Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KEKURANGAN ENERGI PROTEIN

Disusun oleh :

1. Afina Nadzifa Hariyanto (P17320321001)


2. Gabriela Zazkia Dwinanda Khasan (P17320321018)
3. Hanna Mumtahanatul Hasanah (P17320321019)
4. Febri Puspita Anggraeni (P17320321016)
5. Deppy Ferysca Athalia (P17320321012)
6. Lensy Rolinza (P17320321024)
7. Sri Windari Putri (P17320321034)

KELOMPOK 4

POLITEKNIK KES E H AT A N KEME N K E S B A N D U NG


T A 2 02 1 / 20 22
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk- nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Kekurangan
Energi Protein”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Gizi dan
diet.
Makalah ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya kerja sama dan dukungan
dari semua pihak yang terlibat. Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan keterbatasan dalam penyajian data dalam makalah ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari semua
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat, terutama bagi seluruh aktivitas akademik dan
semoa makalah ini dapat menjadi media untuk menambah wawasan dan
pengetahuan dalam bidang keilmuan khususnya pada ilmu gizi dan diet

Bogor, January 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah: ........................................................................................................ 5
1.3 Tujuan: .......................................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 6
2.1 Pengertian Kurang Energi Protein (KEP) ..................................................................... 6
2.2 Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP) ..................................................................... 6
2.3 Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk .................................................................... 7
2.4 Dampak Kurang Energi Protein (KEP) ......................................................................... 9
2.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sosial ekonomi tehadap balita Kurang Energi
Protein (KEP) .................................................................................................................... 11
2.6 Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP) .................................................. 13
BAB III PENUTUP ......................................................................................................... 15
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 15
3.2 Saran ........................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang masih
menghadapi masalah kekurangan gizi yang cukup besar. Kurang gizi pada balita
terjadi karena pada usia tersebut kebutuhan gizi lebih besar dan balita merupakan
tahapan usia yang rawan gizi. Secara umum kurang gizi disebabkan oleh
kurangnya energi atau protein. Namun keadaan ini di lapangan menunjukkan
bahwa jarang dijumpai kasus yang menderita deferensiasi murni. Anak yang
dengan defisiensi protein biasanya disertai pula dengan defisiensi energi. Oleh
karena itu istilah yang lazim dipakai adalah kekurangan energi protein.

Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang


disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap
gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya tampak kurus.
Angka kejadian KEP sering terjadi pada usia 13-24 bulan, karena pada priode ini
merupakan periode penyapihan. Anak yang disapih mengalami masa transisi pada
pola makannya. Keadaan ini mengakibatkan asupan makanan berkurang. Masa ini
disebut masa transisi tahun kedua (secuntrant) yaitu second year transisional.

Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan


yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat
badannya. Anak balita merupakan kelompok umur yang paling sering menderita
akibat kekurangan gizi, karena masih dalam taraf perkembangan dan kualitas
hidup anak sangat tergantung pada orang tuanya. Pada anak-anak KEP dapat
menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan
rendahnya tingkat kecerdasan.

Kurang Energi Protein disebabkan oleh dua faktor yaitu penyebab langsung
dan tidak langsung. Penyebab langsung antara lain penyakit infeksi, konsumsi
makan, kebutuhan energi dan kebutuhan protein, sedangkan penyebab tidak
langsung antara lain tingkat pendidikan, pengetahuan, tingkat pendapatan,
4
pekerjaan orang tua, besar anggota keluarga, jarak kelahiran, pola asuh, anak tidak
mau makan dan pola pemberian MP-ASI.

1.2 Rumusan Masalah:


1. Apa yang dimaksud dengan Kekurangan Energi Protein?
2. Bagaimana klasifikasi Kekurangan Energi Protein?
3. Apa saja Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk?
4. Apa saja dampak atau akibat dari Kekurangan Energi Protein?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Kekurangan Energi Protein?
6. Bagaimana cara penanggulangan Kekurangan Energi Protein?

