kwashiokor. Marasmus ditandai oleh pelisutan tubuh

yang ekstrem seperti tubuh penderita marasmus terlihat hanya “ tulang dan kulit “.

Marasmus merupakan adaptasi fisiologis terhadap keterbatasan energi dari makanan. Pada

keadaan ini terjadi pengurangaan secara nyata jumlah jaringan lemak dan subkutan di

samping terdapat pula atropi jaringan viseral. Penderita marasmus akan membatasi aktifitas

fisiknya dan memiliki laju metabolisme serta pergantian protein yang menurun dalam upaya

untuk menghemat nutrien. Jika dibandingkan dengan orang yang sehat, penderita marasmus

memiliki resiko untuk meninggal atau mengalami disabilitas karena infeksi.

Kwashiokor merupakan kumpulan klinis gejala edema dan gizi kurang. Keadaan ini

paling sering terjadi pada anak balita dan biasanya disertai dengan iritabilitas, anoreksia,

serta ulserasi pada kulit. Perubahan metabolisme terjadi lebih berat pada kwashiokor dan

case fatality rate (CFR) pada keadaan ini lebih tinggi dibandingkan marasmus. Kwashiokor

merupakan keadaan defisiensi protein dari makanan.

The welcome Trust Working Party mendefinisikan marasmus dengan kriteria berat

badan menurut usia yang berada dibawah 70% dari standar nasional dan kwashiokor sebagai

keaadaan edema dengan berat badan menurut usia dibawah 80% dari standar tersebut. Jika

keadaan edema dan perlisutan berat terjadi bersama-sama, keadaan ini dinamakan marasmus

kwashiokor. Gambaran klinisnya menyerupai gabungan keduanya dan biasanya

prognosisnya menjadi lebih buruk.

13
2.5. Defisiensi Mikronutrien

Pada penderita gizi kurang, terdapat pula malnutrisi mikronutrien akibat substansi

mikronutrien yang kurang. Hal ini sangat sulit untuk diketahui. Defisiensi endemik zat

besi, iodium dan vitamin A sudah sering terjadi di seluruh dunia. Mikronutrien lainnya

yang kini semakin menjadi persoalan kesehatan masyarakat adalah defisiensi vitamin D,

kalsium, zinc, vitamin B12 dan riboflavin. Walaupun asupan makronutrien sudah cukup

untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi defisiensi mikronutrien dapat tetap terjadi ketika

makanan yang dikonsumsi memiliki kepadatan nutrien yang rendah. Defisiensi ini paling

banyak ditemukan dan mengenai sepertiga penduduk dunia, berikut daftar mikronutrien

yang dibutuhkan tubuh:

Mikronutrien Manifestasi Klinis Defisiensi

Zat besi Anemia, perkembangan kognitif yang

buruk, peningkatan kerentanan terhadap

infeksi

Iodium Perkembangan Kognitif yang buruk

Kalsium Pengurangan mineralisasi tulang

Vitamin A Kerusakan pada kornea dan retina yang

menimbulkan kebutaan parsial;

peningkatan intensitas penyakit diare dan

malaria

Vitamin D Riketsia, penurunan densitaas tulang

Zinc Kegagalan tumbuh kembang,

peningkatan insiden dan severitas diare,

14
pneumonia serta malaria

Vitamin B12 Anemia, neuropati

Riboflavin Anemia, luka-luka di sekitar mulut, bibir

yang merah dan pecah-pecah.

Tabel 2.3 Daftar Mikronutrien yang Dibutuhkan Oleh Tubuh. 13

Disamping defisiensi vitamin dan mineral dalam makanan, komposisi genetik dapat

menjadi determinan penting yang menentukan defisiensi mikronutrien. Asupan asam folat

yang rendah dari makanan dalam periode di sekitar pembuahan (periode

perikonsepsional) ternyata berkaitan dengan cacat kongenital tuba neuralis di sejumlah

negara barat.

2.6. Prevalensi Defisiensi Gizi 4

Gizi kurang dapat mempengaruhi perkembangan prenatal dari awal kehamilan dan di

sepanjang usia kanak-kanak. Gizi dapat pula mempengaruhi kemampuan fungsional

orang dewasa, setidaknya dalam waktu yang singkat. Berikut prevalensi beberapa kondisi

yang merupakan dampak dari masalah gizi adalah:

2.6.1. Berat badan lahir rendah

Di negara-negara berkembang, bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) lebih

cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin yang terjadi karena gizi ibu yang

buruk dan angka infeksi yang meningkat jika dibandingkan di negara maju. 16% bayi di

seluruh dunia dilahirkan dengan BBLR (< 2500 gram) dan 95% dari bayi-bayi ini tinggal

di negara-negara berkembang. Angka Prevalensi tersebut berkisar dari sekitar 50% di

Bangladesh hingga 6% di negara-negara maju.

