Disusun oleh :
KELOMPOK 4
Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk- nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kekurangan
Energi Protein”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi dan
diet.
Makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya kerja sama dan dukungan
dari semua pihak yang terlibat. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari semua
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi seluruh aktivitas akademik dan
semoa makalah ini dapat menjadi media untuk menambah wawasan dan
pengetahuan dalam bidang keilmuan khususnya pada ilmu gizi dan diet
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kurang Energi Protein disebabkan oleh dua faktor yaitu penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain penyakit infeksi, konsumsi
makan, kebutuhan energi dan kebutuhan protein, sedangkan penyebab tidak
langsung antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan, tingkat pendapatan,
4
pekerjaan orang tua, besar anggota keluarga, jarak kelahiran, pola asuh, anak tidak
mau makan dan pola pemberian MP-ASI.
1.3 Tujuan:
1. Untuk mengetahui apa itu Kekurangan Energi Protein.
2. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari Kekurangan Energi Protein.
3. Dapat mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan dari Kekurangan Energi
Protein.
4. Dapat mengetahui faktor-faktor dari Kekurangan Energi Protein.
5. Dapat mengetahui bagaimana cara penanggulangan dari Kekurangan Energi
Protein.
5
BAB II
PEMBAHASAN
➢ Indeks TB/U
a. Normal, bila Z-score terletak ≥ - 2SD
b. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD
➢ Indeks BB/TB
a. Gemuk, bila Z-score terletak > +2SD
b. Normal, bila Z-score terletk ≥-2SD s/d +2SD
c. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d < -2SD
d. Kurus sekali, bila Z-score terletak < -3SD
9
Menurut Jalal (1998) dikatakan bahwa dampak serius dari kekurangan
gizi adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya
percepatan kematian. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh kematian anak di
negara berkembang disebabkan oleh KEP. Anak-anak balita yang menderita
KEP ringan mempunyai resiko kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan
anak normal. Hal ini didukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa
kekurangan gizi diantaranya dapat menyebabkan merosotnya mutu
kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental
anak, serta merupakan salah satu sebab dari angka kematian yang tinggi pada
anak-anak.
10
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan
melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi
kekurangan masukan energi dan protein ke dalam tubuh sehingga kemapuan
tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian
menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga
tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989).
KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi intelegensia (Jalal
dan Atmaja, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian Husaini (1997) yang
menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa
bayi akan menyebabkan perkembangan intelektual rendah. Fakta menunjukkan
bahwa bayi KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20% lebih kecil
dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak dalam
kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. Hasil penelitian Azwar
(2001) menemukan bahwa pada anak sekolah yang mempunyai riwayat gizi
buruk pada masa balita, IQ-nya lebih rendah sekitar 13-15 poin
dibandingkan dengan yang normal.
11
2. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur
hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain
(Siagian,1991). Pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat
terhadap kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat dengan rata –rata
pendidikan rendah menunjukan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya
pada masyarakat yang pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya
rendah( Abunain,1988)
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk
keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan
faktor selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan
menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986)
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang
lebih baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan menafsirkan
informasi tersebut guna kelangsungan hidupnya lebih – lebih pada jaman
kemajuan ilmu teknologi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu
akan lebih banyak memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian mereka dapat memilih serta
menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk
dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada dirumah tangga
tersebut (Biro Pusat Statistik,1993).
3. Pekerjaan
Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang gizi tiga kali
lebih besar dibanding pada anak peternak, petani pemilik lahan, ataupun tenaga
kerja terlatih. Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa pengelompokan
pekerjaan yang terlalu umum misalnya nelayan saja bisa mengatur pertumbuhan
peranan faktor pekerjaan orang tua terhadap resiko anak mereka untuk menderita
kurang gizi, resiko kurang gizi pada anak nelayan tradisional tiga kali lebih besar
dibanding anak nelayan yang punya perahu bermotor. Efek ganda ( interaksi ) dari
berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya seorang anak pada
keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan. (Mc Lean,W.1984).
12
4. Keadaan Sanitasi Lingkungan
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan
orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman. Semua ini
bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi juga sangat
membantu bagi emansipasi kaum wanita dari beban kerja berat yang mempunyai
dampak yang merusak terhadap anak – anak, terutama anak- anak perempuan.
Kemajuan dalam kesehatan anak tidak mungkin dipertahankan jika sepertiga dari
anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana sanitasi yang layak.
Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk inovasi yang
banyak jumlahnya dalam tehnik dan tekhnologi-tekhnologi yang sederhana dan
murah untuk menyediakan air bersih dan sarana sanitasi yang aman didaerah
pedesaan dan perkampungan kumuh dikota,kini patut dan layak melalui tindakan
nasional bersama dan kerjasama internasional untuk menyediakan air minum yang
aman dan sarana pembuangan kotoran manusia yang aman untuk semua
(DEPKES RI,1990).
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Angka kejadian KEP sering
terjadi pada usia 13-24 bulan, karena pada priode ini merupakan periode
penyapihan. Anak yang disapih mengalami masa transisi pada pola makannya.
Keadaan ini mengakibatkan asupan makanan berkurang. Gejala klinis KEP
berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus,
kwashiorkor atau marasmickwashiokor. Faktor-faktor yang mempengaruhi sosial
ekonomi terhadap balita mengalami KEP yaitu pendapatan keluarga
perkapita,pendidikan ,pekerjaan dan keadaan sanitasi lingkungan.
3.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka kami mengajukan beberapa
saran,yaitu dengan meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang pengetahuan gizi
yang berkaitan dengan zat-zat gizi yang mengandung banyak energi dan protein,
pola pemberian makanan tambahan, menu seimbang, pengasuhan dan perawatan
anak serta Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) guna mencegah terjadinya Kurang
Energi Protein (KEP) . Kami juga berharap semoga makalah ini bisa menambah
wawasan dan menjadi buku pegangan sederhana untuk pembaca.
15
DAFTAR PUSTAKA
16