1.3 Tujuan:
1. Untuk mengetahui apa itu Kekurangan Energi Protein.
2. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi dari Kekurangan Energi Protein.
3. Dapat mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan dari Kekurangan Energi
Protein.
4. Dapat mengetahui faktor-faktor dari Kekurangan Energi Protein.
5. Dapat mengetahui bagaimana cara penanggulangan dari Kekurangan Energi
Protein.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kurang Energi Protein (KEP)


Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya komsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari atau gangguan penyakit – penyakit tertentu. Anak tersebut kurang energi
protein (KEP) apabila berat badanya kurang dari 80 % indek berat badan/umur
baku standar,WHO –NCHS, (DEPKES RI,1997).

2.2 Klasifikasi Kurang Energi Protein (KEP)


Standar baku antropometri yang paling banyak digunakan adalah balu
Harvard dan baku WHO-NCHS.

Berdasarkan hasil diskusi pakar dibidang gizi yang diselenggarakn oleh


Persatuan Ahli Gizi Indonesia (PERSAGI) bekerjasama denagn UNICEF-
Indonesia dan LIPI pada tanggal 17-19 Januari 2000 ditetapkan bahwa
penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB disepakati
penggunaan istilah status gizi dan baku antropometri yang dipakai dengan
menggunkan Z- score dan baku rujukan WHO-NCHS (WNPG VII, 2000).

Keuntungan penggunaan baku WHO-NCHS adalah dapat terhindar


dari kekeliruan interpretasi karena baku WHO-NCHS sudah dapat
membedakan jenis kelamin dan lebih memperhatikan keadaan masa lampau.
Kelemahannya adalah apabila umur tidak diketahui dengan pasti maka
akan sulit digunkan, kecualiunutk indeks BB/TB.

Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score (simpang


baku) sebagai batas ambang. Kategori dengan klasifikasi status gizi
berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau TB/U dan BB/TB dibagi menjadi 3
golongan dengan batas ambang sebagai berikut:
➢ Indeks BB/U
a. Gizi lebih, bila Z-score terletak > +2SD
b. Gizi baik, bila Z-score terletak ≥-2SD s/d +2SD
6
c. Gizi kurang, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d < -2SD
d. Gizi buruk, bila Z-score terletak < -3SD

➢ Indeks TB/U
a. Normal, bila Z-score terletak ≥ - 2SD
b. Pendek, bila Z-score terletak < -2SD

➢ Indeks BB/TB
a. Gemuk, bila Z-score terletak > +2SD
b. Normal, bila Z-score terletk ≥-2SD s/d +2SD
c. Kurus, bila Z-score terletak ≥ -3SD s/d < -2SD
d. Kurus sekali, bila Z-score terletak < -3SD

Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang dilakukan dengan


menimbang berat badan anak dibanding dengan umur dan menggunakan KMS
dan tabel BB/U Baku Median WHO – NCHS.
1. KEP ringan bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak pada pita
kuning
2. KEP sedang bila hasil penimbangan berat badan pada KMS terletak di Bawah
Garis Merah (BGM).
3. KEP berat/gizi buruk bila hasil penimbangan BB/U < 60 % baku median
WHO-NCHS.
4. Pada KMS tidak ada garis pemisah KEP berat/gizi buruk dan KEP sedang,
sehingga untuk menentukan KEP berat/gizi buruk digunakan tabel BB/U Baku
median WHO-NCHS.