15
2.6.2. Stunting dan wasting

Stunting (tubuh yang pendek) dan wasting (pelisutan tubuh) di diagnosis melalui

pemeriksaan antropometri. Standar nilai tengah dijadikan acuan secara internasional

menurut usia dan jenis kelamin mereka. Kekurangan berat badan yang sedang (moderat)

menunjukkan bahwa berat badan menurut usia kurang dari -2 SD di bawah nilai tengah /

median dari NCHS (The Nasional Center for Health Statistic), stunting yang sedang

menunjukkan tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 SD dan wasting yang sedang

menunjukkan berat badan menurut tinggi badan yang kurang dari -2 SD. Nilai di bawah -

3 SD menunjukkan keadaan yang parah. Bentuk gizi kurang berat lainnya adalah

kwashiokor dengan gejala edema yang menyertai berat badan yang kurang. Keadaan gizi

kurang sebelumnya disebut KEP (Kekurangan Energi Protein) atau PEM (Protein Energy

Malnutrition).

Namun demikian, ketika anak-anak tersebut mengalami keadaan gizi kurang

sebagai akibat dari asupan energi dan protein yang rendah, makanan mereka biasanya

juga kurang mengandung berbagai macam mikronutrien. Meskipun prevalensi gizi

kurang pada anak-anak mengalami penurunan, namun prevalensi tersebut dianggap masih

tinggi. Di negara-negara berkembang, 29% anak balita menunjukkan keadaan gizi kurang

yang sedang, 33% menunjukkan kejadian tubuh pendek (stunting) yang sedang dan 10%

menunjukkan perlisutan tubuh (wasting) yang sedang.

Di negara-negara yang paling miskin, 40% anak-anak balita mengalami berat

badan yang kurang dan 45% mengalami kejadian tubuh pendek (stunting). Angka

prevalensi anak-anak dengan gizi kurang yang sedang dan berat diperkirakan telah

mengalami penurunan secara global dari 38% pada tahun 1980 menjadi 30% pada tahun

1997 dan 29% pada tahun 2001. Namun demikian, beberapa negara di kawasan Sub

16
Sahara Afrika terus memperlihatkan peningkatan prevalensi gizi kurang pada anak-anak.

Dengan demikian, keadaan gizi kurang tetap menjadi permasalahan kesehatan masyarakat

yang sangat penting.

2.6.3. Anemia karena defisiensi besi

Prevalensi anemia dijadikan sebagai indikator alternatif untuk defisiensi zat besi

pada tatanan kesehatan masyarakat. Prevalensi anemia ditentukan oleh kadar hemoglobin

dalam darah. Titik cut off kadar hemoglobin darah untuk mendefinisikan anemia berbeda

menurut usia. Bagi anak yang berusia 6-59 bulan, kadar hemoglobinnya adalah 110 gram

/ liter, usia 5-11 tahun dengan kadar hemoglobin normal 115 gram / liter, anak berusia

12-14 tahun 120 gram / liter. Tidak terdapat data komprehensif terbaru tentang prevalensi

anemia pada anak-anak, tetapi estimasi angka prevalensi anemia (kadar hemoglobin <

110 gram / liter) pada tahun 1985 untuk kadar balita adalah 46-51% di negara

berkembang dan 7-12% di negara maju.

Anemia karena defisiensi zat besi sering ditemukan pada lingkungan yang buruk,

misalnya di populasi imigran Inggris. Defisiensi zat besi merupakan penyebab anemia

yang paling sering ditemukan dan paling prevalen pada anak-anak yang berusia 6 hingga

24 bulan.

2.6.4. Defisiensi Zinc

Defisiensi zat ini tidak dapat diketahui, tetapi keadaan ini lazim ditemukan dalam

populasi yang mengonsumsi sedikit daging dan memakan makanan dengan kandungan

fitat serta serat yang tinggi sehingga mengurangi bioavailabilitas zinc. Pola makan seperti

ini sering dijumpai di banyak negara berkembang. Zinc juga hilang dari tubuh ketika

terjadi penyakit diare. Kebutuhan akan zinc meningkat selama periode pertumbuhan yang

cepat misalnya pada bayi dan masa kehamilan. Oleh karena itu, pada banyak negara

17
berkembang kemungkinan terdapatnya defisiensi zinc sangat besar karena anak-anak

kecil menunjukkan pola makan yang buruk dan penyakit diare yang sering terjadi.

2.6.5. Defisiensi Iodium

Indikator untuk menilai gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) adalah nilai

tengah kadar iodium dalam urin (median urinary iodine) dan prevalensi penyakit gondok

(goiter). Nilai median normal untuk kadar iodine dalam urin adalah 100-200 μ gram /

liter. Nilai 50-99 μ gram / liter menunjukkan defisiensi ringan, 20-49 μ gram / liter

menunjukkan defisiensi sedang dan nilai di bawah 20 μ gram / liter menunjukkan

defisiensi berat. Keberadaan penyakit gondok di nilai melalui inspeksi dan palpasi serta

intensitas penyakitnya diklasifikasikan menurut ukuran kelenjar gondok tersebut. Kriteria

untuk menyingkirkan kemungkinan GAKI sebagai permasalahan kesehatan masyarakat

adalah prevalensi penyakit gondok di bawah 5% dari populasi penduduk.