2.3 Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk


Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak
tampak kurus. Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat
dibedakan sebagai marasmus, kwashiorkor atau marasmickwashiokor.Tanpa
mengukur/melihat BB bila disertai oudema yang bukan karena penyakit lain
adalah KEP berat/gizi buruk tipe kwashiorkor.
1. Kwashiokor
• Oudema,umumnya seluruh tubuh,terutama pada pada punggung kaki
(dorsum pedis )
• Wajah membulat dan sembab
7
• Pandangan mata sayu
• Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut
tanpa rasa sakit,rontok
• Perubahan status mental, apatis dan rewel
• Pembesaran hati
• Otot mengecil(hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
• Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
• Sering disertai penyakit infeksi, umumnya akut,anemia dan diare.
2. Marasmus
• Tampak sangat kurus,tinggal tulang terbungkus kulit
• Wajah seperti orang tua
• Cengeng rewel
• Kulit keriput,jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada
(pakai celana longgar)
• Perut cekung
• Iga gambang
• Sering disertai , penyakit infeksi( umumnya kronis berulang), diare kronis
atau konstipasi/susah buang air.
3. Marasmik- kwashiorkor
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus, dengan BB/U< 60 % baku median WHO-NCHS
disertai oedema yang tidak mencolok. (DEPKES RI. 1999)
Kekurangan zat gizi makro ( energi dan protein ) dalam waktu besar dapat
mengakibatkan menurunya status gizi individu dalam waktu beberapa hari atau
minggu saja yang ditandai dengan penurunan berat badan yang cepat. Keadaan
yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi sering disebut dengan istilah gizi
kurang atau gizi buruk. Kejadian kekurusan ( kurang berat terhadap tinggi badan)
pada tingkat sedang dan berat pada anak kecil maupun kekurusan pada individu
yang lebih tua dapat mudah dikenali dengan mata. Demikian pula halnya dengan
kasus kekurangan energi berat (marasmus) dan kekurangan protein berat
8
(kwasiokor) serta kasus kombinasi marasmik-kwassiokor dapat dikenali tanda-
tandanya dengan mudah. (Soekirman, MPS. 1998)
Epidemilogi gangguan pertumbuhan atau kurang gizi pada anak balita
selalu berhubungan erat dengan keterbelakangan dalam pembangunan sosial
ekonomi. Kekurangan gizi tidak terjadi secara acak dan tidak terdistribusi secara
merata ditingkat masyarakat, tetapi kekurangan gizi sangat erat hubungannya
dengan sindroma kemiskinan. (Gopalan, C. 1987).
Tanda – tanda sindroma, antara lain berupa : penghasilan yang amat
rendah sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan sandang, pangan, dan
perumahan, kuantitas dan kualitas gizi makanan yang rendah sanitasi lingkungan
yang jelek dan sumber air bersih yang kurang, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang amat terbatas, jumlah anggota keluarga yang terlalu besar, dan
tingkat buta aksara tinggi. (Gopalan, C. 1987). Status gizi terutama ditentukan
ketersediaan dalam jumlah yang cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang
tepat ditingkat sel semua zat gizi yang diperlukan tubuh untuk pertumbuhan,
perkembangan, dan berfungsi normal semua anggota badan. Oleh karena itu
prinsipnya status gizi di tentukan oleh dua hal – terpenuhinya
dari makanan semua zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, dan peranan faktor-faktor
yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan dan penggunaan zat gizi
tersebut. Terhadap kedua hal ini, faktor genetik dan faktor sosial ekonomi
berperan. (Martorell, R, and Habicht, 1986).

2.4 Dampak Kurang Energi Protein (KEP)


Banyak dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, antara lain
yaitu merosotnya mutu kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan
perkembangan mental anak, serta merupakan salah satu penyebab dari angka
kematian yang tinggi (Sihadi, 2000). Anak yang menderita KEP apabila tidak
segera ditangani sangat berisiko tinggi, dan dapat berakhir dengan kematian
anak. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya kematian bayi yang
merupakan salah satu indikator derajat kesehatan (Latinulu, 2000).

9
Menurut Jalal (1998) dikatakan bahwa dampak serius dari kekurangan
gizi adalah timbulnya kecacatan, tingginya angka kecacatan dan terjadinya
percepatan kematian. Dilaporkan bahwa lebih dari separuh kematian anak di
negara berkembang disebabkan oleh KEP. Anak-anak balita yang menderita
KEP ringan mempunyai resiko kematian dua kali lebih tinggi dibandingkan
anak normal. Hal ini didukung oleh Sihadi (1999) yang menyatakan bahwa
kekurangan gizi diantaranya dapat menyebabkan merosotnya mutu
kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental
anak, serta merupakan salah satu sebab dari angka kematian yang tinggi pada
anak-anak.

Anak-anak dengan malnutrisi dini mempunyai peluang lebih tinggi


untuk mengalami retardasi pertumbuhan fisik jangka panjang, perkembangan
mental yang suboptimal, dan kematian dini bila dibandingkan dnegan anak-
anak yang normal. Malnutrisi juga dapat mengakibatkan retardasi
pertumbuhan fisik yang pada gilirannya berhubungan dengan resiko kematian
yang tinggi (Karyadi, 1971).

Hal tersebut didukung oleh Astini (2001) yang menyatakan bahwa


pada masa pascanatal sampai dua tahun merupakan masa yang amat kritis
karena terjadi pertumbuhan yang amat pesat dan terjadi diferensiasi fungsi
pada semua organ tubuh. Gangguan yang terjadi pada masa ini akan
menyebabkan perubahan yang menetap pada struktur anatomi, biokimia, dan
fungsi organ. Jadi setiap gangguan seperti buruknya status gizi dapat
menghambat beberapa aspek pertumbuhan organ. Kekurangan gizi juga dapat
mempengaruhi bayi secara psikologis, menyebabkan apatis, depresi,
keterlambtan perkembangan, dan menarik diri dari lingkungan.

Kurang gizi juga akan menyebabkan timbulnya infeksi dan sebaliknya


penyakit infeksi akan memperburuk kekurangan gizi. Infeksi dalam derajat
apapun dapat memperburuk keadaan gizi, sedangkan malnutrisi walaupun
masih ringan mempunyai pengaruh negatif pada daya tahan tubuh terhadap
infeksi. Hal ini akan bertambah buruk bila keduanya terjadi dalam waktu
yang bersamaan (Pudjiadi, 2000).

10
Hubungan antara KEP dengan penyakit infeksi dapat dijelaskan
melalui mekanisme pertahanan tubuh yaitu pada balita yang KEP terjadi
kekurangan masukan energi dan protein ke dalam tubuh sehingga kemapuan
tubuh untuk membentuk protein baru berkurang. Hal ini kemudian
menyebabkan pembentukan kekebalan tubuh seluler terganggu, sehingga
tubuh menderita rawan serangan infeksi (Jeliffe, 1989).

KEP menimbulkan efek pada perkembangan mental dan fungsi intelegensia (Jalal
dan Atmaja, 1998). Hal ini didukung oleh penelitian Husaini (1997) yang
menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada waktu dalam kandungan dan masa
bayi akan menyebabkan perkembangan intelektual rendah. Fakta menunjukkan
bahwa bayi KEP berat mempunyai ukuran besar otak 15-20% lebih kecil
dibandingkan dengan bayi normal. Apabila terjadi kurang gizi sejak dalam
kandungan, maka defisit volume otak bisa mencapai 50%. Hasil penelitian Azwar
(2001) menemukan bahwa pada anak sekolah yang mempunyai riwayat gizi
buruk pada masa balita, IQ-nya lebih rendah sekitar 13-15 poin
dibandingkan dengan yang normal.