Anak-anak usia sekolah biasanya kelompok sasaran untuk kegiatan surveilens.

Menurut WHO, 13% populasi penduduk dunia (740 juta orang) sudah terkena GAKI dan

30% lainnya beresiko untuk terkena GAKI. Hampir 50 juta penduduk diyakini sudah

menderita bentuk tertentu kelainan neurologi atau gangguan kognitif yang berkaitan

dengan GAKI.

Defisiensi iodium merupakan keadaan yang sering terjadi pada kawasan yang

tanahnya kurang mengandung iodium sebagai akibat dari penapisan yang terjadi karena

curah hujan yang tinggi, banjir, pencairan salju serta perlongsoran salju. Oleh karena itu,

daerah pegunungan menjadi kawasan yang paling beresiko terjangkit defisiensi iodium.

2.6.6. Defisiensi Vitamin A

Diagnosis defisiensi vitamin A ditegakkan melalui kadar retinol serum. Kadar

retinol serum dibawah 20 μ gram / liter (0,70 mol/ liter) dilkasifikasikan sebagai keadaan

18
defisiensi vitamin A yang sedang dan kadar di bawah 10 μ gram / liter (0,35 mol/ liter)

diklasifikasikan sebagai keadaan yang berat. WHO menyatakan bahwa defisiensi vitamin

A merupakan permasalahan kesehatan masyarakat pada 118 negara di seluruh dunia dan

prevalen khususnya di Afrika serta Asia Tenggara. Sekitar 100 – 140 juta anak menderita

defisiensi vitamin A dan antara seperempat juta dan setengah juta dari anak-anak ini

menjadi buta setiap tahunnya dengan separuh diantaranya yang meninggal dalam waktu

12 bulan setelah mereka kehilangan penglihatannya.

2.7. Penilaian Status Gizi

Penilaian terhadap status gizi seseorang dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Berikut cara melakukan penilaian tersebut:

2.7.1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian yaitu:

1) Antropometri

(1) Pengertian

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang

gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

(2) Penggunaan

Antropometri umumnya digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan

energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan

tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.

(3) Jenis parameter

19
Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa

parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia, antara lain umur, berat

badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar panggul

dan tebal lemak di bawah kulit.

(4) Indeks antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara

beberapa parameter disebut Indeks antropometri. Untuk tinggi badan dan berat badan

digunakan baku HARVARD yang di sesuaikan untuk Indonesia (100% baku Indonesia =

50 persentile baku Harvard)

2) Klinis

(1) Pemeriksaan

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi

masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dan

dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat terlihat pada jaringan epitel

(supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada

organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid.

(2) Penggunaan

Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat (rapid clinical

surveys). Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum

dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui

tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan

gejala (symptom) atau riwayat penyakit.

3) Biokimia

(1) Pengertian

20
Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara

laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang

digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati

dan otot.

(2) Penggunaan

Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan

malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala klinis yang kurang spesifik, maka

penentuan kimia faal dapat lebih banyak menolong untuk menentukan kekurangan gizi

yang spesifik.

4) Biofisik

(1) Pengertian

Pentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat

kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan.

(2) Penggunaan

Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik

(epidemic of night blindnes). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap.

2.7.2 Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langssung dapat dibagi tiga yaitu: survei

konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Pengertian dan penggunaan metode

ini akan diuraikan sebagai berikut:

1) Survei konsumsi makanan

(1) Pengertian

21
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung

dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.

(2) Penggunaan

Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi

berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat

mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.

2) Statistik vital

(1) Pengertian

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa

statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan

kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

(2) Penggunaan

Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung

pengukuran status gizi masyarakat.

3) Faktor ekologi

(1) Pengertian

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik,

biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari

keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain.

(2) Penggunaan

Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat penting untuk mengetahui penyebab

malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk melakukan program intervensi gizi.

22
Keadaan gizi kurang dalam masyarakat biasanya dinilai dengan menggunakan

kriteria antropometri statik atau data yang berhubungan dengan jumlah makronutrien

yang ada di dalam makanan yakni protein dan energi. 13

Berat badan menurut usia lebih dari 2 standar deviasi (SD) dibawah median kurva

referensi tersebut merupakan kriteria untuk menegakkan diagnosa keadaan gizi kurang. 13

Kriteria antropometrik digunakan untuk mendefinisikan keadaan gizi kurang pada

semua kelompok umur. Komisi dari The International Dietary Energy Consultative

Group mendefinisikan defisiensi energi yang kronis berdasarkan pada indeks massa

tubuh (IMT) orang dewasa.