2.5 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Sosial ekonomi tehadap balita


Kurang Energi Protein (KEP)
1. Pendapatan Keluarga Perkapita
Konsumsi makanan yang berkurang sering dialami oleh penduduk yang
berpendapatan rendah. Hal ini disebabkan oleh daya beli keluarga yang rendah.
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi pola pengeluaran komsumsi keluarga.
Tingkat pendapatan yang nyata dari keluarga menentukan jumlah dan kualitas
makanan yang diperoleh. (Suhardjo,1989)
Masalah komsumsi pangan, rata- rata komsumsi energi dan protein secara
nasional meningkat dengan tajam. Pada tahun 1984 rata – rata komsumsi energi
perkapita 1798 kalori,meningkat menjadi 1905 kalori pada tahun 1990 dan
menjadi 1962 kalori pada tahun 1995. Sedangkan dalam kurun waktu yang sama
rata – rata komsumsi protein meningkat menjadi dari 43,3 gram,45,4 dan 49,2
perkapita/ hari. (SKPG. 1998)

11
2. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis yang berlangsung seumur
hidup dalam rangka mengalihkan pengetahuan oleh seseorang kepada orang lain
(Siagian,1991). Pendidikan terutama pendidikan ibu berpengaruh sangat kuat
terhadap kelangsungan anak dan bayinya. Pada masyarakat dengan rata –rata
pendidikan rendah menunjukan prevalensi gizi kurang yang tinggi dan sebaliknya
pada masyarakat yang pendidikannya cukup tinggi prevalensi gizi kurangnya
rendah( Abunain,1988)
Ibu yang pendidikan tinggi akan memilih jenis dan jumlah makanan untuk
keluarga dengan mempertimbangan syarat gizi disamping mempertimbangkan
faktor selera oleh karena itu ibu rumah tangga pada umumnya yang mengatur dan
menentukan segala urusan makanan dan kebutuhan keluarga (Suhardjo,1986)
Seseorang yang pendidikannya lebih tinggi mempunyai pengertian yang
lebih baik akan kesehatan gizi dengan menangkap informasi dan menafsirkan
informasi tersebut guna kelangsungan hidupnya lebih – lebih pada jaman
kemajuan ilmu teknologi. Dengan berbekal pendidikan yang cukup seseorang ibu
akan lebih banyak memperoleh informasi serta lebih tanggap terhadap
permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian mereka dapat memilih serta
menentukan aternatif lebih baik untuk kepentingan rumah tangganya termasuk
dalam menentukan pemberian makanan bagi balita yang ada dirumah tangga
tersebut (Biro Pusat Statistik,1993).
3. Pekerjaan
Anak nelayan tradisional mempunyai resiko menjadi kurang gizi tiga kali
lebih besar dibanding pada anak peternak, petani pemilik lahan, ataupun tenaga
kerja terlatih. Hal penelitian ini juga menunjukan bahwa pengelompokan
pekerjaan yang terlalu umum misalnya nelayan saja bisa mengatur pertumbuhan
peranan faktor pekerjaan orang tua terhadap resiko anak mereka untuk menderita
kurang gizi, resiko kurang gizi pada anak nelayan tradisional tiga kali lebih besar
dibanding anak nelayan yang punya perahu bermotor. Efek ganda ( interaksi ) dari
berbagai faktor sosial ekonomi dalam menyebabkan jatuhnya seorang anak pada
keadaan kurang gizi perlu diperhitungkan. (Mc Lean,W.1984).

12
4. Keadaan Sanitasi Lingkungan
Faktor utama yang mempengaruhi kesehatan anak dan juga kesehatan
orang dewasa adalah tersedianya air bersih dan sanitasi yang aman. Semua ini
bukan saja penting untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia,tetapi juga sangat
membantu bagi emansipasi kaum wanita dari beban kerja berat yang mempunyai
dampak yang merusak terhadap anak – anak, terutama anak- anak perempuan.
Kemajuan dalam kesehatan anak tidak mungkin dipertahankan jika sepertiga dari
anak- anak didunia ketiga tetap tidak menikmati sarana sanitasi yang layak.
Berdasarkan pengalaman pada dasa warsa yang lalu,termasuk inovasi yang
banyak jumlahnya dalam tehnik dan tekhnologi-tekhnologi yang sederhana dan
murah untuk menyediakan air bersih dan sarana sanitasi yang aman didaerah
pedesaan dan perkampungan kumuh dikota,kini patut dan layak melalui tindakan
nasional bersama dan kerjasama internasional untuk menyediakan air minum yang
aman dan sarana pembuangan kotoran manusia yang aman untuk semua
(DEPKES RI,1990).

2.6 Penanggulangan Kekurangan Energi Protein (KEP)


Di Indonesia, upaya perbaikan gizi untuk perseorangan maupun masyarakat
dilakukan melalui beberapa program, antara lain :
❖ Perbaikan Pola Makan
Memperbaiki asupan makanan sehat dan bergizi seimbang merupakan cara
paling efektif untuk mengatasi serta mencegah dampak gizi buruk. Beberapa cara
yang bisa dilakukan untuk memperbaiki pola makan antara lain :
a. Biasakan mengonsumsi aneka makanan pokok dan makanan tinggi
protein, lemak sehat, dan karbohidrat.
b. Biasakan mengonsumsi 3-4 porsi sayur dan 2-3 porsi buah setiap hari.
c. Batasi konsumsi panganan manis, asin, dan berlemak.
d. Cukupi kebutuhan cairan dengan minum air minimal 8 gelas sehari.
e. Rutin melakukan aktivitas fisik atau olahraga setidaknya 30 menit per hari.

❖ Pemantauan Status Gizi

Gizi buruk pada anak bisa berdampak terhadap tumbuh kembang,


kemampuan belajar, dan masa depannya. Oleh karena itu, penting bagi setiap
13
orang tua untuk teliti dalam memantau status gizi anak, yakni dengan rutin
menimbang berat badan anak dan mengukur tinggi badan anak ke dokter atau ke
puskesmas, posyandu, atau fasilitas kesehatan lainnya. Jika terdeteksi dan
ditangani lebih awal, dampak gizi buruk terhadap kesehatan dan proses tumbuh
kembang anak bisa diminimalkan.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-
hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Angka kejadian KEP sering
terjadi pada usia 13-24 bulan, karena pada priode ini merupakan periode
penyapihan. Anak yang disapih mengalami masa transisi pada pola makannya.
Keadaan ini mengakibatkan asupan makanan berkurang. Gejala klinis KEP
berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus,
kwashiorkor atau marasmickwashiokor. Faktor-faktor yang mempengaruhi sosial
ekonomi terhadap balita mengalami KEP yaitu pendapatan keluarga
perkapita,pendidikan ,pekerjaan dan keadaan sanitasi lingkungan.

Dampak merugikan yang diakibatkan oleh KEP, yaitu merosotnya mutu


kehidupan, terganggunya pertumbuhan, gangguan perkembangan mental
anak, serta merupakan salah satu penyebab dari angka kematian yang tinggi
(Sihadi, 2000). Di Indonesia, upaya perbaikan gizi untuk perseorangan
maupun masyarakat dilakukan melalui beberapa program yaitu seperti
perbaikan pola makan dan pemantauan status gizi.

3.2 Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka kami mengajukan beberapa
saran,yaitu dengan meningkatkan kegiatan penyuluhan tentang pengetahuan gizi
yang berkaitan dengan zat-zat gizi yang mengandung banyak energi dan protein,
pola pemberian makanan tambahan, menu seimbang, pengasuhan dan perawatan
anak serta Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) guna mencegah terjadinya Kurang
Energi Protein (KEP) . Kami juga berharap semoga makalah ini bisa menambah
wawasan dan menjadi buku pegangan sederhana untuk pembaca.

15
DAFTAR PUSTAKA

Edwin saputra suyadi,FKM UI,2009 “Kejadian Keperawatan”


http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126104-S-5830-Kejadian%20KEP-Literatur.pdf
Diakses pada 23 Januari 2022

Keputusan Menteri Kesehatan RI, No. 920/Menkes/SK/VII/2002, tentang


Klasifikasi Status Gizi Anak Bawah Lima Tahun.

16

Anda mungkin juga menyukai