Status gizi (Nutrition status) adalah ekspresi dari keseimbangan antara konsumsi

dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat-zat gizi tersebut atau keadaan fisioligik

akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh. 13

2.8 Etiologi

Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status gizi individu yaitu faktor

makanan dan penyakit infeksi dan keduanya saling mempengaruhi, yaitu:

2.8.1. Faktor penyebab langsung, terdiri atas 2 bagian:

1) Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi

jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat makanan beragam, bergizi

seimbang dan aman. Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga

dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi dan

distribusi pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang

cukup dan harga terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan

23
pangan di tingkat rumah tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk

bayi dan anak telah dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu:

(1) Inisiasi menyusu dini

(2) Memberikan ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

(3) Pemberian makanan pendamping ASI yang berasal dari makanan keluarga, diberikan

tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan

(4) ASI terus diberikan sampai anak berusia 2 tahun.

2) Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan langsung dengan

tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Cakupan

universal untuk imunisasi lengkap pada anak sangat mempengaruhi kejadian kesakitan

yang perlu ditunjang dengan tersedianya air minum bersih dan higienis sanitasi yang

merupakan faktor penyebab tidak langsung.

2.8.2. Faktor penyebab tidak langsung

Selain sanitasi dan penyediaan air bersih, kebiasaan mencuci tangan dengan

sabun, buang air besar di jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi

udara dalam rumah yang baik, ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan

lingkungan rumah yang bersih. Faktor yang lain juga berpengaruh yaitu ketersediaan

pangan, pola asuh bayi dan anak serta jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan

masyarakat. Pola asuh, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh

tingkat pendidikan, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga.

Pendidikan wanita, akses pada pelayanan kesehatan dan air bersih sangat penting

untuk mengurangi prevalensi gizi kurang. Faktor makanan juga perlu untuk diperhatikan

seperti jumlah atau kualitas protein dalam makanan, kandungan atau perbedaan

mikronutrien dalam sereal yang menjadi makanan pokok. Ketidakstabilan ekonomi,

24
politik dan sosial dapat disebabkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat

yang tercermin dari rendahnya konsumsi pangan dan status gizi masyarakat. Dibawah ini

dapat digambarkan penyebab dari masalah gizi di Indonesia:

25
Status gizi ibu dan anak

Outcome

Konsumsi makanan Status infeksi Penyebab


langsung

Ketersediaan Pola asuh pemberian


Pelayanan
dan Pola ASI / MP ASI, pola
kesehatan dan Penyebab tidak
Konsumsi asuh psikososial,
kesehatan langsung
Rumah penyediaan MP ASI,
lingkungan
Tangga kebersihan dan sanitasi

Daya beli, Akses pangan, Akses informasi dan Akar


Pelayanan masalah

Kemiskinan, Ketahanan Pangan dan Gizi,


Pendidikan

Pembangunan Ekonomi, Politik, Sosial dan


Budaya
Gambar 2.1 Penyebab Masalah Gizi.6

Defisiensi zat gizi yang paling berat dan meluas terutama di kalangan anak-anak

ialah akibat kekurangan zat gizi sebagai akibat kekurangan konsumsi makan dan

hambatan mengabsorpsi zat gizi. Zat energi digunakan oleh tubuh sebagai sumber tenaga

yang tersedia pada makanan yang mengandung karbohidrat, protein yang digunakan oleh

tubuh sebagai pembangun yang berfungsi untuk memperbaiki sel-sel tubuh. Kekurangan

zat gizi pada anak disebabkan karena anak mendapat makanan yang tidak sesuai dengan

kebutuhan pertumbuhan badan anak atau adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat

gizi dan kebutuhan gizi dari segi kuantitatif maupun kualitatif.


26
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi yaitu pendapatan

keluarga, karakteristik ibu (umur, tingkat pendidikan, pengetahuan ibu tentang gizi,

pekerjaan, paritas), karakteristik Anak (jenis kelamin, urutan anak dalam keluarga). 19

Selain akses terhadap pangan yang rendah, makanan ini hamil yang kurang kalori

dan protein atau terserang penyakit, bayi baru lahir yang tidak diberi kolostrum, bayi

sudah diberi MP ASI sebelum usia 4 – 6 bulan, pemberian makanan padat pada bayi yang

terlalu lambat, anak yang berusia kurang dari 2 tahun diberi makanan kurang atau

densitas energinya kurang, makanan tidak mempunyai kadar zat gizi mikro yang cukup,

penanganan diare yang tidak benar dan makanan kotor . terkontaminasi juga merupakan

penyebab kerjadinya kurang gizi pada anak.

2.9. Akibat Gangguan Gizi terhadap Fungsi Tubuh

2.9.1. Dampak bagi tubuh

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik

atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan

secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak,

kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi

kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi essensial.

Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder. Faktor primer adalah bila

susunan makanan seseorang salah dalam kuantitas dan atau kualitas yang disebabkan oleh

kurangnya penyediaan pangan, kurang baiknya distribusi pangan, kemiskinan,

ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah dan sebaginya. Faktor sekunder meliputi

semua faktor yang menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah

makanan di konsumsi, misalnya faktor-faktor yang menyebabkan terganggunya

27
pencernaan seperti gigi geligi yang tidak baik, kelainan struktur saluran cerna dan

kekurangan enzim.

Faktor-faktor yang menganggu absorpsi zat-zat gizi adalah adanya parasit,

penggunaan laksan / obat pencuci perut dan sebaginya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

metabolisme dan utilisasi zat-zat gizi lebih adalah penyakit hati, diabetes mellitus,

kanker, penggunaan obat-obat tertentu, minuman beralkohol dan sebaginya. Faktor-faktor

yang mempengaruhi ekskresi sehingga menyebabkan banyak kehilangan zat-zat gizi

adalah banyak kencing (polyuria), banyak keringat dan penggunaan obat-obat.

Perkembangan terjadinya kekurangan gizi adalah sebagai berikut:

Kekurangan
makanan (faktor
primer)

Cadangan zat
gizi

Kekurangan gizi Kekurangan gizi Depresi perubahan


biokimia

Perubahan
Faktor kondisi fungsional
(faktor sekunder)

Perubahan
anatomis

Gambar 2.2,Perkembangan Terjadinya Kondisi Kurang Gizi. 6

28
Di beberapa bagian di dunia terjadi masalah gizi kurang atau masalah gizi lebih

secara epidemis. Negara-negara berkembang seperti sebagian besar Asia, Afrika,

Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada umumnya mempunyai masalah gizi kurang.

Dampak kurang gizi terhadap proses tubuh bergantung pada zat-zat gizi apa yang

kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kuantitas dan kualitas)

menyebabkan gangguan pada proses-proses:

1) Pertumbuhan

Anak-anak yang menderita gizi kurang tidak dapat tumbuh secara optimal. Protein yang

ada di dalam tubuh digunakan sebagai zat pembakar sehingga otot-otot menjadi lembek

dan rambut mudah rontok. Anak-anak yang berasal dari tingkat sosial ekonomi menengah

ke atas rata-rata lebih tinggi daripada yang berasal dari keadaan sosial ekonomi rendah.

2) Produksi tenaga

Kekurangan energi berasal dari makanan, menyebabkan seseorang kekurangan tenaga

untuk bergerak, bekerja dan melakukan aktifitas. Orang menjadi malas, merasa lemah dan

produktifitas kerja menurun.

3) Pertahanan tubuh

Daya tahan terhadap tekanan atau stres menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang

sehinga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk dan diare. Pada anak-anak hal

ini dapat membawa kematian.

4) Struktur dan fungsi otak

Kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental. Otak

mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun. Kekurangan gizi dapat berakibat

terganggunya fungsi otak secara permanen.

29
Penelitian dari BBLR menunjukkan bahwa penurunan berat otak besar 12 persen dan otak

kecil 30 persen, juga mengalami penurunan jumlah sel otak besar 5 persen dan otak kecil

31 persen. Pengukuran tingkat kecerdasan pada anak umur 7 tahun yang sebelumnya

pernah menderita KEP (Kurang Energi Protein) berat memiliki rata-rata IQ sebesar 102,

KEP ringan adalah 106 dan anak yang bergizi baik adalah 112. Hal ini menunjukkan

bahwa keadaan gizi masa lalu dapat mempengaruhi kecerdasan di masa yang akan

datang. Anak yang memiliki status gizi kurang atau buruk (underweight) dan stunting

(tubuh pendek) yang sangat rendah dari standar WHO mempunyai resiko kehilangan

tingkat kecerdasan atau intelligence quotient sebesar 10-15 poin. 7

5) Perilaku

Baik pada anak-anak maupun pada orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan perilaku

tidak tenang. Mereka mudah tersinggung, cengeng dan apatis. 20

30
BAB III
MASALAH DAN PEMBAHASAN

3.1. Keadaan Geografi dan Demografi Puskesmas KTK


Puskesmas KTK merupakan salah satu puskesmas yang ada di Kota Solok
Kecamatan Lubuk Sikarah tepatnya di kelurahan KTK Kota Solok, yang luas
daerahnya 6,40 km2 yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu:
1. Kelurahan KTK yang luasnya : 1,35 km2.

2. Kelurahan IX Korong yang luasnya : 1,50 km2.

3. Kelurahan Aro IV Korong yang luasnya : 1,25 km2.

4. Kelurahan Simpang Rumbio : 2,30 km2.


Puskesmas KTK berpenduduk 15.789 jiwa dengan 4.220 kepala keluarga dengan
jumlah penduduk perkelurahan sebagai berikut :

Tabel 3.1 Data Kependudukan


Kelurahan Jumlah Penduduk

Laki-laki Perempuan
188
IX Korong 951 934
5
260
KTK 1306 1295
1
314
Aro IX Korong 1572 1575
7
Simpang 816
4085 4080
Rumbio 5
15.7
Jumlah 7914 7884
98

Semua kelurahan dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat, jarak


puskesmas dengan Ibu Kota Solok 2 km. Dengan batas wilayah kerja:

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kubung.


- Sebelah Utara berbatasan dengan Koto Panjang.
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Kubung.

31
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kubung.

3.2 Jenis Pelayanan Puskesmas KTK Tahun 2021


Upaya kesehatan masyarakat di Puskesmas KTK telah mengacu kepada
Permenkes No 75 tahun 2014 yaitu meliputi upaya kesehatan masyarakat esensial
dan upaya kesehatan masyarakat pengembangan.
a) Pelayanan rawat jalan

1) Loket pendaftaran

2) Poli lansia

3) Poli umum

4) Poli ibu

5) Poli anak

6) Poli KB

7) Poli gizi

8) Konsultasi gizi

9) Klinik VCT/IMS

10) Pelayanan imunisasi

11) Klinik sanitasi

12) Ruang refraksi

13) Ruang tindakan

b) Pelayanan penunjang
1) Laboratorium

2) Apotik

c) Pelayanan UKM

32
1) Esensial
a. Promkes / UKS
b. KIA / KB

c. Gizi

d. Kesling

e. P2P

f. Perkesmas

2) Pengembangan

a. Lansia

b. Jiwa

c. Indra

d. PKPR

e. UKK

f. UKGS / UKGM

Puskesmas KTK Merupakan puskesmas santun lansia di mana semua pelayanan


rawat jalan untuk lansia dilaksanakan dalam satu gedung, terpisah dengan rawat jalan
lainnya kecuali untuk pelayanan loket. Sedangkan program inovatif di Puskesmas KTK
adalah "Posbindu yang Terintegrasi dengan UKS" yang dilaksanakan di MAN Model
Kota Solok.

3.3. Visi dan Misi

1. Visi
Menjadi pusat pelayanan yang profesional dan bermutu di bidang kesehatan
dasar dan memandirikan masyarakat untuk hidup sehat di wilayah kerja
Puskesmas KTK

33
2. Misi
- Meningkatkan efektivitas dan efesiensi proses layanan kesehatan dasar
melalui perbaikan yang berkesinambungan.

- Memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan baik perorangan,


keluarga maupun masyarakat serta lingkungan di wilayah kerjanya

- Mendorong kemandirian keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat


melalui upaya kegiatan promotif, preventif, dan peran aktif masyakarat
dalam peningkatan pemberdayaan.
- Menjamin terselenggaranya upaya kesehatan yang paripurna berdasarkan
profesional, pemerataan, bermutu, dan keterjangkauan pelayanan
kesehatan.
- Meningkatkan kerjasama lintas sector dalam pembangunan kesehatan di
wilayah kerjanya.
3. Janji Pelayanan

"Melayani dengan sepenuh hati"


4. Motto
"KTK ASRI (Komunikatif, Tanggap, Kreatif, Aman, Senyum, Rapi, Inovatif)"

5. Tata Nilai Puskesmas KTK

- Jujur

- Disiplin

- Ramah

- Kerjasama tim

- Taqwa

- Integritas yang tinggi

6. Budaya Kerja Puskesmas KTK


- Senyum
Senantiasa menampilkan keramahan dalam memberikan pelayanan.
34
- Komunikatif
Mampu memberikan informasi kesehatan kepada masyarakat dengan benar.
- Aman
Dalam memberikan pelayanan selalu mengutamakan keamanan baik untuk
diri petugas, pasien dan lingkungan kerja.
- Rapi
Berpenampilan rapi diri dan rapi lingkungan.
- Aktif
Dalam melaksanakan tugas selalu didasari atas keyakinan dan penuh percaya diri
bahwa apa yang dilaksanakan akan membawa kemajuan dan manfaat baik.

- Melayani
Memberikan pelayanan kesehatan yang merata tanpa membedakan status sosial,
suku, ras, serta agama.

- Inovatif
Usaha untuk mendayagunakan pemikiran dan kemampuan imajinasi dalam
menghasilkan pelayanan yang baik bagi pasien.

3.4.Sosial Budaya

- Agama
Puskemas KTK berpenduduk mayoritas beragama islam

- Suku
Sebagian besar masyarakatnya suku minang

- Mata pencarian
MasyarakatPuskesmas KTK bermatapencarian sebagai pegawai, pedagang,
dan petani.

- Sarana Kependidikan

Sarana pendidikan yang terdapat di wilayah KTK cukup lengkap yaitu;

Tabel 3.2 Fasilitas Pendidikan di Wilayah Kerja Puskesmas KTK Tahun 2021

35
Kelurahan JumlahS
ekolah
TK SD SMP SLTA
KTK 0 2 1 0
ARO 2 3 0 0
Simpang Rumbio 3 3 1 2
IX Korong 1 1 1 0
Jumlah 6 8 3 2

3.5.Sumber Daya kesehatan

Tenaga kesehatan yang ada di wilayah Puskesmas KTK sudah cukup memadai.
Tabel 3.3 Sumber Daya Kesehatan

Jenis SDMK Jumlah Total


PNS PPPK/Kontrak PPT Sukarela Sukarela
Kontrak
Dokter
umum 3 3

Dokter gigi 1 1
Perawat 14 3 4 0 21
Bidan 12 1 2 4 0 19
Tenaga
5 5
Kesmas
Tenaga
1 1
Kesling
Ahli
Laboratorium 2 2
Medik
Tenaga Gizi 2 2
Tenaga
0 0
Kefarmasian
Apoteker 0 0
Asisten
2 2
apoteker
Perawat gigi 1 1
Perekam
0 0
medis
Refraksi
1 1
Optisi

36
Teknisi
1 1
Elektromedik
Fisioterapi 1 1
Tenaga
2 2
Administrasi

37
3.6.Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana di wilayah kerja Puskesmas KTK sebagai berikut:

1. Puskesmas pembantu sebanyak : 3 buah

2. Pos kesehatan kelurahan sebanyak : 4 buah

3. Laboratorium sebanyak : 1 buah

4. Rumah paramedis sebanyak : 3 buah

3.7.Sasaran

a. Data Kependudukan

Jumlah Penduduk : 22.230 orang

Jumlah Bayi : 465 orang

Jumlah Baduta : 1.383 orang

Jumlah Anak Balita :


1.811 orang Jumlah Bayi 0-6
bulan :
227 orang Jumlah Bayi 6-11
bulan :
238 orang Jumlah Balita :
2.295 orang
Jumlah APRAS : 514 orang

Jumlah Anak SD : 2.551 orang

Jumlah Bumil : 516 orang

Jumlah Bulin : 501 orang

Jumlah Bufas : 501 orang

b. Peran Serta Masyarakat

38
Jumlah Posyandu :
25 buah Jumlah Kader
Posyandu :
109 orang Jumlah TOGA :
3 kelurahan Jumlah Posyandu
Lansia :
10 buah Jumlah Posbindu
- Sekolah : 1 buah

- Kantor : 1 buah

- Masyarakat : 9 orang

3.8. Gambaran Umum Program Pelayanan Kesehatan


Masyarakat di Puskesmas KTK

3.8.1 Program Esensial

1) Promosi Kesehatan Kegiatan:

1. Promosi kesehatan di dalam gedung Puskesmas KTK

2. Promosi kesehatan di luar gedung, berupa :

a. Usaha Kesehatan Sekolah

- Skrining murid kelas 1 SD/SLTP/SLTA

- Pembinaan sekolah sehat

- Pelatihan dokter kecil/kader kesehatan/PKPR

b. Pembinaan kelurahan model PHBS dan KTR (kawasan tanpa


rokok)

c. Poskeskel (Pos Kesehatan Kelurahan)

d. Penyuluhan Posyandu

e. Pelaksanaan kegiatan kelurahan siaga

f. Saka bakti husada

39
3.9. Identifikasi Data Pencapaian Program GIZI BALITA Wilayah
Puskesmas Tahun 2021

Tabel 3.4 Identifikasi data pencapaian program GIZI BALITA wilayah


puskesmas tahun 2021

NO UPAYA
TARGET PENCAPAIAN MASALAH
1 UKM ESSENSIAL

l PROGRAM GIZI

● Persentase ibu hamil anemia Kel. IX Korong 42 55 Tingginya capaian Ibu Hamil Anemia di Kelurahan IX Korong

Persentase ibu hamil yang mendapatkan Tablet Tambah Darah (TTD)


● 81 72.9 rendahnya capaian ibu hamil mendapatkan Fe 90 tablet (Fe3) di Kel. KTK
minimal 90 tablet selama masa Kehamilan kel. KTK
Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah (berat badan < 2500
● 4.6 5.1 Tingginya capaian bayi BBLR di Kel. IX Korong
gram) kel IX korong
Persentase bayi dengan berat badan lahir rendah (berat badan < 2500
● 4.6 5.2 Tingginya capaian bayi BBLR di Kel. Aro IV Korong
gram) kel Aro IV Korong

● Cakupan bayi yang baru lahir mendapat IMD di Kel. IX Korong 58 46.2 Rendahnya capaian bayi yang baru lahir mendapat IMD di Kel. IX Korong

● Cakupan balita ditimbang yang Naik berat badannya 82 75.9 Rendahnya capaian balita ditimbang yang Naik berat badannya

Tabel 3.5 Penetapan Urutan Prioritas Masalah

NO MASALAH U S G TOTAL PRIOTITAS

Tingginya capaian Ibu Hamil Anemia


1 5 5 4 100 2
di Kelurahan IX Korong
rendahnya capaian ibu hamil
2 mendapatkan Fe 90 tablet (Fe3) di 4 3 4 48 6
Kel. KTK
Tingginya capaian bayi BBLR di Kel.
3 5 5 3 75 3
IX Korong

Tingginya capaian bayi BBLR di Kel.


4 5 4 3 60 4
Aro IV Korong
Rendahnya capaian bayi yang baru
5 lahir mendapat IMD di Kel. IX 4 4 4 64 5
Korong
Rendahnya capaian balita
6 ditimbang yang Naik berat 5 5 5 125 1
badannya

40
3.10. Fish Bond

3.11. Pemecahan masalah

Prioritas masalah Prioritas penyebab masalah ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH TERPILIH

1. Rendahnya capaian
- Meningkatkan penyuluhan tentang PMBA bagi Ibu balita - Meningkatkan penyuluhan tentang PMBA bagi Ibu balita
balita ditimbang yang naik - Pola makan dan Pola Asuh yang salah
berat badannya (N)
- Pelaksanaan pos gizi bagi balita - Pelaksanaan pos gizi bagi balita

- Banyaknya masyarakat yang kurang peduli tentang


pentingnya gizi balita - Meningkatkan penyuluhan tentang Pentingnya Memperhatikan Gizi Balita

- rendahnya pengetahuan dan kesadaran ibu balita tentang


- Meningkatkan penyuluhan tentang PMBA bagi Ibu balita - Meningkatkan penyuluhan tentang PMBA bagi Ibu balita
pentingnya gizi balita
- Kurang terkontrolnya balita yang tidak naik berat badannya
oleh kader dan petugas - Meningkatkan Pemananfaatan Kartu Pelangi di Posyandu balita - Meningkatkan Pemananfaatan Kartu Pelangi di Posyandu balita

- Kurangnya dukungan dari keluarga - memotivasi keluarga untuk lebih memperhatikan gizi balitanya - memotivasi keluarga untuk lebih memperhatikan gizi balitanya

- penyuluhan tentang Pentingnya Gizi balita dan PMBA yang


- meningkatkan penyuluhan Gizi oleh petugas kesehatan - meningkatkan penyuluhan Gizi oleh petugas kesehatan
benar masih kurang

-kurangnya kerjasama lintas sektor


- Meningkatkan kerja sama dengan lintas sektor - Meningkatkan kerja sama dengan lintas sektor

- Kurangnya dukungan dari keluarga


- Meningkatkan kerja sama dengan lintas Program - Meningkatkan kerja sama dengan lintas Program

- adanya penyakit penyerta

41
BAB IV

PENUTUPAN

4.1. KESIMPULAN

Balita adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi usia

dibawah satu tahun juga termasuk golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat

dibedakan menjadi dua yaitu batita atau anak usia lebih dari satu tahun sampai

tiga tahun dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang dikenal

dengan usia prasekolah (Proverawati dan wati, 2011). Kekurangan Energi dan

Protein (KEP) merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh

rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga

tidak memenuhi kecukupan yang dianjurkan (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

KEP dibagi menjadi tiga, yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-

kwashiorkhor.

Kekurangan gizi dapat memberikan konsekuensi buruk, dimana

manifestasi terburuk dapat menyebabkan kematian. Tercatat 4,5% dari 22 juta

balita atau 900 ribu balita di Indonesia mengalami gizi kurang atau gizi buruk

dan mengakibatkan lebih dari 80% kematian anak. Prevalensi gizi kurang

menjadi 17,9% dan gizi buruk menjadi 4,9%. Artinya kemungkinan besar

sasaran pada tahun 2014 sebesar 15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi

buruk dapat tercapai (Kemenkes, 2012).

4.2. Saran
Puskesmas sebaiknya sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya

memperhatikan gizi balita agar masyarakat memahami pentingnya hal tersebut

dan mau menerapkannya sehingga tidak terjadi permasalahan gizi buruk pada

42
balita, sosialisasi sebaiknya dilakukan kepada ibu balita maupun anggota

keluarga.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Global and regional trends by WHO Regions, 1990-2030


(Underweight:1990-2019). [serial online] [disitasi pada 12 April 2022].
Diakses dari URL : https:// apps .who .int/ gho/ data /view .main.
NUTWHOUNDERWEIGHTv?lang=en; 2020.
2. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Jakarta :
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
3. Riskesdas. Laporan Provinsi Kalimantan Barat Riset Keshatan Dasar
2018. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2018.
4. Dinkes Kabupaten Sintang. Laporan Pemantauan Status Gizi dan
Elektronik Pencatatan Pelaporan Berbasis Masyarakat Tahun 2017-2019.
Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinkes Kab. Sintang;
2019.
5. World Health Organization (WHO) and UNICEF. Joint Child Malnutrition
Estimates : Levels & trends in child malnutrition. J Africa (Lond); 2012.
6. Meryana.. Gizi dan Kesehatan Balita. Edisi Pertama, Kencana: Jakarta;
2014.
7. Notoatmodjo, Soekidjo. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Jakarta:
Rineka Cipta; 2010.
8. Rahma, et al. Perbedaan sosial ekonomi dan pengetahuan gizi ibu Balita
gizi kurang dan gizi normal. Media Gizi Indonesia. 2016; 11 (1) : 55-60.
9. Frempong, Raymond Boadi, and Samuel Kobina Annim. Dietary diversity
and child malnutrition in Ghana. Heliyon. 2017; 3.(5) : 1-12.
10. Aritonang, Irianton. Memantau dan Menilai Status Gizi Anak.
Yogyakarta: Leutika Books; 2013.

44

Anda mungkin juga menyukai